bab ii tinjauan pustaka, hasil penelitian dan analisis a ...€¦ · pengertian hubungan kerja...
TRANSCRIPT
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN
ANALISIS
A. HUBUNGAN KERJA
Hubungan kerja adalah suatu hubungan hukum yang dilakukan oleh
minimal dua subjek hukum mengenai suatu pekerjaan,33
yang dilakukan antara
seorang pekerja/buruh dengan seorang pengusaha yang lahir dari perjanjian
kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah, tanpa adanya salah
satu unsur tersebut maka tidak ada hubungan kerja. Hubungan kerja antara
pekerja/buruh dan pengusaha merupakan hubungan yang sifatnya abstrak.
Pengertian hubungan kerja menurut para ahli, yaitu:
a. Iman Soepomo menjelaskan bahwa hubungan kerja adalah hubungan
antara buruh dan majikan yang terjadi setelah diadakan perjanjian oleh
buruh dengan majikan, dimana buruh menyatakan kesanggupanya untuk
bekerja pada majikan dengan menerima upah, dan dimana majikan
menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan buruh dengan
membayar upah.34
b. Hartoni Widodo dan Judiantoro menjelaskan bahwa hubungan kerja
adalah kegiatan-kegiatan pengerahan tenaga/jasa seseorang secara
teratur demi kepentingan orang lain yang memerintahnya
33
Asri Wijatanti, Op.Cit, h.36 34
Maimun, Op.Cit, h. 41.
15
(pengusaha/majikan) sesuai dengan perjanjian kerja yang telah
disepakati.35
c. Tjepi F. Aloewir mengemukakan bahwa pengertian hubungan kerja
adalah hubungan yang terjalin antara pengusaha dan pekerja yang
timbul dari perjanjian yang diadakan untuk jaka waktu tertentu maupun
tidak tertentu.36
d. Sedjun H. Manulang mengemukakan bahwa hubungan kerja adalah
hubungan antara pengusaha dengan pekerja yang timbul dari perjanjian
kerja yang diadakan untuk waktu tertentu maupun waktu tidak
tertentu.37
Hubungan kerja pada dasarnya meliputi tentang pembuatan perjanjian
kerja (merupakan titik tolak adanya suatu hubungan kerja) kewajiban buruh
(melakukan pekejaan sekaligus merupakan hak dari pengusaha atas pekerjaan),
kewajiban pengusaha (membayar upah kepada pekerja, sekaligus merupakan
hak dari pekerja/buruh atas upah), berakhirnya hubungan kerja, cara
penyelesaian perselisihan antara pihak-pihak yang bersangkutan.38
Perjanjian kerja dalam Bahasa belanda disebut Arbeidsovereenkoms.
Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau
pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para
35
Hartono dan Judiantoro, Segi Hukum Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, Penerbit Raja
Wali Pers, Jakarta,1992, h.10. 36
Tjepi F. Aloewic, naskah akademis tentang pemutusan hubungan kerja dan penyelesaian
perselisihan industrial, Jakarta, BPHN, 1996, h. 32. 37
Sendjun H. Manulang, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia, Cetakan Kedua,
Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 1995, h. 63. 38
Ibid., h. 66.
16
pihak.39
Dalam BW/KUHPer Pasal 1601 a Perjanjian kerja adalah suatu
perjanjian dimana pihak yang satu yaitu pekerja/buruh mengikatkan dirinya
untuk bekerja pada pihak yang lain yaitu pengusaha untuk waktu tertentu
dengan menerima upah. Menurut Iman Soepomo perjanjian kerja adalah suatu
perjanjian dimana pihak kesatu, buruh, mengikatkan diri untuk bekerja dengan
menerima uah pada pihak lainnya, majikan yang mengikatkan diri untuk
mengerjakan buruh itu dengan membayar upah.40
Selanjutnya menurut Subekti perjanjian kerja adalah perjanjian
antara seorang buruh dengan seorang majikan, perjanjian dimana
ditandai oleh ciri-ciri adanya suatu upah atau gaju tertentu yang
diperjanjikan dan adanya suatu hubungan di peratas
(dierstverhanding) yaitu suatu hubungan berdasarkan mana
pihak yang satu (majikan) berhak memberikan perintah-perintah
yang harus ditaati oleh pihak yang lain.41
Menurut R. Goenawan Oetomo, perjanjian kerja haruslah
berdasarkan atas pernyataan kemauan yang sepakat, dari pihak
buruh kemauan yang dinyatakan dan menyatakan untuk bekerja
pada pihak majikan dengan menerima upah dan dari pihak
majikan kemauan yang dinyatakan dan menyatakan akan
mempekerjakan buruh itu dengan membayar upah. Di samping
kemauan yang sepakat antara kedua belah pihak, harus pula ada
persesuaian antara kedua belah pihak, harus pula ada persesuaian
antara pernyataan kehendak dan kehendak yang dinyatakan itu
sendiri serta kehendak itu harus dinyatakan secara bebas dan
bersungguh-sungguh.42
Unsur dalam suatu perjanjian, yaitu:
a) Adanya pekerjaan (arbeid) dimana pekerja bebas sesuai dengan
kesepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha, asalkan tidak
39
Maimun, Loc.Cit (artinya: dari Maimun halaman 41) 40
Iman Soepomo, Loc.Cit., h. 57. 41
Subekti, Aneka Perjanjian, Cetakan Kedua, Penerbit Alumi, Bandung, 1977, h. 63. 42
R. Goenawan Oetomo, Pengantar Hukum Perburuhan & Hukum Perburuhan Di Indonesia,
Penerbit Grhadhika Binangkit Press, Jakarta, 2004, h. 38.
17
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan, dan
ketertiban umum.43
b) Dibawah perintah dimana dalam hubungan kerja kedudukan majikan
adalah pemberi kerja, sehingga ia tidak berhal dan sekaligus
berkewajiban untuk memberikan perintah-perintah yang berkaitan
dengan pekerjaannya. Hubungan antara pekerja/buruh dan pengusaha
adalah hubungan yang dilakukan antara atasan dan bawahan, sehingga
bersifat subordinasi.
c) Adanya upah tertentu (loan) yang menjadi imbalan atas pekerjaan yang
telah dilakukan oleh pekerja/buruh.
d) Dalam waktu yang ditentukan dimana pekerja/buruh bekerja untuk
waktu yang ditentukan atau untuk waktu yang tidak tertentu atau
selama-lamanya.44
Syarat-syarat perjanjian kerja, yaitu:
a) Kesepakatan kedua belah pihak
b) Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum
c) Adanya pekerjaan yang diperjanjikan
d) Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban
umum, kesusilaan, dan peraturan perundangan yang berlaku.45
43
Asri Wijayanti, Loc.Cit. (artinya: dari Asri Wijayanti halaman 36) 44
Ibid., h. 37. 45
Ibid., h. 42.
18
Dimana keempat unsur perjanjian kerja diatas merupakan syarat sahnya
suatu perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPer dan Pasal 1338
menyebutkan semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
Undang bagi merka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik
kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan
yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikad baik. Bentuk perjanjian kerja adalah bebas, dimana
perjanjian kerja dapat dibuat secara tertulis atau lisan, namun sebaiknya
perjanjian kerja dibuat secara tertulis untuk menjamin adanya kepastian hukum.
Dalam perjanjian terdapat beberapa asas, yaitu asas kebebasan berkontrak, asas
konsensual, dan asas kelengkapan.
Dalam pembuatan perjanjian kerja pada pelaksanaanya ada beberapa
jenis perjanjian kerja yaitu:
a) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PKWT) adalah perjanjian kerja
yang jangka waktu berlakunya ditentukan dalam perjanjian kerja.46
Dimana harus dibuat secara tertulis untuk melindungi salah satu pihak
apabila ada tuntutan dari pihak lain setelah selesainya perjanjian kerja.47
Dalam perjanjian kerja untuk waktu tertentu dilarang adanya masa
percobaan karena jika ada masa percobaan maka perjanjian tersebut bata
demi hukum. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dibuat
menurut jenis, sifat dan kegiatan pekerjaan akan selesai dalam tertentu,
46
Sendjun H. Manulang, Op.Cit., h. 69. 47
Maimun, Op.Cit., h. 44.
19
jadi bukan pekerjaan yang bersifat tetap.48
Mengenai berakhirnya
hubungan kerja dalam kesepakatan tertentu, terdapat dua kemungkinan,
yaitu demi hukum, dimana berakhirnya waktu atau obyek yang
diperjanjiakan atau disepakti telah lampau, dan karena pekerja
meninggal dunia dengan pengecualian jika yang meninggal dunia pihak
pengusah, maka kesepakatan kerja untuk waktu tertentu tidak
berakhir.49
b) Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu (PKWTT) adalah perjanjian
kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan
hubungan kerja yang bersifat tetap.50
Dibuat secara tertulis atau lisan
dan tidak wajib mendapatkan pengesahan dari instamsi ketenagakerjaan.
Jika dibuat secara lisan, klausul-klausul yang berlaku diantara pihak-
pihak yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan.51
Dimana dalam
perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu biasanya ada masa percobaan
(selama tiga bulan), yang diberitahukan secara tertulis dan jika tidak ada
pemberitahuan secara tertulis maka di anggap tidak ada masa
percobaan.52
Selama masa masa percoban, pengusaha wajib membayar
upah pekerja dan upah tersebut tidak boleh rendah dari upah minimun
yang berlaku.53
48
Ibid., h. 45. 49
Ibid., h. 55 50
R. Joni Bambang S., Op.Cit., h. 116. 51
Ibid. 52
Ibid. 53
R. Joni Bambang S., Loc.Cit. (artinya: dari R. Joni Bambang S. halaman 116)
20
Perjanjian kerja Bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil
perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat
pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab
dibidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha atau
perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban
kedua belah pihak.54
Dalam satu perusahaan hanya dapat dibuat satu PKB yang berlaku bagi
seluruh pekerja/buruh di perusahaan. Pembuatan PKB dilakukan secara
musyawarah antara para pihak yang berunding.55
Apabila musyawarah tidak
mencapai kesepakatan, maka penyelesaiannya dilakukan melalui proses PPHI.56
Dalam PKB dibuat secara tertulis dengan huruf latin dan menggunakan Bahasa
Indonesia.57
PKB dibuat untuk jangka waktu paling lama 2 tahun dan dapat
diperpanjang masa berlakunya untuk paling 1 lama tahun sesuai kesepakatan
tertulis antara pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh. apabila terjadi
perubahan maka perubahan tersebut tidak dapat dipisahkan dari PKB yang
berlaku.58
Peraturan perusahaan adalah suatu peraturan yang dibuat secara tertulis
yang memuat ketentuan tentang syara-syarat kerja serta tata tertib perusahaan.
Dimana peraturan perusahaan hanya dibuat secara sepihak oleh majikan yang
54
R. Joni Bambang S., Op.Cit., h. 188. 55
Maimun, Loc.Cit. (artinya: dari Maimun Halaman 129) 56
R. Joni Bambang S., Loc.Cit. (artinya: dari R. Joni Bambang S. halaman 119) 57
ibid 58
Maimun, Op.Cit., h. 135.
21
mencantumkan kewajiban pekerja/buruh dimana tidak melanggar ketertiban
umum, tata kesusilaan, serta dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi.59
I. KONSEP HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
(PHK) SEPIHAK
Membahas mengenai permasalahan yang terjadi dibidang
ketenagakerjaan, maka masalah tersebut dapat dilihat dari berbagai factor dan
makna. Masalah ketenagakerjaan mau tidak mau haruslah dikaitkan dengan
kelangsungan hidup manusia, serta berbagai aspek kehidupan. Soal yang sangat
penting bahkan yang terpenting bagi pekerja/buruh dalam masalah
ketenagakerja adalah soal pemutusan hubungan kerja.
Dalam dunia kerja pemutusan hubungan kerja antara pekerja/buruh
dengan pengusaha lazim dikenal dengan istilah PHK, yang dapat terjadi karena
berakhirya waktu tertentu yang telah disepakati/perjanjikan dan dapat juga
terjadi karena adanya perselisihan antara pekerja/buruh dengan pengusaha,
meninggalnya pekera/buruh atau sebab lainnya.60
Berakhirnya hubungan kerja bagi pekerja/buruh berarti kehilangan mata
pencaharian, merupakan permulaan dari segala kesengsaran. Dalam teori
pekerja/buruh berhak pula untuk mengakhiri hubungan kerja, tetapi dalam
59
Zainal Asikin, et.al., Op.Cit., h. 77-78. 60
Ibid., h. 173
22
praktik pengusahalah yang mengakhirinya, sehingga pengakhiran itu selalu
merupakan pengakhiran hubungan kerja oleh pengusaha.61
Menurut Lalu Husni, pemutusan hubungan kerja merupakan suatu
peristiwa yang tidak diharapkan terjadi, terutama bagi pekerja/buruh karena
akan kehilangan mata pencaharian untuk menghidupi diri dan keluarganya62
,
karena itu pihak yang terlibat dalam hubungan industrial baik pengusaha,
pekerja/buruh, atau pemerintah harus mengusahakan agar jangan terjadi
pemutusan hubungan kerja.63
Pemutusan hubungan kerja adalah langkah pengakhiran hubungan kerja
antara pekerja/buruh dengan pengusaha yang disebabkan karena suatu keadaan
tertentu. Pemutusan hubungan kerja yang terjadi karena berakhirnya waktu
yang telah ditetapkan dalam perjanjian tidak menimbulkan permasalahan
terhadap kedua belah pihak, berbeda dengan pemutusan yang terjadi karena
adanya perselisihan, dimana memberikan dampak terhadap kedua belah pihak,
terlebih bagi pekerja/buruh yang kedudukan ekonomis yang lemah jika
dibandingkan dengan pengusaha karena memberikan dampak terhadap
psikologi, ekonomis dan finansial.64
Dimana dengan adanya pemutusan hubungan kerja pekerja/buruh
kehilangan mata pencaharian. Dalam mencari pekerjaan yang baru
61
Iman Soepomo, Op.Cit., h. 88. 62
Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Penerbit Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2006, h. 195 63
Asri Wijayanti., Op.Cit., h. 158. 64
Zainal Asikin, et.al., Op.Cit., h. 173-174
23
pekerja/buruh tetap harus mengeluarkan biaya, seperti biaya pembuatan surat-
surat untuk keperluan lamaran dan foto copy, juga pekerja/buruh kehilangan
biaya hidup untuk dirinya sendiri dan keluarganya.
Peran pemerintah sangat penting dalam masalah pemutusan hubungan
kerja karena bertanggung jawab atas berputarnya roda perekonomian Indonesia
dan menjamin ketertiban umum serta melindungi pihak yang ekonominya
lemah. Dalam peraturan perundang-undang pengusaha dilarang melakukan
PHK karena alasan tertentu dan PHK hanya dapat dilakukan setelah ada
penetapan dari lembaga PPHI dengan resiko batal demi hukum. PHK harus
menjadi tindakan terakhir apabila terjadi perselisihan hubungan industrial,
Dalam teori Hukum Perburuhan terdapat 4 jenis pemutusan hubungan
kerja, yaitu:
1) Pemutusan hubungan kerja demi hukum
Pemutusan hubungan kerja demi hukum adalah pemutusan
hubungan kerja yang dapat terjadi dengan sendirinya sehubungan
dengan berakhirnya jangka waktu perjanjian yang dibuat oleh majikan
dan buruh.65
Karena itulah pemutusan hubungan kerja terjadinya bukan
karena sebab-sebab tertentu baik yang dating dari pihak pekerja/buruh
maupun majikan, dalam pasal 1603e KUHPer menyebutkan
“perhubungan kerja berakhir demi hukum, dengan lewatnya waktu yang
65
Soebekti, Hukum Perjanjian, Cetakan Ketujuh, Penerbit Inter Masa, Jakarta, 1984, h. 19.
24
ditetapkan dalam persetujuan maupun reglement atau dalam ketentuan
Undang-Undang atau lagi majikan itu tidak ada oleh kebiasaan”
Meskipun PHK itu terjadi dengan sendirinya namun para pihak
dapat memperjanjikan untuk mengadakan pemberitahuan apabila
perjanjian kerja akan berakhir, dimana pemberitahuan dapat diikuti dan
ketentuan apakah perjanjian kerja itu berakhir atau tidak.66
PHK demi hukun juga dapat berakhir karena meninggalkan
pekerjaan, dimana dalam pasal 1331 KUHPer seseorang hanya dapat
mengikatkan diri hanya untuk dirinya sendiri, namun bila
pengusaha/majikan yang meninggal dunia maka hubungan kerja tidak
putus atau berakhir. Jika ahli waris dari pengusaha/majikan ingin
melakukan PHK harus mengajukan permohonan izin kepada Panitia
Penyelesaian Perselisihan Perburuh.
2) Pemutusan hubungan kerja oleh buruh
Dalam teori hukum perjanjian salah pihak dibolehkan untuk
memutuskan perjanjian dengan persetujuan pihak lainnya. Dimana
pekerja/buruh dapat memutuskan hubungan kerjanya dengan
persetujuan pihak pengusaha pada setiap saat yang dikehendakinya
karena dalam KUHPer menyetarakan kedudukan pekerja/buruh dengan
majikan. 67
66
Wiwoho soedjono, Hukum Pengantar perjanjian kerja, Cetakan Kesatu, penerbit Bina
Aksara, Jakarta, 1983, h. 20. 67
Koesparmono Irsan dan Armansyah, Hukum Tenaga Kerja Suatu Pengantar, Penerbit
Erlangga, Jakarta, 2016, h. 111.
25
Dalam Pasal 1603i KUHPer apabila dalam perjanjian kerja
diperjanjikan adanya masa percobaan, maka selama waktu itu
berlangsung buruh berwewenang seketika mengakhiri hubungan kerja
dengan penyataan percobaan tersebut. Untuk pemutusan hubungan kerja
dalam masa percobaan tidak perlu izin dari penjabat yang berwenang.
Namun dalam prakteknya PHK oleh buruh jarang terjadi karena mencari
pekerjaan baru tidak mudah.
3) Pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha
Pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha adalah pemutusan
yang paling sering terjadi dan ada alasan yang menyebabkan pengusaha
melakukan PHK, misalnya pekerja/buruh melakukan kesalahan berat
atau kesalahan ringan, pekerja/buruh tidak lulus masa percobaan, dan
pengusaha mengalami kerugian sehingga menutup usaha. Dimana
pekerja/buruh berhak atas uang pesangon dan uang penghargaan masa
kerja.68
4) PHK oleh putusan pengadilan
PHK yang terakhir adalah karena adanya putusan pengadilan
yang dikarenakan sengketa antara buruh dan majikan yang berlanjut ke
pengadilan.69
Pengusaha harus berusaha sebaik mungkin untuk
menghindari terjadinya PHK. Pengusaha dapat melakukan upaya untuk
menghindari terjadinya PHK berupa pengaturan waktu kerja,
68
Aloysius Uwiyono, et.al., Asas-Asas Hukum Perburuhan, Cetakan Kedua, Edisi Kesatu,
Penerbit Raja Grafindo, Jakarta, 2014, h. 138 69
Asri Wijayanti, Loc.Cit. (artinya: dari Asri Wijayanti halaman 167)
26
penghematan (efisiensi), pembenahann metode kerja, dan
pembinaankepada pekerja/buruh.70
Apabila segala upaya telah dilakukan tetapi PHK tetap tidak
dapat dihindari, dimana PHK wajib dirundingkan oleh pengusaha
dengan serikat pekerja/serikat buruh, atau apabila pekerja/bururh tidak
menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh, perundingan dilakukan
dengan pekerja/buruh secara langsung, jika perundingan yang dilakukan
tidak menghasilkan kesepakatan, maka pengusaha mengajukan
permohonan penetapan PHK secara tertulis kepada Lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial.71
Setelah menerima permohonan PHK Lembaga PPHI akan
memanggil para pihak untuk dimintai keterangan di persidangan.
Berdasarkan pembuktian yang dilakukan dalam persidangan, Lembaga
PPHI menetapkan keputusan yang berisi menolak atau mengabulkan
PHK yang diajukan. Selama putusan oleh Lembaga PPHI belum
ditetapkan maka baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap
melaksanakan kewajibannya.
Dalam hal ini harus diputuskan oleh Lembaga PPHI menyangkut
dapat atau tidak pesangon, besar kecilnya pesangon serta hak-hak, dan
keabsahan pemutusan hubungan kerja.
70
Maimun, Op.Cit., h. 99. 71
Pasal 151 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
27
Prosedur pemutusan hubungan kerja menurut Lalu Husni yang
dilakukan oleh pengusaha72
adalah:
a. Pengusaha harus mengusahakan agar jangan terjadi PHK
b. Setelah dilakukan segala usaha dimana PHK tidak dapat dihindari, maka
pengusaha harus merundingkan maksud untuk mengadakan PHK
dengan organisasi pekerja yang bersangkutan atau yang ada
diperusahaan atau dengan karyawan/tenaga kerja/pekerja sendiri dalam
hal tenaga kerja tersebut tidak menjadi anggota organisasi pekerja.
c. Bila perundingan tersebut nyata-nyata tidak menghasilkan persetujuan
paham, pengusaha hanya dapat melakukan pemutusan hubungan kerja
dengan tenaga kerja setelah mendapat izin dari Panitia Perselisihan
Perburuhan Daera (P4D) bagi pemutusan hubungan kerja perseorang
dan Panitia Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) bagi pemutusan
hubungn kerja secara besar-besaran.
d. P4D dan P4P menyelesaikan permohonan izin pemutusan hubungan
kerja dalam waktu sesingkat-singkatnya menurut tata cara yang berlaku
untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Dalam hak P4D
atau P4P memberikan izin, maka dapat ditetapkan pula kewajiban
pengusaha untuk memberikan kepada tenaga kerja/karyawan yang
bersangkutan uang pesangon, uang jasa dan uang kerugian lainnya.
e. Hal-hal yang harus dimuat dalam permohonan izin pemutusan
hubungan kerja oleh pengusaha adalah:
i. nama dan kedudukan perusahaan
ii. nama orang yang bertanggung jawab diperusahaan
iii. umur dan jumlah keluarga si pekerja
iv. jumlah masa kerja dari setiap tenaga kerja yang dimintakan
pemutsan hubungan kerja
v. penghasilan terakhir berupa uang dan catu tiap bulannya
vi. alasan-alasan pengusulan PHK secara terperinci
f. Permohonan izin PHK tidk dapat diberikan apabila PHK didasarkan
pada:
i. hal-hal yang berhubungan dengan keanggotaan serikat pekerja atau
dalam rangka pembentukan serikat pekerja dan melaksanakan tugas-
tugas atau fungsi serikat diluar jam kerja.
ii. Pengaduan pekerja/ tenaga kerja kepada yang berwajib mengenai
tingkat laku pengusaha yang terbukti melanggar peraturan Negara
dan
iii. Paham agama, aliran, suku, golongan atau jenis kelamin
g. Permohonan izin PHK dapat diberikan dalam hal tenaga kerja/pekerja
melakukan kesalahan berat
72
Lalu Husi, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Penerbit Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000,
h. 127-130
28
II. PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) DALAM
KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
1. KETENTUAN TENTANG PHK
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa Undang-Undang yang
mengatur tentang pemutsan hubungan kerja adalah Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Undang-Undang Ketenagakerjaan
dibuat memberikan perlindungan terhadap tenaga kerja untuk menjamin hak-
hak dasar pekerja/buruh dan menjmin kesamaan kesempatan serta perlakuan
tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan
pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan
kemajuan dunia usaha perlu dilakukan.
Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja diatur dalam
Pasal 150 sampai Pasal 172. Pemutusan hubungan kerja dalam
Undang-Undang ini meliputi pemutusan hubungan kerja yang
terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik
orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum,
baik milik swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha
sosial dan usaha-usah lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang dengan membayar upah atau imbalan
dalam bentuk lain.
Bagi pekerja/buruh putusnya hubungan kerja berati permulaan masa
pengangguran dengan segala akibatnya, sehingga untuk menjamin kepastian
dan ketentraman hidup kaum pekerja/buruh seharusnya pemutusan hubungan
kerja tidak terjadi.73
Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
73
Zainal Asikin, et.al., Op.Cit., h. 186-187
29
Ketenagakerjaan Pasal 151 ayat (1) dijelaskan bahwa pengusaha, pekerja/buruh,
serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus
mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.
Pasal 1 ayat (2) Jika segala upaya telah dilakukan namun pemutusan
hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka pemutusan hubungan kerja wajib
dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan
pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota
serikat pekerja serikat buruh. ayat (3) dalam hal perundingan sebagaimana
dijelaskan dalam ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan persetujuan,
pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh
setelah memperoleh penetapan dari Lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial. Dari ketentuan diatas dapat disimpulkan bila perundingan
mencapai persetujuan antara pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh maka pemutusan hubungan kerja tidak perlu memperoleh
penetapan dari Lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara
tertulis kepada Lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai
alasan yang menjadi dasarnya. Permohonan dapat diterima apabila telah
dirundingkan tetapi tidak menghasilkan kesepakatan. Dalam Pasal 154
dijelaskan bahwa, Penetapan tidak diperlukan jika pekerja/buruh masih dalam
masa percobaan kerja bilaman telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya
angka (a). Pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara
30
tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari
pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu
tertentu untuk pertama kali angka (b). pekerja/buruh mencapai usia pensiun
sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan,
perjanjian kerja Bersama, atau peraturan perundang-undangan angka (c) dan
pekerja/buruh meninggal dunia angka (d).
Dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
diatur mengenai tata cara pemutusan hubungan kerja serta dasar-dasar yang
dapat dijadikan alasan PHK, termasuk larangan bagi pengusaha untuk
melakukan pemutusan hubungan kerja pada Pasal 153, yaitu:
a) Pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut
keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 bulan secara terus-
menerus.
b) Pekerja/bruruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena
memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c) Pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya
d) Pekerja/bruh menikah
e) Pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau
menyusui bayinya
f) Pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan
dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah
diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian
kerja Bersama.
g) Pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat
pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat
pekerja/serikat buruh diluar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas
kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja Bersama
h) Pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib
mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana
kejahatan
31
i) Karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit,
golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan
j) Pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja,
atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter
yang jangka waktu pnyembuhnnya belum dapat dipastikan.
Jika pemutusan hubungan kerja dengan alasan yang dijelaskan diatas
maka akan batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali
pekerja/buruh.
Menurut Iman Soepomo alasan-alasan pemutusan hubungan kerja dapat
digolongkan menjadi 3, yaitu:
a) Alasan-alasan yang berkenaan dengan pribadi buruh atau melihat dari
pribadi bruh.
b) Alasan-alasan yang berhubungan dengan kelakuan buruh
c) Alasan-alasan yang berkenaan dengan jalannya perusahaan.74
Pada dasarnya cara terjadi PHK ada 4 macam yaitu PHK demi hukum,
PHK oleh buruh, PHK oleh majikan dan PHK atas dasar putusan pengadilan.
a) PHK demi hukum
Berdasar ketentuan Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 Tentang Ketenagakerjaan, perjanjian kerja berakhir apabila:
a. Pekerja meninggal dunia
b. Berkakhirnya jangka waktu perjanjian kerja
c. Adanya putusan pengadilan dan/atau putusan penetapan Lembaga
penyelesian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap, atau
74
Iman Soepomo, Op.Cit., h. 78.
32
d. Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam
perjnajian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
Bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
b) PHK oleh pekerja/buruh
PHK oleh buruh dapat terjadi apabila pekerja/buruh
mengundurkan diri atau telah terdapat alasan mendesak yang
mengakibatkan buruh minta di PHK. Berdasarkan ketentuan Pasal 151
ayat (3) huruf b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerja, atas kemauan pekerja/buruh tanpa ada
tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan keraj sesuai
dengan perjanjian waktu tertentu untuk pertama kali.
Ketentuan pasal 169 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan, dimana pekerja/buruh dapat mengajukan
permohonan pemutusan hubungan kerja kepada Lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial jika pengusaha melakukan perbuatan
sebagai berikut:
a. Menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh
b. Membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
c. Tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan
selama 3 bulan berturut-turut atau lebih.
d. Tidak melakukan kewajiban yang tela dijanjikan kepada
pekerja/buruh
e. Memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan diluar
yang diperjanjikan
f. Memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan,
kesehantan, dan kesusilaan pekerja/buruh, sedangkan pekerjaan
tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.
c) PHK oleh majikan
33
Majikan yang mengalami kerugian berdasarkan ketentuan Pasal
163- pasal 165 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan dapat memutuskan hubungan kerja dengan buruh,
yakni:
a. PHK massal karena perusahaan tutup akibat mengalami kerugian
terus-menerus disertai dengan bukti keuangan yang telah diaudit
oleh akuntan public paling sedikit 2 tahun teralhir, atau keadaan
memaksa (force majeur).
b. PHK massal karena perusahaan tutup karena alasan perusahaan
melakukan efisiensi
c. PHK karena perubahan status atau perubahan kepemilikan
perusahaan sebagian atau seluruhnya atau perusahaan pindah lokasi
dengan syarat-syarat baru yang sama dengan syarat-syarar kerja
lama dan pekerjaan tidak bersedia melakukan hubungan kerja
d. PHK karena perubahan status atau perubahaan kepemilikan
perusahaan sebagian atau seluruhnya atau perusahaan pindah lokasi
dengan pengusaha tidak bersedia menerima pekerja di
perusahaannya dengan alasan apa pun.
Selanjutnya PHK oleh pengusaha dapat tejadi karena adanya kesalahan
dari buruh yang dibagi menjadi 2 macam, yakni kesalahan berat dan kesalahan
ringan.
Kesalahan berat terdapat diatur dalam Pasal 158 ayat (1), yaitu:
a. Melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau
uang milik perusahaan.
b. Memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga
perusahaan
c. Mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai
dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di
lingkungan kerja.
d. Melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja
e. Menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman
sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja.
f. Membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan
yang bertentangan dengan peraturan perundang-undang.
34
g. Dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan
bahaya barang millik perusahaanyang menimbulkan kerugian bagi
perusahaan.
h. Dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau
pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja
i. Membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya
dirahasiakan kecuali untuk kepetingan neagara.
j. Melakukan perbuatan lainnya dilingkungan perusahaan yang diancam
pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Dimana dalam Pasal (2) kesalahan berat harus didukungan dengan bukti
berupa:
a. Pekerja/buruh tertangkap tangan
b. Ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan
c. Bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang
berwenang diperusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh
sekurang-kurangan 2 (dua) orang saksi
Dalam pasal (3) dan (4) pekerja/buruh yang diputus hubungan kerjanya
dapat memperoleh uang penggantian, pekerja/buruh yang tugas dan fungsinya
tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, mendapatkan uang
pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian keja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja Bersama.
Dari Pasal 158 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan dapat dilihat bisa menimbulkan celah hukum yang dapat
disalahgunakan oleh pengusaha. Dimana 3 bukti menjadi syarat adanya
kesalahan berat yang dilakukan oleh pekerja yang bersifat alternatif bukan
kumulatif.
35
Sedangkan kesalahan ringan diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Permenaker
No. Per-4/Men/1986, yaitu:
a. Setelah tiga kali berturut-turut pekerja tetap menolak untuk menaati
perintah atau penugasan yang layak sebagai tercantum dalam perjanjian
kerja, KKB atau peraturan perusahaan.
b. Dengan sengaja atau karena lalai mengakibatkan dirinya dalam keadaan
demikian, sehingga ia tidak dapat menjalankan pekerjaan yang
diberikan kepadanya.
c. Tidak cakap melakukan pekerjaan walaupun sudah dicoba di bidang
tugas yang ada
d. Melanggar ketentuan yang telah ditetapkan dalam kesepakatan kerja
Bersama, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja.
d) PHK karena putusan pengadilan
Pemutusan oleh pengadilan biasanya terjadi atas permintaan pihak yang
bermasalah (pengusaha atau pekerja/buruh) yang disertai alasan yang menjadi
dasar penyebab hubungan kerja tidak dapat berlangsung terus.
Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang
mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha
dengan pekerja/buruh atau serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai
hakm perselisihan kepentingan, perselihan hubungan kerja, dan perselisihan
antar seerikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan (Pasal 1 Undang-
36
Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
industrial.
Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan industrial mengenal 4 jenis perselisihan, yaitu:
a. Perselisihan hak karena tidak dipenuhinya hak, dimana hal ini timbul
karena perbedaan pelaksanaan atau perbedaan penafsiran terhadap
ketentuan UU, PK, PP atau PKB
b. Perselisihan kepentingan karena tidak adanya kesesuaian pendapat
mengenai pembuatan dan/atau perubahan syarat-syarat kerja dalam PK,
PP, atau PKB
c. Perselisihan PHK apabila tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai
pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan salah satu pihak
d. Perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dalam suatu perusahaan
karena tidak adanya kesusaian paham mengenai keanggotaan,
pelaksanaan hak dan kewajiban keserikatan.75
Cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan
Undang-Undang No 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan industrial. Penyelesaian melalui bipartit dalam Pasal 6
sampai Pasal 7, adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat
pekerja/buruh dengn pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan
hubungan industrial, dimana wajib diupayakan penyelesaiannya melalui
perundingan bipartite secara musyawarah untuk mencapai mufakat yang
harus diselesaikan paling lama 30 hari sejak tanggal dimulainya
perundingan. Jika dalam jangka 30 hari salah satu pihak menolak untuk
berunding atau tidak tercapai kesepakatan maka perundingan bipartit
dianggap gagal.
75
R. Joni Bambang, Op.Cit., h. 309-310
37
Penyelesaian melalui mediasi dalam Pasal 8 sampai Pasal 16, adalah
penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan PHK, dan
perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaa melalui
musyawarah ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral. Dalam
waktu selambat-lambatnya 7 hari kerja setelah menerima pelimpahan
penyelesaian perselisihan, mediator harus sudah mengadakan penelitian tentang
duduk perkara dan segera mengadakan sidang mediasi.
Jika tercapainya kesepakatan penyelesaiannya, maka proses seperti apa
yang dilakukan dalam penyelesaian bipartit harus berlakukan. Sementara, jika
tidak tercapai kesepakatan PPHI melalui mediasi, maka;
a. Mediator mengeluarkan anjuran tertulis
b. Anjuran tertulis sebagaimana dimaksud huruf a dalam waktu selambat-
lambatnya 10 hari kerja sejak sidang mediasi pertama harus sudah
disampaikan kepada para pihak
c. Para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis kepada
mediator yang isinya menyetujui atau menolak anjuran tertulis, dalam
waktu selambat-lambatnya 10 hari pekerja setelah menerima anjuran
tertulis
d. Pihak yang tidak memberikan pendapatnya sebagaimana dimaksud
dalam huruf c dianggap menolak anjuran tertulis
e. Dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis sebagaiman dimaksud
dalam huruf a, maka dalam waktu selambat-lambatnya 3 hari kerja sejak
anjuran tertulis disetujui, mediator harus sudah selesai membantu para
pihak membuat perjanjian Bersama untuk kemudian didaftar pada
pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri di wilayah
hukum pihak-pihak mengadakan perjanjian Bersama untuk mengadakan
akta bukti pendaftaran, yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
perjanjian Bersama
f. Bilamana perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam huruf e
tidak dilaksanakan oleh salah satu diantara para pihak, maka pihak yang
dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada pengadilan
38
hubungan industrial pada pengadilan negeri di wilayah perjanjian
Bersama didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi. 76
Penyelesaian melalui konsiliasi diatur dalam Pasal 17 sampai Pasal 29
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan industrial. Adalah penyelesaian perselisihan kepentingan,
perselisihan PHK atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya
dalam satu perusahaan melalui suatu musyawarah yang ditengahi oleh seorang
atau lbih konsiliator yang netral.77
Jika proses konsiliasi tidak mencapai
kesepakatan, salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan
hubungan.
Waktu yang diberikan paling lambat 7 hari kerja setelah menerima
permintaan penyelesaian perselisihan secara tertulis, konsiliator harus sudah
mengadakan penelitian tentang duduknya perkara dan selambat-lambatnya pada
hari kerja kedelapan harus sudah melakukan sidang konsiliasi pertama. Dimana
konsiliator dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir dalam sidang
guna diminta atau didengar keterangannya. Jika tercapai kesepakatan
penyelesaian perselisihan hubungan industril melalui konsiliasi, maka dibuat
perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh
konsiliator dan didaftar di pengadilan hubungan industrial pada pengadilan
negeri diwilayah hukum pihak-pihak mengadakan perjanjian Bersama untuk
mendapatkan akta bukti pendaftaran.
76
Koesparmono Irsan, Op.Cit., h. 126-127 77
Ibid.
39
Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan
hubungan industrial melalui konsiliasi, maka:
a. Konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis
b. Anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam waktu
selambat-lambatnya 10 hari sejak sidang konsiliasi pertama harus sudah
disampaikan kepada para pihak
c. Para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis kepada
konsiliatr yang isinya menyetujui atau menolak anjuran tertulis dalam
waktu selambat-lambatnya 10 hari kerja setelah menerima anjuran
tertulis
d. Pihak yang tidak memberikan pendapatnya sebagaimana dimaksud pada
huruf c dianggap menolak anjuran tertulis
e. Dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis sebagaimana
dimaksud pada huruf a dalam waktu selambat-lambatnya 3 hari kerja
sejak anjuran tertulis disetujui, konsiliator harus sudah selesai
membantu para pihak membuat perjanjian Bersama untuk kemudian
didaftar dipengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri di
wilayah pihak-pihak mengadakan perjanjian Bersama untuk
mendapatkan akta bukti pendaftaran.
Penyelesaian melalui arbitrase dalam Pasal 29 sampai Pasal 54 Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan hubungan
industrial adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan
umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh
para pihak yang bersengketa. PPHI melalui arbitrase meliputi perselisihan
kepentingan dan perselisihan antara serikat pekera/serikat buruh hanya dalam
satu perusahaan. PPHI melalui arbiter dilakukan atas dasar kesepakatan para
piahk yang berselisih. Kesepakatan para pihak yang berselisih dinyatakan
secara tertulis dalam surat perjanjian arbitrase, dibuat rangkap 3 dan masing-
masing pihak mendapatkan satu yang mempunyai kekuatan hukum yang sama.
2. KETENTUAN PHK SEPIHAK
40
PHK Sepihak adalah pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh
perusahaan tanpa melalui proses hukum atau penetapan Lembaga penyelesaian
hubungan industrial dan merupakan awal penderitaan bagi pekerja/buruh karena
PHK yang dilakukan perusahaan akan membuat hak-hak pekerja/buruh hilang.
Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerja Pasal
151 ayat (2), (3) jo Pasal 155 ayat (1) dan Pasal 170 tidak diatur adanya PHK
Sepihak.
Dalam ketentuan pasal 151 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerja dijelaskan bahwa PHK tidak boleh
dilakukan secara sepihak melainkan harus melalui perundingan terlebih dahulu,
bila perundingan tidak menghailkan persetujuan, maka pengusaha hanya dapat
memutuslan hubungan kerja pekerja/buruh setelah memperoleh penetapa dari
Lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial begitu juga dengan
ketentuan Pasal 151 ayat (3).
Pemutusan hubungan kerja tanpa adanya penetapan dari Lembaga
penyelesaian hubungan industrial akan batal demi hukum (Pasal 155 ayat 1)
dan selama putusan Lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial
belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap
melaksanakan segala kewajiban (Pasal 155 ayat (2). Dalam Pasal 15 ayat (3)
pekerja/buruh harus tetap bekerja dan pengusaha tetap harus membayar upah
pekerja/buruh selama belum ada keputusan dari Lembaga penyelesaian
hubungan industrial, namun pengusaha dapat melakukan pengecualian berupa
41
tindakan skorsing kepada pekera/buruh yang sedang dalam prose PHK dengan
tetap mebayarkan upah serta hak-hak yang biasa diterima pekerja/buruh.
Dimana jika perusahaan tetap tidak mau menerima si pekerja/buruh
dan tetap tidak mau membayarkan gajinya, maka menurut Pasal 96 Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
industrial, apabila dalam persidangan pertama secara nyata pihak pengusaha
terbukti tidak melaksanakan kewajibannya, maka hakim ketua sidang harus
segera memberikan putusan sela berupa perintah kepada pengusaha untuk
membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh
yang bersangkutan. Jika putusan sela tersebut tidak dilaksanakan oleh
pengusaha, Hakim Ketua Sidang memerintahkan Sita Jaminan dalam sebuah
Penetapan Pengadilan Hubungan Industrial. Putusan sela tersebut tidak dapat
diajukan perlawanan dan/atau tidak dapat digunakan upaya hukum.
Bagi pekerja/buruh yang mengalami PHK maka alasan PHK dapat
menentukan pekerja/buruh berhak atau tidak atas uang pesngon, uang
penghargaan dan uang penggantian hak yang dimana diatur dalam Pasal 156,
asal 160 sampai dengan Pasan 169 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan sebagai bentuk perlindungan hukum yang diberikan.
Dari penjelasan yang diatas dapat diketahui bahwa Hubungan kerja
terjadi setelah adanya perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha,
dimana perjanjan kerja yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan peraturan
yang berlaku. Dalam perjanjian kerja harus memuat tentang hak-hak dan
42
kewajiban yang disepakati oleh para pihak yang bersangkutan. Dalam
perjanjian kerja terdapat 2 pelaksanaan yaitu perjanjian kerja untuk waktu
tertentu (PKWT) dan perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu (PKWTT).
Dimana dalam perjanjian kerja terdapat perjanjian kerja Bersama yang
merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa
serikat pekera/serikat buruh dengan pengusaha yang memuat syara kerja, hak
dan kewajiban kedua belah pihak. Sedangkan peraturan perusahaan adalah
ketentuan tentang syarat kerja serta tata tertib yang dibuat oleh perusahaan.
Dari penjelesan tentang konsep PHK SEPIHAK dan PHK dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan diatas penulis menyimpulkan bahwa
masalah ketenagakerjaan dapat dilihat dari berbagai faktor dan makna. Dimana
berakhirnya hubungan kerja yang dialami pekerja/buruh akan membuat
pekerja/buruh menderita karena kehilangan mata pencaharian untuk membiayai
keperluan sehari-hari baginya dan keluarganya.
Dimana dalam ketentuan perundang-undang dijelaskan bahwa
pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal
tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara
pekerja/buruh dan pengusaha. Pemutusan hubungan kerja yang terjadi karena
berakhirnya waktu yang telah ditetapkan tidak menimbulkan masalah antara
kedua belah pihak. Namun bila pemutusan hubungan kerja yang dilakukan
pengusaha kepada pekerja/buruh secara sepihak akan menimbulkan
permasalahan.
43
Pengusaha dan pekerja/buruh dengan segala upaya harus
mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja, namun bila
upaya yang dilakukan gagal maka wajib melakukan perundingan. Jika
perundingan tetap tidak menghasilkan persetujuan maka Pengusaha baru dapat
melakukan pemutusan hubungan setelah mendapatkan penetapan dari Lembaga
penyelesaian perselisihan.
Dimana dalam hal pemutusan hubungan kerja pengusaha dapat
melakukan pemutusan jika pekerja/buruh melakukan kesalahan berat atau
kesalahan ringan. Untuk memberikan perlindugan hukum yang diberikan untuk
pekerja/buruh yang di PHK adalah menyangkut kebenaran status pekerja dalam
hubungan kerja serta kebenaran alasan dilakukan PHK. Pengusaha diwajibkan
memberikan hak-hak yang dimiliki pekerja/buruh sehubungan dengan
pemutusan hubungan kerja yang berupa uang pesangon unag penghargaan masa
kerja dan uang penggantian hak.
Dalam penyelesaian perselisihan ketenagakerjaan wajib dilaksanakan
oleh pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat buruh secara musyawarah untuk
mufakat, jika penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat tidak tercapai,
maka pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh
menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui prosedur penyelesaian
perselisihan hubungan industrial yang di atur dalam Undang-Undang.
Penyelesaian melalui Bipartit, Mediasi, Konsilisasi dan Arbitrase.
B. HASIL PENELITIAN
44
I. KASUS I PHK SEPIHAK DI PT. BEES FINANCE
a. KASUS POSISI
Dalam kasus PHK SEPIHAK antara, Vilus Dalanggo (Penggugat)
melawan Pimpinan PT. Bees Finance (Tergugat). Penggugat bekerja selama 2
tahun 4 bulan, sejak 16 Mei 2016. Di berhentikan secara sepihak pada 30
September 2013, jabatan sebagai Acount Officer, gaji Rp. 1.350.000, alasan
berakhir sesuai kontrak kerja. Penggugat tidak pernah menerima sanksi dalam
bentuk apapun dari Tergugat, juga tidak merundingkan maksud PHK, sehingga
PHK telah bertentangan dengan Pasal 151 ayat (1) dan ayat (2) Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
PHK yang dilakukan oleh Tergugat telah bertentangan dengan UU No.
13 tahun 2003 Pasal 59 dan Permenaker No. Per.02/Men/1993 tentang
kesepakatan kerja waktu tertentu. Dalam Pasal 151 ayat (3) UU No. 13 tahun
2003 PHK yang sah adalah PHK yang dilakukan setelah mendapat penetapan
dari Lembaga penyelesaian hubungan industrial (LPPHI), Karena PHK yang
dilakukan Tergugat tidak sesuai ketentuan Pasal 151 UU No. 13 tahun 2003
maka PHK ini adalah PHK Sepihak. Penggugat berusaha menyelesaikan
Perselihan melalui Mediator di Dinas Tenaga Kerja Sosil Kota Gorontalo, 3
kali pertemuan namun tidak mencapai kesepakatan karen Tergugat tidak pernah
hadir. Dimana PHK belum ada putusan dari LPPHI maka Tergugat wajib
membayar hak-hak Penggugat sesuai Pasal 156 ayat 2, 3, dan 4 UU No. 13
45
tahun 2003 berupa Uang Pesangon, Penghargaan masa kerja serta Penggantian
hak, terdiri atas:
Cuti tahunan yang belum diambil
Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan
PHK belum mempunyai kekuatan hukum tetap sehinnga berhak atas
uang Proses sejak bulan oktober 2013 sampai PHK mempunyai kekuatan
hukum tetap, juga menuntut mengembalikan Izajah Terakhir dan Bpkb motor
yang ditahan sebagai persyaratan masa kerja.
Terhadap Gugatan yang dilakukan oleh Vilus Dalanggo sebagai
Penggugat kepada PT. Bees Finance sebagai pihak Tergugat, Hakim
mempunyai beberapa pertimbangan hukum diantaranya sebagai berikut:
1) Menimbang, bahwa dari eksepsi Tergugat tidak pernah di panggil dalam
menyelesaikan Perselisihan di tingkat Mediator dan tidak pernah
menerrima anjuran, dimana bertentang dengan ketentuan yang berlaku
maka risalah yang dikeluarkan Mediator adalah cacar formil, maka
Majelis Hakim yang terhomat sudah sepatutnya menyatakan Gugatan
ditolak dan dibantah oleh Penggugat bahwa Tergugat telah di panggil 3
kali pertemuan namun tidak mempunyai itikat baik untuk
menyelesaikan PHK dan penyelesaian perkara di tingkat mediator telah
sesuai dengan ketentuan Ketenagakerjaan yang berlaku maka eksepsi
Tergugat haruslah ditolak.
46
2) Menimbang, sesuai dengan ketentuan Pasal 83 ayat (1) UU No. 2 tahun
2004 yakni “Pengajuan gugatan yang tidak dilampiri risalah
penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi, maka hakim Pegadilan
Hubungan Industrial wajib mengembalikan gugatan kepada Penggugat”
3) Menimbang, bahwa Gugatan yang diajukan Penggugat ke Pengadilan
Hubungan Industrial telah dilampiri risalah yang dikeluarkan oleh
Mediator pada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja kota Gorontalo telah
sesuai UU No. 2 tahun 2004. Maka Majelis Hakim berpendapat hal ini
telah sesuai dengan Pasal 83 ayat (1) UU No. 2 tahun 2004 oleh karena
eksepsi Tergugat harus ditolak.
Terhadap Gugatan yang dilakukan oleh Vilus Dalanggo sebagai pihak
Penggugat Pengadilan hubungan industrial pada pengadilan Negeri Gorontalo
telah mengambil keputusan, yaitu Putusan Nomor 01/G/2014/PHI/PN.Gtlo
pada tanggal 25 April 2014 Hakim memutuskan:
1. Menolak eksepsi Tergugat seluruhnya
2. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian
3. Mengabulkan Tergugat melakukan PHK SEPIHAK
4. Menghukum Tergugat harus mengembalikan ijazah terakhir dan
BPKB motor Penggugat
5. Menghukum Tergugat membayar hak-hak Penggugat berupa:
Uang pesangon (3 bulan upah x 2 x Rp. 1.350.000) = Rp.
8.100.000
47
Uang penggantian hak
15% x uang pesangin sebesar Rp. 8.100.000 = Rp. 1.215.000
Uang cuti tahunan satu tahun terakhir sebanyak 12 hari
sebesar dibagi 25 hari kerja x Rp. 1.350.000 = Rp. 648.000
Total = Rp. 9.963.000
6. Menghukum Tergugat membayar uang proses sejak bulan Oktober
2013 sampai dengan putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap
dikalikan upah Rp. 1.350.000
7. Membebankan biaya perkara pada tingkat pertama ini kepda Negara
8. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya
Kemudian pada Tanggal 8 Mei 2014 PT. Bees Finance yang dahulu
disebut sebagai Tergugat sekarang Pemohon Kasasi menggugat kepada yang
dahulu di sebut sebagai Penggugat sekarang Termohon Kasasi, sebagai pihak
Tergugat mengajukan permohonan Kasasi dengan akte permohonan Kasasi
Nomor 443 K/Pdt.Sus-PHI/2014. Untuk. Dengan menyebutkan alasan-alasan
pengajuan permohonan kasasi dalam memori Kasasi sebagai berikut:
1) Bahwa keberatan tersebut dapat dibenarkan, oleh karena setelah
meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 12 Mei 2014 dan
kontra memori kasasi tanggal 30 Mei 2014 dihubungkan dengan
pertimbangan judex facti, dalam hal ini pengadilan hubungan
industrial pada pengadilan negeri Gorontalo telah salah menerapkan
hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
48
2) Bahwa keberatan tentang upah selama proses PHK (Pemutusan
Hubungan Kerja) dapat dibenarkan, karena putusan yang
menghukum Tergugat/Pemohon Kasasi untuk membayar upah tidak
memberikan rasa keadilan sesuai dengan Pasal 100 UndangUndang
Nomor 2 Tahun 2004, dengan berakhirnya hubungan kerja karena
berakhirnya waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian kerja
waktu tertentu, oleh karena itu sudah sepatutnya dan seadilnya,
Tergugat tidak dihukum untuk membayar upah proses pasca
tindakan Pemutusan Hubungan Kerja a quo.
3) Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbang tersebut, Mahkamah
Agung berpendapat, terdapat cukup alasan untuk mengabulkan
permohonan Kasasi dari Pemhon Kasis: Pimpinan Bees Finan dan
membatalkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Pada
Pengadilan Negeri Gorontalo Nomor 01/G/2014/ PHI.PN.Gtlo.,
tanggal 25 April 2014.
MENGADILI
Mengabulkan permohona Kasasi dari Pemohon Kasasi PT. Bees
Finance
Membatalkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri Gorontalo Nomor 01/G/2014.PHI.PN.Gtlo., tanggal 25 April 2014
MENGADILI SENDIRI
49
Dalam Eksepsi
1) Menolah eksepsi Tergugat seluruhnya
Dalam Pokok Perkara
2) Mengabulkan Gugatan Penggugatan untuk sebagian
3) Menyatakn Tergugat melakukan PHK Sepihak
4) Menghukum Tergugat harus mengembalikan Ijazah Terakhir dan BPKB
motor Penggugat
5) Menghukum Tergugat membayar hak-hak Penggugat berupa:
Uang Pesangon (3 bulan Upah x 2 x Rp. 1.350.000) = Rp. 8.100.000
Uang penggantian Hak
15% uang pesangon sebesar Rp. 8.100.000 = Rp. 1.215.000
Uang cuti tahunan satu tahun terakhir sebanyak 12 hari sebesar
dibagi 25 hr kerja dikali Rp. 1.350. 000 = Rp. 648.000
Total = Rp. 9.963.000
b. ANALISIS
Penulis sependapat dengan pertimbangan Majelis Hakim yang menolak
Eksepsi Tergugat karena dalam Pemutusan Hubungan kerja yang dilakukan
Tergugat tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur.
Dimana PHK yang dilakukan Tergugat dengan alasan berakhir sesuai
kontrak kerja tidak sesuai dengan syarat-syarat perjanjian kerja dimana
dilakukan sesuai kesepakatan kedua belah pihak dalam Pasal 1320 KUHPer.
50
Tergugat juga tidak melakukan perundingan terlebih dahulu dengan Penggugat.
Dimana dalam prosedur Pemutusan Hubungan Kerja, Tergugat harusnya
mengusahakan agar jangan terjadi PHK dan menjelaskan maksud PHK yang
dilakukan. Namun bila perundingan yang dilakukan tidak menemukan
kesepakatan Tergugat baru bisa melakukan Pemutusan setelah mendapatkan
Penetepan dari Lembaga penyelesian perselisihan hubungan industrial sesuai
ketentuan Pasal 151 ayat (1), (2), dan (3)
Dalam menyelesaikan perselisihan di tingkat Meditor Tergugat tidak
mempunyai itikad baik untuk menyelesaikan PHK. Menurut Penulis tindakan
yang dilakukan oleh Tergugat salah karena seharusnya Tergugat memiliki itikat
baik untuk menyelesaikan permasalahan PHK.
Berdasarkan Pasal 83 ayat (1) penulis sependapat dengan Majelis hakim
untuk menolak eksepsi Tergugat karena proses mediasi dikantor Dinas Sosial
dan Tenga kerja Pemerintahan kota Gorontalo sudah sesuai dengan ketentuan
yang berlaku namun Tergugat yang tidak mempunyai itikat baik untuk
menyelesaikan Perselisihan.
Sehingga pemutusan hubungan kerja yang dilakukan adalah PHK
Sepihak karena tanpa melakukan kesepakatan sesuai dengan syarat perjanjian
kerja, tanpa melakukan perundingan terlebih dahulu sesuai ketentuan Pasal 151
ayat (1), (2), dan (3). Tergugat juga bertanggung jawab atas pemutusan
hubungan kerja yang dilakukannya sesuai dengan ketentuan Pasal 156 (2), (3),
dan (4) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003.
51
Mengenai Mahkamah Agung berpendapat bahwa pertimbangan judex
facti, hakim pengadilan negeri Gorontalo telah salah menerapkan hukum.
Dimana keberatan tentang upah selama proses PHK karena tidak memberikan
rasa keadilan. Mengenai hal ini Penulis tidak sependapat dengan pendapat
Mahkamah Agungm, Penulis beranggap bahwa judex facti telah benar
menerapkan hukum karena dala konsep pemutusan hubungan kerja yang
dilakukan pengusaha (Tergugat) mengharuskan atau mewajibkan pengusaha
untuk memberikan uang pesangon, uang penggantian hak, dan uang cuti
tahunan.
II. KASUS II PHK SEPIHAK DI PT. FEDERAL
INTERNATIONAL FINANCE (FIF) GROUP CABANG
TEMBUNG
a. KASUS POSISI
Dalam kasus PHK SEPIHAK antara Lestari Ningrum Nasution
melawan PT. Federal International Finance (FIF) Group cabang tembung.
Lestari Ningrum Nasution bekerja sejak 15 Maret 2005, diberhentikan 14
Januari 2015, masa kerja Penggugat 9 tahun 10 bulan, dengan jabatan sebagai
kasir dan gaji Rp. 1.974.000.
15 Juli 2014 Penggugat menerima surat peringatan ke-1 karena
terlambat beberapa menit masuk kantor, selang 1 bulan tanggal 19 Agustus
2014 menerima surat peringantan ke-3 dengan alasan lalai kerena tidak ada
52
serah terima kunci cash box dan saldo per 30 juli 2014. Didalam perjanjian
Bersama pengakhiran hubungan kerja yang ditandatangani Penggugat mendapat
pesangon uang tunai sebesar Rp. 31.879.762, dipotong dengan pajak yang
ditanggung Penggugat, juga pembayaran sejumlah kewajiban (hutang piutang)
pada Tergugat dan koperasi FIF 2000 dan penandatanganan perjanjian Bersama
pengakhiran hubungan kerja pada 5 Januari 2015 Penggugat tidak menerima
apa-apa dari Tergugat. Pada 10 April 2015 Tergugat hanya mengirim uang ke
rekening Penggugat sebesar Rp. 13.911.300.
Tindakan Tergugat adalah pemutusan hubungan kerja (PHK) Sepihak
karena tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 151 ayat (2) dan (3) jo Pasal 151
UU No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Dimana masalah ini telah
diproses di kantor Dinas Sosial dan Tenaga kerja Provinsi Sumatera utara
selaku pihak Mediator dan mengeluarkan anjuran N0.814-6/DTK-IR/2015, 30
Juli 2015. Namun Penggugat keberatan sehingga tidak menerima anjuran dan
berdasarkan Pasal 14 ayat (1) UU No. 2004 dalam hal anjuran tertulis ditolak
oleh satu pihak, maka salah satu pihak dapat melanjutkan penyelesaian
perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri.
Pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dilakukan Tergugat tidak sesuai
dengan UU Ketenagakerjaan sehingga PHK dalam Perjanjian Bersama
Pengakhiran hubungan kerja 5 Januari 2015 menjadi tidak sah dan batal demi
hukum.
53
Menghukum Tergugat membayar hak-hak Penggugat pada Pasal 156
ayat (2), (3), dan (4) dan juga Pasal 155 ayat (1) sebagai berikut:
Pesangin 2 x 9x Rp. 1.974.000 = Rp. 35.532.000
Penghargaan masa kerja 4 x Rp. 1.974.000
Jumlah = Rp.43.428.000
Penggantian Hak 15% x (43.428.000) = Rp. 6.514.200
Upah selama dalam proses (6 x Rp.1.974.000) = Rp.11.844.000
Jumlah Total Seluruhnya = Rp.61.786.200
Terhadap gugatan yang dilakukan oleh Lestari Ningrum Nasution
sebagai Penggugat kepada PT. Federal International Finance (FIF) Group
cabang tembung sebagai pihak Tergugat, Hakim mempunyai beberapa
pertimbangan hukum diantaranya sebagai berikut:
Dalam Eksepsi
1) Tentang gugatan Penggugat kabur
2) Tentang pelanggaran pasal 1338 KUHPer
3) Menimbang, bahwa alasan Eksepsi Tergugat tentang Penggugat
telah melanggar Pasal 1338 KUHPer, karena Penggugat telah
mengakui Perjanjian Bersama, akan tetapi dalam dalil berikutnya
Penggugat sudah mengarah kepada tidak mengakui adanya
Perjanjian Bersama yang diduga untuk membatalkan kesepakatan
54
didalamnya, sehingga Tergugat memohon agar gugatan Penggugat
tidak dapat diterima.
Terhadap gugatan yang dilakukan oleh Lestari Ningrum Nasution
sebagai pihak Penggugat Pengadilan hubungan industrial pada pengadilan
Negeri Medan telah mengambil keputusan, yaitu Putusan Nomor 151/Pdt.Sus-
PHI/2015/PN.Mdn tanggal 22 Febuari 2016 Hakim memutuskan:
Dalam Konpensi
Dalam Eksepsi:
1) Menolak Eksepsi Tergugat untuk seluruhnya
Dalam pokok perkara:
2) Menolak gugatan Penggugat Penggugat untuk seluruhnya
Dalam Rekonpensi
3) Mengabulkan gugatan Penggugat dalam Rekonpensi/Tergugat
dalam Konpensi untuk sebagaian
4) Menyatakan pengakhiran hubungan kerja berdasarkan Perjanjian
Bersama tanggal 5 Hanuari 2015 adalah sah dan mengikat bagi para
pihak
5) Menyatakan hak-hak Tergugat dalam Rekonpensi/Penggugat dalam
konpensi akibat berkhirnya hubungan kerja adalah berupa:
55
a) Pesangon yang bersumber dari pembayaran dana pensiun yang
iurannya dibayar oleh Penggugat dalam Rekonpensi/Tergugat
dalam Konpensi sebesar Rp. 19.598.715
b) Pembayaran yang telah dilakukan oleh Penggugat dalam
Rekonpensi/Tergugat dalam Konpensi sebesar Rp. 13.
911.3000
c) Hak Tergugat dalam Rekonpensi/Penggugat dalam
Rekonpensi/Penggugat dalam Konpensi sebesar Rp. 9.789.335
6) Menolak gugatan Penggugat dalam Rekonpensi/Tergugat dalam
Konpensi untuk selain dan selebihnya
Dalam Konpensi Dan dalam Rekonpensi:
7) Membebankan kepada Negara biaya yang timbul dalam perkaran
ini sebesar Rp. 736.000
Kemudian pada Tanggal 5 April 2016 Lestari Ningrum Nasution yang
dahulu disebut sebagai Penggugat sekarang Pemohon Kasasi menggugat
kepada yang dahulu di sebut sebagai Tergugat sekarang Termohon Kasasi,
sebagai pihak Penggugat mengajukan permohonan Kasasi dengan akte
permohonan Kasasi Nomor 600 K/Pdt.Sus-PHI/2016. Untuk. Dengan
menyebutkan alasan-alasan pengajuan permohonan kasasi dalam memori
Kasasi sebagai berikut:
56
Bahwa keberatan-keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena
setelah meneliti secara saksama memori kasasi yang diterima tanggal 18 Maret
2016 dan kontra memori kasasi yang diterima tanggal 18 April 2016
dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan tidak salah menerapkan
hukum, dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Bahwa antara Pemohon Kasasi dengan Termohon Kasis telah
membuat dan menandatangani Perjanjian Bersama untuk
mengakhiri hubungan kerja 5 Januari 2015
2. Bahwa Perjanjian Bersama menjadi hukum dan wajib dilaksanakan
para pihak sesuai Pasal 7 ayat (2) Undang Undang Nomor 2 Tahun
2004 sehingga mengikat Pemohon Kasasi dengan Termohon Kasasi
dengan demikian tuntutan uang pesangon tidak beralasan.
3. Bahwa Perjanjian Bersama (PB) yang belum didaftarkan ke
pengadilan tidak serta merta mengakibatkan batalnya Perjanjian
Bersama (PB), karena sesuai Pasal 7 ayat (3), (4), (5) Undang
Undang Nomor 2 Tahun 2004 perdaftaran bertujuan untuk
memperolah titel eksekutorial sehingga apabila para pihak tidak
melaksanakan isi Perjanjian Bersama (PB) secara sukarela dapat
dilaksanakan atas bantuan pengadilan
4. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula
ternyata bahwa putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak
57
bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka
permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon KasasiLESTARI
NINGRUM NASUTIONtersebut harus ditolak
MENGADILI
1) Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi Lestari Ningrum
Nasution
2) Membebankan biaya perkara kepada Negara
b. ANALISIS
Dalam kasus posisi diatas penulis berpendapat bahwa pemutusan
hubungan kerja yang dilakukan PT Federal International Finance (FIF) Group
(Tergugat) Cabang Tembung terhadap Lestari Ningrum Nasution (Penggugat)
pada tanggal 5 Januari 2015 tanpa alasan yang jelas tidak sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. Dimana Lestari Ningrum Nasution menerima surat
peringatan pertama karena terlambat beberapa menit dan surat peringatan ketiga
karena alasan lalai tidak serah terima kunci cash box dan saldo. Menurut
penulis seharusnya pemutusan hubungan kerja yang dilakukan disertai dengan
alasan yang berkenaan dengan pribadi buruh atau melihat dari pribadi buruh,
alasan berhubungan dengan kelakuan buruh, alasan yang berkenaan dengan
jalannya perusahan.78
Juga harus disertai dengan surat peringatan pertama,
peringatan kedua, dan peringatan ketiga jika pekerja/buruh melakukan
pelanggaran dalam, perjanjian kerja, peraturan perusahan atau perjanjian kerja.
78
Iman Soepomo, Loc.Cit (artinya: dari Iman Soepomo halam 78)
58
Penulis berpendapat dalam menandatangan perjanjian Bersama
pengakhiran hubungan kerja yang dibuat tidak memiliki kesepakatan kedua
belah pihak dan ada unsur pemaksaan, padahal dalam Pasal 1320 syarat sahnya
menurut Penulis adalah pemutusan hubungan kerja seecara sepihak
karena dalam pemutusan hubungan kerja Tergugat hanya meberikan surat
peringatan pertama dan surat peringatan ketiga. Dalam kasus diatas dijelaskan
bahwa Penggugat disuruh Branch Manager untuk menandatangani perjanjian
Bersama dengan keadaan, padahal dalam perjanjian Bersama dijelaskan bahwa
perjanjian bersama merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat
buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi
yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau
beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat
kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak.79
Sehinga menurut penulis
perjanjian Bersama yang dibuat oleh Tergugat tidak sah karena tidak sesuai
dengan syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPer.
Dalam pertimbangan hakim alasan Eksepsi Tergugat berikutnya tentang
Penggugat telah melanggar pasal 1338 KUH Perdata, karena Penggugat telah
mengakui Perjanjian Bersama, akan tetapi dalam dalil berikutnya Penggugat
sudah mengarah kepada tidak mengakui adanya Perjanjian Bersama yang
diduga untuk membatalkan kesepakatan di dalamnya, sehingga Tergugat
memohon agar gugatan Penggugat tidak dapat diterima. Mengenai hal ini
79
R. Joni Bambang S., Op.Cit., h. 188.
59
Penulis berpendapat tidak setuju karena kesepakatan yang dibuat tidak sesuai
dengan syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 juga dalam
perjanjian Bersama yang ditandatangani Penggugat tidak buat secara
musyawarah antara kedua belah pihak, sehingga Penggugat berhak menyelesai
perselisihan melalui proses PPHI.
Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan Tergugat menurut Penulis
juga tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan Pasal 151 ayat (1) (2) dan (3) karena tidak melakukan
upaya untuk menghindari PHK, juga tidak melakukan perundingan dan
memutuskan hubungan kerja sebelum mendapatkan penetapan dari Lembaga
penyelesaian perselihan hubungan industrial.
Dalam pertimbangan hukum penulis berpendapat bahwa Gugatan
Penggugat tidak melanggar Pasal 1338 karena Perjanjian Bersama yang dibuat
Tergugat bukan merupakan hasil perundingan antara kedua belah pihak.
Sehingga menurut Penulis pemutusan hubungan kerja yang dilakukan Tergugat
tidak sah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang ketenagakerjaan.
III. KASUS 3 PHK SEPIHAK DI PT. TRANSPAASIFIC
AGRO INDUSTRY
a. KASUS POSISI
60
Dalam kasus PHK SEPIHAK antara Suhaiba, melawan PT. Transpasific
Agro Industry. Penggugat telah bekerja 2 tahun lebih sebagai pekerja/buruh
harian lepas. Pada bulan September diputus hubungan kerja karena melakukan
kesalahan berat. Dimana Tergugat tidak memberikan surat teguran atau
peringatan malah lansung membuat keputusa untuk memberhentikan secara
sepihak.
Sebelumnya Penggugat melaporkan masalah ini ke Dinas Tenaga Kerja
dan Transmigrasu Kabupaten Banyuasin karena perusahaan belum ada serikat
pekerja atau serikat buruh, sehingga proses penyelesaiaan perselisihan
hubungan industrial secara bipartit tidak bisa dilaksanakan. Dalam proses
mediasi atau tripartit Penggugat mengetahui bahwa selama menjadi
pekerja.buruh diperusahaan tidak pernah dicatatkan ke Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Kabupaten Banyuansi dan tidak dilengkapi dengan Perjanjian
Kerja (PKWY/PKHL), sehingga Tergugat menlanggar Pasal 12 ayat (1), (2),
dan (3) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia
Nomor: Kep.100/ MEN/VI/2004 Tentang “Ketentuan Pelaksanaan Kerja Waktu
Tertentu.
Dalam Pasal 54 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003 menyatakan
“Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud ayat (1) dibuat sekurang-kurangnya
rangkap 2 (dua) yang mempunyai kekuatan hukum yang sama, pekerja/buruh
dan pengusaha masing-masing mendapat 1 lembar salinan perjanjian kerja”.
61
Kesimpulan perundingan mediasi Tergugat tetap pada pendiriannya
tidak mau membayarkan hak pekerja/buruh yang di PHK (Penggugat), tanggal
13 Febuari 2015 mediator Hubungan Industrial Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi mengeluarkan anjuran menuntut haknya. Sehingga Penggugat
berinisiatif menggugat permasalahan ini melalui jalur pengadilan hubungan
industrial.
Dimana Penggugat menuntut hak-hak berupa uang Pesangon, uang
Penghargaan masa kerja dan uang Pergantian hak termasuk hak-hak lainnya
dalam ketentuan Pasal 156 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
juga menuntut uang pisah yang diatur dalam Perjanjian Kerja
Bersama.Tergugat juga berkewajiban apabila melakukan Pengakhiran
hubungan secara sepihak sesuai Pasal 62 UU No.13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
Terhadap gugatan yang dilakukan oleh Suhaina sebagai Penggugat
kepada PT. Transpasific Agro Industry sebagai pihak Tergugat, Hakim
mempunyai beberapa pertimbangan hukum diantaranya sebagai berikut:
1. Menimbang, bahwa Putusan Sela/Provisi yang dimasudkan oleh
penggugat tidak diatur dalam Undang-undang 13 Tahun 2003,
karena Putusan Provisi yang dimaksudkan pada Undang-undang
nomor 2 Tahun 2004 dan dapat dikabulkan hanyalah hal yang
berkaitan dengan penyimpangan pemutusan hubungan kerja yaitu
62
perusahaan melakukan skorsing terhadap pekerja/buruh secara
tertulis.
2. Menimbang, bahwa dalam perkara a qou, Penggugat tidak
diskorsing oleh tergugat akan tetapi diberhentikan dengan demikian
gugatan provisi penggugat dalam haruslah dinyatakan ditolak
Terhadap gugatan yang dilakukan oleh Suhaiba sebagai pihak
Penggugat Pengadilan hubungan industrial pada pengadilan Negeri Palembang
telah mengambil keputusan, yaitu Putusan Nomor 25/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Plg
pada tanggal 31 Juli 2015 Hakim memutuskan:
Dalam Provisi:
1) Menolak gugatan Penggugat dalam provisi
Dalam pokok perkara
2) Menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya
3) Membebankan biaya yang timbul dalam perkara ini sejumlah Rp.
506.000
Kemudian pada Tanggal 24 Agustus 2015 Suhaiba yang dahulu disebut
sebagai Penggugat sekarang Pemohon Kasasi menggugat kepada PT.
Transpasific Agro Industry yang dahulu di sebut sebagai Tergugat sekarang
Termohon Kasasi, sebagai pihak Penggugat mengajukan permohonan Kasasi
dengan akte permohonan Kasasi Nomor 732 K/Pdt.Sus-PHI/2016. Untuk.
63
Dengan menyebutkan alasan-alasan pengajuan permohonan kasasi dalam
memori Kasasi sebagai berikut:
1) Bahwa keberatan-keberatan kasasI tidak dapat dibenarkan oleh
kaena setelah meneliti secara seksama memori Kasasi tanggal 4
September 2015 dan kontra memori Kasasi tanggal 1 Juni 2016
dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti dalam hal ini
pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Palembang
tidak salah menerapkan hukum
2) Bahwa Penggugat adalah pekerja yang bekerja yang bekerja pada
perusahaan Tergugat dengan rata-rata sebanyak 16 hari kerja setiap
bulannya, yang jenis dan sifat pekerjaan demikian sesuai dengan
Pasal 10 dan 11 Kepmenakertrans Nomor Kep-100/Men/VI/2004
adalah pekerja harian lepas (PHL), sehingga status pekerja harian
lepas tidak berubah menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu
(PKWTT), oleh karena itu Penggugat tidak berhak mendapat uang
pengakhiran hubungan kerja.
3) Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, lagi pula
ternyata bahwa putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak
bertentangan dengan hukum dan/atau Undang-Undang, maka
permohonan Kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi Suhaiba,
tersebut harus ditolak.
MENGADILI
64
1. Menolak permohonan Kasasi dari Pemohon Kasasi Suhaiba
2. Membebankan biaya perkara kepada Negara
b. ANALISIS
Dalam kasus posisi diatas penulis berpendapat pemutusan hubungan
kerja antara PT. TRANSPASIFIC AGRO INDUSTRY (Tergugat) terhadap
Suhaiba penggugat dengan alasan melakukan kesalahan berat pada bulan
September 2014 tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Penulis berpendapat seharusnya dalam hubungan kerja dibuat perjanjian
kerja yang memuat syarat-syarat perjanjian kerja yang sah dalam Pasal 1320,
sehingga pekerjaan yang diperjanjian tidak bertentang dengan peraturan yang
berlaku, namun Tergugat tidak membuat perjanjian kerja dengan Penggugat
sehingga pekerja yang dilakukan telah melanggar peraturan yang berlaku.
Dalam perjanjian kerja untuk waktu tertentu harus dibuat secara tertulis untuk
melindungan salah satu pihak apabila terjadi perselisihan, sehingga Tergugat
telah melanggar Pasal 12 ayat (1), (2), dan (3) dan dalam pengakhiran
hubungan kerja telah diperjanjikan atau disepakati oleh kedua belah pihak.
Namun Tergugat tidak mencatatkan pekerja ke Dinas Tenaga keja dan
Transmigrasi Kabupaten Banyuasin.
Dalam pemutusan hubungan kerja yang dilakukan Tergugat menurut
penulis tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003
tentang ketenagakerjaan Pasal, 151 ayat (1), (2), dan (3), Pasal 161 ayat (1).
65
Dimana harus mengupayakan agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja,
apabila segala upaya yang dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak
dapat dihindari maka wajib melakukan perundingan, namun jika perundingan
yang dilakuka tidak dapat dihindari maka hanya dapat diputuskan setelah
mendapat penetapan dari Lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial. Tergugat juga seharusnya memberikan surat peringatan terlebih
dahulu jika Penggugat melakukan kesalahan berat, namun hal itu tidak
dilakukan.
Kesimpulan perundingan mediasi Tergugat tetap pada pendiriannya
tidak mau membayarkan hak pekerja/buruh yang di PHK (Penggugat), tanggal
13 Febuari 2015 mediator Hubungan Industrial Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi mengeluarkan anjuran menuntut haknya. Sehingga Penggugat
berinisiatif menggugat permasalahan ini melalui jalur pengadilan hubungan
industrial. Menurut Penulis tindakan yang dilakukan Tergugat tidak sesuai
dengan Undang Nomor Nomor 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerja yang ada
karena Tergugat memilik kewajiban sehubung dengan pemutusan hubungan
kerja yang dilakukannya untuk memberikan hak-hak yang harus diterima
Penggugat.
Dimana Penggugat menuntut hak-hak berupa uang Pesangon, uang
Penghargaan masa kerja dan uang Pergantian hak termasuk hak-hak lainnya
dalam ketentuan Pasal 156 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
juga menuntut uang pisah yang diatur dalam Perjanjian Kerja
66
Bersama.Tergugat juga berkewajiban apabila melakukan Pengakhiran
hubungan secara sepihak sesuai Pasal 62 UU No.13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Maka menurut penulis pemutusan hubungan kerja yang
dilakukan tidak sah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003
tentang ketenagakerjaan.