bab ii tinjauan pustaka a. 1. -...

27
18 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Pustaka 1. Sosiologi Agama Sosiologi Agama ialah studi ilmu yang mempelajari suatu ilmu budaya empiris, profan dan positif yang menuju kepada pengetahuan umum, yang jernih dan pasti dari struktur, fungsi-fungsi dan perubahan-perubahan kelompok keagamaan dan gejala-gejala kekelompokan keagamaan (Hendropuspito, 1990) 2. Pengertian Agama Menurut Berger, Agama adalah sebagai realitas sosial bahwa keberadaan langit dan isinya (termasuk Tuhan atau apapun sebutannya di dalamnya) adalah proyeksi manusiawi maka hal ini akan sangat merepotkan bagi suatu pemikiran dan penghayatan teologis dari para teolog bahkan kaum awam dalam memahami dan memberi makna bagi kehidupannya. Agama merupakan suatu konstruksi sosial timbul permasalahan mengenai kebenaran religius. Agama secara historis merupakan instrumentalitas legitimasi paling tersebar dan efektif. Semua legitimasi mempertahankan realitas yang didefinisikan secara sosial. Agama melegitimasikan sedemikian efektifnya karena agama menghubungkan konstruksi-konstruksi rawan dari masyarakat-masyarakat empiris dengan realitas purna (Berger, 1991 : 40) Agama pada umumnya memberikan pertanyaan-pertanyaan yang sulit dijawab dan di analisis menggunakan pengetahuan ilmiah. Pertanyaan tersebut antara lain : mengapa manusia hidup di dunia, apa saja tujuan hidup manusia, mengapa manusia hidup dan mati,dll. Agama terdiri atas seperangkat kepercayaan, simbol, dan doktrin.

Upload: trinhhuong

Post on 25-Aug-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Pustaka

1. Sosiologi Agama

Sosiologi Agama ialah studi ilmu yang mempelajari suatu ilmu budaya

empiris, profan dan positif yang menuju kepada pengetahuan umum, yang jernih

dan pasti dari struktur, fungsi-fungsi dan perubahan-perubahan kelompok

keagamaan dan gejala-gejala kekelompokan keagamaan (Hendropuspito, 1990)

2. Pengertian Agama

Menurut Berger, Agama adalah sebagai realitas sosial bahwa keberadaan

langit dan isinya (termasuk Tuhan atau apapun sebutannya di dalamnya) adalah

proyeksi manusiawi maka hal ini akan sangat merepotkan bagi suatu pemikiran dan

penghayatan teologis dari para teolog bahkan kaum awam dalam memahami dan

memberi makna bagi kehidupannya. Agama merupakan suatu konstruksi sosial

timbul permasalahan mengenai kebenaran religius. Agama secara historis

merupakan instrumentalitas legitimasi paling tersebar dan efektif. Semua legitimasi

mempertahankan realitas yang didefinisikan secara sosial. Agama melegitimasikan

sedemikian efektifnya karena agama menghubungkan konstruksi-konstruksi rawan

dari masyarakat-masyarakat empiris dengan realitas purna (Berger, 1991 : 40)

Agama pada umumnya memberikan pertanyaan-pertanyaan yang sulit

dijawab dan di analisis menggunakan pengetahuan ilmiah. Pertanyaan tersebut

antara lain : mengapa manusia hidup di dunia, apa saja tujuan hidup manusia,

mengapa manusia hidup dan mati,dll. Agama terdiri atas seperangkat kepercayaan,

simbol, dan doktrin.

19

Durkheim mengatakan, konsentrasi utama agama terletak pada dua

kategori:

1. Kategori yang sakral : memiliki pengaruh luas, menentukan

kesejahteraan dan kepentingan seluruh anggota masyarakat. Seperti

cadar akan menjadi sakral ketika dalam suatu komunitas dimaknai

sebagai identitas muslimah.

2. Kategori profan : tidak memiliki pengaruh yang begitu besar dan hanya

merupakan refleksi keseharian dari setiap individu. Cadar sebagai

penutup saja seperti perintah suami, atau cadar digunakan sebagai media

seperti masker.

Durkheim mengingatkan bahwa dikotomi tentang ”yang sakral” dan ”yang

profan” hendaknya tidak diartikan sebagai sebuah konsep pembagian moral, bahwa

yang sakral sebagai ”kebaikan” dan yang profan sebagai ”keburukan”. Menurut

Durkheim, kebaikan dan keburukan samasama ada dalam ”yang sakral” ataupun

”yang profan”. Hanya saja yang sakral tidak dapat berubah menjadi profan dan

begitupula sebaliknya yang profan tidak dapat menjadi yang sakral. Dari definisi

ini, konsentrasi utama agama terletak pada hal-hal yang sakral (Muzir, 2003).

Beberapa ilmuwan seperti Light, Killer, dan Calhoun (1989),

memusatkan perhatian pada unsur-unsur dasar suatu agama, yaitu sebagai berikut:

a. Kepercayaan

Setiap agama pasti memiliki kepecayaan seperti percaya kepada Tuhan,

nabi-nabi, dan kitab. Seperti halnya wanita bercadar memakai cadar karena adanya

kepercayaan bahwa cadar adalah perintah agama, baik itu diperkuat dengan adanya

20

hadits yang memperkuat hukum memakai cadar selain itu pemakaian cadar sudah

ada sejak jaman rasulullah.

b. Simbol

Setiap agama mengenal berbagai lambang atau simbol, baik itu berupa

pakaian, ucapan, tulisan maupun tindakan. Cadar disini adalah simbol keagamaan,

dimana pemakaian cadar digunakan sebagai identitas wanita muslimah.

c. Doktrin

Kata doktrin berasal dari bahasa Inggris doctrine yang berarti ajaran.

Ajaran yang dimaksud adalah sebuah teroritis yang bersifat tidak praktis. Karena ia

dalam teori yang dimaksudkan tidak berdasarkan ilmu keilmiahan

(Rudyanto,2016).

Wanita bercadar memperoleh ajaran berdasarkan syariat islam dari dari

orang tua berupa memakai pakai yang syar’i dan menutup aurat yang dilengkapi

dengan penggunaan cadar. Dimana, aturan agama Islam dari orangtua harus

diterima secara “mentah-mentah”oleh si anak, dan anak harus melakukannya.

sehingga penerapan aturan yang dilakukan oleh orangtua si anak lebih kepada

doktrin.

3. Konstruksi Sosial

Istilah konstruksi sosial atas realitas (sosial construction of reality)

didefinisikan sebagai proses sosial melalui tindakan dan interaksi dimana individu

menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama

secara subyektif (Berger, 1990 :1)

Konstruksi sosial merupakan suatu proses pemaknaan yang dilakukan oleh

setiap individu terhadap lingkungan dan aspek diluar dirinya yang terdiri dari proses

21

eksternalisasi, internalisasi dan obyektivasi. Eksternalisasi adalah penyesuaian diri

dengan dunia sosiokultural sebagai produk manusia, obyektivasi adalah interaksi

sosial dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses

institusionalisasi, dan internalisasi adalah individu mengidentifikasi diri ditengah

lembaga-lembaga sosial dimana individu tersebut menjadi anggotanya.

Pemikiran yang seperti ini juga nampak dalam bukunya bersama Thomas

Luckmann “The Social Construction of Reality: a Treatise in the Sociology of

Knowledge”, dengan mengatakan bahwa sesungguhnya “man constructs his own

nature, or more simply, that man produces himself”.( Berger, 1990 :49) Mengapa

manusia perlu melakukan proyeksi semacam ini? Ini bersumber dari kesadaran

manusia akan eksistensinya yang berhingga atau terbatas (the finitude of individual

existence) dan karenanya sebisa mungkin memaknai kehidupan bahkan

kematiannya. Maka agama dalam konteks ini berperan sebagai universum simbolik,

yaitu berfungsi “menempatkan segala sesuatu pada tempatnya yang benar,” dan

menolong setiap orang untuk “kembali pada realitas” hidup sehari-hari.

Hal ini dilakukan untuk menciptakan interpretasi kehidupan dan pikiran

manusia yang bermakna ke dalam kehidupan yang bisa dipahami oleh orang lain.

Konstruksi identitas disini mengacu pada Berger dan Luckmann, bahwa identitas

dengan sendirinya, merupakan satu unsur kunci dari kenyataan subjektif dan

sebagaimana sebuah kenyataan subjektif, berhubungan secara dialektis dengan

masyarakat. Identitas dibentuk oleh proses-proses sosial. Begitu memperoleh

wujudnya, ia dipelihara, dimodifikasi atau malahan dibentuk ulang oleh hubungan-

hubungan sosial. Proses-proses sosial yang terlibat dalam membentuk dan

mempertahankan identitas ditentukan oleh struktur sosial. Sebaliknya, identitas-

22

identitas yang dihasilkan oleh interaksi antara organisme, kesadaran individu, dan

struktur sosial bereaksi terhadap struktur sosial yang sudah diberikan,

memeliharanya, memodifikasinya, atau malahan membentuknya kembali.

4. Asal-Usul Cadar Wanita

Jika menelusuri asal-usul wanita memakai cadar, tentunya agak kesulitan

mendapatkan beberapa referensi valid yang mengungkap masa atau masyarakat

pertama kali yang memakai cadar. Namun penulis berusaha untuk memberi

pandangan dan mengarahkan kebeberapa tempat dan masa munculnya cadar di

kalangan wanita.

Cadar adalah pakaian yang digunakan untuk menutupi wajah, minimal

untuk menutupi hidung dan mulut. Umat Islam di luar daerah Arab mengenal cadar

(niqab) dari salah satu penafsiran ayat al-Qur’an di surat An-Nur dan surat Al-

Ahzab yang diuraikan oleh sebagian sahabat Nabi, sehingga pembahasan cadar

wanita dalam Islam masuk dalam salah satu pembahasan disiplin ilmu Islam,

termasuk fikih dan sosial.

Akhir-akhir ini fenomena cadar semakin sering dibicarakan di berbagai

pertemuan, media dan masyarakat, khususnya di daerah Arab. Asal-usul cadar

semakin ditujukan ke bangsa Arab sebagai budaya mereka sehingga Umat Islam

menganggap cadar berasal dari budaya masyarakat Arab.

Orang-orang Arab meniru orang Persia yang mengikuti agama Zardasyt dan

yang menilai wanita sebagai makhluk tidak suci, karena itu mereka diharuskan

menutup mulut dan hidungnya dengan sesuatu agar nafas mereka tidak mengotori

api suci yang merupakan sesembahan agama Persia lama. Orang-orang Arab

meniru juga masyarakat Byzantium (Romawi) yang memingit wanita di dalam

23

rumah, ini bersumber dari masyarakat Yunani kuno yang ketika itu membagi

rumah-rumah mereka menjadi dua bagian, masing-masing berdiri sendiri, satu

untuk pria dan satu lainnya untuk wanita. Di dalam masyarakat Arab, tradisi ini

menjadi sangat kukuh pada saat pemerintahan Dinasti Umawiyah, tepatnya pada

masa pemerintahan al-Walid II (125 H/747 M), di mana penguasa ini menetapkan

adanya bagian khusus buat wanita di rumah-rumah (Hasan, 2000).

Sementara pada masa Jahiliyah dan awal masa Islam, banyak laki-laki yang

bernafsu tinggi dengan wanita. sehingga untuk menjaga diri dari pandangan laki-

laki hidung belang, banyak perempuan menggunakan penutup wajah dan hanya

matanya saja yang terlihat, memakai kerudung besar dan memakai pakaian

cenderung berwarna gelap yang besar dan lebar.

5. Sisi Positif Dan Negatif Wanita Bercadar

Tubuh wanita adalah aurat jadi wanita yang menyatakan dirinya sebagai

seorang muslimah mau tidak mau harus bertakwa dan menjalankan ajaran

agamanya dengan baik dan benar yang salah satunya adalah dengan memakai

kerudung apabila hendak pergi keluar rumah sehingga mereka mudah dikenali dan

dianggap wanita baik-baik sehingga dapat mencegah godaan dari para pria hidung

belang. Adapun sisi positif dan negatif dari penggunaan cadar antara lain :

Kewajiban atas dasar bercadar mereka peroleh dari dalil-dalil atau nash-

nash. Dimana Mereka mengutip pendapat para mufassirin terhadap ayat ini bahwa

Allah mewajibkan para wanita untuk menjulurkan jilbabnya keseluruh tubuh

mereka termasuk kepala, muka dan semuanya, kecuali satu mata untuk melihat.

Menurut mereka yang dimaksud perhiasan yang tidak boleh ditampakkan adalah

24

wajah, karena wajah adalah pusat dari kecantikan. Adapun yang dimaksud dengan

yang biasa nampak darinya adalah bukan wajah akan tetapi baju. (Adawiyati, 2015)

Sisi positif Penggunaan Cadar Bagi Muslimah Bercadar diantaranya:

1. Menaati Perintah Agama

2. Terhindari dari godaan untuk centil dan tidak sopan

3. Laki laki akan merasa segan mengganggu/mengoda

4. Menutupi Aurat

5. Terhindar dari fitnah

Cadar tidak hanya menjaga kehormatan wanita tapi juga sekaligus

merendahkan martabat mereka. Kebanyakan wanita muslimah yang mengenakan

cadar khususnya di arab saudi adalah dalam keadaan terpaksa. Karena mereka

disana mengira memakai cadar adalah kewajiban dari syari'at islam dan telah secara

terang-terangan menyatakan berdosa/haram bagi mereka muslimah yang hanya

berkerudung dengan menampakkan wajah pada saat bepergian.

Apabila mereka yang mewajibkan cadar berkeyakinan tubuh wanita

keseluruhannya adalah aurat yang menghasilkan syahwat bagi lelaki yang

memandangnya, itu artinya sama saja dengan mereka berkeyakinan bahwasannya

wanita diciptakan hanyalah sebagai alat pemuas nafsu belaka. Lalu apa bedanya

mereka dengan perilaku orang-orang pada jaman jahiliyah dahulu kala yang sangat

merendahkan wanita. (Akbar. 2010)

Pemakaian cadar terhadap muslimah pun mempunyai sisi negatif yang

diantaranya sebagai berikut:

25

a. Pemakaian dengan cadar yaitu menutupi seluruh tubuh muslimah tanpa

terkecuali dapat mengakibatkan susah dikenali. Sebagai contoh, apabila

para muslimah ke sekolah diwajibkan memakai seragam dan bercadar,

pastinya mereka akan sangat kesulitan untuk mengenali teman sesama

muslimahnya.

b. Pemakaian dengan cadar yaitu menutupi seluruh tubuh muslimah hanya

terlihat matanya saja dapat membuat seseorang susah dalam berkomunikasi

dengan masyarakat selain itu, mengakibatkan susahnya mendapatkan jodoh.

Terkadang jarang ada yang mau dengan wanita muslimah yang mana

wajahnya saja tidak diketahui apakah itu cantik atau tidaknya, selera/cocok

atau tidaknya. Sekalipun muslimah yang memakai burqo mendapatkan

jodoh, bisa jadi mereka dijodohkan oleh kedua orang tuanya.

c. Menutup wajah dengan kain cadar yang mana dapat menghalangi hidung

untuk menghirup oksigen yang cukup dapat mengakibatkan kinerja kerja

otak tidak berjalan secara efektif dan maksimal. Sehingga merekapun yang

memakainya akan menjadi telat dalam berfikiran kritis, kurang maksimal

dalam menangkap pelajaran, dsb.

d. Apalagi tata cara bercadar yang benar adalah hanya dengan memperlihatkah

satu bola mata yang sebelah kirinya saja. Hal tersebut dapat mempengaruhi

kesehatan pada mata. Karena mengenakan cadar dengan hanya

memperlihatkan salah satu bola matanya dan menyembunyikan bola mata

lainnya, hal ini akan mengakibatkan penyakit pada mata yang

disembunyikan terlalu lama yang akan menyebabkan mata menjadi sakit

dan minus.

26

e. Menutup wajah dengan kain cadar, apabila mempunyai suatu penyakit

misalnya saja influenza/batuk, akan sukar sekali sembuhnya. Karena kain

yang dipakai untuk menutupi wajah pada muslimah menjadikannya sebagai

wabah penyakit, karena mengandung baksil yang akan dihirupnya berulang

kali.

6. Macam-Macam Model Cadar

Para ulama tidak ada yang mengatakan haram akan cadar. Namun ada

tingkatan tingkatannya yang mengatakan itu sunnah dan ada juga yang mengatakan

termasuk wajib dikarenakan wajah termasuk salah satu fitnah bagi kaum lelaki.

Untukmu wahai muslimah yang sudah istiqamah menggunakan cadar, yakinlah

akan pahala yang Allah berikan bagi orang-orang yang bertakwa, menundukkan

pandangannya, dan menjaga dirinya dari pintu fitnah, dan membentengi dirinya dari

godaan syetan akan hawa nafsu. Cadar adalah salah satu kain yang berfungsi

menutup wajah dan yg terlihat hanyalah mata. Cadar juga kainnya agak panjang

sampai dada, berbagai jenis model cadar pun kini hadir dan bisa di lihat di koleksi

produk jubah akhwat. Berikut beberapa contoh Cadar atau biasa juga di sebut jenis-

jenis niqab:

1. Model Cadar Mesir

Gambar 2.1 cadar saudi

27

Salah satu bentuk cadar mesir yaitu menggunakan purdah dan salah satu

niqab yang kainnya halus. Purdahnya terdiri dari dua lapis yang berada di bagian

belakang kepala. Panjang purdahnya sekitar 75cm atau sepinggang. Adapun

panjang cadarnya itu sekitar 50cm. Untuk di bagian wajah ,cadar ini terlihat rapi

saat di pakai, karena bentuk di bagian mata tidak terganggu atau terhalangi dengan

kain cadarnya. Cadar mesir ini sangat simpel di pakai , memiliki tali bagian dalam

cadar. Tali ini yang akan di ikat ke jilbab agar cadarnya bisa terpakai.

2. Model Cadar Poni

Cadar ini terbilang unik. Karena bentuknya memiliki kain berbentuk poni

untuk menutup jidad . Sehingga terlihat rapi,dan mata nyaman ketika memandang.

Cadar poni ini juga memiliki purdah dua lapis.

Gambar 2.2 cadar poni

3. Model Cadar Bandana

Cadar bandana merupakan salah satu jenis cadar yang sangat diminati oleh

kaum muslimah terutama akhwat yang masih muda. Cadar bandaan banayak

28

diminati karena model nya yang cantik dan gampang digunakan, dan tidak menekan

hidung saat di ikat kuat. Selain karena gampang digunakan cadar bandana juga

tahan terhadap tiupan angin yang kencang dan tidak bisa terbuka karena juga

memiliki tali pengikat yang lebar. Cadar bandana cocoknya di padukan dengan

jilbab non pet.

Gambar 2.3 cadar bandana

4. Model Cadar Ritz

Jilbab ini menyatu dengan cadar. Hanya mengunakan bukaan resleting pada

bagian samping cadar menjadikan jilbab cadar rit ini mudah dan praktis digunakan.

Jilbabnya juga panjang dan lebar sampai selutut, sehingga aman dipakai keluar

rumah.

29

Gambar 2.4 cadar model ritz

5. Model Cadar Safar

Jilbab ini dilengkapi dengan purdah pada bagian belakang terdiri dari dua

lapis dengan panjang purdah 75cm berbahan sifon silky. Jilbab cadar safar hampir

sama dengan jilbab cadar rit hanya yang membedakan pada bagian purdah saja.

30

Gambar 2.5 cadar model safar

6. Cadar Tali

Cadar yang bagian belakangnya di ikat dengan tali. Biasanya

dikombinasikan menggunakan kerudung yang ada petnya atau kerudung segiempat.

Banyak muslimah bercadar yang memilih cadar model ini karena cenderung simpel

pemakaiannya. Selain itu banyak juga yang menjual cadar dengan model tali karena

bisa dikombinasikan dengan hijab model apapun.

Gambar 2.6 cadar model tali

7. Model Cadar Temboro

31

Cadar ini berbeda pemakaiannya dengan cadar pada umunya, cadar ini

modelnya seperti masker dimana pengguna memasukkan cadar di dalam jilbab.

Gambar 2.7 cadar model temboro

8. Model Cadar Butterfly

Model cadar ini dinamakan butterfly karena modelnya yang rumbai seperti

model kupu-kupu. Banyak para jilbabers yang memakai model cadar ini.

Gambar 2.8 cadar butterfly

32

7. Pandangan Organisasi Masyarakat

Banyak Organisasi Masyarakat yang mengampanyekan pemakaian cadar

untuk pengikutnya, ada yang berpendapat bahwa betapa Islam menjaga wanita

dengan menutupi seluruh tubuh mereka. Sebagian ulama mengatakan cadar

tidaklah wajib, karena itu hanyalah hasil konstruksi dari budaya arab

(Mahmada,2017) Dari kontroversi tersebut saya mencoba mengumpulkan beberapa

fatwa yang diberikan ulama mengenai hukum cadar, antara lain :

1. M. Quraish Shihab berpendapat Dalam bukunnya yang berjudul jilbab, ia

memandang bahwa perintah jilbab itu boleh dan bukan suatu keharusan, serta lebih

merupakan budaya lokal Arab daripada kewajiban agama.

2. Menurut ulama Syekh Nasruddin al-Banni, “ siapa yang tidak memakai cadar

adalah tidak berdosa. Bahkan, beliau pun tak berani mengatakan bahwa cadar

adalah wajib. "Cadar tidaklah wajib bagi wanita, walaupun wanita itu memiliki

wajah yang cantik, tetapi hukumnya adalah disukai (sunnah)” ujar al-Banni dalam

kumpulan fatwanya.

3. Menurut Ibnu Qaasim Al Abadi dalam kitabnya Fathul Qaarib salah satu ulama

nahdlatul ulama yang menganut madzhab syafi’i berpendapat bahwa “Wajib bagi

wanita menutup seluruh tubuh selain wajah dan telapak tangan, walaupun

penutupnya tipis. Dan wajib pula menutup wajah dan telapak tangan, bukan karena

keduanya adalah aurat, namun karena secara umum keduanya cenderung

menimbulkan fitnah.” (dalam Mukhtamar NU yang ke VIII pada 12 Muharram

1352 H / 7 Mei 1933).

4. Ibnu Juwaiz Mandad dalam Tafsir Al Qurthubi berkata: “Jika seorang wanita itu

cantik dan khawatir wajahnya dan telapak tangannya menimbulkan fitnah,

33

hendaknya ia menutup wajahnya. Jika ia wanita tua atau wajahnya jelek, boleh

baginya menampakkan wajahnya”(yulian, 2017).

Cadar sudah menjadi kontroversi terutama mengenai hukumnya, ada

sebagian golongan yang mengatakan bahwa pemakaian cadar adalah wajib, ada

yang mengatakan sunnah atau bahkan ada juga golongan yang mengatakan tidak

wajib. Adapun golongan tersebut adalah golongan fundamentalis, garis tengah dan

golongan feminisme/radikal. Berikut dijelaskan pandangan organisasi masyarakat

secara detail dalam tabel, yakni :

No Golongan Golongan pertama

(fundamentalis)

Golongan ketiga

(garis tengah)

Golongan kedua

(feminisme/liberal)

1 Hukum Memaksa (wajib) Fleksibel (sunah) Tidak wajib

2 Ulama Muhammad bin Qaasim

al-Ghazzi, Ibnu Qaasim

Al Abadi

Syech nasruddin

albanni, zakir naik

Quraish shihab

3 Sumber Al-qur’an dan hadits Al-qur’an, hadits,

ijma’,qiyas

Al-qur’an dan hadits

4 Regulasi Nilai fundamental islam Nilai NKRI (Islam

Nusantara)

Hak Asasi Manusia

(HAM)

34

5 Pandangan

ulama

Cadar secara substansial

berfungsi untuk

menutupi organ tubuh

yang dipandang tidak

boleh untuk

diperlihatkan kepada

orang lain yang bukan

mahramnya.

cadar merupakan

bentuk perintah

Allah dalam

prakteknya ketika

cadar masuk di

indonesia

penggunaan cadar

masih perlu

beradaptasi dan

toleransi serta lues

dalam

pemakaiannya.

Cadar hanyalah

budaya lokal Arab

Tabel 1 : pandangan organisasi masyarakat

B. Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian terdahulu berkaitan dengan penelitian ini adalah

sebagai berikut:

No Judul penelitian Hasil Relevansi

1. Muhammad

Junaedi (2013),

Konstruksi

Sosial

Masyarakat

Terhadap

Dalam penelitian ini,

tersingkap bahwa

konstruksi sosial

masyarakat terhadap

realitas perbedaan

faham keagamaan

Hasil penelitian ini

memiliki relevansi

dengan penelitin yang

akan dilakukan oleh

peneliti. Muhammad

junaedi dalam thesisnya

35

Realitas

Perbedaan

Faham

Keagamaan

antara komunitas

sunni dan syiah

memiliki sudut

pandang pemahaman

yang berbeda, tatkala

syiah menjadi

ancaman eksistensi

ajaran mainstream

islam NU (Nahdatul

Ulama) yang

kebenarannya di akui

bersama sebagai

common values

mayoritas masyarakat

madura, tradisi dan

ritual keagamaan

yang yang terpolakan.

Adanya pergeseran

otoritas keagamaan

dari elit agama islam

NU dan adanya

stereotip pemahaman

ajaran syiah yang

mengangkat tentang

konstruksi sosial

masyarakat terhadap

realitas perbedaan

faham keagamaan yang

mana sama-sama

menggunakan teori

konstruksi sosial oleh

Peter L. Berger dan

Thomas Luckman.

36

fatwanya adalah

sesat.

2 Suci Lestari

(2009),

komunikasi

antarbudaya

dikalangan

perempuan

bercadar studi

pada mahasiswi

bercadar di

universitas

muhammadiyah

malang

Perempuan bercadar

menggunakan pesan-

pesan non-verbal

dalam proses

komunikasinya. Hal

ini paling tampak

terdapat pada model

dan warna busana

muslimah yang

mereka kenakan,

pakaian yang

berwarna gelap,

menutup seluruh

anggota tubuh dan

serba lebar dianggap

sebagai upaya

melindungi diri atau

tameng sebagai obyek

pandangannya.

Perempuan bercadar

melakukan segala

aktivitas diajarkan

Penelitian tentang cadar

ini relevan dengan

obyek yang akan di

teliti oleh peneliti,

bedanya kalau

penelitian terdahulu ini

fokus pada komunikasi

dan interaksi yang di

lakukan oleh informan

bercadar sedangkan

yang akan diteliti oleh

peneliti adalah

konstruksi yang

dilakukan oleh

informan bercadar

37

sesuai dengan prinsip

salaf. Cadar tidak

diwajibkan dalam

islam, cadar adalah

budaya yang di adopsi

dari timur tengah.

3 Aryvia Winda

Charulina

Arianto (2012),

Pengambilan

Keputusan

Mahasiswi

Menggunakan

Cadar

Hasil analisis data

menemukan bahwa

mahasiswi bercadar

memutuskan untuk

menggunakan cadar

adalah karena

ceramah dari ustad

(guru agama),

membaca al-qur’an,

pengaruh lingkungan,

dukungan

suami(keluarga),

mahasiswi yang

menggunakan cadar

menunjukkan bahwa

dirinya sebagai

muslimah yang lebih

mulia, mampu

Hasil penelitian ini

memiliki relevansi

dengan penelitin yang

akan dilakukan oleh

peneliti. Aryvia Winda

Charulina Arianto

dalam skripsinya

memiliki kesamaan

menggunakan metode

penelitian kualitatif.

38

menjaga diri dan

merepresentasikan

dirinya sebagai

pencari ridho Allah.

Mereka

menggunakan cadar

karena berkeinginan

mengikuti kebiasaan

para istri dan anak

nabi serta istri sahabat

nabi.

4 Riska lindasari

(2011),

konstruksi

anggota

parlemen atas

partisipasi

perempuan

dalam partai

politik

Konstruksi sosial

memiliki arti yang

luas dalam ilmu

sosial, hal ini

biasanya

dihubungkan dengan

pengaruh sosial

dalam pengalaman

hidup individu.

Asumsi dasarnya

pada realitas adalah

konstruksi sosial dari

berger dan luckman.

Hasil penelitian ini

memiliki relevansi

dengan penelitin yang

akan dilakukan oleh

peneliti. Riska lindasari

(2011) dalam thesisnya

menggunakan teori

konstruksi sosial untuk

mengkaji fenomena

berdasarkan kenyataan

yang ada.

39

Dalam penelitian ini,

tersingkap bahwa

realitas sosial yang

menggambarkan

kecenderungan

minimnya

keterwakilan

perempuan dalam

legislatif yang

dipengaruhi beberapa

faktor salah satu

faktor yang disinyalir

amat kuat

pengaruhnya adalah

budaya politik.

Tabel 2 : Penelitian terdahulu

C. Landasan Teori

1. Teori Konstruksi Sosial Peter L. Berger

Teori Konstruksi Sosial (Social Construction) Berger dan Lukmann

merupakan teori sosiologi kontemporer yang berpijak pada sosiologi pengetahuan.

Pengetahuan adalah kepastian bahwa fenomen-fenomen itu nyata (real) dan

memiliki karakteristik yang spesifik. Oleh karena konstruksi sosial merupakan

sosiologi pengetahuan maka implikasinya harus menekuni pengetahuan yang ada

dalam masyarakat dan sekaligus proses-proses yang membuat setiap perangkat

40

pengetahuan yang ditetapkan sebagai kenyataan. Sosiologi pengetahuan, yang

dikembangkan Berger dan Luckmann, mendasarkan pengetahuannya dalam dunia

kehidupan sehari-hari masyarakat sebagai kenyataan. Berger dan Luckmann

menyatakan dunia kehidupan sehari-hari menampilkan diri sebagai kenyataan yang

ditafsirkan oleh manusia. Maka itu, apa yang menurut manusia nyata ditemukan

dalam dunia kehidupan sehari-hari merupakan suatu kenyataan seperti yang

dialaminya.

Teori konstruksi sosial sebagaimana yang digagas oleh Berger dan

Luckman menegaskan, bahwa agama sebagai bagian dari kebudayaan merupakan

konstruksi manusia. Ini artinya, bahwa terdapat proses dialektika antara masyarakat

dengan agama. Agama yang merupakan entitas objektif (karena berada di luar diri

manusia) akan mengalami proses objektivasi sebagaimana juga ketika agama

berada dalam teks dan norma. Teks atau norma tersebut kemudian mengalami

proses internalisasi ke dalam diri individu karena telah diinterpretasi oleh manusia

untuk menjadi guidance atau way of life. Agama juga mengalami proses

eksternalisasi karena agama menjadi sesuatu yang shared di masyarakat (Berger,

1990:32-35).

Sosiologi pengetahuan dalam pemikiran Berger dan Luckman, memahami

dunia kehidupan (life world) selalu dalam proses dialektik antara the self (individu)

dan dunia sosio kultural. Melalui teori Berger ini akan diperoleh deskripsi,

pemahaman dan pandangan elit agama tentang cadar. Di antara persoalan yang

digali dan dipaparkan dalam penelitian ini adalah mengenai: cara wanita bercadar

dalam menkonstruk dirinya di masyarakat, mengetahui makna cadar, tanggapan

41

ulama tentang hukum cadar, persebaran organisasi masyarakat dalam penyebaran

agama dan bagaimana cadar bisa masuk dalam lingkungan sosio-kultural.

Menurut Berger dan Luckmann, realitas sosial tidak berdiri sendiri

melainkan dengan kehadiran individu, baik di dalam maupun di luar realitas

tersebut. Realitas sosial tersebut memiliki makna ketika realitas sosial tersebut

dikonstruksi dan dimaknakan secara subjektif oleh individu lain sehingga

memantapkan realitas itu secara objektif. Individu mengkonstruksi realitas sosial

dan merekonstruksinya dalam dunia realitas, memantapkan realitas itu berdasarkan

subjektifitas individu lain dalam institusi sosialnya. Melalui sentuhan Hegel yakni

tesis-antitesissintesis, Berger menemukan konsep untuk menghubungkan antara

yang subjektif dan objektif melalui konsep dialektika, yang dikenal dengan

eksternalisasi-objektivasi-internalisasi (Poloma, 2007 : 23). Proses dialektik itu

mencakup tiga momen simultan, yaitu eksternalisasi (penyesuaian diri dengan

dunia sosio kultural sebagai produk manusia), objektivasi (interaksi dengan dunia

intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami institusionalisasi), dan

internalisasi (individu mengidentifikasi dengan lembaga-lembaga sosial atau

organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya).

Selanjutnya akan lebih detail dijelaskan pada peta konsep konstruksi sosial

berikut ini :

42

PIRAMIDA KONSTRUKSI SOSIAL

Gambar 2.1 piramida konstruksi sosial

Teori Peter L. Berger yang menjelaskan mengenai makna realitas dan

pengetahuan secara umum dapat diringkas dalam tahapan sebagai berikut:

1. Internalisasi, yaitu individu mengidentifikasikan diri dengan dunia sosio-

kulturalnya “man is a social product”.

2. Eksternalisasi, yaitu penyesuaian diri dengan dunia sosiokultural sebagai produk

dunia manusia – “society is a human product”.

3. Objektivasi, yaitu interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan

atau mengalami proses institusionalisasi – “society is an objective reality”.

Titik awal dari tiga proses dialektika simultan adalah internalisasi, yaitu

pemahaman atau penafsiran langsung dari suatu peristiwa obyektif sebagai

pengungkapan suatu makna; sebagai manifestasi dari proses-proses subyektif.

Internalisasi merupakan dasar bagi individu untuk memahami orang lain dan

memahami makna atas kenyataan sosial. Internalisasi berlangsung melalui proses

identifikasi untuk memperoleh identitas secara subyektif. Sementara itu, identitas

Eksternalisasi

-adaptasi-

Objektifasi

Interaksi sosial

Internalisasi

-identifikasi diri-

43

obyektif didefinisikan sebagai lokasi (tempat keberadaan) dan diperoleh melalui

sosialisasi.

Proses selanjutnya adalah eksternalisasi, yaitu pencurahan kedirian manusia

terhadap suatu kenyataan yang dibentuk. Asal mula struktur objektif harus dilihat

berdasarkan eksternalisasi manusia atau interaksi manusia di dalam struktur yang

ada. Proses eksternalisasi memperluas institusionalisasi aturan sosial, sehingga

struktur objetif merupakan proses yang berkelanjutan. Secara sederhana,

eksternalisasi dipengaruhi oleh stock of knowledge (cadangan pengetahuan) yang

dimiliki tiap individu. Cadangan sosial pengetahuan adalah akumulasi dari common

sense knowledge (pengetahuan akal sehat). Pengertian lebih lanjut mengenai

common sense knowledge adalah pengetahuan yang dimiliki individu bersama

individu-individu lainnya dalam kegiatan rutin yang normal dan sudah jelas dengan

sendirinya dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Berger, manusia adalah pencipta

kenyataan sosial yang objektif melalui proses eksternalisasi, sebagaimana

kenyataan objektif mempengaruhi kembali manusia melalui proses internalisasi –

yang mencerminkan kenyataan subjektif.

Realitas sosial adalah hasil dari tiga proses dialektika simultan manusia

mengenai pengetahuan dalam kehidupan sehari-sehari. Realitas obyektif yang

ditampilkan di dalam kehidupan sehari-hari sifatnya memaksa dan memiliki

makna-makna subyektif yang ditafsirkan oleh individu. Kehidupan sehari-hari

merupakan suatu dunia yang berasal dari pikiran-pikiran dan tindakantindakan

individu, dan dipelihara sebagai “yang nyata” oleh pikiran dan tindakan itu. Dasar-

dasar pengetahuan tersebut diperoleh melalui obyektivasi dari proses-proses – dan

makna-makna – subyektif yang membentuk dunia akal sehat intersubyektif.

44

Kehidupan sehari-hari juga memuat signifikasi atau pembuatan tanda-tanda oleh

manusia. Hal tersebut merupakan obyektivasi yang khas; telah memiliki makna

intersubyektif walaupun terkadang tidak ada batas yang jelas antara signifikasi dan

obyektivasi.