bab ii tinjauan pustaka a. kecemasan berbicara di depan ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/3605/3/bab...
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kecemasan Berbicara Di Depan Umum
1. Pengertian Kecemasan Berbicara di Depan Umum
Kamus lengkap psikologi, Chaplin (2002) mengungkapkan kecemasan
adalah sebagai perasaan campuran berisikan ketakutan dan keprihatinan mengena i
masa-masa mendatang tanpa sebab khusus untuk ketakutan tersebut. Menurut
Nevid (2005) kecemasan adalah suatu keadaan aprehensi atau khawatir yang
mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi. Menurut Rogers
(dalam Cristiningsih, 2017) terdapat perbedaan antara berbicara di depan umum
dengan pembicaraan biasa. Pada konteks pembicaraan biasa individu merasa
aman untuk menyampaikan pikiran-pikirannya. Bagian yang tidak dapat dipisahkan
dari pembicaraan biasa adalah proses memberi dan menerima (komunikasi dua arah
atau dialog). Berbeda dengan berbicara di depan umum, individu mulai berbicara
di depan umum, secara otomatis individu tersebut menjadi pemimpin dan
memegang kendali penuh dari banyak orang. Proses komunikasi berubah menjadi
satu arah (monolog).
Rogers (dalam Ririn dkk, 2013) menyatakan kecemasan berbicara di
depan umum ditandai dengan perasaan gelisah.Motley (dalam Kiranti, 2015)
menegaskan bahwa ketakutan atau kecemasan berbicara didepan umum, mungkin
adalah bentuk communication apprehension yang paling umum. Sejalan dengan itu,
menurut Santoso (dalam Prakoso, 2014) juga menyebutkan kecemasan
berbicara di depan umum bersifat subjektif, biasanya ditandai dengan gejala fisik
11
12 12
dan gejala psikologis. Sedangkan Apollo (dalam Wahyuni, 2015)menyebutkan
kecemasan berbicara didepan umum dengan istilah reticence, yaitu
ketidakmampuan individu untuk mengembangkan percakapan yang bukan
disebabkan oleh kurangnya pengetahuan akan tetapi karena adanya
ketidakmampuan menyampaikan pesan secara sempurna, yang ditandai dengan
adanya reaksi secara psikologis dan fisiologis.
Menurut McCroskey (dalam Dewi & Andrianto, 2006) menyebutkan ada
empat jenis Communication Apprehension (CA), yaitu CA as a trait, CA in
gereralized context, CA with generalized people, CA as a state. Kecemasan
berbicara di depan umum termasuk dalam jenis CA in generalized context.
Dimana individu mengalami kecemasan hanya pada kondisi tertentu, maksudnya
ada tipe general dari setting/kondisi komunikasi yang menimbulkan kecemasan,
yaitu komunikator. Konteks yang paling banyak ditemui saat ini adalah berbicara
di depan umum (public speaking), misalnya menyampaikan pidato, presentasi
dikelas, dan pada saat pertemuan penting atau meeting. Individu akan mengalami
kecemasan ketika membayangkan berlangsungnya pengalaman berbicara di depan
umum.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa kecemasan berbicara
di depan umum adalah suatu keadaan aprehensi atau khwatir tentang sesuatu hal
buruk yang terjadi serta ketidakmampuan individu untuk mengembangkan
percakapan yang bukan disebabkan oleh kurangnya pengetahuan akan tetapi
karena adanya ketidakmampuan menyampaikan pesan secara sempurna, yang
ditandai dengan adanya reaksi secara psikologis dan fisiologis, seperti perasaan
yang gelisah.
13 13
2. Aspek-aspek kecemasan berbicara di depan umum
Rogers (dalam Ririn dkk, 2013) membagi komponen kecemasan berbicara
di depan umum menjadi tiga, yaitu :
a. Komponen fisik yang biasanya dirasakan jauh sebelum memulai pembicaraan.
Gejala fisik tersebut dapat berbeda setiap orangnya. Beberapa contoh gejala fisik
yang dimaksud adalah detak jantung yang semakin cepat, suara yang bergetar,
kaki gemetar, kejang perut, sulit untuk bernafas dan hidung berlendir.
b. Komponen proses mental, misalnya : sering mengulang kata atau kalimat,
hilang ingatan secara tiba-tiba sehingga sulit untuk mengingat fakta secara
tepat dan melupakan hal-hal yang sangat penting.
c. Komponen emosional, yang termasuk dalam komponen emosional adalah adanya
rasa tidak mampu, rasa takut yang biasa muncul sebelum individu tampil dan
rasa kehilangan kendali.
Menurut Burgoon (1994) aspek-aspek kecemasan berbicara di depan
umum sebagai berikut :
a. Unwillingness
Unwillingness adalah tidak adanya minat individu melakukan berbicara di
depan umum, sehingga ada usaha untuk menghindar bila melakukan kegiatan
tersebut.
b. Unrewarding
Unrewarding adalah tidak adanya penghargaan atau peningkatan hukuman
atas komunikasi yang pernah dilakukan individu. Pengalaman tersebut
14 14
menjadikan individu mengalami kecemasan bila dikemudian hari berbicara di
depan muka umum lagi.
c. Uncontrol
Uncontrol adalah ketidakmampuan individu melakukan kontrol terhadap
situasi, peralatan, dan tempat komunikasi sehingga menyebabkan kecemasan.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan komponen
kecemasan berbicara di depan umum menurut Rogers (dalam Ririn dkk, 2013)
terdiri dari komponen fisik, komponen proses mental, dan komponen emosiona l.
Menurut Burgoon (1994) aspek-aspek kecemasan berbicara di depan umum
dibagi menjadi tiga yaitu Unwillingnes, unrewarding dan uncontrol. Aspek-aspek
yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pendapat dari Rogers (dalam Ririn
dkk, 2013) karena dalam beberapa komponen ini sering terjadi pada diri individu
ketika berbicara di depan umum dan komponen ini sesuai dengan penelitian yang
ingin dilakukan. Hal ini didukung dengan penelitian Cristiningsih (2017) yang
menggunakan aspek-aspek kecemasan berbicara di depan umum yang sama
menurut Rogers.
3. Faktor- faktor yang mempengaruhi kecemasan berbicara di depan
umum
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya faktor yang mempengaruhi
kecemasan bebricara di depan umum yaitu :
a. Self efficacy
Berdasarkan penelitian Wahyuni (2015) menunjukkan bahwa ada
hubungan negative secara signifikan antara Self-efficacy dengan kecemasan
berbicara di depan umum.
15 15
Bandura (1997) mengemukakan bahwa self-efficacy adalah suatu
keyakinan individu bahwa dirinya mampu untuk melakukan sesuatu dalam situasi
tertentu dengan berhasil. Kecemasan berbicara di depan umum merupakan fungs i
rendahnya self-efficacy. Self-efficacy, ditandai dengan adanya kepercayaan diri
dalam menghadapi situasi yang tidak menentu, keyakinan mencapai target,
menumbuhkan motivasi dan mengatasi tantangan yang muncul.
Self-efficacy berperan menentukan bagaimana seseorang melakukan
pendekatan terhadap berbagai sasaran, tugas dan tantangan. Pada saat merasa
takut dan cemas, biasanya individu mempunyai self-efficacy rendah. Sementara
individu yang memiliki self-efficacy tinggi, merasa mampu dan yakin terhadap
kesuksesan dalam mengatasi rintangan dan menggangap ancaman sebagai suatu
tantangan yang tidak perlu dihindari (Dewi dalam Wahyuni, 2015).
b. Kepercayaan diri
Berdasarkan hasil penelitian Wahyuni (2014) mengatakan bahwa terdapat
hubungan yang sangat signifikan antara kepercayaan diri dengan kecemasan
berbicara di depan umum pada mahasiswa Program Studi Psikologi Angkatan
2009-2010 di Universitas Mulawarman Samarinda.
Menurut Taylor (2011) rasa percaya diri (self confidence) adalah
keyakinan seseorang akan kemampuan yang dimiliki untuk menampilkan perilaku
tertentu atau untuk mencapai target tertentu. Dengan kata lain, kepercayaan diri
adalah bagaimana kita merasakan tentang diri kita sendiri, dan perilaku kita akan
merefleksikan tanpa kita sadari. Kepercayaan diri bukan merupakan bakat (bawaan),
melainkan kualitas mental, artinya kepercayaan diri merupakan pencapaian yang
dihasilkan dari proses pendidikan atau pemberdayaan.
16 16
Kepercayaan diri dapat dilatih atau dibiasakan. Menurut Hakim (2002) percaya
diri merupakan keyakinan seseorang terhadap segala aspek kelebihan yang
dimilikinya dan keyakinan tersebut membuatnya merasa mampu untuk bisa
mencapai berbagai tujuan hidupnya. Rasa percaya diri merupakan suatu
keyakinan seseorang terhadap segala aspek kelebihan yang ada pada dirinya dan
diwujudkan dalam tingkah lakunya sehari-hari (Hakim,2002).
Menurut Rakhmat (2009) orang yang kurang percaya diri akan cenderung
sedapat mungkin menghindari situasi komunikasi. Karena takut orang lain akan
mengejeknya atau menyalahkannya. Orang yang ketakutan dalam komunikasi, akan
menarik diri dari pergaulan, berusaha sekecil mungkin berkomunikasi, dan hanya
akan berbicara apabila terdesak saja. Kepercayaan diri mahasiswa diasumsikan
dapat mempengaruhi tingkat kecamasan mereka di dalam berbicara di depan
umum. Mahasiswa dengan memiliki kepercayaan diri yang memadai akan dapat
meminimalisir kecemasan yang terjadi pada diri mereka saat mengadakan sebuah
presentasi, dan mahasiswa tersebut dapat menyikapi sebuah proses presentasi
dengan respon yang positif.
c. Keterampilan komunikasi
Berdasarkan hasil penelitian dari Ririn dkk (2013) menyatakan bahwa
terdapat hubungan yang negatif antara keterampilan komunikasi dengan
kecemasan berbicara di depan umum pada mahasiswa jurusan Bimbingan dan
Konseling FIP UNP angkatan 2011.
Keterampilan komunikasi merupakan kemampuan seorang individu untuk
melakukan komunikasi yang efektif dengan orang lain. Hal ini sejalan dengan
pendapat Suranto (dalam Ririn dkk, 2013), komunikasi dianggap efektif jika dua
17 17
individu atau lebih yang terlibat interaksi memahami pesan yang disampaikan
dengan benar, dan memberikan respon sesuai dengan yang diinginkan.
Keterampilan komunikasi juga merupakan salah satu kemampuan berbahasa
dan berkomunikasi, yang perlu dimiliki oleh mahasiswa sebagai calon ilmuwan
yang senantiasa bersentuhan dengan kegiatan yang menuntut mereka untuk terampil
berbicara, seperti bertanya di dalam kelas, berdiskusi, berpidato, ceramah, dan lain-
lain (Wahyuni, 2015).
d. Pola Pikir
Pola pikir mempunyai pengertian kecendrungan manusiawi yang dinamis,
sehingga dapat berpengaruh terhadap kehidupan. Pola pikir seseorang dapat
membantu dalam menyelesaikan masalahnya, dapat pula merugikannya
(Williams, 2004). Pola pikir terbagi menjadi dua macam yaitu berpikir positif dan
berpikir negatif. Keduanya tersebut mempengaruhi seseorang saat ia sedang
mengalami kecemasan berbicara di depan umum (Peale, 2001)
Rogers (dalam Anwar, 2010) meyakini bahwa yang mempengaruhi
kecemasanberbicara di depan umum adalah pola pikir yang keliru. Seseorang
yang hendak berbicara di depan umum berpikir bahwa dirinya sedang “diadili”,
merasa bahwa penampilan dan gerak-gerik dan ucapannya sedang menjadi perhatian
banyak orang.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa faktor yang
mempengaruhi kecemasan berbicara di depan umum yaitu self efficacy,
kepercayaan diri, keterampilan komunikasi, dan pola pikir. Dari beberapa faktor
diatas, peneliti lebih menekankan pada faktor pola pikir menjadi variabel bebas.
Pola pikir yang dalam penelitian ini yaitu berpikir positif, karena individu yang
18 18
berpikir positif cenderung memandang segala sesuatu dari sisi positif. Begitupun
sebaliknya individu yang berpikir negatif cenderung memandang segala sesuatu dari
sisi negatif. Hal tersebut di dukung dari hasil survey peneliti (Prakoso, 2014) yang
menunjukkan bahwa berpikir positif merupakan salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi kecemasan berbicara di depan umum dengan presentase 12 siswa
(40%) karena takut salah, 15 siswa (50%) karena tidak suka berbicara di depan
orang banyak, dan 3 siswa (10%) takut berbeda pendapat orang lain. Hal tersebu
menunjukkan pola berpikir (takut salah) merupakan salah satu yang dapat
berpengaruh terhadap kecemasan berbicara di depan umum.
B. BERPIKIR POSITIF
1. Pengertian Berpikir Positif
Albrecht (1992) menyatakan berpikir positif adalah mengatur antara
perhatian individu terhadap sesuatu yang positif dan menggunakan bahasa yang
positif untuk membentuk dan mengekspresikan pikirannya. Albrecht (1992)
mengatakan bahwa “berpikir positif tampaknya kurang mendapat perhatian dari
sebagian besar ahli pikir karena teknik aktualnya yang sangat sederhana yaitu hanya
berarti mengarahkan perhatian pada hal-hal yang positif dan menggunakan bahasa
yang positif untuk membentuk dan mengekspresikan pikiran”. Berpikir positif
adalah kemampuan seseorang untuk menilai kembali segala sesuatu bahwa terdapat
dua sisi pada setiap hal namun tetap memusatkan perhatian pada sisi yang positif
(Hardini, 2012).
Berpikir positif merupakan suatu bentuk berpikir yang biasanya
berpersepsi pada orang lain yang baik, berusaha mencapai hasil yang terbaik, dan
19 19
keadaan yang terbaik (Peale, 2001). Hawari (1996) berpendapat bahwa berpikir
positif tidak hanya mencakup sikap, perhatian dan pikiran terhadap diri sendiri,
namun sekaligus menyangkut sikap dan perbuatan orang lain. Peale (2001)
menyatakan bahwa berpikir positif adalah suatu bentuk dari pikiran dimana selalu
melihat hasil yang baik dari suatu situasi yang buruk.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa berpikir positif adalah mengatur
antara perhatian pada hal - hal yang positif dan menggunakan bahasa yang positif
untuk membentuk dan mengekspresikan pikirannya serta berpersepsi pada orang
lain yang baik.
2. Aspek – aspek berpikir positif
Menurut Albrecht (1992) mengatakan bahwa berpikir positif mempunya i
beberapa aspek sebagai berikut :
a) Harapan yang positif(positive expectations) yaitu melakukan sesuatu lebih
memusatkan perhatian pada kesuksesan, optimism, pemecahan masalah, dan
menjauhkan diri dari rasa takut akan kegagalan.
b) Afirmasi diri (self affirmation) yaitu memusatkan perhatian pada kekuatan
diri, melihat diri secara positif. Dalam hal ini individu menggantikan kritik
pada diri sendiri dengan memfokuskan pada kekuatan diri sendiri.
c) Pernyataan yang tidak menilai (non judgmental talking) yaitu suatu
pernyataan yang lebih menggambarkan keadaan dari pada menila i
keadaan. Pernyataan ataupun penilaian ini dimaksudkan sebagai pengganti
pada saat seseorang cenderung memberikan pernyataan atau penilaian
yang negatifterhadap situasi yang dihadapi.
20 20
d) Penyesuaian diri terhadap kenyataan (realistic adaption) yaitu mengakui
kenyataan dan segera menyesuaian diri, menjauhkan diri dari penyesalan,
frustasi, serta menyalahkan diri sendiri. Menerima masalah dan
menghadapinya dengan terbuka.
Menurut pendapat dari Ubaedy (dalam Christiningsih, 2017) menyatakan
bahwa dimensi-dimensi berpikir positif dapat dijabarkan sebagai berikut:
a) Muatan pikiran
Berpikir positif merupakan usaha mengisi pikiran dengan berbagai
hal yang positif atau muatan yang positif. Adapun yang dimaksud dengan
muatan positif untuk pikiran adalah sebagai bentuk pemikiran yang memilik i
kriteria: benar (tidak melangggar nilai-nilai kebenaran), baik (bagi diri
sendiri, orang lain, dan lingkungan), dan bermanfaat (menghasilkan sesuatu
yang berguna).
b) Penggunaan pikiran
Memasukkan muatan positif pada ruang pikiran merupakan
tindakan positif namun tindakan tersebut berada pada tingkatan yang
masih rendah jika muatan positif tersebut tidak diwujudkan dalam
tindakan nyata. Oleh karena itu isi muatan yang positif tersebut perlu
diaktualisasikan ke dalam tindakan agar ada dampak yang ditimbulkan.
c) Pengawasan pikiran
Aktivitas ini mencakup usaha untuk mengetahui muatan apa saja
yang dimasukkan ke ruang pikiran dan bagaimana pikiran bekerja. Jika
diketahui terdapat hal-hal yang negatif ikut ke ruang pikiran maka perlu
dilakukan tindakan berupa mengeluarkan hal-hal yang negatif tersebut
21 21
dengan menggantinya dengan yang positif. Demikian pula jika ternyata
teridentifikasi bahwa pikiran bekerja tidak semestinya maka dilakukan usaha
untuk memperbaiki kelemahan atau kesalahan.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa aspek berpikir
positif menurut Albercht (1992) yaitu harapan yang positif, afirmasi diri, pernyataan
yang tidak menilai, dan penyesuaian diri. Sedangkan menurut Ubaedy (dalam
Christiningsih. 2017) menjabarkan dimensi-dimensi berpikir positif menjadi tiga
yaitu muatan pikiran, penggunaan pikiran, dan pengawasan pikiran. Dari aspek
diatas, aspek yang digunakan dalam penelitian ini adalah aspek menurut
Albrecht (1992) karena aspek tersebut sesuai dengan penelitian ini.
C. Hubungan antara berpikir positif dengan Kecemasan berbicara di
depan umum
Pola pikir mempunyai pengertian kecenderungan manusiawi yang
dinamis, sehingga dapat berpengaruh terhadap kehidupan. Pola pikir seseorang
dapat membantu dalam menyelesaikan masalahnya, dapat pula merugikannya
(Williams, 2004).Mapes (2006) menyatakan bahwa pola pikir dapat berpengaruh
terhadap suasana hati, reaksi fisik dan menyebabkan terjadinya perubahan
interaksi sosial seseorang. Perubahan diri individu baik itu pengaruh yang positif
maupun negatif, seperti dapat membantu individu dalam menyelesaikan masalahnya
dan dapat merugikan individu itu sendiri.
Peale (2001) menyatakan bahwa berpikir umunya terbagi menjadi dua
yaitu berpikir positif dan berpikir negatif. Apabila seseorang berpikir positif maka
individu tersebut dapat mengatasi masalah yang berhubungan dengan suasana
22 22
hati. Sebaliknya apabila seseorang yang berpikir yang negatif maka individu
tersebut cenderung menjadi depresi, cemas, panik, muncul perasaan bersalah yang
pada akhirnya akan menganggu interaksi sosialnya. Albrecht (1992) menyatakan
bahwa berpikir positif adalah mengatur antara perhatian individu terhadap sesuatu
yang positif dan menggunakan bahasa yang positif untuk membentuk dan
mengekspresikan pikirannya.
Menurut Opt & Loffredo (2000) individu yang berpikir positif akan
mengalami kecemasan berbicara di depan umum yang lebih rendah dari pada
individu yang berpikir negatif. Individu yang berpikir positif akan melihat segala
hal dari sisi positif, suka bekerja keras dan mampu mengendalikan emosinya
ketika berbicara di depan umum, sehingga kecemasan berbicara di depan umum
dalam diri individu tersebut menjadi rendah. Individu dengan berpikir negatif
lebih menggunakan perasaannya, lebih mudah stress dan mengekspres ikan
kecemasannya karena selalu fokus terhadap pendapatnya sendiri dan membangun
pesan-pesan negatif, sehingga individu yang berpikir negatif akan mengalami
kecemasan berbicara di depan umum yang tinggi.
Menurut Bandura (1986), kognisi adalah proses berpikir seseorang tentang
situasi tertentu. Berdasarkan teori kognitif, cara berpikir menentukan bagaimana
seseorang merasa dan berbuat (Corsini & Wedding, 2011). Dengan kata lain, cara
seseorang memaknai hubungan antara dirinya dengan lingkungan di sekitarnya akan
berpengaruh terhadap perasaan dan perilakunya. Sebagai contoh, jika seseorang
mempunyai pikiran yang negatif tentang situasi berbicara di depan umum,
maka pikiran negatif tersebut akan mempengaruhi perasaan dan perilakunya
sehubungan dengan situasi tersebut. Pikiran negatif tentang situasi
23 23
berbicara di depan umum akan menimbulkan perasaan takut atau cemas, yang
kemudian akan berimbas pada perilaku (Ayres, 1992).
Wolpe (dalam Fatma & Ernawati, 2012) mengatakan suasana hati
tergantung dari perasaan yang diasosiasikan terhadap peristiwa atau situasi
tertentu. Hergenhahn & Olson (dalam Fatma & Ernawati, 2012) asosiasi terhadap
situasi tertentu dipelajari berdasarkan observasi dan pengalaman. Hal ini juga
diperkuat dengan pendapat Ayers (2002), ketika seseorang pernah dihujani
kritikan dan ejekan pada saat berbicara di depan umum, maka orang tersebut akan
mengasosiasikan situasi tersebut sebagai suatu hukuman, sehingga rasa takut
dipermalukan dapat menjadi penghambat untuk berbicara di depan umum. Rogers
(dalam Oemarjoedi, 2003), juga mengungkapkan hal yang sama bahwa ketakutan
yang bersumber dari pikiran yang negatif sangat berpengaruh terhadap kecemasan
berbicara di depan umum. Seseorang yang berbicara di depan umum berpikir bahwa
penampilan, tingkah laku, dan perkataannya menjadi perhatian banyak orang.
Rogers (dalam Anwar, 2010) meyakini bahwa yang mempengaruhi
kecemasanberbicara di depan umum adalah pola pikir yang keliru. Seseorang
yang hendak berbicara di depan umum berpikir bahwa dirinya sedang “diadili”,
merasa bahwa penampilan dan gerak-gerik dan ucapannya sedang menjadi perhatian
banyak orang.
Lazarus (dalam Ririn dkk, 2013) menjelaskan lebih lanjut bahwa,
“Perasaan cemas sebenarnya merupakan pengalaman yang samar-samar disertai
dengan adanya perasaan tidak berdaya”. Sifat kecemasan dikatakan subjektif,
artinya bahwa kejadian yang menjadi penyebab dan reaksi yang dialami tiap
24 24
individu berbeda. Pada umumnya tanda-tanda yang menyertai kecemasan pada
tiap orang adalah sama, yaitu ditandai dengan perubahan psikologis seperti perasaan
tegang, takut, khawatir perubahan fisiologis seperti denyut jantung, pernafasan, dan
tekanan darah yang meningkat (Rogers, dalam Ririn dkk, 2013).
Albrecht (1992) menjelaskan empat aspek berpikir positif yaitu harapan
yang positif (positive expectations), afirmasi diri (self affirmation), pernyataan
yang tidak menilai (non judgmental talking), dan penyesuaian diri terhadap
kenyataan (reality adaptation). Albrecht (1992) menjelaskan bahwa individu yang
memiliki tingkat berpikir positif yang tinggi akan focus pada harapan yang
diinginkan, meskipun lingkungan sekitarnya tidak mendukung. Sebaliknya
individu yang memiliki tingkat berpikir positif yang rendah, maka akan timbul
hambatan dalam diri individu terhadap harapan yang dimilikinya jika lingkungan
disekitarnya tidak mendukung. Hal ini tentunya juga akan berdampak sama pada
mahasiswa. Mahasiswa yang mampu berpikir positif ia akan memilik i
kemampuan dalam mengatasi kecemasan berbicara di depan umum agar hal
tersebut tidak terjadi pada dirinya saat berbicara di depan umum.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa berpikir
positif dapat keterkaitannya dengan kecemasan berbicara di depan umum.
Individu yang memiliki tingkat berpikir positif yang tinggi maka individu tersebut
dapat mengatasi kecemasan berbicara di depan umum dan selalu memandang atau
menilai segala hal dari sisi positif. Sebaliknya individu yang memiliki tingkat
berpikir positif yang rendah, maka individu tersebutcenderung kurang dalam
mengatasi kecemasan berbicara di depan umum dan tingkat kecemasan berbicara
di depan umum nya tinggi.
25 25
D. Hipotesis
Berdasarkan uraian yang telah dikemukan diatas, maka hipotesis yang
diajukan dalam penelitian ini yaitu apakah ada hubungan negatif antara berpikir
positif dengan kecemasan berbicara di depan umum pada mahasiswa. Semakin
tinggi berpikir positif maka kecemasan berbicara di depan umum semakin rendah.
Begitu pun sebaliknya, semakin rendah berpikir positif maka kecemasan berbicara
di depan umum semakin tinggi.