bab ii tinjauan pustaka a. pengertian...

21
10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Kebangkrutan Menurut Weston and Copeland (1992), kebangkrutan diartikan sebagai kegagalan perusahaan dalam menjalankan operasi perusahaan untuk menghasilkan laba. Kebangkrutan juga sering disebut likuidasi perusahaan atau penutupan perusahaan atau insolvabilitas. Definisi lain dari kebangkrutan di kemukakan oleh Adnan (2001), yang menyatakan bahwa kebangkrutan adalah sebagai suatu kegagalan yang terjadi dalam perusahaan dan kegagalan tersebut dapat di bedakan menjadi Kegagalan ekonomi (Economic distressed) dan Kegagalan keuangan (Financial distressed). Kegagalan dalam arti ekonomi di artikan sebagai perusahaan kehilangan uang atau pendapatan perusahaan tidak mampu menutupi biayanya sendiri, hal ini berarti tingkat labanya lebih kecil dari kewajiban. Kegagalan terjadi bila arus kas sebenarnya dari perusahaan tersebut jauh di bawah arus kas yang di harapkan. Kegagalan juga terjadi karena tingkat pendapatan atas biaya historis dari investasinya lebih kecil dari biaya modal perusahaan yang di keluarkan untuk investasi tersebut. Kegagalan keuangan juga dapat diartikan sebagai insolvensi arus kas, insolvensi atas dasar arus kas tersebut ada dua bentuk, yaitu: a. Insolevensi teknis, yaitu terjadi apabila perusahaan tidak mampu memenuhi kewajiban pada saat jatuh tempo walaupun total aktivanya sudah melebihi total hutang

Upload: vonhan

Post on 17-Sep-2018

213 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Kebangkrutan

Menurut Weston and Copeland (1992), kebangkrutan diartikan sebagai

kegagalan perusahaan dalam menjalankan operasi perusahaan untuk

menghasilkan laba. Kebangkrutan juga sering disebut likuidasi perusahaan atau

penutupan perusahaan atau insolvabilitas. Definisi lain dari kebangkrutan di

kemukakan oleh Adnan (2001), yang menyatakan bahwa kebangkrutan adalah

sebagai suatu kegagalan yang terjadi dalam perusahaan dan kegagalan tersebut

dapat di bedakan menjadi Kegagalan ekonomi (Economic distressed) dan

Kegagalan keuangan (Financial distressed).

Kegagalan dalam arti ekonomi di artikan sebagai perusahaan kehilangan

uang atau pendapatan perusahaan tidak mampu menutupi biayanya sendiri, hal

ini berarti tingkat labanya lebih kecil dari kewajiban. Kegagalan terjadi bila arus

kas sebenarnya dari perusahaan tersebut jauh di bawah arus kas yang di

harapkan. Kegagalan juga terjadi karena tingkat pendapatan atas biaya historis

dari investasinya lebih kecil dari biaya modal perusahaan yang di keluarkan

untuk investasi tersebut.

Kegagalan keuangan juga dapat diartikan sebagai insolvensi arus kas,

insolvensi atas dasar arus kas tersebut ada dua bentuk, yaitu:

a. Insolevensi teknis, yaitu terjadi apabila perusahaan tidak mampu

memenuhi kewajiban pada saat jatuh tempo walaupun total aktivanya

sudah melebihi total hutang

11

b. Insolvensi dalam pengertian kebangkrutan, yaitu didefinisikan sebagai

kekayaan bersih neraca konvensional atau nilai sekarang dari arus kas

yang diharapkan lebih kecil dari kewajiban

Sementara itu, menurut Sunarto (2006:37) kebangkrutan adalah :

“Kebangkrutan atau kepailitan adalah kegagalan bisnis yang terjadi apabila

kewajiban / hutang hutang perusahaan lebih besar daripada nilai pasar yang

wajar dari aktiva-aktivanya”.

Menurut Hadad (2003:10) pengertian failure (kepailitan) di Indonesia

mengacu pada peraturan pemerintah pengganti Undang-undang No.1 tahun

1998 tentang perubahan atas Undang-undang kepailitan, yang menyebutkan :

1. Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur atau tidak membayar

sedikitnya satu hutang yang telah jatuh waktu dan tidak dapat ditagih,

dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang, baik atas

permohonannya sendiri, maupun permintaan seorang atau lebih krediturnya.

2. Permohonan sebagaimana disebut dalam butir diatas, dapat juga diajukan

oleh kebijaksanaan untuk kepentingan umum. Undang-undang kepailitan

pada dasarnya menyatakan bagaimana menyelesaikan sengketa yang

muncul dikala satu perusahaan tidak bisa lagi memenuhi kewajiban utang,

juga bagaimana menangani pertikaian antara individu yang berkaitan

dengan bisnis yang djalankan. Ada beberapa kriteria penting :

a) Pembukuan harus jelas. Penilaian aktiva harus transparan dan dengan

cara yang diakui umum (international standart).

b) Tingkat gradasi utang piutang berdasarkan tanggungan menentukan

siapa yang boleh didahulukan dalam menyelesaikan masalah hutang

12

misalnya : sebuah perusahaan bangkrut, siapa yang berhak memproleh

pembayaran terlebih dahulu dan siapa yang kemudian.

c) Acara hukum perdata mengatur siapa yang berkepentingan, pihak

pengatur kebangkrutan, pengadilan mana yang kompeten dan bagaimana

cara atau proses yang harus dilakukan untuk menyelesaikan perkara ini.

d) Penentapan sanksi oleh pengadilan yang berwenang andai kata satu

pihak tidak memenuhi janji beberapa aktual yang diberikan kepada

perusahaan yang merasa mampu membereskan utang-utangnya.

e) Sekalipun dinyatakan pailit, tentunya perusahaan masih bisa berjalan

sementara dalam hal ini ditetapkan persyaratan-persyaratannya dan

siapa yang harus mengawasi proses penyehatannya. Suatu perusahaan

yang dinyatakan pailit tidak perlu langsung menghentikan semua

kegiatannya, mereka harus diberi kesempatan untuk membereskan

keuangan dan kegiatan yang lain demi kepentingan penagih utang.

f) Penyelesaian sengketa boleh dijalankan lewat arbitrase di luar pengadilan.

g) Perusahaan dinyatakan pailit atau bangkrut apabila dalam jangka waktu

tertentu tidak bisa melakukan pembayaran pokok dan atau bunganya.

Kepailitan juga bisa diminta pemilik perusahaan juga oleh para penagih

utang.

Berdasar penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa kebangkrutan

merupakan suatu kegagalan yang ditunjukkan oleh ketidakmampuan suatu

perusahaan dalam melanjutkan kegiatan operasinya dikarenakan

kewajibannya lebih besar daripada aktivanya. Sehingga dapat dinyatakan

pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang, baik atas permohonannya

sendiri, maupun permintaan seorang atau lebih krediturnya.

13

B. Manfaat Informasi Prediksi Kebangkrutan

Informasi tentang prediksi kebangkrutan suatu perusahaan akan sangat

bermanfaat bagi beberapa kalangan. Menurut Mamduh dan Halim (2003: 261)

informasi prediksi kebangkrutan dapat bermanfaat untuk:

1. Pemberi pinjaman

Informasi kebangkrutan digunakan untuk pengambilan keputusan tentang

pemberian pinjaman dan monitoring

2. Investor

Informasi kebangkrutan digunakan untuk pengambilan keputusan

terhadap surat berharga Perusahaan.

3. Pihak pemerintah

Informasi kebangkrutan digunakan untuk melakukan tindakan awal yang

bisa dilakukan terutama terhadap perusahaan BUMN.

4. Akuntan

Informasi kebangkrutan digunakan untuk menilai kemampuan going

concern suatu perusahaan

5. Manajemen

Informasi kebangkrutan digunakan untuk melakukan langkah-langkah

preventif sehingga biaya kebangkrutan bisa di hindari dan atau

diminimalisir.

C. Faktor-faktor Penyebab Kebangkrutan

Kebangkrutan bisa disebabkan oleh banyak faktor. Dalam beberapa

kasus alasannya bisa dikenali setelah analisis laporan keuangan. Tapi ada

beberapa kasus dimana perusahaan sedang mengalami penurunan, namun

14

beberapa item dalam laporan keuangan masih menunjukkan kinerja jangka

pendek yang baik (Kordestani, et.al; 2011). Ada beberapa perusahaan yang

mengalami tahapan kebangkrutan. Namun ada juga yang tidak mengalami

tahapan kebangkrutan.

Faktor – faktor penyebab kebangkrutan perusahaan berasal dari dalam

dan luar perusahaan. Menurut Darsono dan Ashari (2005), faktor yang

menyebabkan kebangkrutan perusahaan dari sisi internal yaitu:

a. Penyalahgunaan wewenang oleh karyawan maupun pemilik

perusahaan yang merugikan perusahaan baik secara finansial maupun struktural

perusahaan. Penyalahgunaan wewenang tersebut dapat berupa pemecatan

karyawan demi kepentingan pribadi, bukan karena ketidakmampuan karyawan

tersebut mengikuti tujuan perusahaan.

b. Manajemen yang buruk dapat merugikan perusahaan karena arah dan

tujuan perusahaan ditentukan oleh manajemen. Ketika manajemen salah dalam

mengambil kebijakan atau tidak mampu menganalisa kebutuhan pasar maka hal

tersebut akan dimanfaatkan oleh pesaing untuk mengambil keuntungan sehingga

mengakibatkan kerugian.

Sementara itu, menurut Weston dan Copeland (1992), faktor – faktor

penyebab kebangkrutan perusahaan yang berasal dari luar perusahaan yaitu :

a. Ekonomi.

Faktor-faktor penyebab kebangkrutan dari sektor ekonomi adalah

gejala inflasi dan deflasi dalam harga barang dan jasa, kebijakan

keuangan, suku bunga dan devaluasi atau revaluasi uang dalam

hubungannya dengan uang asing serta neraca pembayaran, surplus

atau defisit dalam hubungannya dengan perdagangan luar negeri.

15

b. Sosial

Faktor sosial sangat berpengaruh terhadap kebangkrutan

cenderung pada perubahan gaya hidup atau trend yang sedang

terjadi di masyarakat yang mempengaruhi permintaan terhadap

produk perusahaan. Faktor sosial yang lain yaitu kerusuhan atau

kekacauan yang terjadi di masyarakat.

c. Pemerintah

Pengaruh dari sektor pemerintah berasal dari kebijakan

pemerintah terhadap pencabutan subsidi pada perusahaan dan

industri, pengenaan tarif ekspor dan impor barang, kebijakan undang-

undang baru bagi perbankan atau tenaga kerja dan lain-lain.

D. Klasifikasi Saham Perusahaan

Pada umumnya efek yang diperdagangkan di bursa diklasifikasikan ke

dalam beberapa kelompok oleh para pelaku pasar. Saham ,misalnya

diklasifikasikan berdasarkan nilai kapitalisasinya,yakni jumlah saham yang

beredar dikalikan harga pasarnya.Menurut Cahyono (2000), nilai kapitalisasi

saham terbagi menjadi:

1. Blue Chip

Sekelompok saham yang dinamakan blue chip atau sering juga

disebut Alpha stocks. Saham ini umumnya diterbitkan oleh perusahaan

besar dan jumlahnya sangat banyak.Karena jumlah saham yang beredar

banyak,saham ini dimiliki oleh banyak investor. Banyaknya jumlah lembar

saham dan pemegangnya membuat saham ini sangat mudah

16

diperdagangkan (likuid). Likuiditas saham itu sendiri pada gilirannya

menjadi daya tarik tersendiri bagi calon investor. Oleh sebab itu tidaklah

mengherankan kalau kelompok saham ini mendominasi perdagangan dan

kontribusinya terhadap total perdagangan sangat besar.

2. Second liner

Ada yang menamakan kelompok dibawah blue chip sebagai

kelompok Second liners (saham barisan kedua) atau beta shares. Dari

segi kapitalisasi dan frekuensi perdagangan, kelompok ini umumnya lebih

kecil dibandingkan blue chip. Umumnya saham kelompok ini diterbitkan

oleh perusahaan yang sedang berkembang dan mempunyai potensi

pertumbuhan yang besar untuk menjadi saham blue chip, kinerja saham

dan keuangan saham kelompok ini belum cukup teruji.

3. Third liners.

Kelompok saham yang lebih kecil dan lebih jarang

ditranksaksikan. Kelompok ini ada yang menamakan saham third liners

atau gamma stock.

4. Saham tidur.

Saham yang jarang ditranksaksikan. Kalaupun ada transaksi,

sering kali dibuat oleh pihak yang berkepentingan di dalam perusahaan

agar tetap bisa dicatatkan di bursa efek tempat saham tersebut

dicatatkan.

Menurut Sulistyastuti ( 2002), Kapitalisasi perusahaan yaitu suatu harga

saham perusahaan yang merujuk kepada nilai perusahaan tersebut. Klasifikasi

17

saham berdasarkan nilai kapitalisasi perusahaan terbagi atas tiga jenis yaitu Big

Capitalization, Mid Capitalization, Small Capitalization

a. Big Capitalization

Merupakan kelompok saham yang berkapitalisasi besar dengan nilai

di atas satu triliun. Saham-saham yang termasuk big Capitalization

biasanya disebut juga dengan saham bluechip atau saham papan

atas atau saham lapis pertama. Saham-saham yang berkapitalisasi

besar memberikan kontribusi 75% - 80% dari seluruh kapitalisasi

pasar di BEI.

b. Mid Capitalization

Merupakan kelompok saham yang berkapitalisasi besar dengan nilai

kapitalisasi Rp.100 milyar–Rp. 1 triliun. Saham yang termasuk middle

Capitalization disebut juga saham baby blue chip atau saham lapis

kedua. Saham yang berkapitalisasi menengah ini memberikan

kontribusi 15% - 17% dari seluruh kapitalisasi pasar di BEI.

c. Small Capitalization

Merupakan kelompok saham yang memiliki nilai kapitalisasi kecil di

bawah seratus milyar. Biasanya saham-saham yang termasuk dalam

small Capitalization adalah saham yang jarang diperdagangkan yang

bersifat tidak stabil dalam pergerakan harga sahamnya. Saham

dengan kapitalisasi kecil, memberikan kontribusi sekitar 3% dari

seluruh kapitalisasi pasar di Bursa Efek Indonesia.

18

E. Rasio Keuangan untuk Memprediksi Kebangkrutan

Salah satu aspek pentingnya analisis rasio keuangan suatu perusahaan

adalah kegunaanya untuk meramalkan kontinuitas atau kelangsungan hidup

perusahaan. Prediksi akan kontinuitas sangat penting bagi manajemen dan

pemilik perusahaan sehingga kebangkrutan dapat segara dianti sipasi. Analisis

rasio merupakan bentuk atau cara yang umum digunakan dalam analisis laporan

finansial. Dimaksud laporan financial adalah hasil dari proses akuntansi yang

dapat digunakan sebagaialat untuk mengkomunikasikan data keuangan atau

aktivitas perusahaan kepada pihak yangberkepentingan. Pihak berkepentingan

tersebut, dibagai dalam dua bagian yaitu pihak interal dan pihak eksternal (Hery ;

2012)

Analisis rasio dapat digunakan untuk menyingkap hubungan dan

sekaligus menjadi dasar pembandingan yang menunjukkan kondisi atau

kecenderungan yang tidak dapat dideteksi bila hanya melihat komponen -

komponen rasio itu sendiri. Analisis rasio bertujuan untuk menilai efektivitas

keputusan yang telah diambil oleh perusahaan dalam rangka menjalankan

aktivitas usahanya. Sedangkan analisis rasio keuangan menurut (Sartono, 1996)

adalah “suatu analisis yang digunakan untuk menilai kondisi keuangan dan

prestasi perusahaan” .

Rasio menggambarkan suatu hubungan atau perimbangan antara suatu

jumlah tertentu dengan jumlah yang lain, dan dengan menggunakan alat analisis

berupa rasio akan dapat memberikan gambaran kepada penganalisa tentang

baik atau buruknya keadaan tentang posisi keuangan suatu perusahaan

terutama apabila dibandingkan dengan angka rasio pembanding yang digunakan

sebagai standar (Munawir, 2000:64).

19

Menurut Riyanto (2001: 331) penggolongan rasio keuangan adalah

sebagai berikut:

1. Rasio likuiditas adalah rasio yang dimaksudkan untuk mengukur

likuiditas perusahaan misalnya current ratio, acid test ratio, cash

ratio, working capital to total asset ratio. Rasio likuiditas digunakan

untuk mengukur kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban

keuangan jangka pendek yang harus segera dipenuhi, atau

kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban keuangan pada

saat ditagih.

2. Rasio laverage adalah rasio-rasio yang dimaksudkan untuk mengukur

sampai seberapa jauh aktiva perusahaan dibiayai dengan utang,

misalnya total debt to total asset ratio, total debt to total capital asset,

long debt to equity ratio, tangible asset debt coverage, time interest

earned ratio.

3. Rasio aktivitas adalah rasio-rasio yang digunakan untuk mengukur

sampai seberapa besar efektivitas perusahaan dalam

mengerjakansumber-sumber dayanya, misalnya total asset turnover,

receivableturnover, average collection period, inventory turnover,

average daysinventory, working capital turnover.

F. Beberapa Model Prediksi Kebangkrutan

Beberapa model prediksi kebangkrutan, diantaranya model Zmijewski

(1984), model Springate (1978), model Altman Z-score (1968), model Fulmer

(U.S. – 1984, Model Blasztk System(1984), dan Model CA-Score (1987).

20

1. Model Zmijewski

Zmijewski (1984) menggunakan analisis rasio yang mengukur kinerja,

leverage, dan likuiditas suatu perusahaan untuk model prediksinya.

Zmijewski menggunakan probit analisis yang diterapkan pada 40

perusahaan yang telah bangkrut dan 800 perusahaan yang masih bertahan

saat itu. Model yang berhasil dikembangkan yaitu:

X = -4.3-4.5X1 +5.7X2 -0.004X3

Dimana:

X1 = ROA (return on asset)

X2 = Leverage (debt ratio)

X3 = Likuiditas (current ratio)

Jika skor yang diperoleh sebuah perusahaan dari model prediksi

kebangkrutan ini melebihi 0 maka perusahaan diprediksi berpotensi

mengalami kebangkrutan. Sebaliknya, jika sebuah perusahaan memiliki

skor yang kurang dari 0 maka perusahaan diprediksi tidak berpotensi untuk

mengalami kebangkrutan.

2. Model Springate

Model ini dikembangkan oleh Springate (1978) dengan menggunakan

analisis multidiskriminan, dengan menggunakan 40 perusahaan sebagai

sampelnya. Model ini dapat digunakan untuk memprediksi kebangkrutan

dengan tingkat keakuratan 92,5%. Model yang berhasil dikembangkan oleh

Springate adalah:

S=1.03A + 3.07B + 0.66C + 0.4D

Dimana :

A = working capital/total asset

21

B = net profit before interest and taxes/total asset

C = net profit before taxes/current liabilities

D = sales/total asset

Model Springate ini mengklasifikasikan perusahaan dengan skor S >

0,862 merupakan perusahaan yang tidak berpotensi bangkrut, begitu juga

sebaliknyajika perusahaan memiliki skor S < 0,862 diklasifikasikan sebagai

perusahaan yangtidak sehat dan berpotensi untuk bangkrut.

3. Model Altman Z-score

Pada tahun 1968, Altman menerapkan Multiple Discriminant Analysis

(MDA) untuk pertama kalinya. Analisis diskriminan yang dilakukan Altman

dengan mengidentifikasikan rasio-rasio keuangan menghasilkan suatu

model yang dapat memprediksi perusahaan yang memiliki kemungkinan

tinggi untuk bangkrut dan tidak bangkrut. Penggunaan sampelnya

dilakukan pada 66 perusahaan, 33 gagal dan 33 sukses. Tingkat

keakuratan yang dicapai oleh model Altman’s yaitu sebesar 95%.

Bentuk formula yang digunakan pada model Altman’s adalah :

Z = 1.2A + 1.4B + 3.3C + 0.6D + 0.999E

Dimana:

A= working capital/total asset

B= retained earnings/total asset

C= earnings before interest and taxes/total asset

D= market capitalization/book value of debt

E= sales/total asset

Model Altman ini mengklasifikasikan perusahaan dengan skor Z >

2.675 merupakan perusahaan yang tidak berpotensi bangkrut, begitu juga

22

sebaliknyajika perusahaan memiliki skor Z < 2.675 diklasifikasikan sebagai

perusahaan yangtidak sehat dan berpotensi untuk bangkrut.

Model yang dikembangkan oleh Altman ini mengalami suatu revisi.

Revisi yang dilakukan oleh Altman merupakan penyesuaian yang dilakukan

agar model prediksi kebangkrutan ini tidak hanya untuk perusahaan

manufaktur yang go publik melainkan juga dapat diaplikasikan untuk

perusahaan-perusahaan di sektor swasta.

Model yang dikenal sebagai Revised Altman’s Z-Score dengan fungsi

diskriminan sebagai berikut (Altman, 2000):

Z = 0,717X1 + 0,847X2 + 3,107X3 + 0,420X4 + 0,988X5

Dimana:

X1 = Working Capital / Total Asset

X2 = Retained Earnings / Total Asset

X3 = Earning Before Interest and Taxes/Total Asset

X4 = Book Value of Equity / Book Value of Total Debt

X5 = Sales / Total Asset

Model Altman Z-Score mengklasifikasikan perusahaan dengan skor <

1,23 berpotensi untuk mengalami kebangkrutan. Skor 1,23 – 2,90

diklasifikasikan sebagai grey area, sedangkan perusahaan dengan skor >

2,90 diklasifikasikan sebagai perusahaan yang tidak berpotensi mengalami

kebangkrutan.

4. Model Fulmer

Fulmer (1984) menggunakan MDA untuk mengukur 40 rasio

keuangan yang digunakan pada 60 sampel perusahaan, 30 gagal dan 30

23

sukses rata-rata ukuran asset yang dimilki perusahaan sebesar $455.000.

Model ini menggunakan pendekatan sebagai berikut:

H = 5.528(V1) + 0.212(V2) + 0.073(V3) + 1.270(V4) – 0.120(V5) +

2.335(V6) + 0.575(V7) + 1.083(V8) + 0.894(V9) – 6.075

Dimana :

V1 = Retained Earning/Total Assets

V2 = Sales/Total Assets

V3 = EBT/Total Assets

V4 = Cash Flow/Total Debt

V5 = Debt/Total Assets

V6 = Current Liabilities/Total Assets

V7 = Log Tangible/Total Assets

V8 = Working Capital/Total Debt

V9 = Log EBIT/Interest

Model Fulmer mengklasifikasikan perusahaan dengan skor < 0

berpotensi untuk mengalami kebangkrutan. Perusahaan dengan skor > 0

diklasifikasikan sebagai perusahaan yang tidak berpotensi mengalami

kebangkrutan.

Fulmer melaporkan bahwa 98% tingkat keakuratan dalam

pengklasifikasian yang diuji pada perusahaan satu tahun menjelang

kebangkrutan dan 81% dengan tingkat keakuratan lebih dari satu tahun

menjelang kebangkrutan.

5. Model Blasztk System

Model Blasztk System (1984; dalam Grama, 2008) merupakan satu-

satunya metode prediksi kegagalan yang mana pada penguraiannya tidak

24

menggunakan MDA. Sistem ini dikembangkan oleh William Blaztk pada

tahun 1984. Intisari dari sistem ini bahwa perhitungan rasio keuangan

perusahaan yang akan ditaksir, berdasarkan bobot dan dibandingkan

dengan rasio rata-rata perusahaan yang berada pada industri yang sama.

Satu keunggulan dari metode ini dimana penilaiannya dilakukan

dengan membandingkan antar perusahaan lain dalam industri yang

sama.

6. Model CA-Score

Model CA-Score (1987; dalam Boritz, et.al; 2007) dianjurkan oleh

The Ordre des compattable sebagaimana yang diakui oleh Quebee

(Quebee CA’s) dan menurut pengembangannya bahwa telah digunakan

lebih dari 1,000 CA’s in Quebee.

Model ini dikembangkan di bawah pimpinan Jean Legault University

of Quebee di Montreal, menggunakan langkah Mulitiple Discriminant

Analysis. 30 rasio keuangan dianalisis pada sampel dari 173 perusahaan

manufaktur di Quebee yang mana memiliki kisaran penjualan antara $1-20

juta. Model ini menggunakan bentuk formulasi sebagai berikut :

CA-Score = 4.5913 (*shareholders’investment(1)/total assets(1)) + 4.5080

(earnings before taxes and extraordinary items + financial expenses(1)/total

assets(1)) + 0.3936 (sales(2)/total assets(2)) – 2.7616

Catatan: (1) Gambaran satu periode sebelum kebangkrutan

(2) Gambaran dua periode sebelum kebangkrutan

Model CA-Score mengklasifikasikan perusahaan dengan skor < -0.3

berpotensi untuk mengalami kebangkrutan. Perusahaan dengan skor > -0.3

25

diklasifikasikan sebagai perusahaan yang tidak berpotensi mengalami

kebangkrutan.

G. Penelitian Terdahulu

Terdapat beberapa penelitian yang terkait dengan deteksi kebangkrutan

sehingga memunculkan berbagai model prediksi kebangkrutan yang digunakan

sebagai alat untuk memperbaiki kondisi perusahaan sebelum perusahaan

mengalami kebangkrutan

Penelitian Marcelinda, et.al; (2014) ingin menguji keakuratan prediksi

kebangkrutan model Altman Z-Score ditinjau dari pendapat auditor pada

perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Data yang

digunakan pada penelitian inimerupakan data sekunder yang diperoleh dari

laporan keuangan tahunan perusahaan manufaktur selama periode 2010-

2012yang termuat dalam situs resmi Bursa Efek Indonesia. Penelitian ini

dilakukan dengan memilih perusahaan manufaktur yangterdaftar di Bursa Efek

Indonesia pada periode yaitu 2010-2012 dan yang mempunyai laporan auditor

independen sesuaidengan tingkat kriteria pemberian pendapat auditor pada

periode yaitu 2010-2012. Metode analisis yang digunakan adalah dengan

menggunakan metode Altman Z-Score dan meninjau akurasi model Altman Z-

Score dengan pendapat auditor. Hasilpenelitian ini menunjukkan bahwa

prosentase keakuratan model Altman Z-Score ditinjau dengan pendapat audito

rmenghasilkan tingkat akurasi prediksi sebesar 27,96%. Hal ini berarti bahwa

model prediksi kebangkrutan Altman Z-Score mempunyai tingkat akurasi yang

rendah.

26

Hadi dan Anggraeni ( 2008) dalam penelitiannya ini untuk mengetahui

prediktor delisting terbaik pada Bursa Efek Indonesia (BEI). Tiga prediktor

kebangkrutan yang terkenal adalah Model Zmijewski, Model Altman, dan Model

Springate. Penelitian ini menggunakan ketiga model tersebut untuk memprediksi

delisting. Penelitian ini mengambil semua data delisting data BEI tahun 2003 –

2007 kecuali data delisting bank. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa model

Zmijewski tidak bisa memprediksi delisting. Sedangkan Model Altman dan Model

Springate cukup mampu memprediksi delisting secara moderat. Penelitian ini

menemukan bahwa model Altman merupakan prediktor delisting terbaik.

Peter dan Yoseph (2011) menganalisis kebangkrutan dengan metode Z-

Score Altman, Springate dan Zmijewski pada PT. Indofood Sukses Makmur tbk

periode 2005 – 2009. Hasil penelitiannya dengan mengunakan model Altman Z-

score menunjukkan PT. Indofood Sukses Makmur Tbk. untuk tahun 2005-2009

berpotensi bangkrut sepanjang periode tersebut. Analisis kebangkrutan dengan

mengunakan model Springate PT. Indofood Sukses Makmur Tbk. Pada tahun

2005, 2006, dan 2009 perusahaan diklasifikasikan sebagai perusahaan yang

tidak berpotensi bangkrut sedangkan untuk tahun 2007 dan 2008 perusahaan di

klasifikasikan sebagain perusahan yang berpotensi bangkrut. Analisis

kebangkrutan dengan mengunakan model Zmijewski PT. Indofood Sukses

Makmur Tbk., pada tahun 2005, 2006, 2007, 2008 dan 2009 perusahaan

diklasifikasikan sebagai perusahaan yang tidak berpotensi bangkrut.

Fatmawati (2008) dalam penelitiannya pada perusahaan di BEI tahun

2003-2009 menunjukan bahwa dari ketiga model prediktor delisting yang

digunakan model Zmijewski lebih akurat dalam memprediksi perusahaan

delisting, dibandingkan dengan modelAltman dan model Springate. Hal ini karena

27

model Zmijewski lebih menekankan besarnya utang dalam memprediksi

delisting. Semakin besar jumlah utang maka akan semakin akurat diprediksi

sebagai perusahaan delisting, sedangkan model Altman dan model Springate

lebih menekankan pada ukuran profitabilitas. Semakin kecil profitabilitas

yangdihasilkan maka akan semakin tepat diprediksi sebagaiperusahaan delisting.

Kondisi perusahaan delisting yang menjadi objek pengamatan memiliki

kecenderungan masih mampu menghasilkan profit, namun memiliki jumlah utang

yang relatif besar.

Pratiwi dan Supriadi (2014) menganalisis kebangkrutan pada PT Indo

Tambangraya Megah Tbk dan PT Bukit Asam Tbk. Hasil penelitiannya

menunjukkan bahwa hasil angka DER (Debt Equity Rasio) dan WACC

(Weighted Average Cost Of Capital ) terhadap Prediksi Kebangkrutan

perusahaan “tidak signifikan”/ tidak memberikan pengaruh, karena naik atau

turunnya angka DER dan WACC tidak mampu mempengaruhi naik turunnya

angka Z-Score. Hal ini membuktikan bahwa perusahaan telah mampu

mengoptimalkan laverage operasional yang ada dalam perusahaan sehingga

segala biaya-biaya yang harus dikeluarkan tidak melebihi dari laba yang diterma

perusahaan.

Tambunan, et al (2015) melakukan peneltian untuk mengetahui kondisi

kesehatan keuangan subsektor rokok yang listing dan perusahaan delisting

tahun 2009 – 2013 di Bursa Efek Indonesia, serta mengetahui tanda – tanda

kegagalan bisnis yang mengarah pada kebangkrutan, jika ditinjau dengan

menggunakan metode Altman (Z-Score). Jenis data yang digunakan pada

penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari situs www.sahamok.com

dan www.idx.co.id. Penelitian ini dilakukan terhadap 3 perusahaan rokok yang

28

listing dan 3 perusahaan delisting di Bursa Efek Indonesia tahun 2009 - 2013.

Peristiwa kebangkrutan pada pasar modal diindikasikan dengan dihapusnya

saham perusahaan (delisting) dari Bursa Efek Indonesia, sehingga penelitian ini

sejalan dengan dengan kinerja Altman yaitu membandingkan perusahaan yang

belum bangkrut, dengan perusahaan yang telah dinyatakan bangkrut. Pada

perusahaan listing terdapat 1 perusahaan yang masuk dalam kategori rawan

yang terjadi pada tahun 2012, dan kemudian masuk dalam kategori bangkrut

ditahun 2013, sedangkan 2 perusahaan lainya selalu masuk dalam kategori

sehat selama 5 tahun berturut – turut. Perusahaan delisting yang terdiri atas 3

perusahaan menunjukkan, bahwa terdapat 1 perusahaan yang pernah masuk

dalam kategori rawan selama 2 tahun berturut – turut, sedangkan 3 tahun

analisis lainya masuk dalam kategori bangkrut. Dua perusahaan lainnya berbeda

karena selalu masuk dalam kategori bangkrut selama 5 tahun analisis. Hal ini

menunjukkan bahwa tingkat keakuratan metode Altman (Z-Score) tinggi.

Prihanthini dan Ratna Sari (2013) memprediksi kebangkrutan Perusahaan

Food and Beverage di Bursa Efek Indonesia dengan model Grover, Altman z-

score, Springate dan Zmijewski. Penelitian dilakukan untuk mengetahui ada

tidaknya perbedaan model Grover dengan model Altman Z-Score, model Grover

dengan model Springate, dan model Grover dengan model Zmijewski serta untuk

mengetahui model prediksi kebangkrutan yang terakurat. Kesimpulan hasil

pengujian penelitian ini menunjukkan perbedaan signifikan antara model Grover

dengan model Altman Z-Score, model Grover dengan model Springate, serta

model Grover dengan model Zmijewski serta tingkat akurasi tertinggi yang diraih

model Grover kemudian disusul oleh model Springate, model Zmijewski, dan

terakhir model Altman Z-score.

29

H. Kerangka Pemikiran

Prediksi kebangkrutan perusahaan properti di Bursa Efek Indonesia dapat

menggunakan berbagai model di antaranya Altman Z-score, Springate, dan

model Zmijewski. Model Altman Z-score menggunakan variable independen,

yaitu Working Capital to Total Assets, Retained Earnings to Total Assets,

Earnings Before Interest Tax to Total Assets, Market Value of Equity to Book

Value of Debt, dan Sales to Total Assets. Kemudian menggunakan data kelima

variable tersebut, dapat dihitung Z-Score, dan perusahaan properti dapat

diklasifikasikan ke dalam perusahaan berpotensi mengalami kebangkrutan dan

perusahaan yang tidak berpotensi mengalami kebangkrutan.

Model Springate menggunakan variable independen working capital to

total asset, net profit before interest and taxes to total asset, net profit before

taxes to current liabilities, dan sales to total asset. Kemudian menggunakan

data keempat variabel tersebut, dapat dihitung Springate Score. Berdasar Score

ini, perusahaan properti dapat diklasifikasikan ke dalam perusahaan berpotensi

mengalami kebangkrutan dan perusahaan yang tidak berpotensi mengalami

kebangkrutan. Sementara itu, Model Zmijewski menggunakan analisis rasio yang

mengukur kinerja, leverage, dan likuiditas suatu perusahaan untuk model

prediksinya. Berdasar rasio tersebut, dapat dihitung probabilitas kebangkrutan

perusahaan properti. Selanjutnya, berdasar hasil temuan ketiga model tersebut,

dapat dibedakan secara statistik dengan menggunakakan Uji Chi-Square (Kai-

Kuadrat).

30

Secara skematis, kerangka pemikiran penelitian ini dapat digambarkan

sebagai berikut.

Gambar II.1 Skema Kerangka Pemikiran

a. Hipotesis

Hipotesis adalah jawaban sementara masalah penelitian. Hipotesis

penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Terdapat hasil prediksi potensi kebangkrutan pada perusahaan

properti yang terdaftar di Bursa Efek Indonesi berdasarkan model

Z-score Altman, Springate, dan Zmijewski.

2. Terdapat perbedaan signifikan hasil potensi prediksi kebangkrutan

perusahaan properti yang terdaftar di Bursa Efek Indonesi

berdasarkan model Z-score Altman, Springate, dan Zmijewski.

3. Terdapat tingkat perbedaan prediksi potensial kebangkrutan di antara

model Z-score Altman, Springate, dan Zmijewski dengan kenyataan

yang ada.

Lapran Keuangan Perusahaan Properti Di Bursa Efek Indonesia

Prediksi Potensi

Kebangkrutan Model

Zmijewski

Prediksi Potensi

Kebangkrutan Model

Altman Z-score

Prediksi Potensi

Kebangkrutan Model

Springate

Tingkat Perbedaan Prediksi Kebangkrutan

Analisis Uji Chi

Square