bab ii tinjauan umum 2.1 pengertian dan konsep … ii.pdf · a) impairment (kerusakan atau...
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN UMUM
2.1 Pengertian dan Konsep Penyandang Disabilitas
Penyandang disabilitas merupakan kelompok masyarakat yang beragam,
diantaranya penyandang disabilitas yang mengalami disabilitas fisik, disabilitas
mental maupun gabungan dari disabilitas fisik dan mental. Istilah penyandang
disabilitas pun sangat beragam. Kementerian Sosial menyebut penyandang
disabilitas sebagai penyandang cacat, Kementerian Pendidikan Nasional menyebut
dengan istilah berkebutuhan khusus, sedangkan Kementerian Kesehatan menyebut
dengan istilah Penderita cacat. 1
WHO mendefinisikan disabilitas sebagai “A restriction or inability to
perform an activity in the manner or within the range considered normal for a
human being, mostly resulting from impairment”.2 Definisi tersebut menyatakan
dengan dengan jelas bahwa disabilitas merupakan pembatasan atau
ketidakmampuan untuk melakukan suatu kegiatan dengan cara yang atau dalam
rentang dianggap normal bagi manusia, sebagian besar akibat penurunan
kemampuan.
Selain pengertian secara umum, WHO mengemukakan pula definisi
disabilitas yang berbasis pada model sosial sebagai berikut.
1 Eko Riyadi, at.al, 2012, Vulnerable Groups: Kajian dan Mekanisme Perlindungannya,
PUSHAM UII, Yogyakarta, h. 293.
2 Barbotte, E.Guillemin, F.Chau, N. Lorhandicap Group, 2011, Prevalence of
Impairments, Disabilities, Handicaps and Quality of Life in the General Population: A Review of
Recent Literature, Bulletin of the World Health Organization, Vol.79, No. 11, p. 1047.
a) Impairment (kerusakan atau kelemahan) yaitu ketidaklengkapan atau
ketidaknormalan yang disertai akibatnya terhadap fungsi tertentu. Misalnya
kelumpuhan di bagian bawah tubuh disertai ketidakmampuan untuk
berjalan dengan kedua kaki.
b) Disability/handicap (cacat/ketidakmampuan) adalah kerugian/keterbatasan
dalam aktivitas tertentu sebagai akibat faktor-faktor sosial yang hanya
sedikit atau sama sekali tidak memperhitungkan orang-orang yang
menyandang “kerusakan/kelemahan” terentu dan karenanya mengeluarkan
oranmg-orang itu dari arus aktivitas sosial.3
Pengertian lain disebutkan pula oleh The International Classification of
Functioning (ICF) yaitu “Disability as the outcome of the interaction between a
person with impairment and the environmental and attitudinal barriers s/he may
face”.4 Pengertian ini lebih menunjukkan disabilitas sebagai hasil dari hubungan
interaksi antara seseorang dengan penurunan kemampuan dengan hambatan
lingkungan dan sikap yang ditemui oleh orang tersebut.
Konvensi PBB mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas tidak secara
eksplisit menjabarkan mengenai disabilitas. Pembukaan Konvensi menyatakan
disabilitas merupakan sebuah konsep yang terus berubah dan disabilitas adalah
hasil interaksi antara orang yang penyandang disabilitas/mental dengan hambatan
3 Coleridge Peter, 2007, Pembebasan dan Pembangunan, Perjuangan Penyandang Cacat
di Negara-Negara Berkembang, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h.132.
4 UNESCO Bangkok, 2009, Teacing Children With Disabilities in Inclusive Settings,
UNESCO Bangkok, Bangkok, p.5.
perilaku dan lingkungan yang menghambat partisipasi yang penuh dan efektif di
tengah masyarakat secara setara dengan orang lain.
Disabilitas sebagai hasil interaksi antara masyarakat yang sifatnya tidak
inklusif dengan individual dapat digambarkan sebagai berikut.
a) Seseorang yang menggunakan kursi roda bisa saja mengalami kesulitan dalam
mendapatkan pekerjaan, bukan karena ia menggunakan kursi roda namun
karena ada hambatan-hambatan lingkungan misalnya bis atau tangga yang tidak
bisa mereka akses sehingga menghalangi akses mereka ke tempat kerja.
b) Seseorang yang memiliki kondisi rabun dekat ekstrim yang tidak memiliki
akses untuk mendapatkan lensa korektif mungkin tidak akan dapat melakukan
pekerjaan sehari-harinya. Orang yang sama yang memiliki resep untuk
menggunakan kacamata yang tepat akan dapat melakukan semua tugas itu tanpa
masalah
Secara yuridis pengertian penyandang cacat diatur dalam Pasal 1 ayat (1)
UU Penyandang Cacat sebagai berikut: Setiap orang yang mempunyai kelainan
fisik dan/atau mental, yang dapat menganggu atau merupakan rintangan dan
hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari:
a. penyandang cacat fisik
b. penyandang cacat mental
c. penyandang cacat fisik dan mental
Pengertian ini sama dengan pengertian yang tercantun dalam Pasal 1 ayat (1)
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1998 tentang Upaya
Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat.
Dalam UU HAM, penyandang disabilitas merupakan kelompok masyarakat
rentan yang berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan
dengan kekhususannya. Dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 tentang
Kesejahteraan Sosial, ditegaskan bahwa penyandang disabilitas digolongkan
sebagai bagian dari masyarakat yang memiliki kehidupan yang tidak layak secara
kemanusiaan dan memiliki kriteria masalah sosial.
Menurut Pasal 1 angka 5 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.
30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesinilitas Pada
Bangunan Gedung dan Lingkungan, yang dimaksud dengan penyandang cacat
adalah setiap orang yang mempunyai kelemahan/kekurangan fisik dan/atau mental,
yang dapat menganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk
melakukan kegiatan kehidupan dan penghidupan secara wajar.
Menurut Convetion On The Rights of Persons With Disabilities (Konvensi
Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) yang telah disahkan dengan Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of
Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas),
penyandang disabilitas termasuk mereka yang memiliki keterbatasan fisik, mental,
intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama dimana ketika berhadapan
dengan berbagai hambatan, hal ini dapat mengahalangi partisipasi penuh dan efektif
mereka dalam masyarakat berdasarkan kesetaraan dengan yang lainnya. Konvensi
ini tidak memberikan batasan tentang penyandang cacat. Dalam konvensi ini
penyandang cacat disebut sebagai penyandang disabilitas.
Adapun jenis dan penyebab kecacatan bisa disebabkan oleh berbagai faktor
yaitu:
a) Cacat didapat (Acquired), penyebabnya bisa karena kecelakaan lalu lintas,
perang/konflik bersenjata atau akibat penyakit-penyakit kronis.
b) Cacat bawaan/sejak lahir (Congenital), penyebabnya antara lain karena
kelainan pembentukan organ-organ (organogenesis) pada masa kehamilan,
karena serangan virus, gizi buruk, pemakaian obat-obatan tak terkontrol
atau Karen apenyakit menular seksual.5
Menurut UU Penyandang Cacat, berbagai faktor penyebab serta
permasalahan kecacatan, maka jenis-jenis kecacatan dapat di kelompokkan sebagai
berikut :
1. Penyandang Cacat Fisik
a. Tuna Netra adalah seseorang yang terhambat mobilitas gerak yang
disebabkan oleh hilang/berkurangnya fungsi penglihatan sebagai akibat
dari kelahiran, kecelakaan maupun penyakit yang terdiri dari:
a) Buta total, tidak dapat melihat sama sekali objek di depannya
(hilangnya fungsi penglihatan).
b) Persepsi cahaya, seseorang yang mampu membedakan adanya
cahaya atau tidak, tetapi tidakdapat menentukan objek atau benda
di depannya.
5 Sapto Nugroho, Risnawati Utami, 2008, Meretas Siklus Kecacatan-Realitas Yang
Terabaikan, Yayasan Talenta, Surakarta, h.114.
c) Memiliki sisa penglihatan (low vision), seseorang yang dapat
melihat benda yang ada di depannya dan tidak dapat melihat jari-
jari tangan yang digerakkan dalam jarak satu meter.
b. Tuna Rungu/ Wicara adalah kecacatan sebagai akibat
hilangnya/terganggunya fungsi pendengaran dan atau fungsi bicara baik
disebabkan oleh kelahiran, kecelakaan maupun penyakit, terdiri dari tuna
rungu wicara, tuna rungu, tuna wicara.
c. Tuna Daksa adalah cacat pada bagian anggota gerak tubuh. Tuna daksa
dapat diartikan sebagai suatu keadaan rusak atau terganggu, sebagai akibat
gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot, dan sendi dalam
fungsinya yang normal. Kondisi ini dapat disebabkan oleh penyakit,
kecelakaan atau dapat juga disebabkan oleh pembawaan sifat lahir.6 Pada
orang tuna daksa ini terlihat kelainan bentuk tubuh, anggota atau otot,
berkurangnya fungsi tulang, otot sendi maupun syaraf-syarafnya. 7
Tuna daksa terdiri dari dua golongan yaitu:
1) Tuna daksa ortopedi, yaitu kelainan atau kecacatan yang
menyebabkan terganggunya fungsi tubuh, kelainan tersebut dapat
terjadi pada bagian tulang, otot tubuh maupun daerah persendian, baik
yang dibawa sejak lahir (congenital) maupun yang diperoleh
kemudian karena penyakit atau kecelakaan, misalnya kelainan
6 T. Sutjihati Soemantri, 2006, Psikologi Anak Luar Biasa. Refika Aditama, Bandung,
h.121.
7 Endang Warsiki, dkk, 2003, Hubungan Antara Kecacatan Fisik Anak Dan Depresi Ibu
Dari Anak-Anak Tuna Daksa,YPAC, Surabaya, h.3.
pertumbuhan anggot badan atau anggota badan yang tidak sempurna,
cacat punggung, amputasi tangan, lengan, kaki dan lainnya.
2) Tuna daksa syaraf, yaitu kelainan yang terjadi pada fungsi anggota
tubuh yang disebabkan gangguan pada susunan syaraf di otak. Otak
sebagai pengontrol tubuh memiliki sejumlah syaraf yang menjadi
pengendali mekanisme tubuh, karena itu jika otak mengalami
kelainan, sesuatu akan terjadi pada organisme fisik, emosi dan mental.
Salah satu bentuk terjadi karena gangguan pada fungsi otak dapat
dilihat pada anak cerebral palsy yakni gangguan aspek motoric yang
disebabkan oleh disfungsinya otak.8
2. Penyandang Cacat Mental
a. Tuna Laras, dikelompokkan dengan anak yang mengalami gangguan
emosi. Gangguan yang muncul pada individu yang berupa gangguan
perilaku seperti suka menyakiti diri sendiri, suka menyerang teman, dan
lainnya.
b. Tuna Grahita, sering dikenal dengan cacat mental yaitu kemampuan
mental yang berada di bawah normal. Tolak ukurnya adalah tingkat
kecerdasan atau IQ. Tuna grahita dapat dikelompokkan sebagai berikut :
a) Tuna Grahita Ringan
Tampang dan fisiknya normal, mempunyai IQ antara kisaran 50 s/d
70. Mereka juga termasuk kelompok mampu didik, mereka masih bisa
8 Muhammad Effendi, 2006, Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan, Bumi Aksara,
Jakarta, h.122.
dididik (diajarkan) membaca, menulis dan berhitung, anak tunagrahita
ringan biasanya bisa menyelesaikan pendidikan setingkat kelas IV SD
Umum.
b) Tuna Grahita Sedang
Tampang atau kondisi fisiknya sudah dapat terlihat, tetapi ada
sebagian anak tuna grahita yang mempunyai fisik normal. Kelompok
ini mempunyai IQ antara 30 s/d 50. Mereka biasanya menyelesaikan
pendidikan setingkat kelas II SD Umum.
c) Tuna Grahita Berat
Kelompok ini termasuk yang sangat rendah intelegensinya tidak
mampu menerima pendidikan secara akademis. Anak tunagrahita
berat termasuk kelompok mampu rawat, IQ mereka rata-rata 30
kebawah. Dalam kegiatan sehari-hari mereka membutuhkan bantuan
orang lain.
3. Penyandang Cacat Fisik dan Mental Ganda merupakan mereka yang
menyandang lebih dari satu jenis keluarbiasaan, misalnya penyandang tuna
netra dengan tuna rungu sekaligus, penyandang tuna daksa disertai dengan tuna
grahita atau bahkan sekaligus.
Dalam Pasal 13 UU Penyandang Cacat dikatakan bahwa setiap penyandang
cacat mempunyai kesamaan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan sesuai
dengan jenis dan derajat kecacatannya. Menurut Pasal 1 angka 2 UU Penyandang
Cacat dan Pasal 1 angka 2 PP No. 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan
Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat yang dimaksud dengan derajat kecacatan
adalah berat ringannya keadaan cacat yang disandang seseorang.
Pada Pasal 2 PP No. 43 Tahun 1998 diatur bahwa penentuan jenis dan
tingkat kecacatan yang disandang seseorang ditetapkan oleh Menteri yang
bertanggung jawab di bidang kesehatan. Lebih lanjut dalam Pasal 6 Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 104/MENKES/PER/II/1999
tentang Rehabilitasi Medik dinyatakan bahwa penyandang cacat dapat dibedakan
dalam jenis dan derajat kecacatan yang meliputi cacat fisik, cacat mental dan cacat
fisik dan mental. Cacat fisik meliputi cacat bahasa, penglihatan, pendengaran,
skeletal, rupa, visceral dan generalisata. Cacat mental meliputi cacat intelektual dan
cacat psikologi lainnya. Cacat fisik dan mental mencakup kecacatan baik yang
dimaksud dalam kriteria cacat fisik dan cacat mental.
Menurut Pasal 7 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:
104/MENKES/PER/II/1999 tentang Rehabilitasi Medik mengatur bahwa derajat
kecacatan dinilai berdasarkan keterbatasan kemampuan seseorang dalam
melaksanakan kegiatan sehari-hari yang dapat dikelompokkan dalam:
a) Derajat cacat 1 yaitu mampu melaksanakan aktifitas atau mempertahankan
sikap dengan kesulitan.
b) Derajat cacat 2 yaitu mampu melaksanakan kegiatan atau mempertahankan
sikap dengan bantuan alat bantu.
c) Derajat cacat 3 yaitu dalam melaksanakan aktifitas, sebagian memerlukan
bantuan orang lain dengan atau tanpa alat bantu.
d) Derajat cacat 4 yaitu dalam melaksanakan aktifitas tergantung penuh terhadap
pengawasan orang lain.
e) Derajat cacat 5 yaitu tidak mampu melukakan aktifitas tanpa bantuan penuh
orang lain dan tersedianya leingkungan khusus.
f) Derajat cacat 6 yaitu tidak mampu penuh melaksanakan kegiatan sehari-hari
meskipun dibantu penuh orang lain.
Berdasar pengertian-pengertian tersebut, penyandang disabilitas diakui
sebagai bagian integral Bangsa Indonesia, yang tidak terpisahkan dari anggota
masyarakat lainnya. Penyandang disabilitas mempunyai kedudukan, hak,
kewajiban dan peran yang sama sebagai warga Negara Indonesia. Penyandang
disabilitas merupakan asset negara bidang sumber daya manusia yang mempunyai
kelebihan dan kekurangan sebagaimana manusia lainnya. Potensi yang dimiliki
penyandang disabilitas dapat dikembangkan sesuai dengan talenta yang dibawa
sejak lahir. Namun karena kecacatan yang disandangnya penyandang disabilitas
mengalami hambatan fisik, mental dan social untuk mengembangkan dirinya secara
alami.
Penyandang disabilitas memiliki kedudukan, hak dan kewajiban yang sama
dengan masyarakat non disabilitas. Sebagai bagian dari warga negara Indoesia,
penyandang disabilitas berhak mendapatkan perlakuan khusus, yang dimaksudkan
sebagai upaya perlindungan dari kerentanan terhadap berbagai tindakan
diskriminasi dan terutama perlindungan dari berbagai pelanggaran hak asasi
manusia. Perlakuan khusus tersebut dipandang sebagai upaya maksimalisasi
penghormatan, pemajuan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia
universal.
Sebagai bentuk komitmen lebih lanjut terhadap usaha mendorong
terwujudnya hak bagi para penyandang disabilitas, Pemerintah Indonesia
meratifikasi Konvensi PBB mengenai Hak Para Penyandang Disabilitas pada
bulan Oktober 2011. Konvensi ini kemudian diadaptasi ke dalam UU No 19 Tahun
2011. Ratifikasi UNCRPD oleh Pemerintah Indonesia adalah sebuah tindakan
yang memberikan pergeseran mendasar dari pendekatan kesejahteraan sosial
menjadi pendekatan hak asasi manusia. Termasuk di dalamnya adalah untuk
memfokuskan pada penghalang-penghalang yang menghambat di lingkungan
fisik, sosial, budaya dan ekonomi sehingga para penyandang disabilitas bisa
berpartisipasi dan memberikan kontribusi mereka sesuai dengan kemampuan yang
mereka miliki. Terlebih lagi, pendekatan ini juga menerima pemikiran untuk
mengadopsi perundang-undangan dan kebijakan non diskriminatif, yang
menekankan pada pentingnya perlakuan dan kesempatan yang setara.
Secara eksplisit Indonesia juga memiliki Undang Undang Nomor 4 tahun
1997 tentang Penyandang Cacat yang memberikan landasan hukum secara tegas
mengenai kedudukan dan hak penyandang disabilitas. Dalam konsideran UU
Penyandang Cacat ditegaskan bahwa "Penyandang cacat merupakan bagian
masyarakat Indonesia yang juga memiliki kedudukan, hak, kewajiban, dan peran
yang sama". Selain itu hak-hak fundamental berikut kewajiban penyandang
disabilitas juga ditegaskan dalam Pasal 41 Ayat 2 UU HAM, yang menyebutkan
bahwa : "Setiap penyandang cacat, orang yang berusia lanjut, wanita hamil
dan anak anak, berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus". Begitu
pula dengan Pasal 42 UU HAM yang berbunyi:
"Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental
berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus
atas biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan
martabat kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan
kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara".9
Seperti yang telah diuraikan pada paragraf di atas, penyandang cacat
memiliki kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara non
disabilitas. Penyandang disabilitas memiliki hak untuk hidup, dan
mempertahankan kehidupnya. Selain hak untuk hidup, apabila membicarakan
isu-isu mengenai hak asasi manusia, kita juga dapat menemukan bahwa manusia
sebagai warga negara memiliki hak sipil dan politik, serta memiliki hak ekonomi,
sosial dan budaya.
Hak Sipil dan politik dipandang sebagai hak-hak yang bersumber dari
martabat dan melekat pada setiap manusia yang dijamin dan dihormati
keberadaannya oleh negara agar manusia bebas menikmati hak-hak dan
kebebasannya dalam bidang sipil dan politik yang pemenuhannya menjadi
tanggung jawab negara, yang meliputi hak hidup; hak bebas dari penyiksaan dan
perlakuan tidak manusiawi; hak bebas dari perbudakan dan kerja paksa; hak atas
kebebasan dan keamanan pribadi; hak atas kebebasan bergerak dan berpindah; hak
atas pengakuan dan perlakuan yang sama dihadapan hukum; hak untuk bebas
9 International Labour Office, 2006, Kaidah ILO tentang Pengelolaan Penyandang
Cacat di Tempat Kerja, ILO Publication, Jakarta, h.3. (selanjutnya disebut International Labour
Office II ).
berfikir, berkeyakinan dan beragama; hak untuk bebas berpendapat dan
berekspresi; hak untuk berkumpul dan berserikat; dan hak untuk turut serta dalam
pemerintahan.
Hak ekonomi, sosial, dan budaya, dipandang sebagai hak dasar manusia
yang harus dilindungi dan dipenuhi agar manusia terlindungi martabat dan
kesejahteraannya. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi kovenan Internasional
tentang Hak-hak Ekonomi Sosial dan Budaya (International Covenant on
Economic, social, and Cultural Right) pada bulan Oktober 2005. Ratifikasi ini
ditandai dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang
Pengesahan International Convenant on Economic, Social and Cultural Right
(Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya). Dengan
demikian, negara wajib menghormati, melindungi dan memenuhi Hak-hak
tersebut kepada warganya. Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang diatur
dalam kovenan tersebut meliputi: Hak atas pekerjaan, Hak mendapatkan program
pelatihan, Hak mendapatkan kenyamanan dan kondisi kerja yang baik, Hak
membentuk serikat buruh, Hak menikmati jaminan sosial, termask asuransi
sosial, Hak menikmati perlindungan pada saat dan setelah melahirkan, Hak
atas standar hidup yang layak termasuk pangan, sandang, dan perumahan, Hak
terbebas dari kelaparan, Hak menikmati standar kesehatan fisik dan mental yang
tinggi, Hak atas pendidikan, termasuk pendidikan dasar secara cuma-cuma, Hak
untuk berperan serta dalam kehidupan budaya menikmati manfaat dari kemajuan
ilmu pengetahuan dan aplikasinya.
Instrumen kebijakan hak asasi manusia dan pembangunan ini juga
terkandung dalam Konvensi PBB mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas.
Konvensi ini bersifat lintas jenis disabilitas, lintas sektoral dan mengikat secara
hukum. Tujuannya adalah untuk mempromosikan, melindungi dan memastikan
para penyandang disabilitas dapat menikmati secara penuh dan setara semua hak
asasi manusia dan kebebasan fundamental serta mempromosikan penghargaan
terhadap harkat dan martabat mereka.
Konvensi ini menandai sebuah ‘pergeseran paradigma’ dalam perilaku dan
pendekatan terhadap para penyandang disabilitas. Para penyandang disabilitas tidak
dilihat sebagai obyek kegiatan amal, perlakuan medis, dan perlindungan sosial,
namun dilihat sebagai manusia yang memiliki hak yang mampu mendapatkan hak-
hak itu serta membuat keputusan terhadap hidup mereka sesuai dengan keinginan
dan ijin yang mereka berikan seperti halnya anggota masyarakat lainnya.
Pasal 9 dari UNCRPD menyatakan bahwa aksesibilitas merupakan hal
penting dalam memberikan kesempatan bagi mereka yang memiliki disabilitas
untuk dapat hidup secara mandiri dan berpartisipasi penuh dalam kehidupan.
Aksesibilitas sangatlah berhubungan dengan berbagai hal meliputi aksesibilitas
fisik dan aksesibilitas informasi serta komunikasi.
Aksesibilitas fisik merujuk pada akses-akses ke sarana pendidikan, akses
masuk ke pengadilan, akses masuk ke rumah sakit dan akses ke tempat kerja
merupakan hal penting bagi seseorang sehingga bisa menikmati hak asasi
manusianya. Ini termasuk di dalamnya: ramp (selain atau sebagai tambahan dari
tangga). Sedangkan aksesibilitas informasi dan komunikasi merujuk ke
aksesibilitas pada dunia maya dengan melihat begitu pentingnya internet dalam
mengakses informasi, namun juga aksesibilitas kepada dokumentasi (braille) atau
informasi aural (bahasa isyarat).
Aksesibilitas bagi penyandang cacat berarti kemudahan yang diberikan atau
disediakan bagi penyandang cacat bukan sebagai pengistimewaan, melainkan
mencoba meminimalisir keterbatasan mereka sebagai akibat hilangnya atau kurang
berfungsinya salah satu atau beberapa fungsi anggota tubuhnya. Aksesibilitas
meliputi aksesibilitas fisik dan aksesibilitas non fisik. Aksesibilitas fisik itu seperti
landaian, handrail (susuran tangan, biasa terdapat di tangga-tangga), lebar pintu
yang memenuhi standar universal disain yang berarti dapat dilalui oleh pemakai
kursi roda secara mandiri, suara atau audio serta huruf braille bagi penyandang
tunanetra, serta bahasa isyarat dan tulisan bagi penyandang tunarungu.
Sedangkan aksesibilitas non fisik itu meliputi terbangunnya persepsi positif
masyarakat terhadap keberadaan penyandang cacat bahwa penyandang cacat adalah
sama dengan warga negara lain dalam hal kebutuhan pemenuhan segala aspek
kehidupan dan penghidupan. Oleh karena itu, masyarakat harus mendorong
penyandang cacat agar berpartisipasi penuh dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara termasuk dalam hal ini adalah hak untuk membina
keluarga dan mempunyai keturunan. Para eksekutif dan legislator dapat
memproduk peraturan dan perundang-undangan yang aspiratif, akomodatif, serta
memberi ruang yang cukup bagi penyandang cacat untuk menikmati hasil-hasil
pembangunan.
Dalam penjelasan atas UU Penyandang Cacat, tercantum pada Pasal 10 ayat
(1) bahwa penyediaan aksesibilitas itu dapat berupa fisik dan non fisik, antara lain
sarana dan prasarana umum; serta informasi dan komunikasi yang diperlukan bagi
penyandang cacat untuk memperoleh kesamaan kesempatan. Hal ini sesuai dengan
Peraturan Standar PBB yang telah diratifikasi oleh Indonesia, dimana isinya adalah
sebagai berikut
1) Akses Terhadap Lingkungan Fisik
a) Negara-negara seyogyanya mengambil langkah-langkah untuk
menghilangkan rintangan-rintangan bagi partisipasi di dalam lingkungan
fisik. Langkah-langkah dimaksud seyogyanya berupa pengembangan
standar dan pedoman serta pertimbangan untuk memberlakukan undang-
undang demi menjamin aksesibilitas terhadap berbagai bidang kehidupan
di masyarakat, misalnya sehubungan dengan perumahan, bangunan,
pelayanan transportasi umum dan alat transportasi lainnya, jalan raya dan
lingkungan luar ruangan lainnya.
b) Negara-negara seyogyanya menjamin agar arsitek, insinyur bangunan dan
pihak-pihak lainnya yang secara profesional terkait dalam perancangan dan
pembangunan lingkungan fisik, mendapatkan akses terhadap informasi
yang memadai tentang kebijaksanaan mengenai kecacatan serta langkah-
langkah untuk menciptakan aksesibilitas.
c) Persyaratan aksesibilitas seyogyanya termuat di dalam desain dan
konstruksi lingkungan fisik dari awal hingga proses perancangannya.
d) Organisasi-organisasi para penyandang cacat seyogyanya dikonsultasi
jika akan mengembangkan standar dan norma-norma bagi aksesibilitas.
Organisasi-organisasi ini juga seyogyanya dilibatkan secara langsung sejak
tahap perencanaan awal, jika proyek-proyek pembangunan sarana umum
dirancang, sehingga aksesibilitas yang maksimum dapat terjamin adanya.
2) Akses terhadap Informasi dan Komunikasi
a) Para penyandang cacat dan, bilamana perlu, keluarganya serta para
pembelanya seyogyanya memiliki akses terhadap informasi lengkap
tentang diagnosis, hak-hak dan pelayanan serta program yang tersedia,
pada semua tahap. Informasi semacam ini seyogyanya disajikan dalam
bentuk yang dapat diakses oleh para penyandang cacat.
b) Negara-negara seyogyanya mengembangkan strategi-strategi agar
pelayanan informasi dan dokumentasi dapat diakses oleh semua kelompok
penyandang cacat. braille, rekaman dalam kaset, tulisan besar (large print)
dan teknologi lainnya yang sesuai, seyogyanya dipergunakan untuk
memberi akses terhadap informasi dan dokumentasi tertulis bagi para tuna
netra. Demikian pula teknologi yang sesuai seyogyanya dipergunakan
untuk memberi akses terhadap informasi lisan bagi para tuna rungu atau
mereka yang mengalami kesulitan dalam pemahaman.
c) Seyogyanya dipertimbangkan penggunaan bahasa isyarat dalam
pendidikan anak-anak tuna rungu, dalam keluarga dan masyarakatnya.
d) Pelayanan penerjemahan bahasa isyarat seyogyanya juga disediakan untuk
memudahkan komunikasi antara para tunarungu dengan anggota
masyarakat lainnya. Seyogyanya dipertimbangkan pula kebutuhan-
kebutuhan orang yang mengalami hambatan komunikasi lainnya.
e) Negara-negara seyogyanya mendorong media massa, terutama televisi,
radio dan surat kabar, agar pelayanannya dapat diakses.
f) Negara-negara seyogyanya menjamin komputerisasi informasi dan sistem
pelayanan yang diperuntukkan bagi umum dapat diakses atau
diadaptasikan sehingga dapat diakses oleh para penyandang cacat.
g) Organisasi-organisasi para penyandang cacat seyogyanya dikonsultasi jika
akan mengembangkan langkah-langkah untuk membuat pelayanan
informasi dapat diakses.
Penyediaan aksesibilitas sangat penting bagi penyandang cacat karena
melalui penyediaan aksesibilitas maka kesamaan kesempatan dapat tercapai.
Aksesibilitas dalam memperoleh pekerjaan bagi penyandang cacat dapat ditinjau
dari dua hal, yaitu paradigma positif warga masyarakat mengenai eksistensi
penyandang cacat sebagai individu dan warga negara yang berhak untuk
memperoleh kesamaan kesempatan tanpa diskriminasi dalam memperoleh
pekerjaan. Yang kedua, sejauh mana paradigma positif tersebut dapat dituangkan
ke dalam suatu produk hukum berupa peraturan-perundang-undangan sehingga
penyandang cacat memiliki ruang yang cukup untuk berinteraksi dalam menuntut
hak asasinya untuk mendapatkan suatu pekerjaan, baik di perusahaan swasta
maupun di pemerintahan (Pegawai Negeri Sipil atau disingkat PNS).
2.2 Pengertian dan Konsep Badan Hukum Nirlaba
Badan hukum nirlaba merupakan bagian dari sektor publik yang
kepemilikannya dapat dimiliki pemerintah maupun swasta. Badan hukum nirlaba
milik pemerintah dapat ditemui seperti perguruan tinggi, rumah sakit dan yayasan
milik pemerintah. Sementara itu organisasi nirlaba milik swasta contohnya adalah
yayasan-yayasan yang dikelola oleh pihak-pihak swasta. Badan hukum nirlaba pada
umumnya bergerak pada bidang-bidang kegiatan publik yang melayani kebutuhan
dasar masyarakat
Badan hukum ini diatur berdasarkan aturan-aturan yang ditetapkan bersama
dan dijalankan dengan penuh komitmen dari seluruh anggotanya untuk mencapai
tujuan bersama yang disepakati dari awal pendirian suatu organisasi. Implemntasi
aturan-aturan tersebut membentuk sistem dan prosedur yang mengatur adanya
ketetapan mengenai tata cara, sistem rekrut dan birokrasi. Ketetapan dan tata cara
yang mengatur badan hukum dapat dibedakan berdasarkan sektornya yaitu badan
hukum sektor komersial dan badan hukum sektor publik.
Suatu badan hukum yang bersifat nirlaba tidak diperbolehkan membagi
keuntungan dari hasil yang diperoleh kegiatan usahanya kepada individu yang ada
di organisasi tersebut. Dalam pengertian ini, bukan berarti kegiatan nirlaba tidak
dapat memperoleh laba atau keuntungan, namun jika ada kelebihan dari hasil
usahanya, maka digunakan kembali untuk kepentingan kegiatan lembaga atau
badan hukum nirlaba tersebut bukan untuk dibagikan kepada organ individunya.10
Adapun ciri-ciri badan hukum nirlaba yaitu:
10 Michael Allison dan Jude Kaye, 2007, Perencanaan Strategis bagi Organisasi Nirlaba,
Yayasan Obor, Jakarta, h.13.
1) Sumber daya entitas berasal dari para penyumbang yang tidak mengharapakan
pembayaran kembali atas manfaat ekonomi yang sebanding dengan jumlah
sumber daya yang diberikan.
2) Menghasilkan barang dan/ atau jasa tanpa bertujuan memupuk laba, dan kalau
suatu entitas menghasilkan laba, maka jumlahnya tidak pernah dibagikan
kepada para pendiri atau pemilik entitas tersebut.
3) Tidak ada kepemilikan seperti lazimnya pada organisasi bisnis, dalam arti
bahwa kepemilikan dalam badan hukum nirlaba tidak dapat dijual, dialihkan,
atau ditebus kembali, atau kepemilikan tersebut tidak mencerminkan proporsi
pembagian sumber daya entitas pada saat likuiditas atau pembubaran entitas.11
Badan hukum nirlaba dalam perekonomian cukup memegang peranan
penting. Hal ini dikarenakan masyarakat menginginkan barang atau jasa tertentu
yang tidak mungkin diberikan oleh perusahaan bisnis yang disebabkan karena
ketidakmampuan membayar. Selain itu juga karena badan hukum nirlaba
cenderung untuk menerima keuntungan dari masyarakat yang tidak mungkin
diperoleh dari organisasi bisnis misalnya pengurangan pajak atau subsidi donor.12
Keberadaan yayasan di Indonesia telah lama dikenal sejak zaman
pemerintah Hindia Belanda. Yayasan dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah
“stichting” dan dalam bahasa Inggris “foundation”. Stichting berarti lembaga atau
yayasan, berasal dari kata stichten yang berarti membangun atau mendirikan.
Membangun, mendirikan dimaksudkan adalah membentuk suatu pengayuban
11 Ibid, h.16.
12 Jhon M Bryson, Op.cit, h. 32.
atau badan yang pendiriannya disahkan dengan akte yang dibuat notaris, dimana
aktivitasnya bergerak di bidang sosial.13
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh yayasan di Indonesia memang
antara lain memberikan santunan kepada anak yatim piatu, memberikan
kesejahteraan bagi penderita cacat badan, memberikan beasiswa kepada anak
kurang mampu, memberikan bantuan kepada keluarga yang tengah berduka,
membantu memberikan pelayanan kesehatan kepada penderita suatu
penyakit, dan sebagainya. 14
Untuk dapat mengetahui apakah yayasan itu ada beberapa pandangan
para ahli, antara lain :
1. Menurut Poerwadarminta dalam kamus umumnya memberikan
pengertian yayasan sebagai (a) Badan yang didirikan dengan maksud
mengusahakan sesuatu seperti sekolah dan sebagainya (sebagai badan
hukum bermodal, tetapi tidak mempunyai anggota). (b) Gedung-gedung
yang teristimewa untuk sesuatu maksud yang tertentu (seperti : rumah
sakit dsb).15
2. Menurut Achmad Ichsan, Yayasan tidaklah mempunyai anggota, karena
yayasan terjadi dengan memisahkan suatu harta kekayaan berupa uang
atau benda lainnya untuk maksud-maksud idiil yaitu (sosial, keagamaan
13 Abdul Muis, 2011, Yayasan Sebagai Wadah Kegiatan Masyarakat, USU, Medan, h. 6.
14 Gatot Supramono, 2008, Hukum Yayasan Di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, h.1.
15 WJS. Poerwadarminta, 2005, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Cet.
Ke-5, Jakarta, h. 154.
dan kemanusiaan) itu, sedangkan pendirinya dapat berupa Pemerintah atau
orang sipil sebagai penghibah, dibentuk suatu pengurus untuk mengatur
pelaksanaan tujuan itu.16
3. Menurut Zainul Bahri dalam kamus umumnya memberikan suatu definisi
yayasan sebagai suatu badan hukum yang didirikan untuk memberikan
bantuan untuk tujuan sosial.17
4. Yayasan adalah suatu paguyuban atau badan yang pendiriannya disahkan
dengan akte hukum atau akte yang disahkan oleh notaris, dimana yayasan
itu aktifitasnya bergerak di bidang sosial, misalnya mendirikan sesuatu
atau sekolah.18
Menurut Pasal 1 UU Yayasan, yayasan merupakan badan hukum yang
terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan
tertentu di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan yang tidak mempunyai
anggota. Yayasan dapat pula dipahami sebagai Badan Hukum yang mempunyai
unsur-unsur :
a) Mempunyai harta kekayaan sendiri yang berasal dari suatu perbuatan
pemisahan yaitu suatu pemisahan kekayaan yang dapat berupa uang dan
barang.
b) Mempunyai tujuan sendiri yaitu suatu tujuan yang bersifat sosial,
16 Achmad Ichsan, 2006, Hukum Dagang, Pradnya Paramitha, Cet. Ke-6, Jakarta, h. 110.
17 Zainul Bahri, 2004, Kamus Umum Khusus Bidang Hukum dan Politik, PT Angkasa, Cet.
Ke-3, Bandung, h.367.
18 Yan Pramadya Puspa,2005, Kamus Hukum, Aneka Ilmu, Semarang, h.925.
keagamaan dan kemanusiaan.
c) Mempunyai alat perlengkapan yaitu meliputi pengurus, pembina dan
pengawas.19
Definisi yayasan di atas mengandung empat catatan utama yaitu:
1) Yayasan merupakan badan hukum. Artinya yayasan secara hukum dianggap
bisa melakukan tindakan-tindakan yang sah dan mempunyai akibat hukum
walaupun nanti secara nyata yang bertindak adalah organ-organ yayasan, baik
pembina, pengawas maupun pengurusnya.
2) Yayasan memiliki kekayaan yang dipisahkan. Artinya, yayasan mempunyai
aset, baik bergerak maupun tidak, yang pada awalnya diperoleh dari modal
atau kekayaan yang telah dipisahkan. Maka, yayasan secara hukum memiliki
kekayaan sendiri yang terlepas dan mandiri. Pemisahan harta kekayaan
tersebut sebenarnya bertujuan mencegah jangan sampai kekayaan awal
yayasan masih merupakan bagian dari harta pribadi atau harta bersama
pendiri. Jika tidak demikian nantinya harta tersebut masih tetap sebagai
kekayaan milik pendiri yayasan.20
3) Yayasan mempunyai tujuan tertentu yang merupakan pelaksanaan nilai-nilai
, baik keagamaan, sosial, maupun kemanusiaan. Dari hal ini diketahui bahwa
yayasan sejak awal didesain sebagai badan hukum nirlaba yang tidak
bersifat untuk mencapai keuntungan (profit oriented) sebagaimana badan
19 Ali Rido, 2011, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan,
Perkumpulan, Koperasi, Yayasan dan Wakaf, Aumni, Bandung, h.118.
20 Gatot Supramono, Op.cit, h.37.
usaha, seperti perseroan terbatas, CV, Firma dan lain-lain.
4) Yayasan tidak mempunyai anggota. Maksudnya, yayasan tidak mempunyai
semacam pemegang saham sebagaimana perseroan terbatas atau sekutu-
sekutu dalam CV atau anggota-anggota dalam badan usaha lainnya. Namun,
yayasan tentu saja digerakkan oleh organ-organ yayasan, baik pembina,
pengawas dan terlebih lagi peran utama pengorganisasian yayasan berada di
tangan pengurus dengan pelaksana hariannya.21
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan telah
dikeluarkan dan kemudian diikuti dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2004 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001
tentang yayasan. Perubahan undang-undang yayasan dilakukan bukan untuk
penggantian seluruhnya, dalam arti undang-undang yang lama diganti dengan yang
baru, melainkan hanya beberapa Pasal saja yang diganti dengan tidak merubah
seluruhnya Pasal dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001.
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Yayasan Nomor 28 Tahun 2004
lahir setelah ditemukan reaksi dan kegoncangan dalam masyarakat khusus
menyikapi Undang-Undang yayasan ini, terutama mengenai pemberian gaji dari
yayasan terhadap pengurus yayasan dan mengenai pengaturan organ yayasan. Maka
atas dasar perubahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo. Undang-
Undang Nomor 28 tahun 2004, diharapkan akan menjadi dasar hukum yang
kuat dalam mengatur kehidupan Yayasan di Indonesia serta menjamin kepastian
dan ketertiban hukum agar yayasan berfungsi sesuai dengan maksud dan tujuannya
21 Adib Bahari, 2011, Prosedur Pendirian Yayasan, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, H. 2.
berdasarkan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas.
Yayasan dapat didirikan oleh beberapa orang atau dapat juga oleh
seseorang saja, baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing dengan
memisahkan suatu harta dari seseorang atau beberapa orang pendiriannya, dengan
tujuan idiil/sosial yang tidak mencari keuntungan, mempunyai pengurus yang
diwajibkan mengurus dan mengelola segala sesuatu yang bertalian dengan
kelangsungan hidup yayasan.22
Undang-Undang yayasan no. 16 tahun 2001 jo. Undang-Undang No. 28
tahun 2004 menghapus segala kesangsian perihal apakah yayasan merupakan suatu
badan hukum atau bukan. Maka yayasan sebagai badan hukum yang mempunyai
hak dan kewajiban yang disebut sebagai subjek hukum yang dapat dipertanggung
jawabkan mengenai hukum dan peraturan perundang-undangan lainnya.23
Dalam struktur organisasi yayasan sesuai UU Yayasan, terdapat tiga tingkat
kewenangan yang terdiri dari Pembina, Pengurus dan Pengawas.
1. Pembina
Pembina adalah organ yayasan yang mempunyai kewenangan yang tidak
diserahkan kepada pengurus atau pengawas oleh Undang Undang ini atau
Anggaran Dasar. Pembina memiliki kewenangan yang meliputi:
a) Keputusan mengenai perubahan Anggaran Dasar
b) Pengangkatan dan pemberhentian anggota pengurus dan anggota
pengawas.
22 Anwar Borahima, 2010, Kedudukan Yayasan di Indonesia, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, h.87.
23 Chatarrasjid,2006, Badan Hukum Yayasan, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 49.
c) Penetapan kebijakan umum yayasan berdasarkan Anggaran Dasar
Yayasan.
d) Pengesahan program kerja dan rancangan anggaran tahunan yayasan dan,
e) Penetapan keputusan mengenai penggabungan atau pembubaran yayasan.
Pembina adalah orang perseorangan sebagai pendiri yayasan dan/atau
mereka yang berdasarkan keputusan rapat anggota Pembina dinilai mempunyai
dedikasi yang tinggi untuk mencapai maksud dan tujuan yayasan. Anggota
Pembina tidak dapat merangkap sebagai anggota Pengurus dan/atau anggota
Pengawas. Dalam rapat tahunan, Pembina yang melakukan evaluasi tentang
kekayaan, hak dan kewajiban yayasan tahun yang lampau sebagai dasar
pertimbangan bagi perkiraan mengenai perkembangan yayasan untuk tahun
yang akan datang.
2. Pengurus
Pengurus adalah organ yayasan yang melaksanakan kepengurusan yayasan
dan pihak yang dapat diangkat menjadi Pengurus adalah orang perseorangan
yang mampu melakukan perbuatan hukum. Dalam hal kepengurusan, pengurus
tidak boleh merangkap sebagai Pembina atau Pengawas. Pengurus yayasan
diangkat oleh Pembina berdasarkan keputusan rapat Pembina untuk jangka
waktu lima tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan.
SusunanPengurus sekurang-kurangnya terdiri atas ketua, sekretaris dan
bendahara.
3. Pengawas
Pengawas adalah organ yayasan yang bertugas melakukan pengawasan
serta memberi nasihat kepada pengurus dalam menjalankan kegiatan yayasan.
Yayasan harus memiliki pengawas sekurang-kurangnya satu orang pengawas
yang wewenang, tugas dan tanggung jawabnya diatur dalam Anggaran Dasar.
Yang dapat diangkat menjadi Pengawas adalah orang perseorangan yang
mampu melakukan perbuatan hukum. Pengawas tidak boleh merangkap
sebagai Pembina atau Pengurus. Pengawas wajib dengan itikad baik dan penuh
tanggung jawab melaksanakan tugas untuk kepentingan yayasan. Pengawas
dapat memberhentikan sementara anggota pengurus dengan menyebutkan
alasannya. Pengawas yayasan diangkat oleh Pembina berdasarkan keputusan
rapat Pembina untuk jangka waktu selama lima tahun dan dapat diangkat
kembali untuk satu kali masa jabatan.
Dalam hal pertanggungjawaban yayasan, pengelola (pengurus dan
pengawas) bertanggung jawab kepada Pembina yang disampaikan dalam rapat
Pembina yang diadakan setahun sekali. Pola pertanggungjawaban di yayasan
bersifat vertikal dan horizontal. Pertanggungjawaban vertikal adalah
pertanggungjawaban atas pengelolaan dana kepada otoritas yang lebih tinggi
seperti pertanggungjawabn kepada Pembina. Pertanggungjawaban horizontal
adalah pertanggungjawaban kepada masyarakat luas.
2.3 Pengaturan dan Perlakuan terhadap Tenaga Kerja Disabilitas
Definisi mengenai tenaga kerja disebutkan dalam Pasal 1 ayat 2 UU
Ketenagakerjaan yaitu tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan
pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi
kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Berdasarkan definisi tersebut di atas,
maka terdapat beberapa unsur yang dapat diketahui, yaitu:
1. Tenaga kerja merupakan setiap orang yang dapat melakukan pekerjaan.
2. Tenaga kerja merupakan setiap orang yang mampu menghasilkan barang
dan/atau jasa.
3. Tenaga kerja menghasilkan barang dan/atau jasa untuk kebutuhan sendiri atau
untuk masyarakat.24
Apabila ketiga unsur tersebut di atas terpenuhi, maka seseorang dapat disebut
sebagai seorang tenaga kerja. Menurut Pasal 5 UU Ketenagakerjaan setiap tenaga
kerja berhak memiliki kesempatan yang sama dalam memperoleh pekerjaan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 UU Ketenagakerjaan pembangunan
ketenagakerjaan berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945. Pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan dalam rangka
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Oleh sebab itu pembangunan
ketenagakerjaan dilaksanakan untuk mewujudkan manusia dan masyarakat
Indonesia yang sejahtera, adil, makmur dan merata baik materiil maupun spiritual.
Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Pasal 3 UU Ketenagakerjaan
pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan
melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah. Hal ini dijelaskan
lebih lanjut dalam penjelasannnya, yaitu :
Asas pembangunan ketenagakerjaan pada dasarnya sesuai dengan asas
pembangunan nasional, khususnya asas demokrasi Pancasila serta asas adil
dan merata. Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi
24 Sjahputra Imam, 2013, Hukum Ketenagakerjaan, Harvarindo, Jakarta, h.32.
dan keterkaitan dengan berbagai pihak yaitu antara pemerintah, pengusaha
dan pekerja/ buruh. Oleh sebab itu, pembangunan ketenagakerjaan
dilaksanakan secara terpadu dalam bentuk kerja sama yang saling
mendukung.
Tujuan pembangunan ketenagakerjaan berdasarkan ketentuan Pasal 4 UU
Ketenagakerjaan adalah :
a. memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan
manusiawi;
b. Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja
yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah;
c. memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan
kesejahteraan dan;
d. meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya
Pemberdayaan dan pendayagunaan tenaga kerja merupakan suatu kegiatan
yang terpadu untuk dapat memberikan kesempatan kerja seluas-luasnya bagi tenaga
kerja Indonesia. Melalui pemberdayaan dan pendayagunaan ini diharapkan tenaga
kerja Indonesia dapat berpartisipasi secara optimal dalam pembangunan nasional,
namun dengan tetap menjunjung nilai-nilai kemanusiaannya.
Di Indonesia, telah dengan tegas dan jelas tertulis pada Pasal 27 ayat (2)
UUD 1945 bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan. Berbagai Undang-Undang juga telah memperkuat
pemerataan kesempatan bekerja seperti pada UU Penyandang Cacat pada Pasal 13;
UU HAM pada Pasal 38; dan UU Ketenagakerjaan Pasal 5.
Berbagai peraturan tersebut melarang diskriminasi atas dasar disabilitas
terhadap segala bentuk pekerjaan, mencakup kondisi perekrutan, keterampilan,
pelayanan penempatan dan keahlian serta pelatihan keterampilan dan
berkelanjutan. Namun tidak tersedianya layanan informasi yang lengkap mengenai
potensi dan kemampuan tenaga kerja penyandang disabilitas yang dapat diakses
oleh pelaku usaha, perusahaan dan instansi pemerintah/swasta masih menjadi
hambatan dalam implementasinya.
Perihal hak untuk bekerja bagi tenaga kerja disabilitas dalam UU
Ketenagakerjaan, Pasal 5 menyatakan, “setiap tenaga kerja memiliki kesempatan
yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan”. Sementara dalam UU
Panyandang Cacat, Pasal 6 butir ke 3 menyatakan bahwa “setiap penyandang cacat
berhak memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan jenis dan
derajat kecacatannya”.
Ketentuan Pasal 5 Ketenagakerjaan, mengamanatkan adanya kesempatan
kepada setiap tenaga kerja tanpa terkecuali untuk memperoleh pekerjaan.
Selanjutnya, perihal kesempatan bekerja untuk tenaga kerja penyandang cacat,
pada UU Penyandang Cacat, Pasal 13 menyatakan “setiap penyandang cacat
mempunyai kesamaan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan sesuai dengan
jenis dan derajat kecacatannya”. Kemudian dijelaskan juga dalam Pasal 14
bahwa “perusahaan negara dan swasta memberikan kesempatan dan perlakuan
yang sama kepada penyandang cacat dengan mempekerjakan penyandang cacat
di perusahaannya sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan yang
jumlahnya disesuaikan dengan jumlah karyawan dan/atau kualifikasi perusahaan”.
Mengenai kesempatan bekerja tertuang dalam Pasal 5 UU Ketenagakerjaan
menyatakan bahwa “setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa
diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan”.
Dalam kancah internasional, International labour Organization (ILO) juga
telah mempromosikan pengembangan keterampilan dan kesempatan kerja bagi
penyandang disabilitas dengan berdasarkan prinsip kesetaraan kesempatan,
perlakuan yang sama, mengutamakan ke dalam rehabilitasi keterampilan dan
program pelayanan pekerjaan dan pelibatan masyarakat. Prinsip non-diskriminasi
semakin ditekankan karena isu penyandang disabilitas dilihat juga sebagai isu hak
asasi manusia.
Selama beberapa tahun terakhir, wilayah Asia Pasifik termasuk Indonesia
telah menunjukkan upaya yang signifikan dalam mengakui disabilitas sebagai
sebuah isu hak asasi manusia dan dalam menangani tantangan yang dihadapi oleh
para penyandang disabilitas dalam upayanya berkontribusi secara ekonomis, sosial
dan politis kepada masyarakat. Kemajuan yang ditunjukan oleh Indonesia dalam
melibatkan penyandang disabilitas dapat dilihat dalam upaya mereka
menandatangani Konvensi PBB mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas, dan
membuat Rencana Aksi Nasional untuk Meningkatkan Kesejahteraan Sosial dari
Penyandang disabilitas di indonesia dan meratifikasi Konvensi ILO No. 111
mengenai Diskriminasi (Pekerjaan dan Jabatan). Langkah awal untuk meratifikasi
Konvensi ILO No.159 mengenai Rehabilitasi dan Pelatihan Keterampilan (bagi
penyandang disabilitas) telah juga dilakukan. Indonesia memiliki peraturan
mengenai kuota (No.43/1998), namun akses terhadap pilihan pekerjaan bagi orang
muda dan penyandang disabilitas masih sangat terbatas.
Salah satu pengakuan internasional paling dini terhadap hak-hak para
penyandang disabilitas untuk mendapatkan peluang kerja telah diberikan oleh ILO
pada tahun 1944. Dalam rekomendasi tersebut ILO menyatakan secara tegas bahwa
para pekerja dengan disabilitas, apapun asal usul disabilitas mereka, haruslah
diberikan peluang sepenuhnya untuk mendapatkan rehabilitas, bimbingan
vokasional khusus, pelatihan dan pelatihan kembali dan melakukan pekerjaan
yang berguna.
ILO menyatakan bahwa mereka dengan disabilitas hendaknya, jika
dimungkinkan, dilatih bersama para pekerja lainnya, dengan kondisi yang
sama, dan pembayaran yang sama, dan menghimbau adanya kesetaraan
peluang kerja untuk pekerja penyandang disabilitas dan adanya tindakan
afirmatif untuk mendorong terwujudnya pekerjaan bagi penyandang
disabilitas serius.
Dalam perkembangan pemerataan hak untuk bekerja bagi semua orang,
termasuk juga para penyandang disabilitas, hal ini kemudian dijadikan
ketentuan yang mengikat oleh PBB. Pasal 23 Deklarasi Hak Asasi Manusia
(diadopsi oleh Sidang Umum pada tanggal 10 Desember 1948) menyatakan:
Setiap orang memiliki hak untuk bekerja, untuk memilih secara bebas
pekerjaannya, untuk kondisi kerja yang adil dan baik dan untuk
dilindungi dari pengangguran. Setiap orang, tanpa ada diskriminasi,
memiliki hak yang bayaran yang sama untuk pekerjaan yang sama.
Setiap orang yang bekerja memiliki hak untuk remunerasi yang adil
dan baik untuk memastikan keberadaan dirinya dan keluarganya sesuai
dengan martabat manusia, dan didukung, jika dimungkinkan, dengan
cara-cara jaminan sosial lainnya. Setiap orang memiliki hak untuk
membentuk dan bergabung dengan serikat pekerja untuk melindungi
kepentingannya.
Pasal 27 dari UNCRPD mengatur hak bagi penyandang disabilitas untuk
“bekerja, setara dengan orang lain; termasuk hak atas kesempatan mendapatkan
penghidupan dengan bekerja sesuai dengan pilihan sendiri atau diterima di dalam
pasar kerja dan lingkungan kerja yang terbuka, inklusif dan dapat diakses oleh
semua orang termasuk penyandang disabilitas”. Pasal ini pula mempromosikan
kesempatan pekerjaan dan pemajuan karir bagi para penyandang disabilitas di pasar
kerja serta memberikan bantuan dalam mencari, mendapatkan, mempertahankan
dan kembali ke pekerjaan mereka. Juga memastikan bahwa penyandang disabilitas
dapat menjalankan hak tenaga kerja dan serikat pekerja mereka setara dengan yang
lain dan penyesuaian yang sewajarnya diberikan kepada penyandang disabilitas di
tempat kerja.
Seperti yang diatur dalam Rekomendasi ILO No.168, para penyandang
disabilitas harus dapat menikmati kesempatan dan perlakuan terkait dengan akses
terhadap, mempertahankan dan peningkatan karir yang bila dimungkinkan sesuai
dengan pilihan mereka dan mempertanggungjawabkan kesesuaian mereka terhadap
pekerjaan itu. Pekerjaan itu termasuk pekerjaan yang tersedia di pasar kerja yang
sangat tergantung pada kesediaan seseorang, membuka kesempatannya bagi para
orang yang bukan penyandang disabilitas.
Salah satu hal yang penting dalam perbaikan dan peningkatan
kesejahteraan tenaga kerja adalah pengawasan yang efektif agar norma-norma
keselamatan dan kesehatan kerja dilaksanakan secara wajar. Untuk itu
ditingkatkan pengawasan dan penyuluhan norma-norma perlindungan,
khususnya yang menyangkut hak dan kewajiban buruh dan pengusaha.
Unsur penting di dalam menciptakan kerjasama yang serasi antara buruh
dan pengusaha adalah adanya kebutuhan saling menghormati, saling mengerti
peranan Serta hak dan kewajiban masing-masing dalam proses produksi dan
hubungan kerja. Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan
pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang memunyai unsur pekerjaan, upah,
dan perintah (Bab I, Pasal 1 UU Ketenagakerjaan). Semua pekerja/buruh berhak
mendapat perlakuan yang sama di tempat kerja. Hubungan kerja tersebut harus
mempertimbangkan prinsip-prinsip dan hak-hak mendasar dalam bekerja. Dengan
demikian, perlu diperhatikan bahwa kondisi dan lingkungan kerja harus mampu
mendukung upaya terjaminnya hak-hak tersebut diatas dengan memperhatikan
aspek-aspek dalam hubungan kerja antara lain :25
A. Pengupahan
Negara-negara penandatangan Konvenan juga berkomitmen
terhadap pembayaran yang setara untuk pekerjaan dengan nilai yang sama
25 International Labour Office dan Disnakertrans RI, 2005, Kesempatan Dan Perlakuan
Yang Sama Dalam Pekerjaan Di Indonesia, ILO Publication ,Edisi pertama, Jakarta, h.35.
tanpa adanya perbedaan apapun; kondisi kerja yang aman dan sehat; dan
peluang yang setara untuk setiap orang untuk dipromosikan di dunia kerja
ke posisi yang lebih tinggi, dimana tidak ada lain yang menjadi
pertimbangan kecuali senioritas dan kompetensi. Konvenan Internasional
tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang juga diadopsi pada tahun
1966, memang tidak secara khusus berbicara tentang dunia kerja, tapi di
dalamnya terdapat ketentuan penting yang melarang diskriminasi karena
alasan apapun, termasuk di dalamnya disabilitas.
B. Jaminan Sosial Tenaga Kerja
Jaminan perlindungan sosial di negara berkembang kawasan Asia dan
Pasifik, termasuk Indonesia, seringkali terbatas hanya pada program asuransi
sosial dan hanya tersedia bagi mereka yang memilik kontrak kerja di sektor
formal, sehingga sebagian besar penduduk, khususnya penyandang disabilitas,
tidak memiliki jaminan yang cukup. Oleh karena itu, sangat penting untuk
memastikan agar penyandang disabilitas memiliki akses terhadap perlindungan
sosial yang setara dengan yang lainnya, dan mendorong lebih lanjut batasan
perlindungan sosial dengan fokus pada layanan kesehatan dan perlindungan
penghasilan dasar bagi semua.26
Terdapat tiga macam perlindungan kerja, yaitu sebagai berikut :
1) Perlindungan ekonomis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan
dengan usaha-usaha untuk memberikan kepada pekerja suatu penghasilan
26 Strategi Incheon untuk “Mewujudkan Hak” Penyandang Disabilitas di Asia dan Pasifik,
diakses pada 20 Desember 2014, tersedia pada
https://inclusivedesign.files.wordpress.com/2014/05/terjemahan-incheon-strategy-feb-2014.doc.
yang cukup memenuhi keperluan sehari-hari baginya beserta keluarganya,
termasuk dalam hal pekerja tersebut tidak mampu bekerja karena
sesuatu di luar kehendaknya. Perlindungan ini disebut dengan jaminan
sosial.
2) Perlindungan sosial, yaitu suatu perlindungan yang berkaitan dengan usaha
kemasyarakatan, yang tujuannya memungkinkan pekerja itu mengenyam
dan mengembangkan prikehidupannya sebagai manusia pada umumnya dan
sebagai anggota masyarakat dan anggota keluarga, atau yang biasa disebut
kesehatan kerja.
3) Perlindungan teknis, yaitu suatu jenis perlindungan berkaitan dengan usaha-
usaha untuk menjaga pekerja dari bahaya kecelakaan yang dapat
ditimbulkan oleh alat kerja lainnya atau oleh bahan yang diperoleh atau
dikerjakan perusahaan. Perlindungan jenis ini disebut dengan kecelakaan
kerja.
Setiap pekerja pada dasarnya berhak memperoleh perlindungan atas
keselamatan dan kesehatan kerja, moral dan kesusilaan, serta kesejahteraan
yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia, serta nilai-nilai agama.
Jaminan atas pemberian perlindungan bagi penyandang cacat pada saat bekerja
tercantum pada Pasal 67 UU Ketenagakerjaan ayat (1) dan ayat (2), yang
menyatakan bahwa :
(1) Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib
memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat
kecacatannya.
(2) Pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Sesuai dengan teori keadilan sosial, bahwa dalam bekerja kondisi
penyandang cacat tidak dapat disamakan dengan pekerja yang tidak cacat.
Maka dari itu, harus ada kesesuaian antara perlakuan dari pengusaha dengan
kondisi penyandang cacat. Hal itu bertujuan untuk menunjang kemandirian dan
meningkatkan produktivitasnya dalam bekerja. Perlakuan yang dapat diberikan
kepada pekerja penyandang cacat yaitu dengan adanya penyediaan
aksesibilitas, pemberian alat kerja, serta alat pelindung diri yang disesuaikan
dengan jenis dan derajat kecacatannya. Ketiga hal tersebut merupakan contoh
jaminan perlindungan kerja, sebagai upaya pemberian perlakuan yang sama,
yang diberikan perusahaan bagi penyandang cacat.
Kesamaan kesempatan, perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dan
perlindungan kerja adalah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap
perusahaan, dengan tujuan agar penyandang cacat dapat menikmati haknya
dalam bekerja, sesuai dengan Pasal 31 Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun
1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat yang
menyatakan bahwa setiap pekerja penyandang cacat mempunyai hak dan
kewajiban yang sama dengan pekerja lainnya.
Ketentuan ini harus dilaksanakan oleh setiap perusahaan karena
berdasarkan Pasal 187 UU Ketenagakerjaan, jikalau terjadi pelanggaran
terhadap ketentuan tersebut maka pengusaha dapat diancam dan dikenakan
hukuman pidana penjara antara 1 (satu) sampai dengan 12 bulan atau denda
sebesar Rp. 10.000.000 – Rp.100.000.000.
Tindakan diskriminatif yang dilakukan oleh perusahaan dalam
penerimaan tenaga kerja dan perlakuan terhadap pekerja, terutama bagi
penyandang cacat, juga mendapatkan sanksi yaitu berupa sanksi administratif.
Sanksi administratif ini dapat dikenakan berupa surat teguran, peringatan
tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha, pembatalan
persetujuan, pembatalan pendaftaran, penghentian sementara sebagian atau
seluruh alat produksi, atau pencabutan izin.
Undang-undang Ketenagakerjaan tidak hanya memberikan
perlindungan bagi penyandang cacat yang pada waktu melamar pekerjaan,
memang sudah cacat, tapi juga bagi karyawan/pekerja yang mengalami
kecacatan sewaktu bekerja. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 153 UU
Ketenagakerjaan, yang mengatur tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Adapun di dalam ketentuan tersebut menyatakan larangan bagi pengusaha
untuk melakukan pemutusan hubungan kerja apabila pekerja dalam keadaan
cacat tetap atau sakit akibat kecelakaan kerja atau hubungan kerja. Namun,
jikalau PHK tetap dilakukan maka keputusan tersebut akan batal demi hukum
dan merupakan kewajiban perusahaan untuk mempekerjakan kembali.
C. Kondisi dan Lingkungan Kerja
Integrasi pekerja disabilitas di dalam lingkungan kerja merupakan
tantangan yang cukup sulit bagi para pengusaha karena berdampak pada
produktivitas dan kenyamanan lingkungan kerja baik untuk pekerja dengan
disabilitas maupun pekerja tanpa disabilitas. Untuk itu, dalam rangka
peningkatan produktivitas dan kenyamanan bagi semua pekerja,
komunikasi dan hubungan antar pekerja dan antara pekerja dengan
pengusaha menjadi poin penting.
Dalam Pasal 2 UNCRPD disebutkan bahwa komunikasi yaitu
termasuk “bahasa, tampilan teks, braille, komunikasi tanda timbul, cetak
ukuran besar, multimedia yang mudah diakses maupun tertulis, audio,
bahasa sederhana, pembaca manusia dan bentuk-bentuk, sarana dan format
komunikasi tambahan maupun alternative lainnya, termasuk teknologi
informasi dan komunikasi yang dapat diakses.
Untuk memastikan pekerja dengan disabilitas terintegrasi dengan
baik di lingkungan kerja, maka perlu dipahami dan diimplementasi hal-hal
sebagai berikut.
a) Memperkenalkan pekerja disabilitas dengan semua staf saat pertama
bekerja.
b) Memberikan kesempatan bagi pekerja dengan disabilitas untuk
berakomodasi dengan tempat kerja mereka yang layak untuk bekerja
dengan efektif dan efisien.
c) Menjauhkan segala bentuk diskriminasi.27
Dalam hal penyesuaian tempat kerja, terdapat beberapa hal yang
perlu dilakukan baik secara fisik maupun non-fisik untuk menciptakan
27 Better work Indonesia, Op.cit, h.8.
kondisi dan lingkungan kerja yang sesuai dengan penyandang disabilitas.
Yang termasuk dalam akomodasi fisik yang layak meliputi (1) tempat kerja
yang bersih dan rapi, (2) koridor yang luas dan bebas hambatan, (3)
tanda/symbol yang mudah dibaca, (4) fasilitas kamar kecil yang dapat
diakses dengan mudah, (5) jalur melandai (ramps) atau susuran tangan
untuk yang membutuhkan. Sedangkan yang termasuk akomodasi non-fisik
yang layak meliputi (1) jam kerja yang fleksibel), (2) penggunaan bahasa
isyarat dalam berkomunikasi atau cara-cara lain untuk menunjang
komunikasi28
28 Better work Indonesia, Op.cit, h.9.