bab iii analisis resepsi sastra - abstrak.ta.uns.ac.id · orang yang rela berkorban demi cinta....
TRANSCRIPT
125
BAB III
ANALISIS RESEPSI SASTRA
Penelitian karya sastra dengan pendekatan resepsi sastra adalah penelitian
yang menitik beratkan pada pembaca sastra. Pembacalah yang memberikan arti
dan makna yang sesungguhnya terhadap karya sastra, bukan pengarang. Pembaca
berhak memaknai sebuah teks atas dasar pemahamannya sendiri. Suatu teks baru
mempunyai makna bila ia sudah punya hubungan dengan pembaca. Penelitian ini
akan menggunakan teori resepsi, di mana akan diuraikan tanggapan-tanggapan
dari sudut pandang pembaca seperti yang sudah diungkapkan oleh Segers. Adapun
Segers membedakan pembaca menjadi tiga macam, yaitu a) pembaca nyata, b)
pembaca implisit, dan c) pembaca ideal. Pembahasan dengan menggunakan
pendekatan ini akan menggunakan dua sudut pandang pembaca. Pertama,
pembaca ideal atau pembaca mahatahu (superreader) yaitu kritikus dan
penerjemah. Kedua, tanggapan dari pembaca nyata yaitu peneliti.
Berikut akan diuraikan tanggapan-tanggapan pembaca terhadap novel al-
Ajnichah al-Mutakassirah karya Jubra>n Khali>l Jubra>n:
A. TANGGAPAN PEMBACA KRITIKUS
Tanggapan pembaca mahatahu yang pertama akan diuraikan mengenai
tanggapan pembaca kritikus. Kritikus adalah orang yang ahli memberikan
pertimbangan atau pembahasan tentang baik buruknya sesuatu (KBBI, 2007:
601). Adapun kritikus sastra berarti orang yang ahli memberikan
pertimbangan atau pembahasan tentang baik buruknya ataupun kurang dan
lebihnya sebuah karya sastra. Kritikus yang dimaksudkan penulis adalah
126
semua orang yang menanggapi tentang baik dan buruk, tentang kelebihan dan
kekurangan sebuah karya sastra melalui kaca matanya. Berikut akan diuraikan
beberapa kritikus yang menanggapi eksistensi novel al-Ajnichah al-
Mutakassirah karya Jubra>n Khali>l Jubra>n:
A.1 Zumrotul Mukaromah
Zumrotul Mukaromah bersama rekannya Chulusul Umniyati
menanggapi novel al-Ajnichah al-Mutakassirah karya Jubra>n Khali>l
Jubra>n dari sudut pandang feminisme.
Mereka memandang bahwa terdapat ketidakadilan gender yang
dialami oleh tokoh wanita dalam novel al-Ajnichah al-Mutakassirah karya
Jubra>n Khali>l Jubra>n. Fenomena ketidakadilan yang terjadi adalah
perempuan sebagai pihak yang tertindas, hanya diambil keuntungan dari
dirinya.
Di dalam makalahnya, mereka menyatakan bahwa tokoh Salma
Karamah adalah wujud dari gambaran perempuan Arab. Perempuan dalam
pandangan feminis mengatakan bahwa perempuan tidak ingin dikekang,
seorang perempuan menginginkan kebebasan. Perempuan juga ingin
diperhatikan, karena naluri perempuan adalah selalu ingin diperhatikan.
Pandangan feminisme lainnya terhadap novel tersebut yaitu bahwa
perempuan ingin dihargai, mereka tidak ingin ditindas dan dihina oleh
kaum laki-laki. Bahkan dalam pandangan feminisnya, perempuan adalah
orang yang rela berkorban demi cinta. Perempuan tidak menginginkan
belas kasihan dari seorang laki-laki. Perempuan adalah seorang yang
127
cerdas. Perempuan adalah tipe orang yang setia. Perempuan adalah
seorang pemberani. Perempuan adalah orang yang mampu menghormati
orang lain, dan perempuan tidak ingin menjadi korban perjodohan orang
tua.
Demikianlah pandangan feminisme oleh Chulusul Umniyati
bersama rekannya Zumrotul Mukaromah dalam menanggapi adanya
fenomena yang tergambar dalam novel al-Ajnichah al-Mutakassirah karya
Jubra>n Khali>l Jubra>n. Chulusul dan Zumrotul dalam tanggapannya
memberikan ulasan-ulasan mengenai perjuangan hak-hak perempuan yang
tidak seharusnya diperlakukan secara sewenang-wenang oleh kaum laki-
laki. Feminisme memandang bahwa seorang perempuan mempunyai
kesetaraan dalam hal hak kemanusiaan. Perempuan bukanlah budak yang
dapat diperlakukan sewenang-wenang maupun diperjualbelikan.
Perempuan memiliki hak kebebasan menentukan apa yang terbaik bagi
dirinya sendiri.
A.2 Anne Ahira
Tanggapan kedua adalah dari Anne Ahira, di mana ia menuliskan
tanggapan mengenai novel al-Ajnichah al-Mutakassirah karya Jubra>n
Khali>l Jubra>n dalam situsnya http://anneahira.com bahwa al-Ajnichah al-
Mutakassirah karya Jubra>n Khali>l Jubra>n merupakan ekspresi kekecewaan
Jubra>n pada dunia, terutama dunia asmara. Novel al-Ajnichah al-
Mutakassirah karya Jubra>n Khali>l Jubra>n diangkat dari kehidupan
asmaranya sendiri, yang kandas tidak mencapai tujuan hanya karena
128
perbedaan kasta dan derajat. Kasta dan derajat memang seringkali menjadi
batu sandungan dalam menumbuhkembangkan cinta.
Anne memandang bahwa novel al-Ajnichah al-Mutakassirah karya
Jubra>n Khali>l Jubra>n sangat terasa pribadi, tapi tetap menggunakan bahasa
umum, sehingga ke-Aku-an Jubra>n menjadi milik bersama, milik siapa
saja yang sedang patah hati.
Novel al-Ajnichah al-Mutakassirah karya Jubra>n Khali>l Jubra>n
adalah titik awal ke arah mana ia akan melangkah. Novel al-Ajnichah al-
Mutakassirah karya Jubra>n Khali>l Jubra>n adalah karya yang murni sebagai
ekspresi dari pengalaman pahit kehidupan asmaranya.
Berdasarkan ulasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa fokus
tanggapan Anne adalah tentang latar belakang lahirnya novel al-Ajnichah
al-Mutakassirah karya Jubra>n Khali>l Jubra>n. Anne menyimpulkan bahwa
novel tersebut adalah mengenai kehidupan pribadi Jubra>n Khali>l Jubra>n
dalam mengarungi bahtera asmaranya.
A.3 Halida Yasmin Kurniadewi
Halida menanggapi tentang novel al-Ajnichah al-Mutakassirah
karya Jubra>n Khali>l Jubra>n dalam blognya
http://halidakurnia.blogspot.com/ bahwa bencana kemiskinan, bencana
cinta tersita, bencana ketidakadilan dan kemunafikkan yang melahirkan
karya klasik Jubra>n yang pertama, kisah tragedi cinta al-Ajnichah al-
Mutakassirah. Karya ini mula-mula terbit dalam bahasa Arab di New York
129
pada tahun 1912 dengan judul al-Ajnichah al-Mutakassirah. Novel al-
Ajnichah al-Mutakassirah adalah novel otobiografis.
Tokoh Salma dalam novel ini adalah gambaran Nona Hala Daher,
gadis kawan studi Jubra>n di Lebanon yang ditakdirkan oleh Tuhan
memperoleh cinta pertamanya. Gadis itu tidak berhasil disuntingnya ke
jenjang perkawinan. Hal ini bukan karena ayah sang gadis menolak
lamarannya (sebagian umum dialami oleh pemuda miskin dari segala
zaman) tetapi karena pendeta kota, dengan senjata wibawa keagamannya,
ia merampas keinginan sang gadis dan ayahnya. Pendeta itu juga memaksa
perkawinan gadis itu dengan keponakannya. Keponakan pendeta tersebut
adalah seorang laki-laki yang tidak bertanggungjawab dan gemar berpesta
pora. Lebih terkutuk lagi ialah bahwa motif dari semua itu tidak lain
hanyalah keinginan sang pendeta untuk mewarisi kekayaan keluarga
Dahler.
Filsafat perkawinan yang ditawarkan Jubra>n dalam al-Ajnichah al-
Mutakassirah adalah kelanjutan dari filsafat dalam al-Arwah al-
Mutamarridah, hanya ia tidak berpolemik berpanjang-panjang selain
mencoba mendeskripsikan bencana cinta manusia yang menjadi topik
utama dalam seluruh novel ini. Definisinya tentang cinta tidaklah Platinik,
tidak pula Freudian, tetapi berada antara romantik dan spiritual tulis Dr.
Joseph p. Ghougassian dalam Kahlil Gibran: Wings of Thought.
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa ulasan yang
dipaparkan oleh Halida mencakup aspek yang lebih luas. Ia mengulas
130
cerita yang ada di dalam novel al-Ajnichah al-Mutakassirah dengan
menarik dan mengaitkan pada kehidupan Jubra>n. Ia berpendapat bahwa
kisah cinta yang ada di dalam novel al-Ajnichah al-Mutakassirah adalah
kisah cinta Jubra>n sendiri. Ia juga berpendapat bahwa ada kesinambungan
antara novel al-Ajnichah al-Mutakassirah dengan karya Jubra>n
sebelumnya yaitu, al-Arwah al-Mutamarridah.
B. TANGGAPAN PEMBACA PENERJEMAH
Tanggapan pembaca yang selanjutnya adalah pembaca penerjemah.
Adapun yang dimaksudkan penerjemah di sini adalah penerjemahan sebagai
produk yaitu berkaitan dengan publik, selanjutnya akan ditentukan hasil
terjemahannya sebagai terjemahan komunikatif atau tidak. Seorang
penerjemah dalam menerjemahkan sebuah karya sastra tentunya kegiatan
tersebut merupakan bentuk menanggapi, yang mana hasil terjemahannya dapat
disebut sebagai bentuk tanggapan dalam pandangan resepsi sastra. Seorang
penerjemah sebelum menerjemahkan tentu akan membaca terlebih dahulu teks
asli atau TSu (baca: Teks Sumber). Adapun hasil terjemahannya dikatakan
sebagai hasil tanggapan penerjemah dalam meresepsi sebuah karya sastra.
Pembahasan dalam sub-bab penelitian ini, penulis mengambil
tanggapan dalam bentuk terjemahan dari penerjemah novel al-Ajnichah al-
Mutakassirah karya Jubra>n Khali>l Jubra>n bernama M. Halaby Hamdi. Hamdi
menerjemahkan karya Jubra>n ini merujuk pada TS. Adapun TS dari novel al-
Ajnichah al-Mutakassirah adalah berbahasa Arab. Terjemahan Hamdi
diterbitkan oleh penerbit Navila cetakan pertama pada tahun 2010.
131
Penelitian mengenai tanggapan pembaca penerjemah, peneliti akan
melihat dari beberapa aspek seperti judul novel, judul bab dalam novel yang
akan diambil beberapa judul yang dapat mewakili keseluruhan judul bab,
penokohan, serta latar waktu. Melihat fenomena yang ada di dalam hasil
terjemahan, maka akan digunakan pisau bedah penerjemahan yaitu teori
prinsip penerjemahan dan strategi penerjemahan sesuai dengan yang
dipaparkan oleh Suryawinata dalam bukunya yang berjudul Translation
(2003).
Prinsip penerjemahan mencakup dua hal yaitu prinsip terjemahan yang
setia kepada teks BSu dan prinsip terjemahan yang setia kepada pembaca teks
BSa (Suryawinata, 2003: 57). Adapun strategi penerjemahan mencakup
strategi struktural dan strategi semantis (Suryawinata, 2003: 67). Hal ini
dilakukan dengan tujuan untuk menentukan apakah penerjemah melakukan
perubahan-perubahan dari teks BSu (Bahasa Sumber) ke teks BSa (Bahasa
Sasaran) dalam menanggapi TSu. Di sisi lain akan didapatkan jawaban kenapa
seorang penerjemah melakukan perubahan-perubahan tersebut.
B.1 Judul Novel
Judul novel dalam sastra terjemahan tidak jarang menimbulkan
permasalahan dan perdebatan karena judul karya terjemahan tidak sesuai
dengan judul asli. Hal ini mempengaruhi ketertarikan pembaca terhadap
hasil terjemahan. Tidak jarang juga penerjemah justru menggunakan
judul asli ataupun menyertakan judul aslinya. Hal tersebut dilakukan
132
karena penerjemah kesulitan dalam mencari padanan kata dalam BSa
yang tidak lepas dari makna aslinya.
Judul asli novel al-Ajnichah al-Mutakassirah adalah Al-Ajnihat Al-
Mutakassirah Al-Majmu’at Al-Ka>milat li Muallafat Jibra>n Khali>l Jibra>n
diterjemahkan dengan judul Sayap-Sayap Patah. Pada dasarnya, penulis
mengambil judul pokok yaitu Al-Ajnichah Al-Mutakassirah. Adapun
strategi penerjemahan yang digunakan oleh penerjemah yaitu strategi
struktural-pengurangan atau subtraction, di mana penerjemah
mengurangi elemen struktur di dalam BSa. Elemen yang dikurangi yaitu
Al-Majmu’at Al-Ka>milat li Muallafat, sehingga hanya menerjemahkan
klausa saja yaitu Al-Ajnichah Al-Mutakassirah.
Adapun dalam kamus al-Munawwir halaman 214 lafadz al-
ajnichah memiliki bentuk mufrad [ajnuchun] memiliki arti sayap
burung, sedangkan [ajnichah] adalah bentuk jamaknya. Lafadz
[mutakassirah] sendiri dalam kamus al-Maurid halaman 816 memiliki
arti yang dipecahkan. Lafadz [mutakassirah] memiliki arti berbeda jika
dilihat dalam kamus al-Munawwir halaman 1209, bahwa lafadz
[mutakassirah] merupakan ismul-fa>’il litakassara. Takassara dalam
kamus al-Maurid halaman 221 memiliki arti mematahkan,
menghancurkan, merobohkan, berkeping-keping, berantakan, menjadi
yang dihancurkan.
133
Al-Ajnichah Al-Mutakassirah secara harfiah berarti sayap-sayap
yang pecah. Al-Ajnichah Al-Mutakassirah merupakan bentuk pola
washfi. Washfi adalah bentuk klausa na„at-man„ut atau sifah-maushuf.
Pola washfi ini bukan merupakan pola sebuah kalimat, tetapi sebuah
“susunan dua kata” atau lebih yang kalau dipadankan dengan bahasa
Indonesia akan menjadi sebuah susunan dua kata atau lebih yang dapat
disisipi kata “yang”. Kata “yang” boleh dimunculkan atau tidak
dimunculkan sesuai dengan aturan dalam bahasa Indonesia.
Bergabungnya dua lafadz menjadi sebuah klausa Al-Ajnichah Al-
Mutakassirah, maka al-Mutakassirah menjadi sifat daripada al-Ajnichah.
Penerjemah dalam hal ini mencari padanan atau sinonim yang memiliki
makna setara dengan lafadz pecah yaitu dengan menggunakan lafadz
patah, merujuk pada fi‟l dari pada mutakassirah. Penerjemah dalam hal
ini menggunakan strategi struktural-pengurangan dan strategi semantis-
sinonim untuk dapat menerjemahkan judul novel ini dengan judul Sayap-
Sayap Patah agar lebih luwes.
Prinsip penerjemahan yang dilakukan oleh penerjemah dalam
menerjemahkan judul novel ini adalah prinsip terjemahan yang setia
kepada teks BSa, yaitu penerjemah berusaha menuliskan kembali makna
atau pesan teks BSu di dalam teks BSa dengan kata yang mudah
dimengerti dan struktur yang enak dinikmati. Tidak heran jika
penerjemah dengan berani mengurangi struktur judul aslinya untuk
134
mendapatkan terjemahan yang luwes, sehingga judul akan lebih menarik
minat pembaca.
B.2 Judul dan Jumlah Bab
Judul bab dan jumlah bab juga mempengaruhi tipografi penulisan
serta berpengaruh jika ada pengurangan maupun penambahan. Hal ini
banyak dilakukan oleh penerjemah. Jika hal ini dilakukan, akan
dikhawatrikan terjadinya perubahan jalan cerita maupun peristiwa-
peristiwa dalam cerita jika penerjemah tidak jeli.
Novel al-Ajnichah al-Mutakassirah karya Jubra>n Khali>l Jubra>n
terdiri dari sebelas Bab, diterjemahkan persis sejumlah sebelas bab oleh
penerjemah. Berikut analisis beberapa bab dari sebelas bab yang
memiliki fenomena penerjemahan:
Bab I : [Tauti’ah] ( )
Salma Karamy, kenangan cinta pertama
Lafadz [tauthi’atun] dalam kamus al-Maurid tahun 2006 halaman
237, setara artinya dengan lafadz [muqaddimah] yang artinya
pengenalan atau prakata (Ba>lbaki, 2006: 237).
Penulis tidak menggunakan judul seperti TSu karena judul kurang
menarik dan tidak dapat mewakili isi cerita pada bab ini. Prinsip
penerjemahan yang dilakukan oleh penerjemah dalam menerjemahkan
judul bab I ini adalah prinsip terjemahan yang setia kepada teks BSa,
yaitu penerjemah berusaha menuliskan kembali makna atau pesan teks
135
BSu di dalam teks Bsa dengan kata yang mudah dimengerti dan struktur
yang enak serta berterima.
Adapun strategi penerjemahan yang digunakan oleh penerjemah
yaitu strategi semantis. Strategi semantis yaitu strategi penerjemahann
yang dilakukan dengan pertimbangan makna (Suryawinta, 2003: 70).
Penerjemah dalam menerjemahkan bab ini menggunakan startegi
semantis modulasi. Modulasi adalah strategi penerjemahan frase, klausa,
atau kalimat dengan cara memandang pesan dalam kalimat BSu dari
sudut yang berbeda atau cara berpikir berbeda (Newmark dalam
Suryawinata, 2003: 75).
Penerjemah menerjemahkan judul bab ini dengan judul „Salma
Karamay, Kenangan Cinta Pertama‟ karena pada bab pertama ini berisi
perkenalan tentang kisah cinta tokoh aku dengan Salma yang berakhir
tragis. Bab ini merupakan bagian yang menunjukkan masa sekarang,
Masa di mana Salma Karamah telah meninggal. Hal ini dapat dilihat
dalam kutipan-kutipan berikut:
٩٩٩١:٧
Kuntu fi>’ts-tsa>minati ‘asyarata ‘indama> fatahal-chubbu ‘ainiy bi asyi‘atihi’s-sichriyyah, wa lamisa nafsi> li awwali marratin bi asha>bi‘ihi’n-nariyah. Wa kuntu Salma> Kara>mahu a’l-mar’atu li awali>’l-lati> aiqazhat ru>chi> bi mucha>siniha>.
Usiaku delapan belas tahun ketika cinta membuka mataku, dengan
cahayanya yang mempesona. Untuk pertama kalinya cinta
mengguncang jiwaku dengan jari-jarinya yang membara. Salma
136
Karamah adalah wanita pertama yang membangkitkan jiwaku dengan
kecantikannya.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa alasan
penerjemah memberi judul pada bab ini Salma Karamy, kenangan cinta
pertama karena, pertama Salma adalah cinta pertama tokoh aku. Kutipan
yang menunjukkan yaitu „Salma Karamah adalah wanita pertama yang
membangkitkan jiwaku dengan kecantikannya‟. Alasan kedua, adalah
dengan meninggalnya Salma menjadikan cinta pertama tokoh aku menjadi
sebuah kenangan. Berikut kutipan yang dapat memperkuat alasan kedua
tersebut:
... ٩-٩٩٩١:٨
Qad marratal-a‘wa>mul-muzhalimatu tha>misatan bi aqda>miha> rusu>ma tilkal-ayya>ma, lam yabqa li> dzalikal-chilmul-jami>lu siwa> tadzakka>ra>tin mu>ja‘atin tarafrafa ka>l-ajnichah ghairil-manzhu>rah chaula ra’si> mutsi>ratan tanahada>til-asa> fi> a‘ma>qi shadri> mustaqthiratun dumu>‘al-ya’si wal-asafi min ajfa>ni> .. wa Salma> - Salma> a’l-jami>latul-‘adzibah qad dzahabat ila> ma> wara>’a’sy-syafaqil-azraqi.
Beberapa tahun telah berlalu, tiada lagi yang tersisa dari mimpi-mimpi
yang indah itu, kecuali kenangan menyakitkan yang berayun-ayun di
sekililingku laksana sayap. Kenangan itu menggoreskan kesedihan,
membuat air mataku tertumpah. Salma yang cantik jelita kini sudah
tiada, kenangan akan dirinyapun ikut sirna.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa kutipan yang
menunjukkan Salma telah meninggal yaitu „Salma yang cantik jelita kini
sudah tiada‟.
137
Bab II : [Al-kaa>bah al-Kharasa>’] ( )
Duka hati dalam kebisuan
Lafadz [al-Kaa>bah] dalam kamus al-Maurid tahun 2006 halaman
740 memiliki arti duka cita; kedukaan; depresi; kemuraman;
kemurungan jiwa. Adapun lafadz [kharasa>’un] adalah bentuk jamak,
sedangkan bentuk tunggalnya adalah [kharasun] artinya setara
dengan lafadz [bakamun] yaitu kebisuan; tidak dapat bicara
(Ba>lbaki, 2006: 327).
Penerjemah menerjemahkan judul bab kedua dengan judul „Duka
Hati dalam Kebisuan‟, penerjemah menggunakan prinsip penerjemahan
setia kepada BSa. Penerjemah ingin menjadikan terjemahannya terasa
luwes dan berterima, sehingga penerjemah menggunakan strategi
semantis-analisis komponensial atau componential analysis. Adapun
analisis komponen (Suryawinata, 2003: 73) adalah sebuah kata dari BSu
diterjemahkan ke dalam BSa dengan cara merinci komponen-komponen
makna kata BSu tersebut.
Secara harfiah memang tidak ada yang menunjukkan bahwa lafadz
[al-Kaa>bat] memiliki arti kedukaan hati. Namun secara leksikal lafadz
kedukaan memiliki makna perasaan sedih yang dirasakan oleh hati,
dengan demikian dapat diartikan bahwa kedukaan memiliki komponen
perasaan sedih, rasa sedih yang dirasakan oleh hati, rasa duka.
Sebagaimana dalam Kamus Tesaurus Bahasa Indonesia (KTBI) lafadz
138
duka cita memiliki makna yang sama dengan lafadz belasungkawa;
kesedihan;kesusahan~hati (Endarmoko, 2006: 163).
Berdasarkan analisis di atas apat disimpulkan bahwa terjemahan
judul „Duka Hati dalam Kebisuan‟ akan lebih komunikatif dan berterima
daripada diterjemahkan dengan judul „Kedukaan dalam Kebisuan‟.
Bab V : [Asy-syu‘latul-baidha>’u] ( )
Lentera putih
Lafadz [syu‘latun] dalam kamus al-Maurid halaman 514 memiliki
arti obor, lidah api, nyala api, api. Adapun lafadz [baidha>’un] dalam
kamus al-Munawwir berarti yang putih (Munawwir, 2002: 124).
Penerjemah menerjemahkan judul pada bab ini dengan judul
„Lentera Putih‟, penerjemah menyamakan arti obor dengan lafadz
lentera. Adapun lafadz lentera dalam KBBI (2007: 662), memiliki makna
lampu kecil bertutup kaca. Lafadz „lentera‟ dalam KTBI (2006: 376),
memiliki makna yang sama dengan corong; cublik (jw); dian; dila (ark);
kandil; misbah (Ar); pelita; lampion; tanglung (Cn); lampu (dng
minyak); ting.
Penerjemah menghadirkan lafadz lentera karena lafadz ini merupakan
sinonim dari arti harfiah dari lafadz [syu‘latun]. Penerjemah dalam hal ini
menggunakan strategi semantis-sinonim, yaitu penerjemah mempertimbangkan
makna dalam terjemahannya dengan menggunakan sinonim yang memiliki
makna sama.
139
Bab VII : [Buchairatu’n-na>ri] ( )
Sungai-sungai api.
Lafadz [buchairatun] dalam kamus al-Munawwir memiliki arti
danau (Munawwir, 2002: 60). Adapun lafadz [na>run] memiliki arti api
(Ba>lbaki, 2006: 972).
Penerjemah menerjemahkan judul bab ketujuh dengan judul
“Sungai-Sungai Api‟. Penerjemah melakukan penerjemahan dengan
menggunakan strategi semantis dengan menghadirkan padanan budaya
atau cultural equivalent dalam menerjemahkan judul bab ketujuh. Adapun
lafadz yang diterjemahkan secara semantis cultural equivalent yaitu lafadz
[buchairatun] yang secara harfiah berarti danau, telaga, atau kolam.
Hal tersebut artinya bahwa lafadz [buchairatun] memiliki makna
suatu tempat di mana terletak air yang memiliki sifat menggenang atau
tidak mengalir, sedangkan penerjemah mengganti atau menerjemahkan
dengan kata sungai, yang mana sungai memiliki sifat mengalir. Secara
budaya di Timur Tengah lebih mengenal danau daripada sungai. Di Timur
Tengah akan lebih mudah menemukan danau daripada sungai, sedangkan
di Indonesia sebaliknya. Di Timur Tengah mengibaratkan orang yang terus
menerus mendapatkan penderitaan adalah bagaikan terjebak di sebuah
danau, kemanapun ia pergi akan basah, kemanapun ia pergi hanya
menemukan penderitaan. Adapun di Indonesia mengibaratkan seperti
orang yang berada di sungai, ia akan terus menerus dialiri (diterjang) air
140
meskipun ia bertahan. Meskipun ia bertahan akan terus didatangi
penderitaan.
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa
penerjemah menggunakan strategi tersebut karena dirasa bahwa kata
sungai lebih berterima dan dapat mewakili isi cerita yang ada di dalam bab
ketujuh. Bergabungnya lafadz [buchairatun] dengan lafadz [na>run] yang
diartikan sungai-sungai api memiliki makna bahwa pada bab ini
menceritakan tentang penderitaan tokoh-tokoh protagonis yaitu Faris
Affandy, Salma Karamah dan tokoh aku terjadi secara terus menerus di
dalam hidupnya. Penderitaan yang dialami para tokoh ini tidak ada
habisnya kecuali kematian datang. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan
berikut:
٩٩٩١:٤٤
‘Indama> thalabal-Mathra>nu Bu>lisa yada Salma> min wa>lidiha> lam yajibhu dzalika’sy-syaikhu bi ghairi’s-suku>til-‘ami>qi wa>’d-dumu>‘i’s-sakhi>nah.
Ketika pendeta meminta persetujuan Faris Affandy Karamah untuk
menyandingkan Salma dengan kemenakannya, jawaban yang dia
terima hanyalah diam yang bisu dan linangan air mata.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa kutipan di atas
mengungkapkan kesedihan yang dirasakan oleh Faris Affandy ketika
Pendeta Ghalib meminta Salma Karamah untuk disandingkan dengan
kemenekan pendeta, Manshur Bek Ghalib.
141
٩٩٩١:٤٤
Tilkal-ayya>mu madhat ka>l-asyba>chi wa>dhmachalat ka>l-dhuba>bi wa lam yabqa li> minha> siwa>’dz-dzikra>l-ali>mah, fal-‘ainu’l-lati> kuntu ara> biha> jama>lu’r-rabi>‘i wa yaqzhatal-chuqu>li lam ta‘ud tachdiqu ila> ghairi ghadhabal-‘awa>shifi waya’si’sy-syita>’i. Wal-udzunu’l-lati> kuntu asma‘u biha> a‘niyatal-amwa>ji lam ta‘ud tashgha> li gairi annahul-a‘ma>qu wa ‘awi>lil-ha>wiyah. Wa’n-nafsu’l-lati> ka>nat taqifu muhi>batan ama>ma nasya>thi’b-basyari wa majdil-‘umra>ni lam ta‘ud tasy‘uru bi ghairi syaqa>’il-faqri wa ta‘a>sati’s-sa>qithi>na. Fama> achla> aya>mul-chubbi wa ma> a‘dzaba achla>miha> wa ma> amarra laya>li>l-chuzni wa ma> aktsara mukha>wafiha>! Hari-hari berlalu seperti bayang-bayang dan sirna seperti awan. Tak
ada yang tersisa bagiku kecuali kenangan yang menyedihkan. Kedua
mata yang dulunya kupergunakan untuk melihat indahnya musim semi
dan kesyahduan alam, kini tak mampu lagi melihat apapun kecuali
badai yang mencekam, dan musim dingin yang muram. Telingga yang
dulunya biasa mendengar desau angin, kini hanya mampu mendengar
ombak lautan menghantam karang. Jiwa yang dulu gembira
memperhatikan keramaian manusia dan pesona alam semesta, kini
hanya dapat merasakan pedihnya kemiskinan dan kegagalan. Tiada
yang lebih indah ketimbang hari-hari yang dihiasi oleh cinta. Dan
tiada yang lebih menyakitkan ketimbang malam yang mencekam.
Kutipan di atas merupakan penderitaan yang disebabkan karena
kesedihan yang dialami oleh tokoh aku. Sejak Pendeta Ghalib meminta
Salma dari ayahnya, kesedihan menyelimuti kehidupan tokoh aku.
٩٩٩١:٠٥
Ana> mitslu ‘umya>’in tatalammasu bi yadiha>l-judra>na mukha>fata’s-suqu>thi. Ana> ja>riyatun anzalaniy ma>lu wa>lidiy ila> sa >chati’n-nakha>si >na fa>bta>‘ani> rajulun min baina’r-rija>li.
142
Aku seperti orang buta yang berjalan dengan meraba-raba agar
tidak terjatuh. Kekayaan menempatakanku sebagai budak yang
dijual di pasar dan orang membeliku dengan uangnya.
Kutipan di atas menunjukkan kesedihan yang dialami Salma.
Kekayaan ayahnya justru menjadikan dirinya menjadi budak yang
diperjual-belikan di pasar. Kekayaan ayahnya membawa penderitaan
baginya. Setelah mendengar permintaan Pendeta Ghalib, Salma dalam
menjalani hidupnya seperti orang buta.
Bab XI : [Munqidzu] ( )
Sang juru selamat
Lafadz [munqidzun] dalam kamus al-Maurid memiliki arti
penyelamat, penghemat, pengantar (Ba>lbaki, 2006: 953).
Penerjemah menerjemahkan judul bab kesebelas atau bab terakhir
dengan judul „Sang Juru Selamat‟ yang maknanya setara dengan kata
penyelamat. Penerjemah menggunakan strategi semantis-perluasan
dengan menambahkan klausa „Sang Juru‟. Hal ini dilakukan penerjemah
karena penerjemah ingin menegaskan makna yang terkandung dalam bab
ini, bahwasanya bayi yang dilahirkan Salma adalah satu-satunya orang
yang dapat menyelamatkan Salma dari kungkungan atau dari sangkar
yang mengurung dan menyiksanya selama ia menikah dengan Manshur
Bek. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut:
٩٩٩١:٩٥٩
143
Ka>na thifluha> qad ja>’a liya’khudzaha> wa yanqadzaha> min mazha>limi zaujiha> wa qasa>watihi.
Sepertinya anak itu datang untuk mengambil ibunya dan
menyelamatkannya dari kezaliman dan kekejaman suaminya (Gibran,
2010: 114).
B.3 Jumlah Tokoh
Penerjemah menghadirkan lengkap semua tokoh yang ada di TSu
ke dalam terjemahannya. Penerjemah tidak menghilangkan satupun
tokoh yang ada di dalam novel dan menghadirkan sesuai dengan karakter
dan kedudukannya masing-masing seperti yang ada di dalam TSu, namun
terdapat fenomena penerjemahan yaitu penerjemah menerjemahkan nama
marga Karamah menjadi Karamy.
Hal ini merupakan strategi penerjemahan yang dilakukan
penerjemah, strategi ini disebut dengan strategi semantis-pungutan atau
borrowing. Pungutan adalah strategi penerjemahan yang membawa kata
BSu dalam teks BSa (Suryawinata, 2003: 70). Penerjemah sekedar
memungut kata BSu kemudian menaturalisasi kata tersebut secara
ucapan atau bunyinya, kemudian ucapan ataupun bunyinya disesuaikan
dengan aturan BSa. Kasus pungutan yang ada di dalam novel tersebut
adalah pungutan-naturalisasi tulisan yaitu kata Karamah menjadi
Karamy.
B.4 Latar Waktu dan Tempat
Penerjemah menghadirkan keseluruhan latar waktu dan tempat
yang ada di dalam TS secara lengkap pada terjemahannya. Latar waktu
dan tempat juga diterjemahkan secara detail dan tidak lepas dari
144
kesesuaian dengan TSu. Fenomena terjemahan yang ada di dalam latar
waktu yaitu ketika penerjemah menerjemahkan latar waktu bulan
Haziran. Penerjemah menggunakan strategi semantis-penambahan, di
mana penerjemah ingin memperjelas makna lafadz „Haziran‟. Di sini
penerjemah memasukkan informasi tambahan di dalam teks terjemahan
karena pembaca memang memerlukannya. Penerjemah meletakkan
informasi tersebut di badan teks yaitu menggunakan tanda kurung buka-
tutup. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut:
٩٩٩١:٨٤
Fafi> yaumin min awa>khiri chazi>ra>nu wa qad tsaqulat wath’atu’ch-chari fi>’s-sawa>chili wa thalaba’n-na>su a‘a>liyal-jiba>li, sirtu ka-‘a>dati> nahwa dzalikal-ma‘badi wa>‘ida>n nafsi> bi liqa>’i Salma> Kara>mahu.
Pada suatu hari di akhir bula Haziran (Juni), saat orang-orang
meninggalkan kota menuju pegunungan untuk menghindari sengatan
musim panas, seperti biasa aku pergi ke kuil untuk bertemu Salma
(Gibran, 2010: 95).
Penerjemah menggunakan strategi lain yaitu strategi semantis-
padanan budaya atau equivalent cultural. Di mana orang Indonesia
tidak mengenal bulan Haziran, namun orang Indonesia lebih mengenal
dengan nama bulan Juni. Sebagaimana yang tercantum di dalam
kamus al-Maurid halaman 292 lafadz [Chazi>ra>n] memiliki arti
yang sama dengan lafadz [yu>nyu>] yang artinya bulan Juni.
145
C. TANGGAPAN PENELITI
Pembaca peneliti akan menanggapi sebagaimana permasalahan yang
telah dirumuskan yaitu mengenai tradisi perjodohan dan pernikahan yang ada
di dalam novel. Tradisi perjodohan dan pernikahan yang terdapat di dalam
novel al-Ajnichah al-Mutakassirah karya Jubra>n Khali>l Jubra>n adalah
pernikahan yang dilandasi oleh perjodohan. Pernikahan yang tidak ada rasa
kasih dan sayang. Pernikahan yang tidak dilandasi oleh cinta yang hakiki.
Pernikahan yang hanya mementingkan salah satu pihak. Sebuah pernikahan
yang mengejar harta dan kewibawaan. Sebuah pernikahan yang tujuannya
adalah menjadikan kaya, terpandang, dan berwibawa secara instan. Begitulah
tradisi dan „tatanan‟ agama yang tumbuh dan berkembang di negeri yang
masyarakatnya taat beragama. Mereka tunduk dan patuh pada pemuka agama,
dalam hal ini adalah pendeta. Mereka menganggap dan memandang perbuatan
salah seorang pendeta adalah sebagai kebenaran. Mereka menganggap dan
tetap memandang kejahatan pendeta adalah kebaikan.
Hal ini selaras dengan apa yang dipaparkan oleh narasumber dalam
penelitian ini, bahwa kehidupan pendeta di Lebanon hingga sekarang ini tetap
seperti itu. Adapun seorang pendeta dalam agama Kristen mempunyai
kekuasan penuh dalam pengajaran terhadap jemaatnya. Hal ini diturunkan
secara terus menerus, bahwa pemuka agama di Timur Tengah merujuk pada
faham zudaisme atau faham orang Yahudi. Namun, hal ini berbeda ketika
ajaran Kristen masuk ke Indonesia. Ajaran Kristen di Indonesia merujuk pada
al-Kitab, sedangkan ajaran Kristen di Timur Tengah merujuk pada budaya.
146
Kaitannya dengan permasalahan yang terjadi dalam novel, kenapa seorang
pendeta dapat berbuat seperti itu karena seorang pemuka agama sebagai wakil
Allah memiliki sifat kemanusiaan yang bisa jadi melakukan perbuatan salah.
Peneliti tidak setuju mengenai perjodohan yang ada di dalam novel al-
Ajnichah al-Mutakassirah karena perjodohan yang baik bukanlah perjodohan
yang didasarkan pada keterpaksaan dan tujuan yang tidak benar. Perjodohan
yang baik ialah kedua belah pihak yang menjodohkan harus bijaksana untuk
memberikan keputusan perjodohan ditangan kedua pihak yang dijodohkan.
Kehidupan pernikahan dijalani oleh kedua pihak yang dicalonkan bukan yang
mencalonkan, oleh karenanya lebih baik kedua pihak yang dicalonkan yang
mengambil keputusan atas sebuah perjodohan.
Perjodohan di dalam novel al-Ajnichah al-Mutakassirah memiliki
unsur materialistis. Materialistis adalah bersifat kebendaan, sedangkan
materialis adalah orang yang mementingkan kebendaan seperti harta, uang
dsb. Faktor materialistis memiliki pengaruh yang kuat dalam keputusan
pernikahan. Pertalian nikah adalah pertalian yang seteguh-teguhnya dalam
hubungan, maka materialis guna memandang dan menjamin masa depan
dalam kehidupan pernikahan menjadi hal wajar. Materialistis dalam novel al-
Ajnichah al-Mutakassirah sudah melampau batas kewajaran, apalagi yang
melakukan atau memandang materialistis adalah seorang laki-laki. Laki-laki
pada dasaranya adalah orang yang bertanggungjawab atas terjaminnya masa
depan istri dan anak-anaknya, bukan istri atau kekayaan dari sang istri yang
menjamin masa depan suami dan anak-anaknya. Peneliti menyimpulkan
147
bahwa materialistis dalam pernikahan adalah hal yang syah jika dilakukan
oleh perempuan secara sewajarnya. Materealistis akan menjadi hal yang tidak
pantas dilakukan dalam pernikahan jika dilakukan oleh seorang laki-laki.
Tanggapan peneliti dalam penelitian ini selanjutnya membahas
permasalahan yang ada di dalam novel untuk memperoleh solusi dari rumusan
masalah ketiga. Penulis akan melihat fenomena pernikahan yang ada di dalam
novel al-Ajnichah al-Mutakassirah karya Jubra>n Khali>l Jubra>n dari dua sudut
pandang. Sudut pandang yang pertama adalah dari sudut pandang agama
Kristen, karena latar cerita yang digunakan dalam novel ini adalah latar agama
Kristen. Adapun yang kedua akan melihat permasalahan yang ada dari sudut
pandang agama Islam. Penulis memasukkan sudut pandang agama Islam
dengan tujuan membuktikan bahwa pernikahan baik di agama Kristen maupun
Islam memiliki tujuan uatama yang sama yaitu untuk membentuk keluarga
bahagia. Keluarga bahagia dalam Islam dikenal dengan konsep keluarga
Sakinah.
Peneliti akan melihat pernikahan dari kedua sudut pandang melalui
beberapa aspek berikut ini:
C.1 Prinsip, Dasar dan Tujuan Pernikahan
Awal dari kehidupan berkeluarga adalah dengan melaksanakan
perkawinan sesuai dengan ketentuan agama dan peraturan perundangan
yang berlaku.
Pernikahan adalah suatu ikatan janji setia antara suami dan istri
yang di dalamnya terdapat suatu tanggung jawab dari kedua belah pihak.
148
Janji setia yang terucap merupakan sesuatu yang tidak mudah untuk
diucapkan. Perlu suatu keberanian besar bagi seseorang ketika
memutuskan untuk menikah. Pernikahan yang dilandasai rasa saling cinta,
kasih sayang, menghormati, pengorbanan merupakan suatu anugerah bagi
setiap insan di dunia ini. Oleh karena itu, penting bagi setiap manusia
memahami hal-hal yang terikat dengan pernikahan (Fatchiah, 2009: 13).
Berikut penulis akan membahas perihal pernikahan dari dua sudut
pandang agama yang berbeda:
i. Prinsip Pernikahan
Prinsip adalah kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir
dan bertindak. Adapun prinsip pernikahan adalah dasar berpikir
seseorang yang menentukan dirinya untuk menikah atau tidak.
a. Prinsip Pernikahan Agama Kristen
Prinsip pernikahan di dalam agama Kristen adalah merujuk
pada al-Kitab, yaitu memandang pernikahan dari dua hal. Pertama,
pernikahan itu memahami al-Kitab. Hal yang dimaksud dengan
memahami al-Kitab di sini bukan hanya pengetahuan otak, melainkan
suatu iman yang hidup, keyakinan yang sungguh bahwa al-Kitab
adalah firman Allah untuk setiap manusia. Ia sendiri juga harus hidup
sesuai firman Allah dan yakin bahwa tanpa al-Kitab sebagai pedoman
hidup, hidupnya tidak akan berbahagia, berkelimpahan (meskipun
tentunya bukan dengan materi), dan penuh (fulfilled) (Jonathan, 2013:
2).
149
Prinsip yang kedua adalah memelihara keluarga. Seperti yang
dikatakan Jonathan dalam bukunya Two Become One (2013: 3),
bahwa pemeliharaan keluarga juga merupakan suatu prinsip bagi
seorang Kristen: ia bertanggungjawab untuk kehidupan keluarga dan
sanak saudaranya.
Berdasarkan dua penjelasan di atas maka dapat dilihat dalam
al-Kitab surat Kejadian pasal 2, di Taman Eden Allah melihat sesuatu
yang tidak baik dan mengatakan, “Tidak baik, kalau manusia itu
seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang
sepadan dengan dia” (Kej. [2]: 18). Ketidakbaikan itu karena
manusia masih seorang diri saja (Jonathan, 2013: 75).
Tentu ayat tersebut tidak dapat digunakan untuk membuktikan
bahwa keadaan menikah lebih mulia daripada keadaan tidak menikah.
Sebaliknya, pernyataan Rasul Paulus dalam surat (1 Korintus [7]: 7),
(Namun demikian alangkah baiknya, kalau semua orang seperti aku:
tetapi setiap orang menerima dari Allah karunianya yang khas, yang
seorang karunia ini, yang lain karunia itu) juga tidak dapat
digunakan untuk membuktikan bahwa keadaan tidak menikah lebih
mulia daripada menikah (Jonathan, 2013: 75-76).
Maksud dari dua kutipan di atas bahwa Allah telah
menciptakan seorang penolong yang sepadan dengan manusia, agar
manusia itu hidup tidak sendiri. Artinya bahwa Allah telah
menciptakan manusia secara berpasang-pasangan. Akan tetapi Paulus
150
menyatakan hal yang berbeda, bahwa setiap orang memiliki karunia
dari Allah yang berbeda-beda, maksudnya adalah ada manusia yang
memang dikaruniai teman hidup ada yang tidak dikaruniai. Hal ini
terkait dengan keadaan bahwa menikah ataupun tidak menikah, tidak
menentukan kemuliaan yang lebih di antara keduanya.
Jonathan mengemukakan dalam bukunya Two Become One
(2013: 76), bahwa untuk menghadapi setiap situasi hidup, seseorang
memerlukan anugerah Allah. Supaya dapat hidup melajang dengan
baik seseorang memerlukan anugerah Allah; demikian pula, untuk
dapat hidup dalam pernikahan dengan baik. Ada orang yang memang
tidak mampu melajang seumur hidup, sehingga ia menikah;
sebaliknya, ada orang yang memang sebaiknya tidak menikah, karena
ia tidak mampu hidup dalam pernikahan dengan baik (misalnya orang
yang cenderung menyebabkan penderitaan pada pasangannya dan
merusak anak-anaknya).
Berdasarkan penjelasan tersebut bahwa hal-hal tersebut di atas
yang menjadi prinsip seorang Kristen memilih untuk menikah
ataupun tidak. Sebagaimana orang yang memilih menikah meyakini
suurat (Kejadian [2]: 18) bahwa Allah sendiri yang mebawa Hawa
kepada Adam. Jadi, dengan iman seorang Kristen dapat berkata
bahwa Allah yang akan mempertemukan seorang penolong yang
tepat.
151
Kaitannya dengan jodoh sebagaimana Kristen mengenal
konsep, Allah adalah agape (surat Yohanes [4]: 8). Jonathan
menjelaskan konsep agape dalam bukunya (2013: 18), Agape berasal
dari Allah. Kata ini digunakan untuk menggambarkan kasih Allah
kepada manusia.
Allah dalam hal ini menghendaki, merencanakan, dan
melakukan hal baik bagi umatnya, kekasih-Nya, termasuk dalam hal
teman hidup. Allah akan memberikan pasangan yang baik dan tepat
bagi umatnya. Hanya dalam hal ini seseorang perlu menyadari bahwa
yang baik baginya, “bukan” berarti cantik, ganteng, kaya, sudah
mantap kariernya, memiliki kerohanian yang tinggi, sangat dewasa,
paling sabar atau paling memahami, dan sebagainya (Jonathan, 2013:
77).
Firman Allah dalam surat (Kejadian [2]: 18) Allah
menjanjikan seorang penolong yang sepadan. Hawa diciptakan Allah
untuk menjadi penolong Adam, bukan untuk menyainginya
menekannya, mengalahkannya, atau menindasnya. Namun, sepadan
tidak berarti sama. Jelas seorang pria tidak sama dengan seorang
wanita dalam banyak hal (Jonathan, 2013: 78).
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas dapat disimpulkan
bahwa dalam pernikahan Kristen, perihal jodoh diserahkan kepada
Allah. Seseorang yang memilih jalannya untuk menikah, hanya perlu
menerima seorang penolong baginya yang diberikan oleh Allah,
152
karena Allah telah menjanjikan seorang penolong yang sepadan bagi
umatnya. Kesepadanan dalam hal ini adalah kesetaraan antara laki-
laki dan perempuan, tidak ada kelemahan di antara laki-laki dan
perempuan. Prinsip pernikahan dalam agama Kristen kuat dalam al-
Kitab, karena di dalamnya diatur segala hal terkait pernikahan. Bagi
orang Kristen firman Allah adalah makanan, dan do‟a adalah nafas
hidup.
b. Prinsip Pernikahan Agama Islam
Prinsip pernikahan dalam agama Islam dapat ditinjau kembali
pada definisi pernikahan menurut Daryono dalam artikelnya tentang
pernikahan. Pernikahan adalah akad yang menghalalkan pergaulan,
membatasi hak dan kewajiban serta tolong menolong antara seorang
laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahram. Mahram
adalah orang yaitu laki-laki dan perempuan, yang masih termasuk
sanak saudara dekat karena keturunan, sesusuan, atau hubungan
perkawinan sehingga tidak boleh menikah di antara keduanya (KBBI,
2007: 697), mahram memiliki arti yang sama dengan kata muhrim.
Adapun seorang laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya,
akan menjadi muhrimnya dengan cara menikah.
Nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama
dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu
bukan saja merupakan satu jalan yang amat mulia untuk mengatur
kehidupan rumah tangga, keturunan, tetapi juga dapat dipandang
153
sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara suatu kaum dengan
kaum lainnya, dan perkenalan itu akan menjadi jalan untuk
menyampaikan pertolongan antara satu dengan yang lainnya
(Daryono, 2015: 1).
Menurut Abdul Ghani (dalam Riyadi, 2013: 57) menjelaskan
bahwa perkawinan adalah pertemuan yang teratur antara pria dan
wanita di bawah satu atap untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
tertentu baik yang bersifat biologis, khusus, psikologis, sosial,
ekonomi, maupun budaya bagi masing-masing, baik keduanya secara
bersama-sama, dan bagi masyarakat di mana mereka hidup serta bagi
kemanusiaan secara keseluruhan.
Sementara menurut Riyadi sendiri dalam bukunya Bimbingan
Konseling Pernikahan (2013: 57) menyimpulkan bahwa perkawinan
adalah akad yang disepakati oleh kedua belah pihak yaitu antara
seorang pria dan seorang wanita untuk sama-sama mengikat diri,
bersama dan saling kasih mengasihi demi kebaikan keduanya dan
anak-anak mereka sesuai dengan batasan-batasan yang ditentukan
oleh hukum.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa
prinsip menikah dalam Islam adalah menghalalkan pergaulan dan
membatasi hak serta kewajiban dalam hal tolong menolong antara
laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahram dalam satu
ikatan akad yang sama-sama disepakati.
154
Adapun prinsip pernikahan yang ada di dalam novel al-
Ajnichah al-Mutakassirah karya Jubra>n Khali>l Jubra>n adalah Pendeta
Ghalib menikahkan Manshur Bek karena dengan menikah masa
depan Manshur Bek akan jauh lebih baik. Manshur Bek menyetujui
menikah dengan Salma Karamah karena Salma adalah anak tunggal
dan ayahnya adalah seorang kaya raya di Beirut. Adapun ayah Salma,
Faris Affandy sendiri menyetujui permintaan Pendeta Ghalib dengan
terpaksa, ia bahkan merasa keadaan setelah putrinya menikah dengan
Manshur Bek nanti tidak akan menjadi lebih baik. Salma sendiri
menyetujui pernikahan tersebut karena sebagai bentuk pengabdian
dirinya kepada sang ayah.
Secara sosial, prinsip menikah ini sudah ada di dalam diri
masing-masing orang. Mayoritas seseorang memegang faham
pernikahan, jadi mereka memilih menikah. Adapun alasan yang sangat
kuat kenapa seseorang memilih untuk menikah adalah untuk
menghindari perzinaan. Dalam sebuah masyarakat tidak sedikit orang
yang tidak memegang faham pernikahan. Orang-orang yang tidak
memegang faham pernikahan akan dengan mudah terjerumus ke
dalam tindak perzinaan. Tindak perzinaan dalam lingkungan sosial
beragam bentuknya. Ada orang yang memilih untuk menikmati sex
tanpa ada ikatan pernikahan. Ada dari golongan laki-laki yang
memilih untuk menjadi gay. Hal tersebut dikarenakan dirinya merasa
bahwa baik perempuan ataupun pernikahan sama-sama tidak membuat
155
dirinya lebih baik, sehingga ia memilih untuk berpasangan dengan
sesama jenisnya. Alasannya cukup sederhana, bahwa hal tersebut yang
membuat dirinya merasa keadaannya lebih baik dibandingkan jika
seseorang tersebut harus menikah dengan seorang perempuan ataupun
jika harus melajang.
ii. Dasar Pernikahan
Dasar adalah alas, fundamental, pokok atau pangkal suatu
pendapat atau ajaran dan aturan. Maka dasar pernikahan adalah ajaran
yang menjadi pangkal seseorang untuk melaksanakan sebuah
pernikahan.
a. Dasar Pernikahan Kristen
Berdasarkan hasil interview dengan narasumber yang
merupakan seorang tokoh masyarakat agama Kristen salah satu gereja
di Solo mengatakan bahwa dasar pernikahan agama Kristen ada dua.
Kedua dasar tersebut tercantum di dalam al-Kitab, pertama yaitu surat
(Kejadian [2]: 18), “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja.
Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia”.
Hal ini artinya bahwa manusia tidak baik jika sendirian, maka Allah
akan menjadikan, menciptakan, mendatangkan seorang penolong yang
sepadan sebagai teman hidupnya.
Pendapat tersebut diperkuat dengan buku yang ditulis oleh
Abineno berjudul „Buku Katekisasi Sidi Nikah, Peneguhan dan
Pemberkatannya‟ (2009: 10-11) bahwa tidak baik kalau manusia
156
seorang diri saja (surat Kejadian [2]:18), karena manusia – seperti
yang nyata dari surat (Kejadian [1]:27) – tidak diciptakan seorang diri
saja sebagai makhluk yang tunggal, tetapi sebagai “laki-laki dan
perempuan”. Penciptaan Allah membutuhkan laki-laki dan
perempuan. Bukan laki-laki saja, dan bukan perempuan saja. Tetapi
kedua-duanya: laki-laki dan perempuan.
Allah dalam firmannya mengatakan bahwa Allah akan
menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia. Adapun
yang dimaksudkan di sini dengan „penolong yang sepadan dengan dia‟
(surat Kejadian [2]: 18) ialah bukan pembantu – misalnya seperti
pembantu rumah tangganya – tetapi kawan hidup, partner, yang tidak
sama benar dengan laki-laki, tetapi yang diciptakan begitu rupa,
sehingga keduanya merupakan manusia yang lengkap, manusia yang
komplit.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari penjelasan di atas bahwa
dasar pernikahan yang pertama berdasar surat (Kejadian [2]: 18),
perempuan atau istri adalah kawan hidup, partner dari laki-laki atau
suami. Adapun laki-laki atau suami adalah kawan hidup, partner dari
perempuan atau istri. Maksud Allah dengan hubungan ini ialah supaya
mereka saling melayani, saling membantu dan saling melengkapi.
Dasar yang kedua, yaitu berdasarkan surat (Kejadian [2]: 24).
Allah berfirman „Karena itu laki-laki harus meninggalkan ayahnya
dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi
157
satu daging‟ (surat Kejadian [2]: 24). Di mana pasal ini merupakan
kelanjutan dari pasal sebelumnya yaitu dalam surat (Kejadian [2]: 23)
Allah berfirman „Lalu berkatalah manusia itu: “Inilah dia, tulang
dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan,
sebab ia diambil dari laki-laki”. Maksudnya adalah ketika seorang
laki-laki telah menemukan penolongnya yaitu seorang perempuan
yang diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, maka seorang laki-laki
tersebut akan meninggalkan ayah dan ibunya untuk bersatu dengan
istrinya dalam satu ikatan pernikahan.
b. Dasar Pernikahan Islam
Dasar perkawinan menurut Islam tercantum di dalam al-
Qur‟an:
Wa ankichu>l-ayama> minkum wa’sh-shalichi>na min ‘iba>dikum wa ima>’ikum, inna yaku>nu> faqara>’a yughnihimu’llahu min fadhilihi wa’llahu wasi’un ‘alaikumun (An-Nu>r: 32).
32. dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara
kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-
hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang
perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan
mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-
Nya) lagi Maha mengetahui (Qs. An-Nu>r, [24]: 32).
Ditinjau dari sudut pandang Islam, Rasullullah bersabda:
158
Tunkachul-mar’atu li arba‘i li ma>liha> wa li chasabiha> wa jama>liha> wa li di>niha> fa>zhafaru bidza>ti’l-ladzi>na tarabtu yada>ka. (ruwa>hul-bukha>ri wa muslim).
Dikawini wanita itu karena empat hal: pertama, karena hartanya.
Kedua, karena kebangsawanannya atau kemuliannya. Ketiga,
karena kecantikannya. Keempat, karena agamanya. Maka pilihlah
karena agamanya, akan beruntunglah kamu (HR. Bukha>ri> -
Muslim).
Penulis berpendapat bahwa semua perkawinan akan
berlandaskan pada empat hal seperti yang terdapat dalam sabda Nabi di
atas. Terlepas dari orang yang akan menikah tersebut beragama Islam
ataupun bukan, terlepas dari bahwa orang tersebut mengetahui sabda
Nabi di atas atau tidak. Di dalam kehidupan manusia sudah terbentuk
pola pikir bahwa menikah itu karena empat hal seperti yang
dikemukakan dalam sabda nabi di atas, hanya saja di setiap masyarakat
memiliki konsep, sebutan atau nama yang berbeda untuk menyebut
keempat hal tersebut. Adapun contoh orang Jawa, bahwa orang Jawa
ketika hendak menikah akan melihat dan menentukan calon dari bibit,
bebet, dan bobot-nya. Orang jawa memang telah memformulakan
konsep tersebut dalam bentuk yang dapat dipahami oleh seluruh
lapisan masyarakat manapun.
Permasalahan dalm novel al-Ajnichah al-Mutakassirah karya
Jubra>n Khali>l Jubra>n, Pendeta Ghalib menikahkan kemenakannya
Manshur Bek Ghalib dengan Salma Karamah berdasarkan dua poin
yang terdapat dalam sabda Rasul di atas. Manshur Bek bersedia
menikahi Salma karena harta yang dimiliki ayah Salma, Faris Affandy
159
Karamah. Pernikahan tersebut akan membuat masa depan Manshur
Bek terjamin dan menjadi orang kaya, terhormat, dan menjadi orang
penting di kalangan bangsawan. Hal ini dapat dilihat dari kutipan
berikut:
٩٩٩١:٤٤
Wa qad ichta>raha>l-Mathra>nu zaujatan li ibni akhi>hi, la> li jama>li wajhiha> wa naba>lih ru>chiha> bal li annaha> ghaniyyatun mu>saratun takfulu bi amwa>liha>’th-tha>’ilah mustaqbalu Manshuru Bika wa tusa>‘iduhu bi amla>kiha>l-wa>si‘ah ‘ala> i>ja>di maqa>mi rafi>‘in bainal-kha>shati wal-asra>fi.
Sang pendeta memilih Salma bukan karena kecantikan dan
jiwanya yang bersih. Tetapi dengan menjadikan Salma sebagai istri
kemenakannya, maka masa depan Manshur Bek akan terjamin
dengan harta yang berlimpah. Harta itu pula yang akan mengangkat
sang kemenakan menjadi orang terhormat dan orang penting di
lingkungan kaum bangsawan.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa dengan
Manshur Bek menikahi Salma, maka secara instan Manshur Bek akan
menjadi orang kaya raya. Masa depan Manshur Bek akan terjamin dengan
harta Salma yang berlimpah. Begitu pula harta tersebut akan menjadikan
Manshur Bek menjadi orang terhormat dan orang penting di lingkungan
kaum bangsawan di Beirut.
Alasan kedua, Manshur Bek bersedia menikahi Salma karena
kebangsawanan Salma, dengan menikahi Salma Karamah maka derajat
Manshur Bek akan terangkat menjadi orang terpandang dan hidup di
lingkungan para hartawan di Beirut. Setelah Manshur Bek menikahi
160
Salma, mereka berpindah rumah di ujung Beirut. Mereka tinggal di
pemukiman orang-orang kaya raya di Lebanon. Hal ini dapat dilihat dari
kutipan berikut:
٩٩٩١:٤١
Wa tazawwaja Manshu>ru Bika Gha>libi min Salma> fa sakana> ma‘a>n fi> manzili fakhmin qa>’imin ‘ala> sya>thi>’il-bachri fi> ra’si Bairu>ta chaitsu yaqzhunu wujaha>’ul-qaumu wal-‘aghniya>’i.
Manshur Bek Ghalib dan Salma telah resmi dipersandingkan di
pelaminan. Kini mereka tinggal di sebuah rumah yang terletak di
tepi pantai di ujung kota Beirut. Tempat tinggal para hartawan dan
orang-orang terkemuka.
Manshur Bek menikahi Salma bukan karena agamanya, bukan
karena kelembutan akhlak yang dimiliki Salma, bukan karena ketaatan
Salma pada agamanya. Bukan ketaatan Salma pada pemimpinnya, bukan
karena baktinya kepada ayahnya. Bukan karena kecantikan dan jiwanya
yang bersih.
Adapun dilihat dari sudut pandang dasar pernikahan Kristen,
Salma menerima dengan lapang suami yang dipilihkan Allah baginya.
Meskipun keputusan ayahnya untuk menerima lamaran Pendeta Ghalib
mamatahkan sayap-sayap cintanya. Hal ini dapat dilihat dari kutipan
berikut:
٩٩٩١:٩٩
161
‘Amma> qari>bin ya> Salma>, ‘amma> qari>bin takhruji>na min baina dzi>ra‘a> walidiki ila> dzira‘a> rajulin u>khra. ‘Amma qari>bin tasi>ru biki sunatu’l-llah ha>dzal-manzilil-munfaridi ila> sa>chatil-‘alamil-wa>si‘ah fa tushbichu hadzihil-chadi>qah musyta>qatan ila> wath’i> qadamaiki wa yashi>ru waliduki ghari>ba>n ‘anki. Laqad lafzahal-qadru kalimatahu ya> Salma>, falataba>rakaki’s-sama>’u wa tachrasuki!
“Salma, putriku sayang, rasanya terlalu cepat engkau dirampas
dari dekapan ayahmu dan nasib akan membawamu dari rumah
sunyi ini ke sebuah tempat yang lapang di dunia lain. Taman ini
akan senantiasa merindukan jejak kakimu dan ayahmu akan
menjadi orang asing bagimu. Takdir telah mengucapkan
keputusannya, wahai Salma, semoga Tuhan memberkatimu!”.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwasanya kutipan
di atas merupakan tuturan yang diucapkan Faris Affandy setelah pulang
dari pertemuannya dengan pendeta Ghalib. Dari kutipan di atas dapat
diketahui bahwa takdir telah memutuskan, Salma akan menjadi penolong
bagi seorang laki-laki culas dan berperangai buruk. Salma diciptakan oleh
Tuhan sebagai penolong Manshur Bek, bukan penolong bagi tokoh aku.
Adapun Manshur Bek Ghalib dan pamannya, memandang bahwa
penolong yang baik adalah ia yang kaya raya seperti Salma Karamah.
Dalam novel al-Ajnichah al-Mutakassirah karya Jubra>n Khali>l Jubra>n,
Salma diciptakan oleh Allah sebagai penolong Manshur Bek, akan tetapi
Manshur Bek diciptakan Allah bukan menjadi penolong untuk Salma.
Manshur Bek datang pada Salma untuk menekan dan menindasnya demi
mendapatkan harta yang dimiliki keluarga Salma. Hal ini dapat dilihat dari
kutipan berikut:
162
٩٩٩١:٤٤
Anna ru’sa>’a’l-ladzina fi>’sy-syarqi la> yaktafu>na bima> yachshulu>na ‘alaihi anfusahum minal-majdi wa’s-su’dadi bal yaf‘alu>na kulla ma> fi> was‘ihim li yaj‘alu> ansa>bahum fi> muqaddimati’sy-sya‘bi wa minal-mustadrina quwwa>hu wa amwa>lahu.
Sebenarnya, para pemuka agama di Timur selalu merasa tidak puas
dengan kemuliaan dirinya, mereka perlu melakukan apa saja untuk
membuat seluruh anggota keluarganya menjadi terhormat dan kaya.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa seorang
pemuka agama di Timur tidak akan pernah puas dengan kemuliaan dirinya
menjadi seorang pemuka agama. Ia akan melakukan apa saja untuk
membuat dirinya beserta anggota keluarganya menjadi kaya dan
terhormat, yaitu dengan cara menikahkan saudara-saudara dan anggota
keluarganya dengan orang-orang kaya namun lemah – seperti Faris
Affandy – di Lebanon.
Pendeta khususnya dalam hal ini, telah menyalahi firman Allah. Di
mana dikatakan dalam surat (1 Yohanes [4]: 8), Allah adalah agape. Dia
(baca: Allah) menghendaki, merencanakan, dan melakukan hal yang baik
bagi umat-Nya, kekasih-Nya, termasuk dalam hal teman hidup. Dia akan
memberikan pasangan yang baik dan tepat. Hanya dalam hal ini, perlu
disadari bahwa yang baik itu “bukan” berarti cantik, ganteng, kaya, sudah
mantap kariernya, memiliki kerohanian tinggi, sangat dewasa, paling sabar
atau paling memahami, berwibawa, dan sebagainya (Jonathan, 2013: 77).
163
Adapun pendeta Ghalib dalam permasalahan ini memandang
bahwa teman hidup yang baik bagi keluarga dan saudara-saudaranya ialah
orang yang berharta. Harta akan menjadikan dirinya dan saudara-
saudaranya menjadi orang terhormat dan menjadi orang penting di
kalangan bangsawan. Tidak peduli ia merampas masa depan orang lain, ia
mengahancurkan kebahagian orang lain atau tidak. Di dalam fikirannya
adalah hanya ada kemuliaan dan kehormatan dirinya beserta saudara-
saudaranya. Utamanya adalah kemuliaan karena harta bukan kemuliaan
diri karena menjadi pemuka agama.
Secara sosial dasar pernikahan menjadi begitu sederhana, contoh di
dalam Islam: ketika seseorang telah mencukupi umur, merasa siap untuk
menikah, semua syarat terpenuhi maka pernikahan dapat dilaksanakan. Di
dalam Islam tidak diwajibkan mengikuti kuliah atau pengajian pra nikah,
hal ini menjadi kebutuhan pribadi masing-masing. Apakah dirinya
membutuhkannya atau tidak. Jika seseorang itu membutuhkan, maka ia
dengan sendirinya akan datang ke pengajian pra nikah tersebut. Jika tidak,
seseorang tersebut tentu tidak akan datang. Secara sosial, calon mempelai
dalam pernikahan agama Islam mayoritas tidak membutuhkan kuliah pra
nikah tersebut.
Pernikahan dalam agama Kristen tidak semudah itu, kedua calon
mempelai harus mengikuti pembelajaran terlebih dahulu di gereja bersama
seorang pendeta dan para calon mempelai lainnya. Mereka harus
mengikuti pertemuan rutin untuk meneguhkan dirinya menjadi satu ikatan
164
yang tidak pernah bisa dipisahkan kecuali maut. Pertemuan rutin itu
dilakukan hingga calon mempelai pantas untuk dilakukan pemberkatan
oleh pendeta.
iii. Tujuan Pernikahan
Setiap individu yang menikah memiliki tujuan yang ingin
dicapai. Menurut Riyadi dalam bukunya Bimbingan Konseling
Perkawinan (2013: 58), pernikahan atau perkawinan merupakan suatu
aktivitas individu. Aktivitas individu umumnya akan terkait pada
suatu tujuan yang ingin dicapai oleh individu yang bersangkutan,
demikian pula dalam hal perkawinan. Karena perkawinan merupakan
suatu aktivitas dari suatu pasangan, maka sudah selayaknya merekapun
juga mempunyai tujuan tertentu. Tetapi karena perkawinan itu terdiri
dari dua individu, maka adanya kemungkinan bahwa tujuan mereka
tidak sama. Bila hal tersebut terjadi, maka tujuan harus dibulatkan agar
terdapat satu kesatuan dalam tujuan tersebut.
Menurut Fatchiah dalam bukunya yang berjudul „Konseling
Pernikahan Untuk Keluarga Indonesia‟ (2009: 26), memaparkan
bahwa keputusan seorang untuk menikah akan banyak juga
dipengaruhi oleh faktor budaya, agama, suku, dan lain-lain. Faktor-
faktor tersebut menjadi penting dalam merencanakan pernikahan dan
akan mempegaruhi tujuan dari pernikahan yang akan dilaksanakan.
165
a. Tujuan Pernikahan Kristen
Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber bahwa tujuan
pernikahan Kristen sesuai dengan apa yang diajarkan di masing-
masing gereja, namun pada intinya adalah membentuk rumah tangga
yang harmonis berdasarkan firman Allah.
Pada umumnya gereja-gereja mengajarkan tujuan menikah
dalam agama Kristen tercantum dalam sebuah visi dan misi keluarga
Kristen, sebagaimana yang diungkapkan oleh Jonathan dalam bukunya
(2013: 253). Jonathan menjelaskan bahwa secara sederhana visi adalah
sesuatu yang dapat dilihat dengan mata. Namun, visi memiliki arti
lebih dari itu. Orang yang memiliki visi disebut seorang visioner. Yang
dimaksudkan dalam hal ini bukan hanya seorang yang dapat melihat,
melainkan dapat melihat hal yang tidak dilihat orang lain. orang
tersebut akan bergerak ke arah sasaran yang ia lihat.
Jonathan mengungkapkan bahwa visi hidup bagi pribadi-
pribadi dalam Yesus Kristus, visi hidup telah ditetapkan oleh Allah.
Seseorang tidak dapat memilih visi sesuai apa yang ia inginkan. Dalam
surat (Roma [8]: 29) dikatakan, “Sebab semua orang yang dipilih-Nya
dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi
serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi
yang sulung di antara banyak saudara” (Jonathan, 2013: 255).
Visi seorang Kristen telah ditentukan oleh Allah “dari semula”.
Bukan ditentukan untuk menerima kehidupan kekal selamanya, bukan
166
untuk menerima berkat dan kelimpahan hidup dari Allah, bukan juga
untuk dijaga dan dilindungi-Nya sebagai biji mata-Nya. Semua itu
hanya hanya keuntungan tambahan (fringe benefits), bukan tujuan
utama Allah. Tujuan dan penetapan utama Allah ialah menjadi seperti
kristus. Tujuan dan visi seorang Kristen yang menikah adalah menjadi
seperti Kristus. Sifat-sifat Kristus seperti dalam surat (Galatia [5]: 22-
23), “...kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan,
kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri...” (Jonathan,
2013: 256).
Adapun misi hidup keluarga Kristen secara garis besar seperti
yang dipaparkan Jonathan dalam bukunya (2013: 261), bahwa misi
hidup setiap orang Kristen adalah bersama Allah meluaskan Kerajaan-
Nya hingga menutupi bumi.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan
dari pernikahan orang Kristen adalah pertama tercantum dalam visi
yaitu menjadi seorang yang Kristus, artinya setiap orang Kristen harus
memiliki setiap sifat yang ada di dalam diri Kristus. Tujuan kedua
tercantum dalam misi hidup seorang Kristus, yaitu bersama Allah
meluaskan Kerajaan-Nya hingga menutupi bumi. Artinya bahwa setiap
orang Kristen memiliki misi untuk meluaskan kaum pemeluk agama
Kristen di muka bumi. Salah satu cara yang tersirat adalah melalui
pernikahan, dalam hal ini adalah pernikahan berbeda agama,
sebagaimana orang yang Kristen menikah dengan orang yang bukan
167
Kristen dan berhasil mewujudkan pernikakahan secara Kristen. Hal ini
juga tidak terbatas pada pernikahan beda agama dalam rangka
meluaskan kerajaan Allah, akan tetapi bahwa dengan mewujudkan
pernikahan seagama juga dapat meluaskan kerajaan Allah yaitu dengan
membuat keturunan.
b. Tujuan Pernikahan Islam
Tujuan pernikahan di dalam agama Islam pertama,
sebagaimana firman Allah dalam al-Qur‟an:
Wa min ayatihi an khalaqa lakum min anfusikum azwa>ja>’l-li taskunu> ilaiha> wa ja‘ala bai>naku’m-mawaddatan wa rahmatan inna fi> dzalika li ayati’l-li qaumin yatafakkaru>n (ar-ru>m: 21).
21. dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya
kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-
Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir (Qs. Ar-Ru>m, [30]: 21).
Kedua, untuk memelihara pandangan mata dan menjaga
kehormatan diri. Ketiga, untuk mendapatkan keturunan yang sah serta
sehat jasmani, rohani dan sosial, mempererat dan memperluas
hubungan kekeluargaan serta membangun hari depan individu,
keluarga dan masyarakat yang lebih baik (Depag RI, 2006: 10-12).
Tujun pernikahan di dalam novel al-Ajnichah al-Mutakassirah
karya Jubra>n Khali>l Jubra>n yaitu pernikahan antara Manshur Bek
dengan Salma dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya yaitu
168
faktor ekonomi, sosial, dan budaya. Faktor ekonomi yang mendorong
Pendeta Ghalib menikahkan Manshur Bek dengan Salma adalah harta
kekayaan yang dimiliki oleh ayah Salma, Faris Affandy. Adapun
Salma adalah satu-satunya putri Faris Affandy, dengan menikahkan
Manshur Bek dengan Salma maka semua kekayaan Faris Affandy akan
jatuh ke tangan Salma sebagai satu-satunya pewaris, dengan begitu
Manshur Bek akan dapat menguasai semua harta tersebut dengan
mudah.
Adapun faktor sosial yang mendorong pernikahan Manshur
Bek dengan Salma adalah kekayaan pada zaman dulu merupakan alat
dari segala hal. Kekayaan akan menjadikan seseorang terpandang dan
terhormat. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi pemerintahan yang kacau
periode Islam di Lebanon pada tahun 600-1920 M. Meskipun
formalnya di bawah pengaruh kebesaran panji Islam, namun Lebanon
tetaplah wilayah tidak bertuan. Mulai dari kecamuk Perang Salib,
periode dinasti Ayubi dan dinasti Mamluki, jatuh ke kerajaan Turki
Utsmani (Ottoman), lalu dikuasai oleh Mesir lagi. Hingga pecah PD I,
Lebanon masih tetap negara jajahan. Lebanon merdeka pada tahun
1943 (Tim Lembayung, 2003: ix).
Kondisi ini tak ubahnya menjadikan orang-orang yang mampu
berkuasa bertindak semaunya. Begitu juga yang dilakukan oleh
Pendeta Ghalib kepada Faris Affandy. Kekayaan yang dimiliki Faris
Affandy mampu menjadikan ia terpandang dan dermawan di Lebanon.
169
Maka hal inilah yang mendorong Pendeta Ghalib menikahkan
Manshur Bek dengan Salma, karena dengan kekayaan akan
menjadikan kemenakannya itu menjadi orang penting, terhormat, dan
terpandang di lingkungan bangsawan di Beirut.
Faktor ketiga yang mendasari pernikahan Manshur Bek dengan
Salma adalah faktor budaya. Budaya memang sangat mengikat
masyarakatnya. Jika budaya itu baik maka akan mendorong pada
perkembangan pada masyarakatnya, namun jika budaya itu buruk
maka dengan cepat akan merusak kehidupan masyarakatnya. Seperti
halnya budaya yang ada di dalam novel al-Ajnichah al-Mutakassirah
karya Jubra>n Khali>l Jubra>n bahwa budaya yang berkembang di
masyarakat dalam novel tersebut adalah perintah seorang pemuka
agama tidak dapat ditentang, meskipun perintah itu mengandung
keburukan ataupun bertentangan dengan apa yang ia ajarkan pada
jemaatnya. Faktor tersebutlah yang dengan mudah Pendeta Ghalib
meminta kepada Faris Affandy untuk bersedia menyandingkan
putrinya, Salma, dengan kemenakan Pendeta Ghalib, Manshur Bek.
Merujuk pada tiga faktor yang telah diuraikan di atas, maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan pernikahan yang dilakukan oleh
Manshur Bek adalah untuk membuat dirinya dan seluruh anggota
keluarganya menjadi kaya raya dan terpandang. Hal ini dapat dilihat
dari kutipan berikut:
170
٩٩٩١:٤٤
Anna ru’sa>’a’l-ladzina fi>’sy-syarqi la> yaktafu>na bima> yachshulu>na
‘alaihi anfusahum minal-majdi wa’s-su’dadi bal yaf‘alu>na kulla ma>
fi> was‘ihim li yaj‘alu> ansa>bahum fi> muqaddimati’sy-sya‘bi wa
minal-mustadrina quwwa>hu wa amwa>lahu.
Sebenarnya, para pemuka agama di Timur selalu merasa tidak puas
dengan kemuliaan dirinya, mereka perlu melakukan apa saja untuk
membuat seluruh anggota keluarganya menjadi terhormat dan kaya.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa para pemuka
agama di Timur selalu merasa tidak puas dengan kemulian dirinya.
Mereka perlu melakukan apa saja untuk membuat anggota keluarganya
menjadi terhormat dan kaya. Salah satu cara yang sering mereka lakukan
adalah menikahkan anggota keluarganya dengan orang kaya raya namun
lemah di negara tempat ia tinggal, lalu mengajarkan injil pada masyarakat
yang taat beragama sebagai kedok atas kejahatannya tersebut.
Tujuan pernikahan Manshur Bek bukanlah karena rasa kasih dan
sayang yang diciptakan oleh Tuhan, bukan karena rasa nyaman dan
tenteram yang ia cari, bukan juga untuk mepererat dan memperluas
hubungan kekeluargaan, namun yang ia kejar hanyalah semua harta yang
dimiliki ayah Salma. Pendeta Ghalib akan terus mengekploitasi orang-
orang kaya di Beirut dengan cara apapun untuk menjadikan dirinya dan
seluruh anggota keluarganya menjadi kaya raya, terpandang dan terhormat
karena harta. Bagi Pendeta Ghalib, harta akan menjadikan dirinya lebih
berkuasa dan mulia di hadapan jemaatnya dan masyarakat. Dapat
171
disimpulkan bahwa tujuan pernikahan yang dilakukan dalam novel al-
Ajnichah al-Mutakassirah karya Jubra>n Khali>l Jubra>n adalah untuk
menjadikan kaya dan terhormat seluruh anggota keluarga seorang pendeta.
Secara sosial fenomena tujuan menikah memang beragam, namun
pada zaman sekarang ini memang masih ada tujuan menikah adalah untuk
membuat seseorang menjadi kaya, terpandang dan terhormat. Tujuan ini
biasanya dilakukan dengan cara perjodohan. Adapula juga dengan cara
menghamili seorang perempuan kaya, dengan harapan seorang pria dapat
dinikahkan dengan perempuan tersebut. Hal-hal seperti itu memang tidak
akan pernah lepas dari kehidupan manusia yang notabene manusia
memiliki sifat dasar makhluk sosial.
C.2 Hak dan Kewajiban Suami-Istri
Setiap orang yang lahir dan hidup di dalam masyarakat tidak akan
pernah terlepas dari dua hal, yaitu hak dan kewajiban. Di manapun
seseorang berdiri maka ia akan selalu terikat oleh hak dan kewajiban.
Begitu halnya dengan seorang suami maupun istri, masing-masing
memiliki hak dan kewajiban yang harus mereka tunaikan. Selain itu, suami
dan istri juga memiliki hak dan kewajiban bersama.
3.b.1 Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Pernikahan Kristen
Hak dan kewajiban suami-istri dalam pandangan Kristen,
menurut Wardhana dalam makalahnya yang berjudul Suami dalam
Pernikahan Kristen tahun 2008 yaitu:
172
a) Hak Suami
1. Dihormati dan dihargai
Sebagai seorang suami, kebutuhan ini melekat dengan
sendirinya. Ini bukanlah “rasa haus” akan hormat dan
penghargaan dari seorang suami, tetapi karena memang Allah
telah mengaturnya sedemikian rupa sehingga suami mendapat
hak untuk dihormati dan dihargai. Jika seorang suami tidak
dihargai dan dihormati oleh istrinya, maka suami tidak akan
dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
2. Mendapatkan semangat dan penghiburan
Seorang suami bukanlah orang yang sempurna atau
yang tidak pernah mengalami kegagalan. Ada saatnya di mana
seorang suami mengalami patah semangat dalam menjalani
kehidupan.
Inilah merupakan saat yang tepat bagi seorang istri
untuk menunjukkan kualitasnya sebagai penolong yang
sepadan bagi suaminya. Dia tidak lari dari tanggung jawabnya
sebagai istri, tetapi siap memberikan semangat baru dan
penghiburan bagi suaminya.
b) Hak Istri
Berdasarkan pembahasan sebelumnya bahwasanya
seorang perempuan diciptakan sebagai penolong bagi laki-laki,
sehingga berdasarkan al-Kitab seorang istri tidak memiliki hak
173
sebagaimana bisa diuraikan secara detail. Penulis
menyimpulkan dari berbagai surat dalam al-Kitab di antaranya
yaitu (Efesus [5]: 25), (Efesus [5]: 28-29), (1Pet [3]: 7), bahwa
hak istri adalah mendapat kasih sayang dan perlakuan baik dari
suami selayaknya seorang istri. Seorang istri dalam agama
Kristen tidak memiliki hak untuk medapatkan mahar
sebagaimana orang Islam dapatkan, karena tidak ada mahar
dalam pernikahan agama Kristen.
c) Kewajiban Suami
1. Mengasihi istri
Tugas utama seorang suami dalam pernikahan Kristen
adalah mengasihi istrinya. Sebagaimana firman Tuhan dengan
jelas menyatakan dalam surat (Efesus [5]: 25): “Hai suami,
kasihilah istrimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat
dan telah menyerahkan diri-Nya baginya”. Hal ini merupakan
perintah, bukan pilihan antara suka dan tidak suka, tetapi
sesuatu yang harus dilaksanakan oleh seorang suami.
2. Menghormati istri
Firman Allah dalam surat (1 Petrus [3]: 7) menjelaskan
tentang perintah menghormati seorang istri, sebagai berikut:
“Demikian juga kamu, hai suami-suami, hiduplah bijaksana
dengan istrimu, sebagai kaum yang lebih lemah! Hormatilah
174
mereka sebagai teman pewaris dari anugerah, yaitu
kehidupan, supaya doamu jangan terhalang”.
Berdasarkan ayat di atas, al-Kitab menyatakan bahwa
suami harus hidup bijaksana dengan istrinya. Artinya, suami
harus bersikap penuh pengertian - dengan budi pekerti yang
baik - terhadap istrinya dan menyadari sepenuhnya bahwa dia
merupakan kaum yang lebih lemah. Istri adalah orang yang
memerlukan bimbingan dan perlindungan dari seorang suami.
3. Membina kerohanian istri
Firman Tuhan berikut ini: “Tetapi kamulah bangsa
yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat
Allah sendiri”. Di dalam Kristus, setiap orang percaya secara
pribadi dapat mendekati dan menjumpai Allah. Penerapannya
dalam keluarga adalah suami dapat bertindak sebagai imam
bagi istri dan anak-anaknya.
Perhatian utama seorang suami adalah pertumbuhan
kerohanian istrinya. Seorang istri merupakan orang yang
dipercayakan Allah untuk dibina oleh suaminya. Tanggung
jawab ini tidak bisa dialihkan pada seorang pendeta atau orang
lain. Tanggung jawab ini merupakan tugas mulia yang
disediakan Allah bagi seorang suami.
175
4. Memelihara dan memenuhi kebutuhan istri
Suami mempunyai tanggung jawab untuk memelihara
kehidupan istrinya seperti yang tercantum dalam surat (Efesus
[5]: 28-29): “Demikian juga suami harus mengasihi istrinya
sama seperti tubuhnya sendiri: Siapa yang mengasihi istrinya
mengasihi dirinya sendiri. Sebab tidak pernah orang membenci
tubuhnya sendiri, tetapi memelihara dan merawatnya, sama
seperti Kristus terhadap jemaat”. Ditegaskan pula bahwa
perhatian suami pada pemeliharaan tersebut sama seperti dia
memberikan perhatian kepada tubuhnya sendiri.
Bagi para suami memelihara dan merawat istrinya
dengan penuh kasih sebagaimana al-Kitab menegaskan dalam
surat (Efesus [5]: 33), bahwa “... Kasihilah istrimu seperti
dirimu sendiri ...”. Kasih Allah sajalah yang memungkinkan
suami melakukan hal ini dengan sikap rela berkorban demi
kebahagiaan istrinya. Manakala istri membutuhkan sesuatu,
suami dengan penuh kesungguhan berusaha memenuhi sesuai
dengan kemampuannya. Bahkan manakala istri sudah mulai
sakit-sakitan, perhatian dan pemeliharaan suami tidak pernah
berkurang.
5. Bekerja sama sebagai satu tim
Seorang kepala keluarga tidak dapat bekerja dengan
baik bila ia seorang diri, tanpa kehadiran seorang penolong di
176
sisinya, sebab kemampuan dan kekuatan yang dimilikinya
terbatas. Allah berfirman dalam surat (Kejadian [2]: 18),
“Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan
menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia” dan
Allah menempatkan istri menjadi seorang penolong yang
dimaksud oleh-Nya.
Bersama dengan istrinya, kepala keluarga
melaksanakan fungsinya dalam keluarga sebagai sebuah tim
yang terpadu, saling melengkapi satu sama lain. Mereka
bekerja sama dalam membuat perencanaan dan pengelolaan
rumah tangga dan memelihara serta mendidik anak-anak yang
dipercayakan Tuhan pada mereka. Maju mundurnya suatu
keluarga bergantung pada efektifitas dan kesungguhan kerja
tim ini.
6. Mengasihi dan mendidik anak
Tuhan Yesus sangat mengasihi anak-anak. Ia membuka
diri terhadap kehadiran anak-anak dan memberkati mereka.
Bahkan siapa saja yang menyambut kehadiran seorang anak
sama artinya dengan menyambut kehadiran-Nya, sebagaimana
tercantum dalam surat (Matius [18]: 5), “Dan barang siapa
menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia
menyambut Aku”. Sedemikian berharganya anak bagi Yesus,
177
maka Dia memperingatkan umatnya agar tidak memandang
rendah anak-anak (Matius 18: 10).
d) Kewajiban Istri
Kewajiban istri berdasarkan al-Kitab dipaparkan oleh Riva
Sinjal dalam artikelnya yang berjudul Menjadi Isteri yang Baik di
Dalam Kristus sebagai berikut ini:
1. Tunduk kepada suami
Tunduk pada suami tercantum dalam firman Allah
dalam surat (Efesus [5]: 22-24) “Hai istri, tunduklah pada
suamimu seperti kepada Tuhan, karena itu sebagaimana
jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah istri kepada
suami dalam segala sesuatu”. Adapun dalam surat (Kolose
[3]: 18), Allah juga berfirman demikian “Hai istri-istri,
tunduklah pada suamimu, sebagaimana seharusnya di dalam
Tuhan”.
Al-Kitab tidak mengatakan: hai suami tunduklah
kepada istrimu, tetapi justru sebaliknya. Merupakan suatu
kewajiban bagi seorang istri untuk tunduk dan patuh kepada
suaminya dalam segala hal. Penundukan diri istri kepada suami
artinya istri menghormati dan menghargai suami sebagai
kepala keluarga dan teman hidupn di hadapan Allah. Tingkah
laku, tindakan, ucapan dan karakter seorang istri harus
mencerminkan rasa hormat kepada suami. Namun penundukan
178
ini bukan berarti perempuan selalu tunduk pada segala
perlakuan suami. Bukan juga suami semaunya memperlakukan
istri. Menghukum atau memukulnya bila melakukan kesalahan
terhadap suami.
Sinjal menjelaskan lebih lanjut bahwa zaman boleh saja
berubah dengan meningkatnya status perempuan menjadi
setara dengan laki-laki di manapun dia berada. Sehingga
perempuan boleh menduduki posisi-posisi strategis baik di
bidang bisnis, pekerjaan, pemerintahan dan lainnya. Akan
tetapi dalam posisinya di rumah tangga, harus tetap disadari
bahwa suami memegang otoritas pemimpin dan kepala
keluarga. Bagaimanapun posisi, status dan keadaan suami, istri
harus belajar tunduk kepada suaminya.
2. Hidup murni di hadapan Tuhan
Firman Tuhan dalam surat (Petrus [3]: 1-2),
mengatakan bahwa “Demikian juga kamu, hai istri-istri
tunduklah kepada suamimu, supaya jika ada di antara mereka
yang tidak taat kepada Firman, mereka juga tanpa perkataan
dimenangkan oleh kelakuan istrinya, jika mereka melihat,
bagaimana murni dan salehnya hidup istri mereka itu”.
Seorang istri harus belajar untuk menjaga sikap dan
tindakan mereka kepada suaminya. Ada sebagian suami yang
memang belum dimenangkan di dalam Kristus. Bahkan
179
mereka melakukan berbagai kejahatan di mata Tuhan. Seorang
istri harus belajar bersabar dalam menghadapi hal ini. Dia
harus tetap melakukan apa yang berkenan di hadapan Tuhan
dan tetap mengasihi suaminya.
3. Menjadi penolong
Tuhan menempatkan perempuan untuk menjadi
penolong bagi laki-laki, bukan sebaliknya. Setiap do‟a,
dorongan, kesetiaan dan kesabaran yang senantiasa diberikan
kepada suaminya akan menjadi suatu pondasi yang kuat bagi
suami untuk dapat meraih kesuksesan. Sebagaimana tercantum
dalam surat (Kejadian [2]: 18), Tuhan Allah berfirman, “Tidak
baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan
menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia”.
Adapun penerapannya dalam kehidupan sehari-hari
bahwa istri dinomor duakan, bahwa istri memiliki posisi di
bawah suami. Istripun diperlakukan tidak setara dengan suami,
padahal dalam penciptannya Hawa diciptakan sebagai
penolong untuk Adam. Allah meciptakan penolong (seorang
perempuan) sepadan dengan seorang laki-laki.
e) Kewajiban Bersama Suami Istri
Kewajiban bersama suami-istri dalam pandangan Kristen,
dipaparkan oleh Wardhana dalam makalahnya yang berjudul Suami
dalam Pernikahan Kristen tahun 2008 yaitu:
180
1. Saling mengasihi
Suami dan istri dipanggil untuk saling mengasihi. Ayat
al-Kitab berikut ini: “Hai suami, kasihilah istrimu
sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah
menyerahkan diri-Nya baginya” (surat Efesus [5]: 25).
2. Saling merendahkan diri
Saling merendahkan diri di dalam Kristus adalah suatu
prinsip rohani yang umum. Al-Kitab menegaskan pada suami
istri agar “ ... rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain
di dalam takut akan Kristus” (surat Efesus [5]: 21).
3. Saling memenuhi kewajiban
Suami dan istri masing-masing mempunyai hak untuk
mendapatkan kesetiaan yang penuh dari pasangannya.
“Hendaklah kamu semua penuh hormat terhadap perkawinan
dan janganlah kamu mencemarkan tempat tidur, sebab orang-
orang sundal dan pezinah akan dihakimi Allah” (surat Ibrani
[13]: 4).
Beberapa kelompok masyarakat hanya mengharapkan
kesetiaan pihak istri, namun standar Tuhan adalah kesetiaan
oleh tiap pihak. Setiap pihak berkewajiban untuk memenuhi
hak yang dimiliki pasangannya. Al-Kitab menegaskan hal ini
dengan menyatakan bahwa “Hendaklah suami memenuhi
181
kewajibannya terhadap istrinya, demikian pula istri terhadap
suaminya” (surat 1 Korintus [7]: 3).
4. Saling mempercayai
Allah berfirman dalam surat (Amsal [31]: 11),
ditegaskan terhadap istri yang cakap bahwa “Hati suaminya
percaya kepadanya, suaminya tidak akan kekurangan
keuntungan”. Ini berarti bahwa sang suami yakin benar atas
kemampuan istrinya dalam mengelola rumah tangga dan
menjadi penolong yang sepadan baginya sehingga ia dapat
menaruh kepercayaan kepadanya.
Bagian lain dalam al-Kitab surat (Efesus [5]: 22) Allah
berfirman, “Hai istri, tunduklah kepada suamimu seperti
kepada Tuhan” dan ditegaskan lebih lanjut dalam surat (Efesus
[5]: 24), bahwa ketundukan tersebut mencakup “dalam segala
sesuatu”. Hal ini menunjukkan bahwa ada suatu keyakinan
pada sang istri akan kemampuan suaminya untuk memenuhi
harapan, bersikap jujur dan bertanggung jawab terhadap
keluarganya, khususnya sang istri.
3.b.2 Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Pernikahan Islam
Adapun dalam Islam seorang suami dan seorang istri keduanya
memiliki hak dan kewajiban sendiri maupun hak dan kewajiban
bersama, hak-hak dan kewajiban tersebut yaitu:
182
a) Hak Istri
1. Hak mengenai harta, yaitu mahar atau maskawin dan nafkah.
2. Hak mendapat perlakuan yang baik dari suami.
3. Agar suami menjaga dan memelihara istrinya. Maksudnya
ialah menjaga kehormatan istri, tidak menyia-nyiakannya,
agar selalu melaksanakan perintah Allah dan menghentikan
segala larangan-Nya (Depag RI, 2006: 20).
Berdasarkan poin-poin mengenai hak-hak istri tersebut di atas,
dapat dijelaskan bahwa seorang istri itu selayaknya mendapatkan
mahar dan nafkah dari seorang suami, begitu juga dengan perlakuan
yang baik dari suami. Serta seorang istri selayaknya selalu mendapat
penjagaan dari seorang suami, mulai dari kehormatannya hingga
realiginya untuk selalu melaksanakan perintah dan menghentikan
larangan dari Allah.
b) Hak Suami
Ketaatan istri kepada suami dalam melaksanakan urusan
rumah tangga termasuk di dalamnya memelihara dan mendidik anak,
selama suami menjalankan kententuan-ketentuan Allah yang
berhubungan dengan kehidupan suami-istri (Depag RI, 2006: 21).
Sudah menjadi hak seorang suami akan ketaatan seorang istri.
Ketaatan istri dalam melaksanakan segala urusan rumah tangga,
termasuk memelihara dan mendidik anak ketika seorang suami pergi
183
untuk memenuhi kebutuhan yang terkait dengan kehidupan di antara
suami dan istri.
c) Hak Bersama Suami-Istri
Hak-hak bersama di antara kedua suami-istri adalah:
1. Halalnya pergaulan sebagai suami-istri dan kesempatan
saling menikmati atas dasar kerjasama dan saling
memerlukan.
2. Sucinya hubungan perbesanan. Dalam hal ini istri haram
bagi laki-laki dan pihak keluarga suami, sebagaimana suami
haram bagi perempuan pihak keluarga istri.
3. Berlaku hak pusaka-mempusakai. Apabila salah seorang di
antara suami-istri meninggal, maka salah satu berhak
mewarisi, walaupun keduanya belum bercampur.
4. Perlakuan dan pergaulan yang yang baik. Menjadi kewajiban
suami-istri untuk saling berlaku dan bergaul dengan baik,
rukun dan penuh dengan kedamaian (Depag RI, 2006: 20-
21).
Berdasarkan uraian tersebut, yang dimaksud dengan hak
bersama suami-istri adalah hak-hak yang diperoleh keduanya dan
dimanfaatkan oleh keduanya. Dalam hal ini kaitannya adalah tentang
harta gono-gini. Harta gono-gini adalah harta di mana buah hasil dari
kerjasama keduanya. Selain itu hak bersama ini adalah terkait dengan
keharaman keduanya dalam hubungan perbesanan, di mana seorang
184
suami haram bagi perempuan dari pihak istri dan istri haram bagi
laki-laki dari pihak suami.
Adapun hal tersebut tidak akan berlaku jika salah satu di
antara keduanya meninggal, maka hukum itu gugur dan berubah
menjadi hukum pusaka-mempusakai. Hukum pusaka-mempusakai
adalah jika istri meninggal maka suami mempunyai hak untuk
mempusakai perempuan dari keluarga istri, begitu juga sebaliknya,
jika suami yang meninggal maka istri mempunyai hak menjadi
pusaka laki-laki dari keluarga suaminya.
d) Kewajiban Istri
1. Hormat dan patuh kepada suami dalam batas yang
ditentukan oleh norma agama dan susila.
2. Mengatur dan mengurus rumah tangga menjaga
keselamatan dan mewujudkan kesejahteraan keluarga.
3. Memelihara dan mendidik anak sebagai amanah Allah.
4. Memelihara dan menjaga kehormatan serta melindungi
harta benda keluarga.
5. Menerima dan menghormati pemberian suami serta
mencukupkan nafkah yang diberikannya dengan baik,
hemat, cermat dan bijaksana (Depag RI, 2006: 22-23).
Berdasarkan poin-poin di atas mengenai kewajiban-kewajiban
seorang istri, dapat dijelaskan bahwa seorang istri sudah selayaknya
dapat menghormati dan mematuhi seorang suami sesuai dengan batas
185
yang telah ditentukan oleh norma agama dan susila. Jika seorang istri
sudah dapat menghormati dan mematuhi seorang suami maka iapun
sudah selayaknya dapat mengatur segala urusan rumah tangganya.
Istri harus bisa menerima dan menghormati pemberian suami serta
mencukupkan nafkah yang diberikan oleh seorang suami dengan
baik, hemat, cermat dan bijaksana dalam mengaturnya.
e) Kewajiban Suami
1. Memelihara, memimpin dan membimbing keluarga lahir
dan batin, serta menjaga dan bertanggung jawab atas
keselamatan dan kesejahteraannya.
2. Memberi nafkah sesuai dengan kemampuan serta
mengusahakan keperluan keluarga terutama sandang,
pangan dan papan.
3. Membantu tugas-tugas istri terutama dalam hal memelihara
dan mendidik anak dengan penuh rasa tanggung jawab.
4. Memberi kebebasan berfikir dan bertindak kepada istri
sesuai dengan ajaran agama, tidak mempersulit apalagi
membuat istri menderita lahir-batin yang dapat mendorong
istri berbuat salah.
5. Dapat mengatasi keadaan, mencari penyelesaian secara
bijaksana dan tidak berbuat sewenang-wenang (Depag RI,
2006: 23-24).
186
Berdasarkan poin-poin di atas mengenai kewajiban-
kewajiban seorang suami dalam rumah tangga, dapat dijelaskan
bahwa kewajiban utama seorang suami adalah memelihara keluarga,
artinya bahwa seorang suami memiliki kewajiban untuk menafkahi
keluarganya baik sandang, pangan maupun papan sesuai dengan
kemampuannya. Menjaga dan bertanggungjawab atas keselamatan
dan kesejahteraan keluarga juga menjadi kewajiban seorang suami.
Selain itu suami juga berkewajiban memelihara seorang istri agar
tidak menderita secara lahir dan batin yang dapat mendorong istri
berbuat salah.
Memimpin keluarga adalah sudah menjadi tanggungh jawab
seorang suami, oleh karenanya seorang suami harus dapat mengatasi
keadaan, mencari penyelesaian yang bijaksana dan tidak berbuat
sewenang-wenang dalam menghadapi setiap permasalahan yang
datang.
Seorang suami juga harus dapat membimbing keluarganya
baik secara lahir maupun batin dalam hal ini adalah mendidik anak-
anak bersama istri dengan penuh tanggung jawab.
f) Kewajiban Bersama Suami-Istri
1. Saling menghormati orang tua dan keluarga kedua belah
pihak.
2. Memupuk rasa cinta dan kasih sayang.
187
3. Hormat-menghormati, sopan-santun, penuh pengertian serta
bergaul dengan baik.
4. Matang dalam berbuat dan berfikir serta tidak bersikap
emosional dalam persoalan yang dihadapi.
5. Memelihara kepercayaan dan tidak saling membuka rahasia
pribadi.
6. Sabar dan rela atas kekurangan-kekurangan dan kelemahan-
kelemahan masing-masing (Depag RI, 2006: 24).
Berdasarkan uraian tersebut, yang dimaksud denga kewajiban
bersama suami-istri adalah kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi
keduanya untuk memelihara rumah tangganya agar tetap berjalan baik.
Hal ini tidak dapat dilakukan oleh salah satu pihak saja, misalnya
suami saja yang melaksanakan akan tetapi istri tidak melaksanakan
begitu juga sebaliknya. Keduanya harus berperan sama dalam porsi
yang sama juga untuk mewujudkan keluarga yang nantinya disebut
dengan keluarga sakinah. Di dalam sebuah hubungan utamanya
hubungan yang sudah terikat oleh perkawinan, maka kata „saling‟
adalah menjadi kunci dalam langgengnya sebuah hubungan.
Berbicara mengenai hak dan kewajiban seorang suami dan
seorang istri, permasalahan ini menjadi polemik yang tidak akan
pernah ada habisnya di dalam novel al-Ajnichah al-Mutakassirah karya
Jubra>n Khali>l Jubra>n. Tatananlah yang membuat hak dan kewajiban
seorang suami istri menjadi kekacauan yang tidak pernah ada
188
ujungnya. Tatanan agama mengatur semuanya, sedangkan tatanan yang
tidak benar itu tumbuh dan hidup di negara yang masyarakatnya taat
beragama. Masyarakat akan selalu tunduk dengan tatanan tersebut,
masyarakat tidak akan berani melawan tatanan tersebut, karena
baginya tatanan itulah yang mengatur hidupnya meskipun mereka tahu
tatanan itu sudah tidak benar karena ulah seorang pemuka agama
Timur yang rakus. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut:
٩٩٩١:٤٩-
٤٤
Wala>kin ayyu masi>chiyyin yaqdiru an yuqa>wima asqafa>n fi> Su>riya> wa yabqa> machsu>ba>n bainal-mu’mini>na, ayyu rajulin yakhruju ‘an tha>‘ati ra’si di>nihi fi>’sy-sya‘rqi wa yazhillu kari>ma>n baina’n-na>si?
Di Siria, tak ada orang Kristen yang berani melawan pendetanya.
Tiada seorangpun yang berani mengingkari perintah pemimpin
agamanya. Meski sang pendeta jahat tetapi akan tetap dianggap
orang baik-baik. Meskipun sang pemuka agama itu culas, ia tetap
akan dimuliakan oleh masyarakat.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa terdapat
tatanan yang tidak benar yang tumbuh dalam masyarakat di Siria. Di mana
tatanan yang dimaksud adalah bahwa tidak ada yang dapat mengingkari
perintah pemimpin agama. Meski sang Pendeta jahat akan tetapi akan tetap
dianggap orang baik-baik. Meskipun pemuka agama itu culas, ia tetap
akan dimuliakan oleh masyarakat. Tatanan seperti inilah yang sebenarnya
merusak kehidupan masyarakat yang damai dan tenteram. Tatanan ini jika
dibiarkan saja, maka tidak akan pernah terwujud masyarakat yang damai,
tenteram dan bahagia. Masyarakat akan dieksploitasi oleh pihak tertentu.
189
Masyarakat akan terus diatur oleh pemuka agama. Entah kepentingan
pribadi, adat dan agama, ekonomi bahkan politik. Hal ini diperkuat oleh
kutipan berikut:
٩٩٩١:٤٤
Kadza> tabi >du’sy-syu‘u>bu bainal-lushu>si wal-muchta>li>na mitsluma> tafna>l-qith‘a>nu baina anya>bi’dz-dzu’a>bi wa qawa>thi‘il-jiya>rina, wa hakadza> tastalimul-umamu’sy-syarqiyyah ilal-wara>’i tsumma tahbithu ilal-chadhidhi fayamurru’d-dahru wa yaschafuha> bi aqda>mihi mitsluma> taschiqu matha>riqul-chadi>di a>niyatal-fakhari.
Demikianlah, rakyat hidup di antara para pencuri dan penipu.
Namun demikian, orang-orang bangsa Timur membenarkan tata
cara yang mereka lakukan. Membiarkan para serigala dan jagal
mengahancurkan negeri mereka dengan hati penuh kedengkian, dan
mengahancurkan oara tetangga mereka dengan tangan besi.
Salma sebagai seorang istri telah melaksanakan kewajiban-
kewajiban yang selayaknya dilakukan oleh seorang istri, akan tetapi
Manshur Bek justru tidak menganggapnya. Ia melalaikan apa yang
menjadi kewajibannya sebagai seorang suami. Hal ini dapat dilihat dari
kutipan berikut:
٩٩٩١:٠٥
Ana> la> uchibbu ha>dza>’r-rajula li annani> ajhaluhu, wa anta ta‘lamu annal-machabbah wal-jaha>lata la> talqiya>ni, wa la>kinnaniy saufa ata‘allamu machabbatahu. Saufa uthi >‘uhu wa akhdumuhu wa aj‘aluhu sa‘i>da>n. Saufa ahabahu kulla ma> taqdirul-mar’atu’dh-dha‘i>fah an tahiba’r-raulal-qawiyya.
190
“Sementara aku tidak pernah kenal lelaki ini apalagi
mencintainya. Tapi aku akan belajar untuk mencintainya. Aku akan
tunduk dan melayaninya, serta membuat dia bahagia. Aku akan
memberikan seluruh yang dapat dilakukan wanita lemah kepada
lelaki perkasa”.
Kutipan di atas menjelaskan bahwa walaupun Salma tidak
mengenal dan mencintai calon suaminya, ia akan tetap berusaha mencintai
lelaki yang akan menjadi suaminya. Ia akan tunduk dan melayani calon
suaminya, serta ia akan membuat lelaki yang akan menjadi suaminya
hidup bahagia. Bahkan Salma bersedia memberikan seluruh apa yang
dapat ia lakukan dan berikan dari seorang wanita yang lemah kepada lelaki
perkasa yang akan menjadi suaminya. Walaupun Salma bersedia menjadi
seorang istri yang taat kepada suaminya, namun justru ia tidak
mendapatkan perlakuan yang selayanya didapatkan oleh seorang istri. Hal
ini terbukti dari kutipan berikut:
٩٩٩١:٨٠
Inna zaujiy la> yachfilu biy wa la> yadri> kaifa usharrifu ayyamiy, fa huwa masyghu>lun ‘anni> bi u>laika’sh-shiba>ya>l-miski>na>til-llawa>ti> taqu>duhunnal-fa>qah ila> aswa>qi’n-nakha>si>na fayata‘aththarna wa yaktachilna li yabi‘na ajsa>dahunna bi khubzil-ma‘ju>ni bi’d-dima>’i wa’d-dumu>‘i.
“Suamiku tidak memperdulikan aku. Bahkan dia tidak tahu
bagaimana aku menghabiskan waktu. Sebab dia sibuk mengurusi
gadis-gadis miskin yang digiring oleh kemelaratan ke pasar budak.
Di mana tubuh mereka didandani untuk ditukar dengan roti yang
dimasak dengan darah dan air mata”.
191
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa Manshur Bek
tidak memperdulikan Salma. Manshur Bek bahkan tidak tahu bagaimana
Salma menghabiskan waktunya. Manshur Bek lebih sibuk mengurusi
gadis-gadis miskin untuk diperjual belikan di pasar budak. Hal ini sungguh
tidak selayaknya dilakukan oleh seorang suami. Menelantarkan seorang
istri, dan lebih sibuk mengurusi wanita yang dapat dijual dan
menghasilkan uang. Hal demikian didasari oleh sifat rakus Manshur Bek,
walaupun harta Salma cukup untuk menjamin masa depan mereka berdua
tetap saja tidak dapat membuat Manshur Bek puas. Ia akan terus mencari
dan menjarah harta para bangsawan lemah, para yatim dan piatu, para fakir
miskin, dan para orang-orang lemah di sekitarnya.
Sudah selayaknya Manshur Bek sebagai seorang suami dapat
memberikan rasa aman, nyaman, tenteram dan bahagia kepada Salma.
Namun justru Manshur Bek tidak mempedulikan Salma, bahkan Salma
tidak mendapatkan rasa nyaman dan aman sebagai seorang istri. Sikap
Manshur Bek yang seperti ini mendorong Salma berbuat salah, Salma
justru pergi sebulan sekali menemui tokoh aku. Salma mencari
kebahagiaan dari orang yang dapat membahagiakannya. Salma mencari
ketenangan, ketenteraman dan rasa kasih sayang dari orang lain. Semua
Salma lakukan karena ia tidak mendapatkan kebahagiaan, kenyamanan
dan keamanan dari suaminya, yang sudah selayaknya ia dapatkan.
Dilihat dari sudut pandang sosial, perbuatan Salma menemui tokoh
aku adalah perbuatan yang salah dan penuh aib. Tidak selayaknya Salma
192
yang sudah memiliki suami menemui lelaki lain tanpa sepengetahuan dan
seizin suaminya. Bahkan Salma menjalin cinta dengan lelaki lain, yaitu
tokoh aku. Hal ini dapat merusak nama baik Salma dan juga dianggap
sebagai aib di dalam masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut:
٩٩٩١:٨٥
Kunna> nachtali> fi> dzalikal-haikalil-qadi>mi.
Kami bertemu secara sembunyi-sembunyi di kuil tua.
٩٩٩١:٨٥
Tsumma nabtasimu mutana>si >na kulla syai’in siwa>l-chubba wa>fara>chihi, mansharifi>na ‘an kulli amrin illa>’n-nafsa wa muyu>laha>, tsumma nata‘a>naqu fanadzu>bu syaghafa>n wa hiya>ma>n.
Kemudian kamipun tersenyum melupakan segalanya kecuali cinta,
berpaling dari segalanya, melupakan jiwa dan keinginan. Kami
saling berpelukkan hingga hati kami luluh.
Adapun yang dilakukan Manshur Bek adalah hal yang tidak dapat
dikatakan benar. Sebagai seorang suami sudah menjadi kewajibannya
melindungi Salma sebagai istrinya, bukan menelantarkannya. Secara sosial
perbuatan Manshur Bek terhadap wanita-wanita miskin, para yatim dan
piatu, para janda, dan orang-orang lemah adalah sebuah tindak kriminal
dan tidak bermoral. Perlakuan Manshur Bek terhadap mereka
mengabaikan hak asasi manusia, karena pada dasarnya setiap orang
memiliki hak untuk hidup tenang.
Dilihat dari sudut pandang kekinian atau masa kini, perbuatan yang
dilakukan oleh Salma maupun Manshur Bek masih dapat ditemui di dalam
193
kehidupan masyarakat. Ketika seorang istri merasa tidak mendapatkan
haknya dari seorang suami, maka dengan tergesa-gesa ia pergi dari rumah
dan mencari lelaki lain yang dapat menghidupinya selayaknya hak yang
didapatkan seorang istri. Secara hukum dan agama tidak ada kata syah
yang menyatakan putusnya hubungan suami-istri di antara keduanya.
Seorang suami pada masa sekarangpun juga masih dapat ditemui, bahwa
seorang suami tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang
kepala keluarga. Kewajiban utama yang seharusnya ia lakukan, yaitu
menafkahi keluarga tidak dapat dilakukan dengan baik dan
bertanggungjawab. Memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan
adalah upaya utama yang wajib dipenuhi oleh seorang kepala keluarga.
Adapun jika dilihat di dalam sebuah masyarakat, ada sebagian
sandang, pangan maupun papan sudah terpenuhi, atau bahkan ada yang
sama sekali tidak terpenuhi oleh seorang suami dan dengan terpaksa tugas
ini diambil alih oleh seorang istri. Istri yang menjadi tulang punggung
keluarga, sedangkan suami di rumah mengurusi rumah. Beruntung jika
suami mengurusi rumah dan anak-anaknya, celakalah jika suami di rumah
hanya bermain dengan teman-temannya, nongkrong, bermain judi, minum-
minuman keras, bahkan yang paling parah merencanakan pencurian
dengan teman-temannya ataupun yang sedang marak sekarang ini adalah
kasus pembegalan.
194
C.3 Membina Keluarga Sakinah atau Keluarga Bahagia
Pernikahan yang harmonis merupakan dambaan setiap orang.
Namun, untuk meraihnya diperlukan pemahaman, pengertian, bahkan
pengorbanan dari kedua belah pihak. Hal ini perlu dilakukan sebelum,
selama, dan setelah pernikahan berlangsung. Apabila hal itu tidak
terpenuhi, maka dapat dipastikan akan menimbulkan permasalahan dalam
perjalanan pernikahan tersebut. Secara umum, fokus masalah dalam
pernikahan ditimbulkan oleh komunikasi yang kurang baik dan terbatas
antar pasangan. Perilaku dari pasangan dalam menunjukkan perasaan yang
berbeda dapat menjadi penyebab terjadinya masalah dalam pernikahan
(Fatchiah, 2009: 29).
Masalah pernikahan memang sangat beragam penyebabnya, antara
lain yang marak terjadi adalah karena kawin muda, poligami, hubungan
dengan mertua, orang tua tidak setuju, perjodohan, bahkan ketidakpuasan
terhadap hubungan suami istri menjadi penyebabnya. Penelitian ini akan
membahas perihal membina keluarga sakinah atau keluarga bahagia.
Membina dalam hal ini adalah segala upaya pengelolaan atau
penanganan berupa merintis, meletakkan dasar, melatih, membiasakan,
memelihara, mencegah, mengawasi, menyantuni, mengarahkan serta
mengembangkan kemampuan suami-istri untuk mewujudkan keluarga
sakinah dengan mengadakan dan menggunakan segala daya, upaya dan
dana yang dimiliki (Depag RI, 2006: 4).
195
Adapun keluarga ialah masyarakat terkecil sekurang-kurangnya
terdiri dari pasangan suami-istri sebagai sumber intinya berikut anak-anak
yang lahir dari mereka. Jadi, setidaknya keluarga adalah pasangan suami-
istri, baik mempunyai anak atau tidak mempunyai anak (Depag RI, 2006:
4). Sri Lestari (2013: 6) menyatakan bahwa keluarga adalah rumah tangga
yang memiliki hubungan darah atau perkawinan atau menyediakan
terselenggaranya fungsi-fungsi instrumental mendasar dan fungsi-fungsi
ekspresif keluarga bagi para anggotanya yang berada dalam suatu jaringan.
Keluarga yang dimaksud dalam hal ini adalah suami-istri yang
terbentuk melalui perkawinan. Maka hidup bersama seorang pria dengan
seorang wanita tidak dapat dinamakan keluarga jika keduanya tidak diikat
oleh perkawinan.
Sakinah adalah rasa tentram, aman, dan damai. Seorang akan
merasakan sakinah apabila terpenuhi unsur-unsur hajat hidup spiritual dan
material secara layak dan seimbang. Hajat hidup yang diinginkan dalam
kehidupan duniawiyah seseorang meliputi: kesehatan, sandang, pangan,
papan, peguyuban, perlindungan hak asasi dan sebagainya (Depag RI,
2006: 5).
Seseorang yang sakinah hidupnya adalah orang yang terpelihara
kesehatannya, cukup sandang, pangan dan papan, diterima dalam
pergaulan masyarakat yang beradab, serta hak-hak asasinya terlindungi
oleh norma agama, norma hukum, dan norma susila.
196
Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan pengertian keluarga
sakinah adalah keluarga yang dibina atas perkawinan yang sah, mampu
memenuhi hajat hidup spiritual dan material secara layak dan seimbang,
diliputi suasana kasih sayang antara anggota keluarga dan lingkungannya
dengan selaras, serasi, serta mampu mengamalkan, menghayati dan
memperdalam nilai keimanan, ketaqwaan dan akhlak mulia (Depag RI,
2006: 5).
Adapun keluarga sakinah dalam pandangan agama Kristen dikenal
sebagai keluarga bahagia. Keluarga bahagia dalam pandangan Kristen
yaitu keluarga yang sesuai dengan prinsip al-Kitab. Setidaknya keluarga
bahagia sesuai dengan prinsip al-Kitab memiliki beberapa prinsip yang
mencakup tentang, kasih, penerapan kasih dalam hidup, hierarki dalam
keluarga Kristen, penyesuaian dalam pernikahan, peringatan kepada suami
dan istri, harga pernikahan harmonis, komitmen dalam pernikahan, visi
dan misi keluarga Kristen, dan menutupi dosa.
a. Membina Keluarga Bahagia Sesuai Prinsip al-Kitab
Salah satu cara membina keluarga bahagia dalam keluarga Kristen
adalah adanya komitmen dalam pernikahan, dengan adanya komitmen di
antara suami dan istri maka ikatan dalam pernikahannya akan semakin
kuat dan sama-sama dihargai komitmen bersama tersebut.
Salah satu ciri penting yang membedakan antara pernikahan yang
berhasil dan berbahagia dengan pernikahan gagal yang ditandai
penderitaan pada anggota-anggota keluarga adalah adanya komitmen yang
197
tinggi pada suami istri yang memiliki pernikahan yang berhasil (Jonathan,
2013: 227). Komitmen adalah perjanjian atau keterikatan untuk melakukan
sesuatu (KBBI, 2007: 584). Keterikatan komitmen tersebut akan menuntut
suatu tekad yang kuat demi mewujudkan suatu hal yang ingin dicapai dari
komitmen tersebut.
Suatu pernikahan yang berhasil, sepasang suami istri memiliki
komitmen yang tinggi demi keberhasilan pernikahan mereka. Mereka
mungkin sadar atau tidak sadar akan adanya komitmen dalam diri mereka
(mungkin juga tidak tahu akan istilah ini), tetapi sikap, tingkah laku, dan
pandangan mereka tentang pernikahan mereka menunjukkan adanya
komitmen yang tinggi terhadap keberhasilan pernikahan dan keluarga
mereka (Jonathan, 2013: 228).
Di antara komitmen dalam pernikahan menurut pandangan
Jonathan adalah adanya tekad kuat sebagaimana hal ini dijelaskan (2013:
228-249), yaitu:
i. “Hanya membahagiakan dan berbahagia dengan pasangan. Suami
adalah „seorang pria satu wanita‟ (atau:Istri adalah „seorang
wanita satu pria‟). Tidak SALAH PILIH.
Komitmen pertama ini menyatakan adanya tekad kuat dalam hati
seseorang tentang prioritas hubungan dengan pasangannya. Seorang suami
atau istri bertekad hanya membahagiakan pasangannya. Hal ini tentu ada
hubungan lain, yaitu seperti membahagiakan orang tua dan anak-anak,
198
tetapi dalam hal prioritas tetap tidak sama dengan membahagiakan
pasangannya (Jonathan, 2013: 228).
Jonathan melanjutkan bahwa hubungan ini adalah hubungan
ekslusif yang tidak dibagikan dengan pria atau wanita lain. Termasuk
kebahagiaan seksual, kemesraan, keterbukaan, prioritas tinggi, dan banyak
hal lain yang hanya diperuntukkan bagi suami atau istri.
Sudah sepantasnya untuk membentuk keluarga bahagia, harus ada
rasa sebagai kewajiban dan tanggungjawab untuk membahagiakan
pasangannya. Kata saling harus ada dari keduanya, percuma jika hanya
suami atau istri saja yang memiliki rasa kewajiban dan tanggungjawab
untuk membahagiakan pasangannya. Tentu hal ini tidak dapat membentuk
keluarga bahagia.
ii. Tidak ada kata CERAI atau PISAH dalam kamus pikiran masing-
masing.
Bab 8 dari surat (Maleakhi [2]: 16), bahwa Allah kita (orang
Kristen) adalah Allah yang membenci perceraian. Sebagai pasangan suami
istri Kristen tidak membiasakan diri menggunakan kata cerai dalam
pertengkaran untuk memberi ultimatum kepada pasangannya. Memang „si
penuduh dan pembinasa manusia‟ (baca: Iblis maupun setan) akan
menggoda untuk melanggar kehendak Allah dengan membiasakan pikiran
cerai, terutama apabila pasangan suami istri ada dalam konflik yang
tampaknya tidak dapat diselesaikan (Jonathan, 2013: 240).
199
Kata cerai bukanlah jalan untuk menyelesaikan segala
permasalahan yang dialami dalam rumah tangga. Kata cerai justru adalah
kata penghancur dalam sebuah hubungan. Kata cerai bukanlah juru
selamat dalam sebuah rumah tangga.Penting bagi seorang suami maupun
istri untuk tidak membiasakan diri megeluarkan kata cerai dalam setiap
menghadapi masalah. Semua permasalahan dapat diselesaikan dengan
tidak mengeluaran kata cerai. Sungguh menjadi larangan bagi setiap istri
maupun suami mengeluarkan kata cerai, jika ingin membentuk pernikahan
atau keluarga bahagia.
iii. Bersedia melakukan segalanya demi keberhasilan pernikahan.
Komitmen ketiga ini dapat dijelaskan bahwa seorang pasangan jika
bersedia membayar harga seberapapun mahalnya demi keberhasilan
pernikahannya – walaupun tentu tidak sampai berdosa atau melanggar
kehendak Allah. Pernikahan dikatakan tidak kokoh, suami dan istri, atau
salah satunya, sudah tidak bersedia membayar harga untuk mendapatkan
pernikahan yang harmonis (Jonathan, 2013: 247).
Komitmen ketiga ini dapat diartikan bahwa seorang suami dan istri
bersedia berkorban demi keharmonisan pernikahannya. Seorang suami
bersedia berkorban untuk bekerja lebih keras untuk memenuhi kebutuhan
sandang, pangan, dan papan bagi keluarganya, meluangkan waktu di sela-
sela kesibukannya walau hanya sekedar untuk menemani istri berbelanja
atau hal lainnya, meluangkan waktu untuk menemani anak-anaknya
bermain. Bersedia meluangkan waktu untuk berlibur bersama keluarganya
200
di akhir pekan dan pengorbanan-pengorbanan kecil lainnya yang dapat
membangun kerharmonisan pernikahannya.
Seorang istri rela berkorban untuk menyiapkan dan menemani
suaminya makan malam walaupun dirinya sudah makan. Menyiapkan air
hangat untuk mandi suaminya ketika pulang larut malam. Bersedia
menyiapkan sarapan walaupun hanya sekedar kopi atau teh hangat dengan
roti untuk menyambut dan memberikan sedikit semangat pada suaminya
untuk beraktivitas. Bukan hal benar jika semua itu disiapkan oleh
pembantunya, jika hal demikian terjadi maka keharmonisan yang ada di
dalam sebuah pernikahan tidak akan berlangsung lama.
iv. Tidak mengizinkan ORANG LAIN atau SITUASI atau MATERI
mengurangi keberhasilan pernikahan.
Hubungan yang harmonis dalam pernikahan juga ditandai dengan
usaha suami istri untuk menjaga dan melindungi pernikahan mereka.
Mereka tidak mengizinkan apapun dan siapapun, termasuk uang, karier,
orang tua, saudara, boss dan perusahaan, untuk merusak pernikahan
mereka (Jonathan, 2013: 249).
Jonathan (2013: 252) menjelaskan lebih lanjut, bahwa tindakan-
tindakan tegas harus diambil bila ada orang atau situasi yang mengganggu
untuk menjaga keutuhan pernikahan. Apabila tidak, pengaruh buruknya
mungkin dapat merusak atau melenyapkan kebahagiaan keluarga. Bahkan,
adanya uang yang berlimpah atau habisnya persediaan uang tidak
seharusnya diizinkan menghancurkan sebuah pernikahan.
201
Keempat macam komitmen di atas adalah sedikit contoh komitmen
besar yang dapat menjaga keharmonisan sebuah pernikahan. Banyak
komitmen yang dapat dibuat demi membentuk dan mewujudkan
pernikahan yang bahagia sesuai dengan prinsip al-Kitab.
b. Membina Keluarga Sakinah
Konsep keluarga bahagia dalam pernikahan agama Kristen dapat
disetarakan dengan konsep keluarga sakinah dalam pernikahan agama
Islam. Adapun keluarga sakinah dalam pandangan Islam menurut Riyadi
(2013: 104), memiliki tiga ciri atau tiga unsur yang menjadi bangunan
kehidupan sebagai tujuan perkawinan dalam Islam seperti yang termaktub
dalam al-Qur‟an surat ar-Rum ayat 21, yaitu:
Wa min ayatihi an khalaqa laku’m-min anfusikum azwa>ja>’l-li taskunu> ilaiha> wa ja‘ala bai>naku’m-mawaddatan wa rahmatan inna fi> dzalika li ayatin li qaumin yatafakkaru>n (ar-ru>m: 21).
21. dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya
kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-
Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir (Qs. Ar-Ru>m, [30]: 21).
Pertama, litaskunu> illaiha> yang berarti sakinah, ketenangan dan
ketenteraman, saling cinta dan kasih sayang, supaya suami senang dan
tenteram. Kewajiban istri berusaha menenangkan suami.
Kedua, mawadah atau saling mencintai. Cinta bersifat subjektif
yaitu untuk kepentingan orang yang mencintai.
202
Ketiga, rahmat yaitu kasih sayang yang bersifat objektif, yaitu
sayang yang menjadi landasan bagi cinta. Cinta semakin lama semakin
kuat dan mantap. Cinta hanya mampu bertahan pada saat perkawinan
masih baru dan muda, sedangkan kasih sayang yang mendominan cinta.
Ciri keluarga sakinah menurut Riyadi (2013: 105), yaitu:
c. Kehidupan beragama dalam keluarga.
d. Mempunyai waktu bersama.
e. Mempunyai pola komunikasi yang baik bagi sesama anggota
keluarga.
f. Saling menghargai satu dengan yang lain.
g. Masing-masing merasa terikat dalam ikatan keluarga sebagai
kelompok.
h. Bila terjadi suatu masalah dalam keluarga mampu menyelesaikan
secara positif dan konstruktif.
Berdasarkan poin-poin di atas dapat dijelaskan bahwa dari ciri-ciri
keluarga sakinah menurut Riyadi tersebut, dapat dijadikan sebagai langkah
atau cara mewujudkan keluarga sakinah. Bahwa keluarga sakinah haruslah
dalam sebuah keluarga dapat diwujudkan sebagai sebuah kehidupan yang
beragama. Sebagaimana pedoman hidup seseorang adalah agamanya
sendiri.
Waktu untuk bersama keluarga menjadi hal penting dalam
mewujudkan keluarga sakinah, dari waktu bersama akan terwujudkan rasa
bahagia, rasa aman, rasa memiliki keluarga. Berawal dari kesediaan
203
meluangkan waktu bersama maka akan terwujud komunikasi yang baik
antara anggota. Berawal dari komunikasi tersebut, maka setiap ada
permasalahan yang dialami keluarga atau anggotanya maka akan dapat
diselesaikan secara positif dan konstruktif.
Adapun rasa terikat dalam diri masing-masing adalah terikat dalam
ikatan keluarga sebagai kelompok, maka bermula dari perasaan tersebut
akan mendorong pada diri setiap masing-masing anggota keluarga untuk
dapat menghargai satu sama lain.
Hal-hal di atas merupakan sedikit cara dari sekian banyak cara
dalam mewujudkan keluarga sakinah. Pada intinya dalam membina
keluarga sakinah adalah menjadi peran dan tanggungjawab semua pihak
anggota keluarga, baik suami, istri, dan anak-anak, maupun anggota
keluarga yang berasal dari pihak suami ataupun pihak istri. Karena
keluarga sakinah adalah keluarga yang terwujud rasa aman, nyaman,
tenteram, bahagia serta tercukupi segala kebutuhan yang ada di dalam
keluarga utamanya kebutuhan sandang, pangan, dan papan.
Pertalian nikah adalah pertalian yang seteguh-teguhnya dalam
hidup dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami istri dan
keturunannya, melainkan antara dua keluarga. Berasal dari pergaulan yang
baik antara istri dengan suaminya, rasa kasih mengasihi, maka akan
perpindahlah kebaikan tersebut kepada semua keluarga dari kedua belah
pihak. Sehingga mereka menjadi satu dalam segala urusan tolong-
menolong sesamanya dalam menjalankan kebaikkan dan mencegah segala
204
kejahatan. Selain itu, dengan pernikahan seseorang akan terpelihara dari
kebinasaan hawa nafsunya (Daryono, 2015: 2).
Kaitannya dengan permasalahan yang ada di dalam novel bahwa
dalam pernikahan Manshur Bek dengan Salma tidak terwujud sebagai
pernikahan bahagia sesuai dengan prinsip al-Kitab dalam pandangan
Kristen maupun sebagai keluarga sakinah dalam pandangan Islam.
Pernikahan Manshur Bek dengan Salma tidak ada kebahagiaan, tidak ada
rasa nyaman, aman dan tenteram dalam diri Salma karena pernikahannya.
Tidak ada komitmen yang mengikat keduanya, juga tidak ada kata „saling‟
dalam diri Manshur Bek. Salma telah berusaha menjadi seorang istri yang
selayaknya melayani suami dengan baik, justru ia tidak mendapatkan
perlakuan yang selayaknya sebagai seorang istri dari suaminya, Manshur
Bek. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut:
٩٩٩١:٧٤
Ma>ta Fa>risu Kara>mahu wa ‘a>naqat a’l-abadi>yyah ru>chuhu wa istarja‘a’t-tura>bu jasaduhu, wa istauli> Manshuru bika ‘ala> amwa>lihi wa zhallat ibnatuhu asi>ratan ta‘a>satha> tara>l-chayah ma’sa>tan ha>’ilatan tumatstsiluha> incha>fun amma>ma ‘aini>na>.
Faris Affandy Karamah telah meninggal dunia, ruhnya berada
dalam pelukan keabadian, dan jasad kembali ke bumi tempat ia
berasal. Manshur Bek Ghalib mengambil alih seluruh harta
bendanya, dan Salma menjadi seorang tawanan dalam hidupnya –
hidup yang dipenuhi oleh duka cita dan nestapa.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa setelah
kematian Faris Affandy Karamah, Manshur Bek mengambil alih semua
205
harta kekayaan Faris Affandy Karamah. Adapun Salma tetap hidup
menderita. Hidupnya dipenuhi dengan duka cita dan nestapa. Kematian
Faris Affandy tidak menjadikan Manshur Bek lebih mengasihi dan
menyayangi Salma, namun jutsru semakin menelantarkan Salma.
٩٩٩١:٨٤
Ka>nal-qadha>’u qad chukima ala> an asi>ra ala> ‘uquba>til-chaya>h mutsqalatan bil-quyu>di wa bi’s-sala>sili.
Nasib telah menggariskan bahwa aku harus berjalan di lorong
kehidupan yang gelap dan dibebani belenggu.
Kutipan di atas menjelaskan bahwa setelah menikah dengan
Manshur Bek, hidup Salma bagaikan berjalan di lorong yang gelap dan
dibebani belenggu. Maksudnya bahwa hidup Salma setelah menikah
dengan Manshur Bek tidak menjadi lebih bahagia dibandingkan dengan
kehidupan sebelumnya. Salma sudah tidak dapat merasa ada kebahagiaan
dalam kehidupannya, karena menikah dengan Manshur Bek adalah
belenggu yang tidak dapat dilepaskan kecuali dengan kematian. Bukti-
bukti lainnya yang dapat memperkuat hal ini yaitu dalam kutipan berikut:
٩٩٩١:٨٤
La> aqdiru an aqu>la kulla syai’in, li annal-lisa>nu’l-ladzi> akhrasathul-auja>‘u la> yatakallamu.
Aku tidak bisa, sebab lidahku telah menjadi kelu oleh penderitaan
yang membuatku tak dapat berbicara.
206
٩٩٩١:٨٧
Wala>kinna’sy-syuku>ka tukha>miruhu wa’zh-zhunu>na tatala>‘abu bi ‘afka>rihi, wa qad batstsa ‘aliyyil-‘uyu>nu li taraqqibani> wa au‘aza ila> khadamihi li yatajassu> charaka>ti> hatta> shirtu asy‘uru bi anna lil-manzili’l-ladzi askunuhu wa’th-thariqa>ti’l-lati> asi>ru ‘alaiha> nawa>zhirun tachduqu biy wa asha>bi‘un tusyi>ru ilayya wa a>dza>nun tasma‘u hamsa>n afka>riya>n.
...Tetapi dia mulai curiga, ia telah memerintahkan seluruh mata-
mata memperhatikanku dengan seksama. Aku merasa merasa
rumah yang kutempati dan lorong yang aku lewati, semuanya telah
dihuni oleh mata-mata yang mengawasiku. Jari-jarinya menunjuk
padaku, dan telinganya mendengar bisikan dalam pikiranku.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa Salma tidak
merasa aman meskipun di rumahnya sendiri. Kehidupannya bersama
Manshur Bek masih saja dibayang-bayangi ketakutan kepada Pendeta
Ghalib. Kemanapun gerak Salma selalu diawasi oleh mata-mata Pendeta
Ghalib yang ditugaskan untuk tetap menjaga dan mengawasi Salma
sebagai tawanannya. Semua hal yang dilakukan Pendeta Ghalib membuat
segala penderitaan yang dialami Salma tidak lagi dapat diungkapkan
dengan kata-kata.
٩٩٩١:٩٩
Sa’a‘u>dul-a>na farchatan ila>l-kahfil-muzhlimi haitsu tatara>kadhul-asyba>chul-mukhi>fah.
Sekarang aku akan kembali dengan rasa bahagia ke guaku yang
gelap, di mana hantu-hantu yang menyeramkan tinggal di
dalamnya.
207
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa tempat tinggal
Salma tidak dapat memberikan rasa aman dan nyaman bagi dirinya.
٩٩٩١:٩٥٩
Ka>na thifluha> qad ja>’a li ya’khudzuha> wa yanqadzaha> min mazha>limi zaujiha> wa qasa>watihi.
Sepertinya anak itu datang untuk mengambil ibunya dan
menyelamatkannya dari kezaliman dan kekejaman suaminya.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa Salma tidak
mendapatkan perlakuan yang baik dari suaminya. Ia justru mendapatkan
kezaliman dan kekejaman dari seorang suami.
Semua kewajiban-kewajiban sebagai seorang istri telah ditunaikan
oleh Salma, tapi Salma justru tidak mendapatkan hak-hak yang seharusnya
ia dapatkan. Salma justru ditelantarkan sebagai seorang istri yang baik
oleh Manshur Bek. Kebaikan Salma tidak ada artinya di mata Manshur
Bek karena Salma adalah seorang perempuan mandul. Manshur Bek
menganggap bahwa Salma adalah perempuan yang penuh aib karena ia
tidak dapat memberikan keturunan bagi Manshur Bek. Hal ini dapat dilihat
dari kutipan berikut:
٩٩٩١:٩٠
208
Anna’r-rajulul-ma>di> yanzhuru ila> zaujatihil-‘a>qiri bil-‘aini’l-lati> yara> biha>l-inticharal-bathi>’u fayamqutuha> wa yahjuruha> wa yathlubu chatafaha> ka annaha> ‘aduwwun ghada>run yuri>dul-fatka bihi. Wa Manshuru Bika Gha>libun ka>na ma>diya>n ka>’t-turrabi wa qa>siya>n ka>l-fu>la>dzi wa tha>ma‘a>n ka>l-maqbarah, wa ka>nat raghbatuhu bi ibnin yaritsu ismahu wa su’dadihi takrahuhu bi Salma> a’l-miski>nah wa tachulu macha>sinaha> fi> ‘ainaihi ila> ‘uyu>bi jahanamiyatin.
Seorang laki-laki yang gila harta akan memandang istri yang tidak
memberikan keturunan sebagai seorang musuh. Dia akan
membenci dan meninggalkannya bahkan berharap kematian
secepat mungkin menjemput sang istri. Manshur Bek Ghalib
termasuk lelaki semacam itu, keras seperti baja, dan rakus bagaikan
kuburan. Keinginan untuk memiliki putra yang akan mewarisi
namanya, membuat dia membenci Salma, tak peduli betapa lembut
dan cantiknya Salma, di mata Manshur Bek Ghalib ia adalah
wanita yang penuh aib.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa Manshur Bek
adalah orang yang gila harta. Ia adalah orang yang keras seperti baja, dan
rakus seperti kuburan. Ia menganggap Salma sebagai seorang musuh
karena Salma tidak dapat memberikan keturunan bagi Manshur Bek.
Sekalipun Salma adalah seorang istri yang penuh bakti kepada suaminya,
tetap saja di mata Manshur Bek Salma adalah wanita yang penuh dengan
aib karena ia tidak dapat memberikan putra bagi Manshur Bek.
Pada masa kini, kemandulan menjadi problem yang dapat
menjadikan rumit permasalahan dalam sebuah rumah tangga. Bahkan
menjadi „momok‟ dalam pernikahan. Jika tidak dapat mengatasi
permasalahan ini maka jalan cerai adalah jalan yang tidak sedikit yang
dipilih sebagai jalan terakhir. Karena orang berfikir bahwa tujuan utama
menikah adalah memiliki keturunan yang dapat mewarisi namannya.
Seperti yang ada di dalam pikiran Manshur Bek. Namun jalan cerai
209
bukanlah jalan terbaik bagi permasalahan ini. Zaman sekarang ini
melakukan tes kesehatan seksualitas bagi para calon pengantin dianjurkan
oleh para dokter maupun psikolog, hal ini menjadikan salah satu solusi
untuk mengurangi angka perceraian yang disebabkan karena kemandulan
ataupun yang disebabkan karena seksualitas. Tes seksualitas juga akan
menjadi salah satu jalan dalam membentuk dan mewujudan keluarga
bahagia atau keluarga sakinah, meskipun hal tersebut pengaruhnya tidak
dapat dirasakan secara langsung.
Berdasarkan pembahasan membina keluarga sakinah atau keluarga
bahagia dari dua sudut pandang agama yang berbeda dapat ditarik
kesimpulan, agama Kristen mengajarkan bahwa yang diidamkan dalam
sebuah pernikahan adalah terbentukanya keluarga bahagia sesuai dengan
prinsip-prinsip al-Kitab. Keluarga yang dilimpahi berkah oleh Tuhan dan
menjiwai sifat-sifat Kristus di dalam kerohanian keluarganya. Salah satu
contoh atau cara untuk mencapai keluarga yang harmonis dan bahagia
adalah dengan adanya komitmen yang mengikat hubungan suami istri
dalam pernikahan satu untuk selamanya. Seperti yang telah diajaran gereja
pada jemaatnya sebelum menikah, bahwa di dalam agama Krsiten tidak
ada perceraian. Selamanya gereja tidak pernah mengesahkan dan
mengakui sebuah perceraian.
Di dalam agama Kristen ada pembinaan rutin yang diadakan oleh
gereja bagi jemaat yang akan menikah. Pembinaan tersebut dilakukan
untuk mencapai dan mewujudkan pernikahan yang bahagia sesuai prinsip
210
al-Kitab. Putra-putri jemaat yang akan menikah harus dibina hingga gereja
yakin untuk melakukan pemberkatan pada kedua calon mempelai.
Adapun Islam mengajarkan bahwa tujuan utama menikah adalah
membentuk keluarga sakinah. Di mana tercipta kebahagiaan dan keluarga
yang beragama dalam pernikahannya. Adapun setiap doa yang dipanjatkan
kepada pengantin adalah terciptanya kelurga sakinah, mawadah, wa
rahmah. Pada intinya, ketika telah tercipta sakinah dalam sebuah keluarga
tentu keluarga tersebut mawadah wa rahmah. Ketika sebuah keluarga
litaskunu> illaiha> maka ketenangan, ketenteraman, saling cinta dan kasih
sayang, supaya suami senang dan tenteram tentu akan melingkupi sebuah
keluarga. Hal-hal tersebutlah yang mendorong mawadah wa rahmah
mengiringi kehidupan keluarga. Seiring pernikahan itu melangkah, ketika
sakinah dapat terwujud, maka rahmah yang menjadi landasan cinta
semakin lama semakin kuat dan mantap. Karena sejatinya cinta atau saling
cinta – mawadah – hanya bertahan sebentar, sedangkan kasih sayang atau
rahmah adalah perasaan yang mampu bertahan lama. Dapat dikatakan
bahwa kasih sayang inilah yang menjadi energi dari cinta untuk selalu
memuwujudkan sakinah.
Secara umum dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk membina
keluarga bahagia menjadi tanggungjawab dari semua pihak keluarga.
Tanggungjawab ini tidak dapat dibebankan dan disandarkan kepada salah
satu pihak saja. Bukan menjadi tanggungjawab seorang suami saja untuk
mewujudkan keluarga bahagia, hanya karena mengingat bahwa suami
211
adalah kepala keluarga yang memiliki tanggungjawab penuh terhadap
keluarganya. Bukan pula menjadi tanggungjawab istri saja yang lebih
memiliki banyak waktu luang dibandingkan suaminya.
Mewujudkan keluarga bahagia menjadi tanggungjawab semua
anggota keluarga. Sejatinya keluarga adalah komponen yang setidak-
tidaknya terdiri dari suami dan istri, maka untuk mewujudkan keluarga
bahagia dapat diwujudkan melalui interaksi-interaksi yang baik minimal
dimulai dari seorang suami dengan istri, jika sudah dapat terlaksana
dengan baik maka interaksi antara anggota keluarga satu dengan yang
lainnya dapat terwujud dengan baik juga. Aspek yang menjadi hal penting
dalam keluarga sakinah adalah harus dapat mewujudkan hubungan yang
baik di dalam keluarga baik itu hubungan suami istri, hubungan ayah
dengan anak-anaknya, ibu dengan anak-anaknya, dan begitu juga
sebaliknya hubungan anak-anak dengan orangtuanya. Adapun jika hal
tersebut dapat dilakukan maka setiap permasalahan yang ada di dalam
keluarga dapat ditangani dan diselesaikan dengan baik. Keluarga dapat
diterima oleh masyarakat tempat tinggalnya karena bisa hidup bahagia,
aman dan tenteram tanpa menganggu masyarakat yang lainnya.