bab ii tinjauan pustaka - repository.uksw.edu...dan keinginan untuk berdamai dengan pelaku, meskipun...
TRANSCRIPT
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Untuk memperoleh data dan menjaga orisinalitas dalam penelitian,
diperlukan kerangka teori sebagai dasar melakukan penelitian. Pada bab ini,
penulis menjelaskan mengenai kajian teori untuk menjawab masalah
penelitian. Bab ini terdiri dari teori yang menjelaskan tentang kekerasan
dalam pacaran, forgiveness, dan pendekatan ekologi yang digunakan sebagai
salah satu pendekatan yang mendukung proses pemulihan terhadap korban
yang pernah mengalami kekerasan dalam pacaran.
2.1 Kekerasan Dalam Pacaran
2.1.1 Pengertian Kekerasan dalam Pacaran (KDP)
Kekerasan dalam pacaran (KDP) adalah segala bentuk tindakan yang
mempunyai unsur pemaksaan, tekanan, perusakan dan pelecehan fisik
maupun psikologis yang terjadi dalam hubungan pacaran (Bird & Melvile,
1994, dalam Adelia 2008). The American Psychological Association (dalam
Warkentin, 2008) menyebutkan bahwa dating violence adalah kekerasan
psikologis dan fisik yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam hubungan
pacaran, yang mana perilaku ini ditujukkan untuk memperoleh kontrol,
kekuasaan dan kekuatan atas pasangannya. Berdasarkan pengertian tersebut,
maka kekerasan dalam pacaran dapat dipahami sebagai salah satu jenis
kekerasan yang dapat terjadi dalam bentuk fisik, psikis, ekonomi dan seksual
terhadap pasangan dalam hubungan pacaran. Kondisi-kondisi yang terkait
dengan bentuk-bentuk kekerasan dalam pacaran tersebut dapat menimbulkan
adanya kekuasaan yang dimiliki oleh pelaku, sehingga melukai pasangannya
sebagai korban dalam tindak kekerasan yang telah dilakukan oleh pelaku.
13
2.1.2 Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Pacaran
Martha (2003) menyebutkan bahwa bentuk kekerasan terdiri dari
kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual dan kekerasan ekonomi.
Murray (2007) menjelaskan bahwa bentuk-bentuk kekerasan dalam pacaran
yang digolongkan dalam beberapa bentuk yaitu kekerasan verbal dan
emosional, kekerasan seksual, dan kekerasan fisik.
a. Kekerasan Verbal dan Emosional
Kekerasan verbal dan emosional adalah ancaman yang dilakukan pasangan
terhadap pacarnya dengan perkataan maupun mimik wajah. Kekerasan
verbal dan emosional yaitu:
1. Name calling, yaitu mengatakan pacarnya gendut, jelek, malas, bodoh,
tidak ada seorang pun yang menginginkan pacarnya, mau muntah
melihat pacarnya.
2. Intimidating looks. Pasangannya atau pacarnya akan menunjukkan
wajah yang kecewa tanpa mengatakan alasan mengapa ia marah atau
kecewa dengan pacarnya, jadi pihak laki-laki atau perempuannya
mengetahui apakah pacarnya marah atau tidak dari ekspresi wajahnya.
3. Use of pagers and cell phones. Seorang pacar ada yang memberikan
ponsel kepada pacarnya, supaya dapat mengingatkan atau supaya tetap
bisa menghubungi pacarnya. Alat komunikasi ini memampukan
pacarnya untuk memeriksa keadaan pacarnya sesering mereka mau.
Mereka harus mengetahui siapa yang menghubungi pacarnya dan
mengapa orang tersebut menghubungi pacarnya.
4. Making a boy/girl wait by the phone. Seorang pacar berjanji akan
menelepon pacarnya pada jam tertentu, tetapi sang pacar tidak
menelepon juga. Pacar yang dijanjikan akan ditelepon, terus-menerus
menunggu telepon dari pasangannya, membawa teleponnya kemana saja
di dalam rumah, misalnya pada saat makan bersama keluarga. Hal ini
14
terjadi berulangkali, sehingga membuat si pacar tidak menerima telepon
dari temannya, tidak berinteraksi dengan keluarganya karena menunggu
telepon dari pacarnya.
5. Monopolizing a girl’s/boy`s time. Korban cenderung kehabisan waktu
untuk melakukan aktivitas dengan teman atau untuk mengurus
keperluannya, karena mereka selalu menghabiskan waktu bersama
dengan pacarnya.
6. Making a girl`s/boy`s feel insecure. Seringkali orang yang melakukan
kekerasan dalam pacaran memanggil pacarnya dengan mengkritik, dan
mereka mengatakan bahwa semua hal itu dilakukan karena mereka
sayang pada pacarnya dan menginginkan yang terbaik untuk pacarnya.
Padahal mereka membuat pacar mereka merasa tidak nyaman. Ketika
pacar mereka terus-menerus dikritik, mereka akan merasa bahwa semua
yang ada pada diri mereka buruk, tidak ada peluang atau kesempatan
untuk meninggalkan pasangannya.
7. Blaming. Semua kesalahan yang terjadi adalah perbuatan pasangannya,
bahkan mereka sering mencurigai pacar mereka atas perbuatan yang
belum tentu disaksikannya, seperti menuduhnya melakukan
perselingkuhan.
8. Manipulation / making himself look pathetic. Hal ini sering dilakukan
oleh pria. Perempuan sering dibohongi oleh pria, pria biasanya
mengatakan sesuatu hal yang konyol tentang kehidupan, misalnya
pacarnyalah orang yang satu-satunya mengerti dirinya, atau mengatakan
kepada pacarnya bahwa dia akan bunuh diri jika tidak bersama pacarnya
lagi.
9. Making threats. Biasanya mereka mengatakan jika kamu melakukan ini,
maka saya akan melakukan sesuatu padamu. Ancaman mereka bukan
15
hanya berdampak pada pacar mereka, tetapi kepada orangtua dan teman
mereka.
10. Interrogating. Pasangan yang pencemburu, posesif, suka mengatur,
cenderung menginterogasi pacarnya, dimana pacarnya berada sekarang,
siapa yang bersama mereka, berapa orang laki-laki atau wanita yang
bersama mereka, atau mengapa mereka tidak membalas pesan mereka.
11. Humiliating her/him in public. Mengatakan sesuatu mengenai organ
tubuh pribadi pacarnya kepada pacarnya di depan teman-temannya. Atau
mempermalukan pacarnya di depan teman-temannya.
12. Breaking treasured items. Tidak mempedulikan perasaan atau barang-
barang milik pacar mereka, jika pasangan mereka menangis, mereka
menganggap hal itu sebuah kebodohan.
Dengan demikian, penulis dapat memahami bahwa bagian dari
bentuk kekerasan verbal dan emosional dapat disebut dengan bentuk
kekerasan secara psikis yang dapat dilakukan oleh perempuan atau laki-laki
terhadap pasangan masing-masing. Dalam suatu hubungan termasuk
hubungan berpacaran dapat pula menyebabkan salah satu pihak mengalami
perubahan dan menjadi korban emosional.
b. Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual adalah pemaksaan untuk melakukan kegiatan atau kontak
seksual sedangkan pacar mereka tidak menghendakinya. Kekerasan seksual
yaitu:
1. Perkosaan. Melakukan hubungan seks tanpa ijin pasangannya atau
dengan kata lain disebut dengan pemerkosaan. Biasanya pasangan
mereka tidak mengetahui apa yang akan dilakukan pasangannya pada
saat itu.
16
2. Sentuhan yang tidak diinginkan. Sentuhan yang dilakukan tanpa
persetujuan pasangannya, sentuhan ini kerap kali terjadi di bagian dada,
bokong dan yang lainnya.
3. Ciuman yang tidak diinginkan. Mencium pasangannya tanpa persetujuan
pasangannya, hal ini bisa terjadi di area publik atau di tempat yang
tersembunyi.
Dengan demikian, penulis menganalisa bahwa tindakan kekerasan
seksual adalah salah satu bentuk kekersan yang dapat terjadi melalui
pemerkosaan, sentuhan yang tidak diinginkan, dan ciuman yang tidak
diinginkan. Dalam hubungan pacaran pun bentuk kekerasan ini dapat terjadi
sehingga mengorbankan salah satu pihak baik laki-laki atau perempuan.
c. Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik adalah perilaku yang mengakibatkan pacar terluka secara
fisik, seperti memukul, menampar, menendang dan sebagainya. Kekerasan
fisik yaitu:
1. Memukul, mendorong, membenturkan. Inilah tipe kekerasan yang dapat
dilihat dan diidentifikasi. Contoh perilaku adalah memukul, menampar,
menggigit, mendorong ke dinding dan mencakar dengan menggunakan
tangan maupun dengan menggunakan alat. Hal ini dilakukan sebagai
hukuman kepada pasangannya.
2. Mengendalikan, menahan. Perilaku ini dilakukan pada saat menahan
pasangan mereka untuk tidak pergi meninggalkan mereka, misalnya
menggengam tangan atau lengannya terlalu kuat.
3. Permainan kasar, yaitu menjadikan pukulan sebagai permainan dalam
hubungan, padahal sebenarnya pihak tersebut menjadikan pukulan-
pukulan ini sebagai taktik untuk menahan pasangannya pergi darinya.
17
Ini menandakan dominasi dari pihak yang melayangkan pukulan
tersebut.
Berdasarkan bentuk-bentuk kekerasan di atas, penulis menganalisa
bahwa tindak kekerasan tidak hanya terjadi secara emosional dan seksual,
tetapi ada juga kekerasan fisik yang dapat terjadi dengan cara memukul,
mendorong, membenturkan; mengendalikan, menahan; dan permainan kasar.
Namun, berdasarkan bentuk-bentuk kekerasan yang telah disebutkan di atas,
terdapat juga bentuk kekerasan yang terjadi secara ekonomi yaitu
menggunakan atau mengelola keuangan milik pasangan tanpa persetujuan
dan dapat memberi pengaruh yang negatif dalam hubungan berpacaran.
2.1.3 Faktor-Faktor Penyebab Kekerasan dalam Pacaran
World Report On Violence And Health (2002) menyebutkan enam
faktor penyebab kekerasan dalam pacaran, yaitu:
1. Faktor Individual. Faktor demografi yang dapat menyebabkan seseorang
melakukan kekerasan kepada pasangannya adalah usia yang muda dan
memiliki status ekonomi yang rendah serta memiliki prestasi akademis
yang rendah atau pendidikan yang rendah.
2. Sejarah Kekerasan dalam Keluarga. Studi yang dilakukan di Brazil,
Afrika dan Indonesia menunjukkan bahwa kekerasan dalam pacaran
cenderung dilakukan oleh laki-laki yang sering mengobservasi ibunya
yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga.
3. Penggunaan Alkohol. Alkohol dapat mengakibatkan menurunnya
kemampuan individu dalam menginterpretasikan sesuatu.
4. Gangguan Kepribadian. Penelitian di Canada menunjukkan bahwa laki-
laki yang menyerang pasangannya cenderung mengalami emotionally
dependent, insecure dan rendahnya self-esteem sehingga sulit
mengontrol dorongan-dorongan yang ada dalam diri mereka.
18
5. Faktor dalam Hubungan. Kurangnya kepuasan dalam hubungan dan
semakin banyaknya konflik yang terjadi dalam hubungan tersebut akan
meningkatkan terjadinya kekerasan dalam pacaran.
6. Faktor Komunitas. Tinggal dalam kemiskinan dapat menyebabkan
hopelessness. Untuk beberapa pria, tinggal dalam kemiskinan bisa
mengakibatkan stress, frustrasi, dan perasaan tidak mampu untuk
memenuhi harapan sosial, atau hidup sesuai dengan harapan sosial.
Berdasarkan faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, maka faktor
individual, sejarah kekerasan dalam keluarga, penggunaan alkohol, gangguan
kepribadian, faktor dalam hubungan, dan faktor komunitas ialah faktor-
faktor yang dapat memengaruhi terjadinya kekerasan dalam pacaran.
Semakin meningkatnya faktor-faktor tersebut dalam diri salah satu pihak
maka kekerasan akan semakin berlanjut dalam hubungan pacaran.
2.1.4 Dampak Kekerasan dalam Pacaran
Kekerasan dalam pacaran dapat menimbulkan dampak pada masa
pacaran (Tisyah dan Rochana, 2013), antara lain:
a. Dampak kejiwaan.
Perempuan menjadi trauma atau membenci laki-laki, akibatnya
perempuan menjadi takut untuk menjalin hubungan dengan laki-laki.
Sehingga menimbulkan rasa kecemasan yang mendalam.
b. Dampak sosial.
Posisi perempuan menjadi lemah dalam hubungan dengan laki-laki.
Apalagi perempuan yang merasa telah menyerahkan keperawanannya
kepada pacarnya, biasanya merasa minder untuk menjalin hubungan lagi.
Tidak hanya rasa percaya diri terhadap lawan jenis tetapi juga terhadap
diri sendiri dan orang lain sehingga menyebabkan turunnya produktifitas
kerja atau prestasi.
19
c. Dampak fisik.
Tubuh menjadi luka-luka, baik ringan maupun parah. Bila terjadi
kehamilan tidak dikehendaki dan pacar meninggalkan pasangannya. Ada
dua kemungkinan, yaitu melanjutkan kehamilan atau aborsi. Bila
melanjutkan kehamilan, harus siap menjadi orang tua tunggal. Bila aborsi,
harus siap menanggung resiko-resiko, seperti pendarahan, infeksi, dan
bahkan kematian. Bila terjadi hubungan seks dalam pacaran, perempuan
akan rentan terkena Penyakit Menular Seksual (PMS) yaitu herpes dan
HIV/AIDS.
Selain adanya faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan dalam
pacaran, telah dijelaskan juga bahwa terjadinya kekerasan dalam pacaran
dapat berdampak pada kejiwaan, sosial dan fisik. Jadi melalui tindak
kekerasan yang terjadi dalam hubungan berpacaran dapat memberi dampak
negatif yang berpengaruh bagi pihak yang menjadi korban. Dengan
demikian, untuk mengembalikan korban kepada keadaan yang semula maka
dibutuhkan pemulihan.
2.2 Forgiveness
2.2.1 Pengertian Forgiveness
McCullough (salah satu tokoh yang pernah meneliti tentang
forgiveness) menyatakan bahwa forgiveness adalah satu set perubahan-
perubahan motivasi dimana suatu organisme menjadi semakin menurun
motivasi untuk membalas terhadap suatu hubungan mitra; semakin menurun
motivasi untuk menghindari perilaku; dan semakin termotivasi oleh niat baik
dan keinginan untuk berdamai dengan pelaku, meskipun pelanggaran yang
dibuat pelaku termasuk berbahaya (McCullough, 2000). Selain itu,
McCullough dan Worthington menjelaskan bahwa forgiveness adalah
fenomena yang kompleks yang berhubungan dengan emosi, pikiran dan
20
tingkahlaku sehingga dampak dan penghakiman yang negatif terhadap orang
yang menyakiti dapat dikurangi (Soesilo, 2006). Dengan demikian, dapat
dipahami bahwa ketika orang yang disakiti (korban) memutuskan untuk
memaafkan, maka ia memutuskan untuk tidak membalas dendam atau tidak
menghindari pelaku serta bersedia melakukan kebaikan terhadap pelaku
bahkan orang lain di sekitarnya.
2.2.2 Aspek-aspek Forgiveness
McCullough (2000) menyebutkan ada tiga aspek forgiveness yaitu
Avoidance Motivation, Revenge Motivation, dan Benevolence Motivation.
a. Avoidance Motivation :
Semakin menurunnya motivasi untuk menghindari pelaku, membuang
keinginan untuk menjaga kerenggangan (jarak) dengan orang yang telah
menyakitinya.
Contoh: “Saya tidak menghindar setiap saya berpapasan
dengan orang yang pernah membuat diri saya tidak
nyaman.”
b. Revenge Motivation :
Semakin menurunnya motivasi untuk membalas dendam terhadap suatu
hubungan mitra, membuang keinginan untuk membalas dendam terhadap
orang yang telah menyakiti.
Contoh: “Saya tidak marah dan membalas perbuatan orang
yang menyakiti saya dan tidak menolak ketika dia
mengajak berdamai dengan saya.”
c. Benevolence Motivation :
Semakin individu termotivasi oleh niat baik dan keinginan untuk
berdamai dengan pelaku meskipun pelanggarannya termasuk tindakan
21
berbahaya, keinginan untuk berdamai atau melihat well-being orang yang
menyakitinya.
Contoh: “Saya terdorong untuk melakukan hubungan yang
lebih baik dengan orang yang telah menyakiti hati
saya.”
Tiga aspek di atas dapat menjelaskan bahwa individu yang
memaafkan adalah individu yang memiliki aspek benevolence motivation
yang tinggi dan disisi lain memiliki aspek avoidance dan revenge motivation
yang rendah. Ketiga aspek ini pun dapat digunakan untuk menentukan
pemulihan bagi seseorang yang telah mengalami dan menjadi korban
kekerasan.
2.2.3 Faktor-faktor yang memengaruhi Forgiveness
McCullough, dkk (1997) menjelaskan bahwa forgiveness dapat
dipengaruhi oleh:
1. Social Cognitive Determinant
Sikap empati terhadap pelaku muncul sebagai bagian terpenting dari
determinan sosial-kognitif terhadap forgiveness. Variabel atribusi juga
telah memfasilitasi munculnya forgiveness, seperti meminta
pertanggungjawaban, menyalah-nyalahkan, luka yang parah dan
menghindari pelaku, sehingga atribusi menjadi alasan utama terjadinya
empati dan forgiveness. Determinant kognitif lainnya adalah rumination,
image, dan afeksi yang terkait dengan konflik interpersonal yang dapat
menyebabkan individu melakukan balas dendam maupun menghindari
pelaku.
2. Offense Related Determinant
Determinan ini berkaitan dengan tingkat kelukaan dan sejauh mana
pelaku meminta maaf (apology) dan mencari pengampunan. Tingkat
kelukaan adalah individu mempersepsi bahwa konflik yang terjadi telah
22
memberikan penderitaan bagi dirinya, semakin parah luka yang dirasakan
maka akan lebih sulit baginya untuk dapat memaafkan.
3. Relational Determinant
Pada faktor ini, memaafkan dipahami sebagai serangkaian perubahan
motivasional setelah terjadi konflik, maka tingkat kedekatan, kepuasan,
komitmen dan intimacy seharusnya akan berhubungan positif dengan
forgiveness. Hal ini menjadi salah satu faktor dari forgiveness, karena:
a. Individu merasa harus melestarikan relasinya dengan pihak tempat ia
saling bergantung dalam banyak hal.
b. Individu memiliki orientasi jangka panjang yang memotivasinya
untuk melupakan rasa sakit hatinya dan meningkatkan penerimaan
pada hubungan tersebut.
c. Dalam hubungan yang berkualitas, keduanya akan saling
menggabungkan minat mereka.
d. Hubungan yang berkualitas akan memunculkan orientasi bersama
yang meningkatkan kesediaan untuk melakukan hak yang
menyenangkan pasangannya. Meskipun harus mengorbankan diri
sendiri.
e. Individu memiliki sejarah yang banyak bersama pasangannya,
sehingga ia memiliki akses berupa pikiran, perasaan dan motivasi
kepada pasangannya.
f. Hubungan yang berkualitas akan membuat korban merasa konflik
yang terjadi adalah untuk kebaikannya.
g. Dalam hubungan yang berkualitas, pelaku cenderung meminta maaf
dan mengungkapkan penyesalan serta memulihkan hubungan pasca
konflik.
23
4. Personal Determinant
Determinan kepribadian dapat memengaruhi forgiveness dengan fasilitas
dan relational styles atau kecenderungan seseorang dalam pengalaman
berpikirnya atau sikapnya dalam menanggapi konflik atau pelaku. Dalam
big five factors model of personality diketahui bahwa kepribadian
agreeableness memengaruhi forgiveness secara signifikan.
Selain empat alasan di atas yang berpengaruh terhadap forgiveness,
dijelaskan bahwa agama dan relasi juga dapat memengaruhi proses
forgiveness. Hal tersebut dijelaskan melalui hasil penelitian Covert dan
Johnson (2009) bahwa alasan sebagai motivasi untuk pemberian maaf atau
forgiveness, yaitu:
1. Keagamaan. Adanya motivasi religius atau spiritual yang terjadi di balik
aksi pengampunan yaitu adanya hubungan vertikal antara manusia dengan
penciptanya. Selain itu, orang lain pun dapat termotivasi untuk memberi
pengampunan disebabkan kode moral yang mendasari perilaku dan
tindakan mereka.
2. Relasi. Relasi dapat menjadi salah satu alasan karena adanya hasrat untuk
rekonsiliasi, kedekatan hubungan sebelum pelanggaran, dan cinta. Hal ini
digambarkan sebagai hubungan horizontal antara manusia dengan sesama.
3. Hasrat untuk kesejahteraan. Adanya kesejahteraan emosional, alasan fisik
atau kesehatan, serta menghidar dari kendali pelaku. Hal ini
menggambarkan hubungan yang benar antara manusia dengan dirinya
sendiri. Hal ini menjadi motivasi untuk seseorang dapat mengalami
perubahan dan memulihkan diri supaya memiliki kedamaian batin
sehingga menghilangkan ketegangan atau gejolak batin.
Berdasarkan penjelasan di atas, penulis memahami bahwa
forgiveness lahir dari motivasi diri sendiri. Motivasi itulah dapat dipengaruhi
oleh nilai spiritual yang dimiliki oleh korban, bahkan adanya relasi untuk
24
memperbaiki hubungan dengan orang yang telah menyakiti. Hal ini pun
memiliki peranan penting dan menjadi alasan untuk korban melakukan
proses pemaafan.
Selain itu, dalam artikel Sekolah Medis Harvard (Birnbaum dkk,
2005) telah menjelaskan bahwa di dalam perspektif psikologi terdapat lima
alasan mengapa orang bersedia memberikan pengampunan, yakni:
1. Mengurangi tekanan.
Kita tidak dapat merubah masa lalu, tetapi perubahan cara berpikir kita
terhadap masa lalu yang telah menyakiti kita dapat mengurangi dampak-
dampaknya dalam diri kita dan kemungkinan-kemungkinan yang dapat
menghasilkan penyakit yang berhubungan dengan tekanan.
2. Perubahan bagi jantung.
Kesediaan untuk mengampuni dapat mengurangi resiko penyakit jantung.
Dalam penelitian di Labor Universitas di Tennesse, mengampuni orangtua
atau teman untuk sebuah pengkhianatan sangat terkait dengan tekanan
darah yang lebih rendah, denyut jantung lebih lambat dan beban kerja
menjadi lebih berkurang pada otot jantung.
3. Relasi yang lebih kuat.
Dalam mengembangkan sebuah kapasitas untuk mengampuni dapat
membantu meredam kekecewaan kecil sehingga tidak berkembang
menjadi hal yang besar. Dalam jurnal psikologi keluarga dijelaskan
bahwa perempuan dapat menyelesaikan konflik-konflik pernikahan
mereka dengan lebih efektif ketika mereka dapat mengampuni dan
merasakan penuh kebajikan dalam responnya terhadap perilaku yang
menyakitiya.
4. Meringankan penderitaan dan penyakit kronis.
Menghadapi penderitaan dan sakit penyakit, terkadang direspon dengan
kemarahan, frustrasi, menyalahkan diri sendiri, dan rasa bersalah atas
25
penyakit yang dialami oleh orang yang dicintai. Dengan kemampuan
mengampuni diri kita sendiri, dapat meningkatkan kesembuhan
penderitaan atau sakit penyakit kita.
5. Kebahagian yang lebih besar.
Ketika kita dapat mengampuni orang lain, kita membuat diri kita
bertanggungjawab untuk kebahagiaan masa depan kita sendiri.
Owens (2011) berpendapat bahwa stereotipe gender dan nilai budaya
juga dapat memengaruhi forgiveness. Stereotip gender diberikan kepada
seseorang untuk mempertimbangkan setiap hal termasuk pengambilan
keputusan untuk memaafkan (forgiveness). Hal tersebut diputuskan dengan
sangat hati-hati dan bijaksana mulai dari aspek rohani, spiritual, sosial,
ekonomi, psikologis dan sebagainya. Jadi, dapat dikatakan bahwa stereotipe
gender dapat memengaruhi keputusan memaafkan dari korban kekerasan
dalam pacaran. Di satu sisi, forgiveness dapat dipahami sebagai sebuah
tindakan pengorbanan dari perempuan yang telah dikonstruksi oleh nilai
sosial dan budaya yang dimilikinya. Namun, di sisi lain, terlepas dari kontrol
sosial dan budaya yang telah memengaruhi, pilihan forgiveness merupakan
sebuah pilihan yang diputuskan oleh seseorang. Dengan demikian,
forgiveness dapat terjadi pada seseorang melalui pilihan sendiri bahkan
melalui dorongan dari sebuah sistem di lingkungannya.
Berdasarkan alasan-alasan yang telah disebutkan di atas, dipahami
bahwa ada banyak alasan sebagai bentuk motivasi yang dimiliki seseorang
untuk memaafkan orang yang pernah menyakitinya di masa lalu. Selain
sangat berpengaruh terhadap kesehatan fisik dan batin, ternyata
pengampunan diberikan sebagai bentuk refleksi atas hubungan personal
kepada Tuhan dan keinginan untuk mempererat hubungan, sehingga
kehidupan di masa depan dapat lebih sejahtera dan bahagia. Hal ini pun
26
dapat dilakukan oleh korban untuk memulihkan dirinya dengan pelaku
kekerasan.
2.2.4 Tahapan dalam proses Forgiveness
Forgiveness tidak hanya terjadi melalui perkataan tetapi perlu disertai
tindakan sebagai bukti nyata. Dengan demikian, forgiveness dapat dilakukan
melalui beberapa tahapan. Tahapan dalam proses Forgiveness (Enright &
Fitzgibbons, 2000) antara lain:
a) Tahap Mengungkap
Pada tahap ini, individu mengungkapkan dan berusaha untuk menyadari
bahwa saat individu dalam kondisi marah bisa saja sangat menyakitkan,
namun dengan memaafkan bukan berarti berpura-pura bahwa sesuatu tidak
terjadi atau bersembunyi dari perasaan sakit. Individu menderita karena
merasa disakiti dan individu harus jujur kepada dirinya sendiri dan mengakui
bahwa individu sedang menderita atau merasa sakit.
Contoh : “Saya menyadari bahwa walaupun saya mengalami
ketidaknyamanan dalam bersosialisasi, saya akan dapat
mengendalikan perasaan saya dan dapat mengontrol
diri.”
Tahapan ini memiliki beberapa fase ini, yaitu:
Pemeriksaan terhadap pertahanan diri secara psikologis.
Berkonfrontasi dengan kemarahan (intinya adalah melepaskan amarah,
bukan menyembunyikan).
Mengakui adanya rasa malu.
Kesadaran untuk melakukan katarsis.
Adanya kesadaran bahwa korban telah berulangkali mengingat peristiwa
yang menyakitkan.
Pihak korban membandingkan dirinya dengan pelaku kejahatan.
27
Menyadari adanya perubahan secara permanen pada dirinya akibat dari
perbuatan yang menyakitkan tersebut.
Pandangan korban tentang makna keadilan telah berubah.
b) Tahap memutuskan
Memaafkan membutuhkan pengambilan keputusan dan komitmen dari diri
individu itu sendiri, karena pengambilan keputusan ini merupakan bagian
yang penting dari proses ini, maka Enright membaginya menjadi tiga bagian,
yaitu: melupakan atau meninggalkan masa lalu, berusaha untuk melihat
kepada masa depan, dan memilih untuk melakukan pemaafan.
Contoh : “Saya akan bersikap tenang walaupun orang lain
menganggap diri saya sulit beradaptasi dengan
siapapun.”
Tahapan ini memiliki beberapa fase ini, yaitu:
Perubahan dalam hati, adanya wawasan baru karena strategi yang lama
ternyata tidak menunjukkan hasil.
Kesediaan untuk mempertimbangkan maaf sebagai hal yang akan dipilih.
Komitmen untuk memaafkan pelaku kejahatan.
c) Tahap bekerja/proses
Memutuskan untuk memaafkan tidaklah cukup. Individu harus mengambil
tindakan yang konkrit untuk membuat keputusan itu menjadi nyata.
Contoh : “saya akan memiliki cara pandang yang positif dalam
melihat perilaku orang lain.”
Tahapan ini memiliki beberapa fase ini, yaitu:
Reframing, mencoba memandang pelaku kejahatan dengan cara pandang
yang baru mengenai siapa dirinya dengan cara memandang melalui
28
konteks si pelaku dengan memposisikan dirinya sebagai si pelaku
kejahatan.
Empati terhadap pelaku.
Kesadaran akan munculnya belas kasihan kepada pelaku kejahatan.
Penerimaan dan penyerapan terhadap rasa sakit dan dipandang sebagai
makna sesungguhnya dari memaafkan terhadap luka yang dialami.
d) Tahap Hasil
Saat individu menolak untuk memaafkan maka kepahitan, kebencian, dan
kemarahan seperti empat tembok sel penjara dan memaafkan merupakan
kunci yang dapat membuka pintunya dan mengeluarkan individu dari sel
penjara tersebut.
Contoh : “Saya cenderung mencoba untuk menemukan hal-hal
yang baru dalam menghadapi persoalan hidup.”
Tahapan ini memiliki beberapa fase ini, yaitu:
Menemukan makna bagi diri dan orang lain dalam proses memaafkan.
Kesadaran bahwa korban juga membutuhkan maaf dari orang lain pada
masa yang lalu.
Menyadari bahwa dirinya tidak sendiri (perlu ada dukungan).
Menyadari adanya tujuan baru dalam hidup karena peristiwa yang telah
dialami.
Munculnya kesadaran bahwa perasaan negatifnya telah berganti dengan
perasaan yang lebih positif.
Empat tahapan di atas yaitu mengungkap, memutuskan,
bekerja/proses, dan tahap hasil telah dijelaskan sebagai proses atau tahapan
seseorang melakukan proses memaafkan. Gorgon dan Baucom (2003)
menjelaskan dengan sebutan yang berbeda. Menurutnya, tahapan untuk
29
memaafkan dapat terjadi melalui tiga hal yaitu: a) Dampak, yaitu pasangan
yang terluka mulai menyadari dampak dari pengkhianatan terhadap diri
mereka sendiri dan hubungan mereka. Tahap ini merupakan sebuah periode
dari gangguan kognitif, emosional dan tingkah laku yang signifikan. Pada
tahap ini, individu mengungkapkan perasaan yang mereka rasakan. b)
Pencarian makna, yaitu tahapan ini menolong individu dalam merekonstruksi
asumsi-asumsi mereka yang melanggar dan menciptakan keyakinan-
keyakinan dan harapan-harapan baru untuk masa depan hubungan mereka. c)
Penyembuhan atau bangkit, yaitu melalui tahapan ini, orang yang terluka
harus bergerak melewati peristiwa yang ada dan berhenti mengijinkan
peristiwa itu mengontrol kehidupannya.
2.3 Pendekatan Ekologi
Salah satu pendekatan atau model yang digunakan dalam penelitian
ini adalah pendekatan ekologi yang berkembang dari pandangan
Bronfenbrenner (1977). Pendekatan ekologi merupakan suatu perspektif
mengenai metodologi dalam mempelajari perkembangan kepribadian yang
mempertimbangkan aspek-aspek di luar individu, yaitu dari sisi lingkungan
di mana individu berada. Pendekatan ekologi melihat manusia sebagai
bagian suatu sistem. Suatu sistem adalah sebuah entitas yang dapat berperan
dengan menggunakan energi. Energi ini dapat bersumber dari dalam sistem
itu sendiri, namun juga dapat menggunakan energi dari luar sistem. Dengan
demikian suatu sistem akan terkait dengan sistem yang lain (Garbarino &
Abramowitz, 1992). Suatu sistem dibedakan dari segala sesuatu yang ada di
luar sistem, atau sistem yang lain melalui sebuah boundary atau garis
pembatas. Kualitas garis pembatas ini dapat sangat tertutup atau
impenetrable, atau terbuka, disebut pula permeable. Di dalam dan di luar
sistem yang dibatasi oleh garis pembatas ini ada berbagai kekuatan yang
30
selalu harus dijaga keseimbangannya sehingga sistem selalu ada dalam
kondisi equilibrium. Apabila ada gangguan keseimbangan maka sistem akan
melakukan reaksi atau ada suatu mekanisme sehingga keseimbangan akan
pulih kembali, meski belum tentu dalam kondisi seperti semula, sehingga
dikatakan terjadi proses adaptasi. Ketika suatu sistem terkait pada sistem
yang lain, di mana perubahan pada satu sisi akan menyebabkan perubahan di
tempat lain, maka terjadilah suatu sistem umpan balik (Goldenberg &
Goldenberg, 1985).
Pendekatan ekologi memandang manusia sebagai makhluk sosial,
berada dalam suatu sistem, yang mana sistem akan menjadi bagian dari
sistem-sistem yang lebih besar lagi. Bronfenbrenner (1977) merinci lagi
penggambarannya tentang ekologi dimana manusia berada. Sistem di mana
seorang individu berada disebut sebagai sistem mikro. Sistem mikro bagi
individu ada bermacam-macam sesuai dengan lingkup kehidupan yang
dijalaninya. Sistem ini dicirikan oleh situasi yang berhubungan langsung
dengan individu dalam kehidupan sehari-hari. Seorang anak berada dalam
sistem mikro keluarga, sekolah, kelompok sebaya, dan masyarakat di sekitar
tempat tinggalnya. Sistem-sistem mikro tersebut saling berhubungan dan
membentuk sistem yang lebih besar yaitu sistem meso, misalnya antara
keluarga dan sekolah, keluarga dan warga kampung, antara sekolah dan
masyarakat sekitarnya. Sistem ekso adalah sistem yang tidak langsung
berhubungan dengan individu namun segala perubahan yang terjadi dalam
sistem ekso akan memengaruhi individu tersebut. Termasuk dalam sistem
ekso bagi seorang anak adalah tempat kerja orangtua, pemerintahan lokal,
situasi pasar (Garbarino & Abramowitz, 1992).
Dengan demikian, proses pemulihan dari perspektif forgiveness
terhadap korban kekerasan dalam pacaran dapat terjadi dengan adanya
keterlibatan sistem lingkungan yang dimiliki sebagai dukungan sosial.
31
Contoh : “Saya selalu diberi motivasi dari keluarga dan teman-
teman untuk tidak marah, melainkan tetap melakukan
kebaikan kepada setiap orang yang sudah menyakiti
saya.”
Contoh di atas menggambarkan peranan lingkungan tempat korban
berada adalah bagian dari sistem yang dimiliki. Hal ini menjadi penguatan
positif secara psikologis dalam pemulihan terhadap korban. Sebab, korban
berada dalam sistem lingkungannya sehingga sistem itulah yang dapat
berperan dalam proses pemulihan.
Gambar 1. Ekologi Bronfenbrenner, 1977.
2.4 Kerangka Berpikir
32
Gambar 2. Kerangka Berpikir.