bab ii tinjauan pustaka a. teori pembedahan 1. definisi...
TRANSCRIPT
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori Pembedahan
1. Definisi Pembedahan
Operasi atau pembedahan merupakan peristiwa komplek yang
menegangkan, dilakukan di ruang operasi rumah sakit, terutama pembedahan
mayor dilakukan dengan persiapan, prosedur dan perawatan pasca
pembedahan membutuhkan waktu yang lebih lama pemantauan yang lebih
intensif (Brunner & Suddarth, 2002). Operasi atau pembedahan adalah suatu
penanganan medis secara invasif yang dilakukan untuk mendiagnosa atau
mengobati penyakit, injuri, atau deformitas tubuh yang akan mencederai
jaringan yang dapat menimbulkan perubahan fisiologis tubuh dan
mempengaruhi organ tubuh lainnya (Sjamsuhidajat dan Jong, 2004)
Saat mengalami pembedahan, klien mengalami beberapa stressor.
Pembedahan yang ditunggu pelaksanaannya akan menyebabkan rasa takut
dan ansietas yang menghubungkan pembedahan dengan rasa nyeri,
kemungkinan cacat, menjadi bergantung pada orang lain, dan mungkin
kematian. Untuk itu keperawatan perioperatif dilakukan berdasarkan proses
keperawatan dan perawat sesuai dengan kebutuhan individu selama periode
perioperatif sehingga klien memperoleh kemudahan sejak datang sampai
klien sehat kembali (Perry & Potter, 2005)
Pengkajian preoperasi adalah langkah pertama proses keperawatan
serta disusun agar perawat dan klien dapat merencanakan hasil pascaoperasi
yang optimal. Pengkajian praoperasi meliputi riwayat kesehatan/ medis,
riwayat psikososial, pemeriksaan fisik, pengkajian kognitif, dan uji
diagnostik. (Black & Hawks dalam Nampira, dkk, 2014)
2
2. Klasifikasi Pembedahan
Jenis prosedur pembedahan diklasifikasikan berdasarkan pada tingkat
keseriusan, kegawatan, dan tujuan pembedahan. Sebuah prosedur mungkin
memiliki lebih dari satu klasifikasi. Misalnya, pembedahan untuk
mengangkat jaringan parut yang bentuknya tak beraturan termasuk
pembedahan dengan tingkat keseriusan yang rendah, elektif secara
kegawatan, dan bertujuan untuk rekonstruksi. Klasifikasi seringkali tumpang
tindih. Prosedur yang gawat juga dianggap mempunyai tingkat keseriusan
mayor. (Perry & Potter, 2005)
Tindakan bedah yang sama dapat dilakukan pada klien yang berbeda
dengan tujuan yang berbeda. Misalnya, gastrektomi dilakukan sebagai
prosedur kedaruratan untuk mereseksi perdarahan ulkus atau dilakukan
sebagai prosedur kegawatan untuk mengangkat jaringan yang terkena kanker.
Klasifikasi memberi indikasi pada perawat tentang tingkat asuhan
keperawatan yang mungkin diperlukan oleh klien. (Perry & Potter, 2005)
3. Proses Keperawatan dan Klien Bedah
Proses keperawatan dan klien bedah, petugas kesehatan akan mengkaji
kesehatan emosional klien, mengetahui tingkat risiko pembedahan,
mengoordinasi beberapa pemeriksaan diagnostik, mengidentifikasi diagnosa
keperawatan yang menggambarkan kebutuhan klien dan keluarga,
mempersiapkan kondisi fisik dan mental klien untuk menghadapi
pembedahan, serta mengomunikasikan informasi yang berkaitan dengan
pembedahan kepada tim bedah. Menurut (Perry & Potter, 2006) pengkajian
klien meliputi :
a. Riwayat Keperawatan
Pengkajian dilakukan pada saat klien dirawat di rumah sakit, sore hari
sebelum pembedahan dilakukan, karena terbatasnya waktu. Apabila klien
tidak mampu memberikan seluruh informasi yang dibutuhkan, perawat
dapat bertanya pada anggota keluarga. Riwayat kesehatan klien adalah
3
sumber yang sangat baik. Sumber berharga lainnya adalah rekam medis
dari riwayat perawatan sebelumnya. Pengalaman bedah sebelumnya dapat
mempengaruhi respons fisik dan psikologis klien terhadap prosedur
pembedahan. Pembedahan sebelumnya juga dapat mempengaruhi tingkat
perawatan fisik yang dibutuhkan klien setelah menjalani prosedur
pembedahan.
b. Persepsi dan Pemahaman Klien dan Anggota Keluarga tentang
Pembedahan
Perawat harus mempersiapkan klien dan keluarganya untuk
menghadapi operasi. Dengan mengidentifikasi pengetahuan, harapan, dan
persepsi klien, memungkinkan perawat merencanakan penyuluhan dan
tindakan untuk mempersiapkan emosional klien. Setiap klien merasa
takut untuk datang ke tempat pembedahan. Beberapa diantaranya
disebabkan karena pengalaman di rumah sakit sebelumnya, peringatan
dari dari teman dan keluarga, atau karena kurang pengetahuan. Apabila
klien mempunyai persiapan yang baik dan mengetahui apa yang
diharapkan maka perawat memperkuat pengetahuan klien dan
mempertahankan keakuratan serta konsistensinya.
c. Tinjauan Kesehatan Emosianal
Pembedahan menimbulkan stress psikologis yang tinggi. Klien merasa
cemas tentang pembedahan dan implikasinya. Klien sering merasa bahwa
mereka kurang dapat mengontrol situasi mereka sendiri.
Konsep Diri. Klien dengan konsep diri positif lebih mampu menerima
operasi yang alaminya dengan tepat. Pengkajiannya dengan cara meminta
klien mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan dirinya. Konsep diri yang
buruk mengganggu kemampuan beradaptasi dengan stres pembedahan
dan memperburuk rasa bersalah atau ketidakmampuannya.
Sumber Koping. Pengkajian terhadap perasaan dan konsep diri akan
membantu perawat menentukan kemampuan klien dalam mengatasi stres
4
akibat pembedahan. Dukungan yang diberikan oleh anggota dapat
mempengaruhi sumber koping klien.
4. Perubahan Fisiologis Pascaoperasi
Setelah pembedahan, perawatan klien dapat menjadi kompleks akibat
perubahan fisiologis yang mungkin terjadi. Klien yang mendapatkan anastesi
umum cenderung menghadapi komplikasi yang lebih besar daripada klien
yang hanya mendapat anastesi lokal. Tindakan pascaoperatif dilakukan dalam
dua tahap, yaitu periode pemulihan segera dan pemulihan berkelanjutan
setelah fase pascaoperasi. Untuk klien yang di rawat di rumah sakit,
pemulihan terjadi selama beberapa jam dan penyembuhan berlangsung
selama 1 hari atau lebih bergantung pada luasnya pembedahan dan respon
klien. Pemulihan segera pasca operasi :
a. Memperoleh Istirahat dan Kenyamanan
Nyeri yang dirasakan klien bedah meningkat seiring dengan
berkurangnya pengaruh anastesi. Klien lebih menyadari lingkungannya
dan lebih sensitif terhadap rasa nyaman. Secara signifikan, nyeri dapat
memperlambat pemulihan. Klien menjadi ragu-ragu untuk melakukan
batuk efektif, napas dalam, mengganti posisi, ambulasi atau melakukan
latihan-latihan yang diperlukan.
b. Mempertahankan Konsep Diri
Penampilan luka, balutan yang tebal, dan drainase serta selang yang
menonjol keluar akan mengancam konsep diri klien. Efek pembedahan,
seperti jaringan parut yang tidak beraturan, dapat menimbulkan
perubahan citra diri klien secara permanen. Apabila pembedahan
mengakibatkan gangguan fungsi tubuh, peran klien dalam keluarga dapat
berubah signifikan. Keluarga menjadi bagian penting dalam upaya
meningkatkan konsep diri klien. Keluarga perlu menerima kebutuhan
klien untuk mandiri. Anggota keluarga dapat memberi dukungan pada
5
klien untuk mengalihkan rasa takut dan kekhawatiran klien dalam
melakukan latihan-latihan yang dianjurkan.
c. Mempercepat Kembalinya Status Fungsional
Selama periode penyembuhan, perawat meningkatkan kemandirian
dan partisipasi aktif klien dalam perawatan. Pada tempat-tempat yang
menggunakan alur kritis, klien dan anggota keluarga dapat
mengungkapkan kembali tentang intervensi yang diperlukan dan hasil
akhir perawatan. Alur kritis merupakan peta jalan menuju pemulihan dan
memberikanpedoman yang dapat dilihat oleh klien sehingga akan
memotivasi klien terlibat aktif dalam perawatan.
Jika klien merasa nyeri, mual, atau menderita komplikasi bedah,
biasanya ia memiliki motivasi yang rendah untuk melakukan perawatan
diri. Apabila klien bergantung pada perawat secara fisik, perawat harus
mempertahankan keseimbangan pemenuhan kebutuhan klien dan
meningkatkan keterlibatan klien bila kondisinya memungkinkan.
Banyak klien yang menjadi depresi jika mereka berpikir bahwa
pemulihan terjadi dengan lambat. Keterlibatan anggota keluarga dalam
asuhan keperawatan klien dapat memfasilitasi pemulihan seperti
membantu ambulasi, perawatan diri, perawatan luka, mematuhi batasan
aktivitas, dan mengobservasi adanya tanda dan gejala komplikasi setelah
pulang ke rumah.
B. Teori Status Fungsional
1. Definisi Status Fungsional
Status fungsional sebagai kapasitas fungsional dan penurunannya dilihat
dari kapasitas fungsi residual dengan defisit fungsi residual. Defisit fungsi
residual adalah perbedaan fungsi original dengan fungsi residual. Indikator
hasil dari fase rehabilitasi adalah status fungsional yang perlu dinilai saat
6
akan pulang berdasarkan kemampuan beraktivitas dengan harapan sebagai
persiapan di rumah (Perry & Potter, 2005).
Perubahan status fungsional selalu terjadi sebagai tanda pertama dari
penyakit atau kelanjutan dari kondisi kronis. Status fungsional adalah suatu
konsep mengenasi kemampuan melakukan self-care, self-maintenance, dan
aktivitas fisik. Status fungsional adalah konsep multidimensi karakteristik
kemampuan individu untuk menunjang hidup, dimana sebagai jalan untuk
normal dengan memenuhi kebutuhan dasar hidup (Ropyanto, 2011)
Selama bertahun-tahun, rehabilitasi telah menghasilkan banyak
instrumen yang berguna untuk tujuan klinis, evaluasi hasil, dan penelitian.
Perangkat penilaian menjadi lebih canggih karena pengetahuan dari metode
psikometrik dan analisis statistik telah diterapkan untuk pengembangan
pengukuran dan validasi. Publikasi standar pengukuran baru-baru ini, untuk
terapi fisik dan untuk rehabilitasi medis interdisipliner, membuktikan
pengakuan yang semakin besar tentang pentingnya langkah-langkah yang
kuat. (Keith, 1994)
Komponen pengkajian fungsional meliputi penglihatan dan
pendengaran, mobilitas, kontinensia, nutrisi, status mental (kognisi dan
afektif), lingkungan rumah, dukungan social, serta ADL (Activities Day
Living) dan IADL (Instrumental ADL). ADL dilihat dari aktivitas dasar
seperti berpindah, ambulasi, mandi, toileting, nutrisi, dll. (Ropyanto, 2011).
Instrument pengukuran status fungsional sangat beragam antara lain : Index
of Independent in Activities of Daily Living (ADL) yang didesain untuk
mengkaji fungsi fisik lansia dan pasien dengan penyakit kronis. The Barthel
Index yang digunakan untuk mengkaji kemandirian fungsional pada domain
perawatan personal dan mobilitas.
The Physical Self-Maintenance Scale (PSMS) yang digunakan untuk
mengukur perencanaan dan evaluasi tindakan pada lansia yang tinggal di
komunitas atau institusi. The Rapid Disability Rating Scale (RDRS) yang
7
dikembangkan sebagai instrument penelitian untuk menyimpulkan kapasitas
fungsional dan status mental pada pasienlansia kronis di rumah sakit dan
komunitas. The Stanford Health Assement Quistionnare yang berdasarkan
model hierarki dengan mempertimbangkan efek dari penyakit seperti
kematian, ketidakmampuan, ketidaknyamanan, efek samping terapi, dan
biaya kesehatan.
Pada penelitian ini kuisioner status fungsional dengan menggunakan
Barthel Index yaitu kuisioner yang digunakan untuk mengkaji kemandirian
fungsional dari domain perawatan personal dan mobilitas dengan nilai
keseluruhan 0 – 80.
2. Faktor – Faktor yang mempengaruhi Status Fungsional
Status fungsional menurut (Perry & Potter, 2005) dipengaruhi oleh nyeri,
motivasi, dan dukungan keluarga. Sedangkan menurut (Ropyanto, 2011)
status fungsional dipengaruhi oleh usia, lama hari rawat, nyeri, motivasi, fall-
efficacy, serta dukungan keluarga
a. Usia
Lansia memiliki cadangan fisiologis lebih rendah dibandingkan pasien
yang lebih muda, sehingga memiliki masa pemulihan yang lebih lama
paska operasi (Smeltzer & Bare, 2006). Karakteristik usia dewasa
menengah yang mendekati lansia dibandingkan usia lain memiliki masa
pemulihan lebih lama dibandingkan dengan usia dewasa dan remaja
akhir. Aspek demografi usia berkaitan dengan perkembangan yang
memiliki perbedaan dalam perkembangan dan kepadatan tulang serta
massa otot pada usia remaja, dewasa awal, menengah, dan akhir (Perry &
Potter, 2005).
Usia anak-anak adalah umur antara 0 sampai 12 tahun. Usia remaja
akhir adalah umur antara 17 sampai 21 tahun. Usia dewasa awal adalah
21 sampai 40 tahun. Dan dewasa akhir adalah 40 sampai 60 tahun.
Dengan bertambahnya usia maka kemampuan sistem kekebalan tubuh
8
seseorang untuk menghancurkan bakteri dan jamur berkurang. Disfungsi
sistem imun dapat diperkirakan menjadi faktor di dalam
perkembangan penyakit kronis seperti kanker, diabetes, dan penyakit
kardiovaskuler serta infeksi (Wartawan, 2012)
Pada penelitian ini usia dinyatakan dalam tahun dan diukur dengan
melihat data pada rekam medis kemudian di validasi dengan menanyakan
kembali pada responden atau keluarga, apabila terdapat perbedaan hasil
maka yang digunakan data yang diperoleh dari responden atau keluarga.
b. Nyeri
Nyeri merupakan suatu kondisi yang lebih dari sekedar sensasi tunggal
yang disebabkan oleh stimulus tertentu. Nyeri bersifar subjektif dan
sangat bersifat individual. Nyeri merupakan fenomena multidimensional
sehingga sulit untuk didefinisikan. Nyeri merupakan pengalaman personal
dan subyektif, dan tidak ada dua individu yang merasakan nyeri dalam
pola yang identik. Nyeri biasanya dikaitkan dengan berbagai beberapa
jenis kerusakan jaringan, yang merupakan tanda peringatan, namun
pengalaman nyeri lebih dari itu. Alat pengkajian tunggal termasuk Visual
Analog Scale (VAS), skala numerik (0 – 10), dan skala deskripsi visual
dapat digunakan untuk mengukur baik intensitas nyeri fisik maupun
distress psikologis (Black & Hawks dalam Nampira, dkk, 2014)
Nyeri merupakan mekanisme fisiologis yang bertujuan untuk
melindungi diri. Apabila seseorang merasakan nyeri, maka perilakunya
akan berubah. Misalnya, seseorang yang kakinya terkilir menghindari
aktivitas mengangkat barang yang memberi beban penuh pada kakinya
untuk mencegah cedera lebih lanjut. Nyeri mengarah pada penyebab
ketidakmampuan. Seiring peningkatan usia harapan hidup, lebih banyak
orang yang mengalami penyakit kronik, dengan nyeri merupakan suatu
gejala yang umum (Smeltzer & Bare, 2005)
9
Pada penelitian ini nyeri diukur dengan menggunakan Numeric Rating
Scale dengan rentang 0 sebagai rentang terendah sampai 10 sebagai yang
tertinggi (Potter & Perry 2005).
c. Motivasi
Motivasi adalah proses batin yang dinamis yang menghasilkan
kekuatan internal yang memberi energi dan mengarahkan individu untuk
memilih perilaku yang disukai dan mencoba memenuhi tujuan yang telah
ditetapkan.Individu biasanya memiliki motif yang berbeda pada satu
waktu (mis. Prestasi, afiliasi, kesehatan, agama) dan tindakan mereka
dibimbing oleh satu atau lebih dari satu motif mereka. Ituproses motivasi
yang berorientasi pada tujuan mencakup beberapa tahapan berurutan.
Pertama, individumenghasilkan kecenderungan motivasi terhadap tujuan
tertentu berdasarkan pribadi atau pribadi tertentufaktor lingkungan
(Xiaoyan, 2009)
Kedua, di antara kecenderungan ini, individu membuat rencanayang
menonjol yang paling penting bagi mereka. Ketiga, kecenderungan-
kecenderungan yang menonjol itu memotivasiindividu untuk mengambil
tindakan untuk mencapainya. Tahap terakhir adalah tahap kemauan.
Individubertahan dalam tindakan mereka dan bekerja menuju titik akhir
dari kecenderungan motivasi merekadidirikan pada tahap pertama.
Individu mungkin dapat memenuhi tujuan mereka pada tahap ini,
tetapimereka mungkin bukan karena banyak faktor, misalnya, mereka
menyerah atau terganggu sebelumnyamencapai tujuan (Xiaoyan, 2009)
Menurut Health Believe Model motivasi ditinjau dari perhatian
terhadap pola kesehatan secara keseluruhan, kesediaan untuk mencari dan
menerima arahan medis, bermaksud untuk patuh, aktivitas kesehatan
positif di jelaskan bahwa motivasi self-care status fungsional pada pola
kesehatan dilihat dari perhatian melakukan aktivitas fisik. Kesediaan
mencari dan menerima arahan berkaitan dengan kesediaan pasien dalam
10
melakukan aktivitas fisik. Aktivitas kesehatan yang positif merupakan
dilihat dari kemampuan klien untuk mandiri dalam hal melakukan
aktivitas fisik (Ropyanto, 2011)
Pada penelitian ini motivasi diukur dengan menggunakan modifikasi
Ropyanto (2011) dalam Health Motivation Scale in Physical yang dikutip
dari Xiaoyan (2009) yang berjumlah 12 pertanyaan dengan jumlah nilai
keseluruhan 36.
d. Fall-efficacy
Menurut Bandura, self-efficacy mengacu pada perasaan adekuat,
efisiensi, dan kompetensi saat menjalani kehidupan. Mencapai dan
menjaga standar prestasi kita meningkatkan self-efficacy, kegagalan
mencapai dan menjaganya akan menurunkan self-efficacy. (Schultz &
Schultz dalam Diana, 2015)
Fall-efficacy didasari dari teori Bandura mengenai self-efficacy yang
didefinisikan sebagai kepercayaan individu mengenai kemampuan dan
keterampilannya untuk berhasil melakukan tugas dan menghindari
kegagalan. Fall-efficacy ditentukan beberapa komponen dari penyebab
personal terdiri dari fungsi kemauan, perasaan atau suatu rasa terhadap
kapasitas dan efektivitas, nilai, dan ketertarikan (Ropyanto, 2011)
Orang dengan self-efficacy yang rendah, merasa tak berdaya, tidak
mempu mengendalikan kejadian hidup, mereka percaya semua usaha
yang mereka lakukan tidak ada gunanya. Ketika mereka menghadapi
hambatan, mereka cepat menyerah jika usaha pertama mereka
mengatasinya tidak efektif. Orang dengan self-efficacy yang sangat
rendah bahkan tidak mencoba menghadapinya karena mereka yakin
bahwa apa pun yang mereka lakukan tidak akan membuat perbedaan.
Self-efficacy yang rendah dapat menghancurkan motivasi, menurunkan
aspirasi, mengganggu kemampuan kognitif, dan meragukan kesehatan
fisik. (Schultz & Schultz dalam Diana, 2015)
11
Orang dengan self-efficacy yang tinggi percaya mereka akan
menghadapi kejadian dan situasi secara efektif. Karena mereka berharap
sukses mengatasi hambatan, mereka berusaha keras menyelesaikan tugas
dan sering menunjukan penampilan tingkat tinggi. Orang tersebut lebih
yakin dengan kemampuan mereka sendiri daripada orang dengan self-
efficacy yang rendah, dan mereka hanya sedikit meragukan diri sendiri.
Mereka memandang kesulitan sebagai tantangan bukan sebagai ancaman
dan dengan aktif mencari situasi baru. Self-efficacy tinggi mengurangi
rasa takut gagal, meningkatkan aspirasi, dan meningkatkan kemampuan
memecahkan masalah dan berpikir analisis.(Schultz & Schultz dalam
Diana, 2015)
Pada penelitian ini fall-efficacy diukur dengan menggunakan
modifikasi Ropyanto (2011) yang dikutip dalam Fall-Efficacy Scale
(Tinetti et, al, 1990) dengan jumlah 8 pertanyaan dengan jumlah nilai
keseluruhan 24.
e. Dukungan Keluarga
Unit keluarga memainkan sebuah peran yang sangat penting dalam
menentukan perilaku peran pasien dari anggota keluarganya yang sakit.
Keluarga juga bersifat instrumental dalam memutuskan dimana
penanganan harus diberikan di rumah sakit, di rumah, atau di klinik.
Upaya-upaya yang dilakukan oleh kaum professional untuk memberikan
perlakuan terhadap penyakit dan mempromosikan kesehatan, sering
menimbulkan konflik dengan nilai-nilai keluarga dan pola-pola bersikap,
sehingga menimbulkan masalah pada hal kepatuhan medis (Friedman,
dalam Debora, 1998)
Model promosi kesehatan dari Pender, yang juga berasal dari teori
pembelajaran sosial, menekankan pentingnya faktor-faktor kognitif-
perseptual sebagai motivator primer. Faktor-faktor tersebut ialah :
pentingnya kesehatan; bagaimana kesehatan didefinisikan; dan persepsi
12
berikut ini : lokus kontrol kesehatan; self-efficacy yaitu perilaku-perilaku
yang diperlukan untuk meningkatkan kesehatan dapat dijalankan dengan
sukses; status kesehatan; keuntungan dari perilaku yang meningkatkan
kesehatan; dan rintangan-rintangan terhadap tindakan yang meningkatkan
kesehatan (Friedman, dalam Debora, 1998)
Dukungan dari orang yang dekat merupakan bentuk dukungan sosial
yang dapat digunakan sebagai motivasi untuk meningkatkan aktivitas
fisik (Perry & Potter, 2005) bentuk dukungan keluarga berupa dukungan
emosional, penilaian, instrumental dan informatif. Kehadiran keluarga
selama berada di RS membantu untuk memenuhi ADL. Bantuan yang
berlebihan dapat mengurangi kemampuan klien untuk mandiri sehingga
berpengaruh terhadap status fungsional. Latihan terbaik untuk
memperbaiki kinerja adalah melakukannya secara berulang-ulang
aktivitas.
Pada penelitian ini dukungan keluarga diukur dengan menggunakan
Family AFGAR yang telah dimodifikasi oleh Ropyanto (2011) dengan
jumlah 4 pertanyaan dengan jumlah nilai keseluruhan 12.
C. Penelitian Terkait
Penelitian (Saputri, Iskandar, Novirianthy, 2017) dengan judul “Hubungan
Intensitas Nyeri dengan Status Fungsional Penderita Kanker Payudara Pasca
Pembedahan di RSUDZA Banda Aceh”. Metode penelitian bersifat analitik
observasional dengan menggunakan rancangan jenis cross sectional. Pengambilan
sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling dan wawancara terpimpin
menggunakan Numerical Rating Scale (NRS) untuk menilai intensitas nyeri dan
Barthel Index untuk menilai status fungsional. Penelitian ini dilakukan selama
bulan Juni 2016-Oktober 2016 terhadap 32 orang subjek penelitian. Hasil
penelitian didapatkan 12 orang (37,5%) nyeri ringan, 17 orang (53,1%) nyeri
sedang, dan 3 orang (9,4%) nyeri berat. Status fungsional didapatkan 6 orang
13
(18,8%) dependen ringan, 23 orang (71,9%) dependen sedang, dan 3 orang
(9,4%) dependen berat. Analisa data dengan menggunakan uji Spearman
diperoleh nilai p=0,000 (p<0,05) dan nilai r=0,680. Hasil ini menunjukkan bahwa
terdapat hubungan antara intensitas nyeri dengan status fungsional penderita
kanker payudara pasca pembedahan dengan arah korelasi positif dan kekuatan
korelasi yang kuat.
Penelitian (Sitorus, Ropyanto, Eryando, 2013) dengan judul “Analisis Faktor-
faktor yang Berhubungan dengan Status Fungsional Paska Open Reduction
Internal Fixation (ORIF) Fraktur Ekstremitas”. Desain penelitian ini adalah
cross-sectional dengan 35 responden dan pengumpulan data menggunakan
kuesioner. Menggunakan uji ANOVA digunakan untuk data kategorik serta
korelasi pearson dan spearman rho untuk data numerik. Hasil penelitian
menunjukkan fall-effacacy (r=-0,490 dan nilai p=0,003) merupakan faktor yang
berhubungan. Model multivariate memiliki nilai p=0,015 dan jenis fraktur, nyeri,
dan fall-efficacy mampu menjelaskan 28,2% status fungsional dengan nyeri
sebagai faktor yang paling besar untuk memprediksi status fungsional setelah
dikontrol fall-efficacy dan jenis fraktur.
Penelitian (Yazid, 2016) dengan judul “Analisis Faktor yang Berhubungan
dengan Status Fungsional Pasien Open Reduction Internal Fixation (ORIF)
Fraktur Ekstremitas Bawah di RSU.dr.Pirngadi Medan”. Desain penelitian ini
adalah cross-sectional dengan 35 responden dan pengumpulan data menggunakan
kuisioner. Uji ANOVA digunakan untuk data kategorik serta korelasi pearson
dan spearman rho untuk data numerik. Hasil penelitian menunjukkan fall-effacacy
(r=-0,490 dan nilai p=0,003) merupakan faktor yang berhubungan. Model
multivariate memiliki nilai p=0,015 dan jenis fraktur, nyeri, dan fall-efficacy
mampu menjelaskan 28,2% status fungsional dengan nyeri sebagai faktor yang
paling besar untuk memprediksi status fungsional setelah dikontrol fall-efficacy
dan jenis fraktur.
14
D. Kerangka Teori
Sumber : Modifikasi Joyce M.Black & Jane H.Hawks 2014, Perry & Potter 2005, 2013, dan Chandra Bagus Ropyanto 2011
Pembedahan
Klasifikasi Pembedahan
Proses Keperawatan
Perubahan Fisiologis
Status Fungsional
• Usia • Nyeri • Motivasi • Fall-Efficacy • Dukungan Keluarga
Gambar 2.1 Kerangka Teori
15
E. Kerangka Konsep
Kerangka konsep merupakan abstraksi yang terbentuk oleh generalisasi dari
hal-hal yang khusus. Oleh karena konsep merupakan abstraksi, maka konsep
tidak dapat langsung diamati atau diukur. Konsep hanya dapat diamati melalui
konstruk atau yang lebih dikenal dengan nama variabel. Jadi variabel adalah
simbol atau lambang yang menunjukkan nilai atau bilangan dari konsep. Variabel
adalah sesuatu yang bervariasi. (Notoatmodjo, 2018)
Variabel Independen Variabel Dependen
1. Usia 2. Nyeri 3. Motivasi 4. Fall-Efficacy 5. Dukungan Keluarga
Status Fungsional
Gambar 2.2 Kerangka Konsep
16
F. Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah suatu jawaban sementara dari pertanyaan penelitian.
Hipotesis berfungsi untuk merumuskan dalam bentuk hubungan antara dua
variabel, variabel bebas dan variabel terikat. (Notoatmodjo, 2018)
1. Ada hubungan usia dengan status fungsional pada pasien post operasi
2. Ada hubungan nyeri dengan status fungsional pada pasien post operasi
operasi
3. Ada hubungan motivasi dengan status fungsional pada pasien post operasi
4. Ada hubungan fall-efficacy dengan status fungsional pada pasien post operasi
5. Ada hubungan dukungan keluarga dengan status fungsional pada pasien post
operasi