bab ii tinjauan umum a. tinjauan umum tentang ...repository.uir.ac.id/707/2/bab2.pdfhukum...
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN UMUM
A. Tinjauan Umum Tentang Ketenagakerjaan
1. Pengertian Tenaga Kerja
Hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum masa
kerja, misalnya adalah kesempatan kerja, perencanaan tenaga kerja dan
penempatan tenaga kerja, sedangkan hal sesudah masa kerja, misalnya adalah
masalah pensiun. Pengertian tenaga kerja lebih luas dari pengertian pekerja/buruh
karena pengertian tenaga kerja mencakup pekerja/buruh, yaitu tenaga kerja yang
sedang terikat dalam suatu hubungan kerja dan tenaga kerja yang belum bekerja.
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
memberikan pengertian tenaga kerja adalah “setiap orang yang mampu melakukan
pekerjaan guna menghasilkan barang dan atau jasa baik untuk memenuhi
kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat”, sedangkan pengertian
pekerja/buruh menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan adalah “Setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain”.
Buruh adalah orang yang bekerja pada majikan atau perusahaan apapun
jenis pekerjaan yang dilakukan. Orang itu disebut buruh apabila dia telah
melakukan hubungan kerja dengan majikan, kalau tidak melakukan hubungan
kerja maka dia hanya tenaga kerja, belum termasuk buruh.1
1 Zainal Asikin dkk, Dasar-dasar Hukum Perburuhan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006,
hlm.43
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan Pokok
Ketenagakerjaan yang merupakan undang-undang tentang tenaga kerja sebelum
diubah menjadi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
yang memberikan pengertian tenaga kerja ” setiap orang yang mampu melakukan
pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja guna menghasilkan
barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat”.
Dari pengertian di atas terdapat perbedaan dalam Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak memuat kata” baik di dalam
maupun di luar hubungan kerja” dan adanya penambahan kata sendiri pada
kalimat memenuhi kebutuhan sendiri dan masyarakat. Pengurangan kata tersebut
akan dapat mengacaukan makna tenaga kerja itu sendiri seakan-akan ada yang di
dalam dan ada pula di luar hubungan kerja serta tidak sesuai dengan konsep
tenaga kerja dalam pengertian umum. Penambahan kata sendiri pada kalimat
memenuhi kebutuhan sendiri dan masyarakat karena barang atau jasa yang
dihasilkan oleh tenaga kerja tidak hanya untuk masyarakat tetapi juga untuk diri
sendiri, sehinga menghilangkan kesan bahwa selama ini tenaga kerja hanya
bekerja untuk orang lain dan melupakan dirinya sendiri.2
Berbagai teori dan konsep tenaga kerja itu sendiri yang ditemui di dalam
literatur secara umum adalah semua orang atau penduduk usia kerja yang
mempunyai kemampuan untuk melakukan pekerjaan, sebagaimana yang
disampaikan oleh Darza, bahwa tenaga kerja adalah bagian dari penduduk usia
kerja secara fisik dan mental mampu melakukan pekerjaan, baik di dalam maupun
2 Lalu Husni, op.cit. hlm.16
di luar hubungan kerja guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat (secara umum usia 15 tahun atau lebih).3
2. Dasar Hukum Ketenagakerjaan
Dasar Hukum Ketenagakerjaan merupakan alat untuk memberi
perlindungan terhadap para tenaga kerja, yang menyangkut hubungan antara
pekerja dan pengusaha, upah, serta perselisihan yang akan mengakibatkan gejolak
sosial. Hukum merupakan sekumpulan peraturan-peraturan yang dibuat oleh
pihak yang berwenang, dengan tujuan mengatur kehidupan bermasyarakat dan
terdapat sanksi. Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan
tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja, dengan
demikian, yang dimaksud dengan hukum ketenagakerjaan adalah seluruh
peraturan-peraturan yang dibuat oleh pihak yang berwenang, mengenai segala
sesuatu yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan
sesudah masa kerja.
Hukum ketenagakerjaan telah berkembang seiring dengan perkembangan
lapangan dan kesempatan kerja. Awalnya, lapangan pekerjaan terbatas pada sektor
pemenuhan kebutuhan primer, seperti pertanian, namun secara perlahan sektor
pemenuhan kebutuhan mulai bergeser ke arah industri dan perdagangan, sehingga
kesempatan kerja semakin terbuka lebar. Pertumbuhan sektor industri dan
perdagangan yang pesat, mengakibatkan berdirinya perusahaan-perusahaan yang
menyerap banyak tenaga kerja. Hubungan antara perusahaan tersebut dengan
tenaga kerjanya, disebut dengan hubungan kerja (hubungan antara pemberi kerja
3 Z.A.Darza, Kamus Istilah Bidang Ketenagakerjaan, Delina Baru, Jakarta, 1995, hlm.114
dengan pekerjanya atau bahkan dengan calon pekerja). Dengan demikian
diperlukan adanya suatu aturan (hukum) yang dapat menjadi pengontrol dalam
hubungan tersebut, terlebih lagi jika timbul suatu perselisihan dalam hubungan
kerja tersebut. Hukum ketenagakerjaan bukan hanya mengatur hubungan antara
pekerja/buruh dengan pengusaha dalam pelaksanaan hubungan kerja tetapi juga
termasuk seorang yang akan mencari kerja melalui proses yang benar ataupun
lembaga-lembaga pelaksana yang terkait, serta menyangkut pekerja yang purna
atau selesai bekerja.4
Hukum ketenagakerjaan adalah merupakan suatu peraturan-peraturan
tertulis atau tidak tertulis yang mengatur seseorang mulai dari sebelum, selama,
dan sesudah tenaga kerja berhubungan dalam ruang lingkup di bidang
ketenagakerjaan dan apabila di langgar dapat terkena sanksi perdata atau pidana
termasuk lembaga-lembaga penyelenggara swasta yang terkait di bidang tenaga
kerja.5
Undang-undang yang dipergunakan sebagai Dasar dan Pedoman dalam
Hukum Tenaga Kerja antara lain:
1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 21 Tahun 2000 tentang
Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
2) Undang-Undang Nomor. 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang
mengatur mengenai semua aspek ketenagakerjaan,
3) Undang-Undang Nomor. 21 Tahun 2003 tentang Pengawasan
Ketenagakerjaan dalam Industri dan Perdagangan, dan juga peraturan
perundang-undangan yang terkait (seperti: Kitab Undang-undang
Hukum Perdata (KUHPerdata), Undang-undang Nomor. 2 tahun 2004
tentang Penyelesaian Hubungan Industrial, Undang-Undang Nomor. 1
tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja).
4 Soedarjadi, Op.cit., hlm.3
5 Ibid, hlm.5
4) Peraturan Pemerintah Nomor. 8 Tahun 1981 yang membahas tentang
Perlindungan Upah terhadap tenaga kerja/buruh.
5) Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor. 4 tahun 1994 tentang
pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) kepada tenaga kerja.
6) Peraturan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor.100/MEN/IV/2004 tentang Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) adalah perjanjian
kerja antara pekerja dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan
kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerja tertentu.
7) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor. Per-
17/Men/VIII/2005 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan
Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak.
8) Peraturan Pemerintah Nomor. 14 tahun 1993 tentang Jamsostek, dan
beberapa peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait).
3. Perjanjian Kerja
Perjanjian kerja dalam bahasa Belanda adalah Arbeidsoverenkoms,
mempunyai beberapa pengertian. Pasal 1601a dalam Kitab Undang-undang
Hukum Perdata (KUHPerdata) memberikan pengertian sebagai berikut :
“Perjanjian perburuhan adalah suatu perjanjian dimana pihak ke-1
(satu)/buruh atau pekerja mengikatkan dirinya untuk dibawah perintah
pihak yang lain, si majikan untuk suatu waktu tertentu melakukan
pekerjaan dengan menerima upah”.
Sedangkan Undang-Undang Nomor. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan,
Pasal 1 ayat (14) menyebutkan bahwa :
“Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian antara pekerja/buruh dan
pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja hak
dan kewajiban kedua belah pihak”.
Selanjutnya perihal tentang pengertian perjanjan kerja, Imam Soepomo
berpendapat bahwa:
“Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak kesatu
(buruh), mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah dari
Pihak Kedua yakni majikan, dan majikan mengikatkan diri untuk
memperkerjakan buruh dengan membayar upah”.6
6 Agusmidah, Dinamika Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, USU Press, Medan, 2010, hlm.40.
Menyimak pengertian perjanjian kerja menurut , bahwa ciri khas perjanjian
kerja adalah” adanya di bawah perintah pihak lain” sehingga tampak hubungan
antara pekerja dan pengusaha adalah hubungan bawahan dan atasan.
Berdasarkan pengertian perjanjian kerja diatas, dapat ditarik beberapa unsur
dari perjanjian kerja, yakni :
a. Adanya Unsur Pekerjaan.
Dalam suatu perjanjian kerja harus ada pekerjaan yang diperjanjikan
(objek perjanjian), pekerjaan tersebut haruslah dilakukan sendiri oleh pekerja,
hanya dengan seizin majikan dapat menyuruh orang lain. Hal ini dijelaskan dalam
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Pasal 1603a yang berbunyi
: “Buruh wajib melakukan sendiri pekerjaannya; hanya dengan seizin majikania
dapat menyuruh orang ketiga menggantikannya”.
Sifat pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja itu sangat pribadi karena
bersangkutan ketrampilan/keahliannya, maka menurut hukum jika pekerja
meninggal dunia maka perjanjian kerja tersebut putus demi hukum.
b. Adanya Unsur Perintah
Manifestasi dari pekerjaan yang diberikan kepada pekerja oleh pengusaha
adalah pekerja yang bersangkutan harus tunduk pada perintah pengusaha untuk
melakukan pekerjaan sesuai dengan yang diperjanjikan. Disinilah perbedaan
hubungan kerja dengan hubungan lainnya. Perjanjian Kerja sebagaimana
didefinisikan oleh ketentuan pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(KUHPerdata) yang berbunyi:
“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Perjanjian dengan demikian mengikat para pihak secara hukum, untuk
mendapatkan hak atau melaksanakan kewajiban yang ditentukan dalam perjanjian
tersebut.7
c. Adanya Unsur Upah
Upah memegang peranan penting dalam hubungan kerja, bahkan dapat
dikatakan bahwa tujuan utama orang bekerja pada pengusaha adalah untuk
memperoleh upah. Sehingga jika tidak unsur upah, maka suatu hubungan tersebut
bukan merupakan hubungan kerja. Sebagai bagian dari perjanjian pada
umumnya, perjanjian kerja harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana
diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
dan juga pada Pasal 1 ayat 14 Pasal 52 ayat 1 Undang Undang Nomor 13 Tahun
2003 Tentang Ketenagakerjaan, definisi perjanjian kerja adalah perjanjian antara
pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat
kerja, hak dan kewajiban para pihak. Dalam Pasal 52 ayat 1 menyebutkan bahwa :
1) Perjanjian kerja dibuat atas dasar kesepakatan kedua belah pihak; (a)
kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum; (b) adanya
pekerjaan yang diperjanjikan; dan (c) pekerjaan yang diperjanjikan tidak
bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
7 I Ketut Artadi dan IDN. Rai Asmara, Hukum Perjanjian kedalam Perancangan Kontrak,
Penerbit Udayana University Press, Denpasar, 2010
2) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b dapat
dibatalkan.
3) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dan d batal demi
hukum.
Kesepakatan kedua belah pihak yang lazim disebut kesepakatan bagi yang
mengikatkan dirinya, bahwa pihak-pihak yang mengadakan perjanjian kerja harus
setuju/sepakat, seia-sekata mengenai hal-hal yang diperjanjikan. Kemampuan atau
kecakapan kedua belah pihak yang membuat perjanjian harus haruslah cakap
membuat perjanjian (tidak terganggu kejiwaan/waras) ataupun cukup umur
minimal 18 Tahun (Pasal 1 ayat 26 Undang Undang Nomor. 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan).
Adanya pekerjaan yang diperjanjikan, dalam istilah Pasal 1320 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) adalah hal tertentu, pekerjaan
yang diperjanjikan merupakan objek dari perjanjian. Objek perjanjian haruslah
yang halal yakni tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban
umum dan kesusilaan.
Keempat syarat tersebut bersifat kumulatif artinya harus dipenuhi
semuanya baru dapat dikatakan bahwa perjanjian tersebut sah. Syarat kemauan
bebas kedua belah pihak dan kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak
dalam membuat perjanjian dalam hukum perdata disebut sebagai syarat subjektif
karena menyangkut mengenai orang yang membuat perjanjian. Perjanjian kerja
dapat dibuat dalam bentuk lisan dan/atau tertulis (Pasal 51 ayat 1 Undang Undang
Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan). Secara normatif bentuk tertulis
menjamin kepastian hak dan kewajiban para pihak, sehingga jika terjadi
perselisihan akan sangat membantu proses pembuktian.
Berdasarkan Pasal 56 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan, terdapat 2 (dua) jenis perjanjian kerja, yaitu Perjanjian Kerja
Hak dan Kewajiban Tenaga Kerja dan Pengusaha Dalam Undang-undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan menjelaskan tentang hak dan kewajiban
seorang tenaga pekerja dalam melaksanakan pekerjaannya, yang mana Undang-
undang tersebut berfungsi untuk melindungi dan membatasi status hak dan
kewajiban para tenaga pekerja dari para pemberi kerja (Pengusaha) yang sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan dalam ruang lingkup kerja, dengan
demikian perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-
hak dasar para tenaga kerja dan menjamin pula kesamaan kesempatan serta
perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun bahkan untuk mewujudkan
kesejahteraan para tenaga kerja dengan tetap memperhatikan perkembangan
kemajuan didunia usaha.
a) Hak dan kewajiban Tenaga kerja
Dalam ketentuan mengenai kewajiban buruh/pekerja diatur dalam Pasal
1603, 1603a, 1603b dan 1603c Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(KUHPerdata) adapun intinya mengenai hak-hak buruh/pekerja terhadap
majikan/pengusaha adalah sebagai berikut:
1) Buruh/Pekerja wajib melakukan pekerjaan; melakukan pekerjaan
adalah tugas utama dari seorang pekerja yang harus dilakukan
sendiri, meskipun demikian dengan seizin pengusaha dapat
diwakilkan.
2) Buruh/Pekerja wajib menaati peraturan dan petunjuk
majikan/pengusaha; dalam melakukan pekerjaan buruh/pekerja wajib
menaati petunjuk yang diberikan oleh pengusaha. Aturan yang wajib
ditaati oleh pekerja sebaiknya dituangkan dalam peraturan
perusahaan sehingga menjadi lebih jelas ruang lingkup dari petunjuk
tersebut.
3) Kewajiban membayar ganti rugi dan denda; jika buruh/pekerja
melakukan perbuatan yang merugikan perusahaanbaik karena
kesengajaan atau kelalaian, maka sesuatu dengan prinsip hukum
pekerja wajib membayar ganti rugi dan denda”.
Adapun hak-hak yang diperoleh buruh/tenaga kerja dapat dilihat pada
uraian di bawah ini :
1) Hak dasar dalam Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan, pekerja dalam hubungan kerja, setiap tenaga kerja
berhak untuk memperoleh, meningkatkan dan mengembangkan
potensi kerja sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya. Seperti
keselamatan dan kesehatan kerja, Moral dan kesusilaan, dan Perlakuan
yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia dan nilai-nilai
agama. Setiap pekerja berhak membentuk dan menjadi annggota
serikat pekerja.
2) Hak dasar pekerja atas Jaminan Sosial dan K3 (Keselamatan dan
Kesehatan Kerja), Jaminan Sosial Tenaga Kerja Setiap pekerja dan
keluarganya berhak untuk memperoleh Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
3) Hak dasar pekerja atas perlindungan upah setiap pekerja berhak untuk
memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan. Hak-hak pengupahan terhadap pekerja tersebut
harus sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan pemerintah pada
Pasal 88 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
4) Hak dasar pekerja atas pembatasan waktu kerja, istirahat, cuti dan
libur setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja
sebagaimana yang tercantum pada pasal 77 Undang-Undang
Ketenagakerjaan.
5) Hak dasar untuk membuat Perjanjian kerja bersama (PKB) serikat
pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat
buruh yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan berhak
Membuat Perjanjian Kerja Bersama dengan Pengusaha. Perjanjian
kerja bersama paling sedikit memuat, hak dan kewajiban pengusaha,
hak dan kewajiban serikat pekerja/serikat buruh serta pekerja/buruh,
jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya perjanjian kerja bersama,
tanda tangan para pihak pembuat perjanjian kerja bersama. Ketentuan
dalam perjanjian kerja bersama tidak boleh bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
6) Hak dasar khusus untuk pekerja perempuan pekerja/buruh perempuan
yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun dilarang
dipekerjakan antara pukul 23.00 s.d. 07.00 pengusaha dilarang
mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil.
7) Hak dasar pekerja mendapat perlindungan atas tindakan Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) pengusaha, pekerja/buruh, serikat
pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus
mengusahakan agar jangan terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
b) Hak dan kewajiban pengusaha
Adapun kewajiban-kewajiban yang dipenuhi pengusaha terhadap
buruh/pekerja dapat dilihat seperti berikut :
1) Kewajiban membayar upah; dalam hubungan kerja kewajiban utama
pengusaha adalah membayar upah kepada pekerjanya secara tepat
waktu. ketentuan tentang upah ini juga telah mengalami perubahan
pengaturan ke arah hukum publik dengan adanya campur tangan
pemerintah dalam menetapkan besarnya upah terendah yang harus
dibayar pengusaha yang sesuai dengan upah minimum, maupun
pengaturan upah dalam Pasal 88 Undang-undang Nomor. 13 Tahun
2003 tentang pengupahan dan Peraturan Pemerintah Nomor. 8 tahun
1981 tentang perlindungan upah.
2) Kewajiban memberikan istrahat/cuti; pihak majikan/ pengusaha
diwajibkan untuk memberikan istrahat tahunan kepada pekerja
secara teratur. cuti tahunan lamanya 12 (dua belas) hari kerja. selain
itu pekerja juga berhak atas cuti panjang selama 2 (dua) bulan
setelah bekerja terus-menerus selama 6 (enam) bulan pada suatu
perusahaan (Pasal 79 ayat 2 Undang-undang Nomor. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan).
3) Kewajiban untuk melaksanakan ketentuan jam/waktu kerja sesuai
dengan Pasal 77 dan pasal 78 Undang-undang Nomor. 13 Tahun
2003.
4) Kewajiban mengurus perawatan dan pengobatan; majikan/pengusaha
wajib mengurus perawatan/pengobatan bagi pekerja yang bertempat
tinggal dirumah majikan (Pasal 1602x Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (KUHPerdata).
Dalam perkembangan hukum ketenagakerjaan, kewajiban ini tidak hanya
terbatas bagi pekerja yang bertempat tinggal dirumah majikan. Perlindungan bagi
tenaga kerja yang sakit, kecelakaan, dan kematian telah dijamin melalui
perlindungan Jamsostek sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 3
tahun 1992 tentang Jamsostek dan sekarang telah dirubah menjadi Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan undang-undang Republik
Indonesia Nomor. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
4. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
a). Pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
Pada dasarnya hubungan kerja, yaitu hubungan antara pekerja dan
pengusaha terjadi setelah diadakan perjanjian oleh pekerja dengan pengusaha di
mana pekerja menyatakan kesanggupannya untuk menerima upah dan pengusaha
menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan pekerja dengan membayar
upah.8
Di dalam Pasal 50 Undang-undang Nomor. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya
perjanjian kerja antara pengusaha dengan pekerja. Pasal 1 Keputusan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor:
KEP.100/MEN/VI/2004, Tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu (PKWT) menyebutkan bahwa, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang
selanjutnya disebut PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan
pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk
pekerja tertentu, dan hubungan kerja itu sendiri merupakan hubungan (hukum)
antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan sebuah Perjanjian Kerja.
Pembedaan mengenai jenis perjanjian kerja, yaitu berdasarkan perjanjian kerja
waktu tertentu dan perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Perjanjian kerja waktu
8 Imam Soepomo, Op.Cit., hlm.88
tertentu (PKWT) adalah perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha untuk
mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu dan untuk pekerjaan tertentu.9
Tidak semua jenis pekerjaan dapat dibuat dengan perjanjian kerja waktu
tertentu. Pasal 57 Ayat 1 Undang-undang Nomor. 13 Tahun 2003 mensyaratkan
bentuk PKWT harus tertulis dan mempunyai 2 kualifikasi yang didasarkan pada
jangka waktu dan PKWT yang didasarkan pada selesainya suatu pekerjaan
tertentu (Pasal 56 Ayat (2) Undang-undang Nomor. 13 Tahun 2003). Secara
limitatif, Pasal 59 menyebutkan bahwa PKWT hanya dapat diterapkan untuk
pekerjaan tertentu yang menurut jenis, sifat dan kegiatan pekerjaannya akan
selesai dalam waktu tertentu, yaitu pekerjaan yang sekali selesai atau yang
sementara sifatnya, pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu
yang tidak terlalu lama, paling lama 3 tahun, pekerjaan yang bersifat musiman
dan pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, atau produk tambahan
yang masih dalam percobaan atau penjajakan.10
Berbeda dengan perjanjian kerja
waktu tidak tertentu (PKWTT), yaitu perjanjian kerja antara pekerja/buruh
dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja tetap.11
Masa berlakunya PKWTT berakhir sampai pekerja memasuki usia
pensiun, pekerja diputus hubungan kerjanya, pekerja meninggal dunia. Bentuk
PKWTT adalah fakultatif yaitu diserahkan kepada para pihak untuk merumuskan
bentuk perjanjian baik tertulis maupun tidak tertulis. Hanya saja berdasarkan
Pasal 63 Ayat (1) ditetapkan bahwa apabila PKWTT dibuat secara lisan, ada
9 F.X. Djulmiaji, Perjanjian Kerja Edisi Revisi, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm.13
10 R Goenawan Oetomo, Pengantar Hukum Perburuhan dan Hukum Perburuhan di Indonesia ,
Grahadika Binangkit Press, Jakarta, 2004, hlm.15 11
F.X. Djulmiaji, Loc.cit.
kewajiban pengusaha untuk membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang
bersangkutan. PKWTT dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3
(tiga) bulan dan dalam hal demikia, pengusaha dilarang untuk membayar upah di
bawah upah minimum yang berlaku. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 60 Ayat (1)
dan (2) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Pada perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), permasalahan yang timbul
adalah pada saat pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap
pekerjanya, yang disebabkan oleh pekerja yang sering melakukan kesalahan dan
tidak mematuhi peraturan pada perusahaan yang mengakibatkan sering terjadinya
kesenjangan antara pengusaha dan tenaga kerja.
b). Syarat-syarat Sahnya PKWT
Dasar hukum dari sahnya suatu perjanjian adalah pasal 1320 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Disebutkan bahwa sahnya suatu
perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu; 1) Kesepakatan dari mereka yang
mengikatkan diri; 2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3) Suatu hal
tertentu, dan; 4) Suatu sebab yang halal.
Dalam perjanjian kerja, sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 52 atyat
(1), syarat sahnya suatu perjanjian secara lebih khusus mensyaratakan:
1) Kesepakatan kedua belah pihak
2) Kemampuan atau kecakapan dalam melakukan perbuatan hokum
3) Adanya pekerjaan yang diperjanjikan, dan
4) Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban
umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Perjanjian kerja dapat dibuat secara tertulis atau lisan. Perjanjian kerja
yang dibuat secara lisan hanya untuk Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu
(PKWTT) dan harus disertai dengan surat pengangkatan. Sementara untuk
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) wajib dibuat secara tertulis. PKWT
yang dibuat secara lisan adalah bertentangan, dan menjadi PKWTT.
Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dibuat dengan beberapa syarat,
adapun syaratnya dapat diuraikan sebagai berikut:
a) Kesepakatan Para Pihak
Suatu perjanjian harus mensyaratkan adanya kesepakatan dari para pihak.
Hal ini berarti bahwa suatu perjanjian tidak bisa dibuat secara sepihak. Suatu
pihak tidak dapat mengakui adanya suatu perjanjian bila pihak lain tidak
menyepakati adanya perjanjian tersebut. Kesepakatan ini bermakna bahwa isi dari
perjanjian yang dibuat telah diketahui dan sesuai dengan keinginan para pihak.
Sebagai hal mendasar dari suatu perjanjian adalah adanya keinginan secara
bebas. Tanpa kekhilafan, paksaan, ataupun penipuan. Apabila yang sebaliknya
yang terjadi, maka perjanjian tersebut menjadi tidak sah dan menjadi sebuah
perjanjian yang cacat dan dapat dibatalkan. Perjanjian kerja waktu tertentu
(PKWT) yang akan disepakati harus dibuat dengan mengikuti syarat-syarat
sahnya perjanjian pada umumnya.
b) Kecakapan
Mengenai perjanjian kerja, ketentuan yang berlaku sangat berbeda dengan
ketentuan perjanjian secara umum berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (KUHPerdata), yang mensyaratkan batasan usia 21 tahun. Hukum
Ketenagakerjaan mensyaratkan batasan usia anak yang boleh diperkerjakan yaitu
usia antara 13 sampai dengan 15 tahun untuk melakukan pekerjaan ringan
sepanjang tidak mengganggu perkembangan fisik, mental, dan sosial (pasal 69
ayat 1 Undang-undang Nomor 13. Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan). Serta
beberarapa ketentuan lain mengenai batasan usia anak. Mengenai kriteria anak,
Undng-undang Perlindungan anak menyebutkan bahwa anak adalah seseorang
yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun. Selama tidak ada peraturan
perundang-undangan yang melarang, setiap orang berhak mengadakan suatu
perjanjian kerja.
c) Adanya pekerjaan yang diperjanjikan
Suatu perjanjian kerja harus secara tegas menyebutkan jenis pekerjaan
yang akan dikerjakan oleh pihak pekerja. Hal ini tentu saja untuk menghindari
perbedaan atau permasalahan yang mungkin timbul kemudian.
d) Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pada dasarnya, hukum harus menjamin adanya ketertiban umum. Juga
menjamin tidak terjadi tumpang tindih dalam peraturan perundang-undangan.
Dalam sebuah perjanjian kerja, tidak diperkenankan adanya sebuah perjanjian
yang bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-
undangan lainnya. Misalnya; pengusaha tidak boleh mepekerjakan seorang
pekerja untuk melakukan pencurian, membuat bom, atau perbuatan yang
melanggar peraturan perundang-undangan lainnya.
Setiap perjanjian kerja dapat dibatalkan bila bertentangan dengan
ketentuan mengenai syarat adanya kesepakatan kedua belah pihak dan
kemampuan atau kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum, begitu juga bila
syarat adanya pekerjaan yang diperjanjikan, dan pekerjaan yang diperjanjikan
tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Apabila syarat tersebut tidak dipenuhi, maka perjanjian
tersebut batal demi hukum (Pasal 52 ayat 2 dan 3)12
, yang dimaksudkan batal
demi hukum adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu berakhir demi hukum,
karena disyaratkannya masa percobaan kerja Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang ketenagakerjaan pada Pasal 58, atau dalam hal isi perjanjian kerja
bersama bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c). Subtansi Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
1. Perjanjian Kerja yang Dibuat Secara tertulis
Syarat sahnya perjanjian kerja juga diatur dalam Pasal 52 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang substansinya sama dengan
syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Perjanjian kerja harus dibuat berdasarkan
kesepakatan antara kedua belah pihak dan masing-masing pihak mempunyai
kemampuan dan kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum. Tidak
diperkenankan mengadakan perjanjian kerja jika salah satu pihak belum
dewasa/berada dalam pengampuan atau jika salah satu pihak tidak menyepakati
12
Syarat Sahnya Perjanjian Kerja diakses melalui http://irman-jx.blogspot.com/p/syaratsah-
perjanjian-kerja.html. Diakses Pada Tanggal 5 Januari 2018
substansi perjanjian kerja yang dibuat tersebut, jika melanggar ketentuan tersebut,
maka akan berakibat perjanjian kerja dapat dibatalkan.
Perjanjian kerja yang dibuat materinya juga sudah diatur dan tidak
bertentangan dengan aturan, yaitu dalam perjanjian kerja harus ada pekerjaan
yang diperjanjikan dan pekerjaan yang diperjanjikan tersebut harus tidak boleh
bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Tidak diperkenankan mengadakan perjanjian kerja jika
obyek pekerjaan yang diperjanjikan tidak ada atau mengenai sesuatu yang
dilarang oleh peraturan perundang-undangan, misalnya perjanjian kerja menjual
narkoba.
Jika perjanjian kerja yang dibuat melanggar ketentuan sebagaimana
disebut diatas, maka akan berakibat perjanjian kerja tersebut batal demi hukum.
Sebagaimana disebutkan dalam pasal 54 ayat 1 Undang-Undang Ketenagakerjaan,
perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya memuat:
1) Nama, alamat, dan jenis perusahaan
2) Nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh
3) Jabatan atau jenis pekerjaan
4) Tempat pekerjaan
5) Besarnya upah dan cara pembayaran
6) Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan
pekerja
7) Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja
8) Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat, dan
9) Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja
Pada ayat (2) mengatur bahwa ketentuan besarnya upah dan cara
pembayarannya serta syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban
pengusaha dan pekerja tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan,
perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Yang
dimaksud dengan peraturan perusahaan adalah peraturan yang dibuat oleh
perusahaan terkait ketentuan-ketentuan atau syarat-syarat kerja dan tata tertib,
termasuk ketentuan mengenai upah, hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja,
sedangkan perjanjian kerja bersama adalah suatu perjanjian yang dibuat
berdasarkan hasil perundingan antara serikat pekerja dengan pengusaha yang
memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja, termasuk
ketentuan mengenai upah, hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja.
Peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 54 ayat (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan terkait upah, dan
syarat-syarat kerja bisa diartikan sebagai Keputusan Gubernur tentang Upah
Minimum Propinsi dan/atau Kabupaten/Kota, sehingga perjanjian kerja yang
dibuat secara tertulis harus memuat syarat-syarat sebagaimana disebut dalam
Pasal 54 ayat (1) dan harus tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, terkait dengan upah dan syarat-syarat kerja yang memuat hak dan
kewajiban pengusaha dan pekerja.
Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis juga harus dibuat rangkap 2
(dua) dan diberikan kepada masing-masing pihak yang mempunyai kekuatan
hukum sama. Perjanjian kerja juga tidak dapat diubah maupun ditarik kembali
kecuali atas persetujuan kedua belah pihak, maksudnya bahwa jika dalam hal
salah satu atau kedua belah pihak menginginkan untuk mengubah atau menarik
kembali perjanjian kerja tersebut, maka harus ada persetujuan dari pihak lain. Jika
pihak lain tidak menyetujui untuk menarik kembali perjanjian atau mengubah
substansi perjanjian kerja tersebut, maka perjanjian kerja tersebut tidak dapat
ditarik kembali atau diubah substansinya.
2. Perjanjian Kerja Secara Lisan
Seperti tertuang dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang
Ketenagakerjaan, bahwa perjanjian kerja dapat dibuat secara lisan. maksudnya
disini bahwa perjanjian kerja yang dibuat secara lisan tidak memerlukan media
kertas atau tulisan seperti perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis. Jika melihat
pada penjelasan Pasal 51 ayat (1) tersebut, yang menyatakan bahwa:
“Pada prinsipnya perjanjian kerja dibuat secara tertulis, namun melihat
kondisi masyarakat yang beragam dimungkinkan perjanjian dilaksanakan
secara lisan”.
Penjelasan pasal tersebut dapat diartikan bahwa beragamnya masyarakat
Indonesia yang sebagian masih belum mengenal tulisan maka dimungkinkan
adanya perjanjian kerja yang dilaksanakan secara lisan, selain itu dengan adanya
perjanjian kerja secara lisan akan memupuk rasa kerukunan antara pengusaha
dengan pekerja dibanding dengan perjanjian kerja secara tertulis yang akan
menimbulkan persepsi hubungan kerja yang kaku karena hak dan kewajiban
masing-masing pihak diatur oleh perjanjian.
B. Tinjauan Tentang Pengupahan
1. Pengertian Upah
Upah maksudnya adalah imbalan pekerjaan atau prestasi yang wajib
dibayar oleh majikan atas pekerjaan yang telah dilakukan. Jika pekerjaan
diharuskan memenuhi prestasi yaitu melakukan pekerjaan di bawah perintah
orang lain yaitu si majikan, maka majikan sebagai pihak pemberi kerja harus
memberikan upah. Pembayaran upah itu pada prinsipnya harus diberikan dalam
bentuk uang.13
Jika setelah si pekerja melakukan pekerjaannya dengan tunduk pada
perintah si majikan, dalam rangka kewajibannya seperti yang telah mereka buat
didalam perjanjian kerja, maka si pekerja tersebut berhak untuk mendapatkan
upah. Upah itulah yang merupakan sarana penting bagi buruh guna melindungi
sedangkan buruh bangunan adalah buruh merupakan suatu usaha kemudian
mendapat upah atau imbalan sesuai dengan kesepakatan sebelumnya. Upah
biasanya di berikan secara harian maupun perminggu tergantung dari hasil
kesepakatan yang telah disetujui.14
Menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 yang dimaksud dengan
istilah upah ialah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk
uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh
yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau
peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi perkerja/ buruh dan
keluarganya atau suatu pekerjaan atau jasa yang telah dilakukan.15
Jenis-jenis
upah dapat dikemukakan sebagai berikut :
1. Upah Nominal
13
Djumadi, Op.cit., hlm.32-33 14
Pengertian Buruh Bangunan, diakses melalui http : // bayuzu. Blogspot. Com / 2012 / 04 /
pengertian- Buruh bangunan. Html, pada tanggal 5 Januari 2018 15
Lalu Husni, Op.cit., hlm.150
Yang dimaksud dengan upah nominal ialah sejumlah uang yang
dibayarkan kepada para buruh yang berhak secara tunai sebagai imbalan atas
pengerahan jasa-jasa atau pelayanannya sesuai dengan ketentuan ketentuan yang
terdapat dalam perjanjian kerja di bidang industri atau perusahaan atau pun dalam
suatu organisasi kerja, dimana ke dalam upah tersebut tidak ada tambahan atau
keuntungan yang lain yang diberikan kepadanya. Upah nominal ini sering pula
disebut upah uang (money wages) sehubungan wujudnya yang memang berupa
uang secara keseluruhannya.
2. Upah Nyata (Real wages)
Yang dimaksud dengan upah nyata ini ialah upah yang nyata yang benar-
benar harus diterima oleh seseorang yang berhak, upah nyata ini ditentukan oleh
daya beli upah tersebut yang banyak tergantung dari besar atau kecilnya jumlah
uang yang diterima, besar atau kecilnya biaya hidup yang diperlukan. Adakalanya
upah itu diterima dalam wujud uang dan fasilitas atau innatural, maka upah nyata
yang diterimanya yaitu jumlah upah uang dan nilai rupiah dari fasilitas dan barang
Innatura tersebut.
3. Upah hidup
Dalam hal ini upah yang diterima seorang buruh itu relatif cukup untuk
membiayai keperluan hidup yang lebih luas, yang tidak hanya kebutuhan
pokoknya saja yang dapat dipenuhi melainkan juga sebagian dari kebutuhan sosial
keluarganya, misalnya bagi pendidikan, bagi bahan pangan yang memiliki gizi
yang lebih baik.
4. Upah Minimum (Minimum wages)
Sebagai mana pendapatan yang dihasilkan para buruh dalam suatu
perusahaan sangat berperan dalam hubungan perburuhan. Bertitik tolak dari
hubungan formal ini haruslah tidak dilupakan bahwa seorang buruh adalah
seorang manusia dan dilihat dari segi kemanusiaan, sewajarnya lah kalau buruh
itu mendapatkan penghargaan yang wajar dan atau perlindungan yang layak.
Dalam hal ini maka upah minimum sebaiknya dapat mencukupi kebutuhan-
kebutuhan hidup buruh itu beserta keluarganya, walaupun dalam arti yang serba
sederhana.16
Adapun tujuan utama penentuan upah minimum yaitu :
a) Menonjolkan arti dan perana tenaga kerja (buruh) sebagai sub
system yang kreatif dalam suatu sistem kerja.
b) Melindungi kelompok kerja dari adanya sistem pengupahan yang
sangat rendah dan yang keadaanya secara material kurang
memuaskan.
c) Mendorong kemungkinan diberikannya upah yang sesuai dengan
nilai pekerjaan yang dilakukan setiap pekerja.
d) Mengusahakan terjaminnyan atau kedamaian dalam organisasi kerja
atau perusahaan.
e) Mengusahakan adanya dorongan peningkatan dalam standar
hidupnya secara normal.
5. Upah Wajar (Fair wages)
Upah wajar dimaksudkan sebagai upah yang secara relatif dinilai cukup
wajar oleh pengusaha dan para buruhnya sebagai uang imbalan atas jasa-jasa yang
16
G. Kartasapoetra dkk, Hukum Perburuhan Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1986, cet. ke-1,
hlm.93
diberikan buruh kepada pengusaha, sesuai dengan perjanjian kerja di antara
mereka. Upah yang wajar ini tentunya sangat bervariasi dan bergerak antara upah
minimum dan upah hidup, yang diperkirakan oleh pengusaha cukup untuk
mengatasi kebutuhan-kebutuhan buruh dengan keluarganya.17
Menurut dewan penelitian batasan tentang pengupahan, upah merupakan
suatu penerimaan sebagai imbalan dari pemberi kerja kepada penerima kerja
untuk sesuatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan, yang berfungsi
sebagai jaminan kelangsungan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan
produksi, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang telah ditetapkan dalam
bentuk uang yang ditetapkan menurut sesuatu persetujuan Undang-undang dan
peraturan-peraturan dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara
pemberi kerja dan penerima kerja. Jadi uraian diatas dapat diambil kesimpulan
bahwa keseluruhan secara jelas mengandung maksud yang sama yaitu bahwa
upah merupakan pengganti jasa yang telah diserahkan atau dikerahkan oleh
seseorang kepada pihak lain.
Adapun upah buruh mempunyai kedudukan yang istimewah, hal ini tertera
dalam hal-hal sebagai berikut:
a. Dalam hal pengusaha dinyatakan pailit, maka upah buruh merupakan
hutang yang didahulukan pembayarannya sesuia dengan peraturan
perundang-undangan kepailitan yang berlaku, pasal 27 peraturan
pemerintah Nomor 8 Tahun 1981.
17
Ibid, hlm.100-102
b. Apabila buruh jatuh pailit, maka upah buruh dan segala pembayaran
yang timbul dari hubungan kerja tidak termasuk dalam kepailitan
kecuali ditetapkan oleh hakim dengan ketentuan tidak melebihi dari
25% seluruh jumlah upah buruh, pasal 28 peraturan pemerintah
Nomor 8 Tahun 1981.18
Unsur-unsur yang mempengaruhi pembayaran upah, menurut pasal 4
peraturan pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah
disebutkan upah tidak melakukan pekerjaan. Dan di dalam pasal 93 Undang-
undang Ketenagakerjaan 2003 ada ketentuan juga yaitu “ Upah tidak dibayar
apabila buruh tidak melakukan pekerjaannya, kecuali apabila buruh yang
bersangkutan tidak dapat melakukan pekerjaan bukan karena kesalahannya
sendiri. Hal ini sering disebut asas “ No work no pay” , namun asas no work no
pay (tidak bekerja tidak dibayar) ini tidak berlaku mutlak,artinya walaupun tidak
bekerja buruh tetap mendapatkan upah. Asas no work no pay tidak berlaku dan
pengusaha tetap wajib membayar upah, apabila terjadi hal sebagai berikut :
1) Jika buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan, pengertian
sakit di sini bukan karena kecelakaan kerja. Di samping itu bagi buruh
yang sakit tentunya harus ada surat keterangan dokter.
2) Jika buruh tidak masuk kerja karena buruh menikah, menikahkan.
Mengkhitankan, istri melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau
istri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota
keluarga dalam satu rumah meninggal dunia.
18
F.X. Djumialadji, Op.cit., hlm.54
3) Buruh tidak dapat melakukan pekerjaan karena sedang menjalankan
kewajiban Negara, menjalankan kewajiban terhadap Negara adalah
melaksanakan kewajiban Negara yang diatur dengan peraturan
perundang-undang. Pembayaran upah kepada buruh yang menjalankan
kewajiban terhadap Negara dilaksanakan apabila :
a. Negara tidak melakukan pembayaran.
b. Negara membayar kurang dari upah yang biasanya diterima
buruh, dalam hal ini pengusaha wajib membayar
kekurangannya.19
Pembayaran upah oleh pengusaha kepada buruhnya yang menjalankan
kewajiban Negara dibatasi paling lama satu tahun. Dengan demikian
kalau melebihi dari satu tahun dalam menjalankan kewajiban Negara,
asas no work no pay berlaku secara penuh juga.
1. Buruh tidak dapat menjalankan pekerjaannya karena memenuhi
kewajiban ibadah menurut agamanya. Sebagai contoh: Departemen
agama menentukan waktu untuk melaksanakan ibadah haji adalah 40
hari, maka pengusaha wajib membayar upah buruh untuk selama 40
(empat puluh) hari, selebihnya 40 hari tidak wajib membayar upah.
2. Buruh yang bersedia melakukan pekerjaan yang telah diperjanjikan
tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya baik karena kesalahan
sendiri maupun halangan yang dialami oleh pengusaha yang seharusnya
dapat dihindari. Dalam hal ini upah yang harus dibayar oleh pengusaha
ialah selama buruh tidak dipekerjakan. Untuk halangan yang dialami
oleh pengusaha yang tidak dapat ihindari, seperti kehancuran atau
19
Ibid., hlm.56
musnahnya perusahaan beserta peralatannya karena bencana alam,
kebakaran atau peperangan sehingga perusahaan tidak memungkinkan
lagi berfungsi atau menjalankan kegiatannya, maka pengusaha tidak
diwajibkan membayar upah kepada buruh.
3. Buruh melaksanakan hak istirahat.
4. Buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.20
2. Dasar Hukum Upah
Buruh harus memiliki kesadaran bekerja bukan semata-mata merupakan
objektivikasi diri manusia untuk mengangkat harga diri dan martabatnya, tetapi
juga sadaran eksistensinya. Kesadaran buruh atas eksistensinya yang kini semakin
membucah harus benar-benar dijaga pertumbuhannya agar mampu membuahkan
hasil berupa kesejahteraan buruh dalam arti lahir dan batin, meskipun kedua-
duanya sangat sulit diperoleh sekaligus, barang kali harus benar-benar
dikembangkan adalah kesadaran akan persoalan utama buruh yaitu upah agar
minimal sama dengan produktivitas yang di hasilkan untuk perusahaan.21
Dari uraian diatas bahwa upah ( al- Ijarah ) adalah merupakan salah satu
jalan untuk memenuhi hajat manusia, sebab itu para fuqaga telah menilai bahwa
ijarah ini suatu hal yang dibolehkan, karena perbuatan tersebut adalah merupakan
salah satu bentuk tolong menolong antara sesama manusia.
Dalam hukum positif juga diatur tentang pengupahan diantaranya, dalam
Undang-undang Dasar 1945 pasal 27 ayat 2 yang berbunyi : “ Tiap-tiap warga
Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan “.
20
Ibid., hlm.45-49 21
Eggi Sudjana, Buruh Menggugat Perspektif Islam, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2002, hlm.81
Dengan upah yang harus diterima oleh buruh atau pekerja atas jasa yang diberikan
haruslah upah yang wajar.22
Disamping itu dalam ketetapan MPR. Nomor 1v /MPR/1978 disebutkan
kebijaksanaan di bidang perlindungan tenaga kerja ditujukan kepada perbaikan
upah, syarat-syarat kerja, hubungan kerja, keselamatan kerja, jaminan sosial
dalam rangka perbaikan kesejahteraan tenaga kerja secara menyeluruh.
3. Sistem Pembayaran Upah
Menurut hukum positif penetapan upah, terdapat berbagai system
pembayaran upah, pembayaran itu sebagai berikut :
1. Sistem upah jangka waktu
Menurut sistem pembayaran ini, upah ditetapkan menurut jangka waktu
buruh melakukan pekerjaan, dimana tiap-tiap jam diberikan upah perjam, untuk
tiap saat hari bekerja diberikan upah harian, untuk seminngu bekerja diberikan
upah mingguan, untuk setiap bulan diberikan upah bulanan dan sebagainya.
Dalam sistem pengupahan ini, buruh tidak perlu melakukan pekerjaan dengan
tergesa-gesa oleh sebab itu dampak negative dari sistem ini adalah buruh tidak
bekerja dengan giat.
2. Sistem upah potongan
Sistem ini, sering dipakai untuk mengganti sistem upah jangka waktu
apabila hasil pekerjaan tidak memuaskan, karena upah ini hanya bias diterapkan
22
Abner Hutabarat, Kebijaksaan Upah Minimum, Direktorat Pengawasan Persyaratan
Pengawasan Persyaratan Kerja dan Jaminan Sosial, Jakarta, 1984, hlm.13
bila dapat diukur hasil pekerjaan itu dengan ukuran tertentu, misalnya jumlah
banyak, jumlah berat, jumlah luasnya hasil pekerjaan buruh tersebut. Maka sistem
pengupahan itu tidak dapat dipakai pada suatu perusahaan.
3. Sistem upah pemufakatan
Sistem upah ini pada dasarnya adalah upah potongan, yaitu upah untuk
hasil pekerjaan tertentu, misalnya pada pembuatan jalan, pekerjaan memuat,
membongkar dan mengangkut barang-barang dan sebagainya, tapi upah ini bukan
diberikan kepada buruh masing-masing melainkan pada sekumpulan buruh yang
telah bersama-sama melakukan pekerjaan itu.
4. Sistem skala upah buruh
Adanya pertalian antara upah dengan harga penjualan hasil perusahaan.
Cara pengupahan ini dapat dijalankan oleh perusahaan yang harga barang hasilnya
untuk sebagian besar atau seluruhnya tergantung pada harga pasaran diluar negeri,
upah akan naik atau turun menurut naik turunnya harga barang hasil perusahaan
itu. Cara pengupahan seperti ini banyak terdapat pada perusahaan pertambangan
dan pabrik baja di inggris. Dalam pengupahan ini bisa terjadi perselisihan apabila
harga barang turun terus menerus yang akhirnya mengakibatkan buruh yang sudah
terbiasa dengan gaji yang besar.
5. Upah indeks
Upah indeks adalah upah yang naik turun, menurut naik turunya angka
indeks biaya penghidupan, tetapi naik turunnya upah ini tidak akan
mempengaruhi nilai riil dari upah.
6. Sistem upah pembagian keuntungan
Maksudnya disamping upah yang diterima oleh buruh pada waktu tertentu
pada sistem ini, maka pada penutupan buku tahunan bila perusahaan mendapat
keuntungan yang besar kepada buruh diberikan sebagian dari keuntungan itu.23
4. Masalah Dalam Upah
Didalam kehidupan sehari-hari, kita mengetahui bahwa perselisihan itu
merupakan masalah yang umum dalam kehidupan manusia, dalam tiap interaksi
tentu akan terdapat reaksi. Begitu di perusahaan yang merupakan lingkungan
masyarakat pekerja tertentu, hubungan perburuhannya pun tidak terlepas dari
pengertian di atas dan suatu kebijaksanaan pengusaha yang telah dipertimbangkan
dengan matang, akan diterima oleh para buruhnya dengan rasa puas dan ada pula
yang kurang puas.24
Jadi masalah timbulnya perselisihan antara pengusaha dengan para
buruhnya, berpokok pangkal karena adanya perasanaan-persanaan kurang puas
tersebut. Pengusaha memberikan kebijaksanaanya yang menurut pertimbangan
sudah mantap dan akan diterima oleh para buruh, sayangnya karena para buruh
memiliki perasaan dan pertimbangan yang lain. Maka penerimaan atas
kebijaksanaan pengusaha itupun menjadi tidak sama, sebagian yang merasa puas
akan tetap bekerja dengan tenang dan semangat, sedangkan yang merasa kurang
puas dengan cepat menunjukan apatisme, semangat kerja menjadi sangat menurun
dan terjadilah masalah masalah itu.
23
Imam Soepomo, Op.cit., hlm.131 24
G. Kartasapoetra dkk, Op.cit., hlm.245.
Yang menjadi pokok pangkal kekurang puasan itu, umumnya berkisar
pada masalah-masalah pokok pangkal ketidak puasan buruh dalam hal
pengupahan ini seperti :
a) Lambatnya pelaksanaan penbayaran upah. Biasanya bagi perusahaan
yang sudah di akui keabsahannya pelaksanaan upah sudah di
jadwalkan.
b) Adanya pemotongan-pemotongan upah untuk keperluan suatu dana
bagi kepentingan buruh, tanpa perundingan dulu dengan pihak buruh.
c) Belum mampunya perusahaan untuk memperbaiki upah buruh.
d) Adanya kehendak dari para buruh agar upahnya dipersamakan dengan
pengupahan yang lebih baik di perusahaan lain.25
Keberadaan upah minimal ini harus benar-benar dijaga dan diperjuangkan
pelaksanaannya, yang tidak hanya didasarkan semata pada mekanisme pasar,
mengingat berbagai kelemahan internal buruh untuk memperjuangkan sendiri
meski sudah ada kebebasan berserikat. Masalah upah disebut pokok karena dari
sekian banyak persoalan perburuhan banyak yang disebabkan persoalan upah.26
Setelah mengetahui bahwa yang menjadi pokok dalam soal pengupahan
ini, pengupahan harus mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki apa yang
memangkurang baik, sesuai dengan kemampuan perusahaannya, dan apabila
perbaikan-perbaikan itu belum mampu mengingat keuangan perusahaan, segera
memusyawarahkan hal itu secara terbuka dengan pihak serikat buruh. Dengan
cara musyawarah ini hal keinginan dan kemampuan akan dapat didekatkan tanpa
adanya perselisihan yang berlarut-larut.
5. Upah Menurut Islam
25
Ibid., hlm.248 26
Eggi Sudjana, Op.cit., hlm.82
Di dalam segenap aspek kehidupan bisnis dan transaksi, islam mempunyai
sistem perekonomian yang berbasiskan nilai-nilai dan prinsip prinsip syari’ah
yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadist. Sistem ekonomi Islam saat ini lebih
dikenal dengan sistem ekonomi syari’ah. Dalam ekonomi Islam definisi upah
tidak jauh berbeda dengan apa yang disebut diatas, namun dapat kita pandang dari
dua segi yaitu moneter dan bukan monoter. Dalam Islam upah (Al-Ijarah) adalah
merupakan salah satu jalan untuk memenuhi hajat manusia oleh sebab itu para
ulama menilai bahwa (ijarah) merupakan suatu hal yang boleh dan bahkan
kadang-kadang perlu dilakukan. Syarat mempercepat dan menangguhkan yang
sebagian lagi sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.
Upah dapat digolongkan menjadi 2 macam yaitu :
1. Upah yang telah disebutkan (ajrul musamma), yaitu upah yang telah
disebutkan pada awal transaksi, syaratnya adalah ketika disebutkan
harus disertai adanya kerelaan (diterima) oleh kedua belah pihak.
2. Upah yang sepadan (ajrul mistli) adalah upah yang sepadan dengan
kerjanya serta sepadan dengan kondisi pekerjaannya. Maksud adalah
harta yang dituntut sebagai kompensasi dalam suatu transaksi yang
sejenis pada umumnya.27
Diantara hak terpenting yang ditetapkan Islam bagi pekerja adalah
mendapatkan upah sebagai imbalan pekerjaannya, dimana Islam sangat besar
perhatiannya tentang masalah upah kerja ini, seperti yang dapat kita cermati
dalam beberapa hal sebagai berikut :
27
Nurul huda, Ekonomi Makro Islam Pendekatan Teoritis, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, 2008, hlm.230
a) Ancaman keras bagi orang yang melanggar hak-hak orng lain dan
tidak menepati upah mereka. Sungguh Umar RadhiyallahuAnhu
memerintahkan kepada para gubenurnya untuk menyampaikan hak
kepada orang yang memilikinya, dan melarang dari menghambat hak
dari orang yang memilikinya secara menjelaskan bahwa demikian itu
termasuk kezhaliman.28
b) Di antara perhatian Islam adalah penentuan upah dan penjelasannya,
sehingga tidak lagi terdapat kesamaran dan kerumitan di dalamnya.
Dalam hadis disebutkan, “ Sesungguh Nabi Shallahu Alaihi wa Salam
melarang memperkerjakan seseorang sehingga menjelaskan tentang
upahnya” dan di antara yang menunjukan perhatian Umar
Radhiyallahu Anhu tentang penjelasan upah dan penentuannya adalah
riwayat tentang pemuda miskin yang datang kepada Umar karena
ingin jihad, dan dia tidak memiliki dana sama sekali, maka Umar
mencarikan untuknya pekerjaan, secara berkata kepada para sahabat, “
Siapakah orang anshar berkata “ saya, wahai Amirul Mukminin”.
Umar berkata, berapa kamu memberinya upah dalam setiap bulan? Ia
menjawab, demikian dan demikian. “Umar berkata, Ambillah dia.
c) Diantara bukti perhatian Islam tentang upah pekerja adalah
memerintahkan penyerahan upah langsung sehabis selesainya bekerja
dari pekerjaannya.
28
Jaribah bin Ahmad al-Haristi, Fikih Ekonomi Umar bin Al-Khatab, Khalifa, Jakarta, 2006, cet.
ke-1, hlm.236-237
d) Sesungguhnya para pakar hukum Islam ( fuqaha ) memperhatikan
hokum ijarah ( persewaan ).29
Penentuan upah di dalam Ekonomi Umar Radhiyalahhu anhu, terdapat
perbedaan jumlah upah dan faktor-faktor yang mempengaruhinya sesuai kualitas
pekerja, dimana seyogianya dibedakan antara para pekerja di pemerintahan dan
pekerja terhadap individu, di antaranya adalah para manajer. Berikut rincian
tersebut :
1. Para Pekerja di Pemerintah
Hukum asal dalam upah pekerja di lembaga Negara adalah tidak kurang
dari kadar kecukupannya. Sesungguhnya mengatakan keberhakan pekerja
pemerintah (pegawai negeri) akan gaji yang tidak kurang dari batas dari
kecukupan itu menuntut beberapa faktor, yang terpenting di antaranya adalah
sebagai berikut :
a) Melindungi pekerja dari suap atau khianat dengan melanggar terhadap
apa yang dibawah kekuasaannya dari harta kaum muslimin.
b) Umar Radhiyallahu Anhu melarang para gubenurnya berdagang pada
masa tugas mereka.
c) Meluangkan waktu untuk bekerja.
d) Penentuan gaji bagi pegawai pemerintah tidak tunduk kepada system
penawaran.
2. Para Pekerja bagi Individu
Fuqaha membedakan antara pekerja khusus dan pekerja bersama, dimana
pekerja khusus adalah orang yang melakukan akad terhadap pekerja pada masa
tersebut. Upah pekerjaan seseorang, pekerja bersama atau pekerja khusus
29
Ibid, hlm.237-238
berkaitan dengan kesepakatan diantara kedua belah pihak ( pekerja dan yang
memperkerjakan ).
Sedangkan pengaruh dengan faktor berbandingnya kekuatan penawaran
dan permintaan yang terjadi di pasar Islam secara penuh, termasuk dalam masalah
harga dan upah. Tapi apakah upah bekerja pada individu, baik pekerja khusus
maupun pekerja bersama tidak dipersyaratkan harus merealisasikan hal
kecukupannya, upah pekerja pada individu, baik pekerja khusus maupun pekerja
bersama tidak dipersyaratkan harus merealisasikan kecukupannya di karenakan
sebab-sebab sebagai berikut :
a) Perbedaan kemampuan dan keahlian seseorang dengan orang yang
lain.
b) Sesungguhnya persyaratan batas minimal upah pekerja pada individu
harus tidak kurang dari batas kecukupan itu berdampak pada hal-hal
negatif, diantaranya bahwa pekerja akan mengarah pada pekerjaan
yang mudah dikarenakan batas kecukupan pasti akan didapatnya.
c) Pada dasarnya fuqaha ketika membicarakan upah pekerja pada
individu, maka sesungguhnya mereka menentukannya dengan upah
sepadan.30
30
Ibid , hlm.238-242