bab ii tinjauan pustaka a. konsep dasar teori kateterisasi ...repository.ump.ac.id › 8264 › 3...
TRANSCRIPT
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Dasar Teori Kateterisasi urin
1. Pengertian
Kateter urin adalah alat berbentuk selang tabung yang dimasukan
kedalam kandung kemih dengan maksud untuk mengeluarkan air
kemih melalui uretra. Kateterisasi urin merupakan tindakan
keperawatan dengan cara memasukan kateter kedalam kandung kemih
melalui uretra yang bertujuan untuk membantu memenuhi kebutuhan
eliminasi dan sebagai pengambilan bahan pemeriksaan (Hidayat,
2011).
Tindakan pemasangan kateter urin dilakukan dengan memasukan
selang plastik atau karet melalui uretra kedalam kandung kemih.
Kateter memungkinkan mengalirnya urin yang berkelanjutan pada
klien yang tidak mampu mengontrol perkemihan atau klien yang
mengalami obstruksi. Kateter juga menjadi alat untuk mengkaji
saluran urin perjam pada klien yang ststus hemodinamiknya tidak
stabil (Potter & Perry, 2013).
Kateterisasi urin membantu pasien dalam proses eliminasinya.
Pemasangan kateter menggantikan kebiasaan normal dari pasien untuk
berkemih. Penggunaan kateter intermiten dalam waktu yang lama
dapat menyebabkan pasien mengalami ketergantungan dalam
berkemih. (Ulfa Maria dan Rosa E M, 2017).
Penerapan Metode Bladder..., ERMAN KURNIAWAN, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2018
8
2. Tipe Kateterisasi
Menurut Hidayat, pemasangan kateter dapatbersifat sementara
atupun menetap menetap. Pemasangan kateter sementara atau
intermiten catheter dilakukan jika pengosongan kandung kemih
dilakukan secara rutin sesuai dengan jadwal, sedangkan pemasangan
kateter menetap atau idwelling catheter dilakukan apabila
pengosongan kateter dilakukan secara terus menerus. (Hidayat 2011).
a. Katater sementara (stright kateter)
Pemasangan kateter dilakukan dengan cara kateter lurus yang
sekali pakai dimasukan sampai mencapai kandung kemih yang
bertujuan untuk mengeluarkan urin. Tindakan ini dapat dilakukan
selama 5-10 menit. Pada saat kandung kemih kosong maka kateter
kemudian ditarik keluar, pemasangan katater intermiten dapat
dilakukan berulang jika tindakan ini diperlukan, tetapi penggunaan
yang berulang meningkatkan resiko infeksi. Pemasangan kateter
sementara dilakukan jika tindakan untuk mengeluarkan urin dari
kandung kemih pasien dibutuhkan. Efek samping dari penggunaan
katater ini berupa pembengkakan pada uretra, yang terjadi saat
memeasukan kateter dapat menimbulkan infeksi (Potter & Perry,
2013).
Beberapa keuntungan penggunaan kateterisasi sementara yang
di kemukakan oleh (Rizki, 2009 dalam Purnomo Bayu, 2017)
antara lain :
Penerapan Metode Bladder..., ERMAN KURNIAWAN, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2018
9
1) Mencegah terjadinya tekanan intravesikal yang tinggi atau over
distensi yang mengakibatkan darah naik ke mukosa kandung
kencing dipertahankan seoptimal mungkin.
2) Kandung kencing dapat terisi dan dikosongkan secara berkala
seakan-akan berfungsi normal.
3) Bila dilakukan secara dini pada penderita cedera medula
spinalis, maka penderita dapat melewati masa syok spinal
secara fisiologis sehingga feedback ke medula spinalis tetap
terpelihara.
4) Tekhnik yang mudah pada pasien tidak terganggu kegiatan
sehari-harinya, kerugian kateterisasi sementara ini adalah
adanya distensi kandung kemih, resiko resiko utama uretra
akibat kateter yang keluar masuk secara berulang, resiko
infeksi akibat masuknya kuman-kuman dari luar atau dari
ujung distal uretra (flora normal).
b. Kateter menetap (foley kateter)
Kateter menetap digunakan untuk periode waktu yang lebih
lama. Kateter menetap digunakan untuk periode yang lebih lama.
Kateter menetap ditempatkan dalam kandung kemih untuk
beberapa minggu pemakaian sebelum dilakukan penggantian
kateter. Pemasangan kateter ini dilakukan sampai klien mampu
melakukan berkemih dengan tuntas atau selam pengukuran urin
akurat dibutuhkan. (Potter & Perry, 2013)
Penerapan Metode Bladder..., ERMAN KURNIAWAN, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2018
10
Pemasangan kateter menetap dilakukan dengan sistem kontinu
ataupun penutupan berkala (clamping). Pemakaian kateter menetap
ini banyak menimbulkan infeksi atau sepsis. Bila menggunakan
kateter menetap, maka dipilih adalah penutupan berkala oleh
karena kateterisasi menetap yang kontinu tidak fisiologis dimana
kandung kencing yang selalu kosong akan mengakibatkan
kehilangan potensi sensasi miksi serta terjadinya atrofi serta
penurunan tonus otot kandung kemih. (Aulawi, Haryani, Perdana,
2011).
Katater menetap terdiri atas folley katater (double lumen)
dimana satu lumen berfungsi untuk mengalirkan urin dari lumen
yang digunakan untuk mengalirkan cairan kedalam balon dan
lumen yang ketiga dipergunakan untuk melakukan irigasi pada
kandung kemih dengan cairan atau pengobatan. (Potter & Perry,
2013).
3. Indikasi kateterisasi urin
Kateterisasi sementara digunakan pada penatalaksanaan jangka
panjang klien yang mengalami cidera medulla spinalis, digenerasi
neuromucullar atau kandung kemih yang tidak kompeten, pengambilan
spesimen urin steril, pengkajian residu urin setelah pengosongan
kandung kemih dan meredakan rasa tidak nyaman akibat distensi
kandung kemih (Potter & Perry, 2013). Menurut hidayat (2011)
kateterisasi sementara diindikasikan pada klien yang tidak mampu
Penerapan Metode Bladder..., ERMAN KURNIAWAN, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2018
11
berkemih 8-12 jam setelah operasi, retensi urin akut setelah trauma
uretra, tidak mampu berkemih akibat obat sediatif atau analgesik,
cedera pada tulang belakang, degres neumoscular secara progresif dan
pengeluaran urin residual.
Kateterisasi menetap (foley kateter) digunakan pada klien
pascaoperasi uretra dan struktur di sekitarnya (TURP), obstruksi aliran
urin, obstruksi uretra, pada pasien inkontinensia urin dan disorientasi
berat (Hidayat, 2011).
Kateter di indikasikan untuk beberapa alasan. Pemasangan kateter
dalam jangka waktu yang pendek akan meminimalkan infeksi,
sehingga metode pemasangan kateter sementara adalah metode yang
paling baik (Aulawi, Haryani, Perdana, 2011).
a) Indikasi pemasangan kateter sementara :
1. Mengurangi ketidaknyamanan pada distensi kandung kemih
2. Pengambilan urin residu setelah pengosongan kandung kemih
b) Indikasi pemasangan kateter jangka pendek :
1. Obstruksi kandung kemih (pembesaran kelenjar prostat
2. Pembedahan untuk memperbaiki organ perkemihan, seperti
vesika urinaria, uretra, dan organ sekitarnya
3. Preventif pada obstruksi uretra dan pembedahan
4. Untuk memantau output urin
5. Irigasi vesika urinaria
Penerapan Metode Bladder..., ERMAN KURNIAWAN, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2018
12
c) Indikasi pemasangan kateter jangka panjang :
1. Retensi urin pada penyembuhan penyakit ISK atau UTI
2. Skin rash, uclear dan luka yang iritatif apabila kontak dengan
urin
3. Klien dengan penyakit terminal
4. Inkontinensia urin dan pencegahanya
4. Komplikasi
Adapun komplikasi yang didaptkan dari keteterisasi urin menurut
Brunner & Suddarth (2010) :
a. Iritasi ataupun trauma pada uretra
Penggunaan kateter yang ukuranya tidak tepat dapat mengiritasi
uretra, sehingga kemungkinan terjadinya traumapun meningkat.
Selain itu, kurangnya penggunaan lubrikasi dapat melukai jaringan
sekitar uretra pada saat penyisipan , trauma yang terjadi apabila
penyisipan pada letak kateter belum tepat pada saat balon retensi
pada kateter di kembangkan. Fiksasi kateter yang kurang tepat dapat
menambah gerakan yang menyebabkan regangan atau tarikan pada
uretra atau yang membuat kateter terlepas tanpa disengaja.
Manipulasi kateter paling sering menjadi penyebab kerusakan
mukosa kandung kemih pada pasien yang mendapat kateterisasi
b. Krutasi pada kateter
Urin yang banyak mengandung urea yang memproduksi bakteri
seperti proteus mirabilis, yang meningkatkan PH urin memicu
Penerapan Metode Bladder..., ERMAN KURNIAWAN, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2018
13
terbentuknya kusta pada kateter. Lumen kateter tersumbat oleh
kristal yang berasal dari campuran PH urin yang tinggi, bakteri dan
ion magnesium. Pembentukan krusta yang berasal dari garam urin
dapat menjadi sumber pembentukan batu. Asupan cairan yang bebas
dan peningkatan haluan urin harus dipastikan untuk mengirigasi
kateter dan mengencerkan zat-zat dalam urin yang dapat
membentuk krusta
c. Terjadi bloking atau retensi (Tersumbat, tidak dapat mengalir
dengan lancar)
Kerusakan pada kateter yang disebabkan oleh krusta yang
menutupi area lumen kateter
d. Terjadinya inkontinensia urin
pemasangan kateter dalam waktu yang lama mengakibatkan
kandung kemih tidak akan terisi dan berkontraksi sehingga pada
akhirnya kandung kemih akan kehilangan tonusnya. Apabila hal ini
terjadi dan kateter di lepas, maka otot detrusor mungkin tidak dapat
berkontraksi dan pasien tidak dapat mengontrol pengeluaran urinya
hingga terjadinya inkontinensia urin
e. Terjadinya kebocoran
Kateter yang pada bagian balon untuk memfiksasi kateter tidak
terfiksasi dengan baik akan menyebabkan pengeluaran urin yang
tidak tepat. Sehingga urin dapat merembes keluar tidak melalui
selang kateter.
Penerapan Metode Bladder..., ERMAN KURNIAWAN, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2018
14
f. Resiko tinggi infeksi
Pemasangan kateter akan menurunkan sebagian besar daya
tahan alami pada saluran kemih bagian bawah dengan menyumbat
duktus preuretralis, mengiritasimukosa kandung kemih dan
menimbulkan jalur artificial untuk masuknya kuman kedalam
kandung kemih. Banyak mikroorganisme ini merupakan bagian dari
flora endogen atau flora usus normal, atau didapat
melaluikontaminasi silang oleh pasien atau petugas rumah sakit
maupun melalui kontak dengan peralatan yang tidak steril
B. Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Terpasang Kateter Urin
1. Pengkajian
a. Anamnesa
Identitas pasien seperti nama pasien, tanggal lahir, jenis kelamin,
alamat rumahb, No. RM. Sedangkan penanggung jawab (orang tua,
keluarga terdekat) seperti namanya, pendidikan terakhir, jenis
kelamin, No. HP.
b. Riwayat kesehatan
Riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat
penyakit keluarga. Bisa menggunakan PQRST jika pasien
merasakn nyeri yaitu :
1) P (Provokes) : Penyebab timbulnya nyeri.
Penerapan Metode Bladder..., ERMAN KURNIAWAN, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2018
15
2) Q (Quality) : Rasa nyeri seperti di tekan, tertusuk, atau
diremas-remas.
3) R (Region) : Lokasi nyeri berada di bagian tubuh mana.
4) S (Saverity) : Skala nyeri.
5) T (Time) : Nyeri yang dirasakan.
c. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum
Mengkaji keadaan umum klien atau pasien seperti terlihat
lemas dan peingkatatn tanda tanda vital karena respon dari
terjadinya inkontinensia.
2) Pemeriksaan persistem
Dalam penatalaksanaan ini menggunakan tekhnik 6 B yaitu :
B 1 : Breathing (Pernafasan)
Untuk mengukur pola nfas, bunyi nafas, bentuk dada
simetris atau tidak, ada atau tidaknya gerakan cuping
hidung, ada atau tidaknya sianosis.
B 2 : Bleeding (Kardiovaskular atau sirkulasi)
Untuk mengetahui bunyi jantung, irama jantung, nadi,
tekanan darah.
B 3 : Brain (Pemikiran)
Untuk mengukur nilai GCS atau kesadaran.
B 4: Bowel (Pencernaan)
Penerapan Metode Bladder..., ERMAN KURNIAWAN, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2018
16
Rongga mulut terdapat lesi atau tidak, adanya dehidrasi atau
tidak, bising usus.
B 5 : Bone (Muskuloskeletal)
Warna kulit, suhu, integritas kulit, adanya lesi atau
decubitus atau tidak.
B 6 : Bladder (Perkemihan)
Inspeksi : dengan melihat warna urin, bau, banyaknya urin
atau jumlah urin, biasanya bau menyengat karena adanya
aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih
serta disertai keluarnya darah apabila ada lesi pada bladder,
pembesaran daerah supra publik lesi pada meatus uretra,
banyak kencing dan nyeri saat berkemih menandakan
disuria akibat dari infeksi, apakah klien terpasang kateter
sebelumnya.
Palpasi : rasa nyeri didapat pada daerah supra publik atau
pelvis, seperti rasa terbakar di uretra luar sewaktu kencing
atau dapat juga diluar waktu kencing.
d. Pemeriksaan diagnostik
1) Pemeriksaan radiografi
2) Urinalisa
3) Pemeriksaan lab seperti kimia darah, arah lengkap, urin
4) Pemeriksaan lainya
Penerapan Metode Bladder..., ERMAN KURNIAWAN, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2018
17
2. Diagnosa keperawatan
a. Risiko inkontiensia urine
(NANDA Edisi 10, 2015-2017).
Kriteria hasil :
1. Mampu mengontrol pengeluaran urin
2. Adanya dorongan/rangsangan untuk berkemih
3. Frekuensi berkemih lancar
Intervensi :
1. Kateterisasi urin
2. Bantuan untuk berkemih
3. Gunakan komunikasi terapeutik untuk mngkaji pengalaman
berkemih
4. Lakukan terapi bladder training pada saat terpasang kateter urin
5. Latih untuk berkemih secara mandiri
(NIC Edisi 6, 2013)
C. Inkontinensia urin
1. Definisi inkontinensia urin
Menurut NANDA (2015-2017) inkontinensia urin merupakan
rembesan urin secara tiba-tiba yang diakibatkan oleh peningkatan
aktivitas intra abdomen. Produksi urin pada setiap individu berbeda.
Pada umumnya produksi urin seimbang dengan pemasukan cairan,
namun ada beberapa faktor yang ikut mendukung jumlah urin dalam
satu hari. Faktor yang mempengaruhi produksi urin adalah jumlah
Penerapan Metode Bladder..., ERMAN KURNIAWAN, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2018
18
cairan yang masuk ke tubuh, kondisi sehat sakit, tingkat tingkat
aktifitas, sedangkan pola buang air kecil dapat dipengaruhi oleh
kebiasaan seseorang, usia, penggunaan obat obatan dan pengaruh
makanan (Hariyati dan Tutik 2012).
Secara umum inkontinensia urin disebabkan oleh perubahan pada
anatomi dan fungsi organ lansia, obesitas, menopouse, dan usia lanjut.
Pebambahan berat dan tekanan selama hamil dapat membuat otot-otot
dasar panggul rusak akibat regangan otot dan jaringan penunjang serta
robekan jalan lahir pada eorang ibu melahirkan juga dapat
meningkatkan resiko terjadinya inkontinensia urin. Faktor jenis
kelamin dapat berperan terjadinya inkontinensia urin khususnya pada
wanita karena menurunya kadar hormon estrogen pada usia
menopouse akan terjadi penurunan tonus otot kandung kemih
sehingga menyebabkan inkontinensia urin (Sulasmini dkk, 2017).
Inkontinensia urin dapat terjadi akibat pemasangan kateter dalam
waktu yang lama dikarenakan terbiasa oleh penggunaan kateter
mengakibatkan kandung kemih tidak akan terisi dan berkontraksi
sehingga pada akhirnya kandung kemih akan kehilangan tonusnya.
Apabila hal ini terjadi dan kateter di lepas, maka otot detrusor
mungkin tidak dapat berkontraksi dan pasien tidak dapat mengontrol
pengeluaran urinya. (Smeltzer and Bare, 2011).
Penerapan Metode Bladder..., ERMAN KURNIAWAN, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2018
19
2. Klasifikasi inkontinensia urin
Ada beberapa klasifikasi inkontinensia urin menurut hidayat
(2011) yaitu :
a. Inkontinensia dorongan
Inkontinensia dorongan merupakan keadaan dimana seseorang
mengalami pengeluaran urin tanpa disengaja atau tanpa sadar,
terjadi seger asetelah merasa dorongan yang kuat setelah
berkemih. Inkontinensia dorongan di tandai dengan seringnya
miksi (miksi lebih dari 2 jam sekali) dan spasme kandung kemih
(Hidayat, 2011).
Pasien inkontinensia dorongan mengeluh tidak dapat menahan
kencing segera setelah timbul sensasi ingin kencing. Keadaan ini
disebabkan oleh otot detrusor sudah mulai mengadakan kontraksi
saat kapasitas kandung kemih belum terpenuhi. Frekuensi miksi
menjadi lebih sering dan disertai dengan urgensi. Inkontinensia
tipe ini meliputi 22% dari semua inkontinensia pada wanita.
(Potter & Perry, 2013). Beberapa penyebab terjadinya
inkontinensia urin dorongan disebabkan oleh penurunan kapasitas
kandung kemih, iritasi pada reseptor renggangan kandung kemih
yang menyebabkan spasme (infeksi saluran kemih) minuman
alkohol atau kafein, peningkatan konsentrasi urin, dan distensi
kandung kemih yang berlebihan. (Hidayat, 2011).
Penerapan Metode Bladder..., ERMAN KURNIAWAN, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2018
20
b. Inkontinensia urin total
Inkontinensia total mrupakan keadaan dimana seseorang
mengalami pengeluaran urin terus menerus dan tidak dapat
diperkirakan. Kemungkinan penyebab inkontinensia total antara
lain : disfungsi neorologis, kontraksi independen dan reflek
detrusor karena pembedahan, trauma atau penyakit yang
mempengaruhi saraf medulla spinalis, fistula, neuropati. (Hidayat,
2011).
c. Inkontinensia stress
Inkontinensia tipe ini ditandai dengan adanya urin menetes
dengan peningkatan tekanan abdomen, adanya dorongan
berkemih, dan sering miksi. Inkontinesia stress terjadi akibat otot
springter uretra tidak dapat menahan keluarnya urin yang
disebabkan meningkatnya tekanan abdomen secara tiba-tiba.
Peningkatan tekanan abdomen dapat terjadi sewaktu batuk, bersin,
mengangkat benda yang berat, dan tertawa. (Hidayat, 2011).
Keluar urin dari uretra pada saat terjadi tekanan
intraabdominal, merupakan jenis inkontinensia yang paling
banyak pravelensinya yaitu 8,33%. Pada pria kelainan uretra yang
menyebabkan inkontinensia adalah kerusakan springter uretra
eksterna pasca prostatektomi. Inontinensia stress jarang ditemukan
pada laki-laki, namun apabila pada hal ini ditemukan maka
Penerapan Metode Bladder..., ERMAN KURNIAWAN, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2018
21
membutuhkan tindakan pembedahan untuk penangananya. (Potter
& Perry, 2013).
d. Inkontinensia refleks
Inkontinensia refleks merupakan keadaan dimana seseorang
mengalami pengeluaran urin yang tidak dirasakan, terjadi pada
interval yang dapat diperkirakan bila volume kandung kemih
mencapai jumlah tertentu. Inkontinensia tipe ini kemungkinan
disebabkan oleh adanya kerusakan neurobiologis (lessi medulla
spinalis). Inkontinensia refleks ditandai dengan tidak adanya
dorongan untuk berkemih, merasa bahwa kandung kemih penuh,
dan kontraksi atau spasme kandung kemih tidak dihambat pada
interval teratur. (Hidayat, 2011).
e. Inkontinensia fungsional
Inkontinensia fungsional merupakan keadaan seseorang yang
mengalami pengeluaran secara tanpa disadari dan tidakdapat
diperkirakan. Keadaan inkontinensia ini di tandai dengan adanya
dorongan untuk berkemih, merasa bahwa kandung kemih penuh
kontraksi kandung kemih cukup kuat untuk mengeluarkan urin.
(Hidayat, 2011).
Inkontinensia fungsional merupakan inkontinensia dengan
fungsi saluran kemih bagian bawah yang utuh tetapi ada faktor
lain, seperti gangguan kognitif berat yang menyebabkan pasien
sulit untuk mengidentifikasi perlunya urinasi (misalnya, demensia
Penerapan Metode Bladder..., ERMAN KURNIAWAN, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2018
22
alzaimer) atau gangguan fisik yang menyebabkan pasien sulit atau
tidak mungkin menjangkau toilet untuk melakukan urinasi. (Potter
& Perry, 2013).
3. Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Inkontinensia Urin
1. Inkontinensia urin akut dapat terjadi karena :
a. Sembelit
b. Penggunaan kateter terlalu lama
c. Infeksi saluran kemih
d. Konsumsi alkohol berlebih
e. Minum terlalu banyak atau minum cairan yang dapat
mengiritasi kandung kemih, seperti minuman berkarbonasi,
minuman yang mengandung kafein, buah dan jus jeruk,
pemanis buatan, dan termasuk kopi dan teh tanpa kafein.
f. Mengkonsumsi obat, seperti obat untuk flu, alergi, depresi,
nyeri, tekanan darah tinggi, diuretik, dekongestan dan relaksan
otot.
2. Inkotinensia urin kronis dapat terjadi karena :
a. Faktor usia
b. Otot kandung kemih yang terlalu aktif
c. Terdapat obstruksi pada saluran kemih, seperti batu saluran
kemih
d. Otot dasar panggul lemah
e. Stroke
Penerapan Metode Bladder..., ERMAN KURNIAWAN, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2018
23
f. Kanker kandung kemih
g. Multiple sclerosis (penyakit kronis pada sistem saraf pusat)
h. Penyakit parkinson
i. Tumor otak
j. Cedera tulang belakang
k. Interstitial cystitis (radang kronis pada dinding kandung
kemih)
l. Penyakit atau cedera yang mempengaruhi sistem saraf oto,
termasuk diabetes
m. Monuilitas yang minim.
(Setiati dan Pramantara, 2009).
D. Bladder Training
1. Definisi Bladder Training
Bladder training merupakan latihan kandung kemih sebagai salah
satu upaya untuk mengembalikan fungsi kandung kemih yang
mengalami gangguan atau untuk mengemnangkan tonus otot dan
spingter kandung kemih agar berfungsi optimal (Hariyati dan Tutik,
2012).
Penggunaan metode bladder training merupakan metode non
farmakologi yang bermanfaat dalam mengurangi frekuensi terjadinya
inkontinensia urin. Latihan ini sangatlah efektif dan memiliki efek
samping yang minimal dalam mengangani masalah inkontinensia urin.
Dengan bladder training diharapkan pola kebiasaan disfungsuonal,
Penerapan Metode Bladder..., ERMAN KURNIAWAN, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2018
24
memperbaiki kemampuan untuk menekan urgensi dapat di ubah dan
secara bertahap akan meningkatkan kapasitas kandung kemih dan
memperpanjang interval berkemih (Potter & Perry, 2013).
2. Jenis Metode Bladder Training
Terdapat tiga macam metode bladder training meurut Hariyati dan
Tutik (2012) yaitu :
a. Kegel exercises (Latihan otot dasar panggul)
Merupakan latihan yang dilakukan dengan cara mengencangkan
atau otot-otot dasar panggul.
b. Delay urination (Menunda berkemih)
Merupakan latihan dengan cara menunda interval waktu untuk
berkemih dalam waktu yang sudah di tentukan.
c. Scheduled bathroom trips (jadwal berkemih)
Merupakan latihan dengan cara membuat jadwal berkemih dengan
waktu penjadwalan yang sudah di tentukan seperti, bangun pagi,
dua jam pada siang dan sore hari dan sebelum tidur
Bladder training dapat dilakukan dengan latihan menahan
kencing (menunda untuk berkemih) pada pasien yang terpasang
kateter. Bladder training dapat dilakukan dengan mengeklem atau
mengikat aliran urin ke urin bag Bladder training dilakukan
sebelum kateterisasi dihentikan atau dilepas. Tindakan ini dapat
dilakukan dengan cara menjepit katater urin dengan klem
kemudian jepitanya di lepas setiap beberapa jam sekali, kateter di
Penerapan Metode Bladder..., ERMAN KURNIAWAN, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2018
25
klem selama 1-2 jam dan kemudian klem kateter dilepas agar aliran
urin mengalir ke urin bag, tindakan penjepitan kateter ini
memungkinkan kandung kemih terisi urin dan otot-otot detrusor
brkontraksi dan sedangkan pelepasan klem memungkinkan
kandung kemih untuk mengosongkan isinya. (Hriyati dan Tutik,
2012).
3. Tujuan Bladder Training
Tujuan dari dilakukanya bladder training adalah melatih kembali
kandung kemih atau mengembalikan pola normal perkemihan dengan
menghambat atau mestimulasi pengeluaran air kemih (Potter & Perry,
2013). Bladder training bertujuan untuk mengembalikan tonus otot dan
spingter kandung kemih agar berfungsi optimal. Latihan ini dilakukan
setelah kateter di pasang dalam jangka waktu yang lama dan kateter
akan di lepas ( Suhariyanto, 2015).
Suhriyanto (2015) menyatakan tujuan dilakukanya bladder
training adalah :
a. Membantu klien mendapat pola berkemih rutin.
b. Mengembalikan tonus otot kandung kemih sehingga dapat
mencegah terjadinya inkontinensia.
c. Memperpanjang interval waktu berkemih
d. Meningkatkan kapasitas kandung kemih
e. Melatih kandung kemih untuk mengeluarkan urin secara periodie
inkontinensia.
Penerapan Metode Bladder..., ERMAN KURNIAWAN, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2018
26
4. Indikasi Bladder Training
Bladder training dilakukan pada pasien dengan mengalami
inkontinensia urin, maupun pada pasien terpasang kateter dalam jangka
waktu yang lama sehingga fungsi spingter kandung kemih terganggu
(Suharyanto, 2015). Bladder training juga bisa dilakukan pada pasien
stroke, bladder injury, da pasien dengan pemasangan kateter yang lama
(Hariyati dan Tutik, 2012).
5. Prosedur Bladder Training
Prosedur kerja dalam melakukan bladder training menurut Suharyanto
(2015) yaitu :
1) Melakukan cuci tangan
2) Menyiapkan alat
3) Mengucapkan salam
4) Menjelaskan tujuan dan prosedur tindakan pada klien
5) Kontrak waktu dengan pasien
6) Menciptakan lingkungan yang nyaman dengan menutup ruangan
atau tirai ruangan
7) Memakai sarung tangan
8) Melakukan pengukuran volume urin pada kantong urin dan
kosongkan kantong urin
9) Anjurkan pasien untuk minum sebanyak 200-250 cc
Penerapan Metode Bladder..., ERMAN KURNIAWAN, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2018
27
10) Klem atau ikat selang kateter sesuai dengan program (selama 1-2
jam) atau hingga pasien merasakan ingin berkemih, yang bertujuan
untuk memungkinkan kandung kemih terisi urin dan otot detrusor
berkontraksi, supaya meningkatkan volume urin residual.
11) Tanyakan apakah klien ingin bermiksi setelah 1 jam
12) Buka klem atau ikatan dan biarkan urin mengalir keluar
13) Mengulangi langkah nomor 9 dan 10
14) Mengukur volume urin dan perhatikan warna urin, jumlah urin,
dan bau urin
15) Lepaskan sarung tangan dan merapihkan semua peralatan
Penerapan Metode Bladder..., ERMAN KURNIAWAN, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2018