bab ii tinjauan pustaka a. kepuasan pernikahan 1. definisi ... ii.pdf · definisi kepuasan...
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kepuasan Pernikahan
1. Definisi Kepuasan Pernikahan
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No 1 Tahun 1974 Pasal 1 tentang
pernikahan menyatakan bahwa pernikahan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria
dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang
bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa. Olson & DeFrain (2003)
mendefinisikan pernikahan sebagai komitmen emosi dan sah dari dua orang untuk berbagi
hubungan emosional dan fisik, tugas-tugas, dan sumber ekonomi. Dengan melakukan
pernikahan manusia memenuhi kebutuhan psikoligis, kebutuhan seksual, kebutuhan material,
dan kebutuhan spiritual. Olson & Olson (2000) menyebutkan bahwa adanya berbagai
manfaat dari pernikahan yaitu, setiap pasangan yang menikah akan memiliki hidup yang
lebih sehat, orang yang menikah memiliki dukungan emosi dari pasangan dan akses terhadap
sumberdaya ekonomi sehingga menyebabkan orang yang menikah hidup lebih lama, pada
setiap pasangan yang menikah memiliki kepuasan relasi seksual yang lebih baik, pasangan
yang menikah dapat menggabungkan pendapatannya sehingga lebih sejahtera secara
ekonomi.
Setiap individu yang menikah memiliki harapan untuk memperoleh kepuasan
pernikahan. Fower & Olson (1993) menyebutkan kepuasan pernikahan sebagai evaluasi
terhadap area-area dalam pernikahan yang mencakup komunikasi, kegiatan mengisi waktu
luang, orientasi keagamaan, penyelesaian konflik, pengelolaan keuangan, hubungan seksual,
keluarga dan teman, kesetaraan peran serta pengasuhan anak.
Soedarjoen (2005) mengatakan kepuasan pernikahan dapat tercapai ketika pasangan
mampu memenuhi kebutuhan masing-masing dan kebebasan dari hubungan yang mereka
ciptakan serta memenuhi harapan- harapan yang mereka bawa sebelum pernikahan. Selain
itu, Martlin (2008) mengungkapkan bahwa pernikahan yang memuaskan adalah pernikahan
yang stabil, langgeng, bahagia saling memahami dan menghargai. Atwater (1983)
menjelaskan bahwa kepuasan pernikahan juga merupakan derajat kuatnya komitmen yang
dirasakan seseorang terhadap pernikahannya, walaupun terdapat konflik, stres dan perasaan
kecewa.
Berdasarkan definisi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kepuasan pernikahan
merupakan rasa puas yang dirasakan dalam pernikahan serta adanya kesesuaian antara
harapan yang dibawa sebelum pernikahan dan kuatnya komitmen yang dirasakan seseorang
terhadap pernikahannya.
2. Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Pernikahan
Kepuasan pernikahan dapat ditinjau dari faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Terdapat dua faktor yang mempengaruhi kepuasan pernikahan menurut Duvall & Miller
(1985) yaitu:
a. Sebelum Pernikahan (Background Characteristic ), ada beberapa faktor seperti
kebahagiaan pernikahan orang tua, kebahagiaan pada masa anak-anak, pembentukan
disiplin oleh orang tua, pendidikan seksual dari orang tua, dan masa perkenalan
sebelum menikah yang mempengaruhi kepuasan pernikahan. Hurlock (1980)
mengatakan hubungan keluarga mempengaruhi penyesuaian diri secara sosial diluar
rumah ketika hubungan keluarga menyenangkan, peyesuaian sosial anak diluar rumah
lebih baik dari pada hubungan keluarga yang tegang. Peran yang dimainkan di rumah
menentukan pola peran diluar rumah, karena peran yang harus dilakukan di rumah
dan jenis hubungan dengan kakak adik membentuk dasar bagi hubungan dengan
relasi sosialnya dalam hal ini relasi sosial yang dimaksudkan adalah pasangannya.
b. Beberapa faktor yang mempengaruhi sesudah menikah (Current Characteristics)
seperti faktor keuangan, pembagian tugas dalam rumah tangga, kehadiran anak,
hubungan seksual. Papalia, Old & Feldman (2009) kebahagiaan pernikahan secara
positif dipengaruhi oleh peningkatan sumber daya ekonomi dan dukungan terhadap
norma pernikahan. Penelitan yang dilakukan oleh Larasati (2012) tentang kepuasan
perkawinan pada istri dengan subjek dua orang istri mengatakan bahwa dukungan
yang diberikan suami dalam membantu ekonomi rumah tangga dan mengerjakan
tugas rumah tangga dengan baik memberikan dampak pada tercapainya kepuasan
perkawinan. Begitu pula sebaliknya, kurangnya dukungan suami dalam membantu
meringankan beban ekonomi keluarga dan tidak dapat bekerja sama dalam melakukan
pekerjaan rumah tangga memberikan dampak pada kurang terpenuhinya kepuasan
pernikahan dalam keluarga tersebut.
Faktor lainnya menurut Carr (2005) adalah status sosial ekonomi, tingkat pendidikan,
lamanya pernikahan, serta persamaan tingkat ketertarikan, intelegensi, dan kepribadian.
Papalia ,Old, & Feldman (2009) juga mengatakan bahwa faktor-faktor seperti penghasilan
sebelum menikah, tingkat pendidikan, saling mengenal satu sama lain sebelum menikah,
lama pernikahan berpengaruh terhadap kepuasan pernikahan.
3. Aspek-Aspek Kepuasan Pernikahan
Dalam menggali kepuasan pernikahan ada beberapa aspek kepuasan pernikahan yang
dapat menjelaskannya. Olson & Olson (2000), mengatakan beberapa aspek kepuasan
pernikahan sebagai berikut:
a. Komunikasi
Komunikasi merupakan aspek yang penting dalam kepuasan pernikahan.
Komunikasi berfokus kepada tingkat kenyaman yang dirasakan oleh masing-masing
pasangan dalam berbagi emosi dan keyakinan, persepsi masing- masing pasangan
terhadap kemampuan mendengarkan dan keterampilan berbicara, dan persepsi megenai
kemampuan seseorang untuk berkomunikasi dengan pasangan. Hal ini sejalan dengan
penelitian yang diakukan oleh Gunawati, Hartati, & Listiara (2006) yang mengatakan
bahwa komunikasi merupakan hal yang penting dalam hubungan interpersonal,
komunikasi dapat tercapai dengan baik apabila kedua belah pihak mempunyai kesamaan
dalam menginterpretasikan pesan yang disampaikan. Adanya komunikasi yang efektif
akan menyebabkan keterbukaan antara pasangan. Hal ini didukung oleh hasil penelitian
yang dilakukan Dewi & Sudhana (2013) kepada 110 responden yang menyebutkan
bahwa harmonis atau tidaknya suatu pernikahan tergantung dari kondisi hubungan
interpersonal pasangan suami istri, hubungan tersebut dapat terjalin dengan baik melalui
komunikasi yang efektif antara suami dan istri.
b. Fleksibilitas
Fleksibilitas merefleksikan kemampuan pasangan untuk berubah dan beradaptasi
saat diperlukan. Fleksibelitas berfokus pada isu-isu kepemimpinan dan kemampuan untuk
beralih tanggung jawab. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Rachmawati & Mastuti (2013) tentang kepuasan pernikahan dan penyesuaian pernikahan
dengan subjek sebanyak 52 orang istri menyebutkan bahwa konsep peran merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi kebahagiaan perkawinan, pasangan suami istri
harus dapat memahami peran dan tanggung jawab masing-masing agar tercapainya
kepuasan dalam pernikahan.
c. Kegiatan Mengisi Waktu Luang
Kegiatan yang dilakukan untuk mengisi waktu senggang yang merefleksikan
aktivitas yang dilakukan secara personal atau bersama. Area ini juga melihat apakah suatu
kegiatan dilakukan sebagai pilihan individu atau pilihan bersama serta harapan-harapan
dalam mengisi waktu luang bersama pasangan. Knowles (2002) dalam penelitiannya
menyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara waktu senggang bersama pasangan
dengan kepuasan pernikahan. Semakin banyak waktu senggang yang dimiliki oleh
pasangan semakin tinggi kepuasan pernikahan yang dimiliki oleh pasangan suami istri.
d. Keyakinan Spiritual
Keyakinan spiritual dapat memberikan landasan bagi nilai dan perilaku individu
dan pasangan. Keyakinan spiritual yang kuat dapat memperdalam rasa cinta dan
membantu pasangan untuk mencapai impian mereka. Penelitian yang dilakukan oleh
Marini & Julianda (2012) tentang gambaran kepuasan pernikahan pada pasangan yang
menjalani pernikahan jarak jauh kepada tiga responden mengatakan bahwa keyakinan
spiritual menjadi berkembang karena keyakinan kepada Tuhan membantu pasangan lebih
iklas dan bersabar dalam menjalani pernikahan.
e. Resolusi konflik
Konflik merupakan bagian alami dan tidak terelakkan dari hubungan manusia.
Hubungan pernikahan tidak selalu harmonis karena adanya perbedaan yang dimiliki.
Resolusi konflik berfokus pada perilaku, perasaan, keyakinan, keterbukaan pasangan
untuk mengenal dan memecahkan masalah serta strategi yang digunakan untuk
mendapatkan solusi. Penelitian yang dilakukan oleh Utami & Mariyanti (2015) kepada 67
responden menyebutkan bahwa kepuasan dalam hubungan pernikahan dapat ditentukan
oleh sikap masing-masing pasangan atau proses dalam mengelola konflik yang terjadi
dalam rumah tangga.
f. Pengelolaan Keuangan
Sikap dan cara pasangan mengatur keuangan, bentuk-bentuk pengeluaran dan
pembuatan keputusan tentang keuangan. Adanya perbedaan cara pasangan untuk
mengeluarkan dan menyimpan uang dalam pernikahan. Harapan dan kebutuhan pasangan
dalam pernikahan seringkali melebihi kemampuan keuangan pasangan Hal ini sejalan
dengan pendapat Hurlock (1980) yang menyebutkan bahwa sebagian besar wanita
berharap dengan menikah membuat status ekonominya menjadi terangkat, namun dapat
terjadi ketidakpuasan pernikahan apabila harapan tidak sesuai dengan realita.
g. Relasi Seksual
Relasi seksual bertindak sebagai alat ukur emosional dalam hubungan. Hubungan
seksual yang baik, datang dari hubungan emosional yang baik dengan pasangan.
Pasangan dengan hubungan emosional yang baik memiliki hubungan fisik yang baik.
Penelitian yang dilakukan oleh Heiman,dkk (2011) kepada 1009 pasangan mengatakan
bahwa seksualitas merupakan hal yang penting dalam hubungan pernikahan. Olson &
Defrain (2003) menyebutkan bahwa hubungan seksual yang memuaskan pada pasangan
akan menghasilkan kebahagiaan pada pasangan, namun ketika tidak adanya ketertarikan
hubungan seksual akan menurunkan kebahagiaan pada pasangan.
h. Keluarga dan Teman
Keluarga dan teman merupakan konteks yang paling penting bagi pasangan dalam
membangun relasi yang berkualitas. Keluarga sebagai family of origin banyak
mempengaruhi kepribadian, selain itu keterlibatan orang tua dapat memperkuat atau
memperlemah kualitas relasi pasangan. Burman & Margolin (1992) menyebutkan bahwa
penyakit diabetes dampak bagi oranbg- orang yang dekat dengan pasien terutama
pasangan, yang nantinya dapat mempengaruhi hubungan pernikahan seperti kepuasan
pernikahan.
Teman sering kali menjadi penyangga bagi pasangan ketika sedang menghadapi
persoalan. Studi deskriptif yang dilakukan oleh Parung (2014) kepada 20 responden
mengatakan hubungan dengan teman dan keluarga besar yang tetap terjalin dengan baik
akan membantu meningkatkan kepuasan pernikahan karena dapat memberikan dukungan
dan membantu pasangan dalam menjalani kesulitan sehingga pasangan merasa tidak
sendirian.
i. Kedekatan
Menilai sejauh mana tingkat kedekatan emosional yang dialami oleh pasangan
dan sejauh mana mereka dapat menyeimbangkan keterpiasahan dan kebersamaan. Sejauh
mana pasangan saling membantu, menghabiskan waktu bersama-sama dan
mengungkapkan persaan. Penelitian studi kasus yang dilakukan oleh Vembry & Basuki
(2014) menyebutkan kedekatan dan kebersamaan merupakan kebutuhan dasar dari
pernikahan, pasangan suami istri yang saling mencintai menunjukan tingkah laku yang
positif dan mengungkapkan perasaan yang dirasakan dengan pasangannya.
j. Kecocokan Kepribadian
Berfokus pada isu-isu seperti kemarahan, kemurungan, keras kepala, cemburu,
dan posesif, serta perilaku pribadi seperti rasa kasih sayang kepada pasangan. Subskala
ini secara umum memperlihatkan kemampuan pasangan dan kecenderungan untuk
menjadi dominan. Penelitian yang dilakukan oleh Stone & Shackelford (2007)
menyatakan bahwa kepuasan pernikahan yang tinggi akan terjadi apabila mampu
mengerti dan menyesuaikan diri degan kepribadian yang dimiliki oleh pasangannya. Hal
ini didukung oleh hasil penelitian Saraswati (2015) yang mengatakan 90 individu dewasa
akhir merasa puas dengan pernikahannya karena dapat menerima sifat pasangan dan
kebiasaan pasangan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kepuasan pernikahan dapat
dilihat apabila individu mampu untuk memenuhi sepuluh aspek yaitu: a) komunikasi
mencakup komunikasi yang terbuka dengan pasangan; b) fleksibelitas yang mencakup
kemampuan pasangan untuk berubah dan beradaptasi saat diperlukan; c) kegiatan mengisi
waktu senggang yang mencakup pengisian waktu luang dengan pasangan; d) keyakinan
spiritual, yang mencakup hubungan keagamaan; e) resolusi Konflik yang mencakup
penyelesaian konflik ; f) pengelolaan keuangan yang mencakup pengaturan keuangan; g)
relasi seksual yang mencakup hubungan seksual dalam pernikahan; h) keluarga dan teman
yang mencakup hubungan dengan keluarga besar dan teman; i) kedekatan yang mencakup
tingkat kedekatan emosional yang dialami pasangan; j) kecocokan kepribadian yang
mencakup persepsi individu terhadap perilaku dan kepribadian pasangannya.
B. Dyadic Coping
1. Definisi Dyadic Coping
Teori mengenai dyadic coping dikemukakan oleh Bodenmann (1995) yang
didasarkan pada Transactional Stress Theory dari Lazarus & Folkman (1984). Transactional
stress theory merujuk kepada bagaimana stresor dapat dinilai dan
diterima oleh seseorang dan bagaimana seseorang tersebut memberi respon atas penerimaan
dan penilaian terhadap stresor tersebut. Transactional Stress Theory menerangkan bahwa
bagaimana stresor yang positif maupun negatif dapat diterima dan dinilai oleh seseorang.
Ketika seseorang pertama kali menghadapi stresor maka, proses penilaian awal akan terjadi,
orang tersebut akan mempertimbangkan bagaimana akibat stres akan mempengaruhi tujuan
pribadi dan kesejahteraannya.
Berdasarkan Transsactional Stress Theory tersebut, Bodenmann (1995)
mengembangkan menjadi suatu model yang sistemik dan erat kaitannya dengan proses yang
dinamakan Systemic-Transactional Model. Model ini melihat bagaimana menghadapi stres
yang dialami bersama dan bagaimana pasangan mengatasi masalah baik secara individual
maupun kolektif sebagai suatu unit. Dari pengembangan model tersebut, Bodenmann (1995)
mengenalkan dyadic coping yang didefinisikan sebagai upaya yang digunakan satu atau
kedua pasangan untuk mengatasi situasi stres dimana upaya tersebut merupakan pola
interaksi antara kedua belah pihak. Dyadic coping bertujuan untuk pemulihan atau
pemeliharaan keseimbangan emosi masing-masing pasangan, perilaku, dan kehidupan sosial.
Bodenmann (2005) menyebutkan bahwa dyadic coping merupakan proses
interpersonal yang melibatkan kedua pasangan di dalam hubungan pernikahan. Penelitian
yang dilakukan oleh Meier, Bodenmann, Morgeli, & Jenewin (2011) menyebutkan bahwa
dyadic coping bertujuan untuk menyeimbangkan well being secara individu atau dengan
pasangan. Pasangan yang memiliki hubungan dyadic coping yang baik, akan memperoleh
keuntungan dalam suatu hubungan. Dyadic coping juga dapat meningkatkan rasa percaya
diri, rasa aman, dan kedekatan antar pasangan.
Berdasarkan definisi-definisi di atas dapat disimpulkan dyadic coping merupakan
proses interpersonal yang melibatkan kedua pasangan untuk mengatasi situasi stress dimana
upaya tersebut merupakan pola interaksional yang memberikan keuntungan dalam suatu
hubungan yang bertujuan untuk menyeimbangkan well being secara individu atau ketika
dengan pasangan
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Dyadic Coping
Dyadic coping yang digunakan individu berbeda-beda tergantung dari situasi stres
yang dihadapi oleh individu dan pasangan dalam hubungan interpersonal. Bodenmann (2005)
menjelaskan bahwa seluruh bentuk dyadic coping dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut
ini:
Faktor pertama adalah individual skills yang meliputi kemampuan
mengkomunikasikan stres, kemampuan menyelesaikan masalah, kompetensi sosial, dan
kemampuan berorganisasi. Individual skills, merupakan cara individu menyampaikan apa
yang dirasakannya kepada pasangan, dengan penggunaan bahasa yang baik dalam
berkomunikasi, mendiskusikan permasalahan, dan cara-cara yang akan ditempuh untuk
menyelesaikan masalah, hingga memutuskan langkah apa yang akan diambil. Kemampuan-
kemampuan tersebut perlu dimiliki individu agar dapat memunculkan dyadic coping.
Penelitian yang dilakukan oleh Rahmantika & Handayani (2012) mengatakan ketika terjadi
konflik didalam pernikahan, individu akan berusaha untuk mengatasi konflik tersebut dengan
strategi coping, hal ini merupakan upaya untuk meyelesaikan masalah yang dihadapi.
Faktor kedua adalah motivational factor yang meliputi kepuasan hubungan atau
ketertarikan dalam suatu hubungan yang lama. Dalam motivational factors, dyadic coping
bisa berbeda karena perbedaan kepuasan pernikahan yang dirasakan oleh setiap individu.
Ketika komunikasi lancar, konflik jarang terjadi, dan ada pembagian antara peran dan
tanggung jawab, maka individu tersebuat akan puas dengan hubungan yang dijalani bersama
pasangan. Boddenmann, (1995) juga menjelaskan adanya kepuasan dari hubungan yang
dijalankan bersama pasangan membuat individu menjadi termotivasi untuk membantu
pasangannya.
Faktor ketiga adalah contextual factor yang merupakan level dari pengalaman stres
yang pernah dialami pasangan atau kondisi mood mereka. Penelitian studi kasus yang
dilakukan oleh Rahmayanti (2012) menyebutkan bahwa reaksi stres akan lebih kuat ketika
individu memiliki pengalaman terdahulu terhadap kejadian stres tertentu.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi dyadic
coping adalah individual skill yang mencakup kemampuan mengkomunikasikan stres,
kemampuan menyelesaikan masalah, kompetensi sosial, dan kemampuan berorganisasi.
Faktor lain adalah motivational factor yang mencakup kepuasan hubungan, dan contextual
factor yang merupakan pengalaman stres yang pernah dialami pasangan.
3. Aspek-Aspek Dyadic Coping
Dyadic coping pada awalnya diukur menggunakan FDCT-N (Frogebogen zur
Erfassung des Dyadischen Coopings als Tendenz) yang disusun oleh Bodenmann pada tahun
1990. Seiring berjalannya waktu Bodenmann mengembangkan dan mengadaptasi alat ukur
ini pada tahun 1995 dan 2000. Adaptasi terakhir yang dilakukan Bodenmann bersamaan
dengan perubahan nama instrument menjadi Dyadic Coping Inventory (DCI). Aspek-aspek
dyadic coping yang dipaparkan oleh Bodenmann (2005) adalah:
a. Stress Communication
Berkaitan dengan bagaimana individu dalam mengkomunikasikan kondisi stres
yang dirasakan kepada pasangan, seperti dukungan emosional terhadap pasangan, berbagi
kondisi stres membantu pasangan menghadapi situasi stres, mengkomunikasikan stres
yang sedang dihadapi kepada pasangan. Sarwono (1997) mengatakan komunikasi
merupakan salah satu faktor penentu positif dan negatif dari hubungan interpersonal.
Menurut Wijayanti (2013) komunikasi dapat mempererat hubungan keluarga dan
menciptakan perasaan nyaman, apabila terjadi komunikasi yang tidak baik akan
berdampak bagi keharmonisan dalam keluarga sehingga permasalah dalam keluarga tidak
dapat terselesaikan.
b. Supportive Dyadic Coping
Segala bentuk dukungan yang disediakan oleh pasangan dalam konteks situasi
yang berat (stres) dengan tujuan untuk menemukan keadaan adaptif yang baru.
Supportive dyadic coping diasumsikan terjadi didalam situasi dimana salah satu pihak
sedang membutuhkan bantuan dan pihak lain mampu untuk memberikan dukungan yang
dibutuhkan. Menurut Thoits (1986) ketika individu sedang dalam masalah, pasangan
dapat membantu dengan memberikan saran dan relaksasi serta mampu memberikan
perasaan positif seperti perasaan cinta, empati, dan kebersamaan.
c. Delegated Dyadic coping
Delegated dyadic coping adalah usaha salah satu pasangan mengambil alih
tanggung jawab secara seutuhnya untuk mengurangi stres pasangannya. Jenis coping ini
biasa digunakan untuk menghadapi pemicu stres yang berorientasi pada masalah
(problem-oriented). Misalnya ketika suami tiba-tiba mengalami penurunan gula darah
dan tidak dapat menjlankan tugasnya, maka istri mengambil alih tugasnya seperti
mengantar anak ke sekolah ( Bodenmann,2005).
d. Common Dyadic Coping
Usaha coping dimana kedua pasangan berpartisipasi secara simetris (sejalan) dan
saling melengkapi untuk menyelesaikan masalah dalam situasi stres. Maksudnya adalah
tujuan yang ingin dicapai oleh kedua belah pihak sama. Common dyadic coping meliputi
strategi yang berorientasi pada masalah seperti, pengasuhan anak, pembagian keuangan,
mencari informasi bersama dan saling bertukar imformasi, dan mendiskusikan solusi dari
sebuah permasalahan. Penelitian yang dilakukan oleh Johnson dkk (2013) kepada 117
pasangan dengan diabetes mengatakan bahwa dengan menggunakan common dyadic
coping pasangan dapat menyesesaikan permasalahan atau konflik secara optimal karena
dengan adanya common dyadic coping, pasangan tidak hanya melihat permasalahan dari
sudut pandang individu saja tetapi juga berdasarkan sudut pandang pasangan, sehingga
didapat hasil penyelesaikan yang tidak merugikan kedua belah pihak.
e. Negative Dyadic Coping
Individu dalam menghadapi situasi stres tidak menutup kemungkinan untuk
menampilkan bentuk negative dari dyadic coping. Bodenmann (2005) menjelaskan
bahwa negative dyadic coping terdiri dari hostile dyadic coping, ambivalent dyadic
coping, superficial dyadic coping. Hostile dyadic coping merupakan dukungan yang
disertai dengan penghinaan, mengejek, dan menampilkan ketidaktertarikan. Pasangan
memberikan dukungan namun dengan cara yang negatif, ada unsur kekerasan
didalamnya, baik secara verbal maupun non verbal. Ambivalent dyadic coping adalah
coping yang terjadi ketika pasangan mendukung pasangannya dengan tidak baik atau
dengan sikap bahwa kontribusi yang diberikan seharusnya tidak perlu. Superficial dyadic
coping adalah coping yang meliputi dukungan tidak tulus yang diberikan kepada
pasangan.
Berdasarkan uraian diatas, disimpulkan bahwa dyadic coping dapat dilihat berdasarkan
lima aspek yaitu: a) communication stress yang mencakup cara individu mengkomunikasikan
stres dengan pasangan, b) supportive dyadic coping yang mencakup segala bentuk dukungan
yang disediakan oleh pasangan dalam situasi stres, c) delegated dyadic coping mencakup usaha
salah satu pasangan mengambil alih tanggung jawab pasangan untuk mengurangi stres, d)
common dyadic coping yang mencakup kedua pasangan berpartisipasi untuk menyelesaikan
masalah dalam menghadapi situasi stres, dan e) negative dyadic coping Yang merupakan
dukungan yang disertai oleh penghinaan dan pengejekan.
C. Definisi Diabetes Melitus Tipe II
1. Definisi Diabetes Melitus Tipe II
Menurut Billous & Donelly (2010) diabetes melitus (DM) merupakan kondisi kronis
yang ditandai dengan peningkatan konsentrasi glukosa darah disertai dengan munculnya
gejala utama yang khas, yakni urine yang berasa manis dalam jumlah besar. Istilah diabetes
berasal dari bahasa Yunani “Siphon” yang berarti keadaan ketika tubuh menjadi suatu saluran
untuk mengeluarkan cairan yang berlebihan dan “mellitus” berasal dari bahasa Yunani yang
berarti madu. Diabetes melitus dibagi menjadi dua katagori yaitu diabetes melitus tipe I dan
tipe II.
Diabetes melitus tipe II adalah ganguan sekresi insulin dan resistensi terhadap kerja
insulin yang sering kali disebabkan oleh obesitas (Billous & Donelly, 2010). Tandra, (2013)
menyebutkan diabetes melitus tipe II merupakan buruknya kualitas insulin sehingga tidak
dapat berfungsi dengan baik yang menyebabkan glukosa dalam darah meningkat. Diabetes
melitus tipe II atau yang disebut juga dengan insulin requirement adalah mereka yang
membutuhkan insulin sementara atau seterusnya penyebabnya dikarenakan banyaknya
insulin yang ada dalam tubuh namun tidak dapat berfungsi (Hadianah, 2012).
Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa diabetes melitus tipe II
merupakan gangguan sekresi yang menghasilkan buruknya kualitas insulin yang seringkali
disebabkan oleh obesitas.
2. Dampak Diabetes Melitus
Mengalami diabetes melitus memberikan dampak secara psikologis maupun fisik.
Dampak psikologis seperti stress dapat menyebabkan kadar gula menjadi tidak terkontrol
sehingga dapat memunculkan simtom-simtom diabetes melitus, baik simtom hiperglikemia
maupun simtom hipoglikemia (Pitt & Phillips, 1991). Dampak fisik dari diabetes melitus adalah
komplikasi seperti gangguan pada jantung, otak kaki, gangguan pada mata, gangguan pada
ginjal, dan gangguan sexual pada laki-laki. Komplikasi tersebut timbul dikarenakan kontrol gula
yang tidak teratur, gaya hidup yang salah, tidak disiplin birdiet, minum obat, atau berolahraga
(Tandra,2013). Melihat dampak yang diakibatkan diabetes melitus tersebut, maka seseorang
yang didiagnosa diabetes akan mengalami perubahan dan penyesuaian dalam hidupnya.
Penelitian yang dilakukan oleh Pratita (2012) kepada individu dengan diabetes melitus
menyebutkan bahwa dukungan pasangan berhubungan positif dengan kepatuhan individu untuk
mengontrol gula darahnya, sehingga kemungkinan untuk terjadinya komplikasi kecil.
Menurut Ahlfield,dkk (1985) istri dengan suami diabetes bertanggung jawab untuk
memonitoring suami dalam hal pengaturan pola makan. Merawat pasangan yang sakit adalah hal
yang sangat membebani khususnya pada seorang istri karena dibandingkan dengan suami, istri
yang merawat lebih dapat mengalami depresi, ketegangan kesehatan, dan beban. Pemberian
perawatan pada suami dengan diabetes melitus dapat memberikan tekanan dalam diri seorang
istri karena perawatan dilakukan setiap waktu dan berlangsung seumur hidup, yang
mengakibatkan berkurangnya waktu senggang untuk beraktivitas bersama pasangan
(Miller,1990). Ketika keadaan suami semakin parah istri akan mengontrol lebih ketat pola hidup
suami sehingga konflik akan muncul dalam pernikahan. Pasangan suami istri dengan suami
diabetes menemukan bahwa adanya pengaruh diabetes pada aspek yang penting pada kehidupan
pernikahan seperti perubahan status ekonomi dan kehidupan seksual (Ahlfield dkk, 1985).
Tamara, Bayhakki, & Nauli (2014) mengatakan dukungan keluarga sangat membantu
individu dengan diabetes melitus tipe II untuk dapat meningkatkan keyakinan akan
kemampuannya melakukan tindakan perawatan diri. Individu dengan diabetes melitus tipe II
yang berada dalam lingkungan keluarga dan diperhatikan oleh pasangannya akan
menumbuhkan perasaan nyaman dan aman sehingga akan menumbuhkan motivasi untuk
melaksanakan perawatan.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dampak diabetes melitus yaitu
dampak fisik yang meliputi komplikasi seperti gangguan jantung, otak kaki, gangguan pada
mata, gangguan pada ginjal, dan gangguan seksual pada laki-laki. Melihat dampak yang
dirasakan maka individu dengan diabetes akan mengalami penyesuaian dalam hidupnya. Selain
itu dampak diabetes militus juga dirasakan oleh istri karena merawat pasangan yang sakit
merupakan hal yang membebani, istri yang merawat lebih mengalami depresi, ketegangan
kesehatan, dan beban.
D. Dinamika Antar Variabel
Diabetes melitus tipe II adalah ganguan sekresi insulin dan resistensi terhadap kerja
insulin yang sering kali disebabkan oleh obesitas (Billous & Donelly, 2010). Diabetes melitus
tipe 2 telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia khususnya di negara
berkembang. Diabetes melitus merupakan penyakit yang paling kompleks dan menuntut banyak
perhatian maupun usaha dalam pengelolaannya dibandingkan dengan penyakit kronis lainnya,
karena penyakit diabetes tidak dapat diobati namun hanya dapat dikelola (Ndraha, 2014).
Individu yang didiagnosis mengalami penyakit diabetes akan akan mengalami dampak
psikologis seperti stres dan rasa marah karena tidak menerima keadaan yang akan
mengakibatkan gula darah individu dengan diabetes tersebut tidak terkontrol (Peter, James,
Claudia, & Wilfred, 1996). Faktor dari tidak terkontrolnya gula darah, akan menimbulkan
komplikasi yang berdampak kepada fisik individu seperti kurangnya kemampuan untuk
berhubungan seksual, dan adanya komplikasi pada pengelihatan. Selain itu juga diikuti dengan
perubahan dalam berbagai aspek kehidupan, antara lain, perubahan gaya hidup, pola makan,
pekerjaan hubungan pernikahan, peran pasangan dalam pernikahan.
Sarafino & Smith (2012) mengatakan bahwa individu dengan penyakit kronis akan
membutuhkan bantuan keluarga terutama pasangan dalam menghadapi stres akibat dari penyakit
yang dideritanya. Penyakit diabetes dapat berdampak bagi orang-orang yang dekat dengan
pasien, terutama pasangan, yaitu dapat mempengaruhi hubungan pernikahan yang dijalani
(Burman & Margolin, 1992). Apabila suami menderita penyakit diabetes akan mengakibatkan
permasalahan dalam keluarga karena kesehatan suami sangatlah penting. Suami merupakan
tulang punggung keluarga, jika seorang suami menderita penyakit anggota keluarga yang paling
sering memberikan perawatan adalah istri. Miller (1990) berpendapat bahwa merawat pasangan
yang sakit adalah hal yang sangat membebani khususnya bagi seorang istri. Dibandingkan
dengan suami, istri yang merawat lebih dapat mengalami depresi, ketegangan kesehatan, dan
beban. Pemberian perawatan pada suami dengan diabetes militus dapat memberikan tekanan
dalam diri seorang istri karena perawatan dilakukan setiap waktu dan berlangsung seumur hidup.
Menurut Karney & Bradbury (1995) stres yang dihadapi oleh pasangan dapat
mempengaruhi kehidupan pernikahan, seperti perubahan perilaku salah satu pasangan.
Perubahan prilaku yang dimaksud adalah individu dengan diabetes melitus akan mengalami fase
mudah lelah, sehingga tidak banyak berkontribusi untuk membantu istri. Perubahan tersebut
yang nantinya dapat mempengaruhi kepuasan pernikahan.
Martlin (2008) mengungkapkan bahwa pernikahan yang memuaskan adalah pernikahan
yang stabil, langgeng, bahagia saling memahami dan menghargai. Menurut Fower & Olson
(1993) pernikahan dikatakan puas ketika pasangan mampu memenuhi aspek–aspek dari
kepuasan pernikahan. Aspek-aspek kepuasan pernikahan yaitu komunikasi, fleksibelitas,
kegiatan mengisi waktu luang, keyakinan spiritual, resolusi konflik, pengelolaan keuangan, relasi
seksual, keluarga dan teman, kedekatan, dan kecocokan kepribadian.
Penelitian studi kasus yang dilakukan oleh Mahendra (2014) menunjukan bahwa adanya
penolakan dari pasangan ketika pasangannya didiagnosa diabetes. Penelitian yang dilakukan oleh
Maruta,Osborne, & Halling (1981) menyebutkan bahwa lebih dari 30% individu dengan
penyakit kronis mengalami masalah dalam hubungan pernikahan dan cenderung tidak puas
dengan pernikahan yang dijalaninya. Penyakit kronis merupakan stresor bersama bagi pasien dan
pasangan sehingga membutuhkan coping sebagai cara bagi pasangan dalam mengatasi penyakit.
Menurut Bodenmann (2005) coping yang tepat pada pasangan dengan penyakit kronis adalah
dyadic coping. Dyadic coping merupakan merupakan proses interpersonal yang melibatkan
kedua pasangan didalam hubungan pernikahan (Bodenmann, 2005). Dalam hubungan
pernikahan dengan masalah kesehatan dyadic coping merupakan cara utama yang digunakan
oleh pasangan untuk mengatasi permasalahn kesehatan yang mempengaruhi hubungan
pernikahan (Berg & Upchurch, 2007). Apabila pasangan mampu melakukan dyadic coping
diharapkan pasangan dapat mencapai kepuasan pernikahan. Dyadic coping terdiri dari lima aspek
yaitu stress communication, supportive dyadic coping, delegated dyadic coping, common dyadic
coping, dan negative dyadic coping.
Gambar 1. Dinamika Antar Variabel
Keterangan
: Hubungan yang dieliti
: Hubungan yang tidak diteliti
Variabel Bebas : Dyadic coping
Variabel Tergantung : Kepuasan pernikahan
E. Hipotesis Penelitian
H0 : Tidak ada hubungan antara dyadic coping dengan kepuasan pernikahan pada pasangan
suami istri dengan suami diabetes melitus tipe II.
Ha : Ada hubungan antara dyadic coping dengan kepuasan pernikahan pada pasangan
suami istri dengan suami diabetes melitus tipe II
Suami dengan Diabetes
Melitus Tipe II
Hubungan Pernikahan
Dyadic
Coping
DAMPAK
Stres
Depresi
Beban
Perubahan perilaku
pasangan
Kepuasan
Pernikahan