bab ii tinjauan umum mengenai penerapan sanksi ... ii.pdfmengatur yaitu tata tertib yang dapat...

23
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENERAPAN SANKSI, PELANGGARAN DAN TENAGA KERJA INDONESIA 2.1. Tinjauan Umum tentang Penerapan Sanksi 2.1.1. Pengertian Penerapan Sanksi Seorang filosof Yunani,Aristoteles, mengatakan bahwa manusia adalah zoon politicon, artinya manusia merupakan makhluk yang hidup bermasyarakat. Sejak lahir hingga meninggal, manusia hidup ditengah-tengah masyarakat dan melakukan hubungan dengan manusia yang lain. Hubungan antara seseorang dengan orang-orang lain mungkin bersifat langsung ataupun tidak langsung. Hubungan itu menyebabkan kehidupan bermasyarakat antara manusia saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Kebutuhan dapat sama dengan satu yang lainnya, atau bahkan dapat bertentangan/berlawanan. 1 Pertentangan-pertentangan tersebut dapat menimbulkan perselisihan dan kekacauan di dalam masyarakat, untuk mengatasinya diadakan ketentuan yang mengatur yaitu tata tertib yang dapat mengembangkan kepentingan yang bertentangan tersebut, sehingga timbul kedamaian (Rust en Orde). Ketentuan- ketentuan tersebut merupakan petunjuk hidup yang merupakan hukum yang berkembang bersama-sama masyarakat atau dengan lain perkataan hukum berarti tertib sosial. 2 1 R. Soeroso, 2006, Pengantar Ilmu Hukum, cet. ke-8, Sinar Grafika, Jakarta, h. 40. 2 ibid, h. 41

Upload: phamque

Post on 15-Mar-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI PENERAPAN SANKSI,

PELANGGARAN DAN TENAGA KERJA INDONESIA

2.1. Tinjauan Umum tentang Penerapan Sanksi

2.1.1. Pengertian Penerapan Sanksi

Seorang filosof Yunani,Aristoteles, mengatakan bahwa manusia adalah zoon

politicon, artinya manusia merupakan makhluk yang hidup bermasyarakat. Sejak

lahir hingga meninggal, manusia hidup ditengah-tengah masyarakat dan

melakukan hubungan dengan manusia yang lain. Hubungan antara seseorang

dengan orang-orang lain mungkin bersifat langsung ataupun tidak langsung.

Hubungan itu menyebabkan kehidupan bermasyarakat antara manusia saling

membutuhkan satu dengan yang lainnya. Kebutuhan dapat sama dengan satu yang

lainnya, atau bahkan dapat bertentangan/berlawanan.1

Pertentangan-pertentangan tersebut dapat menimbulkan perselisihan dan

kekacauan di dalam masyarakat, untuk mengatasinya diadakan ketentuan yang

mengatur yaitu tata tertib yang dapat mengembangkan kepentingan yang

bertentangan tersebut, sehingga timbul kedamaian (Rust en Orde). Ketentuan-

ketentuan tersebut merupakan petunjuk hidup yang merupakan hukum yang

berkembang bersama-sama masyarakat atau dengan lain perkataan hukum berarti

tertib sosial.2

1 R. Soeroso, 2006, Pengantar Ilmu Hukum, cet. ke-8, Sinar Grafika, Jakarta, h. 40.

2 ibid, h. 41

Berbicara mengenai hukum, maka sebaiknya membahas tentang artinya

terlebih dahulu. Secara etimologis, hukum berasal dari bahasa Arab yaitu “Alkas”,

bahasa Jerman disebut sebagai “Recht”, bahasa Yunani yaitu “Ius”, sedangkan

dalam bahasa Prancis disebut “Droit”. Kesemuanya itu mempunyai arti yang

kurang lebih sama, yaitu hukum merupakan paksaan, mengatur dan memerintah.3

Menurut Utrecht sebagaimana yang dikutip oleh Soeroso dalam bukunya

yang berjudul Pengantar Ilmu Hukum, mengatakan bahwa ilmu hukum

merupakan himpunan petunjuk hidup (perintah-perintah) dan larangan-larangan

yang mengatur tata tertib dalam sesuatu masyarakat dan seharusnyalah ditaati oleh

anggota masyarakat itu. Oleh karena itu, pelanggaran petunjuk tersebut dapat

menimbulkan tindakan dari pihak pemerintah terhadap masyarakat itu.4

Menurut P. Borst hukum adalah keseluruhan peraturan bagi kelakuan atau

perbuatan manusia di dalam masyarakat yang pelaksanaannya dapat dipaksakan

dan bertujuan agar menimbulkan tata kedamaian atau keadilan. Pelaksanaan

peraturan hukum itu dapat dipaksakan artinya bahwa hukum mempunyai sanksi,

berupa ancaman dengan hukuman terhadap si pelanggar atau merupakan ganti-

rugi bagi yang menderita.5

Dari kedua definisi tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa hukum

berkaitan dengan sanksi. Hal ini dapat dipahami karena pada dasarnya hukum itu

memiliki sifat mengatur dan memaksa. Didalam sifat hukum yang mengatur,

terdapat larangan-larangan.Apabila suatu larangan tersebut dilanggar, maka dapat

3 Soerjono Soekanto, 1985, Teori Yang Murni Tentang Hukum, PT. Alumni, Bandung,

(selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto II) h. 40. 4 R. Soeroso, loc. cit.

5 R. Soeroso, op. cit., h. 27.

menimbulkan sanksi. Sanksi hukum ini bersifat memaksa, hal ini berarti bahwa

tertib itu akan bereaksi terhadap peristiwa-peristiwa tertentu karena dianggap

merugikan masyarakat sebagai akibat dari adanya pelanggaran tersebut. Dengan

cara memaksa, maka suatu penderitaan dikenakan terhadap seseorang dengan

paksa walaupun yang bersangkutan tidak menghendakinya.

Menurut Black’s Law Dictionary, sanction (sanksi) adalah “a penalty or

coercive measure that results from failure to comply with a law, rule, or order (a

sanction for discovery abuse)” atau sebuah hukuman atau tindakan memaksa

yang dihasilkan dari kegagalan untuk mematuhi undang-undang.6 Sedangkan

pengertian sanksi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan tanggungan

(tindakan atau hukuman) untuk memaksa orang menepati perjanjian atau menaati

ketentuan undang-undang (anggaran dasar, perkumpulan, dan sebagainya);

tindakan (mengenai perekonomian) sebagai hukuman kepada suatu

negara;Hukum, a imbalan negatif, berupa pembebanan atau penderitaan yg

ditentukan dalam hukum; b imbalan positif, yg berupa hadiah atau anugerah yg

ditentukan dalam hukum.7

Berbagai tipe ideal dapat dirumuskan atas dasar cara-cara perilaku manusia

dilaksanakan berdasarkan perintah atau larangan. Suatu tertib sosial mungkin

memerintahkan agar manusia melakukan perbuatan tertentu, tanpa memberikan

akibat tertentu apabila perintah itu ditaati atau dilanggar. Suatu tertib sosial dapat

pula memerintahkan agar suatu perbuatan dilakukan sekaligus dengan imbalan

6 Samsul Ramli dan Fahrurrazi, 2014, Bacaan Wajib Swakelola Pengadaan Barang/Jasa,

Visimedia Pustaka, Jakarta, h. 191. 7 Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1995, Balai Fustaka, Jakarta, h. 1265.

atau hukumannya. Imbalan dan hukuman merupakan sanksi-sanksi, namun

lazimnya hanya hukuman yang disebut sebagai sanksi.

Menurut Hans Kelsen, sanksi didefinisikan sebagai reaksi koersif

masyarakat atas tingkah laku manusia (fakta sosial) yang mengganggu

masyarakat. Setiap sistem norma dalam pandangan Hans Kelsen selalu bersandar

pada sanksi. Esensi dari hukum adalah organisasi dari kekuatan, dan hukum

bersandar pada sistem paksaan yang dirancang untuk menjaga tingkah laku sosial

tertentu. Dalam kondisi-kondisi tertentu digunakan kekuatan untuk menjaga

hukum dan ada sebuah organ dari komunitas yang melaksanakan hal tersebut.

Setiap norma dapat dikatakan “legal” apabila dilekati sanksi, walaupun norma itu

harus dilihat berhubungan dengan norma yang lainnya.8

2.1.2. Jenis-Jenis Sanksi

a. Sanksi Pidana

Sanksi pidana merupakan sanksi yang bersifat lebih tajam jika dibandingkan

dengan pemberlakuan sanksi pada hukum perdata maupun dalam hukum

administrasi. Pendekatan yang dibangun adalah sebagai salah satu upaya untuk

mencegah dan mengatasi kejahatan melalui hukum pidana dengan pelanggaran

dikenakan sanksinya berupa pidana.Menurut Roeslan Saleh, sebagaimana yang

dikutip oleh Samsul Ramli dan Fahrurrazi, mengemukakan pendapat bahwa

pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan

sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik (perbuatan yang dapat dikenakan

hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang). Hukum

8 Antonius Cahyadi dan E. Fernando M. Manullang, 2007, Pengantar Ke Filsafat Hukum,

Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 84.

pidana menentukan sanksi terhadap pelanggaran peraturan larangan. Sanksi itu

dalam prinsipnya terdiri atas penambahan penderitaan dengan sengaja.9

Wujud atau sifat perbuatan pidana itu adalah melawan hukum dan/atau

perbuatan-perbuatan tersebut juga merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan

dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat

yang dianggap baik dan adil. Namun, perbuatan seseorang dikatakan sebagai

tindak pidana apabila perbuatan tersebut telah tercantum dalam undang-undang.

Dengan kata lain, untuk mengetahui sifat perbuatan tersebut dilarang atau tidak,

harus dilihat dari rumusan undang-undang.10

Sumber hukum pidanadi Indonesia merupakan kitab undang-undang hukum

pidana (KUHP) sebagai induk aturan umum dan peraturan perundang-undangan

khusus lainnya di luar KUHP. Sebagai induk aturan umum, KUHP mengikat

peraturan perundang-undangan khusus di luar KUHP. Namun, dalam hal-hal

tertentu peraturan perundang-undangan khusus tersebut dapat mengatur sendiri

atau berbeda dari induk aturan umum, seperti misalnya UU RI No. 39 Tahun

2004.Bentuk hukuman Pidana diatur dalam Pasal 10 KUHP, yaitu :

1. Pidana Pokok, yang terbagi atas :

a. Pidana Mati;

b. Pidana Penjara;

c. Pidana Kurungan;

d. Pidana denda;

e. Pidana Tutupan.

2. Pidana Tambahan, yang terbagi atas :

a. Pencabutan hak-hak tertentu

b. Perampasan barang-barang tertentu

c. Pengumuman putusan hakim.

9 Samsul Ramli dan Fahrurrazi, op. cit., h. 192.

10Samsul Ramli dan Fahrurrazi, loc. cit.

b. Sanksi Perdata

Hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara

sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian,

kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha, dan tindakan-tindakan yang

bersifat perdata lainnya. Bentuk sanksi hukum perdata dapat berupa kewajiban

untuk memenuhi prestasi (kewajiban) dan atau hilangnya suatu keadaan hukum,

diikuti dengan terciptanya suatu keadaan hukum baru. Bentuk putusan yang

dijatuhkan hakim dapat berupa :

1. Putusan Constitutif yakni putusan yang menghilangkan suatu keadaan

hukum dan menciptakan hukum baru,contohnya adalah putusan perceraian

suatu ikatan perkawinan;

2. Putusan Condemnatoir yakni putusan yang bersifat menghukum pihak

yang dikalahkan untuk memenuhi kewajibannya, contohnya adalah

putusan hukum untuk wajib membayar kerugian pihak tertentu;

3. Putusan Declaratoir yakni putusan yang amarnya menciptakan suatu

keadaan yang sah menurut hukum, menerangkan dan menegaskan suatu

keadaan hukum semata-mata, contohnya adalah putusan sengketa tanah

atas penggugat atas kepemilikan yang sah.11

c. Sanksi Administratif

Pada hakikatnya, hukum administrasi negara memungkinkan pelaku

administrasi negara untuk menjalankan fungsinya dan melindungi warga terhadap

sikap administrasi negara, serta melindungi administrasi negara itu sendiri. Peran

pemerintah yang dilakukan oleh perlengkapan negara atau administrasi negara

harus diberi landasan hukum yang mengatur dan melandasi administrasi negara

dalam melaksanakan fungsinya. Hukum yang memberikan landasan tersebut

dinamakan hukum administrasi negara.

11

Samsul Ramli dan Fahrurrazi, op. cit., h. 193.

Sanksi dalam Hukum Administrasi yaitu “alat kekekuasaan yang bersifat

hukum publik yang dapat digunakan oleh pemerintah sebagai reaksi atas

ketidakpatuhan terhadap kewajiban yang terdapat dalam norma Hukum

Administrasi Negara.” Berdasarkan definisi ini tampak ada empat unsur sanksi

dalam hukum administrasi Negara, yaitu alat kekuasaan (machtmiddelen), bersifat

hukum publik (publiekrechtlijke), digunakan oleh pemerintah (overheid), sebagai

reaksi atas ketidakpatuhan (reactive op niet-naleving).12

Jenis Sanksi Administrasi dapat dilihat dari segi sasarannya yaitu:

a. Sanksi reparatoir, artinya sanksi yang diterapkan sebagai reaksi atas

pelanggaran norma, yang ditujukan untuk mengembalikan pada kondisi

semula sebelum terjadinya pelanggaran, misalnya bestuursdwang,

dwangsom;

b. Sanksi punitif, artinya sanksi yang ditujukan untuk memberikan hukuman

pada seseorang, misalnya adalah berupa denda administratif;

c. Sanksi regresif, adalah sanksi yang diterapkan sebagai reaksi atas

ketidakpatuhan terhadap ketentuan yang terdapat pada ketetapan yang

diterbitkan.13

Perbedaan antara sanksi administrasi dan sanksi pidana dapat dilihat dari

tujuan pengenaan sanksi itu sendiri. Sanksi administrasi ditujukan kepada

perbuatan pelanggarannya, sedangkan sanksi pidana ditujukan kepada si

pelanggar dengan memberi hukuman berupa nestapa. Sanksi administrasi

dimaksudkan agar perbuatan pelanggaran itu dihentikan. Sifat sanksi adalah

reparatoir artinya memulihkan pada keadaan semula. Di samping itu perbedaan

antara sanksi pidana dan sanksi administrasi ialah tindakan penegakan hukumnya.

Sanksi adminitrasi diterapkan oleh pejabat tata usaha negara tanpa harus melalui

12

Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, PT. RajaGrafindo, Jakarta, h. 315. 13

ibid, h. 319.

prosedur peradilan, sedangkan sanksi pidana hanya dapat dijatuhkan oleh hakim

pidana melalui proses pengadilan.14

d. Sanksi Pidana Administratif

Bidang hukum administratif dikatakan sangat luas karena hukum

administratif menurut Black Law Dictionary sebagaimana dikutip oleh Barda

Nawawi Arief dalam bukunya Kapita Selekta Hukum Pidana mengemukakan

bahwa, hukum administrasi merupakan seperangkat hukum yang diciptakan oleh

lembaga administrasi dalam bentuk undang-undang, peraturan-peraturan,

perintah, dan keputusan-keputusan untuk melaksanakan kekuasaan dan tugas-

tugas pengaturan/mengatur dari lembaga yang bersangkutan.15

Bertolak dari pengertian diatas, maka hukum pidana administrasi dapat

dikatakan sebagai “hukum pidana di bidang pelanggaran-pelanggaran hukum

administrasi”. Oleh karena itu, Black Law Dictionary menyatakan bahwa

“kejahatan/tindak pidana administrasi” (“administrative crime”) dinyatakan

sebagai “An offence consisting of violation of an administrative rule or regulation

and carrying with it a criminal sanction”.16

Hukum administrasi pada dasarnya merupakan hukum yang mengatur atau

hukum pengaturan (regulatory rules), yaitu hukum yang dibuat dalam

melaksanakan kekuasaaan mengatur/pengaturan (regulatory powers), maka

hukum pidana administrasi sering disebut pula hukum pidana (mengenai)

pengaturan atau hukum pidana dari aturan-aturan (Ordnungstrafrecht atau

14

Philipus M. Hadjon dkk, 2008, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, cet. ke-X,

Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, h. 247. 15

Barda Nawawi Arief, 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung, h. 13. 16

ibid, h. 14.

Ordeningstrafrecht). Selain itu, karena istilah hukum administrasi juga ada yang

menyebutnya sebagai hukum pidana pemerintahan, sehingga dikenal pula istilah

Verwaltungsstrafrecht (verwaltung berarti administrasi atau pemerintahan) dan

Bestuursstrafrecht (bestuur berarti pemerintahan).17

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa hukum pidana

administrasi pada hakikatnya merupakan perwujudan dari kebijakan

menggunakan hukum pidana sebagai sarana untuk menegakkan atau

melaksanakan hukum administrasi. Jadi, sanksi hukum pidana administrasi

merupakan bentuk fungsionalisasi / operasionalisasi / instrumentalisasi hukum

pidana di bidang hukum administrasi. Mengingat luasnya hukum administrasi

seperti yang dikemukakan di atas, maka dapat diperkirakan demikian banyak pula

hukum pidana digunakan di dalam berbagai aturan administrasi.18

2.2. Tinjauan Umum tentang Pelanggaran

2.2.1. Definisi Pelanggaran

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pelanggaran mempunyai kata

dasar “langgar” yang dapat berarti bertubrukan; bertumbukan, serang menyerang,

bertentangan: tindakannya itu dengan ketentuan yang berlaku.19

Berbagai

undang-undang tentang hukum pidana dapat ditemukan atau disimpulkan berbagai

penggolongan tindak pidana yang dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang.

Penggolongan tindak-tindak pidana yang terang dan tegas dengan beberapa

konsekuensi diadakan dalam perundang-undangan di Indonesia adalah

17

ibid. 18

ibid. 19

Kamus Besar Bahasa Indonesia, op. cit., h. 809.

penggolongan kejahatan dan pelanggaran, atau dalam bahasa belanda misdrijven

en overtredingen.20

Penggolongan ini pertama-tama terlihat dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) yang terdiri atas tiga buku. Buku I

memuat penentuan-penentuan umum (algemene leerstuken). Buku II memuat

penyebutan tindak-tindak pidana yang masuk golongan “kejahatan” atau

misdrijven. Buku III memuat penyebutan tindak-tindak pidana yang masuk

golongan “pelanggaran” atau overtredingen.21

Kata-kata kejahatan dan pelanggaran ini merupakan istilah-istilah sebagai

terjemahan dari istilah-istilah misdrijf dan overtredingen dalam bahasa Belanda.

Misdrijf atau kejahatan berarti suatu perbuatan yang tercela dan berhubungan

dengan hukum, berarti tidak lain daripada “perbuatan melanggar hukum”.

Overtredingen atau pelanggaran berarti suatu perbuatan melanggar sesuatu, dan

berhubungan dengan hukum, berarti tidak lain daripada “perbuatan melanggar

hukum”. Jadi sebenarnya arti kata dari kedua istilah itu sama, maka dari arti kata

tidak dapat dilihat perbedaan antara kedua golongan tindak pidana ini.22

Oleh karena KUHP Indonesia merupakan tiruan dari KUHP Belanda dengan

beberapa perubahan, maka maksud pembentuk KUHP, baik di Indonesia maupun

di Belanda, dapat dilihat dalam Surat Penjelasan (Memorie van Toelicting) yang

menyertai rancangan KUHP Belanda. Di sana dikatakan bahwa, ada perbuatan-

perbuatan, yang oleh hukum, ada yang oleh undang-undang dinyatakan

20

Wirjono Projodikoro, 2003, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama,

Bandung, h. 32 21

ibid, h. 33. 22

ibid.

merupakan suatu tindak pidana. Ada kalanya diadakan ancaman pidana terhadap

suatu perbuatan, yang sudah merupakan pelanggaran hukum (onrecht) sebelum

pembentuk undang-undang berbicara, dan yang kita anggap tidak baik

(onrechtvaardig), meskipun pembentuk undang-undang tidak berbicara. Hal ini

disebut sebagai kejahatan (misdrifj). Ada kalanya ada suatu perbuatan, yang

dalam arti filsafat hukum (rechtphilosofisch) baru menjadi pelanggaran hukum

(onrecht) oleh karena dinyatakan demikian undang-undang, jadi yang tidak

baiknya hanya dikenal dari bunyi undang-undang itu. Dalam hal ini ada

pelanggaran (overtredingen).23

Penggolongan tersebut tidaklah tepat oleh karena semua tindak pidana, baik

yang dimasukkan buku II KUHP sebagai kejahatan atau misdrijfmaupun yang

dimasukkan Buku III KUHP sebagai pelanggaran atau overtredingen, merupakan

tindak pidana berdasarkan hukum (rechtsdelicten) maupun tindak pidana

berdasarkan undang-undang (wetsdelichten).24

Terkait hal ini, Wirjono

Projodikoro mengemukakan dua alasan yaitu :

1. Alasan pertama, bahwa semua perbuatan itu adalah tindak pidana

berdasarkan undang-undang, oleh karena nyatanya untuk kedua

golongan perbuatan itu undang-undanglah yang menjadikan si pembuat

dapat dihukum;

2. Alasan kedua, bahwa semua perbuatan itu merupakan tindak pidana

berdasarkan hukum (rechtsdelicten) adalah semua peraturan hukum

pidana (strafbepalingen) mempunyai norma yang berada di bidang

hukum perdata atau hukum tata negara atau hukum tata usaha negara.25

Sehingga, tidak boleh dilihat pada keadaan sebelum pembentuk undang-

undang hukum pidana membentuk suatu ketentuan pidana. Sehingga tidak perlu

23

ibid, h. 34. 24

ibid. 25

ibid.

dipedulikan apakah sebelum pembentukan ketentuan hukum pidana sudah dikenal

ada norma yang belum disertai ancaman pidana.

Bahwa suatu norma semacam ini belum dikenal sebelum pembentuk

undang-undang mengadakan sanksi pidana, tidak berarti bahwa norma itu tidak

ada. Norma itu hanya belum dikenal menurut pandangan masyarakat. Akan tetapi,

setelah norma itu dikenal dan sekaligus pada waktu itu juga disertai ancaman

pidana, maka tidak ada perbedaan dengan pembentukan ketentuan hukum pidana

dengan suatu norma, yang dulu sudah dikenal tetapi belum disertai ancaman

pidana.26

Selain cara pertama diatas, terdapat cara kedua yang ditempuh oleh

Hazewinkel Suringa, yang hasilnya negatif. Oleh beliau disimpulkan bahwa tidak

ada perbedaan kualitatif, tetapi hanya ada perbedaan kuantitatif, yaitu kejahatan

pada umumnya diancam dengan hukuman lebih berat daripada pelanggaran, dan

ini tampaknya didasarkan pada sifat lebih berat daripada kejahatan. Selain

daripada sifat umum tersebut, maka dapat dikatakan bahwa :

1. Pidana penjara hanya diancamkan pada kejahatan saja

2. Jika menghadapi kejahatan maka bentuk kesalahan (kesengajaan atau

kealpaan) yang diperlukan disitu harus dibuktikan oleh Jaksa, sedangkan

jika menghadapi pelanggaran hal itu tidak usah dibuktikan. Berhubung

dengan itu, kejahatan dibedakan pula dalam kejahatan yang dolus dan

culpa.

3. Percobaan untuk melakukan pelanggaran tidak dapat dipidana (Pasal

54). Juga pembantuan pada pelanggaran tidak dipidana (Pasal 60).

4. Tenggang kedaluwarsa (verjaring), baik untuk hak menentukan maupun

hak penjalanan pidana bagi pelanggaran adalah lebih pendek daripada

kejahatan tersebut masing-masing adalah satu tahun dan dua tahun.

5. Kemungkinan keharusan adanya pengaduan (klacht) untuk penuntutan

di muka hakim, hanya terhadap beberapa kejahatan, tidak ada terhadap

pelanggaran.

26

ibid.

6. Dalam hal perbarengan (concursus) cara pemidanaan berbeda untuk

pelanggaran dan kejahatan. Kumulasi pidana yang lebih ringan lebih

mudah daripada pidana berat (Pasal 65, 66, 70).27

Dengan demikian, penggolongan kejahatan terhadap pelanggaran ini

penting dengan adanya konsekuensi tersebut diatas. Maka, dalam tiap ketentuan

hukum pidana dalam undang-undang di luar KUHP harus ditentukan apakah

tindak pidana yang bersangkutan adalah kejahatan atau pelanggaran.

2.3. Tinjauan Umum tentangTenaga Kerja Indonesia

2.3.1. Pengertian Tenaga Kerja pada Umumnya

Menurut kamus bahasa Indonesia, buruh merupakan orang yang bekerja

untuk orang lain dengan mendapat upah.28

Buruh adalah setiap orang yang bekerja

dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Dengan dipadankannya

istilah pekerja dengan buruh merupakan kompromi setelah dalam kurun waktu

yang amat panjang dua istilah tersebut bertarung untuk dapat diterima oleh

masyarakat.29

Pada zaman feodal dulu atau zaman penjajahan Belanda yang dimaksud

buruh adalah orang-orang pekerja kasar seperti kuli, mandor, tukang, dan lain-

lain. Orang-orang ini oleh pemerintah Belanda dahulu disebut sebagai blue collar

(berkerah biru), sedangkan orang-orang yang mengerjakan pekerjaan “halus”

seperti pegawai administrasi yang bisa duduk di meja disebut dengan white collar

(berkerah putih). Biasanya orang-orang yang termasuk golongan ini adalah para

27

Moelijatno, op. cit., h. 81. 28

Kamus Besar Bahasa Indonesia, op cit., h. 158. 29

Abdul Rahmad Budiono, 2009, Hukum Perburuhan, cet. ke - I, PT.Indeks, Jakarta, h. 5.

bangsawan yang bekerja di kantor dan juga orang-orang Belanda dan Timur

Asing lainnya.30

Selama perkembangan hukum perburuhan di Indonesia, istilah buruh

diupayakan untuk diganti dengan istilah pekerja, karena istilah buruh kurang

sesuai dengan kepribadian bangsa, buruh lebih cenderung menunjuk pada

golongan yang selalu ditekan dan berada di bawah pihak lain yakni majikan.

Istilah pekerja secara yuridis baru ditemukan dalam Undang-undang No 25 Tahun

1997 tentang ketenagakerjaan.31

Definisi tenaga kerja terdapat pada Pasal 1 angka 2Undang-Undang No. 13

Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

4279)yang berbunyi,“Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan

menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Tenaga kerja adalah setiap orang

yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan jasa baik untuk

memenuhi kebutuhan sendiri atau masyarakat.” Sedangkan menurut Pasal 1 angka

4 UU No. 13 Tahun 2003, pemberi kerja adalah perorangan, pengusaha badan

hukum atau badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar

upah atau imbalan dalam bentuk lain.32

2.3.2. Pengertian Tenaga Kerja Indonesia

Definisi Tenaga Kerja Indonesia menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun

2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar

30

Asyhadie Zaeni, 2007, Hukum Kerja: Hubungan Ketenagakerjaan Bidang Hubungan

Kerja, cet. ke-I, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 19. 31

Lalu Husni, 2001, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, cet. ke-II, PT

RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 22. 32

ibid, h. 29.

Negeri berbunyi, yang dimaksud dengan Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya

disebut dengan TKI adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat

untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu

dengan menerima upah.Pengertian ini, dapat dimengerti bahwa TKI adalah orang

yang bekerja di luar negeri setelah memenuhi berbagai persyaratan, yaitu meliputi

dokumen-dokumen, surat izin dan lain-lain.

Sedangkan menurut Pasal 1 angka 4 Kep. Menakertrans RI No. Kep

104A/Men/2002 tentang Penempatan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri

disebutkan bahwa TKI adalah baik laki-laki maupun perempuan yang bekerja di

luar negeri dalam jangka waktu tertentu berdasarkan perjanjian kerja melalui

prosedur penempatan TKI. Berdasarkan beberapa pengertian TKI tersebut, maka

dapat dikemukakan bahwa TKI adalah setiap warga negara Indonesia yang

memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam jangka waktu tertentu

berdasarkan perjanjian kerja melalui prosedur penempatan TKI dengan menerima

upah.

2.3.3. Syarat-Syarat Menjadi Tenaga Kerja Indonesia

Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa sesuai dengan definisi dari

Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 2004 mengenai Penempatan dan Perlindungan

Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri berbunyi,“yang dimaksud dengan Tenaga

Kerja Indonesia yang selanjutnya disebut dengan TKI adalah setiap warga negara

Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan

kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah.” Sedangkan Pasal 1

angka 2UU No. 39 Tahun 2004berbunyi,“yang dimaksud dengan Calon Tenaga

Kerja Indonesia yang selanjutnya disebut calon TKI adalah setiap warga negara

Indonesia yang memenuhi syarat sebagai pencari kerja yang akan bekerja di luar

negeri dan terdaftar di Instansi Pemerintah Kabupaten/Kota yang bertanggung

jawab di bidang ketenagakerjaan.”

Kedua rumusan pasal tersebut secara tegas mengatur bahwa agar menjadi

TKI di luar negeri harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang telah diatur

didalam UU No. 39 Tahun 2004. Demikian pula aturan mengenai hak dan

kewajiban TKI ketika akan bekerja di luar negeri, telah diatur pula dalam pasal 8

UU No. 39 Tahun 2004 yang mengatur tentang hak para TKI untuk bekerja ke

luar negeri. Sedangkan Pasal 9 UU No. 39 Tahun 2004 mengatur mengenai

kewajiban para TKI. Pengaturan mengenai bagaimana menjadi TKI di luar negeri

diatur dalam Pasal 51 UU No. 39 Tahun 2004 ditentukan syarat-syarat untuk

menjadi TKI yaitu :

a. Kartu Tanda Penduduk, ijazah pendidikan terakhir, akta kelahiran, atau

surat keterangan kenal lahir;

b. Surat keterangan status perkawinan, bagi yang telah menikah

melampirkan copy buku nikah;

c. Surat keterangan izin suami atau istri, izin orang tua, atau izin wali;

d. Sertifikat kompetensi kerja;

e. Surat keterangan sehat berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan dan

psikologi;

f. Paspor yang diterbitkan oleh kantor Imigrasi setempat

g. Visa kerja;

h. Perjanjian penempatan TKI;

i. Perjanjian kerja;

j. KTKLN.

Pasal 51 UU No. 39 Tahun 2004 ini secara jelas telah mengatur syarat-

syarat menjadi TKI agar ke depannya setibanya mereka di luar negeri mereka

akan diliputi rasa aman ketika bekerja. Hal ini dikarenakan bahwa mereka telah

melengkapi sejumlah dokumen untuk menjadi prasyarat agar dapat bekerja di luar

negeri. Sehingga, para TKI dapat memaksimalkan bakat dan minat mereka ketika

mereka tiba di luar negeri.

2.3.4. Sejarah Pengiriman Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri

Jika berbicara mengenai ketenagakerjaan, para ahli menyebutkan bahwa

globalisasi sebagai alasan terjadinya proses kerjasama ketenagakerjaan. Hubungan

regional, bilateral ataupun multilateral semakin memperkokoh kerjasama dibidang

ketenagakerjaan. Negara-negara di berbagai belahan dunia memiliki kesempatan

untuk saling melengkapi kekurangan di masing-masing negaranya untuk

berkompetisi di tengah persaingan pasar. Adanya hubungan antarnegara juga

semakin membuka peluang kepada masing-masing negara untuk memanfaatkan

keberadaan hubungan tersebut dengan menerapkan kebijakan tertentu agar

tercapainya tujuan bersama.

2.3.4.1. Sejarah Pengiriman Tenaga Kerja pada masa Kolonialisasi dan Orde

Lama

Perpindahan tenaga kerja Indonesia antar pulau dan luar negeri tidak dapat

dipisahkan dari masa orde lama dan orde baru, bahkan sejak masa penjajahan

pada tahun 1887. Pada masa tersebut, tenaga kerja dikirim ke beberapa daerah

jajahan seperti Suriname, Kaledonia dan Belanda. Pada masa kolonial di awal

abad duapuluh, kebanyakan pembuatan kebijakan ditujukan untuk meningkatkan

produktifitas pertanian, sehingga banyak tenaga kerja dari Jawa dipindah ke luar

Jawa. Kebijakan migrasi yang dibangun pada masa penjajahan adalah suatu alat

yang berguna untuk menghasilkan tujuan dan kepentingan negara serta para

penguasa pada waktu itu. Kebijakan imigrasi yang ada di zaman pemerintahan

kolonial Belanda telah diterapkan dan dikembangkan sebagai konsekuensi atas

tiga faktor, yaitu :

1. Faktor Pertama, adanya perubahan politik di Belanda ketika koalisi

Calvanis-Katholik berhasil meraih kekuasaan pada tahun 1891. Koalisi

ini memiliki misi antara lain untuk menghapus kebijakan kolonial di

Indonesia yang bersifat ekploinatif terhadap penduduk pribumi.

2. Kedua, terbukanya kesempatan ekonomi, terutama sebagaimana terlihat

oleh para kapitalis Belanda, setelah seluruh kepulauan ditaklukkan oleh

Belanda, maka para kapitalis ini menyadari bahwa ada peluang untuk

membuka perkebunan di luar Jawa. Namun, masalah yang mereka

hadapi adalah kurangnya tenaga kerja untuk menjadi kuli perkebunan.

Hal inilah yang menyebabkan, maka perpindahan tenaga kerja dari

Jawa ke Luar Jawa terjadi.

3. Faktor ketiga, untuk meredam meluasnya protes gerakan petani di Jawa

dengan cara memindahkan penduduk dari kantong penduduk yang

padat dan menjadi sarang keresahan petani, ke luar Jawa. Ketiga hal

tersebut adalah potret bagaimana migrasi tenga kerja antar daerah

terjadi di Indonesia.33

Kondisi migrasi berlanjut hingga memasuki masa kemerdekaan, orde lama,

orde baru dan reformasi. Pada tanggal 3 Juli 1974 menjadi hari bersejarah bagi

lembaga Kementerian Perburuhan dalam era kemerdekaan Indonesia. Melalui

Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 1974 dibentuk lembaga yang mengurus

masalah perburuhan di Indonesia dengan nama Kementerian Perburuhan. Migrasi

juga dapat dilihat sebelum terjadinya perang dunia II, banyak warga negara

Indonesia yang dikirim ke Malaysia, Guyana, dan New Caledonia.34

2.3.4.2. Kondisi Ketenagakerjaan Pada Masa Orde Baru

Sejak tahun 1970, pemerintah mengeluarkan kebijakan Antar Kerja Antar

Daerah (AKAD) dan Antar Kerja Antar Negara (AKAD). Pengeluaran ini

33

Riswanto Tirtosudarmo, 2007, Mencari Indonesia: Demografi Politik Pasca Soeharto,

LIPI Press, Jakarta, h. 258. 34

M. Arif Nasution, 1999, Globalisasi dan Migrasi Antar Negara, Yayasan Adikarya

IKAPI dengan The Ford Foundation, Bandung, h. 126.

kemudian dituangkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah No.4 Tahun 1970.

Peraturan ini memberikan wewenang kepada pemerintah dan pihak swasta untuk

mengatur proses pengiriman TKI ke luar negeri. Setelah peraturan ini dikeluarkan

maka pengurusan tenaga kerja bisa dipegang oleh swasta selain pemerintah.35

Pada dekade awal delapanpuluhan, pemenuhan kebutuhan migran Indonesia

di perkebunan dan proyek konstruksi di Malaysia terjadi tanpa campur tangan

negara. Maka sejak tahun 1984 pola tersebut berubah. Melalui memorandum of

understanding (MoU) antara Indonesia dan Malaysia mengenai pengaturan aliran

migrasi dari Indonesia ke Malaysia yang ditandatangani di Medan pada tanggal 12

Mei 1984 (hingga kemudian dikenal sebagai Medan Agreement), berlangsung

penerapan pengaturan sekaligus pengawasan arus migrasi tenaga kerja dari

Indonesia ke Malaysia.36

Kesepakatan ini ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja

No.184/Men/1984 tentang Pemberian Wewenang Menerbitkan Surat

Rekomendasi. Keputusan menteri ini khusus untuk kantor wilayah Departement

Tenaga Kerja Provinsi Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi

Selatan untuk menerbitkan Surat Rekomendasi bagi Pengerah Tenaga Kerja atau

bagi TKI yang akan bekerja di Malaysia. Kemudian Menteri Tenaga Kerja

menerbitkan landasan yang lebih kokoh bagi penempatan buruh migran Indonesia

ke Malaysia melalui Kepmenaker No.408/Men/1984 tentang Pengerahan dan

Pengiriman Tenaga Kerja di Malaysia. Pasal 11Kepmenaker No.408/Men/1984

35

Awani Irewati, 2003, Kebijakan Luar Negeri Indonesia Terhadap Masalah TKI ilegal di

Negara ASEAN, Pusat Penelitian Politik LIPI, Jakarta, h. 34. 36

Wahyu Susilo, 2013, Selusur Kebijakan (Minus) Perlindungan Buruh Migran Indonesia,

Migrant Care, Jakarta, h. 22.

ini menetetapkan dua tempat pemberangkatan untuk penempatan buruh migran

Indonesia ke Malaysia, yaitu untuk pengiriman ke Malaysia Barat dan Nunukan

untuk pengiriman ke Malaysia Timur.37

2.3.4.3. Kondisi Tenaga Kerja Indonesia Pada Masa Reformasi

Pada tahun 1998, rezim pemerintahan Soeharto berakhir dan Indonesia

memasuki masa reformasi. Di masa reformasi kebebasan mulai diutamakan.

Rakyat Indonesia diberikan kebebasan untuk berpendapat dan ikut serta dalam

tahapan mempengaruhi keputusan pemerintah. Di masa ini, dapat dilihat

perkembangan TKI sebagai berikut :

a. Masa Pemerintahan B.J. Habibie

Kepemimpinan Habibie yang terhitung sangat singkat tetap memiliki

catatan sejarah yang penting bagi Indonesia. Di Masa kepemimpinan Habibie

dimana kondisi Indonesia masih mengalami kondisi yang belum stabil di segala

bidang karena warisan dari masa Orde baru. Namun kondisi ketenagakerjaan pada

waktu itu mulai dikejar oleh rakyat Indonesia sebagai sarana mencari pekerjaan.

Pada masa pemerintahan Habibie menginisiasi dua Keputusan Menteri

Tenaga Kerja.Pertama,skema asuransi sosial yang dibangun untuk buruh migran

sebagaimana yang tertera dalam Keputusan Menteri No.92 Tahun

1998.Kedua,dikeluarkannya Keputusan Menteri No. 204 Tahun 1999 Tentang

Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Namun tidak banyak yang

berbicara tentang perlindungan bagi buruh migran yang ada di dua Keputusan

Menteri Tenaga Kerja tersebut dan hanya terpusat pada isu-isu yang berhubungan

37

ibid, h. 23.

dengan aspek manajerial dan operasional dengan hanya sedikit menyinggung

perlindungan.38

b. Masa Pemerintahan Abdurrahman Wahid

Di bidang ketenagakerjaan pada masa Abdurrahman Wahid, peningkatan

pengiriman TKI terus meningkat bahkan pekerja perempuan lebih banyak

daripada pekerja laki-laki. Di era pemerintahan Abdurrahman Wahid pada tahun

1999 tercatat 302.791 buruh perempuan dan 124.828 buruh laki-laki, pada tahun

2000 tercatat 297.273 buruh perempuan dan 137.949 buruh laki-laki dan pada

tahun 2001 tercatat 239.942 buruh perempuan dan 55.206 orang buruh laki-laki.39

Ada tiga hal konkret yang dilakukan pada masa pemerintahan Abdurrahman

Wahid yaitu :

1. mendirikan SBSI (Serikat Buruh Seluruh Indonesia), serikat buruh

independen era orde baru. langkah ini ditempuh sebagai Abdurrahman

Wahid juga melakukan pembelaan pada aktivitas buruh ketika menjadi

Presiden.

2. Abdurrahman Wahid mencabut Undang-Undang No. 25 Tahun 1997

tentang Ketenagakerjaan yang eskploitatif, anti serikat dan tidak ada

proteksi terhadap TKI.

3. Abdurrahman Wahid juga membuat Peraturan Menteri Tenaga Kerja No

150 Tahun 2000 Tentang pesangon untuk antisipasi dampak pemberhentian

kerja pada buruh.40

c. Masa Pemerintahan Megawati Soekarno Putri

Memasuki awal pemerintahan Megawati, kondisi migrasi Indonesia ditandai

dengan satu peristiwa besar yaitu terkait tenaga kerja Indonesa, yaitu deportasi

massal tenaga kerja Indonesia yang berada di Malaysia melalui Nunukan.41

38

ibid, h. 50. 39

ibid, h. 52. 40

Wahyu Susilo, op. cit., h. 30. 41

Kompas, “Arus Pemulangan TKI semakin Deras”, 30 Juli 2002, dalam Tesis Irfan Rusi

Sadak, 2004, Negara dan Pekerja Migran, Fakfor-faktor yang Mempengaruhi Kebijakan

Banyaknya TKI yang dipulangkan dan masih belum jelasnya sistem pemulangan

bagi para TKI ilegal tersebut membuat pihak Malaysia memberikan tenggang

waktu bagi TKI ilegal untuk tinggal di penampungan di kabupaten Nunukan pada

waktu itu.Pemerintah Indonesia pernah melakukan suatu upaya memecahkan

masalah tenaga kerja ilegal adalah dengan melakukan “pemutihan”, seperti yang

terjadi pada tahun 1996. Dengan “pemutihan” tersebut berarti TKI ilegal tidak

perlu dikembalikan ke Indonesia tetapi diberikan kelengkapan dokumen

keimigrasian oleh pihak Indonesia sehingga masih dapat bekerja.

Namun upaya untuk diberlakukan kembali “pemutihan” ditolak oleh pihak

Malaysia dengan alasan jika “pemutihan” dilakukan maka akan memberikan

peluang untuk masuknya TKI ilegal dengan jumlah dua kali lipat lebih banyak.

Sehingga upaya pemutihan tersebut tidak dapat direalisasikan. Akhirnya,

Megawati memikirkan cara untuk mengeluarkan peraturan yang jelas dalam

penempatan dan perlindungan buruh migran. Hingga pada tahun 2004, Megawati

mengeluarkan Undang-undang No. 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan

Perlindungan Tenaga Kerja Indonesa di Luar Negeri (PPTKILN).42

Puncak permasalahan TKI ilegal yang terjadi tahun 2004, membuat

Megawati membentuk Badan Nasional Penempatan dan perlindungan Tenaga

Kerja Indonesia (BNP2TKI). Namun, kelahiran undang-undang tersebut hanya

fokus pada penempatan dan tidak banyak pasal yang mengatur tentang

Penanganan Negara terhadap Kasus Deportasi TKI di Kabupaten Nunukan pada Tahun 2002,

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Jakarta, h. 1. 42

Ana Shabana Azmy, 2011, “Negara dan Buruh Migran Perempuan, Kebijakan

Perlindungan Buruh Migran Perempuan Indonesia Masa Pemerintahan Susilo Bambang

Yudhoyono 2004-2010 (Studi Terhadap Perlindungan Buruh Migran Perempuan Indonesia di

Malaysia)”, Tesis Fakultas Ilmus Sosial dan Politik Universitas Indonesia, Jakarta, h. 47.

perlindungan TKI saat berada di luar negeri. Tidak adanya standarisasi

perlindungan bagi TKI yang bekerja di luar negeri khususnya di Malaysia, dimana

Malaysia adalah negara penempatan TKI terbesar setelah Arab Saudi. Malaysia

juga merupakan tempat dimana buruh perempuan kebanyakan bekerja sebagai

pembantu rumah tangga (PRT) yang sebenarnya membutuhkan perlindungan yang

tegas.43

d. Masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono

Di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, masalah migran menjadi

lebih serius. Hal ini disebabkan karena masih terdapat benang merah

permasalahan TKI ilegal pada saat pemerintahan Megawati. Kemudian hal

tersebut diperparah dengan bertambahnya jumlah TKI yang mengadu nasib ke

Malaysia, tetapi memiliki beberapakasus yang serius seperti misalnya pelanggaran

HAM. Adapun beberapa kasus tentang pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)

yang terjadi di Malaysia khususnya dengan buruh perempuan yang bekerja di

sektor informal yaitu Pembantu Rumah Tangga (PRT) yang marak terjadi.44

Tingginya angka pengiriman TKI ke luar negeri yang berbanding lurus

dengan semakin tingginya pengangguran di Indonesia adalah pertanda kondisi

perekonomian Indonesia dalam membuka lapangan pekerjaan baru belum

terselesaikan. Ditambah lagi dengan besarnya jumlah buruh migran yang bekerja

di luar negeri, khususnya Malaysia, tidak dilengkapi dengan kebutuhan dari

migran tersebut yaitu perlindungan dengan standar tertentu bagi migran yang

sedang bekerja di negara tujuan.

43

ibid. 44

Ana Shabana Azmy, op. cit., h. 56.