bab iii bimo walgito dan pemikirannya tentang bimbingan...
TRANSCRIPT
57
BAB III
BIMO WALGITO DAN PEMIKIRANNYA TENTANG BIMBINGAN DAN
KONSELING PERKAWINAN
A. Biografi Bimo walgito
Prof. Dr. Bimo walgito lahir di Yogyakarta pada tanggal 5 Agustus 1929.
bersama keluarganya, ia tinggal di Bulaksumur E. 2B Yogyakarta, kode Pos
55281 Telp. (0274) 564712. Perjalanan karirnya sebelum menjadi guru besar
seperti sekarang, Bimo Walgito adalah seorang guru SGAN (Sekolah Guru
Agama Negeri) di Payukumbuh Sumatara Barat dari tahun 1955 sampai dengan
tahun 1957. Beliau melangsungkan pernikahan dengan Ny. Suyati Bimo Walgito
pada tanggal 18 Februari 1955, ketika beliau masih menjabat sebagai Guru SGA.
Pada tahun 1957 beliau melanjutkan pendidikan di Fakultas Pedagogik
UGM dan lulus pada tanggal 22 Februari 1960. setelah menyandang gelar S1
beliau diangkat menjadi asisten dosen di UGM dan sampai akhirnya mengabdi
dialmamater sendiri. Semangat belajar yang tinggi dan didukung pula oleh
semangat sang istri, Ny.Suyati Bimo Walgito yang bekerja sebagai pengawas
SMP ( Sekolah Menengah Pertama ) dan SMA ( Sekolah Menengah Atas ),
ternyata memudahkan jalan beliau untuk terus mengembangkan potensi akademik
dan pendidikannya hingga kejenjang S3 ( Doktoral ) di Fakultas Psikologi UGM
dan lulus pada tanggal 26 Agustus 1991 dengan disertasi yang berjudul
“Hubungan Antara Persepsi Mengenai Sikap Orang Tua Dengan Harga Diri
58
Para Siswa Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas ( SMA ) Di Propinsi Jawa
Tengah”.
Semangat untuk terus memajukan dan mengembangkan pendidikan sudah
namapak ketika beliau masih muda, dan kemudian ditanamkan dalam
keluarganya. Hal ini bisa dibuktikan dengan keberhasilannya dalam mendidik
keenam putra-putrinya menjadi generasi penerus bangsa yang berpendidikan.
Putra-putrinya adalah dr. Prima Siwi Ningsih Waluyati SetyoBudi, Drs. Budi
Waluyo, M. Buss., Drs. Edhi Waluyo, Heru Waluyo, SH., Ir. Gatot Waluyo, dan
Ir. Rahayu Waluyati Suhardi, M.Si., yang memiliki disiplin ilmu yang berbeda.
Prestasi membanggakan tidak hanya pada lingkup keluarga saja,
melainkan di dunia akademik yang yang beliau tekuni, yang kemudian beliau
dikukuhkan menjadi seorang Guru Besar Psikologi UGM. Kini, diusia purna
baktinya beliau masih dipercaya untuk mengajar diprogram studi S2 dan S3
UGM, disamping masih aktif memberikan kuliah di Unifersitas Wangsa
Manggala Yogyakarta.
B. Karya-Karya Bimo Walgito
1. Pengantar Psikologi Umum (Edisi Ketiga, Cetakan Pertama, tahun 2002)
2. Psikologi Sosial (Suatu Pengatar) (Edisi Revisi, tahun 2003)
3. Bimbingan dan Konseling di Sekolah (Edisi Revisi, tahun 2004)
4. Bimbingan dan Konseling Perkawinan (Edisi Revisi, tahun 2004) Namun sebenarnya pemikiran-pemikiran Bimo Walgito yang berujud
ceramah-ceramah cukup banyak. Dan buku-buku tersebut di atas semuanya diceta
oleh Andi Offset.
59
Sementara hasil penelitian terakhir adalah: “ Ketidakberdayaan Pemilik
Sawah dan Ketidakadilan Terhadap Mereka: Kasus Penanaman Tembakau di
Klaten “ yang Beliau selesaikan dengan rekan seprofesinya Dr. Faturochman.
C. Pemikiran Bimo Walgito Tentang Bimbingan dan Konseling Perkawinan
Pemikiran Bimo Walgito berkaitan dengan Bimbingan dan Konseling
Perkawinan memfokuskan pada hal-hal penting berikut: a) Faktor Fisiologis; b)
Faktor Psikologis; c) Faktor Agama; dan) Faktor Komunikasi. Faktor-faktor
tersebut merupakan masalah yang urgen dalam sebuah perkawinan, sehingga
menurut Bimo Walgito apabila faktor-faktor tersebut dapat dipahami dan
dilaksanakan oleh pasangan suami isteri maka bukan hal mustahil bagi setiap
pasangan suami isteri untuk mencapai sebuah keluarga yang harmonis dalam
prespektif agama maupun sosial masyarakat.
Berikut uraian faktor-faktor penting dalam perkawinan menurut Bimo
Walgito:
1. Faktor Fisiologis dalam Perkawinan
Yang paling dasar, paling kuat dan paling jelas di antara dari sekian
kebutuhan manusia adalah kebutuhan untuk mempertahankan hidupnya secara
fisik, yaitu kebutuhannya akan makan, minum, tempat berteduh, seks, tidur
dan oksigen. Seseorang yang mengalami kekurangan makan, harga diri dan
cinta pertama-tama akan memburu makan terlebih dahulu. Ia akan
mengabaikan atau menekan dulu semua kebutuhan lain sampai kebutuhan
fisiologisnya itu terpuaskan (Goble, 1995:71). Dalam perkawinan memang
sangat dibutuhkan faktor fisiologis ini, bila faktor ini tidak terpenuhi maka,
60
hal ini akan dapat merupakan sumber suatu permasalahan. Ada beberapa
faktor yang berakitan dengan segi fisiologis ini, yaitu pertama hal-hal yang
berkaitan dengan masalah kesehatan pada umumnya dan kemampuan
mengadakan hubungan seksual secara wajar. Bila faktor-faktor ini dapat
terpenuhi dengan baik, maka kebahagiaan keluarga akan terwujud.
a. Kesehatan Pada Umumnya
Dalam perkawinan kesehatan memang perlu diperhatikan. Hal
tesebut dikarenakan dalam perkawinan bila keadaan kesehatan pada
umumnya terganggu, maka akan dapat menimbulkan permasalahan dalam
keluarga. Dapat dibayangkan bila suami atau isteri dalam keadaan sakit-
sakitan, hal ini akan mengganggu ketentraman keluarga yang
bersangkutan, yang dapat berakibat cukup jauh (Walgito, 2004: 35).
Walaupun tidak secara eksplisit dijelaskan mengenai masalah
kesehatan, khususnya kesehatan fisiologis ini yang dinyatakan dalam UU
perkawinan, namun yang baik perlu diperhitungkan tentang soal kesehatan
ini. Untuk dapat mengetahui ini dengan tepat, maka apabila seseorang
akan melangsungkan perkawinan disarankan untuk dapat memeriksakan
kesehatannya pada dokter. Dengan pemeriksaan akan dapat diketahui
kelemahan-kelemahan-nya sehingga dengan demikian akan dapat dicari
cara-cara untuk mengatasinya. Hal tersebut tidak akan dapat dilihat kalau
sebelumnya tidak diketahui kondisi kesehatannya. Dengan mengetahui
kelemahan atau kekurangan-kekurangannya, maka langakah-langkah yang
tepat akan dapat diambil sedini mungkin (Walgito, 2004: 36).
61
b. Kemampuan Mengadakan Hubungan Seksual
Perkawinan merupakan satu ikatan yang utuh antar suami dengan
isteri, satu sama lain memiliki hak dan kewajibannya masing-masing,
suami berkewajiban membahagiakan isteri dan begitu sebaliknya. Isteri
berhak atas kebahagiaan suami, begitu pula sebaliknya. Masing-masing
tak bisa bertepuk sebelah tangan (Nipan dan Kauma, 2001: 139).
Berhubungan dengan hal tersebut, maka ada baiknya perlu
diketahui sejauh mana seseorang mampu mengadakan hubungan seksual
secara wajar. Karena hal ini kiranya akan membawa keluarga menuju
bahagia.
Dari uraian tersebut di atas mengingat bahwa dalam perkawinan
masalah hubungan seksual antara suami isteri merupakan hal yang tak
dapat diabaikan, maka seyogyanya bagi pasangan yang ingin kawin,
disarankan untuk memeriksakan ke dokter untuk dapat diketahui
sejauhmana seseorang mampu mengadakan hubungan seksual, khususnya
bagi seorang pria. Sebab bagi seorang pria bila dalam keadaan impoten,
maka ia tidak dapat mengadakan hubungan seksual, dan ini akan
merupakan sumber masalah kehidupan perkawinan (Walgito, 2004: 40).
Maka tidaklah dapat dipungkiri lagi, bahwa faktor kesehatan baik
suami maupun isteri merupakan hal yang penting dalam perkawinan.
Pemeriksaan medis sebelum perkawinan yang meliputi kesehatan pada
umumnya, mengenai alat-alat reproduksi apakah alat itu normal atau tidak,
apakah alat reproduksi itu dapat berfungsi memberikan keturunan atau
62
tidak merupakan hal yang disarankan. Disamping itu bagi seorang pria
dalam perkawinan perlu mengetahui apakah ia mampu mengadakan
hubungan seksual secara wajar atau tidak, dengan kata lain apakah ia
impoten atau tidak (Walgito, 2004: 40).
Dengan mengetahui hal-hal tersebut, maka disarankan bagi suami
isteri harus saling memahami, apabila hal-hal yang tidak di inginkan ada
pada suami maupun isteri. Dengan sikap saling memahami, maka akan
terbentuk kesadaran yang lebih tinggi, dan akhirnya terbentuk pula
keluarga yang harmonis sesuai dengan tujuan berkeluarga.
2. Faktor Psikologis dalam Perkawinan
Bagaimana pentingnya faktor psikologis dalam perkawinan kiranya
tidak ada orang yang membantahnya. Bayak hal yang tak diharapkan terjadi
dalam keluarga disebabkan faktor ini. kiranya itulah dalam membicarakan
tentang persyaratan yang diminta da;lam perkawinan, salah satu syarat adalah
faktor psikologis.
Salah satu ciri kedewasaan seseorang dilihat dari segi psikologis
adalah bila seseorang telah dapat mengendalikan emosinya, dan dengan
demikian dapat berpikir secara baik, dapat menempatkan persoalan sesuai
dengan keadaan yang seobyektif-obtektifnya (Walgito, 2004: 43).
a. Kematangan Emosi dan Pikiran
Kematangan emosi dan pikiran akan saling kait mengkait. Bila
seseorang telah matang emosinya, maka individu akan dapat berpikir
secara matang, berpikir secara baik, berpikir secara obyektif. Dalam
63
kaitannya dengan perkawinan, jelas hal ini dituntut agar suami isteri dapat
melihat permasalahan yang ada dalam keluarga dengan secara baik
(Walgito, 2004: 43).
Emosi dilain pihak mempunyai arti yang agak berbeda. Di dalam
pengertian emosi sudah terkandung unsur perasaan yang mendalam
“intense”. Perkataan emosi sendiri berasal dari perkataan “emotus” atau
“emovere” yang berarti mencerca “to stir up” yaitu sesuatu yang
mendorong terhadap sesuatu (Gunarso, 1975: 129). Menurut Sarwono
(1974: 59) emosi adalah keadaan pada diri seseorang yang disertai warna
efektif, baik pada tingkat yang lemah (dangkal) maupun pada tingkat yang
kuat (mendalam). Sedangkan emosi menurut Mulyatiningsih (2004: 11)
adalah perasaan yang terpengaruh karena adanya rangsangan yang
ditangkap oleh indra.
Dari beberapa defenisi tersebut di atas jalas bahwa kematangan
emosi diharapkan individu akan dapat berpikir dengan baik, melihat
persoalan secara obyektif. Dalam hal ini untuk bertindak dengan baik
maka pikiran harus digunakan secara baik pula sebagai titik tumpu dari
tindakannya itu. Kalau tindakan hanya berdasarkan atas emosi, maka
tindakan akan sulit untuk dipertanggungjawabkan, dan tindakan atas dasar
emosi secara psikologis individu itu belum matang benar (Walgito, 2004:
45).
Menurut Walgito (2004: 45) mengenai kematangan emosi ada
beberapa tanda yang dapat diberikan, yang diantaranya:
64
a. Bahwa orang telah matang emosinya dapat menerima baik keadaan
dirinya maupun keadaan orang lain seperti apa adanya. Hal ini seperti
telah dijelaskan di muka bahwa orang yang telah matang emosinya
dapat berpikir secara baik, dapat berpikir secara obyektif.
b. Orang yang telah matang emosinya pada umumnya tidak bersifat
impulsif. Ia akan merespon stimulus dengan cara berpikir baik, dapat
mengatur pikirannya, untuk dapat memberikan tanggapan terhadap
stimulus yang mengenainya. Orang yang bersifat impulsive, yang
segera bertindak sebelum dipikirkan dengan baik, satu pertanda
emosinya belum matang.
c. Orang yang telah matang emosinya seperti telah dikemukakan di muka
akan dapat mengontrol emosinya dengan baik, dapat mengontrol
ekspresi emosinya. Walaupun seseorang dalam keadaan marah, tetapi
kemarahan itu tidak ditampakkan keluar, dapat mengatur kapan
kemarahan itu dapat dimanifistasikan.
d. Karena orang yang telah matang emosinay dapat berpikir secara
obyektif, maka orang yang telah matang emosinya akan bersifat sabar,
penuh pengertian, dan pada umumnya cukup mempunyai toleransi
yang baik.
e. Orang yang telah matang emosinya akan mempunyai tanggungjawab
yang baik, dapat berdiri sendiri, tidak mudah mengalami frustasi, dan
akanmenghadapi masalah dengan penuh pengertian.
65
Dengan uraian tesebut di atas maka seseorang akan dapat menilai
sejauhmana kematangan emosi yang ada pada dirinya, karena dalam
perkawinan akan selalu terjadi interaksi antara suami dan isteri, maka agar
interaksi berlangsung dengan baik, dituntut adanya kematangan emosi
tersebut. Kematangan emosi akan mengkait kematangan berpikir, dan
dengan demikian individu akan dapat melihat kenyataan secara lebih baik,
secara lebih obyektif.
b. Sikap Saling dapat Menerima dan Memberikan Cinta Kasih antara
Suami Isteri
Dengan kematangan emosi, dan kematangan cara berpikir maka
diharapkan seseorang akan mempunyai sikap saling dapat menerima dan
memberikan cinta kasihnya antara suami isteri.1 Seperti yang
dikemukakan Suardiman (1991: 45) dasar untuk menuju kehidupan
perkawinan yang bahagia tidak hanya atas dasar saling cinta, tetapi sudah
ketingkat saling kasih mengkasihi, sayang menyayangi. Dari saling kasih
sayang itu akan meningkatkan ikatan lahir dan batin, dan selanjutnya akan
tumbuh dan berkembang beberapa sikap, yaitu: (1) rasa saling
bertanggung jawab terhadap akibat dari hidup bersama dalam mengarungi
kehidupan perkawinan. Misalnya butuh tempat tinggal, butuh biaya hidup
sekeluarga, butuh biaya pendidikan anak, butuh dana cadangan, semua itu
ditanggung bersama. Dalam arti bagaimana cara mengelola keuangannya.
1 Dalam undang-undang perkawinan pasal 33 dijelaskan hak dan kewajiban antara suami
isteri, yaitu suami isteri harus saling cinta mencintai, hormat menghormati dan setia. Dan memberikan bantuan lahir dan batin yang satu kepada yang lain. dengan adanya sikap yang demikian ini akan terwujud ketentraman batin antara suami maupun isteri. Dengan demikian akan terwujud keharmonisan dalam kehidupan keluarga.
66
(2) saling bersedia untuk saling berkorban. Contoh kongkrit kepentingan
pribadi dikorbankan untuk kepentingan kentingan keluarga. (3) saling
memelihara kejujuran (4) saling percaya (5) saling pengertian (6) saling
terbuka. Dengan demikian itu akhirnya akan terlihat bahwa pasangan
suami isteri itu merupakan kesatuan yang bulat dan utuh, serta akan
terjalin interaksi atau komunikasi yang lancar.
Hal ini perlu ditekankan mengingat bahwa tidak tertutup
kemungkinan pasangan yang telah lama mengarungi kehidupan keluarga
menjadi berantakan karena masalah ini. istri kurang mengerti bahwa
seorang suami masih membutuhkan curahan cinta kasih ataupun
sebaliknya, sehingga adanya kemungkinan suami ataupun isteri justru
mencari tumpahan rasa cinta kasih itu kepada pihak lain. karena itu
walaupun telah cukup lama membina kehidupan keluarga, telah dalam usia
tua, mungkin juga telah mempunyai cucu namun kebutuhan akan rasa
cinta, kebutuhan akan mendapatkan perhatian dari suami atau isteri tetap
akan bertahan,dan tetap hal tersebut akan mendapatkan pemenuhan, hanya
mungkin manefestasinya tidak sama pada waktu masih pacaran (Walgito,
2004: 50).
c. Sikap Saling Pengertian antara Suami Isteri
Antara suami isteri dituntut adanya sikap saling pengertian satu
dengan yang lain; suami harus mengerti akan keadaan isteri demikian
sebaliknya. Seperti telah dijelaskan di atas bahwa antara suami isteri harus
saling dapat menerima dan memberikan cinta kasih, karena cinta kasih
67
akan membawa kekuatan psikologis yang sangat besar. Cinta merupakan
kekuatan terbesar yang tersedia dalam mempengaruhi dan merubah
kepribadian (May, 2003: 79).
Masing-masing anggota dalam keluarga mempunyai hak dan
kewajiban sendiri-sendiri, mempunyai status dan peranan sendiri-sendiri.
Oleh karena itulah, diperlukan sikap saling pengertian satu dengan yang
lain. dengan adanya saling pengertian ini masing-masing pihak akan
mengerti kebutuhan-kebutuhannya, saling mengerti kedudukan dan
peranannya masing-masing, sehingga dengan demikian diharapkan
keadaan keluarga dapat berlangsung dengan tentram dan aman (Walgito,
2004: 49).2
Maka dalam budaya nusantara termasuk budaya Jawa sebagaimana
yang diungkapkan oleh Suardiman (1998:42) ada beberapa ajaran yang
berlaku sebagai kriteria dalam melakukan jodoh agar terbentuk sikap
saling pengertian antara suami istri. Adapun ajaran itu mengatakan bahwa
memilih calon jodoh itu harus melihat bibit, bebet, bobot. Maksud ajaran
itu berharap kepada seseorang sebelum menetapkan siapa yang akan
menjadi pilihannya dilihat dari segi bibit, maksudnya adalah untuk
meneliti siapa orang tuanya yang menurunkan. Berarti harus diketahui
2 Dalam hal ini akan jelas tugas masing-masing misalnya dalam keluarga sebagai suami, (1) harus mempunyai pedoman hidup yang jelas dan mantap untuk membawa bahteranya ke suatu tujuan yang berarti, (2) berperan sebagai partner sek yang setia bagi istrinya dengan disertai mencintai istri secara penuh, (3) harus pandai-pandai melaksanakan tugasnya sebagai pencari nafkah untuk keluarga yang akan dikelola istrinya, (4) harus pandai-pandai sebagai tokoh ayah bagi anak-anaknya yang sangat diperlukan bagi pendidikan anak-anak, (5) harus selalu berperan dalam membantu istrinya dalam mengurus rumah tangga, juga dalam pekerjaan-pekerjaan yang nampak bukan pekerjaan pria. Begitu pula sebaliknya istripun juga membantu suaminya dalam berkeluarga, kalau hal ini bisa berjalan maka akan terbentuk keluarga yang sakinah mawaddah warrahmah.
68
dengan jelas siapa orang tuanya. Apakah dari orang tua yang baik-baik
atau sebaliknya. Dari segi bobot, maksudnya adalah calon yang akan
dipilih harus dilihat dari segi kualitasnya. Berarti harus dilihat dari
kesehatan fisik dan psikis, postur tubuhnya, serta dari kecantikan dan
ketampanannya. Semua itu akan menentukan kualitas anak keturunannya
kelak. Dari segi bebet maksudnya adalah untuk dilihat bagaimana potensi
di masa depannya apakah yang bersangkutan mempunyai pengetahuan dan
ketrampilan yang memadai atau tidak. Hal ini berkaitan dengan ekonomi
atau penghasilan dalam hidup berkeluarga kelak. Selain itu apakah yang
bersangkutan memiliki sifat kepribadian yang positif atau tidak. Misalnya,
apakah memiliki sifat berbudi luhur atau tidak, atau bagaimana
keimananya, toleransinya, sifat kepemimpinannya.
Dengan adanya kriteria tersebut, yang dimiliki oleh suami istri,
maka sikap akan pengertian akan terwujud dalam rumah tangga. Dengan
pengertian yang ada pada masing-masing pihak, maka akan lebih tepatlah
tindakan yang akan diambilnya, sehingga baik suami maupun istri akan
lebih bijaksana dalam mengambil langkah-langkahnya untuk mewujudkan
keluarga yang harmonis
3. Faktor agama dalam Perkawinan
Sebelum membahas faktor agama dalam perkawinan, terlebih dahulu
perlu diketahui uraian tentang apa agama itu,
69
a. Pengertian agama
Sewaktu manusia lahir sudah membawa perasaan keagamaan atau
disebut fitroh manusia. Sebagaimana apa yang diungkapkan oleh Dahlan
(1969: 101) ada lima fitrah manusia yang dibawa lahir ke dunia:
1. Perasaan agama (religius gevoel)
2. Perasaan akhlak (ethische gevoel)
3. Perasaan intelek (inteletuele gevoel)
4. Perasaan keindahan (aesthetische gevoel)
5. Perasaan diri, keakuan (zelf gevoel)
Perasaan itu selalu tumbuh dan berkembang pada diri seseorang
sesuai dengan keadaan lingkungan rumah tangga pendidikan dan tuntunan-
tuntunan yang mempengaruhinya. Dan perasaan itupun harus dipupuk,
dipelihara, disempurnakan, dan dipimpin barulah manusia mencapai
kesempurnaan.
Dalam hal ini Dahlan (1969: 101) mengutip pendapat dari
beberapa tokoh mengenai pengertian tentang agama
1) Agama menurut Taylor adalah suatu kepercayaan adanya hakikat alam
rohani
2) Agama menurut Dr.J.H Van der Hoop adalah hukum yang
mengendalikan kebebasan hidup dan penghidupan manusia
3) Agama menurut Schleirmacher adalah perasaan kita berhajat dan
menyerah kepada yang mutlak.
70
4) Agama menurut Kant adalah perasaan kewajiban manusia yang
berdasar dan bersumber pada Tuhan
b. Pentingnya agama dalam perkawinan
Dasar dari perkawinan adalah ketuhanan yang Maha Esa. Manusia
sebagai makhluk Tuhan mempunyai dorong untuk berhubungan dengan
kekuatan yang ada di luarnya, hubungan dengan Tuhannya. Dengan
adanya kepercayaan kepada Tuhan YME yang tercermin dalam agama
yang dianutnya, akan memberikan tuntunan ataupun bimbingan kepada
orang yang memeluknya. Agama akan menuntun kepada hal-hal yang
baik, kepada hal-hal yang tidak tercela. (Walgito, 2004: 53). Sehingga
dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa makin kuat seseorang
menganut agamanya, maka orang tersebut akan mempunyai sikap yang
mengarah ke hal-hal yang baik, sehingga muncul perasaan positif seperti
rasa bahagia, rasa senang, sukses, merasa dicintai atau rasa aman.
(Jalaluddin, 2000: 142)
Sesuai dengan yang diungkapkan oleh Daradjat (1993: 56-61)
bahwa agama ini dapat berfungsi:
1) Memberikan bimbingan dalam hidup
2) Menolong dalam menghadapi kesukaran
3) Menentramkan batin
4) Mendidik moral guna menyelamatkan generasi yang akan datang
5) Mendidik moral dalam rumah tangga
71
Dengan demikian, kalau hal ini dikaitkan dengan perkawinan,
maka agama akan memberikan bimbingan bagaimana bertindak secara
baik, guna untuk mewujudkan ketentraman batin dalam rumah tangga dan
akhirnya akan terbentuk keluarga yang sakinah
c. Pasangan yang berbeda agama
Perkawinan antara pasangan yang mempunyai agama yang berbeda
akan mempunyai kecenderungan lebih tinggi untuk timbulnya masalah
bila dibandingkan dengan perkawinan yang seagama, yang dapat
meningkat sampai perceraian. Secara langsung mungkin tidak dapat
dikatakan bahwa hal tersebut semata-mata hanya karena perbedaan agama,
tetapi dengan perbedaan agama, antara suami istri, hal tersebut akan
membawa perbedaan dalam pendapat, sikap, kerangka acuan dan ini dapat
berkembang lebih jauh, yang akhirnya dapat terjadi perceraian. (Walgito,
2004: 54)
Berhubungan dengan uraian di atas, bila dalam mencari pasangan
mendapatkan pasangan yang berbeda agama, maka perlu dipertimbangkan
secara masak. Sesuai dengan yang diungkapkan Walgito (2004: 53) hal
tersebut dapat berakibat antara lain:
1) Adanya tekanan dari pihak keluarga, lembaga agama, karena adanya
penyimpangan dari keadaan yang biasa
2) Dapat terjadi tidak bersatunya interpretasi mengenai sesuatu, karena
memang kerangka acuannya berbeda, sehingga hal ini kadang-kadang
membawa kesulitan
72
3) Setelah pasngan itu mempunyai anak, keadaan ini akan lebih terasa,
karena agama mana yang akan dididikkan kepada anak menjadi
persoalan. Dalam menentukan ini mungkin sekali terjadi pertentangan
antara suami-istri. Bila masing-masing pihak tetap bersitegang
memegang pendapatnya sendiri-sendiri akan makin merumitkan
keadaan. Keadaan itu akan bercampur tangan dalam menentukan
agama mana yang akan diberikan kepada anaknya.
Perbedaan agama antara suami istri akan memberikan lingkungan
yang kurang menguntungkan bagi perkembangan anak, karena banyak hal
yang menjadi tanda tanya bagi anak, anak akan menjadi bingung. Karena
itu jalan yang baik dalam perkawinan beda agama ini, ialah apabila salah
satu pihak mengalah dan menyetujui agama pihak lain. Namun, langkah
ini bukanlah suatu langkah yang mudah.
4. Faktor komunikasi dalam Perkawinan
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa
(Muachor, 1989: 4). Pada umumnya masing-masing pihak telah mempunyai
pribadi sendiri, pribadinya telah terbentuk. Karena itu, untuk dapat
menyatukan satu dengan yang lain perlu adanya saling penyesuaian, saling
pengorbanan, saling pengertian dan hal tersebut harus disadari benar-benar
oleh kedua belah pihak yaitu oleh suami istri. (Walgito, 2004: 57)
73
Dalam kaitannya dengan hal tersebut, maka peranan komunikasi dalam
keluarga adalah sangat penting. Antara suami istri harus saling berkomunikasi
dengan baik untuk dapat mempertemukan satu dengan yang lain, sehingga
dengan demikian kesalahpahaman dapat dihindari. (Walgito, 2004: 204)
a. Pengertian dan sifat komunikasi dalam keluarga
Cukup banyak pengertian komunikasi yang dikemukakan oleh para
ahli, yaitu: komunikasi adalah proses penyampaian dan penerimaan
lambang-lambang yang mengandung arti, baik yang berwujud informasi-
informasi, pemikiran-pemikiran, pengetahuan ataupun yang lain-lain dari
penyampai atau komunikator kepada penerima atau komunikan. (Walgito,
1994: 2) mengatakan bahwa komunikasi adalah proses di mana seseorang
insan menyampaikan perangsang untuk mengubah perilaku insan-insan
lainnya. Sedangkan menurut Kuantaraf, komuniasi adalah proses
membagikan informasi baik secara tertulis maupun lisan kepada orang
lain. (Kuantaraf, 1999: 9)
Dari ketiga definisi tersebut di atas, ada lima macam unsur
komunikasi yang perlu diperhatikan, ialah: (1) Komunikator yang
menyampaikan bahan-bahan yang dikomunikasikan, (2) Messages (pesan
atau perangsang) yang diperoleh oleh komunikator, (3) komunikan yang
menerima atau yang akan menanggapi pesan-pesan yang akan
disampaikan kepadanya, (4) Respon ialah atau jawaban atau tanggapan
komunikan terhadap komunikor, dan (5) Media yang dipergunakan (Basri,
2002: 76)
74
Seperti telah dipaparkan di muka bahwa masing-masing pasangan
itu telah mempunyai kepribadian masing-masing, sehingga untuk
mencapai keharmonisan dalam keluarga perlu adanya saling pendekatan,
saling pengertian satu dengan yang lain.
Komunikasi antara suami istri pada dasarnya harus terbuka. Hal
tersebut karena suami istri telah merupakan satu kesatuan. Komunikasi
yang terbuka diharapkan dapat menghindari kesalahpahaman. Dengan
komunikasi yang terbuka antara anggota keluarga, maka akan terbina
saling pengertian, mana-mana yang tidak baik perlu dihindarkan. Dengan
demikian akan terbentuklah sikap saling terbuka, saling mengisi, saling
mengerti dan akan terhindar dari kesalahpahaman. (Walgito, 2004: 58)
Dalam menyelenggarakan komunikasi hendaknya setiap kendala
harus diperhatikan agar dapat mencapai hasil sebagaimana yang
diharapkan. Bermacam permasalahan dalam keluarga, misalnya
pernmasalahan antara suami istri, menantu dengan mertua, anak-anak
dengan orang tuanya, bahkan antara tetangga akan dapat diselesaikan
dengan baik jika diciptakan suatu komunikasi yang komunikatif. Oleh
karena itu, benar juga pendapat yang menyatakan bahwa komunikasi itu
adalah seni dan dapat dipelajari dan dikembangkan dalam kehidupan kita.
(Bisri, 2002: 83)
Maka dalam keluarga adanya kemungkinan terdapat beberapa pola
komunikasi diantaranya dengan pola kesamaan (equality) yang berarti
antara suami dan istri mempunyai kedudukan yang seimbang, ini
75
merupakan komunikasi yang diharapkan dalam keluarga. Tetapi ada
kemungkinan terdapat pola komunikasi lain misalnya pola komunikasi
yang disebut balanced, yaitu suatu pola komunikasi yang masih adanya
balance atau keseimbangan antara suami istri, tetapi masing-masing pihak
mempunyai otoritas dalam bidang tertentu. Sehingga seakan-akan masing-
masing pihak kelihatan sebagai ekspert dalam bidang-bidang tertentu.
(Walgito, 2004: 59)
Di samping itu juga adanya kemungkinan terdapat pola komunikasi
yang disebut sebagai pola unbalanced split, yaitu suatu pola komunikasi
interpersonal salah satu pihak suami istri mendominan labih dari setengah
area komunikasi. Dalam hal tersebut, disatu pihak adanya kecenderungan
mengontrol terhadap pihak lain dalam hal komunikasi. Disamping pola-
pola tersebut di atas masih ada kemungkinan terdapat pola komunikasi
interpersonal yang disebut sebagai pola monopoli. Dalam hal ini pola-pola
tersebut digambarkan oleh devita sebagaimana dikutip oleh Walgito
(2004: 59-60) sebagai berikut:
Equality (A)
Balanced Split (B)
76
Unbalanced Split (C) Monopoly (D)
b. Sikap dalam hubungannya dengan komunikasi
Ada beberapa pengertian tentang sikap, dalam hal ini sikap adalah
merupakan organisasi keyakinan-keyakinan seseorang mengenai sesuatu
obyek yang disertai adanya perasaan-perasaan tertentu yang sedikit banyak
bersifat ajeg dan memberikan dasar pada orang tersebut untuk bertindak
dalam cara yang tertentu (Walgito, 1994: 109). Sikap menurut Sarwono
(1982: 103) adalah kesiapan pada seseorang untuk bertindak secara
tertentu terhadap hal-hal tertentu.
Dari pengertian tersebut di atas bahwa sikap yang ada pada diri
seseorang akan memberi warna bagaimana seseorang itu bertindak.
Tindakan seseorang akan dilatarbelakangi oleh sikap yang ada padanya.
(Walgito, 1994: 105). Ada yang diperbuat oleh suami atau istri adalah
menggambarkan sedikit banyak mengenai sikap.
77
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai sikap seseorang, baik
seorang suami terhadap istrinya ataupun sikap seorang istri terhadap
suaminya, adanya hal-hal yang melatarbelakangi mengapa seseorang
mengambil sikap yang tertentu itu. Disini akan melibatkan fungsi dari
sikap. Menurut Katz, sebagaimana dikutip oleh Walgito (2000: 61) ada 4
fungsi mengenai sikap, yaitu:
1) Sikap sebagai instrumen atau alat untuk mencapai tujuan
Seseorang mengambil sikap tertentu terhadap sesuatu obyek karena
atas dasar pemikiran sampai sejauhmana obyek dapat digunakan untuk
mencapai tujuan yang ingin dicapainya. Kalau obyek itu berguna untuk
mencapai tujuannya, maka sikapnya akan baik, akan positif, begitu
sebaliknya. Misalnya kalau mesin cuci dianggap oleh istri membantu
dalam meringankan bebannya, maka istri setuju bila suami bermaksud
akan membeli mesin cuci. Kalau pembantu yang rupawan itu
dipandang akan mengganggu kehidupan rumah tangganya, maka istri
akan menolak hadirnya pembantu tersebut. Fungsi ini juga sering
disebut fungsi penyesuaian, karena dengan mengambil sikap tertentu,
digunakan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan agar dapat
diterima oleh lingkungannya.
2) Sikap sebagai pertahanan Ego
Kadang-kadang orang mengambil sikap tertentu karena hanya untuk
mempertahankan Egonya atau Akunya. Karena merasa harga dirinya
terdesak atau terancam, maka seseorang mengambil sikap tertentu
78
terhadap sesuatu obyek. Misalnya seorang suami mengambil sikap
begitu rupa terhadap istri walaupun sikapnya itu tidak benar. Hal
tersebut mungkin karena dengan sikap itu keadaan “Akunya” dapat
dipertahankan. Sikap yang diambil karena demi mempertahankan
kekuasaan, biasanya sikap itu untuk mempertahankan Akunya.
3) Sikap berfungsi sebagai ekspresi nilai
Yang dimaksud dengan ini ialah bahwa sikap menunjukkan bagaimana
nilai-nilai yang ada pada seseorang itu. Misalnya berbagai macam
sikap tentang soal free sex, ada yang setuju dan ada yang tidak.
Bagaimana nilai yang ada pada seseorang itu dinyatakan dalam
sikapnya. Seorang suami menganggap “nyeleneh” merupakan hal
biasa, ini menunjukkan nilai terkandung di dalam dirinya.
4) Sikap berfungsi sebagai pengetahuan
Ini berarti bagaimana sikap terhadap sesuatu, juga mencerminkan
keadaan pengetahuan dari orang yang bersangkutan. Seseorang ingin
mengerti, ingin membentuk pengalaman-pengalamannya dengan
benar, jika elemen-elemen yang diperolehnya tidak konsisten dengan
apa yang telah diketahuinya, maka hal tersebut akan disusun kembali
atau diubah sehingga menjadi konsisten.
Dari sikap tersebut di atas dapat dikemukakan bahwa kalau
seorang suami atau istri mempunyai sikap tertentu terhadap sesuatu maka
untuk dapat mengetahui lebih jauh, kiranya perlu diketahui apa yang
melatarbelakanginya. Mungkin sikap yang diambil itu untuk
79
mempertahankan “akunya”, ataupun mungkin sebagai alat untuk
penyesuaian diri. Karena dengan mengetahui latar belakang itu orang akan
dapat dengan lebih tepat untuk mengadakan langkah lebih lanjut. Kalau
dipandang bahwa sikap itu perlu diubah misalnya, maka diusahakan
langkah-langkah untuk mengubah sikap itu.
c. Komunikasi dalam kaitannya dengan pengubahan dan pembentukan sikap
Sikap seorang suami atau istri terhadap sesuatu telah melekat pada
individu yang bersangkutan. Walaupun sikap itu mempunyai tendensi
yang bersifat ajeg, tetapi sikap seseorang masih adanya kemungkinan
mengalami perubahan-perubahan. Maka cara untuk melihat komponen
yang membentuk sikap, para ahli mempunyai pendapat yang berbeda
tentang komponen-komponen yang membentuk sikap, namun pada
umumnya para ahli sependapat bahwa dalam sikap akan terkandung
komponen-komponen sebagaimana yang diungkapkan oleh Walgito
(2004: 63) berikut:
1) Komponen kognitif
Yaitu komponen yang berkaitan dengan pengetahuan, pendapat,
pandangan, kepercayaan seseorang kepada obyek sikap tertentu.
Dalam komponen ini menyangkut bagaimana individu mempersepsi
obyek sikap itu. Bagaimana pendapat istri tentang keluarga berencana,
tentang pemakaian obat tertentu, merupakan komponen yang
menyangkut komponen kognitif tersebut.
80
2) Komponen afektif
Atau komponen yang berkaitan dengan perasaan, yaitu bagaimana
perasaan yang timbul pada seseorang terhadap obyek tertentu.
Perasaan dapat berwujud perasaan senang atau sebaliknya. Komponen
ini akan berkaitan dengan arah dari sikap. Kalau obyek sikap dapat
menimbulkan perasaan senang, maka sikap individu pada obyek
tersebut akan bersifat positif, demikian sebaliknya
3) Komponen konatif
Komponen tingkah laku atau action component sering pula disebut
komponen psikomotor. Komponen ini berkaitan dengan sampai
sejauhmana sikap itu akan mendorong seseorang dalam perbuatan atau
tindakannya, komponen ini berhubungan dengan kecenderungan untuk
bertindak. Sikap memang bukan merupakan perbuatannya itu sendiri,
tetapi perbuatan seseorang pada umumnya akan diwarnai oleh sikap
yang ada padanya.
Dalam rangka pengubahan dan pembentukan sikap dapat melalui
komponen-komponen tersebut. Ini berarti bahwa untuk mengubah dan
membentuk sikap yang baru dapat melalui komponen kognitif, komponen
afektif atau komponen konatif.
Selain dalam pengubahan dan pembentukan sikap dengan melalui
komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen konatif, ada
beberapa jalan yang dapat ditempauh dalam membentuk sikap sesuai
dengan yang diungkapkan oleh Walgito (2004: 65) adalah sebagai berikut:
81
1) Sugesti
Kalau hendak mengubah sikap dengan cara sugesti ialah memberikan
gambaran apa yang dikehendaki itu secara berulang kali. Dengan
demikian, karena hal tersebut dikemukakan berulang kali, maka secara
tidak terasa apa yang dikemukakan itu akan diambil oper oleh pihak
lain, misalnya oleh istri atau suami.
2) Persuasi
Persuasi adalah cara untuk membujuk untuk mengerjakan sesuatu
seperti apa yang dikehendaki. Dengan bujukan dan rayuan supaya
suami, istri atau anak dapat menerima apa yang dikemukakan itu dan
juga menjalankan apa yang dikehendaki itu. Dengan persuasi tidak ada
kekerasan, tidak ada paksaan tetapi memberikan pengertian bahwa
sesuatu itu adalah baik, dan perlu dikerjakan atau perlu dilaksanakan.
Dengan persuasi karena tidak unsur paksaan, maka bila seseorang
belum mau mengikuti seperti apa yang dikemukakan perlu diyakinkan
kembali tentang sifat-sifat kebaikan dari apa yang dikemukakan itu,
sehingga akhirnya akhirnya mengerti benar akan hal tersebut, dan akan
mengikuti apa yang akan diajukannya itu. Demikian pula dengan hal-
hal yang tidak baik, supaya tidak dikerjakan.
3) Konformitas
Cara ini adalah usaha untuk menjadikan konform dengan pihak lain.
Dalam rangka ini diberikan gambaran bahwa dari pihak lain adanya
hal-hal yang kiranya dijadikan acuan, sehingga ada baiknya kalau
82
seseorang menjadi konform dengan pihak lain tersebut. Dalam hal ini
menggunakan keluarga lain sebagai acuan, karena keluarga lain itu
dianggap dalam keadaan baik.
4) Diskusi
Dengan diskusi maka akan dapat tukar pikiran antara suami dan istri
ataupun anggota keluarga yang lain, sehingga dengan demikian, akan
terbentuklah suatu sikap seperti apa yang dikehendaki. Masing-masing
mengemukakan pendapatnya beserta argumentasi-argumentasinya,
sehingga dengan demikian apa yang diambil itu disertai dengan penuh
pengertian dan penuh keyakinan, sehingga keputusan yang diambil
akan dapat menjadi pegangan yang tangguh dalam kehidupan
keluarga. Dengan diskusi apa yang diterimanya dapat diyakininya,
sehingga dengan demikian bila ada pendapat atau pikiran lain akan
mendapatkan pertimbangan mendalam. Kiranya dengan jalan diskusi
itulah akan didapatkan suatu hasil yang cukup baik, bila dibandingkan
dengan cara-cara yang lain, lebih-lebih kalau masing-masing pihak
telah dapat menggunakan kemampuan berpikirnya untuk menganalisis
hal-hal yang dihadapkan kepadanya.
5) Induktrinasi
Cara ini adalah pembentukan atau pengubahan sikap dengan cara
memberikan sikap yang dikehendaki itu tanpa adanya kesempatan
untuk mendiskusikan hal tersebut. Suami atau istri anak dan orang lain
tinggal menerima begitu saja.