bab ii tinjauan pustaka a. kecemasan berbicara di depan ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/3605/3/bab...

16
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecemasan Berbicara Di Depan Umum 1. Pengertian Kecemasan Berbicara di Depan Umum Kamus lengkap psikologi, Chaplin (2002) mengungkapkan kecemasan adalah sebagai perasaan campuran berisikan ketakutan dan keprihatinan mengena i masa-masa mendatang tanpa sebab khusus untuk ketakutan tersebut. Menurut Nevid (2005) kecemasan adalah suatu keadaan aprehensi atau khawatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi. Menurut Rogers (dalam Cristiningsih, 2017) terdapat perbedaan antara berbicara di depan umum dengan pembicaraan biasa. Pada konteks pembicaraan biasa individu merasa aman untuk menyampaikan pikiran-pikirannya. Bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pembicaraan biasa adalah proses memberi dan menerima (komunikasi dua arah atau dialog). Berbeda dengan berbicara di depan umum, individu mulai berbicara di depan umum, secara otomatis individu tersebut menjadi pemimpin dan memegang kendali penuh dari banyak orang. Proses komunikasi berubah menjadi satu arah (monolog). Rogers (dalam Ririn dkk, 2013) menyatakan kecemasan berbicara di depan umum ditandai dengan perasaan gelisah.Motley (dalam Kiranti, 2015) menegaskan bahwa ketakutan atau kecemasan berbicara didepan umum, mungkin adalah bentuk communication apprehension yang paling umum. Sejalan dengan itu, menurut Santoso (dalam Prakoso, 2014) juga menyebutkan kecemasan berbicara di depan umum bersifat subjektif, biasanya ditandai dengan gejala fisik 11

Upload: hakhanh

Post on 12-Mar-2019

235 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kecemasan Berbicara Di Depan Umum

1. Pengertian Kecemasan Berbicara di Depan Umum

Kamus lengkap psikologi, Chaplin (2002) mengungkapkan kecemasan

adalah sebagai perasaan campuran berisikan ketakutan dan keprihatinan mengena i

masa-masa mendatang tanpa sebab khusus untuk ketakutan tersebut. Menurut

Nevid (2005) kecemasan adalah suatu keadaan aprehensi atau khawatir yang

mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi. Menurut Rogers

(dalam Cristiningsih, 2017) terdapat perbedaan antara berbicara di depan umum

dengan pembicaraan biasa. Pada konteks pembicaraan biasa individu merasa

aman untuk menyampaikan pikiran-pikirannya. Bagian yang tidak dapat dipisahkan

dari pembicaraan biasa adalah proses memberi dan menerima (komunikasi dua arah

atau dialog). Berbeda dengan berbicara di depan umum, individu mulai berbicara

di depan umum, secara otomatis individu tersebut menjadi pemimpin dan

memegang kendali penuh dari banyak orang. Proses komunikasi berubah menjadi

satu arah (monolog).

Rogers (dalam Ririn dkk, 2013) menyatakan kecemasan berbicara di

depan umum ditandai dengan perasaan gelisah.Motley (dalam Kiranti, 2015)

menegaskan bahwa ketakutan atau kecemasan berbicara didepan umum, mungkin

adalah bentuk communication apprehension yang paling umum. Sejalan dengan itu,

menurut Santoso (dalam Prakoso, 2014) juga menyebutkan kecemasan

berbicara di depan umum bersifat subjektif, biasanya ditandai dengan gejala fisik

11

12 12

dan gejala psikologis. Sedangkan Apollo (dalam Wahyuni, 2015)menyebutkan

kecemasan berbicara didepan umum dengan istilah reticence, yaitu

ketidakmampuan individu untuk mengembangkan percakapan yang bukan

disebabkan oleh kurangnya pengetahuan akan tetapi karena adanya

ketidakmampuan menyampaikan pesan secara sempurna, yang ditandai dengan

adanya reaksi secara psikologis dan fisiologis.

Menurut McCroskey (dalam Dewi & Andrianto, 2006) menyebutkan ada

empat jenis Communication Apprehension (CA), yaitu CA as a trait, CA in

gereralized context, CA with generalized people, CA as a state. Kecemasan

berbicara di depan umum termasuk dalam jenis CA in generalized context.

Dimana individu mengalami kecemasan hanya pada kondisi tertentu, maksudnya

ada tipe general dari setting/kondisi komunikasi yang menimbulkan kecemasan,

yaitu komunikator. Konteks yang paling banyak ditemui saat ini adalah berbicara

di depan umum (public speaking), misalnya menyampaikan pidato, presentasi

dikelas, dan pada saat pertemuan penting atau meeting. Individu akan mengalami

kecemasan ketika membayangkan berlangsungnya pengalaman berbicara di depan

umum.

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa kecemasan berbicara

di depan umum adalah suatu keadaan aprehensi atau khwatir tentang sesuatu hal

buruk yang terjadi serta ketidakmampuan individu untuk mengembangkan

percakapan yang bukan disebabkan oleh kurangnya pengetahuan akan tetapi

karena adanya ketidakmampuan menyampaikan pesan secara sempurna, yang

ditandai dengan adanya reaksi secara psikologis dan fisiologis, seperti perasaan

yang gelisah.

13 13

2. Aspek-aspek kecemasan berbicara di depan umum

Rogers (dalam Ririn dkk, 2013) membagi komponen kecemasan berbicara

di depan umum menjadi tiga, yaitu :

a. Komponen fisik yang biasanya dirasakan jauh sebelum memulai pembicaraan.

Gejala fisik tersebut dapat berbeda setiap orangnya. Beberapa contoh gejala fisik

yang dimaksud adalah detak jantung yang semakin cepat, suara yang bergetar,

kaki gemetar, kejang perut, sulit untuk bernafas dan hidung berlendir.

b. Komponen proses mental, misalnya : sering mengulang kata atau kalimat,

hilang ingatan secara tiba-tiba sehingga sulit untuk mengingat fakta secara

tepat dan melupakan hal-hal yang sangat penting.

c. Komponen emosional, yang termasuk dalam komponen emosional adalah adanya

rasa tidak mampu, rasa takut yang biasa muncul sebelum individu tampil dan

rasa kehilangan kendali.

Menurut Burgoon (1994) aspek-aspek kecemasan berbicara di depan

umum sebagai berikut :

a. Unwillingness

Unwillingness adalah tidak adanya minat individu melakukan berbicara di

depan umum, sehingga ada usaha untuk menghindar bila melakukan kegiatan

tersebut.

b. Unrewarding

Unrewarding adalah tidak adanya penghargaan atau peningkatan hukuman

atas komunikasi yang pernah dilakukan individu. Pengalaman tersebut

14 14

menjadikan individu mengalami kecemasan bila dikemudian hari berbicara di

depan muka umum lagi.

c. Uncontrol

Uncontrol adalah ketidakmampuan individu melakukan kontrol terhadap

situasi, peralatan, dan tempat komunikasi sehingga menyebabkan kecemasan.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan komponen

kecemasan berbicara di depan umum menurut Rogers (dalam Ririn dkk, 2013)

terdiri dari komponen fisik, komponen proses mental, dan komponen emosiona l.

Menurut Burgoon (1994) aspek-aspek kecemasan berbicara di depan umum

dibagi menjadi tiga yaitu Unwillingnes, unrewarding dan uncontrol. Aspek-aspek

yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pendapat dari Rogers (dalam Ririn

dkk, 2013) karena dalam beberapa komponen ini sering terjadi pada diri individu

ketika berbicara di depan umum dan komponen ini sesuai dengan penelitian yang

ingin dilakukan. Hal ini didukung dengan penelitian Cristiningsih (2017) yang

menggunakan aspek-aspek kecemasan berbicara di depan umum yang sama

menurut Rogers.

3. Faktor- faktor yang mempengaruhi kecemasan berbicara di depan

umum

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya faktor yang mempengaruhi

kecemasan bebricara di depan umum yaitu :

a. Self efficacy

Berdasarkan penelitian Wahyuni (2015) menunjukkan bahwa ada

hubungan negative secara signifikan antara Self-efficacy dengan kecemasan

berbicara di depan umum.

15 15

Bandura (1997) mengemukakan bahwa self-efficacy adalah suatu

keyakinan individu bahwa dirinya mampu untuk melakukan sesuatu dalam situasi

tertentu dengan berhasil. Kecemasan berbicara di depan umum merupakan fungs i

rendahnya self-efficacy. Self-efficacy, ditandai dengan adanya kepercayaan diri

dalam menghadapi situasi yang tidak menentu, keyakinan mencapai target,

menumbuhkan motivasi dan mengatasi tantangan yang muncul.

Self-efficacy berperan menentukan bagaimana seseorang melakukan

pendekatan terhadap berbagai sasaran, tugas dan tantangan. Pada saat merasa

takut dan cemas, biasanya individu mempunyai self-efficacy rendah. Sementara

individu yang memiliki self-efficacy tinggi, merasa mampu dan yakin terhadap

kesuksesan dalam mengatasi rintangan dan menggangap ancaman sebagai suatu

tantangan yang tidak perlu dihindari (Dewi dalam Wahyuni, 2015).

b. Kepercayaan diri

Berdasarkan hasil penelitian Wahyuni (2014) mengatakan bahwa terdapat

hubungan yang sangat signifikan antara kepercayaan diri dengan kecemasan

berbicara di depan umum pada mahasiswa Program Studi Psikologi Angkatan

2009-2010 di Universitas Mulawarman Samarinda.

Menurut Taylor (2011) rasa percaya diri (self confidence) adalah

keyakinan seseorang akan kemampuan yang dimiliki untuk menampilkan perilaku

tertentu atau untuk mencapai target tertentu. Dengan kata lain, kepercayaan diri

adalah bagaimana kita merasakan tentang diri kita sendiri, dan perilaku kita akan

merefleksikan tanpa kita sadari. Kepercayaan diri bukan merupakan bakat (bawaan),

melainkan kualitas mental, artinya kepercayaan diri merupakan pencapaian yang

dihasilkan dari proses pendidikan atau pemberdayaan.

16 16

Kepercayaan diri dapat dilatih atau dibiasakan. Menurut Hakim (2002) percaya

diri merupakan keyakinan seseorang terhadap segala aspek kelebihan yang

dimilikinya dan keyakinan tersebut membuatnya merasa mampu untuk bisa

mencapai berbagai tujuan hidupnya. Rasa percaya diri merupakan suatu

keyakinan seseorang terhadap segala aspek kelebihan yang ada pada dirinya dan

diwujudkan dalam tingkah lakunya sehari-hari (Hakim,2002).

Menurut Rakhmat (2009) orang yang kurang percaya diri akan cenderung

sedapat mungkin menghindari situasi komunikasi. Karena takut orang lain akan

mengejeknya atau menyalahkannya. Orang yang ketakutan dalam komunikasi, akan

menarik diri dari pergaulan, berusaha sekecil mungkin berkomunikasi, dan hanya

akan berbicara apabila terdesak saja. Kepercayaan diri mahasiswa diasumsikan

dapat mempengaruhi tingkat kecamasan mereka di dalam berbicara di depan

umum. Mahasiswa dengan memiliki kepercayaan diri yang memadai akan dapat

meminimalisir kecemasan yang terjadi pada diri mereka saat mengadakan sebuah

presentasi, dan mahasiswa tersebut dapat menyikapi sebuah proses presentasi

dengan respon yang positif.

c. Keterampilan komunikasi

Berdasarkan hasil penelitian dari Ririn dkk (2013) menyatakan bahwa

terdapat hubungan yang negatif antara keterampilan komunikasi dengan

kecemasan berbicara di depan umum pada mahasiswa jurusan Bimbingan dan

Konseling FIP UNP angkatan 2011.

Keterampilan komunikasi merupakan kemampuan seorang individu untuk

melakukan komunikasi yang efektif dengan orang lain. Hal ini sejalan dengan

pendapat Suranto (dalam Ririn dkk, 2013), komunikasi dianggap efektif jika dua

17 17

individu atau lebih yang terlibat interaksi memahami pesan yang disampaikan

dengan benar, dan memberikan respon sesuai dengan yang diinginkan.

Keterampilan komunikasi juga merupakan salah satu kemampuan berbahasa

dan berkomunikasi, yang perlu dimiliki oleh mahasiswa sebagai calon ilmuwan

yang senantiasa bersentuhan dengan kegiatan yang menuntut mereka untuk terampil

berbicara, seperti bertanya di dalam kelas, berdiskusi, berpidato, ceramah, dan lain-

lain (Wahyuni, 2015).

d. Pola Pikir

Pola pikir mempunyai pengertian kecendrungan manusiawi yang dinamis,

sehingga dapat berpengaruh terhadap kehidupan. Pola pikir seseorang dapat

membantu dalam menyelesaikan masalahnya, dapat pula merugikannya

(Williams, 2004). Pola pikir terbagi menjadi dua macam yaitu berpikir positif dan

berpikir negatif. Keduanya tersebut mempengaruhi seseorang saat ia sedang

mengalami kecemasan berbicara di depan umum (Peale, 2001)

Rogers (dalam Anwar, 2010) meyakini bahwa yang mempengaruhi

kecemasanberbicara di depan umum adalah pola pikir yang keliru. Seseorang

yang hendak berbicara di depan umum berpikir bahwa dirinya sedang “diadili”,

merasa bahwa penampilan dan gerak-gerik dan ucapannya sedang menjadi perhatian

banyak orang.

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa faktor yang

mempengaruhi kecemasan berbicara di depan umum yaitu self efficacy,

kepercayaan diri, keterampilan komunikasi, dan pola pikir. Dari beberapa faktor

diatas, peneliti lebih menekankan pada faktor pola pikir menjadi variabel bebas.

Pola pikir yang dalam penelitian ini yaitu berpikir positif, karena individu yang

18 18

berpikir positif cenderung memandang segala sesuatu dari sisi positif. Begitupun

sebaliknya individu yang berpikir negatif cenderung memandang segala sesuatu dari

sisi negatif. Hal tersebut di dukung dari hasil survey peneliti (Prakoso, 2014) yang

menunjukkan bahwa berpikir positif merupakan salah satu faktor yang dapat

mempengaruhi kecemasan berbicara di depan umum dengan presentase 12 siswa

(40%) karena takut salah, 15 siswa (50%) karena tidak suka berbicara di depan

orang banyak, dan 3 siswa (10%) takut berbeda pendapat orang lain. Hal tersebu

menunjukkan pola berpikir (takut salah) merupakan salah satu yang dapat

berpengaruh terhadap kecemasan berbicara di depan umum.

B. BERPIKIR POSITIF

1. Pengertian Berpikir Positif

Albrecht (1992) menyatakan berpikir positif adalah mengatur antara

perhatian individu terhadap sesuatu yang positif dan menggunakan bahasa yang

positif untuk membentuk dan mengekspresikan pikirannya. Albrecht (1992)

mengatakan bahwa “berpikir positif tampaknya kurang mendapat perhatian dari

sebagian besar ahli pikir karena teknik aktualnya yang sangat sederhana yaitu hanya

berarti mengarahkan perhatian pada hal-hal yang positif dan menggunakan bahasa

yang positif untuk membentuk dan mengekspresikan pikiran”. Berpikir positif

adalah kemampuan seseorang untuk menilai kembali segala sesuatu bahwa terdapat

dua sisi pada setiap hal namun tetap memusatkan perhatian pada sisi yang positif

(Hardini, 2012).

Berpikir positif merupakan suatu bentuk berpikir yang biasanya

berpersepsi pada orang lain yang baik, berusaha mencapai hasil yang terbaik, dan

19 19

keadaan yang terbaik (Peale, 2001). Hawari (1996) berpendapat bahwa berpikir

positif tidak hanya mencakup sikap, perhatian dan pikiran terhadap diri sendiri,

namun sekaligus menyangkut sikap dan perbuatan orang lain. Peale (2001)

menyatakan bahwa berpikir positif adalah suatu bentuk dari pikiran dimana selalu

melihat hasil yang baik dari suatu situasi yang buruk.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa berpikir positif adalah mengatur

antara perhatian pada hal - hal yang positif dan menggunakan bahasa yang positif

untuk membentuk dan mengekspresikan pikirannya serta berpersepsi pada orang

lain yang baik.

2. Aspek – aspek berpikir positif

Menurut Albrecht (1992) mengatakan bahwa berpikir positif mempunya i

beberapa aspek sebagai berikut :

a) Harapan yang positif(positive expectations) yaitu melakukan sesuatu lebih

memusatkan perhatian pada kesuksesan, optimism, pemecahan masalah, dan

menjauhkan diri dari rasa takut akan kegagalan.

b) Afirmasi diri (self affirmation) yaitu memusatkan perhatian pada kekuatan

diri, melihat diri secara positif. Dalam hal ini individu menggantikan kritik

pada diri sendiri dengan memfokuskan pada kekuatan diri sendiri.

c) Pernyataan yang tidak menilai (non judgmental talking) yaitu suatu

pernyataan yang lebih menggambarkan keadaan dari pada menila i

keadaan. Pernyataan ataupun penilaian ini dimaksudkan sebagai pengganti

pada saat seseorang cenderung memberikan pernyataan atau penilaian

yang negatifterhadap situasi yang dihadapi.

20 20

d) Penyesuaian diri terhadap kenyataan (realistic adaption) yaitu mengakui

kenyataan dan segera menyesuaian diri, menjauhkan diri dari penyesalan,

frustasi, serta menyalahkan diri sendiri. Menerima masalah dan

menghadapinya dengan terbuka.

Menurut pendapat dari Ubaedy (dalam Christiningsih, 2017) menyatakan

bahwa dimensi-dimensi berpikir positif dapat dijabarkan sebagai berikut:

a) Muatan pikiran

Berpikir positif merupakan usaha mengisi pikiran dengan berbagai

hal yang positif atau muatan yang positif. Adapun yang dimaksud dengan

muatan positif untuk pikiran adalah sebagai bentuk pemikiran yang memilik i

kriteria: benar (tidak melangggar nilai-nilai kebenaran), baik (bagi diri

sendiri, orang lain, dan lingkungan), dan bermanfaat (menghasilkan sesuatu

yang berguna).

b) Penggunaan pikiran

Memasukkan muatan positif pada ruang pikiran merupakan

tindakan positif namun tindakan tersebut berada pada tingkatan yang

masih rendah jika muatan positif tersebut tidak diwujudkan dalam

tindakan nyata. Oleh karena itu isi muatan yang positif tersebut perlu

diaktualisasikan ke dalam tindakan agar ada dampak yang ditimbulkan.

c) Pengawasan pikiran

Aktivitas ini mencakup usaha untuk mengetahui muatan apa saja

yang dimasukkan ke ruang pikiran dan bagaimana pikiran bekerja. Jika

diketahui terdapat hal-hal yang negatif ikut ke ruang pikiran maka perlu

dilakukan tindakan berupa mengeluarkan hal-hal yang negatif tersebut

21 21

dengan menggantinya dengan yang positif. Demikian pula jika ternyata

teridentifikasi bahwa pikiran bekerja tidak semestinya maka dilakukan usaha

untuk memperbaiki kelemahan atau kesalahan.

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa aspek berpikir

positif menurut Albercht (1992) yaitu harapan yang positif, afirmasi diri, pernyataan

yang tidak menilai, dan penyesuaian diri. Sedangkan menurut Ubaedy (dalam

Christiningsih. 2017) menjabarkan dimensi-dimensi berpikir positif menjadi tiga

yaitu muatan pikiran, penggunaan pikiran, dan pengawasan pikiran. Dari aspek

diatas, aspek yang digunakan dalam penelitian ini adalah aspek menurut

Albrecht (1992) karena aspek tersebut sesuai dengan penelitian ini.

C. Hubungan antara berpikir positif dengan Kecemasan berbicara di

depan umum

Pola pikir mempunyai pengertian kecenderungan manusiawi yang

dinamis, sehingga dapat berpengaruh terhadap kehidupan. Pola pikir seseorang

dapat membantu dalam menyelesaikan masalahnya, dapat pula merugikannya

(Williams, 2004).Mapes (2006) menyatakan bahwa pola pikir dapat berpengaruh

terhadap suasana hati, reaksi fisik dan menyebabkan terjadinya perubahan

interaksi sosial seseorang. Perubahan diri individu baik itu pengaruh yang positif

maupun negatif, seperti dapat membantu individu dalam menyelesaikan masalahnya

dan dapat merugikan individu itu sendiri.

Peale (2001) menyatakan bahwa berpikir umunya terbagi menjadi dua

yaitu berpikir positif dan berpikir negatif. Apabila seseorang berpikir positif maka

individu tersebut dapat mengatasi masalah yang berhubungan dengan suasana

22 22

hati. Sebaliknya apabila seseorang yang berpikir yang negatif maka individu

tersebut cenderung menjadi depresi, cemas, panik, muncul perasaan bersalah yang

pada akhirnya akan menganggu interaksi sosialnya. Albrecht (1992) menyatakan

bahwa berpikir positif adalah mengatur antara perhatian individu terhadap sesuatu

yang positif dan menggunakan bahasa yang positif untuk membentuk dan

mengekspresikan pikirannya.

Menurut Opt & Loffredo (2000) individu yang berpikir positif akan

mengalami kecemasan berbicara di depan umum yang lebih rendah dari pada

individu yang berpikir negatif. Individu yang berpikir positif akan melihat segala

hal dari sisi positif, suka bekerja keras dan mampu mengendalikan emosinya

ketika berbicara di depan umum, sehingga kecemasan berbicara di depan umum

dalam diri individu tersebut menjadi rendah. Individu dengan berpikir negatif

lebih menggunakan perasaannya, lebih mudah stress dan mengekspres ikan

kecemasannya karena selalu fokus terhadap pendapatnya sendiri dan membangun

pesan-pesan negatif, sehingga individu yang berpikir negatif akan mengalami

kecemasan berbicara di depan umum yang tinggi.

Menurut Bandura (1986), kognisi adalah proses berpikir seseorang tentang

situasi tertentu. Berdasarkan teori kognitif, cara berpikir menentukan bagaimana

seseorang merasa dan berbuat (Corsini & Wedding, 2011). Dengan kata lain, cara

seseorang memaknai hubungan antara dirinya dengan lingkungan di sekitarnya akan

berpengaruh terhadap perasaan dan perilakunya. Sebagai contoh, jika seseorang

mempunyai pikiran yang negatif tentang situasi berbicara di depan umum,

maka pikiran negatif tersebut akan mempengaruhi perasaan dan perilakunya

sehubungan dengan situasi tersebut. Pikiran negatif tentang situasi

23 23

berbicara di depan umum akan menimbulkan perasaan takut atau cemas, yang

kemudian akan berimbas pada perilaku (Ayres, 1992).

Wolpe (dalam Fatma & Ernawati, 2012) mengatakan suasana hati

tergantung dari perasaan yang diasosiasikan terhadap peristiwa atau situasi

tertentu. Hergenhahn & Olson (dalam Fatma & Ernawati, 2012) asosiasi terhadap

situasi tertentu dipelajari berdasarkan observasi dan pengalaman. Hal ini juga

diperkuat dengan pendapat Ayers (2002), ketika seseorang pernah dihujani

kritikan dan ejekan pada saat berbicara di depan umum, maka orang tersebut akan

mengasosiasikan situasi tersebut sebagai suatu hukuman, sehingga rasa takut

dipermalukan dapat menjadi penghambat untuk berbicara di depan umum. Rogers

(dalam Oemarjoedi, 2003), juga mengungkapkan hal yang sama bahwa ketakutan

yang bersumber dari pikiran yang negatif sangat berpengaruh terhadap kecemasan

berbicara di depan umum. Seseorang yang berbicara di depan umum berpikir bahwa

penampilan, tingkah laku, dan perkataannya menjadi perhatian banyak orang.

Rogers (dalam Anwar, 2010) meyakini bahwa yang mempengaruhi

kecemasanberbicara di depan umum adalah pola pikir yang keliru. Seseorang

yang hendak berbicara di depan umum berpikir bahwa dirinya sedang “diadili”,

merasa bahwa penampilan dan gerak-gerik dan ucapannya sedang menjadi perhatian

banyak orang.

Lazarus (dalam Ririn dkk, 2013) menjelaskan lebih lanjut bahwa,

“Perasaan cemas sebenarnya merupakan pengalaman yang samar-samar disertai

dengan adanya perasaan tidak berdaya”. Sifat kecemasan dikatakan subjektif,

artinya bahwa kejadian yang menjadi penyebab dan reaksi yang dialami tiap

24 24

individu berbeda. Pada umumnya tanda-tanda yang menyertai kecemasan pada

tiap orang adalah sama, yaitu ditandai dengan perubahan psikologis seperti perasaan

tegang, takut, khawatir perubahan fisiologis seperti denyut jantung, pernafasan, dan

tekanan darah yang meningkat (Rogers, dalam Ririn dkk, 2013).

Albrecht (1992) menjelaskan empat aspek berpikir positif yaitu harapan

yang positif (positive expectations), afirmasi diri (self affirmation), pernyataan

yang tidak menilai (non judgmental talking), dan penyesuaian diri terhadap

kenyataan (reality adaptation). Albrecht (1992) menjelaskan bahwa individu yang

memiliki tingkat berpikir positif yang tinggi akan focus pada harapan yang

diinginkan, meskipun lingkungan sekitarnya tidak mendukung. Sebaliknya

individu yang memiliki tingkat berpikir positif yang rendah, maka akan timbul

hambatan dalam diri individu terhadap harapan yang dimilikinya jika lingkungan

disekitarnya tidak mendukung. Hal ini tentunya juga akan berdampak sama pada

mahasiswa. Mahasiswa yang mampu berpikir positif ia akan memilik i

kemampuan dalam mengatasi kecemasan berbicara di depan umum agar hal

tersebut tidak terjadi pada dirinya saat berbicara di depan umum.

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa berpikir

positif dapat keterkaitannya dengan kecemasan berbicara di depan umum.

Individu yang memiliki tingkat berpikir positif yang tinggi maka individu tersebut

dapat mengatasi kecemasan berbicara di depan umum dan selalu memandang atau

menilai segala hal dari sisi positif. Sebaliknya individu yang memiliki tingkat

berpikir positif yang rendah, maka individu tersebutcenderung kurang dalam

mengatasi kecemasan berbicara di depan umum dan tingkat kecemasan berbicara

di depan umum nya tinggi.

25 25

D. Hipotesis

Berdasarkan uraian yang telah dikemukan diatas, maka hipotesis yang

diajukan dalam penelitian ini yaitu apakah ada hubungan negatif antara berpikir

positif dengan kecemasan berbicara di depan umum pada mahasiswa. Semakin

tinggi berpikir positif maka kecemasan berbicara di depan umum semakin rendah.

Begitu pun sebaliknya, semakin rendah berpikir positif maka kecemasan berbicara

di depan umum semakin tinggi.

26 26