bab ii tinjauan pustaka -...
TRANSCRIPT
5 http://digilib.unimus.ac.id
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. APPENDISITIS
A.1. Definisi
Appendisitis akut adalah peradangan dari appendiks yaitu organ seperti
kantung yang tak berfungsi pada bagian inferior dari sekum dan merupakan
penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran kanan bawah rongga
abdomen serta penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat.
Appendisitis merupakan penyakit prototipe yang berlanjut melalui
peradangan, obstruksi dan iskemia di dalam jangka waktu bervariasi.10,11
Appendisitis perforasi adalah komplikasi utama dari appendisitis akut,
dimana appendiks mengalami ruptur atau telah berlubang sehingga isi
appendiks keluar menuju rongga peritoneum yang dapat menyebabkan
peritonitis atau abses.5,10,11
A.2. Etiologi
Etiologi dari appendisitis akut bersifat multifaktorial. Berbagai hal berperan
sebagai faktor pencetusnya. diantaranya adalah :
a. Peranan Lingkungan, Diet, dan Higiene
Kebiasaan makan makanan rendah serat serta konstipasi berperan
terhadap kejadian appendisitis. Konstipasi akan meningkatkan tekanan
intrasekal yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional appendiks dan
meningkatnya pertumbuhan flora normal kolon. Diet menjadi peranan
utama pada pembentukan sifat feses yang mempengaruhi pembentukan
fekalit. Diet tinggi serat menghasilkan konsistensi feses lebih lembek,
sedangkan diet rendah serat dan menghasilkan feses dengan konsistensi
keras. Semuanya ini memudahkan timbulnya appendisitis.5,10,11,12
6 http://digilib.unimus.ac.id
b. Peranan Obstruksi
Obstruksi lumen merupakan faktor penyebab dominan dalam
appendisitis akut. Penyebab obstruksi antara lain timbunan fekalit,
hiperplasia jaringan limfoid, tumor appendiks, striktur, benda asing, dan
cacing askaris. Namun, penyebab paling sering adalah fekalit dan
hiperplasia jaringan limfoid. Fekalit adalah penyebab obstruksi lumen
appendiks pada 20% anak appendisitis. Fekalit terpadat pada 40% kasus
appendisitis akut, 65% pada appendisitis gangren dan 90% pada
appendisitis perforasi. Jaringan limfoid pada bagian submukosa
appendiks yang mengalami edema dan hipertrofi sebagai respon infeksi
virus di sistem gastrointestinal atau sistem respiratorius, dapat
menyebabkan obstruksi lumen appendiks. Megakolon congenital yaitu
obstruksi pada kolon bagian distal yang diteruskan ke dalam lumen
appendiks merupakan salah satu alasan terjadinya appendisitis pada
neonatus.5,10,11,12
c. Peranan Flora Bakterial
Ditemukannya beragam bakteri aerob dan anaerob pada kasus
appendisitis menunjukkan bakteri yang terlibat dalam appendisitis sama
dengan penyakit kolon lainnya. Kultur bakteri dari cairan peritoneal
biasanya negatif pada tahap appendisitis akut tanpa komplikasi. Namun,
pada appendisitis supurativa, banyak ditemukan bakteri aerob terutama
Escherichia coli, dan saat gejala semakin berat banyak organisme seperti
Proteus, Klebsiella, Streptococcus dan Pseudomonas dapat ditemukan.
Sebagian besar penderita appendisitis gangrenosa atau perforasi banyak
ditemukan bakteri anaerob terutama Bacteroides fragilis. Penyebab lain
yang mungkin adalah erosi mukosa appendiks karena parasit seperti
Entamuba histolitica dan benda asing mungkin tersangkut di appendiks
dalam jangka waktu lama tanpa menimbulkan gejala, namun dapat
menimbulkan risiko terjadinya perforasi.5,10,11,12
7 http://digilib.unimus.ac.id
A.3. Klasifikasi
Klasifikasi appendisitis berdasarkan perjalanan alaminya adalah :5
Appendisitis mukosa
Akut
Appendisitis flegmonosa
Appendisitis dengan nekrosis setempat
Appendisitis supurativa Perforasi
Appendisitis ganggrenosa
Gambar.2.1 Bagan klasifikasi appendisitis
A.4. Patogenesis dan Patofisiologi
Patogenesis dan patofisiologi appendisitis dapat dilihat dari perjalanan
penyakitnya, yaitu :
a. Appendisitis Mukosa
Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Saat dalam keadaan
normal, lendir dicurahkan ke dalam lumen dan mengalir ke sekum.
Namun, karena obstruksi, sekresi mukosa akan terbendung, lalu
menyebabkan distensi lumen akut. Kemudian terjadi kenaikkan tekanan
intraluminer yang dapat mengganggu drainase limfe dan menekan
pembuluh darah. Keadaan tersebut menyebabkan mukosa appendiks
menjadi edema, resistensi selaput lendir berkurang, terjadi kongesti vena
dan iskemia arteri. Appendiks rentan mengalami iskemia karena
pembuluh darahnya merupakan end artery. Kondisi ini dapat
menimbulkan luka atau ulserasi mukosa appendiks yang mengundang
invasi bakteri dari usus besar dan menyebabkan proses radang akut yang
8 http://digilib.unimus.ac.id
disebut appendisitis mukosa, terjadi proses irreversibel meskipun faktor
obstruksi telah dihilangkan. 5,11-14
b. Appendisitis supuratif
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah menimbulkan trombosis
pembuluh darah appendiks dan memperberat iskemia serta edema.
Invasi bakteri terus terjadi ke dalam dinding appendiks menimbulkan
infeksi serosa. Selanjutnya, eksudasi netrofil pada dinding appendiks
semakin banyak sampai lapisan muskularis yang disebut appendisitis
akut flegmonosa, pada kondisi ini terdapat fokus-fokus purulen dan
nekrosis pada mukosa. Bertambah buruknya reaksi inflamasi
menyebabkan pembentukan abses pada dinding dan pus dalam lumen
serta terjadi ulserasi. Tahap ini lapisan serosa dilapisi oleh eksudat
fibrinoid supuratif disertai nekrosis lokal dan disebut appendisitis
supuratif akut.5,11-14
c. Appendisitis ganggrenosa
Kelanjutan dari reaksi diatas adalah pada appendiks terjadi hiperemi
berlebihan dan edema dengan tanda-tanda perdarahan dibawah lapisan
serosa, dari luar tampak eksudat bercampur fibrin dan mesoappendiks
yang membengkak. Iskemia dan nekrosis sepanjang dinding sampai
lapisan serosa akan semakin parah yang kemudian mengakibatkan
terjadinya infark. Infark pun terus berlanjut menjadi gangren warnanya
menjadi hitam kehijauan yang sangat potensial ruptur, tahap ini disebut
appendisitis akut gangrenosa.5,11-14
d. Appendisitis perforasi
Tahap ini appendiks telah ruptur, pecah atau berlubang, dan pus
yang terdapat didalam lumen dapat keluar menyebar ke organ-organ lain
maupun di dalam fossa appendiks vermiformis yang dapat
mengakibatkan peritonitis. Pus yang tercurah ke rongga peritoneum
menyebabkan terjadinya peradangan peritoneum parietale.5,11-14
9 http://digilib.unimus.ac.id
A.5. Manifestasi klinis
Hubungan patofisiologi dan manifestasi klinis appendisitis tergambar dalam
bagan berikut:5
Tabel 2.1. Hubungan patofisiologi dan manifestasi klinis appendisitis
Kelainan Patologi Keluhan dan Tanda
Peradangan awal
Appendisitis Mukosa
Radang diseluruh ketebalan dinding
appendiks
Appendisitis komplit dan radang
peritoneum parietal appendiks
Radang alat/jaringan yang menempel
pada appendiks
Appendisitis gangrenosa
Perforasi
Pembungkusan
Tidak berhasil
Berhasil
Abses
Kurang enak ulu hati/ daerah pusat, mungkin kolik
nyeri tekan kanan bawah (rangsangan autonomik)
nyeri sentral pindah ke kanan bawah, mual dan
muntah
rangsangan peritoneum local (somatik), nyeri pada
gerak aktif dan pasif, defans muskuler lokal
genitelia interna, ureter, m.psoas mayor, kantung
kemih, rectum
Demam sedang, takikardi, mulai toksik, leukositosis
Nyeri dan defans muskuler seluruh perut
demam tinggi, dehidrasi, syok, toksik
masa perut kanan bawah, keadaan umum berangsur
membaik
demam remiten, keadaan umum toksik, keluhan dan
tanda setempat
Sumber : Riwanto, Ign. Usus Halus, Appendiks, Kolon dan Rektum dalam
Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2, editor R.Sjamsuhidajat, Wim de Jong dan
John Pieter. Jakarta : EGC. 2004
10 http://digilib.unimus.ac.id
Terdapat beberapa gejala lain dari appendisitis yang dapat ditemukan. Gejala
tersebut dipengaruhi oleh letak appendiks ketika meradang, gejala tersebut
antara lain :5
a. Letak appendiks retrosekal retroperitoneal, atau di belakang sekum,
nyeri perut kanan bawah tidak terasa begitu jelas dan tidak ada tanda
rangsangan peritoneal. Rasa nyeri akan timbul saat melakukan gerakan
seperti bernapas dalam, batuk, mengedan dan berjalan yang disebabkan
karena kontraksi musculus psoas mayor yang menegang dari dorsal.
Appendiks yang dekat dengan uretra pada lokasi retrocaecal ini, dapat
menyebabkan frekuensi urinasi bertambah dan bahkan hematuria.5
b. Letak appendiks di rongga pelvis, kadang menimbulkan gejala seperti
gastroenteritis akut. Appendiks yang berada menempel atau di dekat
rektum, dapat menimbulkan gejala serta rangsang sigmoid, akan terjadi
peningkatan peristalsis, sehingga pengosongan rektum menjadi lebih
cepat dan berulang-ulang yang mengakibatkan diare. Bila appendiks
berada menempel atau di dekat kandung kemih, karena rangsangannya
dindingnya, dapat menyebabkan peningkatan frekuensi kemih.5
A.6. Penegakan diagnosis
A.6.1. Anamnesis
a. Nyeri perut
Gejala khas dari keluhan utama ini adalah, nyeri awal di perut
bagian tengah atau epigastrium dan intensitasnya meningkat
pada 24 jam pertama, berpindah dan menetap di kuadran kanan
bawah tepatnya di titik McBurney. Nyeri pertama kali
merupakan nyeri alih akibat inervasi visceral dari usus tengah
yang terjadi karena hiperperistaltik akibat obstruksi, hal ini dapat
terjadi pada seluruh saluran cerna, sehingga nyeri viseral
dirasakan pada seluruh perut. Nyeri juga timbul karena kontraksi
11 http://digilib.unimus.ac.id
appendiks, distensi lumen appendiks ataupun karena tarikan
dinding appendiks meradang. Nyeri lokal di perut kanan bawah
disebabkan oleh peradangan sekitar 4-6 jam dan iritasi langsung
peritoneum parietalis akibat peradangan lanjut. Biasanya
penderita dapat menunjukkan letak nyeri, karena bersifat
somatik, lebih tajam, terlokalisir, dan lebih hebat bila batuk
ataupun berjalan kaki.7,11,12,13
b. Mual dan muntah
Muntah terjadi akibat rangsangan terhadap nervus vagus. Rasa
mual, muntah dan anoreksia terjadi pada 50-60 % kasus dan
terjadi setelah nyeri muncul. Hampir 75% penderita disertai
dengan muntah, namun jarang berlanjut menjadi berat dan
kebanyakan muntah hanya sekali atau dua kali. Muntah yang
berat mungkin menandakan onset awal peritonitis generalisata
akibat perforasi appendiks. Sebaliknya muntah jarang dijumpai
pada appendiks non perforasi.7,11,12,13
c. Obstipasi
Obstipasi biasanya terjadi karena penderita takut mengejan.
Keluhan obstipasi biasanya muncul sebelum rasa nyeri dan
beberapa penderita sebaliknya dapat mengalami diare.
Terkadang, tidak dirasakan adanya nyeri di daerah epigastrium,
tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan
obat pencahar. Tindakan ini dianggap berbahaya karena bisa
mempermudah terjadinya perforasi. 7,11,12,13
d. Panas (infeksi akut)
Terkadang appendisitis juga disertai dengan demam derajat
rendah. Suhu tubuh sedikit naik, kira-kira 37,2-38 oC, bila suhu
tubuh diatas 38 oC dapat menjadi pertanda perforasi.
12,13
12 http://digilib.unimus.ac.id
A.6.2. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi : Kadang sudah terlihat waktu penderita berjalan sambil
bungkuk dan memegang perut. Penderita tampak kesakitan. Pada
inspeksi perut tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung
sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi.
Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses
appendikuler.7,12,13
b. Auskultasi : didapat peristaltik normal. Auskultasi tidak banyak
membantu dalam menegakkan diagnosis appendisitis, tetapi
kalau sudah terjadi peritonitis maka tidak terdengar bunyi
peristaltik usus.7,12,13
c. Palpasi : di daerah titik Mc. Burney didapatkan tanda-tanda
peritonitis lokal, yaitu :7,12,13
1. Nyeri tekan di Mc. Burney : Nyeri tekan perut kanan bawah
merupakan kunci diagnosis dari appendisitis.
2. Nyeri lepas : Pada perut kanan bawah apabila ditekan akan
terasa nyeri, serta saat tekanan dilepas juga akan terasa nyeri
3. Defans muscular lokal : Defans muscular menunjukkan
adanya rangsangan peritoneum parietal. Pada appendiks letak
retroperitoneal, defans muscular mungkin tidak ada, yang ada
nyeri pinggang.
4. Rovsing Sign : Pada penekanan perut kiri bawah akan
dirasakan nyeri pada perut kanan
5. Blumberg Sign : Apabila tekanan di perut kiri bawah
dilepaskan juga terasa nyeri pada perut kanan.
6. Nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti nafas
dalam, berjalan, batuk, mengedan.
d. Perkusi : Saat dilakukan perkusi biasa pasien merasa nyeri.
13 http://digilib.unimus.ac.id
e. Uji colok dubur : merupakan kunci diagnosis pada appendisitis
pelvika. Jika saat dilakukan colok dubur terasa nyeri,
kemungkinan appendiks yang meradang terletak didaerah
pelvis.7,12,13
f. Uji psoas : dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat
hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul
kanan, kemudian paha kanan ditahan. Nyeri akan terasa bila
appendiks yang meradang menempel di m. psoas mayor.7,12,13
g. Uji obturator : dilakukan gerakan fleksi dan endorotasi sendi
panggul pada posisi terlentang, nyeri akan terasa bila appendiks
yang meradang kontak dengan m.obturator internus yang
merupakan dinding panggul kecil. 7,12,13
A.6.3. Pemeriksaan penunjang
a. Laboratorium.
Gambaran lekositosis dengan peningkatan granulosit dipakai
sebagai pedoman untuk appendisitis akut karena leukosit
merupakan marker inflamasi yang sensitif, 70-90% hasil
laboratorium nilai leukosit dan neutrofil akan meningkat.
Sensitivitas pemeriksaan ini diatas 76%. Umumnya, jumlah
leukosit untuk appendisitis akut adalah >10.000/mm3 dengan
pergeseran kekiri pada hemogramnya (>70% netrofil). Pada
penderita appendisitis akut dapat juga ditemukan jumlah leukosit
antara 12.000-20.000/mm3 dan bila terjadi perforasi atau
peritonitis jumlah leukosit antara 20.000-30.000/mm3.6 Namun
pendapat lain menyatakan jika angka leukosit lebih dari
18.000/mm3 saja maka sudah dapat terjadi perforasi dan
peritonitis, tetapi bila lebih dari 20.000/mm3 perlu dilakukan
reevaluasi diagnosis.6,7
Penelitian Ferguson tahun 2002
14 http://digilib.unimus.ac.id
menyatakan bila angka leukosit sudah diatas 15.000/mm3, maka
harus segera dilakukan apendektomi.8 Perbedaan pendapat-
pendapat tersebut menunjukkan bahwa belum ada batas pasti
angka leukosit yang dapat membedakan appendisitis akut dan
appendisitis perforasi. Penelitian Imam Sofii pada tahun 2009
didapatkan titik potong (cut off point) nilai leukosit 13.595/mm3
yang membedakan antara appendisitis akut dan perforasi pada
anak, dengan nilai sensitivitas 87,9%, spesifisitas 82,4%, dan
akurasi 84,9%.9 Walaupun banyak sumber memperlihatkan
perbedaan, hitung leukosit tetap sangat bermanfaat dalam
diagnosa appendisitis akut dikombinasi dengan pemeriksaan
riwayat sakit dan pemeriksaan fisik pasien.
Marker peradangan lain yang dapat digunakan dalam diagnosis
appendisitis akut adalah C-reactive protein (CRP). Nilai
senstifitas dan spesifisitas CRP cukup tinggi, yaitu 80-90% dan
lebih dari 90%. Pemeriksaan CRP mudah untuk setiap rumah
sakit di daerah, tidak memerlukan waktu yang lama (5-10 menit),
dan murah. Appendiks yang mengalami peradangan akut dan
menempel pada ureter atau vesika urinaria, pada pemeriksaan
urinalisis ditemukan jumlah sel lekosit 10-15 sel tiap lapangan
pandang.11-13
b. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan foto polos abdomen tidak banyak membantu dalam
diagnosa appendisitis akut. Mungkin terlihat adanya fekalit pada
abdomen kanan bawah sesuai dengan lokasi appendiks,
gambaran ini ditemukan pada 20% kasus. Bila sudah terjadi
perforasi, maka pada foto abdomen tegak akan tampak udara
bebas di bawah diafragma. Kalau sudah terjadi peritonitis yang
biasanya disertai dengan kantong-kantong pus, maka akan
15 http://digilib.unimus.ac.id
tampak udara yang tersebar tidak merata dan usus-usus yang
sebagian distensi dan mungkin tampak cairan bebas, gambaran
lemak preperitoneal menghilang, pengkaburan psoas shadow.
Walaupun terjadi ileus paralitik tetapi mungkin terlihat pada
beberapa tempat adanya permukaan cairan udara (air-fluid level)
yang menunjukkan adanya obstruksi.21
A.6.4. Skor Alvarado
Telah banyak dikemukakan cara untuk menurunkan insidensi
apendektomi negatif, salah satunya adalah dengan instrumen skor
Alvarado. Alfredo Alvarado tahun 1986 membuat sistem skor yang
didasarkan pada tiga gejala, tiga tanda dan dua temuan laboratorium.
Klasifikasi ini berdasarkan pada temuan pra operasi dan untuk
menilai derajat keparahan appendisitis.13
Tabel 2.2. Skor Alvarado
Gejala dan Tanda Skor
Nyeri berpindah
Anoreksia
Mual-muntah
Nyeri fossa iliaka kanan
Nyeri lepas
Peningkatan suhu > 37,50C
Jumlah leukosit > 10x103/L
Jumlah neutrofil > 75%
1
1
1
2
1
1
2
1
Total skor: 10
Sumber : Mike Hardin Jr. Acute Appendicitis: Review And Update.
American Family Physician Volume 60, 1 November 1999
Keterangan :
a) Dinyatakan appendisitis akut bila > 7 point
b) Modified Alvarado score :
16 http://digilib.unimus.ac.id
2 – 4 dipertimbangkan appendisitis akut (observasi)
5 – 6 possible appendicitis tidak perlu operasi (antibiotik)
7 – 9 appendisitis akut perlu pembedahan (operasi)
A.7. Penatalaksanaan
Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan
satu-satunya pilihan yang baik adalah apendektomi. Apendektomi bisa
dilakukan secara terbuka ataupun dengan cara laparoskopi. Bila
apendektomi terbuka, insisi McBurney paling banyak dipilih oleh ahli
bedah. Appendisitis tanpa komplikasi biasanya tidak diperlukan pemberian
antibiotik, kecuali pada appendisitis gangrenosa atau appendisitis perforasi
Penundaan tindak bedah sambil memberikan antibiotik dapat
mengakibatkan abses atau perforasi. Appendisitis perforasi perlu dilakukan
laparotomi dengan insisi panjang supaya dapat dilakukan pencucian rongga
peritoneum dari pus maupun pengeluaran fibrin dengan mudah, begitu pula
untuk pembersihan kantong nanah. Penderita dengan diagnosa tidak jelas
sebaiknya dilakukan observasi terlebih dahulu. Pemeriksaan laboratorium
dan ultrasonografi bisa dilakukan bila dalam observasi masih terdapat
keraguan. Bila tersedia laparoskop, tindakan laparoskopi diagnostik pada
kasus meragukan dapat membantu menentukan akan dilakukan operasi atau
tidak.5
B. Leukosit
B.1. Definisi
Leukosit atau sel darah putih adalah sel darah yang mengandung inti.
Jumlah leukosit dipengaruhi oleh umur, penyimpangan dari keadaan basal
dan lain-lain. Bayi baru lahir jumlah leukositnya tinggi, sekitar 10000-
30000/mm3. Jumlah leukosit tertinggi pada bayi umur 12 jam yaitu antara
17 http://digilib.unimus.ac.id
13000-38000/mm3. Setelah itu jumlah leukosit turun secara bertahap dan
pada umur 21 tahun dengan jumlah leukosit berkisar antara 4500-
11000/mm3. Saat keadaan normal jumlah leukosit pada orang dewasa
berkisar antara 5000-10000/mm3. Jumlah leukosit meningkat setelah
melakukan aktifitas fisik yang sedang, tetapi jarang lebih dari
11.000/mm3.15,26
B.2. Peranan leukosit
Leukosit adalah unit pertahanan tubuh yang mobile, sebagian dibentuk
dalam sumsum tulang (granulosit, monosit, dan sedikit limfosit) dan
sebagian lagi dalam jaringan limfe (limfosit dan sel-sel plasma). Sel-sel
kemudian diangkut mengikuti aliran darah. Sebagian besar leukosit
ditransportasikan khusus pada daerah yang meradang untuk menyediakan
pertahanan terhadap agen-agen infeksius. Granulosit dan monosit
mempunyai kemampuan khusus mencari dan merusak setiap benda asing
yang menyerang. Dalam keadaan normal, pada sumsum tulang terdapat
berbagai leukosit imatur dan matur yang disimpan sebagai cadangan untuk
dilepas dalam sirkulasi darah. Jumlah tiap jenis leukosit dalam sirkulasi
darah perifer sangat terbatas namun dapat berubah sesuai kebutuhan.16,17
B.3. Jenis-jenis leukosit
Leukosit terdiri dari dua golongan utama, yaitu agranular dan granular.
Leukosit agranular mempunyai sitoplasma yang tampak homogen, dan
intinya berbentuk bulat atau berbentuk ginjal. Leukosit granular
mengandung granula spesifik (yang dalam keadaan hidup berupa tetesan
setengah cair) dalam sitoplasmanya dan mempunyai inti yang
memperlihatkan banyak variasi dalam bentuknya. Terdapat 2 jenis leukosit
agranular yaitu; limfosit yang terdiri dari sel-sel kecil dengan sitoplasma
sedikit, dan monosit yang terdiri dari sel-sel yang agak besar dan
18 http://digilib.unimus.ac.id
mengandung sitoplasma lebih banyak. Terdapat 3 jenis leukosit granular
yaitu neutrofil, basofil, dan asidofil (eosinofil).15
Gambar 2.2. Jenis-Jenis Leukosit
B.3.1 Golongan granural
a. Neutrofil Polimorfonuklear
Jam-jam pertama peradangan, neutrofil pertama kali muncul
dalam jumlah besar di dalam eksudat dan mendanakan adanya
infeksi akut. Inti sel ini mempunyai lobus tidak teratur atau
polimorf. Sel-sel ini memerlukan waktu 2 minggu untuk
berkembang lengkap. Kira-kira terdapat neutrofil 5000/mm3
darah yang ada di dalam sirkulasi pada setiap waktu, dengan 100
kali jumlah ini tertahan di dalam sum-sum tulang sebagai
cadangan dalam bentuk sel-sel matur, siap dilepas jika ada
sinyal. Jika sel-sel ini dilepas kedalam sirkulasi darah, waktu
paruhnya sekitar 6 jam. PMN mampu bergerak aktif seperti
amuba dan mampu menelan berbagai zat melalui suatu proses
yang disebut fagositosis.17,18
19 http://digilib.unimus.ac.id
b. Eosinofil Polimorfonuklear
Sel ini hampir sama dengan neutrofil kecuali granula
sitoplasmanya lebih kasar dan berwarna lebih merah gelap
karena mengandung protein basa dan jarang terdapat lebih dari
tiga lobus inti. Waktu perjalanan dalam darah untuk eosinofil
lebih lama daripada neutrofil. Eosinofil berespons terhadap
stimulus kemotaktik khas tertentu yang timbul selama reaksi
alergik dan eosinofil mengandung zat-zat yang toksik terhadap
parasit tertentu dan zat-zat yang memediasi reaksi peradangan
seperti pengeluaran fibrin yang terbentuk selama peradangan.
Selain itu, eosinofil cenderung berkumpul dalam konsentrasi
yang signifikan di tempat infestasi parasit dan reaksi-reaksi
alergik.17,18
c. Basofil Polimorkonuklear
Basofil hanya terlihat kadang-kadang dalam darah tepi
normal. Jumlahnya 1% dari total sel darah putih. Basofil
memiliki banyak granula sitoplasma yang menutupi inti dan
mengandung heparin dan histamin. Dalam jaringan, basofil
menjadi “mast cells”. Basofil memiliki tempat-tempat perlekatan
IgG dan degranulasinya dikaitan dengan pelepasan histamin.
Fungsinya berperan dalam respon alergi. Basofil darah dan sel
mast jaringan dirangsang untuk melepaskan kandungan
granulanya ke lingkungan sekelilingnya pada berbagai keadaan
cidera, termasuk baik reaksi imunologik maupun reaksi
nonspesifik. Sel-sel mast merupakan sumber utama histamin
pada awal reaksi peradangan akut.17,18
20 http://digilib.unimus.ac.id
B.3.2. Golongan agranular
a. Monosit dan Makrofag
Monosit juga berasal dari sumsum tulang, tetapi siklus
hidupnya 3 sampai 4 kali lebih lama daripada granulosit. Sel
yang sama di dalam sirkulasi darah disebut makrofag. Makrofag
merupakan sel yang bergerak aktif yang berespons terhadap
rangsang kemotaktik, yang secara aktif bersifat fagositik aktif,
dan mampu membunuh serta mencerna berbagai agen.17,18
b. Limfosit
Kira-kira 10% limfosit yang beredar merupakan sel yang
lebih besar dengan banyak sitoplasma dan mengandung sedikit
granula azuropilik. Bentuk yang lebih besar ini dipercaya
dirangsang oleh antigen, misalnya virus atau protein asing.
Limfosit umumnya terdapat di dalam eksudat dalam jumlah yang
sangat sedikit hingga waktu yang cukup lama, yaitu sampai
reaksi-reaksi peradangan menjadi kronis. Karena fungsi-fungsi
limfosit yang diketahui semuanya berada dalam imunologik.17,18
Tabel 2.3. Nilai Normal Komponen Sel Darah Putih.
Jenis Leukosit Sel /mm3 (rata-rata) Kisaran Nilai Normal (mm
3) (%)
Leukosit total 9000 4000-11000
Granular :
Neutrofil
Eusinofil
Basofil
5400
275
35
3000-6000
150-300
0-100
50-75
1-4
0,4
Agranular :
Limfosit
Monosit
2750
540
1500-4000
300-600
20-40
2-8
Sumber : Ganong, William F. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 22.
Jakarta : EGC. 2000.
21 http://digilib.unimus.ac.id
C. Kerangka Teori
D. Kerangka Konsep
Angka Leukosit
Appendisitis akut
Appendisitis perforasi
Peran
Lingkungan, Diet,
dan Higiene
(Pola makan,
konstipasi,
pembentukan
feses dan fekalit)
Peran Flora
Bakterial
( E.Colli, Proteus,
Klebsiella,
Streptococcus,
Pseudomonas,
Bakteroides Fragilis,
dll )
Peran Obstruksi
(Timbunan fekalit,
hyperplasia jaringan
limfoid, tumor
appendiks, striktur,
benda asing, cacing
askaris, dll)
Bendungan Cairan Sekresi Appendiks
Peningkatan Tekanan Intraluminer dan Iskemia Arteri Appendiks
Inflamasi Appendiks
Nyeri Epigastrium /
Mc Burney / seluruh
perut
Peningkatan
Leukosit
(dan neutrofil)
Umur
Aktifitas fisk
Penyimpangan
keadaan basal
Appendisitis
akut
Appendisitis
perforasi
Laparotomi
Apendektomi
Apendektomi