bab ii tinjauan pustaka a. komitmen …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1565/4/bab ii.pdfb. komunikasi...
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Komitmen Organisasi
1. Definisi Komitmen Organisasi
Komitmen organisasi hingga saat ini masih menjadi pembicaraan
relevan dan berperan sentral dalam penelitian-penelitian perilaku organisasi,
karena pengelolaan sumber daya manusia perlu memperhatikan komitmen
karyawannya. Komitmen karyawan yang tinggi akan sangat berpengaruh
pada pencapaian tujuan organisasi. Komitmen organisasi pertama kali di
definisikan oleh Becker (1960 dalam Rhoad dan Eisenberger 2002), sebagai
kecenderungan seseorang untuk terikat dalam aktivitas organisasi secara
berkelanjutan yang berdasarkan pada penghargaan yang diberikan dan
dihubungkan dengan ketidakberlanjutan individu dalam aktivitas organisasi.
Hal ini juga dijelaskan oleh Robins (2006) dimana komitmen organisasi
adalah sebagai keadaan dimana seorang karyawan memihak pada satu
organisasi dan tujuan-tujuannya, serta berniat untuk memelihara
keanggotaannya dalam organisasi tersebut.
Mathus dan Jackson (2001) juga menjelaskan bahwa komitmen
organisasi merupakan tingkat kepercayaan dan peneriman pekerja terhadap
tujuan organisasi dan mempunyai keinginan untuk tetap ada dalam organisasi
tersebut yang pada akhirnya tergambar dalam statistik kehadiran dan masuk
keluarnya pekerja dari organisasi (turnover). Selain itu Meyer & Allen (1997)
merumuskan suatu definisi mengenai komitmen dalam berorganisasi sebagai
17
suatu konstruk psikologis yang merupakan karakteristik hubungan anggota
organisasi dengan organisasinya, dan memiliki implikasi terhadap keputusan
individu untuk melanjutkan keanggotaannya dalam berorganisasi.
Berdasarkan definisi teoritis di atas maka dapat disimpulkan bahwa
komitmen organisasi merupakan wujud dari tingkat penerimaan seseorang
terhadap tujuan organisasi sehingga menimbulkan keterikatan secara
psikologis antara karyawan dengan organisasinya. Rasa keterikatan yang
dimiliki tersebut akan membuat karyawan merasa memiliki tanggungjawab
dan keinginan untuk ikut memelihara keanggotaannya dalam organisasi
tersebut dalam jangka waktu yang lama.
2. Dimensi Komitmen Organisasi
Meyer dan Allen (1997) merumuskan tiga dimensi komitmen dalam
berorganisasi, yaitu:
a. Komitmen Afektif
Komitmen afektif berkaitan dengan hubungan emosional anggota
terhadap organisasinya, identifikasi dengan organisasinya, dan
keterlibatan anggota dengan kegiatan organisasinya. Anggota organisasi
dengan komitmen afektif yang tinggi akan terus menjadi anggota dalam
organisasi karena memang memiliki keinginan untuk itu (Meyer & Allen,
1997).
b. Komitmen Kontinuan
Komitmen kontinuan berkaitan dengan kesadaran anggota organisasi
bahwa jika meninggalkan organisasi, maka ia akan mengalami kerugian.
Anggota organisasi dengan komitmen kontinuan yang tinggi akan terus
menjadi anggota dalam organisasinya karena mereka memiliki kebutuhan
untuk menjadi anggota organisasi tersebut (Meyer & Allen, 1997).
Komitmen kontinuan dapat berkembang karena adanya berbagai tindakan
atau kejadian yang dapat meningkatkan kerugian jika meninggalkan
organisasi. Beberapa tindakan atau kejadian ini dapat dibagi ke dalam dua
variabel yaitu investasi dan alternatif, selain itu proses pertimbangan juga
dapat mempengaruhi individu. (Meyer & Allen, 1997).
Investasi termasuk sesuatu yang berharga, termasuk waktu, usaha,
ataupun uang, yang harus individu lepaskan jika meninggalkan organisasi.
Alternatif adalah kemungkinan untuk masuk keorganisasi lain. Proses
pertimbangan adalah saat dimana individu mencapai kesadaran akan
investasi dan alternatif, dan bagaimana dampaknya bagi mereka sendiri
(Meyer & Allen, 1997).
c. Komitmen Normatif
Komitmen normatif mengambarkan perasaan keterikatan untuk terus
berada dalam organisasi. Anggota organisasi dengan komitmen normatif
yang sangat tinggi akan terus menjadi anggota dalam organisasi karena
merasa dirinya harus berada dalam organisasi tersebut (Meyer & Allen,
1997). Wiener ( Dalam Meyer & Allen, 1997) menyatakan bahwa
komitmen normatif terhadap organisasi dapat berkembang dari sejumlah
tekanan yang dirasakan individu selama proses sosialisasi, selama
sosialisasi saat individu baru masuk ke dalam organisasi. Komitmen
normatif juga dapat berkembang dikarenakan organisasi- organisasi
memberikan sesuatu yang sangat berharga bagi individu yang tidak dapat
dibalas kembali (Allen & Meyer; Scholl dalam Allen & Meyer, 1997).
Faktor lainnya adalah adanya kontrak psikologis antara anggota dengan
organisasinya. Kontrak psikologis adalah kepercayaan dari masing-
masing pihak bahwa akan terjadi proses timbal balik yang positif.
(Argyris; Rousseau; Schein dalam Allen & Meyer, 1997).
Mowday, Porter & Steers (dalam Yousef, 2003) secara rinci juga
menjelaskan dimensi komitmen organisasi sebagai berikut:
a. Sikap seorang anggota dalam mengidentifikasikan diri terhadap nilai-nilai
dan tujuan organisasi, yang menggambarkan keterikatan terhadap ideologi
yang dibuat dan telah ditentukan oleh organisasi seperti selalu mentaati
peraturan perusahaan dengan tidak datang terlambat, menjalankan SOP
dengan benar dan mendukung tujuan dan melaksanakan apa yang menjadi
keputusan perusahaan;
b. Adanya kemauan untuk mengerahkan usaha terbaiknya dalam bekerja.
Ditandai dengan seluruh anggota bekerja sesuai dengan tanggung
jawabnya masing-masing, sanggup menyelesaikan tugasnya sesuai dengan
rencana maupun bekerja secara profesional demi organisasi. Karyawan
yang memiliki komitmen yang tinggi juga bersedia menambah jam
kerjanya untuk menyelesaikan pekerjaannya, dan ikut bertanggung jawab
terhadap keberhasilan dan kegagalan organisasi serta ikut melibatkan diri
untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi perusahaan. Selain itu uang
bukanlah hal yang utama dibanding loyalitasnya pada perusahaan;
c. Adanya keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi yang adalah
merupakan faktor kebanggaan dan loyalitas yang dimiliki seseorang secara
berkesinambungan dalam suatu organisasi dengan penghargaan yang
diperoleh dan bermanfaat bagi anggota organisasi. Hal ini ditandai dengan
rasa nyaman yang dimiliki oleh karyawan sehingga tidak adanya keinginan
untuk mencari perusahaan lain dan bersedia untuk tetap bekerja hingga
pensiun.
Berdasarkan penjelasan mengenai dimensi komitmen organisasi dari
dua teori di atas maka, dalam penelitian ini peneliti hanya akan menggunakan
pendapat Mowday, Porter & Steers (dalam Yousef, 2003) sebagai dimensi
yang akan dijadikan acuan untuk mengukur komitmen organisasi. Karena
menurut peneliti ketiga dimensi organisasi yang dijelaskan oleh Meyer dan
Allen lebih tepat sebagai jenis-jenis komitmen dalam berorganisasi. Hal ini
disebabkan hubungan anggota organisasi dengan organisasinya yang
mencerminkan perbedaan derajat ketiga dimensi komitmen tersebut.
3. Manfaat Komitmen Organisasi
Sebagai salah satu sikap kerja, komitmen organisasi memiliki banyak
fungsi positif bagi organisasi. Daft (2003) mengatakan bahwa komitmen
organisasi merupakan sikap penting yang mempengaruhi kinerja. Daft
mendefinisikan komitmen organisasi sebagai bentuk loyalitas dan
keterlibatan yang tinggi pada organisasi. Karyawan dengan derajat komitmen
organisasi yang tinggi akan melibatkan dirinya pada organisasi dan bekerja
atas nama organisasi. Hal ini sejalan dengan pendapat Allen dan Meyer,
(dalam Wasti, 2003) bahwa Komitmen seseorang terhadap organisasinya
akan meningkatkan peforma kinerjanya sehingga secara signifikan akan
terkait dengan keberhasilan kinerja terhadap target yang ditentukan.
Kahn (dalam Smither 1997) juga mengatakan bahwa seseorang
cenderung menjadi terikat dengan kegiatan organisasi jika ia menerima tugas
sebagai sesuatu yang membuatnya menjadi berharga, tidak merasa takut akan
adanya konsekuensi negatif terhadap karir, jabatan atau citra dirinya, dan
adanya objek yang menjadi sumber keterikatan dalam suatu kegiatan
organisasi baik secara fisik maupun emosional
Tett dan Meyer (dalam Smither 1997) menambahkan jika komitmen
organisasi pada karyawan tinggi, karyawan akan cenderung untuk bertahan
lebih lama dalam pekerjaan mereka dan cenderung bersedia meluangkan lebih
banyak waktu dan tenaga untuk pekerjaannya jika dibandingkan dengan
pegawai dengan tingkat komitmen organisasi yang lebih rendah. Selain itu
Komitmen juga memiliki manfaat lainnya. Karyawan yang memiliki
komitmen tinggi cenderung memiliki catatan kehadiran yang lebih baik dan
masa kerja yang lebih lama dari karyawan yang kurang memiliki komitmen.
(Ivancevich, Konopaske,& Matteson, 2007)
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa komitmen
organisasi sangatlah penting, dengan adanya komitmen dalam organisasi
maka para pekerja benar-benar ingin tinggal pada organisasi dalam waktu
yang cukup lama. Karyawan juga mempunyai kemungkinan yang jauh lebih
besar untuk menunjukkan tingkat partisipasi yang tinggi dalam organisasi,
karyawan juga memiliki keinginan yang lebih kuat untuk tetap bekerja pada
organisasinya dan dapat terus memberikan sumbangan bagi pencapaian
tujuan. Komitmen yang tinggi juga akan membuat karyawan ikut serta
melibatkan diri pada pekerjaan mereka, karena pekerjaan tersebut adalah
mekanisme kunci dan saluran individu untuk memberikan sumbangan bagi
pencapaian tujuan organisasi.
4. Faktor-Faktor Mempengaruhi (Anteseden) Komitmen Organisasi
Steers (1977) mengembangkan model anteseden komitmen organisasi
yang meliputi: (1) karakteristik personal, (2) karakteristik yang berkaitan
dengan pekerjaan atau jabatan, dan (3) pengalaman kerja. Beberapa hasil
penelitian di luar negeri menunjukkan bahwa:
a. Karakteristik personal yang terdiri dari usia, masa kerja, tingkat
pendidikan, jenis kelamin, suku bangsa dan kepribadian berkolerasi
dengan komitmen organisasi (Mathieu & Zajac, 1990; Mowday dkk,
1982). Angle dan Perry (1981) dalam Steers (1977) berpendapat bahwa
semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin tinggi pula
harapannya sehingga tidak mungkin dipenuhi oleh organisasi. Akibatnya
semakin rendah komitmen karyawan pada organisasi. Mathieu dan Zajac
(1990) juga menemukan bahwa tingkat pendidikan berkorelasi negatif
kecil dengan komitmen organisasi. Karakteristik personal lain, yaitu jenis
kelamin memiliki pengaruh terhadap komitmen organisasi. Angle dan
Perry (1981) serta Hrebeniak dan Alutto (1972) dalam Steers (1977)
menemukan bahwa wanita memiliki komitmen organisasi yang lebih
tinggi dari pada pria. Mathieu dan Zajac (1990) justru menemukan bahwa
karyawan pria memiliki komitmen organisasi yang lebih tinggi daripada
karyawan wanita. Lama kerja sebagai salah satu anteseden karakteristik
personal juga memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap komitmen
organisasi. Mathieu dan Zajac (1990) menemukan adanya korelasi yang
positif rendah antara masa kerja dengan komitmen organisasi.
b. Karakteristik yang berkaitan dengan jabatan atau peran memiliki
sumbangan yang bermakna pada komitmen organisasi. Karakteristik ini
meliputi tantangan pekerjaan, konflik peran, dan ambiguitas peran. Dari
beberapa penelitian ditemukan bahwa tantangan pekerjaan memiliki
hubungan positif dengan komitmen organisasi, sedangkan konflik peran
dan ambiguitas peran memiliki hubungan negatif dengan komitmen
organisasi. Misalnya Mathieu dan Zajac (1990) menemukan bahwa
tantangan tugas dan variasi keterampilan memiliki korelasi positif sedang
dengan komitmen organisasi; tetapi otonomi hanya berkorelasi rendah
dengan komitmen organisasi. Sebaliknya konflik peran, ambiguitas peran,
dan kelebihan beban kerja memiliki korelasi yang negatif sedang dengan
komitmen organisasi.
c. Pengalaman kerja memberikan kontribusi yang paling besar terhadap
komitmen organisasi. Pengalaman kerja ini meliputi keterandalan
organisasi (Buchanan, 1974; Hrebeniak, 1974; Steers, 1977), perasaan
dipentingkan (Buchanan (1974) dalam Steers, 1977), realisasi harapan
(Grusky (1966) dalam Steers, 1977), sikap rekan kerja yang positif
terhadap organisasi (Buchanan (1974) dalam Steers, 1977), persepsi
terhadap gaji, serta norma kelompok yang berkaitan dengan kerja keras.
Hasil penelitian Mathieu & Zajac (1990) menemukan korelasi yang cukup
besar antara kepemimpinan partisipatori dan komunikasi pimpinan, yang
merupakan bentuk pengalaman kerja, dengan komitmen organisasi.
Allen & Meyer (1997) membagi anteseden komitmen organisasi
berdasarkan tiga komponen komitmen organisasi, yaitu:
a. Atensenden komitmen afektif. Terdapat beberapa penelitian mengenai
atensenden dari komitmen afektif. Berdasarkan penelitian tersebut
didapatkan tiga kategori. Ketiga kategori tersebut yaitu:
1). Karakteristik Organisasi
Karakteristik organisasi yang memengaruhi perkembangan komitmen
afektif adalah sistem desentralisasi adanya kebijakan organisasi yang
adil, dan cara menyampaikan kebijakan organisasi kepada individu
(Meyer & Allen, 1997).
2). Karakteristik Individu
Terdapat beberapa penelitian yang menyatakan bahwa gender
memengaruhi komitmen afektif, namun ada pula yang menyatakan
tidak demikian (Aven, Parker, & McEvoy; Mathieu & Zajac dalam
Meyer & Allen, 1997). Usia juga dapat mempengaruhi proses
terbentuknya komitmen afektif, meskipun tergantung dari kondisi
individu itu sendiri. (Meyer & Allen, 1997). Selain itu juga terdapat
jabatan organisasi, status pernikahan, tingkat pendidikan, kebutuhan
akan berprestasi, etos kerja, dan persepsi individu mengenai
kompetensinya (Meyer & Allen, 1997).
3). Pengalaman
Pengalaman kerja individu yang memengaruhi proses terbentuknya
komitmen efektif salah satunya antara lain lingkup kerja, yaitu
beberapa karakteristik yang menunjukkan kepuasan dan motivasi
individu. (Hackman & Oldham, 1980 dalam Meyer & Allen, 1997).
Hal ini mencakup tantangan dalam pekerjaan, tingkat otonomi
individu, dan variasi kemampuan yang digunakan individu. Selain itu
peran individu dalam organisasi tersebut dan hubungannya dengan
atasannya. (Mathieu & Zajac dalam Meyer & Allen, 1997).
b. Anteseden komitmen kontinuans terdiri dari besarnya dan/atau jumlah
investasi atau taruhan sampingan individu, dan persepsi atas kurangnya
alternatif pekerjaan lain. Karyawan yang merasa telah berkorban ataupun
mengeluarkan investasi yang besar terhadap organisasi akan merasa rugi
jika meninggalkan organisasi karena akan kehilangan apa yang telah
diberikan selama ini. Sebaliknya, karyawan yang merasa tidak memiliki
pilihan kerja lain yang lebih menarik akan merasa rugi jika meninggalkan
organisasi karena belum tentu memperoleh sesuatu yang lebih baik dari
apa yang telah diperolehnya selama ini.
c. Anteseden komitmen normatif terdiri dari pengalaman individu sebelum
masuk ke dalam organisasi (pengalaman dalam keluarga atau sosialisasi
budaya), serta pengalaman sosialisasi selama berada dalam organisasi.
Komitmen normatif karyawan dapat tinggi jika sebelum masuk ke dalam
organisasi, orang tua karyawan yang juga bekerja dalam organisasi
tersebut menekankan pentingnya kesetiaan pada organisasi. Sementara itu,
jika organisasi menanamkan kepercayaan pada karyawan bahwa organisasi
mengharapkan loyalitas karyawan maka karyawan juga akan menunjukkan
komitmen normatif yang tinggi.
Desler (1994) menjelaskan komitmen organisasi karyawan di tempat
kerja sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:
a. Nilai-nilai kemanusiaan sebagai prioritas utama. Pondasi utama
membangun komitmen anggota adalah adanya kesungguhan dari
organisasi untuk memprioritaskan nilai-nilai kemanusiaan. Organisasi
berasumsi bahwa anggota merupakan aset terpenting, percaya serta
menghormati mereka sebagai individu, memperlakukan secara adil dan
memperhatikan kesejahteraannya.
b. Komunikasi dua arah yang komprehensif.
Komunikasi dua arah dijelaskan sebagai proses komunikasi dimana, terjadi
timbal balik (feeback) atau respon saat pesan dikirimkan oleh sumber atau
pengirim pesan berperan aktif dan saling berkesinambungan memberikan
respon terhadap pesan yang dikirim satu sama lain. Dari segi pasangan
komunikasi semacam ini disebut sebagai komunikasi interpersonal, yaitu
interaksi tatap muka antara dua orang atau lebih. Pengirim dapat
menyampaikan pesan secara langsung, sedangkan penerima pesan dapat
menerima dan menanggapinya secara langsung pula. Komitmen dibangun
atas dasar kepercayaan dan kepercayaan membutuhkan komunikasi dua
arah. Beberapa organisasi bahkan berusaha mengembangkan beberapa
program yang menjamin berlangsungnya komunikasi tersebut.
Berdasarkan uraian anteseden dari tiga teori di atas maka dapat
disimpulkan bahwa atensenden komitmen organisasi terdiri: 1).
Karakteristik pesonal yang dilatar belakangi oleh pengalaman kerja dan
terpenuhinya kebutuhan psikologis untuk merasa nyaman dalam organisasi
dan kompeten dalam menjalankan peran kerja, hal ini seperti terjalinnya
komunikasi interpersonal yang baik antar karyawan. Selain itu pengalaman
sosialisasi selama berada dalam organisasi juga berpengaruh terhadap
komitmen seseorang 2). Karakteristik yang berasal terdiri dari besarnya
gaji atau tingginya level individu dalam organisasi, dan persepsi atas
kurangnya alternatif pekerjaan lain. Berdasarkan dua faktor yang
mempengaruhi komitmen organisasi di atas, maka peneliti mengkaitkan
karakteristik pesonal yang dilatarbelakangi oleh pengalaman kerja dan
terpenuhinya kebutuhan psikologis untuk merasa nyaman dalam
organisasi, hal ini seperti terjalinnya komunikasi interpersonal yang baik
antar karyawan sebagai faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi
yang akan dipakai dalam penelitian ini.
Komunikasi interpersonal di tempat kerja dapat ditingkatkan melalui
pelatihan komunikasi interpersonal. Pelatihan ini akan membuat para
karyawan dapat mengembangkan kompetensinya dalam membangun
keterbukaan, sikap saling mendukung, empati, sikap positif terhadap orang
lain dan menghargai kesetaraan. Dengan terbangunnya lima aspek tersebut
karyawan akan bisa membangun keterbukaan dalam berkomunikasi sehingga
akan terwujudnya sikap toleransi dan kepekaan yang tinggi antar sesama
anggota organisasi. Terbangunnya komunikasi interpersonal yang baik akan
membuat iklim organisasi menjadi sangat nyaman. Hal ini tentunya akan
membuat konflik yang terjadi bisa diselesaikan dengan cepat, serta karyawan
akan lebih merasa nyaman dengan lingkungan kerjanya. Kenyamanan ini akan
membuat karyawan termotivasi, sehingga mereka lebih semangat untuk datang
tepat waktu dan semangat menyelesaikan pekerjaanya dengan target yang
telah ditentukan.
B. Pelatihan Komunikasi Interpersonal
1. Pengertian Komunikasi
Komunikasi merupakan proses perpindahan serta pemahaman
terhadap pesan yang telah disampaikan. Hal ini menjelaskan bahwa ide-ide
atau pesan tidak akan ada artinya jika tidak dipahami oleh orang lain
(Robbin, 2007). Menurut Devito (1996) komunikasi dalam organisasi
merupakan proses penerimaan dan pengiriman berbagai pesan didalam
organisasi dalam kelompok formal maupun informal dalam organisasi.
Sejalan dengan pendapat tersebut, Redding dan Sanborn (1964) juga
menjelaskan bahwa komunikasi dalam organisasi adalah proses penerimaan
informasi dalam organisasi yang kompleks. Hal-hal yang termasuk dalam
bidang ini adalah komunikasi internal, hubungan antar pribadi (interpersonal),
hubungan persatuan pengelola, komunikasi dari atasan dengan bawahan,
komunikasi horizontal, keterampilan komunikasi seperti berbicara,
mendengarkan, menulis, dan komunikasi evaluasi program.
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat dirumuskan bahwa
komunikasi adalah proses penyampaian pesan, ide atau informasi yang
bertujuan untuk membawa pemahaman yang sama antar orang yang
menyampaikan pesan dengan penerima pesan.
2. Jenis-Jenis Komunikasi
Menurut Denis Mc Quail (dalam Riswandi 2009), terdapat ada 6 jenis
komunikasi yaitu:
a. Komunikasi Intra-Pribadi
Komunikasi yang terjadi dalam diri seseorang. Misalnya berpikir,
merenung, menggambar, menulis sesuatu dan lain-lain.
b. Komunikasi Antar-Pribadi
Komunikasi yang dilakukan secara langsung antara seseorang dengan
orang lain. Misalnya, percakapan tatap muka atau percakapan melalui
telepon.
c. Komunikasi Dalam Kelompok
Komunikasi yang berlangsung di dalam suatu kelompok. Pada tingkatan
ini, setiap individu berkomunikasi sesuai dengan peran di dalam
kelompok dan bukan bersifat pribadi. Misalnya, percakapan antara ayah,
ibu dan anak.
d. Komunikasi Antar Kelompok
Komunikasi yang terjadi antara satu kelompok dengan kelompok lain.
Individu yang terlibat minimal 2 orang, tetapi masing-masing individu
harus mewakili kelompoknya.
e. Komunikasi Organisasi
Komunikasi ini mencakup kegiatan komunikasi antar anggota di dalam
komunikasi dan antara organisasi yang satu dengan yang lain. Perbedaan
komunikasi organisasi dengan komunikasi kelompok sifatnya lebih
formal dan lebih mengutamakan prinsip-prinsip efisiensi dalam
melakukan kegiatan komunikasinya.
f. Komunikasi Dengan Masyarakat Secara Luas
Komunikasi yang ditujukan kepada masyarakat luas.Ada dua bentuk
kegiatan dalam komunikasi ini. Yaitu dengan komunikasi massa
(contohnya melalui radio, surat kabar, TV dan media massa lainnya) dan
komunikasi langsung (misalnya, pidato dan ceramah).
Menurut Nurjaman (2012) komunikasi mempunyai berbagai macam
bentuk yang bergantung pada segi bagaimana kita memandangnya, yaitu
sebagai berikut:
a. Dari segi penyampaian pesannya, komunikasi dapat dilakukan secara
lisan dan secara tertulis, atau secara elektonik melalui radio, televisi,
telepon, internet, dan sebagainya.
b. Dari segi kemasan pesan, komunikasi dapat dilakukan secara verbal
(dengan berbicara) atau dengan nonverbal (dengan bahasa isyarat).
Komunikasi verbal: diwakili dalam penyebutan kata-kata, yang
pengungkapannya dapat dengan lisan atau tertulis. Komunikasi nonverbal
terlihat dalam ekspresi atau mimik wajah, gerakan tangan, mata dan
bagian tubuh lainnya.
c. Dari segi kemasan keresmian pelaku komunikasi, saluran komunikasi
yang digunakan, dan bentuk kemasan pesan, komunikasi dapat
dikategorikan seebagai bentuk komunikasi formal dan nonfomal.
d. Dari segi pasangan komunikasi, komunikasi dapat dilihat sebagai:
1) komunikasi intrapersonal, yaitu komunikasi dalam diri komunikator
dimana pengirim dan penerima pesannya adalah dirinya sendiri.
2) komunikasi interpersonal, yaitu interaksi tatap muka antara dua orang
atau lebih. Pengirim dapat menyampaikan pesan secara langsung,
sedangkan penerima pesan dapat menerima dan menanggapinya
secara langsung pula.
Berdasarkan penjelasan mengenai jenis komunikasi, maka jenis
komunikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah komunikasi
interpersonal (antar pribadi), yaitu komunikasi yang dilakukan dengan
interaksi tatap muka antara dua orang atau lebih diman pengirim dapat
menyampaikan pesan secara langsung, sedangkan penerima pesan dapat
menerima dan menanggapinya secara langsung.
3. Pengertian Komunikasi Interpersonal
Komunikasi antar pribadi atau communication interpersonal
merupakan proses komunikasi yang berlangsung antara dua orang atau lebih
secara tatap muka dimana pengirim dapat menyampaikan pesan secara
langsung dan penerima pesan dapat menerima dan menanggapi secara
langsung (Wayne Pace, 1998). Sejalan dengan hal ini, Widjaja (2008) juga
menjelaskan bahwa komunikasi interpersonal atau komunikasi antar pribadi
adalah proses pertukaran informasi serta pemindahan pengertian antara dua
orang atau lebih di dari suatu kelompok manusia kecil dengan berbagai efek
dan umpan balik.
Komunikasi Interpersonal merupakan proses komunikasi yang
berlangsung antara dua orang atau lebih secara tatap muka. Seperti
komunikasi pada umumnya komunikasi interpersonal selalu mencakup dua
unsur pokok yaitu isi pesan dan bagaimana isi pesan dikatakan atau dilakukan
secara verbal atau non verbal. Dua unsur tersebut sebaiknya diperhatikan dan
dilakukan berdasarkan pertimbangan situasi, kondisi, dan keadaan penerima
pesan (Hafied Cangara, 2005). Selain itu Hartley (2001) dalam bukunya
Interpersonal Communication mendefinisikan komunikasi interpersonal
sebagai komunikasi terjadi antara satu orang dengan satu orang lainnya, yang
berlangsung secara tatap muka dan isi dari komunikasi itu merefleksikan
karakter pribadi dari tiap individu itu sebaik hubungan dan peran sosial
mereka.
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa komunikasi interpersonal atau interpersonal
communication adalah proses penyampaian pesan, ide atau informasi yang
bertujuan untuk membawa pemahaman yang sama antar orang yang
menyampaikan pesan dengan penerima pesan. Terjadi antara dua orang atau
lebih secara langsung (tatap muka) dan terjadi timbal balik secara langsung
pula baik secara verbal maupun non verbal.
4. Fungsi Komunikasi Interpersonal
Keberadaan komunikasi interpersonal telah berperan aktif dalam
kehidupan, bahkan tidak sedikit manusia yang melakukan praktik komunikasi
interpersonal ini. Menurut Enjang (2009) komunikasi Interpersonal memiliki
fungsi yaitu:
a. Memenuhi kebutuhan sosial dan psikologis. Dengan komunikasi
inetrpersonal, manusia bisa memenuhi kebutuhan sosial atau psikologis
kita.
b. Mengembangkan kesadaran diri. Melalui komunikasi interpersonal akan
terbiasa mengembangkan diri.
c. Matang akan konvensi sosial. Melalui komunikasi interpersonal kita
tunduk atau menentang konvensi sosial.
d. Konsistensi hubungan dengan orang lain. Melalui komunikasi
interpersonal individu dapat menetapkan hubungannya dengan individu
lain. individu berhubungan dengan individu lain, melalui pengalaman
dengan mereka dan melalui percakapan– percakapan bersama mereka.
e. Mendapatkan informasi yang banyak. Melalui komunikasi interpersonal,
orang juga akan memperoleh informasi yang lebih. Informasi yang
akurat dan tepat waktu merupakan kunci untuk membuat keputusan yang
efektif.
Berdasarkan teori di atas mengenai fungsi dan arti pentingnnya
komunikasi interpersonal, secara tidak langsung komunikasi interpersonal
dapat memberikan berbagai informasi yang dapat membantu individu untuk
belajar dan mengembangkan kemampuan intelektualnya. Kondisi mental
seseorang juga dipengaruhi oleh kualitas komunikasinya. Oleh karena itu,
sebagai makhluk sosial komunikasi interpersonal merupakan hal yang penting
bagi individu.
5. Tujuan Komunikasi Interpersonal
Komunikasi interpersonal mungkin mempunyai beberapa tujuan. Di
sini akan dipaparkan 6 tujuan, antara lain (Muhammad, 2004):
a. Menemukan Diri Sendiri
Salah satu tujuan komunikasi interpersonal adalah menemukan personal
atau pribadi. Bila individu terlibat dalam pertemuan interpersonal dengan
orang lain, individu tersebut belajar banyak sekali tentang diri sendiri
maupun orang lain. Komunikasi interpersonal memberikan kesempatan
kepada seseorang untuk berbicara tentang apa yang di sukai, atau
mengenai diri mereka. Sangat menarik dan mengasyikkan bila berdiskusi
mengenai perasaan, pikiran, dan tingkah laku diri sendiri. Dengan
membicarakan diri dengan orang lain, maka memberikan sumber balikan
yang luar biasa pada perasaan, pikiran, dan tingkah laku.
b. Menemukan Dunia Luar
Hanya komunikasi interpersonal menjadikan seseorang dapat memahami
lebih banyak tentang dirinya dan orang lain yang berkomunikasi
dengannya. Banyak informasi yang bisa ketahui datang dari komunikasi
interpersonal, meskipun banyak jumlah informasi yang datang dari media
massa hal itu seringkali didiskusikan dan akhirnya dipelajari
atau didalami melalui interaksi interpersonal.
c. Membentuk Dan Menjaga Hubungan Yang Penuh Arti
Salah satu keinginan orang yang paling besar adalah membentuk dan
memelihara hubungan dengan orang lain. Banyak dari waktu di
pergunakan dalam komunikasi interpersonal diabadikan untuk
membentuk dan menjaga hubungan sosial dengan orang lain.
d. Berubah Sikap Dan Tingkah Laku
Banyak waktu di pergunakan untuk mengubah sikap dan tingkah laku
orang lain dengan pertemuan interpersonal. Seseorang boleh
menginginkan mereka memilih cara tertentu, misalnya mencoba diet yang
baru, membeli barang tertentu, melihat film, menulis membaca buku,
memasuki bidang tertentu dan percaya bahwa sesuatu itu benar atau salah.
Namun seseorang juga akan banyak menggunakan waktu waktu terlibat
dalam posisi interpersonal.
e. Untuk Bermain Dan Kesenangan
Bermain mencakup semua aktivitas yang mempunyai tujuan utama adalah
mencari kesenangan. Berbicara dengan teman mengenai aktivitas pada
waktu akhir pecan, berdiskusi mengenai olahraga, menceritakan cerita
dan cerita lucu pada umumnya hal itu adalah merupakan pembicaraan
yang untuk menghabiskan waktu. Dengan melakukan komunikasi
interpersonal semacam itu dapat memberikan keseimbangan yang penting
dalam pikiran yang memerlukan rileks dari semua keseriusan di
lingkungan.
f. Untuk Membantu Ahli-ahli kejiwaan, ahli psikologi klinis dan terapi
Menggunakkan komunikasi interpersonal dalam kegiatan profesional
mereka untuk mengarahkan kliennya. Semua juga berfungsi membantu
orang lain dalam interaksi interpersonal individu sehari-hari. Seseorang
berkonsultasi dengan seorang teman yang putus cinta, berkonsultasi
dengan mahasiswa tentang mata kuliah yang sebaiknya diambil dan lain
sebagainya.
Berdasarkan tujuan komunikasi interpersonal menurut Muhammad
(2004), maka secara umum terdapat beberapa tujuan komunikasi
interpersonal yaitu: dengan komunikasi interpersonal kita dapat menemukan
diri sendiri dan memahami orang lain dengan lebih baik, menjaga hubungan
dan membuat orang lain nyaman dan bahagia, selain itu komunikasi
interpersonal juga dapat memecahkan permasalahan orang lain terutama
untuk dunia psikologi.
6. Efektivitas Komunikasi Interpersonal
Efektivitas komunikasi interpersonal ditandai dengan lima kualitas
umum yang dipertimbangkan yaitu keterbukaan (openness), empati
(empathy), sikap mendukung (supportiveness), sikap positif (positiveness),
dan kesetaraan (equality) yaitu ( Devito, 1997):
a. Keterbukaan (Openness).
Kualitas keterbukaan mengacu pada sedikitnya tiga aspek dari komunikasi
interpersonal. Pertama, komunikator interpersonal yang efektif harus
terbuka kepada orang yang diajaknya berinteraksi. Ini tidaklah berarti
bahwa orang harus dengan segera membukakan semua riwayat hidupnya,
memang ini mungkin menarik tapi biasanya tidak membantu komunikasi.
Sebaliknya, harus ada kesediaan untuk membuka diri mengungkapkan
informasi yang biasanya disembunyikan, asalkan pengungkapan diri ini
patut.
Aspek keterbukaan yang kedua mengacu kepada kesediaan komunikator
untuk bereaksi secara jujur terhadap stimulus yang datang. Orang yang
diam, tidak kritis, dan tidak tanggap pada umumnya merupakan peserta
percakapan yang menjemukan. Kita ingin orang bereaksi secara terbuka
terhadap apa yang kita ucapkan dan kita berhak mengharapkan hal ini.
Tidak ada yang lebih buruk daripada ketidak acuhan, bahkan
ketidaksependapatan jauh lebih menyenangkan. Kita memperlihatkan
keterbukaan dengan cara bereaksi secara spontan terhadap orang lain.
Aspek ketiga menyangkut kepemilikan perasaan dan pikiran (Bochner dan
Kelly (1974) dalam Devito 1997). Terbuka dalam pengertian ini adalah
mengakui bahwa perasaan dan pikiran yang anda lontarkan adalah
memang milik anda dan anda bertanggungjawab atasnya.
b. Empati (Empathy).
Henry Backrack (1976) dalam Devito (1997), mendefinisikan empati
sebagai kemampuan seseorang untuk mengetahui apa yang sedang dialami
orang lain pada suatu saat tertentu, dari sudut pandang orang lain itu,
melalui kacamata orang lain itu. Berempati adalah merasakan sesuatu
seperti orang yang mengalaminya, berada di kapal yang sama dan
merasakan perasaan yang sama dengan cara yang sama. Orang yang
empatik mampu memahami motivasi dan pengalaman orang lain, perasaan
dan sikap mereka, serta harapan dan keinginan mereka untuk masa
mendatang. Kita dapat mengkomunikasikan empati baik secara verbal
maupun non verbal.
Secara nonverbal, kita dapat mengkomunikasikan empati dengan
memperlihatkan (1) keterlibatan aktif dengan orang itu melalui ekspresi
wajah dan gerak-gerik yang sesuai; (2) konsentrasi terpusat meliputi
komtak mata, postur tubuh yang penuh perhatian, dan kedekatan fisik;
serta (3) sentuhan atau belaian yang sepantasnya.
c. Sikap Mendukung (Supportiveness).
Hubungan interpersonal yang efektif adalah hubungan dimana terdapat
sikap mendukung (supportiveness). Suatu konsep yang perumusannya
dilakukan berdasarkan karya Jack Gibb. Komunikasi yang terbuka dan
empatik tidak dapat berlangsung dalam suasana yang tidak mendukung.
Kita memperlihatkan sikap mendukung dengan bersikap (1) deskriptif,
bukan evaluatif, (2) spontan, bukan strategic, dan (3) provisional, bukan
sangat yakin.
d. Sikap Positif (Positiveness).
Kita mengkomunikasikan sikap positif dalam komunikasi interpersonal
dengan sedikitnya dua cara: (1) menyatakan sikap positif dan (2) secara
positif mendorong orang yang menjadi teman kita berinteraksi. Sikap
positif mengacu pada sedikitnya dua aspek dari komunikasi interpersonal.
Pertama, komunikasi interpersonal terbina jika seseorang memiliki sikap
positif terhadap diri mereka sendiri. Kedua, perasaan positif untuk situasi
komunikasi pada umumnya sangat penting untuk interaksi yang efektif.
Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada berkomunikasi dengan
orang yang tidak menikmati interaksi atau tidak bereaksi secara
menyenangkan terhadap situasi atau suasana interaksi.
e. Kesetaraan (Equality)
Dalam setiap situasi, barangkali terjadi ketidaksetaraan. Salah seorang
mungkin lebih pandai. Lebih kaya, lebih tampan atau cantik, atau lebih
atletis daripada yang lain. Tidak pernah ada dua orang yang benar-benar
setara dalam segala hal. Terlepas dari ketidaksetaraan ini, komunikasi
interpersonal akan lebih efektif bila suasananya setara. Artinya, harus ada
pengakuan secara diam-diam bahwa kedua pihak sama-sama bernilai dan
berharga, dan bahwa masing-masing pihak mempunyai sesuatu yang
penting untuk disumbangkan. Hubungan interpersonal yang ditandai oleh
kesetaraan, ketidak-sependapatan dan konflik lebih dillihat sebagai upaya
untuk memahami perbedaan yang pasti ada daripada sebagai kesempatan
untuk menjatuhkan pihak lain. Kesetaraan tidak mengharuskan kita
menerima dan menyetujui begitu saja semua perilaku verbal dan non
verbal pihak lain.
Berdasarkan teori di atas, maka diketahui terdapat lima dasar yang
dapat membangun komunikasi interpersonal dengan baik yaitu, dengan
membangun empati dan keterbukaan saat berkomunikasi, memperlihatkan
sikap mendukung dan sikap positif saat berkomunikasai dan membangun
suasana kesetaraan dengan saling mengganggap orang lain juga sama-sama
berarti. Hasil yang diharapkan dari aspek-aspek tersebut adalah terjalinnya
komunikasi yang baik antara anggota organisasi, membangun keterbukaan
dalam berkomunikasi dan terwujudnya sikap toleransi dan kepekaan yang
tinggi antar sesama anggota organisasi. Selain itu komunikasi yang efektif
akan membuat iklim organisasi menjadi sangat nyaman sehingga setiap
konflik yang terjadi bisa diselesaikan dengan cepat, serta karyawan akan lebih
merasa nyaman dengan lingkungan kerjanya. Kenyamanan ini akan membuat
karyawan termotivasi, sehingga mereka lebih semangat untuk datang tepat
waktu dan semangat menyelesaikan pekerjaanya dengan target yang telah
ditentukan.
Dalam penelitian ini kelima dasar di atas, dijadikan sebagai metode
untuk membangun komunikasi interpersonal yang efektif melalui pelatihan
komunikasi interpersonal.
7. Pelatihan Komunikasi Interpersonal
Pelatihan komunikasi interpersonal adalah salah satu program
pelatihan yang disusun dengan tujuan mengasah keterampilan seseorang
dalam melakukan komunikasi interpersonal sehingga seseorang mempunyai
kecakapan sosial dan kecakapan behavioral (Suseno, 2009).
Pelatihan khususnya pelatihan komunikasi interpersonal dalam
penelitian ini merupakan metode yang dipilih dan dirancang oleh peneliti
guna meningkatkan komunikasi interpersonal karyawan STAI YAPTTI
Balaiselasa. Pelatihan komunikasi interpersonal dikembangkan berdasarkan
aspek komunikasi interpersonal yaitu, menimbulkan rasa keterbukaan,
empati, sikap positif dan kesetaraan (Devito, 2006). Alasan dipilihnya
pelatihan komunikasi interpersonal untuk meningkatkan komitmen organisasi
karyawan STAI YAPTTI Balaiselasa adalah, dengan adanya pelatihan
komunikasi interpersonal maka kemampuan komunikasi interpersonal
karyawan menjadi lebih meningkat. Hal ini akan mencipatakan dukungan
sosial sehingga membuat individu merasa lebih nyaman pada sesama anggota
organisasinya, sehingga komitmen terhadap organisasinya menjadi
meningkat.
Pelatihan komunikasi interpersonal disusun dalam enam sesi
berdasarkan modifikasi dari modul yang di buat oleh Eky (2016). Sesi
pertama menjelaskan tentang konsep atau teori yang mendasari komunikasi
interpersonal, seperti pengertian komunikasi interpersonal, fungsi komunikasi
interpersonal, aspek-aspek komunikasi interpersonal dan cara melakukan
komunikasi interpersonal yang baik terhadap rekan kerja. Sesi ke dua
menjelaskan tentang konsep atau teori keterbukaan, pentingnya keterbukaan
dalam berkomunikasi dan dilanjutkan dengan permainan jendela Johari.
Tujuan dari sesi ini adalah memberikan pemahaman tentang pentingnya sikap
terbuka dalam berinteraksi dengan orang lain dan memberikan pemahaman
perbedaan persepsi setiap individu dalam merespon stimulus.
Sesi ke tiga dalam pelatihan komunikasi interpersonal menjelaskan
tentang konsep atau teori yang mendasari sikap empati dan mengajarkan cara
berempati. Pada sesi ini juga diberikan role play untuk mengajarkan cara
mendengarkan keluhan dan masukan dari rekan kerja. Tujuan dari sesi ini
adalah agar peserta mampu memahami dengan berempati dalam
mendengarkan orang lain serta peserta mampu menjadi pendengar yang
efektif.
Sesi ke empat menjelaskan tentang konsep atau teori yang mendasari
sikap mendukung (suportif), pengertian sikap mendukung dan pentingnya
sikap mendukung. Pada sesi ini juga akan diberikan permainan l untuk
memberikan pemahaman pada peserta bahwa komunikasi hanya akan bisa
berjalan dan berhasil mencapai tujuan jika peserta komunitasnya memiliki
visi dan tujuan yang sama dan saling mendukung satu dengan yang lain.
Tujuan dari sesi ini adalah memberikan pemahaman pada peserta bahwa
setiap tujuan yang akan dicapai harus memiliki unsur komunikasi yang jelas,
dengan sikap saling mendukung dari setiap individu maka perusahaan dapat
menetapkan rencana dalam pencapaian tujuan.
Sesi ke lima menjelaskan tentang konsep atau teori yang mendasari
sikap positif, pengertian sikap positif dan pentingnya sikap positif dalam
berkomunikasi dan cara berperilaku yang menunjukkan sikap positif. Pada
sesi ini juga akan diberikan permainan give me happines untuk memberikan
pemahaman pada peserta bahwa dengan memberikan kata-kata positif bagi
orang lain akan dapat membawa pengaruh positif bagi orang lain tersebut.
Tujuan dari sesi ini adalah memberikan pemahaman pada peserta bahwa
aspek-aspek positif akan mengantarkan individu pada informasi yang positif
sehingga individu tersebut menjadi lebih optimis, individu yang memiliki
sikap positif akan dapat membantu memberikan semangat dan motivasi pada
rekan-rekannya di perusahaan. Sikap positif ini akan mendukung dalam
tercapainya interaksi yang efektif, sikap positif ini memiliki dorongan untuk
menghargai kepentingan dan keberadaan orang lain
Sesi ke enam dalam pelatihan komunikasi interpersonal menjelaskan
tentang konsep atau teori yang mendasari sikap kesetaraan dan mengajarkan
perbedaan konfirmasi dengan diskonfirmasi. Pada sesi ini juga diberikan role
play untuk mengajarkan cara memahami dan menumbuhkan rasa kesetaraan
kepada peserta pelatihan dalam memandang orang lain ketika berinteraksi.
Pemahaman dalam sesi ini adalah dalam berkomunikasi dengan orang lain,
hendaknya penampilan, perbedaan strata seperti kaya, miskin dan jabatan
tidak menghambat seseorang untuk dapat memperlakukan orang tersebut
sama dengan yang lainnya. Dalam berkomunikasi setiap orang harus
memiliki perasaan setara dan sama-sama berharga.
C. Pelatihan Komunikasi Interpersonal Untuk Peningkatan
Komitmen Organisasi
Pelatihan khususnya pelatihan komunikasi interpersonal merupakan
metode yang dipilih dan dirancang oleh peneliti guna meningkatkan komunikasi
interpersonal karyawan STAI YAPTTI Balaiselasa dengan mengembangkan
beberapa aspek komunikasi interpersonal yaitu, menimbulkan rasa keterbukaan,
empati, sikap positif, saling mendukung dan kesetaraan di antara karyawan
(Devito, 2006).
Keterbukaan didefinisikan sebagai kemampuan untuk membuka atau
mengungkapkan unsur-unsur kepribadian diri sendiri melalui komunikasi.
Kualitas keterbukaan mengacu pada sedikitnya tiga aspek dari komunikasi
interpersonal. Pertama, komunikator interpersonal yang efektif harus terbuka
kepada orang yang diajaknya berinteraksi, harus ada kesediaan untuk membuka
diri mengungkapkan informasi yang biasanya disembunyikan, asalkan
pengungkapan diri ini patut. Aspek keterbukaan yang kedua mengacu kepada
kesediaan komunikator untuk bereaksi secara jujur terhadap stimulus yang datang.
Aspek ketiga menyangkut kepemilikan perasaan dan pikiran dan bertanggung
jawan terhadap apa yang telah disampaikan.
Empati merupakan kemampuan seseorang untuk mengetahui dan dapat
merasakan apa yang sedang dialami orang lain pada suatu saat tertentu, dari sudut
pandang orang lain itu. melalui kacamata orang lain itu. rasa empati dapat
diperlihatkan seseorang dari keterlibatan aktif saat mendengarkan orang lain
bicara dan memiliki ekspresi wajah dan gerak-gerik yang sesuai, konsentrasi
terpusat meliputi komtak mata, postur tubuh yang penuh perhatian, dan kedekatan
fisik serta memberikan sentuhan atau belaian yang sepantasnya.
Sikap mendukung merupakan sikap yang ditunjukan dengan tidak
memberikan penilaian terhadap penjelasan orang lain, menerima perbedaan dan
bersikap fleksibel. Sikap positif dalam komunikasi interpersonal dilakukan
dengan dua menyatakan sikap positif pada lawan bicara dan secara positif
mendorong orang yang menjadi teman kita berinteraksi. Sedangkan Kesetaraan
merupakan wujud dari pengakuan secara diam-diam bahwa kedua pihak sama-
sama bernilai dan berharga, dan bahwa masing-masing pihak mempunyai sesuatu
yang penting untuk disumbangkan.
Aspek-aspek komunikasi interpersonal di atas berimplikasi pada perilaku
individu dalam proses komunikasi dalam berinteraksi dengan individu lain dalam
organisasi. Hal ini akan mencipatakan dukungan sosial sehingga membuat
individu merasa lebih nyaman pada sesama anggota organisasinya, sehingga
komitmen terhadap organisasinya (Novianti, 2008). Hal ini juga sejalan dengan
penelitian Tarjana (2007), yang menjelaskan bahwa iklim organisasi yang nyaman
menjadi acuan dan pedoman untuk pembuatan keputusan, untuk mengerjakan
tugas secara efektif dan membangun tekad dan komitmen organisasi. Selain itu
iklin yang nyaman membuat karyawan termotivasi dalam mengejar peluang
organisasi dengan penuh semangat, menolong sesama karyawan, menyelesaikan
tugas secara kreatif dan penuh dengan ide-ide untuk pembaharuan dan
peningkatan kinerja karyawan dalam organisasi.
Komunikasi interpersonal tidak hanya saling memberi dan menerima
informasi, melainkan juga mencerminkan adanya kehangatan, keterbukaan dan
dukungan selama terjadinya komunikasi sehingga dapat menimbulkan kepuasan
dan kenyamanan dalam bekerja. Dengan adanya keterbukaan dalam
berkumunikasi, akan terwujudnya sikap toleransi dan kepekaan yang tinggi antar
sesama anggota organisasi sehingga iklim perusahaan menjadi sangat nyaman. hal
ini tentunya akan membuat konflik yang terjadi bisa diselesaikan dengan cepat
serta karyawan akan lebih merasa nyaman dengan lingkungan kerja sehingga
mereka lebih semangat untuk datang keperusahaan dan menyelesaikan
pekerjaanya dengan target yang telah ditentukan. Beberapa penelitian lain juga
menunjukkan bahwa komitmen karyawan terhadap organisasi dipengaruhi oleh
hubungan atau interaksi antar anggota organisasi (Yoon & Thye, 2002).
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Farhan (2016) yang
menyatakan bahwa adanya hubungan positif antara komunikasi interpersonal
dengan komitmen organisasi. Dimana korelasi kedua variabel menunjukkan hasil
rxy= 0,513 dengan taraf signifikan p<0,01. Selain itu penelitian oleh Berliana Sari
(2014) dengan hasil bahwa komunikasi interpersonal efektif meningkatkan
komitmen organisasi dengan F = 0,025 ( p<0,05). Berdasarkan penelitian-
penelitian relevan yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya, maka
dapat disimpulkan bahwa pelatihan komitmen organisasi memiliki pengaruh
terhadap peningkatan komitmen organisasi karyawan.
D. Landasan Teori
Sebagai salah satu sikap kerja, komitmen organisasi memiliki banyak
fungsi positif bagi organisasi. Daft (2003) mengatakan bahwa komitmen
organisasi merupakan sikap penting yang mempengaruhi kinerja. Daft (2003)
mendefinisikan komitmen organisasi sebagai bentuk loyalitas dan keterlibatan
yang tinggi pada organisasi. Karyawan dengan derajat komitmen organisasi yang
tinggi akan melibatkan dirinya pada organisasi dan bekerja atas nama organisasi.
Secara kompleks komitmen organisasi menurut Mowday, Porter & Steers
(dalam Yousef, 2003) adalah sikap seorang anggota dalam mengidentifikasikan
diri terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi, yang menggambarkan keterikatan
terhadap ideologi yang dibuat dan telah ditentukan oleh organisasi seperti selalu
mentaati peraturan perusahaan dengan tidak datang terlambat, menjalankan SOP
dengan benar dan mendukung tujuan dan melaksanakan apa yang menjadi
keputusan perusahaan.
Sikap diatas dilanjutkan dengan adanya kemauan untuk mengerahkan
usaha terbaiknya dalam bekerja yang ditandai dengan seluruh anggota bekerja
sesuai dengan tanggung jawabnya masing-masing, sanggup menyelesaikan
tugasnya sesuai dengan rencana maupun bekerja secara profesional demi
organisasi. Karyawan yang memiliki komitmen yang tinggi juga bersedia
menambah jam kerjanya untuk menyelesaikan pekerjaannya, dan ikut
bertanggung jawab terhadap keberhasilan dan kegagalan organisasi serta ikut
melibatkan diri untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi perusahaan
(Mowday dalam Yousef, 2003).
Selanjutnya komitmen menurut Mowday (dalam Yousef, 2003) juga
dibuktikan dengan adanya keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi yang
adalah merupakan faktor kebanggaan dan loyalitas yang dimiliki seseorang secara
berkesinambungan dalam suatu organisasi dengan penghargaan yang diperoleh
dan bermanfaat bagi anggota organisasi. Hal ini ditandai dengan rasa nyaman
yang dimiliki oleh karyawan sehingga tidak adanya keinginan untuk mencari
perusahaan lain dan bersedia untuk tetap bekerja hingga pensiun.
Desler (1994) menjelaskan komitmen organisasi karyawan ditempat kerja
sangat dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu, dipengaruhi oleh nilai-nilai
kemanusiaan dan ini sebagai prioritas utama yang harus dipenuhi perusahaan.
Selanjutnya komitmen juga dipengaruhi oleh komunikasi dua arah yang
komprehensif. Komitmen dibangun atas dasar kepercayaan dan kepercayaan
membutuhkan komunikasi dua arah. Beberapa organisasi bahkan berusaha
mengembangkan beberapa program yang menjamin berlangsungnya komunikasi
tersebut
Berdasarkan pendapat Desler di atas, diketahui pentingnya komunikasi
dua arah yang salah satunya seperti komunikasi interpersonal dalam membangun
komitmen karyawan. Hal ini sejalan dengan pendapat Meyer & Herscovitch
(2001), Yoon & Thye (2002) dimana salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
komitmen anggota organisasi adalah kesempatan untuk melakukan interaksi
dengan orang lain yang merupakan salah satu cara pemenuhan kebutuhan sosial
manusia. Saat kebutuhan ini terpenuhi, maka akan ada usaha dari individu untuk
membalas kepada organisasi sebagai pihak yang memberi pemenuhan kebutuhan,
yaitu dengan memberikan komitmen terhadap organisasi.
Komunikasi interpersonal yang lancar di organisasi sebagai wujud dari
kebutuhan sosio-emosional dapat mempengaruhi keterikatan karyawan terhadap
organisasi tempatnya bekerja. Membangun komunikasi yang baik sama dengan
membuat keuntungan yang tinggi. Semakin efektif komunikasi interpersonal di
antara karyawan, maka akan semakin tinggi komitmen kerjanya. Salah satu
karaterisitik yang mempengaruhi dalam pembentukan komitmen organisasi yang
kuat adalah komunikasi yang bersifat dua arah baik secara vertikal maupun searah
(De Vries & Treacy-Florent, 2002).
Komunikasi interpersonal tidak hanya saling memberi dan menerima
informasi, melainkan juga mencerminkan adanya kehangatan, keterbukaan dan
dukungan selama terjadinya komunikasi sehingga dapat menimbulkan kepuasan
dan kenyamanan dalam bekerja. Beberapa penelitian lain juga menunjukkan
bahwa komitmen karyawan terhadap organisasi dipengaruhi oleh hubungan atau
interaksi antar anggota organisasi (Yoon & Thye, 2002).
Aspek-aspek komunikasi interpersonal seperti keterbukaan, empati, sikap
positif dan saling mendukung serta membangun sikap kesetaraan berimplikasi
pada perilaku individu dalam proses komunikasi dalam berinteraksi dengan
individu lain dalam organisasi. Hal ini akan mencipatakan dukungan sosial
sehingga membuat individu merasa lebih nyaman pada sesama anggota
organisasinya, sehingga komitmen terhadap organisasinya (Novianti, 2008). Hal
ini juga sejalan dengan penelitian Harjana (2007), yang menjelaskan bahwa iklim
organisasi yang nyaman menjadi acuan dan pedoman untuk pembuatan keputusan,
untuk mengerjakan tugas secara efektif dan membangun tekad dan komitmen
organisasi. Selain itu iklin yang nyaman membuat karyawan termotivasi dalam
mengejar peluang organisasi dengan penuh semangat, menolong sesama
karyawan, menyelesaikan tugas secara kreatif dan penuh dengan ide-ide untuk
pembaharuan dan peningkatan kinerja karyawan dalam organisasi.
Berdasarkan permasalahan yang terjadi di STAI YAPTTI Balaiselasa
disertai kajian teoritis mengenai adanya hubungan positif antara komunikasi
interpersonal dengan komitemen karyawan, maka salah satu cara untuk
menjembatani masalah yang terjadi di STAI YAPTTI Balaiselasa adalah
membudayakan komunikasi interpersonal dengan efektif dengan memberikan
pelatihan komunikasi interpersonal pada karyawan. Pelatihan komunikasi
interpersonal ditengarai memberikan pengaruh positif dalam meningkatkan
komitmen seseorang terhadap organisasinya karena dapat mengurangi stres kerja
pada individu tersebut (Ghazavi, Lohrasbi, dan Mehrabi, 2010).
Pelatihan khususnya pelatihan komunikasi interpersonal merupakan
metode yang dipilih dan dirancang oleh peneliti guna meningkatkan komunikasi
interpersonal karyawan STAI YAPTTI Balaiselasa dengan mengembangkan
beberapa aspek komunikasi interpersonal yaitu, menimbulkan rasa keterbukaan,
empati, sikap positif dan kesetaraan di antara karyawan (Devito, 2006). Pelatihan
didefinisikan sebagai aktivitas untuk meningkatkan pengetahuan, keahlian dan
sikap melalui pengalaman belajar yang dirancang dalam rangka meningkatkan
kinerja masa sekarang dan masa yang akan datang (Goldstein & Ford, 2002; Noe,
1999). Dessler (2009) juga mendefinisikan pelatihan sebagai sebuah proses
mengajarkan kepada karyawan mengenai keterampilan dasar yang mereka
butuhkan untuk kelancaran tugas mereka.
Pelatihan komunikasi interpersonal efektif untuk meningkatkan
kemampuan komunikasi interpersonal karyawan. Johlke dan Duhan (2000) juga
menyatakan bahwa kemampuan komunikasi interpersonal memiliki hubungan
dengan kepuasan kerja dimana komunikasi interpersonal yang efektif dapat
meningkatkan kepuasan kerja individu. Dengan adanya keterbukaan dalam
berkumunikasi, akan terwujudnya sikap toleransi dan kepekaan yang tinggi antar
sesama anggota organisasi sehingga iklim perusahaan menjadi sangat nyaman.
Hal ini tentunya akan membuat konflik yang terjadi bisa diselesaikan dengan
cepat serta karyawan akan lebih merasa nyaman dengan lingkungan kerja
sehingga mereka lebih semangat untuk datang keperusahaan dan menyelesaikan
pekerjaanya dengan target yang telah ditentukan. Hal ini sejalan dengan pendapat
Luthans (1995) yang menjelaskan bahwa kepuasan kerja memiliki hubungan yang
erat dengan komitmen organisasi.
Adapun kerangka berfikir berkaitan dengan pentingnya pelatihan
komunikasi interpersonal untuk meningkatkan komitmen organisasi sebagai
berikut:
E. Hipotesis
Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah
1. “Terdapat perbedaan komitmen organisasi pada karyawan STAI YAPTTI
Balaiselasa antara sebelum dengan sesudah diberikan pelatihan komunikasi
interpersonal pada kelompok eksperimen (KE), dimana tingkat komitmen
organisasi karyawan setelah diberi pelatihan komunikasi interpersonal lebih
tinggi dibanding tingkat komitmen organisasi karyawan sebelum diberikan
pelatihan komunikasi interpersonal.
2. “Terdapat perbedaan nilai posttest komitmen organisasi antara kelompok
eksperimen (KE) dengan kelompok kontrol (KK), dimana nilai posttest
komitmen organisasi pada kelompok eksperimen (KE) lebih tinggi dibanding
nilai posttest kelompok kontrol (KK)”.