bab ii tinjauan pustaka a. tindak pidana. kajian tentang ......a. tindak pidana. kajian tentang ....
TRANSCRIPT
-
30
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tindak Pidana.
Kajian Tentang Tindak Pidana
Para ahli membagi hukum pidana berdasarkan beberapa hal. Salah
satunya, hukum pidana dapat dibagi menjadi hukum pidana umum dan
hukum pidana khusus.
Dalam bukunya berjudul Dasar-dasar Hukum Pidana, PAF
Lamintang menjelaskan bahwa hukum pidana itu juga dapat dibagi
menjadi dua bagian, yaitu, hukum pidana umum (algemeen strafrecht)
dan hukum pidana khusus (bijzonder strafcrecht).1
Hukum pidana umum adalah hukum pidana yang dengan sengaja
telah dibentuk untuk diberlakukan bagi setiap orang pada umumnya,
sedangkan hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang dengan
sengaja telah dibentuk untuk diberlakukan bagi orang-orang tertentu.2
Secara singkat, dapat dilihat pembagian hukum pidana umum dengan
hukum pidana khusus dengan peraturan yang ada, yakni bahwa hukum
pidana yang diatur di dalam KUHP merupakan hukum pidana umum,
karena ketentuan di dalamnya berlaku untuk semua orang. Sedangkan
1 P.A.F. Lamintang,”Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia”, Bandung: Sinar Baru, 1984 ,
hal.11 2 P.A.F. Lamintang, “Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia”, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1997, hal. 2-3.
-
31
hukum pidana khusus, bisa dilihat dari peraturan perundang-undangan
yang mengatur ketentuan pidana di luar KUHP, misalnya UU Tindak
Pidana Korupsi, UU Tindak Pidana Pencucian Uang, dan lainnya.3
1. Tindak Pidana Umum
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
ditemukan istilah strafbaarfeit. Tim Penerjemah Badan Pembinaan
Hukum Nasional dalam menerjemahkan KUHP dari bahasa Belanda
ke bahasa Indonesia telah menerjemahkan istilah strafbaarfeit ini
sebagai tindak pidana. Namun di dalam KUHP tidak diberikan
pengertian terhadap istilah tindak pidana (strafbaarfeit) itu sendiri.
Selain itu, para penulis hukum pidana juga memberikan
pendapat mereka masing-masing guna menjelaskan tentang arti dari
istilah tindak pidana. Diantaranya adalah Wiryono Prodjodikoro
yang menjelaskan bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang
apabila dilakukan oleh pelaku, maka pelakunya seharusnya dipidana
berdasarkan undang-undang hukum pidana.4 Menurut Vos, tindak
pidana adalah salah kelakuan yang diancam oleh peraturan
perundang-undangan, jadi suatu kelakuan yang pada umumnya
dilarang dengan ancaman pidana.5 Menurut Simons, tindak pidana
3 Ibid
4 Wirjono Prodjodikoro, “Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia”, Refika Aditama,
Bandung, 2008, hal. 58. 5 Tri Andrisman. Hukum Pidana. Universitas Lampung. 2007. Bandar Lampung, hal. 81
-
32
adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang
bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan
yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab.6
Didalam KUHP, juga didalam Perundang-undangan pidana
yang lain, Tindak Pidana dirumuskan didalam pasal-pasal. Perlu
diperhatikan bahwa di bidang hukum pidana kepastian hukum atau
lex certa merupakan hal yang esensial, dan ini telah ditandai oleh
asas legalitas pada Pasal 1 ayat (1) KUHP. Untuk benar-benar
memahami apa yang dimaksudkan didalam pasal-pasal itu masih
diperlukan penafsiran.7
Pompe mendefinisikan tindak pidana sebagai adalah suatu
pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan
sipelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata
hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum sedangkan menurut
hukum positif adalah suatu kejadian yang oleh peraturan undang-
undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.8
Menurut Moeljatno, tindak pidana adalah suatu perbuatan
yang memiliki unsur dan dua sifat yang berkaitan, unsur-unsur yang
dapat dibagi menjadi dua macam yaitu:
6Ibid.
7 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hal. 55-56.
8Ibid.
-
33
a. Subyektif adalah berhubungan dengan diri sipelaku dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung
dihatinya.
b. Obyektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri sipelaku atau yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaannya,
yaitu dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari
sipelaku itu harus dilakukan.9
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat diketahui
tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan
sesuatu yang memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang
dilarang dan diancam dengan pidana, dimana penjatuhan pidana
terhadap pelaku adalah demi terpeliharanya tertib hukum dan
terjaminnya kepentingan umum.
2. Jenis-Jenis Tindak Pidana Umum
Menurut Moeljatno, jenis-jenis tindak pidana dibedakan atas
dasar-dasar tertentu, antara lain sebagai berikut:10
a. Menurut Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP) dibedakan
antara lain kejahatan yang dimuat dalam Buku II dan
Pelanggaran yang dimuat dalam Buku III. Pembagian tindak
pidana menjadi “kejahatan” dan “pelanggaran” itu bukan
hanya merupakan dasar bagi pembagian KUHP kita menjadi
Buku ke II dan Buku III melainkan juga merupakan dasar
9Moeljatno, “Azas-Azas Hukum Pidana”, Rineka Cipta. 1993. Jakarta. hal. 69
10Ibid, hal. 47
-
34
bagi seluruh sistem hukum pidana di dalam Perundang-
undangan secara keseluruhan.
b. Cara merumuskannya, dibedakan dalam tindak pidana formil
(formeel elicten) dan tindak pidana materil (materiil
delicten). Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang
dirumuskan bahwa larangan yang dirumuskan itu adalah
melakukan perbuatan tertentu. Misalnya Pasal 351 KUHP
yaitu tentang penganiayaan. Tindak pidana materil inti
larangannya adalah pada menimbulkan akibat yang dilarang,
karena itu siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang
itulah yang dipertanggung jawabkan dan dipidana.
c. Dilihat dari bentuk kesalahan, tindak pidana dibedakan
menjadi tindak pidana sengaja (dolus delicten) dan tindak
pidana tidak sengaja (culpose delicten). Contoh tindak
pidana kesengajaan (dolus) yang diatur di dalam KUHP
antara lain sebagai berikut: Pasal 310 KUHP (penghinaan)
yaitu sengaja menyerang kehormatan atau nama baik
seorang, Pasal 322 KUHP (membuka rahasia) yaitu dengan
sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena
jabatan atau pencariannya. Pada delik kelalaian (culpa) orang
-
35
juga dapat dipidana jika ada kesalahan, misalnya Pasal 360
Ayat 2 KUHP yang menyebabkan orang lain luka-luka.
d. Berdasarkan macam perbuatannya, tindak pidana aktif
(positif), perbuatan aktif juga disebut perbuatan materil
adalah perbuatan untuk mewujudkannya diisyaratkan dengan
adanya gerakan tubuh orang yang berbuat, misalnya
Pencurian (Pasal 362 KUHP) dan penipuan (Pasal 378
KUHP). Tindak pidana dibedakan menjadi dua yaitu:
1. Tindak pidana murni adalah tindak pidana yang
dirumuskan secara formil atau tindak pidana yang pada
dasarnya unsur perbuatannya berupa perbuatan pasif,
misalnya diatur dalam Pasal 224,304 dan 552 KUHP.
2. Tindak pidana tidak murni adalah tindak pidana yang
pada dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi dapat
dilakukan secara tidak aktif atau tindak pidana yang
mengandung unsur terlarang tetapi dilakukan dengan
tidak berbuat, misalnya diatur dalam Pasal 338 KUHP.
Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat diketahui bahwa jenis-
jenis tindak pidana terdiri dari tindak pidana kejahatan dan tindak
pidana pelanggaran, tindak pidana formil dan tindak pidana materil,
-
36
tindak pidana sengaja dan tindak pidana tidak sengaja serta tindak
pidana aktif dan tindak pidana pasif.
Klasifikasi tindak pidana menurut system KUHP dibagi
menjadi dua bagian, kejahatan (minsdrijven) yang diatur dalam Buku
II KUHP dan pelanggaran overtredigen yang diatur dalam Buku III
KUHP. Pembagian perbedaan kejahatan dan pelanggaran didasarkan
atas perbedaan prinsipil, yaitu:
a. Kejahatan adalah rechtsdelict, artinya perbuatan-perbuatan yang
bertentangan dengan keadilan. Pertentangan ini terlepas
perbuatan itu diancam pidana dalam suatu Perundang-undangan
atau tidak. Jadi, perbuatan itu benar-benar dirasakan masyarakat
sebagai bertentangan dengan keadilan.
b. Pelanggaran adalah wetsdelict, artinya perbuatan-perbuatan yang
didasari oleh masyarakat sebagai suatu tindak pidana karena
undang-undang menyebutkan sebagai delik.11
3. Tindak Pidana Khusus
Selain Tindak Pidana Umum, adapula Tindak Pidana Khusus.
Pertama kali dikenal istilah Hukum Pidana Khusus, sekarang diganti
dengan istilah Hukum Tindak Pidana Khusus. Timbul pertanyaan,
11
Tri Andrisman, Op.Cit, hal. 86
-
37
apakah ada perbedaan dari kedua istilah ini. Oleh karena yang
dimaksud dengan kedua istilah itu adalah UU Pidana yang berada di
luar Hukum Pidana Umum yang mempunyai penyimpangan dari
Hukum Pidana Umum baik dari segi Hukum Pidana Materiil maupun
dari segi Hukum Pidana Formal. Kalau tidak ada penyimpangan
tidaklah disebut Hukum Pidana Khusus atau Hukum Tindak Pidana
Khusus.12
Hukum Tindak Pidana Khusus mengatur perbuatan tertentu
atau berlaku terhadap orang tertentu yang tidak dapat dilakukan oleh
orang lain selain orang tertentu. Oleh karena itu hukum tindak pidana
khusus harus dilihat dari substansi dan berlaku kepada siapa Hukum
Tindak Pidana Khusus itu. Hukum Tindak Pidana Khusus ini diatur
dalam UU di luar Hukum Pidana Umum. Penyimpangan ketentuan
hukum pidana yang terdapat dalam UU Pidana merupakan indikator
apakah UU Pidana itu merupakan Hukum Tindak Pidana Khusus atau
bukan. Sehingga dapat dikatakan bahwa Hukum Tindak Pidana
Khusus adalah UU Pidana atau Hukum Pidana yang diatur dalam UU
Pidana tersendiri. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Pompe yang
mengatakan: “Hukum Pidana Khusus mempunyai tujuan dan fungsi
tersendiri”.
12
Andi Hamzah, “Perkembangan Hukum Pidana Khusus”, Rineka Cipta, Jakarta, 1991, hal 14-15
-
38
UU Pidana yang dikualifikasikan sebagai Hukum Tindak
Pidana Khusus ada yang berhubungan dengan ketentuan Hukum
Administrasi Negara terutama mengenai penyalahgunaan
kewenangan. Tindak Pidana yang menyangkut penyalahgunaan
kewenangan ini terdapat dalam perumusan tindak pidana korupsi.
4. Ruang Lingkup Tindak Pidana Khusus
Ruang lingkup tindak pidana khusus ini tidaklah bersifat tetap,
akan tetapi dapat berubah tergantung dengan apakah ada
penyimpangan atau menetapkan sendiri ketentuan khusus dari UU
Pidana yang mengatur substansi tertentu. Contoh: UU No. 32 Tahun
1964 tentang Lalu Lintas Devisa telah dicabut dengan UU No. 24
Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar
Uang, sehingga UU yang mengatur tentang Lalu Lintas Devisa ini
tidak lagi merupakan tindak pidana khusus.
Ruang lingkup hukum tindak pidana khusus:
a. Hukum Pidana Ekonomi (UU Drt. No. 7 Tahun 1955)
b. Tindak Pidana Korupsi
c. Tindak Tindak Pidana Narkotika dan Psikotropika
d. Tindak Pidana Perpajakan
e. Tindak Pidana Kepabeanan dan Cukai
-
39
f. Tindak Pidana Pencucian Uang (money laundering)
g. Tindak Pidana Anak
Tindak pidana ekonomi merupakan tindak pidana khusus yang
lebih khusus dari kedua tindak pidana khusus lainnya. Tindak pidana
ekonomi ini dikatakan lebih khusus karena aparat penegak hukum dan
pengadilannya adalah khusus untuk tindak pidana ekonomi. Misalnya
Jaksanya harus Jaksa ekonomi, Paniteranya harus panitera ekonomi dan
hakim harus hakim ekonomi demikian juga pengadilannya harus
pengadilan ekonomi.
B. Tindak Pidana Korupsi
Korupsi berasal dari bahasa Latin: corruption dari kata kerja
corrumpere berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik,
menyogok. Menurut Transparency International adalah perilaku pejabat
publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak
wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang
dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang
dipercayakan kepada mereka.13
13
Muhammad Shoim, “Laporan Penelitian Individual (Pengaruh Pelayanan Publik
Terhadap Tingkat Korupsi pada Lembaga Peradilan di Kota Semarang”), Pusat Penelitian
IAIN Walisongo Semarang, 2009, hal.14
-
40
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi secara harfiah
berarti: buruk, rusak, suka memakai barang (uang) yang dipercayakan
padanya, dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk kepentingan
pribadi). Adapun arti terminologinya, korupsi adalah penyelewengan
atau penggelapan (uang negara atau perusahaan) untuk kepentingan
pribadi atau orang lain.14
Menurut Sudarto, istilah korupsi berasal dari perkataan
“Corruption”, yang berarti kerusakan. Misalnya dapat dipakai dalam
kalimat Naskah Kuno Negara Kertagama ada yang Corrup (rusak).
Disamping itu perkataan korupsi dipakai pula untuk menunjuk keadaan
atau perbuatan yang busuk. Korupsi banyak disangkutkan kepada
ketidak-jujuran seseorang dalam bidang keuangan.
Sedangkan pada pandangan lainnya Kata „”Korupsi” berasal dari
bahasa latin “Corruptio” atau “Corruptus”. Selanjutnya disebutkan
bahwa “Corruptio” itu berasal pula dari kata asal “Corrumpere” suatu
kata latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun kebanyak bahasa
Eropa seperti Korupsi.15
Sementara, disisi lain, korupsi (corrupt, corruptie, corruption) juga
bisa bermakna kebusukan, keburukan, dan kebejatan. Definisi ini
14 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1995, hal. 527 15
Nyoman Sarikat Putera Jaya, “Tindak Pidana Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di
Indonesia”, Cetakan Kedua. Semarang. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, hal. 12
-
41
didukung oleh Acham yang mengartikan korupsi sebagai suatu tindakan
yang menyimpang dari norma masyarakat dengan cara memperoleh
keuntungan untuk diri sendiri serta merugikan kepentingan umum.
Intinya, korupsi adalah menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan
publik atau pemilik untuk kepentingan pribadi. Sehingga, korupsi
menunjukkan fungsi ganda yang kontradiktif, yaitu memiliki
kewenangan yang diberikan publik yang seharusnya untuk
kesejahteraan publik, namun digunakan untuk keuntungan diri sendiri.
Korupsi merupakan kejahatan yang dilakukan dengan penuh
perhitungan oleh mereka yang justru merasa sebagai kaum terdidik dan
terpelajar. Korupsi juga bisa dimungkinkan terjadi pada situasi dimana
seseorang memegang suatu jabatan yang melibatkan pembagian
sumber-sumber dana dan memiliki kesempatan untuk
menyalahgunakannya guna kepentingan pribadi. Nye mendefinisikan
korupsi sebagai perilaku yang menyimpang dari tugas formal sebagai
pegawai publik untuk mendapatkan keuntungan finansial atau
meningkatkan status. Selain itu, juga bisa diperoleh keuntungan secara
material, emosional, atau pun simbol.16
Kata korupsi telah dikenal luas oleh masyarakat, tetapi definisinya
belum tuntas dibukukan. Pengertian korupsi berevolusi pada tiap zaman,
16
Nadiatus Salama, “Fenomena Korupsi Indonesia (Kajian Mengenai Motif dan Proses
Terjadinya Korupsi)”,Pusat Penelitian IAIN Walisongo Semarang, 2010, hal.16-17.
-
42
peradaban, dan teritorial. Rumusannya bisa berbeda tergantung pada
titik tekan dan pendekatannya, baik dari perspektif politik, sosiologi,
ekonomi dan hukum. Korupsi sebagai fenomena penyimpangan dalam
kehidupan sosial, budaya, kemasyarakatan, dan kenegaraan sudah dikaji
dan ditelaah secara kritis oleh banyak ilmuwan dan filosof. Aristoteles
misalnya, yang diikuti oleh Machiavelli, telah merumuskan sesuatu
yang disebutnya sebagai korupsi moral (moral corruption).17
Sebetulnya pengertian korupsi sangat bervariasi. Namun demikian,
secara umum korupsi itu berkaitan dengan perbuatan yang merugikan
kepentingan publik atau masyarakat luas untuk kepentingan pribadi atau
kelompok tertentu.18
Agar bisa mendapatkan pemahaman secara
gamblang, berikut ini adalah pandangan dan pengertian korupsi menurut
berbagai sumber:
a. Syed Husein Alatas.
Menurut pemakaian umum, istilah “korupsi” pejabat, kita
menyebut korup apabila seorang pegawai negeri menerima
pemberian yang disodorkan oleh seorang swasta dengan maksud
mempengaruhinya agar memberikan perhatian istimewa pada
kepentingan-kepentingan si pemberi. Terkadang perbuatan
17
Albert Hasibuan, “Titik Pandang Untuk Orde Baru, Pustaka Sinar Harapan”, Jakarta,
1997, hlm. 342-347 18
BPKP, “Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional”, Pusat Pendidikan dan Pengawasan
BPKP, Jakarta, Cet I, 1999,hal. 257
-
43
menawarkan pemberian seperti itu atau hadiah lain yang
menggoda juga tercakup dalam konsep itu. Pemerasan, yakni
permintaan pemberian-pemberian atau hadiah seperti itu dalam
pelaksanaan tugas-tugas publik, juga bisa dipandang sebagai
„korupsi‟. Sesungguhnyalah, istilah itu terkadang juga dikenakan
pada pejabat-pejabat yang menggunakan dana publik yang
mereka urus bagi keuntungan mereka sendiri; dengan kata lain,
mereka yang bersalah melakukan penggelapan di atas harga yang
harus dibayar publik.19
b. David H. Bayley
Korupsi sebagai “perangsang” (seorang pejabat
pemerintah) berdasarkan itikad buruk (seperti misalnya, suapan)
agar ia melakukan pelanggaran kewajibannya”. Lalu suapan
(sogokan) diberi definisi sebagai “hadiah, penghargaan,
pemberian atau keistimewaan yang dianugerahkan atau
dijanjikan, dengan tujuan merusak pertimbangan atau tingkah
laku, terutama seorang dari dalam kedudukan terpercaya (sebagai
pejabat pemerintah).20
Jadi korupsi sekalipun khusus terkait
dengan penyuapan atau penyogokan, adalah istilah umum yang
19
Ibid, hal. 257-258 20
Ibid, hal. 263
-
44
mencakup penyalahgunaan wewenang sebagai hasil pertimbangan
demi mengejar keuntungan pribadi.
1. Konsep Pencegahan Tindak Pidana Korupsi dalam Perspektif
Hukum Pidana
Dalam konteks hukum pidana upaya pencegahan dilakukan
dengan upaya preventif yang menekankan pada usaha pencegahan
korupsi yang diarahkan untuk meminimalkan penyebab dan peluang
untuk dilakukannya tindak pidana korupsi.
Menurut Bassiuni, sebagaimana dikutip oleh Barda Nawawi
bahwa tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh pidana pada umumnya
terwujud dalam kepentingan sosial yang mengandung nilai-nilai
tertentu yang perlu dilindungi dan kepentingan-kepentingan sosial
tersebut adalah sebagai berikut: 21
a. Pemeliharaan tertib masyarakat;
b. Perlindungan warga masyarakat dari tindak kejahatan;
c. Memasyarakatkan kembali (rasionalisasi) para pelaku
kejahatan atau pelanggar hukum;
21
Barda Nawawi Arief, “Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana”, (Bandung: Citra AdityaBakti, 1996), hal. 36
-
45
d. Memelihara dan mempertahankan integritas pandangan-
pandangan tertentu mengenai keadilan sosial, martabat
kemanusiaan dan keadilan individu.
Sehingga sangat tegas bahwa hukum pidana harus
disepadankan dengan kebutuhan untuk melindungi dan
mempertahankan kepentingan-kepentingan masyarakat. Maka sangat
tepat bahwa pembaharuan hukum pidana harus dilakukan dengan
pendekatan kebijakan, karena pada hakikatnya pembaharuan hukum
merupakan suatu langkah kebijakan atau policy yang merupakan
bagian dari politik hukum (penegakan hukum), politik hukum pidana,
politik kriminal dan politik sosial.
Terkait dengan pencegahan tindak pidana korupsi dengan
menitikberatkan pada faktor-faktor kondusif terjadinya tindak pidana
korupsi. Faktor kondusif sebagaimana dimaksud di antaranya
berpusat pada masalah-masalah sosial yang secara langsung atau
tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh suburkan tindak
pidana korupsi di Indonesia. Faktor sosial dan penyebab terjadinya
tindak pidana korupsi dengan merujuk pada pandangan Badan
Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menyatakan bahwa
-
46
terjadinya tindak pidana Korupsi di Indonesia di antaranya
disebabkan oleh beberapa aspek di antaranya adalah: 22
Pada dasarnya definisi Pencegahan atau preventif adalah
pendekatan, prosedur dan metode yang dibuat untuk meningkatkan
kompetensi interpersonal seseorang dan fungsinya sebagai individu,
pasangan, orang tua, ataupun dalam keterlibatan dalam suatu
kelompok, komunitas ataupun lembaga.23
Pengertian lain dari upaya pencegahan/preventif adalah
sebuah usaha yang dilakukan individu dalam mencegah terjadinya
sesuatu yang tidak diinginkan. Preventif secara etimologi berasal dari
bahasa latin pravenire yang artinya datang
sebelum/antisipasi/mencegah untuk tidak terjadi sesuatu. Dalam
pengertian yang luas preventif diartikan sebagai upaya secara sengaja
dilakukan untuk mencegah terjadinyan gangguan, kerusakan, atau
kerugian bagi seseorang. Dengan demikian upaya preventif adalah
tindakan yang dilakukan sebelum sesuatu terjadi. Hal tersebut
dilakukan karena sesuatu tersebut merupakan hal yang dapat merusak
ataupun merugikan.24
22
Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, “Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional”, Jakarta: Pusat Pendidikan dan Latihan Pengawas BPKP, 1999, hal. 83-96. 23
Leden Marpaung,”Tindak Pidana Korupsi Pemberantasan dan Pencegahan”, Jakarta: Bina Grafika. 2001, hal.10. 24
Ibid, hal.11
-
47
Menurut sudut pandang hukum, Pencegahan adalah suatu
proses, cara, tindakan mencegah atau tindakan menahan agar sesuatu
hal tidak terjadi. Dapat dikatakan pula suatu upaya yang dilakukan
sebelum terjadinya pelanggaran. Upaya pencegahan kejahatan
merupakan upaya awal dalam menanggulangi kejahatan.25
Berbeda dengan pencegahan, penanggulangan atau
pemberantasan korupsi ditujukan kepada pelaku-pelaku korupsi.
Artinya penanggulangan atau pemberantasan dilakukan pada saat
korupsi sudah dilakukan, penekanannya pada tindakan represif dan
reaktif. Sehingga kebijakan tentang penanggulangan korupsi ini pada
dasarnya sama sekali tidak membuat korupsi hilang.26
2. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi Dengan Sarana
“ Penal ” dan “Non- Penal”
Usaha yang rasional untuk melakukan pencegahan tindak
pidana korupsi adalah tidak hanya dengan menggunakan sarana penal
(hukum pidana) seperti yang dijelaskan di atas, tetapi dapat juga
dengan menggunakan sarana-sarana yang non-penal. Sarana non-
penal mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan. Upaya
preventif yang di maksud adalah upaya yang dilakukan sebelum
25
Ibid 26
Ibid
-
48
terjadinya tindak pidana korupsi dengan cara menangani faktor-
faktor pendorong terjadinya korupsi yaitu lebih jelas mengenai
pencegahan.27
a. Sarana Penal
Secara umum upaya penanggulangan kejahatan dapat
dilakukan melalui sarana “penal” dan “non penal”, Upaya
penanggulangan hukum pidana melalui sarana (penal) dalam
mengatur masyarakat lewat perundang-undangan pada hakikatnya
merupakan wujud suatu langkah kebijakan (policy).
Upaya penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana
(sarana penal) lebih menitik beratkan pada sifat “Represive”
(Penindasan/pemberantasan/penumpasan), setelah kejahatan atau
tindak pidana terjadi. Selain itu pada hakikatnya sarana penal
merupakan bagian dari usaha penegakan hukum oleh karena itu
kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penegak
hukum (Law Enforcement). Dengan kata lain penanggulangan
korupsi dapat dilakukan dengan cara menyerahkan kasus tindak
pidana korupsi yang terjadi kepada pihak penegak hukum dalam hal
ini, polisi, jaksa, dan KPK untuk diproses sesuai dengan ketentuan
hukum yang berlaku. Dimana hukuman atau sanksi pidana yang
27
Barda Nawawi Arief, Op Cit, hal. 86-87
-
49
dijatuhkan kepada pelaku diharapkan dapat memberikan efek jerah
kepada pelaku sesuai dengan tujuan pemidanaan.28
Walaupun penggunaan sarana hukum pidana “penal” dalam
suatu kebijakan kriminal bukan merupakan posisi strategis dalam
penanggulangan tindak pidana korupsi, namun bukan pula suatu
langkah kebijakan yang bisa di sederhanakan dengan mengambil
sikap ekstrim untuk menghapuskan sarana hukum pidana “penal”.
Karena permasalahannya tidak terletak pada eksistensinya akan tetapi
pada masalah kebijakan penggunaannya.29
b. Sarana Non penal
Kebijakan Non penal memiliki pengertian yakni kebijakan
yang berkaitan dengan penanggulangan kejahatan yang bersifat
pencegahan sebelum terjadinya tindak pidana dengan tujuan
menangani dan menghapuskan faktor-faktor kondusif yang dapat
menyebabkan terjadinya suatu tindak pidana. Faktor-faktor kondusif
itu antara lain berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi
sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan
28
Ibid. 29
Ibid.
-
50
suatu kejahatan atau tindak pidana termasuk pula tindak pidana
korupsi.30
Usaha yang rasional untuk mengendalikan atau
menanggulangi tindak pidana korupsi adalah tidak hanya dengan
menggunakan sarana penal (hukum pidana), tetapi dapat juga denga
menggunakan sarana-sarana yang non-penal.
Sarana non-penal mempunyai pengaruh preventif terhadap
kejahatan. Upaya preventif yang di maksud adalah upaya yang
dilakukan sebelum terjadinya tindak pidana korupsi dengan cara
menangani faktor-faktor pendorong terjadinya korupsi, yang dapat di
laksanakan dalam beberapa cara:
1) Cara Moralistik
Cara moralistik dapat dilakukan secara umum melalui
pembinaan mental dan moral manusia, khotbah-khotbah,
ceramah dan penyuluhan di bidang keagamaan, etika dan
hukum.
2) Cara Abolisionik
Cara ini muncul dari asumsi bahwa korupsi adalah
suatu kejahatan yang harus di berantas dengan terlebih dahulu
30
Muladi, “Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana”, (Semarang: Badan Penerbit
UniversitasDiponegoro, 1995), hal.8
-
51
menggali sebab-sebabnya dan kemudian diserahkan kepada
usaha-usaha untuk menghilangkan sebab-sebab tersebut.
Kemudian mengkaji permasalahan yang tengah dihadapi
masyarakat serta dorongan individual yang mengarah pada tindakan-
tindakan korupsi, meningkatkan kesadaran hukum masyarakat serta
menghukum orang-orang yang telah melakukan korupsi berdasarkan
hukum yang berlaku.
Dengan demikian dilihat dari sudut pandang politik kriminal,
keseluruhan kegiatan preventif yang non penal mempunyai
kedudukan yang sangat strategis dalam pencegahan tindak pidana
korupsi. Oleh karena itu suatu kebijakan kriminal harus dapat
mengintegrasikan seluruh kegiatan preventif kedalam sistem kegiatan
Negara yang teratur.31
Upaya penaggulangan kejahatan non- penal dapat berupa:32
1) Pencegahan tanpa pidana (Prevention without
punishment)
2) Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai
kejahatan dan
3) Pemidanaan lewat media massa (Influencing views of
society on crime and punishment mass media).
31
Sudarto, “Hukum dan Hukum Pidana”, (Bandung: Alumni, 1981), hal. 124 32
Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hal. 48
-
52
Mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur non-
penal lebih bersifat tindakan pencegahan, maka sasaran utamanya
adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya
kejahatan korupsi dimana faktor tersebut berpusat pada masalah-
masalah atau kondisi sosial secara langsung atau tidak langsung dapat
menumbuh suburkan kejahatan.
Adapun kebijakan-kebijakan nonpenal yang dapat dilakukan
untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi yaitu:
1. Bappenas mengemukakan dalam Rencana Aksi Nasional
Pemberantasan 2004-2009 diprioritaskan pada:
a. Mendesain ulang pelayanan publik, terutama pada
bidang-bidang yang berhubungan langsung dengan
kegiatan pelayanan kepada masyarakat sehari-hari.
Langkah-langkah prioritas ditujukan pada: (a)
Penyempurnaan Sistem Pelayanan Publik; (b)
Peningkatan Kinerja Aparat Pelayanan Publik; (c)
Peningkatan Kinerja Lembaga Pelayanan Publik; dan (d)
Peningkatan Pengawasan terhadap Pelayanan Publik.
b. Memperkuat transparansi, pengawasan dan sanksi pada
kegiatan-kegiatan pemerintah yang berhubungan dengan
ekonomi dan sumber daya manusia. Langkah-langkah
-
53
prioritas ditujukan pada: (a) Penyempurnaan Sistem
Manajemen Keuangan Negara; (b) Penyempurnaan
Sistem Procurement/Pengadaan Barang dan Jasa
Pemerintah; dan (c) Penyempurnaan Sistem Manajemen
SDM Aparatur Negara.
c. Meningkatkan pemberdayaan perangkat-perangkat
pendukung dalam pencegahan korupsi.33
2. Menurut Sheldon S. Steinberg dan David T. Austern, yaitu:
a. Pemerintahan terbuka (keterbukaan informasi), dan
b. Laporan kekayaan. Pernyataan keuangan harus
mengungkapkan setidak-tidaknya semua sumber
penghasilan pejabat yang bersangkutan, seperti asset
perusahaan, kemitraannya atau badan usaha apa pun yang
dimilikinya. Laporan itu juga mempertanyakan semua
sumber penghasilan suami atau istri atau anak yang
menjadi tanggungannya yang tinggal bersama dengan si
pejabat, berbagai pemberian/hadiah yang diterimanya,
kapan pun ketika si pejabat memegang jabatannya.34
33
http://www.bappenas.go.id. 34
Sheldon S. Steinberg dan David T. Austern, “Government, Ethics, and Managers, Penyelewengan Aparat Pemerintahan”, (Bandung: Remaja Rosalakarya Bandung, 1999),
hal.109-111
-
54
Begitulah demikian Kedua sarana (penal dan nonpenal)
tersebut di atas merupakan suatu pasangan yang satu sama lain
tidak dapat dipisahkan, bahkan dapat dikatakan keduanya saling
melengkapi dalam membantu upaya pencegahan tindak pidana
korupsi di Indonesia.
E. Masalah Tindak Pidana Korupsi di Indonesia
Dalam kontek korupsi yang terjadi di Indonesia, harus
disadari bahwa dengan meningkatnya tindak pidana korupsi yang
tidak terkendali akan membawa dampak yang tidak hanya sebatas
kerugian negara dan perekonomian nasional tetapi juga pada
kehidupan berbangsa dan bernegara. Perbuatan tindak pidana korupsi
merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak
ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi tidak dapat lagi
digolongkan sebagai kejahatan biasa (ordinary crime) melainkan
telah menjadi kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), sehingga
dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan “secara
biasa”, tetapi “dituntut cara-cara yang luar biasa” (extra ordinary
enforcement).
-
55
Tindak pidana korupsi di Indonesia yang telah digolongkan
sebagai kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime, menurut
Romli Atmasasmita dikarenakan:
“Pertama, masalah korupsi di Indonesia sudah berurat berakar dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, dan ternyata salah satu program
pemerintah adalah penegakan hukum secara konsisten dan
pemberantasan KKN. Masalah korupsi pada tingkat dunia diakui
merupakan kejahatan yang sangat kompleks, bersifat sistemik dan
meluas dan sudah merupakan suatu binatang gurita yang
mencengkeram seluruh tatanan sosial dan pemerintahan. Centre for
International Crime Prevention (CICP) adalah salah satu organ
Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berkedudukan di Wina telah secara
luas mendefinisikan korupsi sebagai“misusse of (public) power to
privat gain”. Berbagai wajah korupsi oleh CICP sudah diuraikan
termasuk tindak pidana suap (bribery), penggelapan (embezzlement),
penipuan (freud), pemerasan yang berkaitan dengan jabatan
(extortion), penyalahgunaan wewenang (abuse of discretion),
pemanfaatan kedudukan seseorang dalam aktivitas bisnis untuk
kepentingan perorangan yang bersifat illegal (exploiting a conflict
interest, insider trading), nepotisme (nepotism), komisi yang
-
56
diterima pejabat publik dalam kaitan bisnis (illegal commision), dan
kontribusi uang secara illegal untuk partai politik.
Kedua, korupsi yang telah berkembang demikian pesatnya bukan
hanya merupakan masalah hukum semata-mata melainkan
sesungguhnya merupakan pelanggaran hak-hak ekonomi dan sosial
masyarakat Indonesia.
Ketiga, kebocoran APBN selama 4 (empat) Pelita sebesar 30 persen
telah menimbulkan kemiskinan dan kesenjangan sosial yang besar
dalam kehidupan masyarakat karena sebagian rakyat tidak dapat
menikmati hak yang seharusnya ia peroleh. Konsekuensi logis dari
keadaan sedemikian, maka korupsi telah melemahkan ketahanan
sosial bangsa dan negara Republik Indonesia.
Keempat, penegakan hukum terhadap korupsi dalam kenyataannya
telah diberlakukan secara diskriminatif baik berdasarkan status sosial
maupun berdasarkan latar belakang politik seseorang tersangka atau
terdakwa.
Kelima, korupsi di Indonesia bukan lagi Commission of Anti
Corruption (CAC) di Hongkong telah membuktikan bahwa korupsi
dalam era perdagangan global dewasa ini adalah merupakan hasil
kolaborasi antara sektor publik dan sektor swasta. Dan justru menurut
penelitian tersebut pemberantasan korupsi jenis ini merupakan yang
-
57
tersulit dibandingkan dengan korupsi yang hanya terjadi di sektor
publik. Kita menyaksikan bahwa korupsi di Indonesia sudah
merupakan kolaborasi antara pelaku di sektor publik dan sektor
swasta. Perkembangan kelima cocok dengan perkembangan di tanah
air, karena kebijakan pemerintah dalam pembentukan BUMN atau
BUMD atau pernyataan modal pemerintah kepada sektor swasta,
sehingga pemberantasan korupsi di Indonesia jauh lebih sulit dari
Hongkong, Australia dan negara-negara lain”.35
F. Tentang UNCAC (United Nation Convention Against Corruption)
Tahun 2003
Mengingat persiapan dan kesungguhan dari banyak negara
termasuk Indonesia dalam pemberantasan korupsi, maka lahirlah
UNCAC (United Nations Convention Against Corruption) Pada
Tahun 2003. Indonesia pada saat itu pula terpilih sebagai salah satu
negara yang dijadikan Pilot Project dalam implementasi, dimana
Indonesia bersedia di review oleh negara lain. Dalam hal ini
Indonesia bersedia di review oleh Belanda dan Jordania mengingat
review yang dilakukan bersifat mutual atau timbal balik, maka
35
Romli Atmasasmita, “Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek
Internasional”, (Bandung: Mandar Maju, 2004), hal 4-5.
-
58
Indonesia juga berhak mereview hasil yang dicapai kedua negara
tersebut.36
Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
Menentang Korupsi (United Nations Convention Against
Corruption/UNCAC) yang diikuti Indonesia pada tanggal 9
Desember 2003 di Merida Meksiko bersama 137 negara lainnya
menjadi bukti awal komitmen Indonesia untuk memperbaiki diri
melalui pemberantasan korupsi. Dengan ikutsertanya Indonesia
meratifikasi konvensi ini pada 21 maret 2006 yang kemudian diikuti
dengan disyahkannya UU Nomor 7 tahun 2006, menunjukkan
kesungguhan Indonesia untuk benar-benar mengimplementasikan
konvensi ini. Adanya dukungan internasional yang kuat melalui
konvensi ini diharapkan oleh pemerintah Indonesia dapat
mempercepat pemberantasan korupsi di Indonesia. 37
Selama ini pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
korupsi di Indonesia telah diatur berdasarkan peraturan perundang-
undangan khusus yang berlaku sejak tahun 1957 dan telah berubah 5
kali, akan tetapi peraturan perundang-undangan tersebut dianggap
36
Deplu. (2008) UNCAC (United Nations Convention against Corruption) 2003, Departemen Luar Negeri Repuplik Indonesia, Jakarta. 37
Ibid
-
59
tidak memadai karena belum secara khusus membahas tentang
kerjasama internasional dalam hal pengembalian asset.38
Disahkannya UNCAC 2003 juga tidak begitu saja sanggup
mengatasi masalah korupsi yang menggerogoti bangsa ini. Dalam
pelaksanaannya dibutuhkan banyak usaha dan kesungguhan tidak
hanya dari institusi penegak hukum namun juga dari seluruh elemen
masyarakat, karena pelaksanaan UNCAC tidak hanya tanggung
jawab pemerintah namun juga menuntut peran aktif dari sektor
swasta dan masyarakat madani (civil society).
Perhatian PBB terhadap masalah korupsi dapat dilihat sejak
tahun 2000. Sidang Majelis Umum PBB ke-55 menghasilkan
Resolusi PBB Nomor 55/61 pada tanggal 6 Desember 2000.
Resolusi ini menyebutkan perlunya dirumuskan sebuah instrumen
Hukum Internasional anti korupsi secara global. Instrumen hukum
internasional tersebut sangat diperlukan untuk menjembatani sistem
hukum yang berbeda dan sekaligus memajukan upaya pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana korupsi secara efektif. Hal tersebut
dikarenakan masalah korupsi sekarang ini sudah memasuki lintas
batas negara.
38 Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Conventions Against Corruption.
-
60
Sampai tahun 2010, terhitung 141 negara pihak telah
menandatangani konvensi ini dan bahkan telah diratifikasi oleh 145
negara. Sejak disahkan pada tahun 2003, banyak negara yang
kemudian menggunakan mekanisme dan prinsip-prinsip yang
terdapat dalam UNCAC untuk menangani masalah korupsi di negara
mereka masing-masing. Salah satu dari 145 negara yang meratifikasi
UNCAC adalah Indonesia, yang meratifikasi UNCAC pada 18 April
2006 melalui UU Nomor 7 tahun 2006.
Ada beberapa tujuan dari UNCAC yaitu: Pertama,
meningkatkan dan memperkuat tindakan-tindakan untuk mencegah
dan memberantas korupsi secara lebih efisien dan efektif. Kedua,
meningkatkan, memudahkan dan mendukung kerjasama
internasional dan bantuan teknis dalam upaya pencegahan dan
pemberantasan korupsi, termasuk pengembalian asset. Dan ketiga,
meningkatkan integritas, akuntabilitas dan pengelolaan manajemen
masalah-masalah dan kekayaan publik yang baik dan benar.
Pada dasar pembentukannya, UNCAC 2003 lebih konsen
bertujuan mengupayakan pencegahan korupsi dengan memperbaiki
transparansi dan meningkatkan integritas birokrasi pemerintahan.
Untuk itu setiap negara disarankan memiliki lembaga pemberantasan
korupsi yang efektif, birokrasi yang transparan, peningkatan
-
61
partisipasi masyarakat, dan memperbaiki lembaga pemerintah,
termasuk peradilan dan sektor swasta mengenai kode etik, pelaporan
kasus korupsi, benturan kepentingan, pengadaan barang dan jasa,
serta pencegahan tindak pidana pencucian uang.39
39
Yuntho, Emerson (2010) “Tiga Ujung Tombak Yang Gagal”,
www.antikorupsi.org/docs/lat2007timtastipikortimpemburudankejagung.pdf, diakses pada
25 Juli 2010.
-
62