bab ii tinjauan pustaka a. tinjauan tentang bank 1...
TRANSCRIPT
16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Bank
1. Pengertian Bank
Lembaga keuangan khususnya lembaga perbankan mempunyai
peranan yang sangat strategis dalam menggerakkan roda perekonomian
suatu negara. Dalam kaitan inilah bank disebut agent of developmet atau
alat pemerintah dalam membangun bangsa melalui pembiayaan semua jenis
usaha pembangunan, selain berfungsi sebagai financial intermediary atau
perantara keuangan. Dari beberapa pengertian tentang bank yang
disebutkan oleh para ahli memang bermacam-macam, namun pada
dasarnya tidak berbeda antara yang satu dengan yang lain. Istilah bank
sendiri berasal dari bahasa Italia, Banca yang berarti meja yang digunakan
oleh para penukar uang dipasar. Pada dasarnya, bank merupakan tempat
penitipan atau penyimpanan uang, pemberi atau penyalur kredit dan juga
perantara didalam lalu lintas pembayaran.
Bank adalah suatu jenis lembaga keuangan yang melaksanakan
berbagai macam jasa, seperti memberikan pinjaman, mengedarkan mata
uang, pengawasan terhadap mata uang, membiayai terhadap usaha-usaha
perusahaan dan lain-lain.10
10 Insukrindo. 2003. Ekonomi Uang dan Bank dan Pengalaman di Indonesia. BPFE.
Yogyakarta. Hal 18.
17
Kemudian G.M.Verrry Stuart yang diterjemahkan oleh Suyatno
menyebutkan bahwa “Bank adalah suatu badan yang bertujuan untuk
memuaskan kredit, baik dengan alat-alat pembayaran sendiri atau dengan
uang yang diperoleh alat-alat penukar baru berupa uang giral”.11
Pendapat lain menyebutkan “Bank adalah suatu industri yang
bergerak dibidang kepercayaan yang dalam hal ini adalah sebagai media
perantara keuangan, antara debitur dan kreditur dana. Pendapat ini
mempunyai pengertian bahwa bank sebagai perantara untuk menyalurkan
penawaran permintaan kredit pada waktu yang ditentukan.12
Selanjuntya disebutkan bahwa Bank adalah lembaga keuangan,
usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas
pembayaran dan peredaran uang. Lembaga keuangan dinyatakan sebagai
semua badan melalui kegiatan-kegiatannya di bidang keuangan menarik
dari masyarakat (saver) dan menyalurkan kembali dari masyarakat yang
membutuhkannya (borrower). Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa
tugas pokok perbankan adalah menghirnpun segala dana dari masyarakat
untuk diarahkan ke sektor-sektor yang dapat mempertinggi hidup rakyat.13
Sedangkan menurut UU NO.7 th 1992 tentang perbankan
sebagaimana diubah dengan UU NO.10 th 1998 : Bank adalah badan usaha
yangmenghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-
11 Hasibua. H. Malayu S.P. 2001. Dasar-Dasar Perbankan. PT. Bumi Aksara. Jakarta. hal
10 12 Gujarati, Damodar. 2001. Ekonometrika Dasar, Terjemahan oleh Sumarno Zain,
Erlangga, Jakarta. hal 23 13 Siamat, Dahlan, 1999, Manajemen Lembaga Keuangan, Edisi II, LPFE UI, Jakarta. hal 8
18
bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat
banyak” Dari definisi tersebut, mempunyai pengertian bahwa bank adalah
semua badan usaha yang melalui berbagai macam kegiatannya dibidang
keuangan, menarik uang dari dan menyalurkannya ke masyarakat.
2. Kegiatan Usaha Bank
Kegiatan usaha yang dilakukan oleh bank umum menurut UU No. 10
Tahun 1998 tentang Perbankan meliputi14:
a. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
b. Memberikan kredit. c. Menerbitkan surat pengakuan hutang. d. Membeli, menjual atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk
kepentingan dan atas perintah nasabahnya: 1) Surat-surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank 2) Surat pengakuan hutang dan kertas dagang lainnya 3) Kertas perbendaharaan negara dan surat jaminan pemerintah 4) Sertifikat bank indonesia (sbi) 5) Obligasi 6) Surat dagang berjangka waktu sampai dengan satu tahun 7) Instrumen surat berharga lain yang berjangka waktu sampai dengan
satu tahun e. Memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun
kepentingan f. Menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan
dana kepada bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun wesel unjuk, cek atau sarana lainnya
g. Menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga.
h. Menyediakan tempat untuk menyimpan barang atau surat berharga i. Melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain
berdasarkan surat kontrak. j. Melakukan penempatan dana dari nasabah ke nasabah lainnya dalam
bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek. k. Melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit dan kegiatan
wali amanat.
14 Wijaya. Farried. 2001. perkreditan dan Bank dan Lembaga–Lembaga Keuangan di Indonesia, Edisi I, BPFE UGM. Yogyakarta. hal 32
19
l. Menyediakan pembiayaan dan atau melakukan kegiatan lain berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh bank indonesia.
m. Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang berlaku
B. Tinjauan Tentang Produk Bank
1. Pengertian Produk Bank
Produk Bank adalah produk dan atau jasa perbankan termasuk
produk dan atau jasa lembaga keuangan bukan Bank yang dipasarkan oleh
Bank sebagai agen pemasaran. Bank wajib menyediakan informasi tertulis
dalam bahasa Indonesia secara lengkap dan jelas mengenai karakteristik
setiap Produk Bank, dan Bank juga dilarang memberikan informasi yang
menyesatkan (mislead) dan atau tidak etis (misconduct) tentang produk bank
yang dipasarkan. Bank memberikan informasi yang akurat dan sebenar-
benarnya mengenai Produk Bank yang akan dimanfaatkan Nasabah dengan
memenuhi etika penyampaian informasi yang berlaku umum. Pemberian
informasi dianggap menyesatkan (mislead) apabila Bank memberikan
informasi yang tidak sesuai dengan fakta, misalnya menyebutkan produk
reksadana sebagai deposito.
Pemberian informasi dianggap tidak etis (misconduct) antara lain
apabila memberikan penilaian negatif terhadap Produk Bank lain. Pemilihan
produk bank oleh nasabah seringkali lebih didasarkan pada aspek informasi
mengenai manfaat yang akan diperoleh dari produk bank tersebut. Hal ini
pada satu sisi terjadi karena pada umumnya informasi mengenai produk
20
bank yang disediakan bank belum menjelaskan secara berimbang manfaat,
risiko maupun biaya-biaya yang melekat pada suatu produk bank. Oleh
karena itu, tidak jarang timbul perselisihan antara bank dengan nasabah yang
disebabkan karena adanya kesenjangan informasi mengenai karakteristik
produk bank yang ditawarkan bank kepada nasabah. Akibatnya, hak-hak
nasabah untuk mendapatkan informasi yang lengkap, akurat, terkini, dan
utuh menjadi tidak terpenuhi.15
Pada sisi yang lain, kurangnya informasi yang memadai mengenai
produk bank memungkinkan terjadinya penyimpanganpenyimpangan
kegiatan usaha perbankan yang dapat merugikan nasabah sehingga
diperlukan adanya ransparansi informasi mengenai produk bank untuk
meningkatkan good governance di sector perbankan. Selain aspek
transparansi informasi mengenai produk bank yang masih kurang memadai,
nasabah dihadapkan pula pada masalah pemberian data pribadi oleh bank
kepada pihak lain di luar bank tersebut untuk tujuan komersial tanpa izin
nasabah. Oleh karena itu, transparansi penggunaan data pribadi nasabah
perlu dilakukan agar hak-hak nasabah tetap terlindungi. Dengan
memperhatikan hal-hal diatas, maka transparansi informasi mengenai
produk bank dan penggunaan data pribadi nasabah menjadi suatu kebutuhan
yang tidak dapat dihindari untuk menjaga kredibilitas lembaga perbankan
sekaligus melindungi hak-hak nasabah sebagai konsumen pengguna jasa
perbankan.
15 Didin Zakianti. 2008. Tinjauan Yuridis Sosiologis Terhadap Perlindungan Hukum Bagi
Nasabah Bank. Digilib: UMM. hal.26
21
Informasi mengenai karakteristik Produk Bank sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia No.7/6/PBI/2005 tentang
Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah
Pasal 4 sekurang-kurangnya meliputi16:
a. Nama Produk Bank; b. Jenis Produk Bank; c. Manfaat dan risiko yang melekat pada Produk Bank; d. Persyaratan dan tata cara penggunaan Produk Bank; e. Biayabiaya f. yang melekat pada Produk Bank; g. Perhitungan bunga atau bagi hasil dan margin keuntungan; h. Jangka waktu berlakunya Produk Bank; dan i. Penerbit (issuer/originator) Produk Bank;
Dalam hal Produk Bank yang terkait dengan penghimpunan dana,
maka Bank wajib memberikan informasi mengenai program penjaminan
terhadap Produk Bank tersebut, dan juga Bank wajib memberitahukan
kepada Nasabah setiapperubahan, penambahan, dan atau pengurangan pada
karakteristik Produk Bank. Pemberitahuan sebagaimana yang dimaksud
adalah pemberitahuan kepada setiap Nasabah yang sedang memanfaatkan
Produk Bank paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sebelum berlakunya
perubahan, penambahan dan atau pengurangan pada karakteristik Produk
Bank tersebut.
Selain itu bank juga tidak boleh mencantumkan informasi dan atau
keterangan mengenai karakteristik Produk Bank yang letak dan atau
bentuknya sulit terlihat dan atau tidak dapat dibaca secara jelas dan atau
yang pengungkapannya sulit dimengerti karena dapat menyulitkan nasabah.
16 Peraturan Bank Indonesia No.7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk
Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah Pasal 5
22
Bank juga wajib menyediakan layanan informasi karakteristik Produk Bank
yang dapat diperoleh secara mudah oleh masyarakat. Informasi yang
diberikan pada nasabah bank dapat berupa Informasi tertulis antara lain
dalam bentuk leaflet, brosur, atau bentuk tertulis lainnya maupun informasi
secara lisan kepada Nasabah yang dapat dilakukan dengan menjelaskan
ringkasan karakteristik Produk Bank, dengan tetap memperhatikan
kelengkapan informasi yang disampaikan. Informasi mengenai jangka waktu
mencakup perpanjangan dan penghentian jangka waktu dan atau manfaat
Produk Bank sebelum jatuh tempo dan informasi mengenai penerbit Produk
Bank antara lain mencakup keterangan mengenai siapa penerbitnya (Bank
atau lembaga keuangan bukan bank), hubungan hukum antara penerbit
dengan Bank dan Nasabah, serta hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Layanan informasi dapat berupa publikasi tertulis di setiap Kantor Bank dan
atau dalam bentuk informasi secara elektronis yang disediakan melalui
hotline service / call center atau website.
Jenis Produk Bank mengacu kepada kegiatan usaha Bank
sebagaimana tercantum dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku
seperti giro, tabungan, deposito, dan kredit/pembiayaan. Bank juga harus
menjelaskan secara terinci setiap manfaat yang dapat diperoleh Nasabah dari
suatu Produk Bank dan potensi risiko yang dihadapi oleh Nasabah dalam
masa penggunaan Produk Bank.
23
2. Kredit Rekening Koran
Rekening Koran artinya,”Perhitungan pos, debet dan kredit”. Didalam
rekening koran bank, pihak bank membukukan perhitungan harian tentang
pengambilan dan setoran dari pemegang rekening koran dalam buku
tertentu. Rekening di debetkan bagi pengambilan dan di kreditkan bagi
storan. Dari rekening koran ini ditentukan saldo inilah yang dapat ditagih.17
Dalam praktek perbankan, hubungan-hubungan hokum yang lahir dari
rekening koran diatur dalam perjanjian pemegang rekening koran. Untuk
perjanjian ini, bank-bank menyediakan formulir (blanko) yang juga menurut
dapat dikualifikasi sebagai perjanjian standard. Blanko ini disiapkan bank
terlebih dahulu dan disodorkan pada mereka dan disodorkan pada mereka
yang ingin menjadi pemegang rekening bank yang bersangkutan.
Elemen-elemen esensiil yang pada umumnya terdapat didalam
perjanjian rekening koran adalah sebagai berikut18:
a. Pengambilan uang hanya terjadi dengan memakai cek keluaran bank yang bersangkutan.
b. Formulir cek yang disediakan bank hanya boleh dipergunakan oleh pemegang rekening semata-mata untuk pemakaian sendiri.
c. Rekening koran ditutup pada waktu-waktu yang diperjanjikan. d. Pada penutupan, turunan rekening dikirimkan pada pemegang rekening.
Turunan itu harus dikirmkan kembali kepada bank, setelah ditanda tangani pemegang rekening sebagai tanda persetujuannya.
e. Pemegang rekening dianggap menyetujui rekening koran yang dikirimkan kepadanya, jika ia tidak menyatakan sebaliknya setelah jangka waktu tertentu.
f. Pemegang rekening bertanggung jawab antara lain: 1) Terhadap kehilangan cek. 2) Terhadap penggunaan cek. 3) Akibat yang timbul dan penyalahgunaan cek. 4) Melaporkan hilangnya blanko cek kepada bank dan yang berwajib.
17 Mariam Darus Badrulzaman. 1978. Perjanjian Kredit Bank. Alumni. Bandung. Hlm.42 18 Ibid. Hlm.43
24
5) Menyampaikan perintah-perintah kepada bank secara tertulis. 6) Mengembalikan blank cek, jika hubungan rekening koran berakhir. 7) Tidak menarik cek melebihi dananya yang ada di bank.
g. Bank berhak antara lain: 1) Menolak membayar penarikan cek yang melebihi dana yang tersedia. 2) Menolak membayar post dated cek jika dananya pada hari pengajuan
tidak cukup tersedia. 3) Mendapat jasa atas pekerjaan-pekerjaan yang dilakukannya.
h. Kewajiban bank: 1) Mengirim salinan rekening koran kepada pemegang rekening. 2) Melakukan perintah-perintah yang dibebankan pemegang rekening.
i. Jangka waktu perjanjian ini tidak terbatas, jika diperjanjikan lain, maka kedua pihak dapat memutuskan perjanjian ini sewaktu-waktu.
j. Bank berhak memutuskan perjanjian ini secara sepihak dalam hal: 1) Pemegang rekening termasuk dalam blacklist Bank Indonesia. 2) Pemegang rekening tidak beritikad baik (misalnya menarik cek
kosong) k. Akibat dari berakhirnya hubungan rekening ini ialah bahwa pemegang
rekening berhak menagih saldo kredit dananya yang ada di bank dan sebaliknya wajib melunasi saldo debetnya kepada bank.
Didalam teori-teori Hukum Perdata terdapat beberapa aliran
mengenai sifat hukum rekening koran ini:
J.A. Levy mengatakan, bahwa perjanjian rekening koran sebagai
“kompensasi yang global didalam suatu perjanjian kredit yang timbal balik”.
Staub mengemukakan, perjanjian rekening koran sebagai “novasi”.
Mr.G. Wttewaall mengemukakan, perjanjian rekening koran sebagai
“kompensasi yang terus menerus”. ajaran ini dianut secara konstan oleh
Yurisprudensi Nedherland.
Boon mengemukakan, bahwa perjanjian rekening koran adalah
“merupakan perjanjian penetapan jika tujuannya menetapkan posisi
perhitungan uang yang sebelumnya tidak pasti”.19
19 Ibid. Hlm.44
25
Menurut undang-undang perbankan 1967, dilihat sebagai perjanjian
pemberi kuasa. akan tetapi jika dilihat dalam kaitannya dengan perjanjian
kredit rekening koran berjalan, maka perjanjian rekening koran ini
merupakan perjanjian campuran.
3. Kredit Konvensional (KUPEDES)
Kredit Konvensional (KUPEDES) adalah suatu fasilitas kredit
yang disediakan oleh PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk yang bersifat umum,
individual, selektif, dan berbunga wajar. Kupedes merupakan kredit yang
dilayani di BRI dan diberikan dalam mata uang rupiah yang bertujuan untuk
mengembangkan atau meningkatkan usaha kecil yang layak. 20
a. Sasaran Kupedes 1) Perorangan atau perusahaan yang usahanya dinilai layak (Eligible). 2) Golongan masyarakat berpenghasilan tetap. misalkan Pegawai
Negeri Sipil dengan pangkat I d ke bawah dan bukan pejabat, polisi dan bukan pejabat pegawai perusahaan daerah, dan lain-lain.
b. Jenis Kupedes 1) Kupedes Modal Kerja. 2) Kupedes Investasi
c. Sektor yang dibiayai Kupedes. 1) Sektor Pertanian. 2) Sektor Perindustrian. 3) Sektor Perdagangan. 4) Jasa lainnya. 5) Golongan berpenghasilan tetap.
d. Jangka Waktu dan Pola Angsuran 1) Jangka waktu angsuran minimal 3 bulan dan maksimal 24 Bulan. 2) Untuk Kupedes Modal Kerja dan Investasi 36 bulan. Pola angsuran:
a) Angsuran secara bulanan. b) Angsuran secara bulanan dengan grace period angsuran 3,4,6
bulan. e. Keistimewaan Kupedes.
20 Brosur Kupedes, terbitan Bank Rakyat Indonesia
26
Diberikan IPTW (Intensif pembayaran tepat waktu) bagi nasabah
yang tertib mengangsur pinjamannya secara tepat waktu selama periode
tertentu ¼ bagia dari suku bunga.
Agunan yang harus disediakan oleh nasabah nilainya harus cukup
mengkcover jumlah kupedes yang diterimanya beserta kewajiban-
kewajibannya (Pinjaman pokok + bunga)
C. Tinjauan Tentang Perjanjian
1. Pengertian Perjanjian
Suatu perjanjian, merupakan suatu peristiwa dimana seseorang
berjanji kepada orang lain, dimana dua orang saling janji untuk
melaksanakan sesuatu. Dari peristiwa ini, timbulah suatu hubungan antara
dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Dalam bentuknya, perjanjian
itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau
kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia menyebutkan “perjanjian”
berasal dari kata “janji” yang mempunyai arti “kesediaan untuk melakukan
sesuatu dengan syarat atau ketentuan yang disepakati”.21
Menurut pasal 1313 KUHPerdata memberikan rumusan tentang
“Perjanjian” sebagai berikut:
“suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”
21 Westra.Pariata. 2002. Ensiklopedia Administrasi. Catatan Kelima. Penerbit Gunung
Agung, Jakarta. hal 142.
27
Definisi Perjanjian oleh para sarjana diartikan berbeda-beda yaitu
antara lain:
Menurut Subekti, Perjanjian adalah “Suatu peristiwa dimana
seseorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melakukan
suatu hal”.
Sedangkan menurut Abdul Kadir Muhammad mengatakan
perjanjian adalah “suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih
saling melakukan sesuatu hal dalam lapangan harta kekayaan”.
Wirjono Prodjodikoro merumuskan perjanjian adalah “suatu
perhubungan hokum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam suatu
pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak
melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan
janji itu”.22
Perjanjian adalah sumber terpenting yang melahirkan perikatan,
tetapi ada juga sumber-sumber lain yang melahirkan perikatan. Sumber-
sumber lain ini tercakup dengan nama undang-undang. Jadi ada perikatan
yang lahir dari “perjanjian” dan ada perikatan yang lahir dari “undang-
undang”.23
Perikatan yang lahir dari perjanjian, memang dikehendaki oleh dua
orang atau dua pihak yang membuat suatu perjanjian, sedangkan perikatan
yang lahir dari undang-undang diluar kemauan para pihak yang
bersangkutan. Apabila dua orang yang mengadakan suatu perjanjian, maka
22 P.N.H. Simanjuntak. 1999. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Djambatan. Jakarta. hal.331 23 Subekti. 1990. Hukum Perjanjian. PT. Intermasa. Jakarta. hal.1
28
mereka bermaksud supaya antara mereka suatu perikatan hokum. Sungguh-
sungguh mereka itu terikat satu sama lain karena janji yang telah mereka
berikan. Tali perikatan itu barulah putus kalua janji itu sudah dipenuhi.24
2. Unsur-unsur perjanjian.
Perjanjian merupakan salah satu dari dasar hokum yang ada selain
Undang-Undang yang dapat menimbulkan perikatan. Suatu perjanjian itu
harus memenuhi 3 (tiga) macam unsur, yaitu25:
a. Essentialia, ialah unsur yang sangat esensi atau penting dalam suatu
perjanjian yang harus ada. Misal: di dalam perjanjian harus ada kata
sepakat antara kedua belah pihak.
b. Naturalia, ialah unsur perjanjian yang sewajarnya ad ajika tidak
dikesampingkan oleh kedua belah pihak. Misal: Menurut pasal 1474
KUHPerdata dalam perjanjian jual beli barang, penjual wajib menjamin
cacat yang tersembunyi. Namun kewajiban ini dapat ditiadakan dengan
kesepakatan antara kedua belah pihak.
c. Accidentalia, ialah unsur perjanjian yang ada jika dikehendaki oleh
kedua belah pihak. Misal: Perjanjian tidak dibutuhkan suatu bentuk
tertentu, artinya perjanjian boleh dibuat dengan akte atau secara lisan.
Apabila perjanjian sewa menyewa dilakukan dengan akte notaris, maka
para pihak menghendaki unsur accidentalia dalam perjanjian sewa
menyewa tersebut.
24 Subekti, Ibid, hal.3 25 Komariah. 2013. Hukum Perdata. UMM Press. Malang. hal.143
29
3. Asas-Asas dalam Perjanjian.
Hukum perjanjian memuat sejumlah asas hukum, asas hukum
menjadi semacam sumber untuk menghidupi tata hukumnya dengan nilai-
nilai etis, moral, social masyarakat. Adapun asas-asas hukum dalam
perjanjian antara lain26:
a. Asas Konsensualitas, artinya dengan adanya kata sepakat antara kedua
belah pihak, perjanjian sudah mengikat. Jadi perikatan lahir sejak detik
tercapainya kesepakatan. Asas konsensualitas ini dapat disimpulkan
dari pasal 1320 KUHPerdata yang menentukan bahwa salah satu syarat
sahnya perjanjian adalah kata sepakat.
b. Bentuk Perjanjian Bebas, artinya perjanjian tidak terikat pada bentuk
tertentu. Jadi boleh diadakan secara tertulis, boleh dengan lisan dan
sebagainya.
c. Kebebasan Berkontrak, artinya setiap orang bebas membuat perjanjian
yang terdapat dalam undang-undang yang dikenal sebagai perjanjian
bernama, misalnya: Jual Beli, Sewa Menyewa, Tukar Menukar.
d. Apa yang diperjanjikan mengikat kedua belah pihak. Asas ini dapat
disimpulkan dari pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata seperti halnya asas
kebebasan berkontrak tersebut diatas. Mengikat artinya masing-masing
pihak dalam perjanjian tersebut harus menghormati dan melaksanakan
isi perjanjian, serta tidak boleh melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan isi perjanjian.
26 Komariah, Ibid, hal 144
30
e. Asas Persamaan Hak, asas ini menempatkan para pihak dalam
perjanjian mempunyai persamaan derajat, dengan tidak mengindahkan
perbedaan bangsa, ras, agama, golongan, jenis kelamin, maupun status
social.
f. Asas Kepercayaan, Para pihak mau mengadakan perjanjian karena
adanya kepercayaan satu sama lain bahwa masing-masing akan
melaksanakan prestasi dan kontraprestasi
g. Asas Keseimbangan, Para pihak dalam perjanjian masing-masing
mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang.
h. Asas Kepatutan, seperti dituangkan dalam pasal 1339 KUHPerdata
bahwa perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang tegas
dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut
sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-
undang.
i. Asas Kepastian Hukum, pasal 1338 KUHPerdata menegaskan semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang begi
mereka yang membuatnya.
j. Asas Moral, Asas ini menunjukan adanya moral dalam melaksanakan
perikatan.
4. Syarat sahnya Perjanjian.
Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, untuk sahnya perjanjian
diperlukan 4 (empat) syarat, yaitu27:
27 Ibid. hal.146
31
a. Sepakat mereka yang mengikat dirinya.
Dengan sepakat dimaksudkan bahwa pihak-pihak yang mengadakan
perjanjian itu harus bersepakat, setuju mengenai hal-hal pokok dari
perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang
satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain.
b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.
Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian, artinya pihak-pihak yang
membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum, hal ini untuk
melindungi bagi pihak-pihak yang sebenarnya tidak cakap dalam
hukum dari akibat-akibat yang merugikan, cakap menurut hukum ialah
orang yang dewasa atau akil baliq dan sehat pikirannya, Dalam pasal
1330 KUHPerdata disebutkan orang-orang yang tidak cakap untuk
membuat suatu perjanjian, yaitu28:
1) Orang-orang yang belum dewasa. 2) Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan. 3) Orang perempuan yang telah kawin (dengan adanya UUNo.1 Tahun
1974, ketentuan ini tidak berlaku lagi). Menurut pasal 1330 KUHPerdata belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin.
c. Suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu artinya barang yang menjadi objek perjanjian paling
sedikit harus dapat ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya tidak
menjadi soal asalkan dapat ditentukan kemudian.
28 Komariah. Op.cit. hal. 146
32
d. Suatu sebab yang halal.
Suatu sebab yang halal, causa ini yang dimaksudkan undang-undang
adalah isi perjanjian itu sendiri. Jadi sebab atau causa tidak berarti
sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian yang
dimaksud.
5. Akibat hukum dari perjanjian yang dibuat secara sah.
Apabila suatu perjanjian yang dibuat sudah memenuhi syarat-
syarat sahnya perjanjian yang ditentukan dalam pasal 1320 KUHperdata,
maka menimbulkan akibat-akibat hukum29:
a. Mengikat kedua belah pihak, hal ini sesuai dengan pasal 1338 ayat 1
KUHPerdata.
b. Perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan
kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh Undang-
Undang dinyatakan cukup untuk itu.
c. Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik, Itikad baik disini
berarti kejujuran. Maksudnya perjanjian harus didasari oleh norma
kepatutan dan kesusilaan sesuai dengan pasal 1338 ayat 3
KUHPerdata.
d. Perjanjian tidak hanya mengikat kedua belah pihak tapi juga untuk
segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh
kepatutan, kebiasaan dan Undang-Undang.
29 Komariah. Ibid. hal. 151-152
33
6. Berakhirnya suatu perjanjian
Pasal 1381 KUH Perdata menyebutkan sepuluh cara hapusnya
perikatan, cara-cara tersebut adalah30:
a. Karena ada pembayaran. b. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpangan atau
penitipan. c. Novasi atau pembaharuan utang. d. Kompensasi atau perjumpaan utang atau kompensasi. e. Percampuran utang. f. Pembebasan utang. g. Musnahnya barang yang terutang. h. Batal/pembatalan. i. Berlakunya suatu syarat batal, dan. j. Lewatnya waktu
Sepuluh cara tersebut di atas belum lengkap, karena masih ada cara-
cara yang tidak disebutkan, misalnya berakhirnya suatu ketetapan waktu
dalam suatu perjanjian atau meninggalnya salah satu pihak dalam beberapa
macam perjanjian, seperti meninggalnya seorang persero dalam suatu
perjanjian firma.
D. Tinjauan Tentang Perjanjian Kredit
1. Pengertian Perjanjian Kredit
Kata kredit berasal dari bahasa romawi yaitu “credere” yang artinya
“percaya”. bila dihubungkan dengan bank selaku kreditur, kreditur akan
percaya untuk meminjamkan sejumlah uangnya kepada nasabah atau
debitur, karena debitur dapat dipercaya kemampuannya untuk membayar
lunas pinjamannya setelah jangka waktu yang ditentukan.
30 Sutarno. 2003. Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank. Alfabeta. Jakarta. hal. 84
34
Menurut Undang-undang nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan
atas Undang-Undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan, pasal 1 butir
11, kredit adalah :
“Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.” Kredit dapat diartikan sebagai kesanggupan akan meminjam uang
atau kesanggupan akan mengadakan transaksi dagang atau memperolah
penyerahan barang atau jasa, dengan perjanjian akan membayarnya kelak31.
Adapun unsur-unsur yang terkandung dalam pemberian suatu
fasilitas kredit adalah sebagai berikut32:
a. Kepercayaan
Yaitu suatu keyakinan pemberi kredit (bank) bahwa kredit yang
diberikan baik berupa uang, barang atau jasa akan benar-benar diterima
kembali dalam jangka waktu tertentu di masa yang akan datang.
b. Kesepatakan
Kesepakatan ini dituangkan dalam suatu perjanjian dimana masing-
masing pihak menandatangani hak dan kewajibannya masing-masing.
Kesepakatan penyaluran kredit dituangkan dalam akad kredit yang
ditangani oleh kedua belah pihak yaitu pihak Bank dan nasabah.
31 Munir Fuadi. 2002. Hukum Perkreditan Kontemporer. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.
hal.6 32 Suyatno. Thomas. 2001. Dasar-Dasar Perkreditan. Edisi II. PT. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta. hal.32
35
c. Jangka Waktu
Jangka Waktu Setiap kredit yang diberikan pasti memiliki jangka waktu
tertentu, jangka waktu ini rnencakup masa pengembalian kredit yang
telah disepakati.
d. Resiko
Faktor resiko kerugian dapat diakibatkan dua hal yaitu resiko kerugian
yang diakibatkan nasabah sengaja tidak mau mernbayar kreditnya dan
resiko kerugian yang diakibatkan karena nasabah tidak sengaja, yaitu
akibat terjadinya musibah seperti bancana alam.
e. Balas Jasa
Akibat dan fasilitas kredit, Bank tentu mengharapkan suatu keuntungan
dalam jumlah tertentu. Keuntungan atas pemberian suatu kredit atau
jasa tersebut yang kita kenal dengan nama bunga bagi Bank prinsip
konvensional, sedangkan bagi Bank yang berdasarkan prinsip syari’ah
balas jasanya ditentukan dengan bagi hasil dan balas jasanya ditentukan
dengan bagi hasil dan balas jasa tersebut merupakan keuntungan utama
bagi Bank.
Walaupun dalam Pasal 1 butir 11 Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 entang perubahan atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan ditentukan bahwa kredit diberikan berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak
lain, namun UndangUndang tersebut tidak menentukan lebih lanjut
mengenai bagaimana bentuk persetujuan pinjam-meminjam tersebut.
36
Pengertian perjanjian kredit belum dirumuskan, dalam Undang-
undang No.10 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 7
tahun 1992 tentang Perbankan.Pengertian jaminan kredit ini dirumuskan
dalam ketentuan umum Rancangan Undang-Undang tentang Perkreditan
Perbankan.Pengertian perjanjian kredit adalah sebagai berikut:
Perjanjian kredit adalah persetujuan dan/atau kesepakatan yang
dibuat bersama antara kreditur dan debitur atas sejumlah kredit dengan
kondisi yang tidak diperjanjikan, hal mana pihak debitur wajib untuk
mengembalikan kredit yang telah diterima dalam jangka waktu tertentu
disertai bunga dan biaya-biaya yang disepakati.
Subekti berpendapat bahwa: “Dalam bentuk apapun juga
pemberian kredit itu diadakan, dalam semuanya itu pada hakekatnya yang
terjadi adalah suatu perjanjian pinjam-meminjam sebagimana diatur oleh
KUH Perdata Pasal 1754 – pasal 1769.33
Hal yang sama dikemukakan pula oleh Mariam darus
Badrulzaman: “Dari rumusan yang terdapat di dalam Undang-Undang
Perbankan mengenai Perjanjian kredit, dapat disimpulkan bahwa dasar
perjanjian kredit adalah perjanjian pinjam-meminjam di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1754. Perjanjan pinjam-meminjam
ini juga mengandung makna yang luas yaitu objeknya adalah benda yang
menghabis jika verbruiklening termasuk di dalamnya uang. Berdasarkan
perjanjian pinjam-meminjam ini, pihak penerima pinjaman menjadi
33 Johannes Ibrahim. 2003. Pengimpasan Pinjaman (kompensasi0 Dan Asas Kebebasan
Berkontrak Dalam Perjanjian Kredit Bank. CV UTOMO. Bandung. h. 46.
37
pemilik yang dipinjam dan kemudian harus dikembalikan dengan jenis
yang sama kepada pihak yang meminjamkan. Karenanya perjanjian kredit
ini merupakan perjanjian yang bersifat riil, yaitu bahwa terjadinya
perjanjian kredit ditentukan oleh “penyerahan” uang oleh bank kepada
nasabah. 34
2. Sifat Perjanjian Kredit
Pada dasarnya perjanjian kebendaan dapat dibedakan menjadi 2
macam, yaitu perjanjian pokok dan perjanjian accesoir. Perjanjian pokok
merupakan perjanjian untuk mendapatkan fasilitas kredit dari lembaga
perbankan atau lembaga keuangan non-bank. Rutten berpendapat bahwa
perjanjian pokok adalah perjanjian-perjanjian yang untuk adanya
mempunyai dasar mandiri. Salah satucontoh dari perjanjian pokok ini
adalah perjanjian kredit. Jadi kesimpulannya Perjanjian Kredit ini
memiliki sifat perjanjian pokok. Sedangkan yang dimaksud dengan
perjanjian accesoir adalah perjanjian yang bersifat tambahan dan dikaitkan
dengan perjanjian pokok. Contoh perjanjian accesoir adalah perjanjian
jaminan.35
3. Bentuk Perjanjian Kredit
Menurut hukum, perjanjian kredit dapat dibuat secara lisan atau
tertulis yang penting memenuhi syarat-syarat pasal 1320 KUHPerdata.
Untuk pemberian kredit perlu dibuat perjanjian kredit sebagai alat bukti.
34 Ibid. 35 Petty Dinda Sari. 2012. Penyelesaian wanprestasi pada perjanjian kredit usaha kecil
tanpa agunan. Digilib:UMM. hal.31
38
Dasar hukum perjanjian kredit secara tertulis dapat mengacu pada
pasal 1 ayat 11 Undang-undang No.10 tahun 1998 tentang perubahan
Undang-undang No.7 tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam pasal itu
terdapat kata-kata: penyedian uang atau tagihan berdasarkan persetujuan
atau kesepakatan pinjam-meminjam antara Bank dengan pihak lain.
Kalimat tersebut menunjukkan bahwa pemberian kredit harus dibuat
perjanjian. Dasar hukum lain yang mengharuskan perjanjian kredit harus
tertulis adalah instruksi Presidium Kabinet No. 15/EK/IN/10/1966 tanggal
10 Oktober 1966.
Dalam instruksi tersebut ditegaskan “Dilarang melakukan
pemberian kredit tanpa adanya perjanjian kredit yang jelas antara Bank
dengan Debitur atau antara Bank sentral dan Bank-Bank lainnya. Surat
Bank Indonesia yang ditujukan kepada segenap Bank Devisa No.
03/1093/UPK/KPD tanggal 29 Desember 1970, khususnya butir 4
berbunyi untuk pemberian kredit harus dibuat perjanjian surat kredit.
Dengan keputusan-keputusan tersebut maka pemberian kredit oleh Bank
kepada debiturnya menjadi pasti bahwa36:
a. Perjanjian diberi nama perjanjian kredit. b. perjanjian kredit harus dibuat secara tertulis.
Perjanjian kredit termasuk salah satu jenis/ bentuk akta yang dibuat
sebagai alat bukti. Dalam praktek Bank ada 2 (dua) bentuk perjanjian
kredit, yaitu:
36 Ibid. hal.32
39
a. Perjanjian kredit yang dibuat dibawah tangan dinamakan akta dibawah
tangan artinya perjanjian yang disiapkan dan dibuat sendiri oleh Bank
kemudian ditawarkan kepada debitur untuk disepakati. Untuk
mempermudah dan mempercepat kerja Bank, biasanya Bank sudah
menyiapkan formulir perjanjian dalam bentuk standard
(standaardform) yang isi, syarat-syarat dan ketentuannya disiapkan
terlebih dahulu secara lengkap. Bentuk perjanjian kredit yang dibuat
sendiri oleh Bank tersebut termasuk jenis Akta Dibawah Tangan.
Perjanjian kredit yang sudah disiapkan Bank dalam bentuk standard
(standardform), contohnya perjanjian kredit retail BRI, perjanjian
kredit pemilikan rumah Bank Tabungan Negara (KPR-BTN) dll.
b. Perjanjian kredit yang dibuat oleh dan dihadapan Notaris yang
dinamakan akta otentik atau akta notariil. Yang menyiapkan dan
membuat perjanjian ini adalah seorang Notaris namun dalam praktek
semua syarat dan ketentuan perjanjian kredit disiapkan oleh Bank
kemudian diberikan kepada Notaris untuk dirumuskan dalam akta
notariil. Perjanjian kredit yang dibuat dalam bentuk akta notariil atau
akta otentik biasanya untuk pemberian kredit dalam jumlah yang besar
dengan jangka waktu menengah atau panjang, seperti kredit investasi,
kredit modal kerja, kredit sindikasi (kredit yang diberikan lebih dari
satu Kreditur atau lebih dari satu Bank.37
37 Ibid. hal.32
40
E. Tinjauan Tentang Perlindungan Hukum Nasabah.
1. Pengertian Perlindungan Hukum Nasabah.
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia kata perlindungan berasal
dari kata lindung, belindung yang berarti “menempatkan dirinya dibawah
(dibalik, dibelakang) sesuatu supaya tidak terlihat atau tidak kena angin
dan panas”. Perlindungan sendiri diartikan sebagai hal (perbuatan) yang
menjadikan (menyebabkan) berlindung.38
Menurut Utrecht dalam Kansil belum ada pengertian hukum yang
pasti tetapi beliau memberikan batasan bahwa hukum adalah himpunan
himpunan peraturan (perintah dan larangan) yang mengurus tata tertib
suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu. 39
Pengertian hukum dalam kamus besar Bahasa Indonesia dijelaskan
sebagai peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang
dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah atau otoritas, undang-undang,
peraturan dsb. Untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat. 40
Dalam pelaksanaan kegiatan usaha perbankan seringkali hak-hak
nasabah tidak dapat terlaksana dengan baik sehingga menimbulkan friksi
antara nasabah dengan bank yang ditunjukkan dengan munculnya
pengaduan nasabah. Perlindungan nasabah ini apabila tidak diselesaikan
dengan baik oleh bank berpotensi menjadi perselisihan atau sengketa yang
pada akhirnya akan dapat merugikan nasabah dan atau bank. Tidak adanya
38 Tim Penyusunan Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, PN. Balai Pustaka, Jakarta, 1995, hlm. 595 39 C.S.T. Kansil, 1989, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, hlm.35 40 Tim Penyusun Kamus P3B, op cit. hlm. 359
41
mekanisme standar dalam penanganan perlindungan nasabah selama ini
telah menyebabkan perselisihan atau sengketa antara nasabah dengan bank
cenderung berlarut-larut, antara lain ditunjukkan dengan cukup banyaknya
keluhan-keluhan nasabah di berbagai media. Munculnya keluhan-keluhan
yang tersebar kepada publik melalui berbagai media tersebut dapat
menurunkan reputasi bank di mata masyarakat dan berpotensi menurunkan
kepercayaan masyarakat pada lembaga perbankan apabila tidak segera
ditanggulangi.
Oleh karena itu, untuk mengurangi publikasi negatif terhadap
operasional bank dan menjamin terselenggaranya mekanisme penyelesaian
perlindungan nasabah secara efektif dalam jangka waktu yang memadai,
maka Bank Indonesia memandang perlu untuk menetapkan standar
minimum mekanisme penyelesaian pengaduan nasabah dalam Peraturan
Bank Indonesia yang wajib dilaksanakan oleh seluruh bank. Selain tujuan
tersebut, Peraturan Bank Indonesia ini juga ditujukan untuk mendukung
kesetaraan hubungan antara bank sebagai pelaku usaha dengan nasabah
sebagai konsumen pengguna jasa perbankan
Dari ulasan diatas dapat disimpulakan bahwa perlindungan hukum
adalah seperangkat peraturan yang dibuat penguasa sebagai upaya
memberikan sesuatu (hal) yang dapat melindungi hak dan kewajiban
masyarakat yang bertujuan untuk mengatur ketertiban dalam masyarakat.
Perlindungan yang diberikan oleh penguasa di Indonesia lazimnya
tertuang dalam suatu aturan hukum, tetapi tidak jarang pula ditemukan
42
bentuk perlindungan hukum lain yaitu perlindungan hukum yang lahir dari
suatu kesepakatan antara pihak pihak yang berkepentingan.
Perlindungan hukum merupakan hak mutlak yang harus diberikan
penguasa kepada masyarakat sebagaimana yang tertuang dalam Undang-
undang No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM pasal 1 ayat 1 yang bunyinya
adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh
Negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia.
Perlindungan terhadap nasabah penyimpan dana sendiri menurut
system perbankan Indonesia dapat dilakukan melalui dua cara yaitu41:
a. Perlindungan secara implisit (Implicit Deposit Protection), yaitu
perlindungan yang diperoleh melalui:
1) Peraturan Perundang – undangan di bidang perbankan (Undang –
Undang Nomor 10. Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang –
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
2) Perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan
yang dilakukan Bank Indonesia.
3) Upaya menjaga kelangsungan usaha bank sebagai suatu lembaga
pada khususnya dan perlindungan terhadap sistem perbankan pada
umumnya.
41 Marulak Pardede. 1998. Likuidasi Bank dan Perlindungan Nasabah, Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. hlm.30
43
4) Memelihara tingkat kesehatan bank.
5) Melakukan usaha sesuai dengan prinsip kehati – hatian.
6) Cara pemberian kredit yang tidak merugikan hak dan kepentingan
nasabah.
7) Menyediakan informasi resiko pada nasabah.
b. Perlindungan secara eksplisit (Explicit Deposit Protection), yaitu
perlindungan yang diperoleh melalui pembentukan lembaga yang
menjamin simpanan masyarakat hokum
Perlindungan secara implicit adalah perlindungan yang dihasilkan
oleh pengawasan dan pembinaan yang efektif, yang dapat menghindarkan
terjadinya kebangkrutan bank yang diawasi. Sedangkan perlindungan
secara eksplisit adalah perlindungan melalui pembentukan suatu lembaga
yang menjamin simpanan masyarakat. Lembaga tersebut yang akan
mengganti dana msyarakat yang telah disimpan pada bank yang
mengalami kegagalan.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan hanya mengatur
perlindungan secara implicit. Dalam Undang-Undang tersebut, pada
dasarnya perlindungan kepada nasabah tidak dapat dipisahkan dengan
upaya menjaga kelangsungan bank sebagai suatu lembaga pada khususnya
dan perlindungan terhadap system perbankan pada umumnya. Melihat
hubungan hukum antara nasabah dan bank yang didasarkan atas suatu
perjanjian, maka wajar apabila kepentingan dari nasabah yang
44
bersangkutan memperoleh perlindungan hukum, sebagaimana
perlindungan yang diberikan oleh hukum kepada bank.
Hakikat dari perlindungan hukum terhadap nasabah adalah
melindungi kepentingan nasabah di suatu bank tertentu terhadap suatu
resiko kerugian. Perlindungan hukum ini juga merupakan upaya untuk
mempertahankan dan memelihara kepercayaan masyarakat khususnya
nasabah maka sudah sepatutnya di dalam perbankan perlu memberikan
perlindungan hukum itu42.
Maka dari itu tujuan dari perlindungan hukum bagi nasabah yaitu43:
a. Untuk meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian nasabah untuk melindungi diri.
b. Untuk meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hakhaknya sebagai nasabah.
c. Menumbuhkan kesadaran lembaga keuangan bank mengenai pentingnya perlindungan nasabah sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam dunia perbankan nasional.
d. Menciptakan sistem perlindungan nasabah yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
Penyelesaian perlindungan nasabah merupakan salah satu bentuk
peningkatan perlindungan nasabah dalam rangka menjamin hak-
haknasabah dalam berhubungan dengan bank, pengaduan nasabah yang
tidak segera ditindaklanjuti berpotensi meningkatkan risiko reputasi bagi
bank dan dalam jangka panjang dapat menurunkan kepercayaan
masyarakat terhadap lembaga perbankan. Upaya yang jelas diperlukan
bagi nasabah adalah diadakannya hak-hak nasabah serta terlindunginya
42 Hermansyah. 2005. Hukum Perbankan Nasional Indonesia. Kencana. Jakarta, hlm.124 43 Az. Nasution. 1999. Hukum Perlindungan Bagi Nasabah dan Konsumen (Suatu
Pengantar). Daya Widya. Jakarta. hal 20
45
nasabah darisegala upaya persaingan perbankan yang dapat menimbulkan
kerugian atas diri pribadi. Untuk itu diperlukan keseimbangan kepentingan
antara nasabah dengan bank.
2. Hak-Hak Nasabah
Sebagai nasabah bank, para nasabah itu juga mempunyai hak-hak
nasabah yang juga pantut diperhatikan oleh pihak bank hak-hak nasabah
yaitu sebagai berikut44:
a. Hak atas kenyamaanan, keamanan sebagai pemakai jasa bank. b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa bank, serta mendapatkan
barang atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan dari pihak bank.
c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai produk bank maupun jasa bank.
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas produk dan jasa bank yang digunakan.
e. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dan penyelesaian sengketa perlindungan nasabah secara patut dan sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku
f. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif
g. Hak untuk mendapatkan kompensasi, anti rugi, dan/ atau penggantian apabila produk atau jasa bank yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian.
3. Kewajiban Nasabah
Sedangkan kewajiban dari nasabah itu sendiri yaitu45:
a. Mengikuti petunjuk informasi dan prosedur dalam pemakaian atau pemanfaatan produk dan atau jasa bank untuk keamanan.
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi perbankan. c. Mengikuti upaya penyelesaian yang ada apabila terjadi sengketa
perlindungan nasabah sesuai dengan aturan atau prosedur yang berlaku
44 Yusuf Shofie. 2003. Perlindungan Nasabah dan Instrumen-instrumen Hukumnya. PT.
Citra Aditya Bakti. Bandung. Hlm.54 45 Ibid. Hlm. 57