bab ii tinjauan pustaka a. kebisinganrepository.poltekkes-tjk.ac.id/478/5/bab ii.pdf · 2019. 12....
TRANSCRIPT
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kebisingan
1. Definisi Kebisingan
Kebisingan adalah suara atau bunyi dapat dirasakan oleh indra
pendengaran akibat adanya rangsangan getaran yang datang melalui
media yang berasal dari benda yang bergetar. Definisi kebisingan
menurut Kepmenaker (1999) adalah semua suara yang tidak dikehendaki
yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan atau alat-alat kerja
yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran
(Nadhiroh, 2011).
Kebisingan adalah suara yang tidak disukai atau tidak diharapkan dan
dapat mengganggu seseorang. Kebisingan ini dapat diukur dan dapat
dianalisis sifatnya. Kebisingan didengar sebagai rangsangan-rangsangan
pada telinga oleh getaran-getaran melalui media elastis, dan mana kala
suara tersebut tidak dikehendaki, maka dinyatakan sebagai kebisingan
(Suma’mur, 1967).
Kebisingan adalah semua bunyi yang mengalihkan perhatian,
menggangu, atau berbahaya bagi kegiatan sehari-hari (kerja, istirahat,
hiburan, atau belajar). Berdasarkan definisi standar, kebisingan adalah
setiap bunyi yang tidak diinginkan. Kebisingan didefinisikan sebagai
suara yang tidak diinginkan. Pengertian tidak diinginkan ini tentu saja
bersifat subjektif, seperti musik kaum muda mungkin saja tidak sesuai
9
10
bagi kaum yang lebih tua dan begitu pula sebaliknya. Semua bunyi yang
mengalihkan perhatian, mengganggu, atau berbahaya bagi kesehatan
sehari-hari, dapat dianggap sebagai kebisingan. Secara umum kebisingan
didefinisikan sebagi bunyi yang tidak diinginkan oleh penerimanya.
Kebisingan dalam industri adalah salah satu faktor berupa bunyi yang
dapat menimbulkan akibat buruk bagi kesehatan dan keselamatan kerja.
Kebisingan adalah suatu masalah yang memerlukan usaha-usaha keras
dari berbagai bidang, dan tidak dapat dipecahkan hanya dengan ilmu
pengetahuan, keahlian teknik dan disiplin ilmu sosial saja. Suara di
tempat kerja berubah menjadi salah satu bahaya kerja (occupational
hazard) saat keberadaannya dirasakan mengganggu atautidak diinginkan,
secara :
a. Fisik (menyakitkan telinga pekerja).
b. Psikis (mengganggu konsentrasi dan kelancaran komunikasi).
Dalam bahasa K3, National Institute of Occupational Safety and
Health.
(NIOSH) telah mengidentifikasikan status suara atau kondisi kerja di
mana suara berubah menjadi polutan secara lebih jelas, yaitu :
1) Suara-suara dengan tingkat kebisingan lebih besar dari 104 dB(A).
2) Kondisi kerja yang mengakibatkan seorang karyawan harus
menghadapi tingkat kebisingan lebih besar dari 85 dB selama lebih
dari 8 jam.
Suara atau bunyi dapat dirasakan oleh indra pendengaran akibat
adanya rangsangan getaran yang datang melalui media yang berasal dari
11
benda yang bergetar. Intensitas kebisingan dinyatakan dalam desibel (dB)
yaitu perbandingan antara kekuatan dasar bunyi (0,0002 dyne/ cm²)
dengan frekuensi (1.000 Hz) yang tepat dapat didengar oleh telinga
normal. Mengingat desibel yang diterima oleh telinga merupakan skala
logaritmis, maka tingkat kebisingan 3 dB di atas 60 dB pengaruhnya
akan berbeda dengan 3 dB di atas 90 dB. Seorang cenderung
mengabaikan kebisingan yang dihasilkannya sendiri bila kebisingan itu
secara wajar menyertai pekerjaan, seperti kebisingan mesin kerja.Sebagai
patokan, kebisingan mekanik atau elektrik, yang disebabkan kipas angin,
transformator, motor, pompa, pembersih vakum atau mesin cuci, selalu
lebih menggangu daripada kebisingan yang yang hakekatnya alami
(angin, hujan, air terjun dan lain-lain) (Oktarini, 2010).
NAB kebisingan di tempat kerja berdasarkan Peraturan Menteri
Tenaga KerjaNo.Kep.13/Men/X/2011,besarnya rata-rata adalah 85 dB(A)
untuk waktu kerja terus menerus tidak lebih dari 8 jam/ hari atau 40 jam/
minggu. Apabila tenaga kerja menerima pemaparan kebisingan lebih dari
ketetapan tersebut, maka harus dilakukan pengurangan waktu pemaparan.
Seperti pada tabel berikut ini :
12
Tabel 2.1 Waktu Pemaparan Kebisingan Per Hari Kerja Berdasarkan
Intensitas Kebisingan Yang Diterima Pekerja
Batas Waktu Pemaparan Intensitas Kebisingan Dalam
Per Hari Kerja dB(A)
8 jam 85
4 jam 88
2 jam 91
1 jam 94
30 menit 97
15 menit 100
7,5 menit 103
3,75 menit 106
1,88 menit 109
0,94 menit 112
28,12 menit 115
14,06 menit 118
7,03 menit 121
3,52 menit 124
1,76 menit 127
0,88 menit 130
0,44 menit 133
0,22 menit 135
0,11 menit 139
Sumber : Tarwaka (2004)
Catatan : Tidak boleh terpapar kebisingan lebih dari 140
dB(A)walaupun sesaat.
13
Tingkat bising sebesar 85 dB dengan pemaparan selama 8 jam/ hari
atau 40 jam/ minggu adalah untuk pekerjaan yang tidak memerlukan
komunikasi verbal dan pekerjaan manual, rutin atau tidak kompleks.
Kebisingan dalam hubungannya dengan kompleksitas pekerjaan, ternyata
kebisingan yang tinggi akan menghasilkan error yang lebih banyak pada
pekerjaan yang rumit/ kompleks (Oktarini, 2010).
2. Akibat Kebisingan
Kebisingan secara fisik berpengaruh terhadap manusia.Gangguan fisik
akibat kebisingan tersebut tidak saja mengganggu organ pendengaran,
tetapi juga dapat menimbulkan gangguan pada organ-organ tubuh yang
lain, seperti penyempitan pembuluh darah dan sistem jantung.Pengaruh
bising secara psikologi, yaitu berupa penurunan efektivitas kerja dan
kinerja seseorang. Pengaruh kebisingan terhadap tubuh sama seperti
pengaruh stress terhadap tubuh manusia. Kebisingan dapat
mengakibatkan gangguan fisiologis dan psikologis terhadap manusia.
Kebisingan juga akan memberikan pengaruh negatif terhadap
performansi kerja (Pradana, 2013).
Akibat paparan kebisingan diatas 85 dB dapat menimbulkan ketulian.
Selain itu kebisingan juga dapat menimbulkan keluhan non-pendengaran
seperti susah tidur, mudah emosi dan gangguan konsentrasi yang
memungkinkan dapat menimbulkan kecelakaan kerja. Akibat kebisingan
terhadap manusia secara fisik tidak saja mengganggu organ pendengaran,
tetapi juga dapat menimbulkan gangguan pada organ-organ tubuh lain,
14
seperti penyempitan pembuluh darah dan sistem jantung. Pengaruh
kebisingan secara psikologi, yaitu berupa penurunan efektifitas kerja dan
kinerja seseorang. Kebisingan diatas 70 dB dapat menyebabkan
kegelisahan, kurang enak badan, kejenuhan mendengar, sakit lambung
dan masalah peredaran darah. Kebisingan diatas 85 dB dapat
menyebabkan kemunduran yang serius pada kondisi kesehatan seseorang
dan bila berlangsung lama dapat terjadi kehilangan pendengaran
sementara atau permanen. Kebisingan yang berlebihan dan
berkepanjangan terlihat dalam masalah-masalah kelainan seperti penyakit
jantung, tekanan darah tinggi, dan luka perut. Pengaruh kebisingan yang
merusak pada efisiensi kerja dan produksi telah dibuktikan secara
statistik dalam beberapa bidang industri (Oktarini, 2010).
Pengaruh bising terhadap kesehatan seseorang diantaranya sebagai
berikut :
a. Hilangnya daya dengar (ketulian),
b. Kerusakan gendang telinga,
c. Gangguan percakapan,
d. Kejengkelan,
e. Mengalihkan perhatian,
f. Kelelahan.
Akibat kebisingan secara umum, yaitu :
1) Kerusakan indra pendengaran,
2) Gangguan komunikasi dan timbul salah pengertian,
15
3) Pengaruh faal seperti gangguan psikomotor (saraf otonom) berupa
kenaikan tekanan darah, percepatan denyut jantung, menurunnya
aktivitas alat pencernaan, bertambahnya tegangan otot,
4) Gangguan tidur,
5) Efek psikologis berupa perasaan terganggu dan tidak senang.
Pengaruh kebisingan terhadap tenaga kerja (Oktarini, 2010)adalah :
1) Mengurangi kenyamanan dalam bekerja,
2) Mengganggu percakapan atau komunikasi antar pekerja,
3) Mengurangi konsentrasi,
4) Menurunkan daya dengar,
5) Tuli akibat kebisingan
3. Sumber Kebisingan
Sumber-sumber kebisingan di tempat kerja yaitu dari dalam maupun
dari luar tempat kerja :
a. Generator, mesin diesel untuk pembangkit listrik,
b. Mesin-mesin produksi,
c. Mesin potong, gergaji, serut di perusahaan kayu,
d. Ketel uap atau booiler untuk pemanas air
e. Alat-alat lain yang menimbulkan suara dan getaran seperti alat
pertukangan,
f. Kendaraan bermotor dari lalu lintas.
Sumber-sumber suara tersebut harus selalu diidentifikasi dan dinilai
kehadirannya agar dapat dipantau sedini mungkin dalam upaya
16
mencegah dan mengendalikan pengaruh pemaparan kebisingan terhadap
pekerja yang terpapar. Sumber-sumber kebisingan di tempat kerja berasal
dari eksternal dan internal tempat kerja (Oktarini, 2010).
1) Sumber eksternal
Sumber kebisingan eksternal adalah kebisingan yang berasal dari luar
gedung atau tempat kerja, misalnya traffic, industri dan bangunan.
2) Sumber internal
Sumber kebisingan internal adalah kebisingan yang berasal dari dalam
gedung, misalnya bunyi mesin, kompresor serta penggilingan.
Sumber kebisingan utama dalam pengendalian kebisingan dapat
diklasifikasikan dalam kelompok (Oktarini, 2010) :
a) Kebisingan interior
Kebisingan interior adalah sumber kebisingan yang paling sering
dibuat oleh manusia dan yang harus dipertanggungjawabkan.
Kebisingan interior adalah kebisingan yang disebabkan oleh radiodan
televisi, alat-alat musik, bantingan pintu, pembicaraan yang keras, dan
lalu lintas. Kebisingan bangunan dihasilkan oleh mesin dan alat rumah
tangga, seperti kipas angin, motor, kompresor, pendingin, penghancur
sampah, mesin cuci, pengering, pembersih vakum, pengkondisi udara,
penghancur makanan, pembuka kaleng, pembuat kilap lantai,
pencukur listrik, pengering rambut, dll. Tingkat kebisingan yang
sangat tinggi diproduksi dalam beberapa bangunan industri oleh
proses pabrik atau produksi.
b) Kebisingan luar
17
Kebisingan luar adalah kebisingan yang paling mengganggu dari
kategori ini.Kebisingan luar berasal dari lalu lintas, transportasi,
industri, alat-alat mekanis yang terlihat dalam gedung, tempat
pembangunan gedung-gedung, perbaikan jalan, kegiatan olahraga dan
lain-lain.
4. Jenis-jenis Kebisingan
Jenis kebisingan menurut Suma’mur (1967) di kelompokkan menjadi :
a. Kebisingan kontinue dengan spektrum frekuensi yang luas
(Steadystate, Wide band noise).Misal: mesin-mesin, kipas angin,
dapur pijar.
b. Kebisingan kontinue dengan spektrum frekuensi sempit (Steadystate,
narrow band noise).Misal: gergaji sirkuler, katup gas.
c. Kebisingan terputus-putus (intermittent). Misal: lalu lintas, suara
kapal terbang.
d. Kebisingan impulsive (impact impulsive noise). Misal: tembakan bedil,
meriam, ledakan.
e. Kebisingan impulsive berulang.Misal: mesin tempa, pandai besi.
Jenis kebisingan diberbagai industri dalam garis besar dapat
digolongkan dalam 2 golongan (Pradana, 2013) , yaitu :
1) Bising-bising impulsive.
2) Bising-bising tetap.
Berdasarkan sifat dari kebisingan, maka kebisingan dapat
dibedakan menjadi :
18
a. Bising yang bersifat continue dengan spektrum frekuensi yang luas
Bising jenis ini merupakan bising yang relatif tetap dalam batas
amplitudo sekitar 5 dB untuk periode 0,5 detik berturut-turut. Contoh
bising yang continue antara lain suara dalam kokpit pesawat
helikopter, suata gergaji sirkuler, suara katup mesin gas, suara kipas
angin dan suara dapur pijar.
b. Bising continue dengan spektrum frekwensi yang sempit. Bising ini
relatif tetap dan hanya pada frekuensi tertentu saja. Misalnya suara
gergaji sirkuler, suara katup gas.
c. Bising yang terputus-terputus. Kebisingan yang tidak berlangsung
terus menerus, melainkan ada periode kecenderungan tenang.
Contohnya adalah suara lalu lintas dan kebisingan di lapangan
terbang.
d. Kebisingan impulsive. Bising ini memiliki perubahan tekanan suara
melebihi 40 dB dalam waktu sangat cepat dan biasanya mengejutkan
pendengaran. Contohnya adalah suara ledakan mercon, tembakan dan
meriam.
e. Bising impulsif berulang-ulang. Sama seperti bising impulsif, tetapi
terjadi berulang-ulang misalnyapada mesin tempa.
Bising yang dianggap lebih sering merusak pendengaran adalah bising
yang bersifat kontinue, terutama yang memiliki spektrum frekuensi lebar
dan intensitas yang tinggi (Pradana, 2013).
Di tempat kerja, kebisingan diklasifikasikan kedalam dua jenis
golongan besar, yaitu kebisingan tetap (steady noise) dan kebisingan
19
tidak tetap. Kebisingan tetap dipisahkan lagi menjadi dua jenis
(Nadhiroh, 2011), yaitu :
1. Kebisingan dengan frekuensi terputus (discrete frequency noise)
Kebisingan ini berupa “nada-nada” murni pada frekuensi yang
beragam, contohnya suara mesin, suara kipas, dan sebagainya.
2. Broad band noise
Kebisingan dengan frekuensi terputus dan Broad band noise terjadi
padafrekuensi yang lebih bervariasi.Kebisingan tidak tetap dibagi lagi
menjadi :
a. Kebisingan fluktualif
Kebisingan yang selalu berubah-ubah selama waktu tertentu.
b. Intermittent noise
Kebisingan yang terputus-putus dan besarnya dapat berubah-ubah,
contohnya kebisingan lalu lintas.
c. Impulsive noise
Kebisingan yang dihasikan oleh suara-suara berintensitas tinggi dalam
waktu relatif singkat, misalnya suara ledakan senjata api dan alat-
alat sejenisnya.
5. Pengendalian Kebisingan
a. Pengendalian kebisingan ditujukan pada sumber bising dan sebaran
kebisingan (Oktarini, 2010). Cara yang dilakukan untuk
mengendalikan kebisingan adalah :
20
1) Pemeliharaan mesin (maintance) yaitu mengganti, mengencangkan
bagian mesin yang longgar dan memberi pelumas secara teratur.
2) Mengganti mesin bising tinggi ke yang bisingnya kurang
3) Mengurangi vibrasi atau permukaan yang bergetar dengan cara
mengurangi tenaga mesin, kecepatan putaran atau isolasi.
4) Merubah proses kerja misalnya kompressi diganti dengan pukulan.
5) Mengurangi transmisi bising yang dihasilkan benda padat dengan
mengganti lantai berpegas, menyerap suara pada dinding dan langit
kerja.
6) Mengurangi produksi bising dengan mengurangi turbulensi udara
dan mengurangi tekanan udara.
7) Melakukan isolasi operator dalam ruang yang relatif kedap suara.
b. Pengendalian kebisingan secara administratif, yaitu :
1) Mengatur jadwal produksi,
2) Rotasi tenaga kerja,
3) Penjadwalan pengoperasian mesin,
4) Transfer pekerja dengan keluhan pendengaran,
5) Melakukan tindakan mengikuti peraturan.
Sebelum dilakukan langkah pengendalian kebisingan, langkah
pertama yang harus dilakukan adalah membuat rencana pengendalian
yang di dasarkan pada hasil penilaian kebisingan dan dampak yang
ditimbulkan.Rencana pengendalian dapat dilakukan dengan pendekatan
melalui perspektif manajemen resiko kebisingan.Manajemen resiko yang
dimaksud adalah suatu pendekatan yang logik dan sistemik untuk
21
mengendalikan resiko yang mungkin timbul (Oktarini, 2010). Langkah
manajemen resiko kebisingan tersebut adalah :
1) Mengidentifikasi sumber-sumber kebisingan yang ada di tempat kerja
yang berpotensi menimbulkan penyakit atau cidera akibat kerja.
2) Menilai resiko kebisingan yang berakibat serius terhadap penyakit dan
cidera akibat kerja.
3) Mengambil langkah-langkah yang sesuai untuk mengendalikan atau
meminimalisasi resiko kebisingan.
Setelah rencana di buat dengan seksama, langkah selanjutnya adalah
melaksanakan langkah pengendalian kebisingan dengan dua arah
pendekatan yaitu pendekatan jangka pendek dan pendekatan jangka
panjang dari hirarki pengendalian.Pada pengendalian kebisingan dengan
orientasi jangka panjang, teknik pengendaliannya secara berurutan adalah
eliminasi sumber kebisingan, pengendalian secara teknik, pengendalian
secara administratif dan terakhir penggunaan alat pelindung
diri.Sedangkan untuk orientasi jangka pendek adalah sebaliknya secara
berurutan.
1) Eliminasi kebisingan
a) Pada teknik eliminasi ini dapat dilakukan dengan penggunaan
tempat kerja atau pabrik baru sehingga biaya pengendalian dapat
diminimalkan.
b) Pada tahap tender mesin-mesin yang akan dipakai, harus
mensyaratkan maksimum intensitas kebisingan yang di keluarkan
dari mesin baru.
22
c) Pada tahap pembuatan pabrik dan pemasangan mesin, konstruksi
bangunan harus dapat meredam kebisingan serendah mungkin.
Sedangkan tutup telinga dapat mengurangi kebisingan 40-50 dB.
Pengendalian kebisingan pada penerima ini telah banyak ditemukan di
perusahaan-perusahaan, karena secara sekilas biayanya relatif lebih
murah.
B. Stress Kerja
1. Definisi Stress
Stress dapat melanda seluruh lapisan masyarakat dari berbagai jenis
pekerjaan. Dalam lingkup ketenaga kerjaan stress merupakan masalah bagi
kesehatan tenaga kerja yang banyak menimbulkan kerugian materi. Sebelum
terjadi stress, perlu terdapat stressor (pemicu stress) yang cukup bermakna
dan spesifik untuk setiap individu.Stressor psikososial adalah setiap keadaan
atau peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang
sehingga orang itu terpaksa mengadakan adaptasi atau menanggulangi
stressor yang timbul (Pradana, 2013).
Stress dalam bahasa teknik diartikan sebagai kekuatan dari bagian-bagian
tubuh. Stress dalam bahasa biologi dan kedokteran diartikan sebagai proses
tubuh untuk beradaptasi terhadap pengaruh luar dan perubahan lingkungan
terhadap tubuh. Stress secara umum diartikan sebagai tekanan psikologis
yang dapat menimbulkan penyakit baik fisik maupun penyakit jiwa. Stress
dapat digambarkan sebagai suatu kekuatan yang dihayati mendesak atau
23
mencekam dan muncul dalam diri seseorang sebagai akibat ia mengalami
kesulitan dalam menyesuaikan diri (Pradana, 2013).
Stress adalah tuntutan-tuntutan eksternal yang mengenai seseorang,
misalnya obyek-obyek dalam lingkungan atau suatu stimulus yang secara
obyektif adalah berbahaya. Stress juga biasa diartikan sebagai tekanan,
ketegangan atau gangguan yang tidak menyenangkan yang berasal dari luar
diri seseorang (Nadhiroh, 2011).
Stress adalah suatu kekuatan yang merusak tubuh. Stress dalam bahasa
biologi dan kedokteran adalah suatu proses dalam tubuh yang beradaptasi
terhadap semua pengaruh, perubahan, kebutuhan dan hambatan, ketika
terjadi pemajanan (Handayani, 2016).
2. Definisi Stress Kerja
Stress akibat kerja secara lebih sederhana adalah stress yang terjadi
karena suatu ketidakmampuan pekerja dalam menghadapi tuntutan tugas
yang mengakibatkan ketidaknyamanan dalam kerja. Dalam kaitannya
dengan pekerjaan, semua dampak dari stress kerja tersebut akan
mengakibatkan menurunnya performansi, efisiensi dan produktivitas kerja
tenaga kerja yang bersangkutan (Oktarini, 2010).
Stress kerja merupakan suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi
emosi, proses berfikir dan kondisi seseorang dimana ia terpaksa
memberikan tanggapan melebihi kemampuan penyesuaian dirinya terhadap
suatu tuntutan eksternal (lingkungan). Stress kerja timbul karena tuntutan
lingkungan. Stress kerja yang terlalu besar dapatmengancam kemampuan
24
seseorang untuk menghadapi lingkungannya. Sebagai hasilnya, pada diri
para karyawan berkembang berbagai macam gejala stress kerja yang dapat
mengganggu pelaksanaan kerja mereka (Pradana, 2016).
3. Gejala-gejala Stress Kerja
Sebagai hasil dari adanya stress kerja karyawan mengalami beberapa
gejala stress yang dapat mengancam dan mengganggu pelaksanaan kerja
mereka, seperti : mudah marah, agresif, tidak dapat santai, emosi yang tidak
stabil, sikap tidak mau bekerja sama, perasaan tidak mampu terlibat, dan
susah tidur (Pradana, 2016).
Sedangkan gejala stress di tempat kerja, meliputi :
a. Kepuasan kerja rendah,
b. Kinerja yang menurun,
c. Semangat dan energi menjadi hilang,
d. Komunikasi tidak lancar,
e. Kurang tepat dalam pengambilan keputusan,
f. Kreatifitas dan inovasi kurang,
g. Bergulat pada tugas-tugas yang tidak produktif.
Gejala stress kerja dapat berupa tanda-tanda (Oktarini, 2010), berikut ini:
1) Fisik, yaitu nafas memburuk, mulut dan kerongkongan kering, tangan
lembab, merasa panas, otot-otot tegang, pencernaanterganggu, sembelit,
letih yang tidak beralasan, sakit kepala, salah urat dan gelisah.
2) Perilaku, yaitu perasaan bingung, cemas dan sedih, jengkel, salah paham,
tidak berdaya, tidak mampu berbuat apa-apa, gelisah, gagal, tidak
25
menarik, kehilangan semangat, sulit konsentrasi, sulit berfikir jernih, sulit
membuat keputusan, hilangnya kreatifitas, hilangnya gairah dalam
penampilan dan hilangnya minat terhadap orang lain.
3) Watak dan kepribadian, yaitu sikap hati-hati menjadi cermat yang
berlebihan, cemas menjadi lekas panik, kurang percaya dirimenjadi
rawan, penjengkel menjadi meledak-ledak.
Gejala individu yang mengalami stress kerja antara lain :
1) Bekerja melewati batas kemampuan,
2) Kelerlambatan masuk kerja yang sering dan ketidakhadiran pekerja,
3) Kesulitan membuat keputusan,
4) Kesalahan yang sembrono,
5) Kelalaian menyelesaikan pekerjaan,
6) Lupa akan janji yang telah dibuat dan kegagalan diri sendiri,
7) Kesulitan berhubungan dengan orang lain,
8) Kerisauan tentang kesalahan yang dibuat,
9) Menunjukkan gejala fisik seperti pada alat pencernaan, tekanan darah
tinggi, radang kulit, radang pernafasan.
4. Faktor Penyebab Stress Kerja
Untuk dapat mengetahui secara pasti, faktor apa saja yang dapat
menyebabkan terjadinya stress kerja sangat sulit, oleh karena sangat
tergantung dengan sifat dan kepribadian seseorang. Perbedaan reaksi antara
individu tersebut sering disebabkan karena faktor psikologis dan sosial yang
26
dapat merubah dampak stress kerja bagi individu (Oktarini, 2010). Faktor-
faktor tersebut antara lain :
a. Kondisi individu seperti umur, jenis kelamin, temperamental, genetik,
intelegensia, pendidikan, kebudayaan, status gizi, status sosial ekonomi.
b. Ciri kepribadian seperti tingkat emosional, kepasrahan dan kepercayaan
diri.
c. Sosial-kognitif seperti dukungan sosial, hubungan sosial dengan
lingkungan sekitarnya.
d. Strategi untuk menghadapi setiap stress kerja yang muncul.
Faktor-faktor penyebab stress akibat kerja (Oktarini, 2010), yaitu :
1) Faktor intrinsik pekerjaan
a) Kepuasan terhadap pekerjaan,
b) Lingkungan kerja yang sehat,
c) Peralatan pelatihan kerja,
d) Jam kerja,
e) Pekerjaan yang berkelebihan,
f) Pekerjaan yang terlalu ringan,
g) Bahaya fisik pekerjaan.
2) Faktor individu
a) Umur,
b) Jenis kelamin,
c) Pendidikan,
d) Status sosial ekonomi,
e) Status gizi.
27
3) Faktor lingkungan tempat tinggal
a) Dinamika keluarga,
b) Hubungan perkawinan,
c) Dukungan dari pasangan atau teman terdekat yang berlainan seks,
d) Hubungan dengan anak-anak,
e) Kehidupan lingkungan,
f) Berkaitan dengan keuangan.
4) Faktor lingkungan social
a) Menyendiri,
b) Iklim diet,
c) Sering berpindah tempat tinggal,
d) Mengemudi,
e) Kehidupan kota versus desa,
f) Latihan, olah raga, hobi,
g) Kontak dan aktivitas sosial.
Peran faktor umur memberikan respon terhadap situasi yang potensial
menimbulkan stress kerja. Tenaga kerja yang usianya sudah lanjut (> 60
tahun) kemampuan dalam beradaptasinya menurun karena adanya
penurunan fungsi organ di dalam tubuhnya. Penelitian pada kelompok usia
lebih dari 40 tahun dan dibawah 40 tahun, dengan indikator adrenalin dan
tekanan darah, mendapatkan hasil bahwa kelompok umur > 40 tahun lebih
rentan dalam menghadapi stress kerja (Oktarini, 2010).
5. Akibat Stress Kerja
28
Akibat adanya stress kerja orang menjadi tegang, merasakan kecemasan
yang kronis, peningkatan ketegangan pada emosi, proses berikir dan kondisi
fisik individu. Pekerja atau karyawan yang mengalami stress akibat kerja
akan menunjukkan perubahan perilaku. Perubahan perilaku terjadi pada diri
manusia sebagai usaha mengatasi stress kerja. Usaha mengatasi stress kerja
dapat berupa perilaku melawan stress kerja (flight) atau freeze (berdiam diri)
(Oktarini, 2010).
Dampak negatif yang ditimbulkan oleh stress kerja dapat berupa :
a. Terjadinya kekacauan, hambatan baik dalam manajemen maupun
operasional kerja.
b. Mengganggu kenormalan aktivitas kerja.
c. Menurunkan tingkat produktivitas.
d. Menurunkan pemasukan dan keuntungan perusahaan.
e. Kerugian finansial yang dialami perusahaan karena tidak seimbangnya
antara produktivitas dengan biaya yang dikeluarkan untuk membayar
gaji, tunjangan, dan fasilitas lainnya.
Stress kerja dapat menimbulkan reaksi pada tubuh manusia. Reaksi tubuh
karena stress akibat kerja yang merupakan masalah kesehatan (Oktarini,
2010), diantaranya adalah :
1) Penyakit psikis yang diinduksi oleh stress kerja. Misalnya jantung
koroner, hipertensi, tukak lambung dan gangguan psikomatik lain.
Kondisi lain yang juga mungkin terjadi adalah keletihan, sering pilek,
gangguan tidur, nafas pendek, sakit kepala, migren, kaki tangan dingin,
29
nyeri kuduk serta pundak, gangguan menstruasi, gangguan pencernaan,
muntah, alergi dan serangan asma.
2) Kecelakaan kerja. Berbagai data dapat dinyatakan bahwa kecelakaan
kerja terjadi 90% karena tindakan yang kurang berhati-hati.
3) Absen kerja. Absensi kerja sering terdapat pada pekerja yang sulit
menyesuikan diri dengan pekerjaannya. Ketidakhadiran ini biasanya
karena gejala sakit psikis ringan.
4) Lesu kerja. Terjadi apabila tenaga kerja kehabisan motivasi dalam upaya
mencari suatu kinerja yang tinggi.
5) Gangguan jiwa. Berupa suatu continnum, mulai gejala subjektif yang
mempunyai efek ringan sehari-hari hingga gangguan jiwa mengganggu
fungsipekerjaan.
Stress akibat kerja menyebabkan timbulnya penyakit psikosomatic.
Penyakit psikosomatic yang timbul sebagai akibat stresskerja (Oktarini,
2010), yaitu :
1) Gejala-gejala otot
a) Nyeri,
b) Pegal-pegal.
2) Gejala-gejala gastro intestinal
a) Sakit pada pencernaan (dyspepsia),
b) Mual-mual (vomiting,),
c) Susah buang air besar (constipasi),
d) Iritasi kolon,
e) Rasa terbakar pada ulu hati (heart burn).
30
3) Gejala-gejala jantung
a) Berdebar-debar,
b) Sakit pada daerah dibawah puting susu,
c) Denyut jantung tidak teratur.
4) Gejala-gejala pernafasan
a) Pernafasan yang cepat (hyperventilation),
b) Dyspnoea.
5) Gejala-gejala susunan syaraf pusat
a) Susah tidur,
b) Lesu,
c) Pusing-pusing,
d) Sakit kepala.
6) Gejala-gejala pada alat kelamin
a) Impoten,
b) Sakit pada waktu haid .
Reaksi tubuh terhadap stressor pada seseorang sangat bervariasi dan
berbeda dari masing-masing orang menerimanya. Perbedaan reaksi tersebut
disebabkan oleh beberapa faktor psikologis dan faktor sosial-budaya
seseorang (Oktarini, 2010). Reaksi stress akibat kerja yaitu :
1) Reaksi psikologis.
Stress kerja biasanya merupakan perasaan subjektif seseorang sebagai
bentuk kelelahan, kegelisahan dan depresi. Reaksipsikologis akibat stress
kerja dapat dievaluasi dalam bentuk beban mental, kelelahan dan
perilaku.
31
2) Responsosial.
Setelah beberapa lama mengalami kegelisahan, depresi, konflik dan
stress akibat kerja di tempat kerja, maka pengaruhnya akan dibawa ke
dalam lingkungan keluarga dan lingkungan sosial.
3) Respon stress akibat kerja pada gangguan kesehatan atau reaksi
fisiologis.
Bila tubuh mengalami stress akibat kerja, maka akan terjadi perubahan
fisiologis sebagai jawaban atas terjadinya stress kerja. Sistem di dalam
tubuh yang mengadakan respon adalah diperantarai oleh saraf otonom,
hypothalamic-pituitari axis dan pengeluaran petekolamin yang akan
mempengaruhi fungsi-fungsi organ di dalam tubuh seperti sistem
kardiovaskuler, sistem gastro intestinal dan gangguan penyakit lainnya.
4) Respon individu.
Pengaruhnya akan sangat tergantung dari sifat dan kepribadian
seseorang.
6. Pencegahan Stress Kerja
Cara-cara mencegah stress akibat kerja secara lebih spesifik (Oktarini,
2010), yaitu :
a. Redesain tugas-tugas pekerjaan,
b. Redesain lingkungan kerja,
c. Menerapkan waktu kerja yang fleksibel,
d. Menerapkaan manajemen partisipatoris,
32
e. Melibatkan karyawan dalam pengembangan karier,
f. Menganalisis peraturan kerja dan menetapkan tujuan,
g. Mendukung aktivitas sosial,
h. Membangun kerja tim yang kompak.
Cara pencegahan timbulnya stress di tempat kerja (Oktarini, 2010),
yaitu :
1) Faktor promosi kesehatan di tempat kerja,
2) Penyesuaian pekerjaan dengan kemampuan dan kebutuhan,
3) Menaggulangi stress dalam organisasi,
4) Kontrol reaksi stress psikologis,
5) Peranan profesi kesehatan kerja di tempat kerja.
Program pencegahan stress akibat kerja dapat dilaksanakan dengan
pendekatan (Oktarini, 2010), yaitu :
1) Pemahaman dan pengenalan yang lebih baik tentang kesehatan
mental bagi para eksekutif dan profesi kesehatan,
2) Pendekatan organisasi dalam rangka mewujudkan suasana kerja yang
meminimalkan terjadinya stress kerja,
3) Pendidikan pada karyawan untuk melaksanakan berbagai adaptasi.
C. Hubungan Kebisingan dengan Stress Kerja
Penggunaan teknologi di tempat kerja akan menghasilkan suara atau bunyi
yang tidak diinginkan yang menimbulkan gangguan psikologis berupa stres
kerja (Pradana, 2013).
Pengaruh kebisingan terhadap stress kerja (Oktarini, 2010), yaitu :
33
1. Gangguan emosional (kejengkelan, kebingungan).
2. Gangguan gaya hidup (gangguan tidur atau istirahat, hilang konsentrasi
waktu bekerja, membaca dan sebagainya).
Pengaruh pemaparan kebisingan secara umum dapat dikategorikan
menjadi dua, yaitu pengaruh pemaparan kebisingan intensitas tinggi (di atas
NAB) dan pengaruh pemaparan kebisingan intensitas rendah (di bawah NAB)
(Pradana, 2013).
1. Pengaruh kebisingan intensitas tinggi.
Terjadinya kerusakan pada indra pendengaran yang dapat menyebabkan
penurunan daya dengar baik yang bersifat sementara maupun bersifat
permanen atau ketulian. Sebelum terjadi kerusakan pendengaran yang
permanen, biasanya didahului dengan pendengaran yang bersifat sementara
yang dapat mengganggu kehidupan yang bersangkutan baik di tempat kerja
maupun di lingkungan keluarga dan lingkungan sosialnya.Secara fisiologis,
kebisingan dengan intensitas tinggi dapat menyebabkan gangguan kesehatan
seperti, meningkatnya tekanan darah dan denyut jantung, resiko serangan
jantung meningkat, gangguan pencernaan. Reaksi masyarakat, apabila
kebisingan akibatsuatu proses produksi demikian hebatnya sehingga
masyarakat sekitarnya protes menuntut agar kegiatan tersebut dihentikan.
2. Pengaruh kebisingan intensitas rendah.
Tingkat intensitas kebisingan rendah atau dibawah NAB banyak ditemukan
dilingkungan kerja seperti perkantoran serta ruang administrasi perusahaan.
Intensitas kebisingan yang masih dibawah NAB tersebut secara fisiologis
tidak menyebabkan kerusakan pendengaran.Namun demikian, kehadirannya
34
sering dapat menyebabkan penurunan performasi kerja, sebagai salah satu
penyebab stress kerja dan gangguan kesehatan lainnya. Stress kerjayang
disebabkan karena pemaparan kebisingan dapat menyebabkan terjadinya
kelelahan dini, kegelisahan dan depresi.
Kebisingan dapat menyebabkan dua jenis gangguan pada manusia (Pradana,
2013), yaitu :
a. Dampak auditorial. Dampak auditorial akibat kebisingan adalah
terjadinya gangguan pendengaran yang bersifat sementara yang dapat
disembuhkan hingga terjadi ketulian permanen.
b. Dampak nonauditorial. Selain dapat menimbulkan dampak negatif
terhadap sistem pendengaran, kebisingan juga dapat mengganggu :
1) Sistem keseimbangan
2) Cardiovascular. Tekanan darah menjadi naik, denyut jantung
meningkat, serta adrenalin meningkat.
3) Kualitas tidur. Tingkat gangguan tidur sangat bervariasi pada setiap
orang, misalnya sering terbangun tanpa sebab yang tidak jelas, tidak
tenang atau sering berpindah-pindah posisi tidur, perubahan pada
gerakan mata.
4) Kondisi kejiwaan pekerja (stress kerja). Kebisingan menyebabkan
berbagai gangguan pada tenaga kerja.
Seperti gangguan fisiologis, gangguan psikologis, gangguan
komunikasi dan ketulian (Pradana, 2013).
a. Gangguan fisiologis. Pada umumnya, kebisingan bernada tinggi
sangat mengganggu, apalagi bila kebisingan terputus-putus atau
35
datangnya tiba-tiba. Gangguan dapat berupa peningkatan tekanan
darah, peningkatan nadi, konstruksi pembuluh darah perifer terutama
pada tangan dan kaki, serta dapat menyebabkan pucat dan gangguan
sensoris.
b. Gangguan psikologis. Gangguan psikologis dapat berupa rasa tidak
nyaman, kurang konsentrasi, susah tidur, cepat marah. Bila kebisingan
diterima dalam waktu lama dapat menyebabkan penyakit
psikosomatik berupa gastritis, stress serta kelelahan.
c. Gangguan komunikasi. Gangguan komunikasi biasanya disebabkan
masking effect (bunyi yang menutupi pendengaran yang jelas) atau
gangguan kejelasan suara. Komunikasi pembicaraan harus dilakukan
dengan cara berteriak. Gangguan ini biasanya menyebabkan
tergangguanya pekerjaan, sampai pada kemungkinan terjadinya
kesalahan.
d. Gangguan keseimbangan. Kebisingan yang sangat tinggi, dapat
menyebabkan kesan berjalan di ruang angkasa atau melayang, yang
dapat menimbulkan gangguan fisiologis berupa kepala pusing atau
mual-mual.
e. Efek pada pendengaran. Efek pada pendengaran adalah gangguan
yang paling serius karena dapat menyebabkan ketulian.
Penyebab stress akibat kerja (Oktarini, 2010), yaitu :
a. Faktor intrinsik pekerjaan. Faktor tersebut meliputi keadaan fisik
lingkungan kerja yang tidak nyaman (bising, berdebu, bau, suhu panas
dan lembab), stasiun kerja yang tidak ergonomis, kerja shift, jam kerja
36
yang panjang, perjalanan ke dan dari tempat kerja yang semakin
macet, pekerjaan berisiko tinggi, dan berbahaya, pemakaian teknologi
baru, pembebanan berlebih, adaptasi pada jenis pekerjaan baru.
b. Faktor peran individu dalam organisasi kerja. Beban tugas yang
bersifat mental dan tanggung jawab dari suatu pekerjaan lebih
memberikan stress kerja yang tinggi dibandingkan dengan beban kerja
fisik.
c. Faktor hubungan kerja. Kecurigaan antara pekerja, kurangnya
komunikasi, ketidak nyamanan dalam melakukan pekerjaan.
d. Faktor pengembangan karier. Perasaan tidak aman dalam pekerjaan,
posisi dan pengembangan karier mempunyai dampak cukup penting
sebagai penyebab terjadinya stress kerja. Faktor pengembangan karier
yang dapat menjadi pemicu stress kerja adalah ketidak pastian
pekerjaan seperti adanya reorganisasi perusahaan dan mutasi kerja.
e. Faktor struktur organisasi dan suasana kerja. Disebabkan karena,
kurangnya pendekatan partisipatoris, konsultasi yang tidak efektif,
kurangnya komunikasi dan kebijaksanaan kantor serta seringkali
pemilihan dan penempatan karyawan pada posisi yang tidak tepat juga
dapat menyebabkan stress kerja.
f. Faktor diluar pekerjaan. Perselisihan antara anggota keluarga,
lingkungan tetangga dan komunitas juga merupakan faktor penyebab
timbulnya stress yang kemungkinan besar masih akan terbawa dalam
lingkungan kerja.
37
D. Kerangka Teori
(Sumber : Tarwaka 2004 dalam Oktarini, 2010)
E. Kerangka Konsep
Faktor Fisik Lingkungan Kerja :
Kebisingan yang berasal dari
mesin- mesin produksi. NAB
(kebisingan 8 jam/hari :
Kepmenker No. Kep.
51/MEN/1999 adalah 85 dB)
Stress Kerja
Faktor intrinsik pekerja
penyebab stress : Jam kerja
Faktor penunjang yang
mempengaruhi stress kerja :
1. Umur
2. Jenis kelamin
3. Pendidikan
Faktor penunjang yang
mempengaruhi stress kerja :
1. Umur
2. Jenis kelamin
3. Pendidikan
Faktor Fisik Lingkungan
Kerja :
Kebisingan (berasal dari
mesin- mesin produksi)
Stress Kerja
38