bab ii tinjauan pustaka a. 1. - repository.unimus.ac.idrepository.unimus.ac.id/2045/4/bab ii.pdf ·...
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Dasar Lansia
1. Pengertian Lansia
Manusia lanjut usia (manula) merupakan populasi penduduk yang
berumur tua dengan kelompok usia 60 tahun atau lebih (Bustan, 2007).
Menurut (Fatmah, 2010) lansia merupakan proses alamiah yang terjadi
secara berkesinambungan pada manusia dimana ketika menua
seseorang akan mengalami beberapa perubahan yang pada akhirnya
akan mempengaruhi keadaan fungsi dan kemampuan seluruh tubuh.
Istilah manusia usia lanjut belum ada yang mematenkan sebab setiap
orang memiliki penyebutannya masing-masing seperti manusia lanjut
usia (manula), manusia usia lanjut (lansia), usia lanjut (usila), serta ada
yang menyebut golongan lanjut umur (glamur) (Maryam, 2008: 32).
2. Proses Menua (Ageing Process)
Proses menua merupakan proses fisiologis tubuh pada setiap
manusia (Darmojo, 2004: 635). Proses menua ini ditandai dengan
proses menghilangnya kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri
atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tubuh
tidak mampu mempertahankan dirinya terhadap infeksi serta tubuh
tidak mampu memperbaiki kerusakan yang diderita (Azizah, 2011).
Penuaan akan mengakibatkan penurunan kondisi anatomis dan sel
akibat menumpuknya metabolit dalam sel. Metabolit bersifat racun
terhadap sel sehingga bentuk dan komposisi pembangun sel akan
mengalami perubahan. (Azizah, 2011: 7-8). Seiring dengan
meningkatnya usia, sistem kerja pada jantung dan pembuluh darah pun
akan mengalami perubahan dari segi struktur dan fungsinya. Perubahan
pada lansia khususnya sistem kerja pada jantung meliputi perubahan
pada ventrikel kiri dan katup jantung yang mengalami penebalan dan
15
http://repository.unimus.ac.id
16
membentuk tonjolan, jumlah sel pacemaker mengalami penurunan yang
mana implikasi klinisnya akan menimbulkan disritmia pada lansia,
kemudian terdapat arteri dan vena yang menjadi kaku ketika dalam
kondisi dilatasi sehigga katup jantung tidak kompeten yang akibatnya
akan menimbulkan implikasi klinis berupa edema pada ekstremitas
(Stanley & Beare, 2006: 179).
Lansia dapat mengalami perubahan struktur pada jantung. Ketebalan
dinding ventrikel cenderung meningkat akibat adanya peningkatan
densitas kolagen dan hilangnya fungsi serat elastis. Sehingga dapat
berdampak pada kurangnya kemampuan jantung untuk berdistensi.
Pada permukaan di dalam jantung seperti pada katup mitral dan katup
aorta akan mengalami penebalan dan penonjolan di sepanjang garis
katup. Obstruksi parsial terhadap aliran darah selama denyut sistole
dapat terjadi ketika pangkal aorta mengalami kekakuan sehingga akan
menghalangi pembukaan katup secara sempurna (Stanley & Beare,
2006: 179).
Perubahan struktural dapat mempengaruhi konduksi sistem jantung
melalui peningkatan jumlah jaringan fibrosa dan jaringan ikat. Dengan
bertambahnya usia, sistem aorta dan arteri perifer menjadi kaku.
Kekakuan ini terjadi akibat meningkatnya serat kolagen dan hilangnya
serat elastis dalam lapisan medial arteri. Proses perubahan akibat
penuaan ini akan menyebabkan terjadinya ateriosklerosis yaitu
terjadinya peningkatan kekakuan dan ketebalan pada katup jantung
(Stanley & Beare, 2006: 180).
Proses penuaan ini mampu menjadikan lansia mengalami perubahan
fungsional dari sudut pandang sistem kardiovaskuler. Dimana
perubahan utama yang terjadi adalah menurunnya kemampuan untuk
meningkatkan keluaran sebagai respon terhadap peningkatan kebutuhan
tubuh. Seiring bertambahnya usia denyut dan curah jantung pun
mengalami penurunan, hal itu terjadi karena miokardium pada jantung
mengalami penebalan dan sulit untuk diregangkan. Katup-katup yang
http://repository.unimus.ac.id
17
sulit diregangkan inilah yang dapat menimbulkan peningkatan waktu
pengisian dan peningkatan tekanan diastolik yang diperlukan untuk
mempertahankan preload yang adekuat (Stanley & Beare, 2006: 180).
3. Teori Menua
Teori-Teori Menua Berdasarkan (Fatmah, 2010: 8-10), (Aspiani,
2014: 34), dan (Eliopoulus, 2010: 14-20):
a. Teori Penuaan ditinjau dari sudut biologis
Teori ini menjelaskan bahwa perubahan sel dalam tubuh lansia
dikaitkan pada proses penuaan tubuh lansia dari sudut pandang
biologis.
1) Teori Genetik
a) Teori genetik dan mutasi (somatic mutative theory)
Teori ini menerangkan bahwa di dalam tubuh setiap manusia
terdapat jam biologis yang dapat mengatur gen dan dapat
menentukan proses penuaan. Pada setiap spesies manusia
memiliki inti sel yang berisi jam biologis atau jam genetik
tersendiri. Dimana pada setiap spesies memiliki batas usia
yang berbeda-beda yang dipengaruhi oleh replikasi dari
setiap sel dalam tubuh manusia. Apabila replikasi sel tersebut
berhenti maka hal tersebut dapat dikatakan sebagai kematian.
b) Teori mutasi somatik (error catastrope)
Penjelasan dari teori ini adalah menua diakibatkan oleh
kerusakan, penurunan fungsi sel dan percepatan kematian sel
yang disebabkan oleh kesalahan urutan susunan asam amino.
Kerusakan selama masa transkripsi dan translasi dapat
mempengaruhi sifat enzim dalam melakukan sintesis protein.
Kerusakan ini pula menjadi penyebab timbulnya metabolit
yang berbahaya sehingga dapat mengurangi penurunan fungsi
sel.
http://repository.unimus.ac.id
18
2) Teori Non-genetik
a) Teori penurunan sistem imun (Auto-Immune Theory)
Teori ini mengemukakan bahwa penuaan terjadi akibat
adanya penurunan fungsi dan struktur dari sistem kekebalan
tubuh pada manusia. Seiring bertambahnya usia, hormon
yang dikeluarkan oleh kelenjar timus sebagai pengontrol
sistem kekebalan tubuh pada manusia mengalami penurunan
maka terjadilah proses penuaan. Dan pada saat yang
bersamaan pula terjadi kelainan autoimun.
b) Teori Radikal Bebas (Free Radical Theory)
Teori ini menyebutkan bahwa radikal bebas terbentuk di alam
bebas dan di dalam tubuh manusia akibat adanya proses
metabolisme di dalam mitokondria. Radikal bebas merupakan
sebuah molekul yang tidak berpasangan sehingga dapat
mengikat molekul lain yang akan menjadi penyebab
kerusakan fungsi sel dan perubahan dalam tubuh. Ketika
radikal bebas terbentuk dengan tidak stabil, akan terjadi
oksidasi terhadap oksigen dan bahan-bahan organik seperti
karbohidrat dan protein sehingga sel-sel dalam tubuh sulit
untuk beregenerasi. Radikal bebas banyak terdapat pada zat
pengawet makanan, asap rokok, asap kendaraan bermotor,
radiasi, serta sinar ultra violet yang menjadi penyebab
penurunan kolagen pada lansia dan perubahan pigmen pada
proses menua.
c) Teori Rantai Silang (Cross Link Theory)
Teori rantai silang menerangkan bahwa proses penuaan
diakibatkan oleh lemak, protein, asam nukleat (molekul
kolagen) dan karbohidrat yang bereaksi dengan zat kimia
maupun radiasi yang dapat mengubah fungsi jaringan dalam
tubuh. Perubahan tersebut akan menjadi penyebab perubahan
pada membran plasma yang mengakibatkan terjadinya
http://repository.unimus.ac.id
19
jaringan yang kaku dan kurang elastis serta hilagnya fungsi.
Proses hilangnya elastisitas ini seringkali dihubungkan
dengan adanya perubahan kimia pada komponen protein di
dalam jaringan.
Terdapat beberapa contoh perubahan seperti banyaknya
kolagen pada kartilago dan elastin pada kulit yang kehilangan
fleksibilitasnya serta menjadi tebal seiring bertambahnya
usia. Contoh ini dapat dikaitkan dengan perubahan pada
pembuluh darah yang cenderung menyempit dan cenderung
kehilangan elastisitasnya sehingga pemompaan darah dari
jantung menuju keseluruh tubuh menjadi berkurang dan pada
permukaan kulit yang kehilangnya elastisitasya dan
cenderung berkerut, juga terjadinya penurunan mobilitas dan
kecepatan pada sistem muskuloskeletal.
d) Teori Fisiologik
Teori ini mengambil contoh dari teori adaptasi stres (stress
adaptation theory). Dimana proses menua merupakan akibat
dari adaptasi terhadap stres dan stres ini bisa berasal dari
internal maupun eksternal tubuh yang dapat memengaruhi
peningkatan kasus penyakit degeneratif pada manusia lanjut
usia (manula).
e) Teori “imunologi slow virus” (immunology slow virus
theory)
Teori ini menyatakan bahwa ketika manusia berada pada
proses menua maka saat itulah tubuh manusia tidak dapat
membedakan sel normal dan sel yang tidak normal, akibatnya
antibodi bekerja untuk menyerang keduanya. Sistem imun
pun mengalami gangguan dan penurunan kemampuan dalam
mengenali dirinya sendiri (self recognition) akibat perubahan
protein pascatranslasi atau mutasi.
http://repository.unimus.ac.id
20
3) Teori Sosiologis
Teori perubahan sosial menjelaskan tentang lansia yang
mengalami penurunan dan penarikan diri terhadap sosialisasi dan
partisipasi ke dalam masyarakat.
a) Teori Aktivitas
Teori ini menyatakan keaktifan lansia dalam melakukan
berbagai jenis kegiatan yang merupakan indikator suksesnya
lansia. Lansia yang aktif, banyak bersosialisasi di masyarakat
serta lansia yang selalu mengikuti kegiatan sosial merupakan
poin dari indikator kesuksesan lansia. Lansia yang ketika
masa mudanya merupakan tipe yang aktif, maka di masa
tuanya lansia akan tetap memelihara keaktifannya seperti
peran lansia dalam keluarga maupun masyarakat di berbagai
kegiatan sosial keagamaan. Apabila lansia tidak aktif dalam
melakukan kegiatan dan perannya di masyarakat maupun di
keluarga, maka sebaiknya lansia mengikuti kegiatan lain atau
organisasi yang sesuai dengan minat dan bakatnya.
b) Teori Kontinuitas
Teori ini menekankan bahwa perubahan ini dipengaruhi oleh
jenis kepribadian lansia tersebut. Dalam teori ini lansia akan
tetap memelihara identitas dan kekuatan egonya karena tipe
kepribadiannya yang aktif dalam bersosialisasi.
4) Teori Psikososial
Teori ini menerangkan bahwa semakin menua tingkat usia
seseorang maka semakin sering pula seseorang memperhatikan
kehidupannya daripada isu yang terjadi di lingkungan sekitar.
http://repository.unimus.ac.id
21
4. Karakteristik dan klasifikasi Lansia
a. Karakteristik Lansia
Menurut (Maryam, 2008: 33) karakteristik lansia disebutkan
menjadi 3 diantaranya adalah:
1) Seseorang yang berusia lebih dari 60 tahun (sesuai dengan Pasal 1
ayat (2) UU No.13 tentang kesehatan)
2) Variasi lingkungan tempat tinggalnya
3) Masalah dan kebutuhan lansia yang beragam.
b. Klasifikasi lansia dibedakan menjadi 4 kelompok usia. Menurut
Word Health Organization (WHO), (Fatmah, 2010: 8) dan (Aspiani,
2014: 20):
1) Usia Pertengahan (Middle Age): Usia 45-59 Tahun
2) Usia Lansia (Elderly): Usia 60-74 Tahun
3) Usia Lansia Tua (Old): Usia 75-90 Tahun
4) Usia Sangat Tua (Very Old): Usia Diatas 90 Tahun
5. Perubahan-perubahan yang terjadi akibat proses penuaan
Menurut (Nugroho, 2008); (Noorkasiani, 2009); (Aspiani, 2014) dan
(Eliopoulos, 2010):
a. Perubahan Fisiologi
1) Sel
Setiap sel memerlukan nutrisi guna mempertahankan
kehidupan. Semua sel pun menggunakan oksigen sebagai salah
satu zat utama guna membentuk energi. Salah satu sel darah yang
terpenting adalah sel darah merah (SDM), dimana sel darah
merah ini mentranspor oksigen dari paru-paru menuju jaringan
diseluruh tubuh (Guyton, 2002: 01).
Menurut Nugroho (2008: 27) dan Aspiani (2014: 35)
perubahan yang terjadi pada lanjut usia di tingkat sel yaitu
berubahnya ukuran sel dimana ukuran sel menjadi lebih besar,
namun jumlah sel menjadi lebih sedikit, jumlah cairan tubuh dan
http://repository.unimus.ac.id
22
cairan intraselular berkurang, mekanisme perbaikan sel
terganggu, proporsi protein di otak, otot, ginjal, darah, dan hati
mengalami penurunan, jumlah sel pada otak menurun sehingga
otak menjadi atrofi dan lekukan otak menjadi lebih dangkal dan
melebar akibatnya berat otak berkurang menjadi 5 sampai 20%.
2) Pembuluh darah
Pembuluh darah meupakan sistem saluran tertutup yang
membawa darah dari jantung ke jaringan dan kembali lagi ke
jantung. Aliran darah ke setiap jaringan nantinya akan diatur oleh
proses kimia lokal dan persarafan umum serta mekanisme
humoral yang dapat melebarkan dan menyempitkan pembuluh
darah dijaringan (Ganong, 2008: 596).
Pembuluh darah mendistribusikan dan mengangkut darah
yang dipompa oleh jantung guna pemenuhan kebutuhan oksigen,
penghantaran nutrient, pembuangan zat sisa, dan penghantaran
sinyal hormon dalam tubuh manusia. Sedangkan arteri dalam
tubuh difungsikan sebagai penyedia tekanan untuk melanjutkan
mengalirkan darah ketika jantung sedang relaksasi dan mengisi.
Arteri ini berbentuk sangat elastis sehingga dapat mengangkut
darah dari jantung ke organ-organ tubuh. Ketika manusia
mengalami penuaan, akan terjadi perubahan pada arteri dimana
arteri mengalami penurunan elastisitas yang bertanggung jawab
atas perubahan vaskular ke jantung, ginjal dan kelenjar pituitari
(Sherwood, 2014: 367). Terdapat dua macam pembuluh darah
yang khususnya mengalami perubahan pada saat usia lanjut yaitu:
a) Arteri
Arteri merupakan bagian dari pembuluh-pembuluh
dalam tubuh yang berfungsi sebagai reservoir tekanan untuk
menghasilkan gaya pendorong bagi darah ketika jantung
dalam keadaan relaksasi (Sherwood, 2014: 372). Peran arteri
sebagai reservoir dapat dijelaskan dengan kontraksi jantung
http://repository.unimus.ac.id
23
yang bergantian untuk memompa darah ke dalam arteri dan
kemudian melemas untuk diisi oleh vena. Ketika jantung
dalam keadaan melemas dan terisi kembali maka pada saat
itu tidak ada darah yang dipompa keluar (Sherwood, 2014:
373). Ketika jantung melemas dan berhenti memompa darah
ke dalam arteri, dinding arteri yang mengalami teregang
secara pasif mengalami recoil, dimana recoil ini
menimbulkan tekanan pada darah ketika diastole (Ganong,
2008: 596) dan (Sherwood, 2014: 373).
Dinding arteri banyak mengandung jaringan elastik
sehingga jaringan tersebut bersifat elastis. Bentuk arteri yang
sangat elastis inilah yang dapat berfungsi pula sebagai
pengangkut darah dari jantung ke organ-organ tubuh
(Sherwood, 2014: 372). Elastisitas arteri memungkinkan
pembuluh ini mengembang untuk secara temporer
menampung kelebihan volume darah yang disemprotkan oleh
jantung, menyimpan sebagian energi tekanan yang
ditimbulkan oleh kontraksi jantung di dinding yang teregang
(Sherwood, 2014: 373).
Perubahan yang terjadi ketika seseorang mulai menua
yaitu terjadinya perubahan pada arteri, dimana arteri akan
kehilangan elastisitasnya sehingga dapat berpengaruh
terhadap meningkatnya nadi dan tekanan darah pada sistem
kardiovaskuler (Sherwood, 2014: 373). Pembuluh darah
arteri pun akan mengalami kekakuan sehingga resistensi
vaskuler pun meningkat dan akan berdampak pada
meningkatnya tekanan darah.
Pada pembuluh darah arteri terdapat tiga lapisan dimana
masing-masing dari lapisan tersebut dipengaruhi oleh proses
penuaan. Tunika intima yang merupakan lapisan terdalam
akan mengalami perubahan yang paling signifikan termasuk
http://repository.unimus.ac.id
24
akumulasi fibrosis, kalsium dan lipid serta proliferasi seluler.
Perubahan ini dapat berkontribusi terhadap reaksi dan
perkembangan aterosklerosis. Media tunika yang merupakan
lapisan tengah akan mengalami penipisan dan pengapuran
serat elastin dan peningkatan kolagen yang akan berdampak
pada terjadinya pengerasan pada pembuluh darah.
Baroreseptor dan peningkatan restriksi perifer pun akan
mengalami gangguan fungsi yang berdampak pada naiknya
tekanan darah sistolik. Lapisan paling luar atau tunika
adventitia ini tidak berpengaruh terhadap proses penuaan
(Eliopoulos, 2010: 54).
b) Arteriol
Pembuluh yang lainnya adalah arteriol dimana arteriol
merupakan tempat utama tahanan terhadap aliran darah.
Tahanan terhadap aliran darah ditentukan oleh jari-jari
pembuluh darah dan viskositas darah. Dan viskositas
dipengaruhi oleh hematokrit yaitu persentase volume darah
yang ditempati oleh sel darah merah. Viskositas juga
dipengaruhi oleh komposisi plasma dan ketahanan sel
terhadap deformasi. Tahanan perifer total akan mengalami
perubahan yang signifikan ketika terjadi sedikit perubahan
pada diameter arteriol (Ganong, 2008: 604).
Pada dinding arteriol mengandung sedikit jaringan elastis
dan banyak mengandung jaringan otot polos. Lapisan otot
polos yang tebal tersebut dipersarafi oleh serat saraf simpatis,
serabut saraf noradrenergik yang berfungsi sebagai
konstriktor dan serabut kolinergik yang dapat menimbulkan
dilatasi pembuluh darah. Lapisan otot polos berjalan disekitar
arteriol sehingga ketika lapisan otot polos berkontraksi,
lingkaran pembuluh menjadi lebih kecil, meningkatkan
resistensi, dan mengurangi aliran melalui pembuluh.
http://repository.unimus.ac.id
25
Pembuluh arteriol ini memiliki cabang yang dinamai dengan
metaarteriol yang mana pembuluh ini akan meneruskan untuk
mengalirkan darahnya ke kapiler (Ganong, 2008:596).
Vasokontriksi merupakan penyempitan pembuluh
arteriol dimana terjadi peningkatan kontraksi otot polos
sirkular di dinding arteriol yang menyebabkan peningkatan
resistensi dan penurunan aliran darah melalui pembuluh.
Vasodilatasi merupakan peningkatan keliling dan jari-jari
pembuluh akibat melemasnya lapisan otot polos yang
menyebabkan penurunan kontraksi otot polos sirkular di
dinding arteriol, serta menyebabkan penurunan resistensi dan
peningkatan aliran melalui pembuluh. (Sherwood, 2014:
377).
3) Tekanan darah
Tekanan darah merupakan gaya yang ditimbulkan oleh darah
terhadap dinding pembuluh, yang bergantung pada volume darah,
daya regang (distensibilitas), dan dinding pembuluh. Jadi dapat
diambil kesimpulan bahwa tekanan darah merupakan tenaga dan
tekanan yang digunakan oleh darah pada setiap satuan daerah
pada dinding pembuluh darah (Guyton, 2002: 165). Tekanan
darah terbesar terdapat pada arteri terbesar dan tekanan darah
terendah terdapat dalam pembuluh darah (Suprapto, 2014: 13).
Tekanan darah harus diatur tersebab oleh dua alasan. Alasan
yang pertama yaitu tekanan harus tinggi untuk menjamin tekanan
pendorong mendarahi seluruh organ-organ tubuh. Alasan lain
yaitu tekanan harus tidak terlalu tinggi sehingga tidak
menimbulkan tambahan kerja bagi jantung dan meningkatkan
resiko kerusakan pembuluh darah serta kemungkinan pecahnya
pembuluh darah halus (Sherwood, 2014: 399). Curah jantung dan
resistensi perifer total merupakan faktor dari pengaturan tekanan
arteri rerata.
http://repository.unimus.ac.id
26
Angka atau nilai dari tekanan darah dapat berubah sewaktu-
waktu dalam sehari tergantung dari peningkatan aktivitas, kondisi
tubuh serta kondisi psikis seseorang seperti ketika sedang bahagia
sedih atau kecewa (Prasetyaningrum, 2014: 6). Tekanan darah
biasa diukur dengan menggunakan tensi meter dan menggunakan
satuan milimeterhidrogen (mmHg). Penentuan tekanan darah
dilakukan ketika terjadi pemompaan dari jantung menuju seluruh
jaringan dan organ tubuh (Suprapto, 2014: 10). Jumlah darah
yang mengalir menuju organ tertentu pun dapat ditentukan oleh
besarnya diameter internal arteriol, dimana diameter internal
arteriol ini berada dibawah kontrol sehingga aliran darah ke organ
tertentu dapat disesuaikan untuk memenuhi kebutuhan
(Sherwood, 2014: 367).
Sewaktu sistole ventrikel, satu isi sekuncup darah masuk ke
arteri dari ventrikel, sementara hanya sekitar sepertiga dari jumlah
tersebut yang meninggalkan arteri untuk masuk ke arteriol.
Sedangkan selama diastole, tidak ada darah yang masuk ke arteri
sementara darah terus keluar dari arteri yang didorong oleh rekoil
elastis (Sherwood, 2014: 369).
Darah mengalir dari daerah dengan tekanan tinggi ke daerah
dengan tekanan lebih rendah. Kontraksi pada jantung pun menjadi
faktor pencetus terjadinya tekanan pada darah. Faktor lain yang
mempengaruhi laju aliran darah melalui suatu pembuluh adalah
resistensi. Resistensi merupakan tahanan atau hambatan terhadap
aliran darah melalui suatu pembuluh akibat dari gesekan anatara
cairan darah yang mengalir dan dinding vaskuler yang diam
(Sherwood, 2014: 369).
Darah akan semakin sulit melewati pembuluh jika terjadi
peningkatan resistensi sehingga laju aliran darah pun akan
berkurang. Jika resistensi meningkat, jantung harus bekerja lebih
keras untuk mempertahankan sirkulasi yang adekuat. Resistensi
http://repository.unimus.ac.id
27
aliran darah dipengaruhi oleh viskositas darah dan juga pembuluh
darah. Semakin besar viskositas, semakin besar resistensi dan
semakin kental cairan semakin besar pula viskositasnya.
Viskositas darah ditentukan oleh jumlah sel darah merah
(Sherwood, 2014: 369).
Banyak faktor yang mempengaruhi tekanan darah manusia.
Faktor yang mempengaruhi tekanan darah diantaranya adalah
gaya hidup, aktivitas fisik, lingkungan, dan pola makan yang
dikonsumsi. Penentuan angka tekanan darah dilakukan dengan
menggunakan tensimeter, yang tentunya dilakukan dengan cara
yang benar, pasti dan akurat yaitu ketika seseorang berada pada
posisi duduk dan berbaring (Suprapto, 2014: 11).
4) Sistem persarafan menurut (Aspiani, 2014: 36)
a) Cepatnya menurun hubungan persyarafan.
b) Berat otak menurun 10-20% (setiap orang berkurang sel saraf
otaknya dalam setiap harinya).
c) Lambat dalam respon dan waktu untuk bereaksi, khususnya
dengan stres.
d) Mengecilnya saraf panca indera: berkurangnya penglihatan,
hilangnya pendengaran, mengecilnya saraf penciuman dan
perasa, lebih sensitif terhadap perubahan suhu dengan
rendahnya ketahanan terhadap dingin.
e) Kurang sensitif terhadap sentuhan
5) Sistem Pendengaran (Aspiani, 2014: 37)
Menurut (Azizah, 2011: 11) perubahan pada sistem panca
indera lainnya adalah perubahan pada sistem pendengaran.
Dimana perubahan ini meliputi presbiakusis yaitu gangguan yang
terjadi pada pendengaran akibat hilangnya kemampuan daya
dengar pada telinga dalam, khususnya terhadap suara dan nada
yang tinggi, terhadap suara yang tidak jelas, terhadap kata-kata
yang sulit dimengerti.
http://repository.unimus.ac.id
28
6) Sistem Penglihatan
Pada lansia terjadi perubahan pada sistem indera salah satu
gangguannya adalah perubahan pada sistem penglihatan, dimana
daya akomodasi dari jarak dekat maupun jauh berkurang serta
ketajaman penglihatan pun ikut mengalami penurunan. Perubahan
yang lain adalah presbiopi. Lensa pada mata pun mengalami
kehilangan elastisitas sehingga menjadi kaku dan otot penyangga
lensa pun lemah (Azizah, 2011: 11).
7) Sistem Kardiovaskuler
Terdapat beberapa perubahan yang terjadi pada sistem
kardiovaskuler yaitu perubahan pada pembuluh-pembuluh leher,
curah jantung, bunyi jantung dan murmur. Memanjang dan
berkelok-keloknya pembuluh di leher khususnya pada aorta dan
cabang-cabangnya kadang menyebabkan arteri karotis berkelok-
kelok atau tertekuk di pangkal leher, khususnya di sisi kanan.
Masa berdenyut yang terjadi pada penderita hipertensi khususnya
lansia perempuan seringkali dikaitkan sebagai kondisi aneurisma
karotis atau bisa disebut sebagai dilatasi sejati arteri. Aorta yang
berkelok-kelok kadang meningkatkan tekanan di vena jugularis
sebelah kiri leher dengan mengganggu drainase vena ini di dalam
thoraks.
Perubahan sistem kardiovaskuler pun dijalaskan oleh (Azizah,
2011: 12) yang meliputi bertambahnya massa jantung, pada
ventrikel kiri mengalami hipertrofi, dan kemampuan peregangan
jantung berkurang akibat terjadinya perubahan pada jaringan ikat
dan penumpukan lipofusin dan klasifikasi SA node serta akibat
dari berubahnya jaringan konduksi menjadi jaringan ikat.
Perubahan yang lainnya yaitu asupan oksigen pada tingkat
maksimal berkurang yang akan mengakibatkan kapasitas pada
paru menurun. Dalam hal ini aktivitas fisik maupun kegiatan
olahraga sangat diperlukan guna meningkatkan Volume O2
http://repository.unimus.ac.id
29
(oksigen) maksimum, mengurangi tekanan darah dan guna
menurunkan tekanan darah.
Menurut (Fatmah, 2010: 31) gangguan yang terjadi pada
sistem kardiovaskuler pada lansia yaitu pada dinding aorta terjadi
penurunan elastisitas, tidak hanya itu kaliber pada aorta pun
mengalami perkembangan.
Perubahan secara fisiologis ini dapat terjadi pada katup-katup
jantung di mana inti sel pada sel-sel katup jantung ini berkurang
dari jaringan fibrosa stroma jantung, penumpukan lipid,
degenerasi kolagen, dan juga klasifikasi jaringan fibrosa jaringan
katup tersebut. Ukuran katup pun bertambah seiring penambahan
usia. Irama inheren pada jantung menurun dengan bertambahnya
usia. Hal ini disebabkan oleh menurunnya denyut jantung. Denyut
jantung pada lansia tetap rendah bila dibandingkan dengan orang
dewasa, walaupun pada lansia yang sering melakukan aktivitas
fisik. Aritmia berupa ekstrasistol pada lansia, ditemukan lebih
dari 10% pada lansia yang memeriksakan EKG nya secara rutin.
Hal yang tidak berubah pada lansia adalah fungsi sistolik pada
jantung.
Perubahan Sistem kardiovaskuler menurut (Nugroho, 2008:
29):
a) Katup jantung menebal dan menjadi kaku.
b) Elastisitas dinding aorta menurun.
c) Kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap
tahun sesudah berumur 20 tahun. Hal ini yang menyebabkan
kontraksi dari volume menurun.
d) Curah jantung menurun (isi semenit jantung menurun)
e) Kehilangan elastisitas pembuluh darah, efektivitas pembuluh
darah perifer untuk oksigenasi berkurang, perubahan posisi
dari tidur ke duduk (duduk ke berdiri) bisa menyebabkan
http://repository.unimus.ac.id
30
tekanan darah menurun menjadi 65 mmHg (mengakibatkan
pusing mendadak).
f) Kinerja jantung lebih rentan terhadap kondisi dehidrasi dan
perdarahan.
g) Tekanan darah meninggi akibat resistensi pembuluh darah
perifer meningkat. Sistole normal kurang lebih 170 mmHg,
diastole 95 mmHg.
8) Sistem Pernapasan
Pada sistem respirasi terjadi perubahan jaringan ikat pada paru,
kapasitas total pada paru pun tetap, namun volume cadangan pada
paru berubah kemudian perubahan yang lainnya adalah
berkurangnya udara yang mengalir ke paru. Gangguan pernapasan
dan kemampuan peregangan pada thoraks pun terganggu akibat
adanya perubahan pada otot, sendi thorak dan kartilago. Pada
sistem pernapasan terjadi pendistribusian ulang kalsium pada
tulang iga yang kehilangan banyak kalsium dan sebaliknya,
tulang rawan kosta berlimpah kalsium. Hal ini menyebabkan
penurunan efisiensi ventilasi paru. Perubahan ini pun memberi
dampak buruk bagi keberlangsungan hidup lansia salah satunya
yaitu lansia akan lebih rentan terkena komplikasi pernapasan
akibat istirahat total oleh karena perubahan yang terjadi, seperti
infeksi pernapasan akibat penurunan ventilasi paru.
Menurut (Nugroho, 2008) perubahan yang terjadi pada sistem
respirasi:
a) Otot pernapasan mengalami kelemahan akibat atrofi,
kehilangan kekuatan, dan menjadi kaku.
b) Menurunnya aktivitas dari silia, kemampuan untuk batuk
berkurang.
c) CO2 pada arteri tidak berganti, sedangkan O2 pada arteri
menurun menjadi 75 mmHg.
http://repository.unimus.ac.id
31
d) Kemampuan pegas, dinding, dada dan kekuatan otot
pernapasan akan menurun seiring dengan pertambahan usia.
9) Sistem Pencernaan
Pada sistem pencernaan lansia mengalami anoreksia yang
terjadi akibat perubahan kemampuan digesti dan absorpsi pada
tubuh lansia. Selain itu lansia mengalami penurunan sekresi asam
dan enzim. Perubahan yang lain adalah perubahan pada
morfologik yang terjadi pada mukosa, kelenjar dan otot
pencernaan yang akan berdampak pada terganggunya fungsi
mengunyah dan menelan, serta terjadinya perubahan nafsu makan
(Fatmah, 2010: 23).
10) Sistem Reproduksi
Pada sistem reproduksi perubahan yang terjadi pada lansia
ditandai dengan mengecilnya ovari dan uterus, terjadi atrofi
payudara. Pada laki-laki testis masih dapat memproduksi
spermatozoa meski adanya penurunan secara berangsur-angsur,
serta dorongan seks masih ada hingga usia 70 tahun (Azizah,
2011: 13).
11) Sistem Endokrin
Pada sistem endokrin terdapat beberapa hormon yang
diproduksi dalam jumlah besar dalam reaksi menangani stres.
Akibat kemunduran produksi hormon pada lansia, lansia pun
mengalami penurunan reaksi dalam menghadapi stres (Fatmah,
2010: 28).
12) Integumen
Perubahan pada sistem integumen ditandai dengan kulit lansia
yang mengalami atrofi, kendur, tidak elastis, kering dan berkerut.
Perubahan ini juga meliputi perubahan pada kulit lansia yang
mana kulit pada lansia akan menjadi kering akibat dari kurangnya
cairan pada kulit sehingga kulit menjadi berbecak dan tipis. Atrofi
sebasea dan glandula sudoritera merupakan penyebab dari
http://repository.unimus.ac.id
32
munculnya kulit kering. Liver spot pun menjadi tanda dari
berubahnya sistem integumen pada lansia. Liver spot ini
merupakan sebuah pigmen berwarna cokelat yang muncul pada
kulit.
13) Muskuloskeletal
Perubahan pada jaringan muskuloskeletal meliputi:
a) Jaringan penghubung (kolagen dan elastin)
Kolagen merupakan pendukung utama pada kulit,
tendon, tulang dan jaringan pengikat menjadi sebuah
batangan yang tidak teratur. Perubahan pada kolagen ini
menjadi penyebab turunnya fleksibilitas pada lansia
sehingga timbul dampak nyeri, penurunan kemampuan
untuk meningkatkan kekuatan otot, kesulitan duduk dan
berdiri, jongkok dan berjalan. Upaya yang perlu dilakukan
adalah upaya fisioterapi.
b) Kartilago
Jaringan kartilago pada persendian lunak serta
mengalami granulasi yang mana akan memberikan dampak
pada meratanya permukaan sendi.
c) Tulang
Menurut (Azizah, 2011: 12) perubahan yang terjadi di
tulang meliputi berkurangnya kepadatan tulang.
Berkurangnya kepadatan tulang ini menjadi penyebab
osteoporosis pada lansia. Kejadian jangka panjang yang
akan terjadi ketika lansia telah mengalami osteoporosis
adalah nyeri, deformitas dan fraktur. Oleh sebab itu,
aktivitas fisik pun menjadi upaya preventif yang tepat.
d) Otot
Perubahan yang terjadi pada otot lansia meliputi
penurunan jumlah dan ukuran serabut otot, peningkatan
jaringan penghubung dan jaringan lemak pada otot. Akibat
http://repository.unimus.ac.id
33
terjadinya perubahan morfologis pada otot, lansia akan
mengalami penurunan kekuatan, penurunan fleksibilitas,
peningkatan waktu reaksi dan penurunan kemampuan
fungsional otot.
e) Sendi
Perubahan pada lansia di daerah sendi meliputi
menurunnya elastisitas jaringan ikat seperti tendon,
ligament dan fasia. Terjadi degenerasi, erosi serta
kalsifikasi pada kartilago dan kapsul sendi. Terjadi
perubahan pula pada sendi yang kehilangan fleksibilitasnya
sehingga luas dan gerak sendi pun menjadi menurun.
Akibatnya lansia akan mengalami nyeri sendi, kekakuan
sendi, gangguan aktifitas, gangguan jalan.
14) Pengaturan suhu tubuh
Menurut (Nugroho, 2008: 29) pada pengaturan suhu,
hipothalamus dianggap bekerja sebagai suatu termostat. Faktor-
faktor yang biasa ditemui yang menjadi faktor kemunduran pada
lansia yang biasa ditemui antara lain:
a) Temperatur tubuh menurun (hipotermia) secara fisiologis
kurang lebih 35OC. Pada kondisi ini, lanjut usia akan
merasa kedinginan dan dapat pula menggigil, pucat dan
gelisah.
b) Keterbatasan refleks menggigil dan tidak dapat
memproduksi panas yang banyak sehingga terjadi
penurunan aktivitas otot.
b. Perubahan Mental
Menurut (Aspiani, 2014: 43) terdapat beberapa faktor yang
memengaruhi perubahan mental pada lansia yaitu kesehatan, tingkat
pendidikan, lingkungan, keturunan, dan perubahan fisik terutama
panca indera.
http://repository.unimus.ac.id
34
c. Perubahan Psikososial menurut (Aspiani, 2014: 42):
1) Lansia cenderung merasakan sadar atau tidak sadar akan
terjadinya kematian.
2) Merasakan perubahan dalam cara hidup.
3) Merasakan perubahan ekonomi akibat pemberhentian jabatan dan
peningkatan gaya hidup.
4) Merasakan pensiun (kehilangan) banyak hal seperti finansial,
pekerjaan, sahabat, dan status pekerjaan.
5) Merasakan penyakit kronis dan ketidakmampuan.
6) Merasakan kesepian akibat pengasingan dari lingkungan sosial.
7) Mengalami gangguan pancaindera.
8) Lansia mulai mengalami perubahan dalam konsep diri, serta
lansia akan merasakan rangkaian dari proses kehilangan.
d. Perubahan Spiritual
Perubahan yang terjadi pada lansia yang berhubungan dengan
perkembangan spiritualnya adalah dari segi agama/kepercayaan
lansia yang akan semakin terintegerasi dalam kehidupan, pada
perubahan spiritual ini ketika usia mencapai 70 tahun lansia akan
berfikir dan bertindak dalam memberikan contoh bagaimana cara
mencintai dan bagaimana cara berlaku adil. Perubahan yang lain
yaitu lansia akan semakin matur dalam kehidupan keagamaannya
yang tercermin dalam perilaku sehari-hari (Nugroho, 2008: 36).
B. Hipertensi
1. Pengertian Hipertensi
Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan peningkatan tekanan
darah sistolik lebih dari 140 mmHg (milimeterhidrogen) dan
peningkatan pada tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg
(milimeterhidrogen) pada dua kali pengukuran dengan selang waktu
lima menit dalam keadaan cukup istirahat/tenang. (Kemenkes RI,
2014). Hipertensi terjadi akibat kombinasi efek retensi garam dan
http://repository.unimus.ac.id
35
cairan serta efek vasokontriksi kelebihan angiotensin II (Sherwood,
2014: 575).
2. Jenis Tekanan Darah
Tekanan darah diklasifikasikan menjadi dua yaitu tekanan darah
siatolik atau angka atas dan tekanan darah diastolik atau angka bawah.
Ketika terjadi pengerutan bilik jantung dan darah memompa dengan
tekanan maksimalnya maka itu yang disebut dengan tekanan darah
siastolik atau angka atas pada penentuan tekanan darah (Suprapto,
2014: 13). Angka bawah atau tekanan darah diastolik terjadi ketika
jantung mengalami penurunan tekanan darah akibat jantung dalam
keadaan mengembang atau dalam keadaan istirahat kekuatan penahan
pada dinding pembuluh darah (Suprapto, 2014: 13).
3. Klasifikasi Tekanan Darah Tinggi/Hipertensi
Menurut (Syamsudin, 2011: 22) Penyakit hipertensi merupakan
penyakit multifaktor. Pada penyakit hipertensi terjadi peningkatan
resistensi vaskular akibat efek vasokonstriksi yang melebihi efek
vasodilatasi (Syamsudin, 2011: 22). Peningkatan aktivasi Renin
Angiotensin System (RAS), meningkatnya sensitivitas arteriol perifer
terhadap mekanisme vasokonstriksi normal, dan karena efek alpha
adrenergic merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan
vasokonstriksi (Syamsudin, 2011: 22). Berikut klasifikasi hipertensi
menurut (Suprapto, 2014: 14):
http://repository.unimus.ac.id
36
Tabel 2.1
Klasifikasi atau kategori Hipertensi
Kategori Sistolik Diastolik
Normal <130 mmHg <85mmHg
Normal Tinggi 130-139 mmHg 85-89 mmHg
Stadium 1 (hipertensi ringan) 140-159 mmHg 90-99 mmHg
Stadium 2 (hipertensi sedang) 160-179 mmHg 100-109 mmHg
Stadium 3 (hipertensi berat) 180-209 mmHg 110-119 mmHg
Stadium 4 (hipertensi maligna) 210 mmHg atau lebih 120 mmHg atau lebih
Sumber: Suprapto (2014: 14)
(Suprapto, 2014: 28) menambahkan bahwa klasifikasi hipertensi
dibedakan berdasarkan penyebabnya terdapat 2 jenis hipertensi:
a. Hipertensi Primer (essensial hypertension/primary hypertension)
Hipertensi primer dijelaskan oleh (Susanto, 2010: 12) bahwa
penyebab spesifik hipertertensi ini masih belum diketahui. Banyak
faktor yang mempengaruhi terjadinya hipertensi primer. Diantara
banyak faktor yaitu hiperaktivitas, susunan saraf simpatis, sistem
renin angiotensin, obesitas, merokok, stres, genetika dan lingkungan.
b. Hipertensi Sekunder (secondary hypertension)
Susanto (2010: 12) pun menjelaskan mengenai hipertensi
sekunder bahwa peningkatan angka kejadian hipertensi sekunder
semakin meningkat. Hipertensi sekunder diakibatkan oleh gangguan
pada pembuluh darah, dimana pembuluh darah mengalami
penyempitan terutama pada bagian ginjal, selain itu terdapat
penyakit lain yang menjadi faktor meningkatnya hipertensi sekunder
yaitu tumor dan gangguan hormon. Gangguan tersebut dapat
mengakibatkan kerja jantung lebih maksimal sehingga peningkatan
tekanan darah terjadi.
http://repository.unimus.ac.id
37
4. Penyebab Hipertensi
Penyebab hipertensi menurut (Susanto, 2010: 13) terjadi karena
beberapa faktor yaitu diantaranya genetika, obesitas, stres lingkungan,
jenis kelamin, pertambahan usia, asupan garam berlebih, gaya hidup
yang kurang sehat, obat-obatan dan akibat penyakit lain. Penyebab
hipertensi memang belum jelas (Susanto, 2010: 13). Hipertensi menurut
(Susanto, 2010: 12) disebabkan oleh peningkatan volume darah yang
dipompa oleh jantung yang mengakibatkan peningkatan darah pada
pembuluh arteri. Hipertensi sejatinya memiliki gejala dan penyebab
yang spesifik jika dikaji lebih lanjut. Hipertensi juga tidak memiliki
satu penyebab yang pasti. Pada masing-masing individu memiliki
perbedaan penyebab hipertensi yang spesifik. (Susanto, 2010: 17).
(Suprapto, 2014: 19) menambahkan kejadian hipertensi terjadi oleh
karena beberapa hal diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Volume cairan bertambah besar ketika terjadi peningkatan kerja
jantung dalam memompa darah di dalam tubuh
b. Volume darah meningkat akibat ketidakmampuan ginjal dalam
membuang garam dan air dalam tubuh yang biasa terjadi pada
penderita dengan kelainan fingsi ginjal
c. Rangsangan saraf atau hormon dalam darah meningkat, adanya
ateriosklerosis (kekakuan dan ketebalan) pada arteri besar yang
menjadi penyebab darah tidak dapat mengalir secara sempurna
melalui arteri tersebut sehingga tekanan darah meningkat oleh
karena darah yang mengalir melalui arteri kecil.
5. Patogenesis hipertensi
Peran penting dari faktor terjadinya hipertensi menurut (Darmojo,
2004: 397) adalah adanya penurunan kadar renin akibat proses penuaan
yang terjadi secara terus menerus, terjadinya peningkatan kadar
sensitivitas terhadap asupan natrium, penurunan elastisitas pembuluh
darah perifer akibat proses degeneratif yang menjadi penyebab
http://repository.unimus.ac.id
38
hipertensi sistolik, dan perubahan ateromatous yang menjadi penyebab
tingginya tekanan darah.
Patofisiologi hipertensi dijelaskan pula dalam (Aspiani, 2014: 105)
bahwa terdapat pusat vasomotor dalam otak yang menjadi mekanisme
pengontrol terhadap relaksasi dan konstriksi pembuluh darah.
Rangsangan pusat vasomotor ini dihantarkan ke ganglia simpatis di
bagian thorak dan abdomen dalam bentuk impuls yang bergerak
kebawah melalui sistem saraf sympatis. Pada titik ini neuron pre
ganglion melepaskan asetilkoline yang dapat merangsang serabut saraf
pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannnya
norefinefrine akan menyebabkan konstriksi pada pembuluh darah.
Faktor tersebut mampu merangsang vasomotor terhadap respon dari
pembuluh darah. Meski belum diketahui jelas mengapa kejadian
tersebut bisa terjadi, namun dari beberapa kasus pasien dengan
hipertensi sangat sensitif terhadap norefinefrin.
Pada saat yang sama sistem saraf simpatis dapat merangsang
pembuluh darah sebagai respon rangsang emosi, kelenjar adrenal pun
terangsang yang dapat mengakibatkan vasokonstriksi. Medula adrenal
pun mensekresi efinefrin yang dapat menyebabkan vasokonstriksi.
Korteks adrenal dapat mensekresi kortisol dan steroin sehingga respon
vasokonstriktor pembuluh darah menjadi kuat. Pelepasan renin pun
terjadi akibat dari vasokonstriksi yang menjadi penyebab utama
penurunan aliran darah ke ginjal.
Renin mampu merangsang pembentukan angiotensin I yang mana
angiotensin I dapat berubah menjadi angiotensin II. Sebuah
vasokonstriktor yang kuat yang mampu merangsang sekresi aldosteron
oleh korteks adrenal. Hormon tersebut mampu mengakibatkan retensi
air dan natrium oleh tubulus ginjal, sehingga terjadi kenaikan volume
intravaskuler. Semua keadaan tersebut menjadi pencetus utama
terjadinya penyakit hipertensi.
http://repository.unimus.ac.id
39
6. Komplikasi Hipertensi:
Komplikasi hipertensi menurut (La Ode, 2012: 246):
a. Penyakit pembuluh darah otak seperti stroke, perdarahan otak,
Transient Ischemic Attack (TIA).
b. Penyakit ginjal seperti gagal ginjal.
c. Penyakit mata seperti perdarahan retina, penebalan retina dan
oedema pupil.
7. Pemeriksaan Penunjang
(La Ode, 2012: 245-246) mengemukakan dua jenis pemeriksaan
penunjang bagi penderita hipertensi yang meliputi pemeriksaan
laboratorium rutin dan pemeriksaan diagnostik. Pemeriksaan
laboratorium rutin dilakukan sebelum memulai terapi yang ditujukan
guna menentukan ada atau tidaknya kerusakan organ, faktor resiko lain
serta penyebab pasti untuk hipertensi.
a. Pemeriksaan laboratorium rutin seperti urin analisa, darah perifer
lengkap kimia darah (kalium, natrium, kreatinin, gula darah puasa,
kolesterol total, HDL, LDL dan pemeriksaan EKG), kreatinin,
protein, asam urat TSH dan ekordiografi.
b. Pemeriksaan diagnostik BUN/creatinin (fungsi ginjal), glucose
(DM), kalium serum, kalsium serum, pemeriksaan tiroid, urinalisa
protein, gula, asam urat, EKG dan IVP.
8. Penatalaksanaan Hipertensi
Menurut hasil riset (Kementerian Kesehatan RI, 2013) hipertensi
merupakan masalah kesehatan dengan prevalensi terbesar yaitu sekitar
25,8%. Peningkatan angka kejadian hipertensi dipicu oleh rendahnya
tingkat kesadaran seseorang khususnya lansia dalam melakukan
pemeriksaan yang terkait dengan kondisi kesehatannya seperti tekanan
darah. Perubahan gaya hidup, modernisasi serta globalisasi inilah yang
menjadi faktor penyebab tingginya angka kejadian hipertensi (Soesanto,
http://repository.unimus.ac.id
40
2010). Tuntutan inilah yang mengharuskan tenaga kesehatan dalam
melakukan upaya preventif dan upaya promotif kesehatan (Astari,
2015).
Terapi penyembuhan penyakit hipertensi adalah terapi farmakologi
dan terapi non farmakologi (Manungkalit, 2016). Salah satu aktivitas
atau kegiatan terapi nonfarmakologi adalah dengan menjalani pola
hidup sehat, gaya hidup sedentary people, menciptakan suasana rileks,
serta melakukan aktivitas fisik yang ringan (Khomarun, 2014). (La
Ode, 2012) menambahkan bahwa penatalaksanaan non farmakologis
bisa didapat dari pengaturan diet rendah garam dan lemak, mengubah
kebiasaan hidup, olahraga secara konsisten serta pengontrolan tekanan
darah secara berkala.
9. Pengobatan hipertensi
Menurut (Bustan, 2007: 67) pengobatan hipertensi meliputi:
a. Anti hipertensi nonfarmakologik
Pengobatan dilakukan dengan tindakan yang supportif dimana
tindakan ini sesuai dengan anjuran Joint National Comittee on
Detenction, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure yaitu
berupa:
1) Tindakan olahraga teratur
2) Diet rendah lemak jenuh
3) Mengurangi alkohol
4) Pembatasan konsumsi garam dapur
5) Menghentikan merokok
6) Pemberian kalium dalam bentuk makanan baik sayuran maupun
buah-buahan.
7) Menurunkan BB pada obesitas.
http://repository.unimus.ac.id
41
b. Obat anti hipertensi
1) Diuretika: berfungsi guna memperlancar BAK seseorang yang
diharapkan mampu mengurangi volume cairan dalam tubuh
sehingga daya pompa jantung menjadi lebih ringan dan dapat
mengurangi tekanan darah. Contoh obat diuretik: chlorthalidone,
furosemide, hydrochlorothiazide, metolazone, indapamide.
(Puspitorini, 2008: 32-33).
2) Penyekat beta (B-blocker)
Obat ini bekerja sebagai upaya pengontrolan tekanan darah
melalui proses perlambatan kerja jantung dan pelebaran
(vasodialtasi) pembuluh darah. Sehingga jantung tidak perlu
bekerja terlalu keras sehingga tekanan darah dapat menurun.
Contoh beta bloker: atenolol, nadolol, timolol, betaxolol,
metaprolol, acebutolol.
3) Antagonis kalsium
4) Inhibitor ACE (Anti Converting Enzyme), misalnya inhibace.
Obat ini mampu memperlebar pembuluh darah sehingga
daya kerja jantung menjadi mudah maka tekanan darah pun
dapat menurun. Contoh obat: captoril, perindoprol, fasinopril,
lisinopril, benazepril 35. Obat anti hipertensi sentral
(simpatokolitika)
5) Obat penyekat alpha blocker
Alpha blocker ini dapat merilekskan pembuluh darah serta
dapat mempertahankan pembuluh darah yang kecil supaya tetap
terbuka. Efek jangka panjang ketika menggunakan obat ini
adalah peningkatan resiko gagal jantung.
6) Vasodilator (pengendor pembuluh darah).
Obat ini bekerja guna pelebaran pembuluh darah, supaya
otot arteri menjadi rileks dan mencegah dinding pembuluh darah
menyempit. Sehingga darah lebih mudah mengalir melalui arteri
dan kerja jantung tidak berat.Contoh: minoxidil dan hydralazine.
http://repository.unimus.ac.id
42
10. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Kejadian Hipertensi
Perubahan fisiologis khususnya perubahan respons imunitas
tubuh manusia, penebalan katup jantung, kekakuan katup dan
pembuluh pada jantung, penurunan kemampuan kontraktilitas
jantung, berkurangnya elastisitas pembuluh darah serta kurangnya
efektifitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi merupakan
serangkaian faktor fisiologis yang mempengaruhi timbulnya
hipertensi khusunya pada lansia. Perubahan inilah yang menjadi
dasar meningkatnya resistensi vaskuler yang cenderung dapat
menimbulkan peningkatan pada tekanan darah (Jain, 2011). Selain
itu, gaya hidup pada lansia pun dapat mempengaruhi meningkatnya
tekanan darah. Penyakit hipertensi dapat dihindari dengan cara
berolahraga. Keteraturan dalam berolah raga menjadikan angka
tekanan daran menurun, sebab olahraga dan aktivitas fisik mampu
menurunkan jumlah lemak yang ada di dalam tubuh (Fatmah,
2010: 174).
Aktivitas fisik merupakan salah satu faktor utama penyebab
terjadinya peningkatan angka kejadian hipertensi pada lansia.
Aktivitas merupakan seluruh kegiatan yang dilakukan seseorang
dalam memenuhi kebutuhan dan permasalahan dalam hidupnya
yang jelas dan terencana. Lansia yang cenderung tidak melakukan
aktivitas fisik akan rentan terkena hipertensi siastolik 2,33 kali
lebih besar dibandingkan dengan lansia yang melakukan aktivitas
fisik secara bermakna (Natagama, 2015). Aktivitas fisik yang
dilakukan secara berkala, teratur, dan konsisten dapat menurunkan
angka tekanan darah. Tentunya jika memperhatikan keteraturan
frekuensi aktivitas fisik dan waktu yang dipergunakan untuk
melakukan aktivitas fisik.
http://repository.unimus.ac.id
43
Penurunan resiko penyakit jantung, stroke dan tekanan darah
dipengaruhi oleh bayak faktor salah satu diantaranya adalah
dengan melakukan aktivitas ringan yang dilakukan secara rutin
selama kurang lebih 15-30 menit. Aktivitas fisik ini dapat
dilakukan dengan berbagai macam cara dan jenisnya. Tentunya
aktivitas dilakukan secara rutin dan konsisten selama seminggu dan
setiap hari berturut-turut.
C. Aktivitas Fisik
1. Pengertian Aktivitas fisik
Menurut (Fatmah, 2010: 166) aktivitas fisik pada lansia merupakan
serangkaian gerakan dari otot anggota tubuh dan sistem penunjangnya
akibat dari adanya kontraksi dan relaksasi otot skelet yang memerlukan
energi dan tenaga untuk melakukannya sebagai bagian yang terpenting
dalam kehidupan lansia yang dilakukan dari mulai bangun tidur hingga
tidur kembali guna meningkatkan derajat kesehatannya agar tetap sehat
dan bugar sepanjang hari. Aktivitas fisik ini meliputi beberapa kegiatan
yang mencakup semua olahraga, semua gerakan tubuh, semua
pekerjaan, rekreasi serta semua kegiatan sehari-hari sampai pada
kegiatan pada waktu berlibur atau waktu senggang (Suiraoka, 2012:
149). Akibat proses degeneratif yang ada maka lansia pun mengalami
penurunan dalam kemampuan beraktivitasnya, sehingga lansia
memerlukan beberapa penyesuaian untuk melakukan aktivitas fisik
sehari hari.
http://repository.unimus.ac.id
44
2. Komponen Aktivitas Fisik
1) Frekuensi
Menurut (United States Departement of Health and Human
Services, 2008) dan (Fatmah, 2010: 166) frekuensi merupakan
seberapa sering seseorang dalam melakukan aktivitas fisik.
(Maryam, 2008: 140) menambahkan bahwa minimal latihan
dilakukan selama tiga hari atau lima hari dalam seminggu sebab
frekuensi latihan dapat memberi pengaruh terhadap pertahanan
jasmani seseorang.
2) Intensitas latihan
Menurut (Maryam, 2008) intensitas latihan dipantau dengan
menghitung denyut nadi pada lansia dengan cara meraba
pergelangan menggunakan tiga jari. Menurut (United States
Departement of Health and Human Services, 2008) dan (Fatmah,
2010: 166) intensitas merupakan seberapa keras seseorang bekerja
untuk melakukan aktivitas. Intensitas yang paling sering diteliti
adalah intensitas sedang. (setara dengan usaha dalam melakukan
jalan cepat) dan intensitas yang kuat (setara dengan usaha untuk
berlari atau jogging).
3) Durasi
Menurut (United States Departement of Health and Human
Services, 2008) dan (Fatmah, 2010: 166) durasi merupakan lama
atau panjangnya waktu seseorang dalam melakukan aktivitas fisik
untuk setiap satu sesi aktivitas. Sedangkan menurut (Maryam, 2008:
140). Lama latihan dilakukan minimal 15 menit dilakukan supaya
tubuh mampu untuk meningkatkan kesegaran jasmani.
http://repository.unimus.ac.id
45
3. Jenis Aktivitas Fisik
a) Jenis aktivitas fisik berdasarkan (United States Departement of
Health and Human Services, 2008) adalah sebagai berikut:
1) Aktivitas fisik intensitas sedang (moderate activity)
a) Berjalan cepat (3 mil per jam atau lebih cepat, tetapi bukan
lomba berjalan)
b) Aerobik air
c) Bersepeda lebih lambat dari 10 mil per jam
d) Tenis (ganda)
e) Tarian ballroom
f) Berkebun secara umum
2) Aktivitas fisik intensitas berat/kuat (vigorous activity)
a) Racewalking, joging, atau berlari
b) Berenang
c) Tenis (single)
d) Tarian aerobik
e) Bersepeda 10 mil per jam atau lebih cepat
f) Lompat tali
g) Berkebun berat (penggalian atau mencangkul secara terus
menerus, dengan diiringi peningkatan denyut jantung)
h) Berjalan menanjak dengan ransel yang berat
b) Macam aktivitas fisik yang sesuai untuk lansia
Macam-macam aktivitas fisik yang baik bagi lansia menurut
(Maryam, 2008: 146-149) :
1) Pekerjaan rumah dan berkebun.
2) Berjalan-jalan.
3) Jalan cepat.
4) Renang.
5) Bersepeda.
6) Senam.
http://repository.unimus.ac.id
46
c) Macam aktivitas fisik yang tidak sesuai untuk lansia
Macam-macam aktivitas fisik yang tidak baik bagi lansia
dalam (Maryam, 2008: 149):
1) Sit up dengan kaki lurus
2) Meraih ibu jari kaki
3) Mengangkat kaki
4) Melengkungkan punggung.
4. Sifat Aktivitas Fisik pada Lansia
Menurut (Fatmah, 2010: 167) terdapat beberapa aktifitas fisik yang
sesuai untuk dilakukan oleh lansia Indonesia meliputi:
1) Ketahanan (endurance)
Ketahanan merupakan aktivitas fisik yang dilakukan guna
mendapatkan ketahanan tubuh lansia efektifnya dilakukan sekitar 30
menit dengan frekuensi 4-7 hari perminggu. Lansia dapat memilih
aktivitas untuk melatih ketahanan seperti berjalan kaki, lari ringan,
senam, berkebun dan kerja di taman. Aktivitas ini bersifat sebagai
ketahanan tubuh lansia yang mampu membantu sistem kerja jantung,
paru-paru dan otot serta sirkulasi darah agar tetap sehat dan
bertenaga.
2) Kelenturan (flexybility)
Kelenturan pada tubuh lansia dapat diperoleh dari aktivitas fisik
yang meliputi aktivitas peregangan yang dimulai dengan perlahan-
lahan yang dilakukan secara teratur selama 10-30 detik dan bisa
dimulai dari tangan atau kaki, kemudian aktivitas yang dilakukan
guna melatih kelenturan pada tubuh adalah dengan mencuci piring,
mengepel lantai dan melakukan senam taichi serta yoga. Aktivitas
ini dilakukan selama 30 menit selama 4-7 hari seminggu.
http://repository.unimus.ac.id
47
3) Kekuatan (strength)
Banyak jenis dan aktivitas fisik yang dilakukan guna melatih
kekuatan yang dapat membantu meningkatkan fungsi kerja otot dan
tulang pada lansia dalam menjaga suatu beban yang diterima,
membantu lansia dalam menurunkan angka kejadian pengeroposan
tulang (osteoporosis).
5. Instrumen Aktivitas Fisik Berdasarkan Metode Global Physical
Activity Questionnaire (GPAQ).
Global Physical Activity Questionnaire (GPAQ) adalah sebuah
instrumen yang dikembangkan oleh World Health Organization (WHO)
yang dapat digunakan dalam pengumpulan data dan pengawasan
aktivitas fisik seseorang di negara berkembang yang berupa data valid
megenai pola aktivitas fisik (WHO, 2002). Global Physical Activity
Questionnaire (GPAQ) meliputi 4 kategori aktivitas fisik meliputi
aktivitas fisik ketika hari-hari kerja, aktivitas fisik diluar pekerjaan dan
olahraga, aktivitas fisik ketika dalam perjalanan ke suatu tempat, serta
aktivitas fisik yang dilakukan dalam kegiatan rumah tangga baik dalam
melakukan pekerjaan rumah tangga maupun kegiatan merawat anak
(Kristanti, 2007).
6. Kategori Nilai dan Score 3 Level Aktivitas Fisik berdasarkan
Scoring Global Physical Activity Questionnaire (GPAQ):
a) Kategori aktivitas fisik inactive (tidak aktif) yaitu apabila seseorang
yang tidak memenuhi beberapa kriteria dari kategori aktivitas fisik
kuat/berat dan kategori aktivitas fisik sedang.
b) Kategori aktivitas fisik sedang (Minimally Active) apabila:
1) 3 hari atau lebih melakukan aktivitas fisik kurang lebih 20 menit
dalam sehari.
2) 5 hari atau lebih melakukan aktivitas fisik yang ringan atau
berjalan kurang lebih 30 menit dalam sehari.
http://repository.unimus.ac.id
48
3) 5 hari atau lebih dengan melakukan kombinasi aktivitas fisik
seperti berjalan, aktivitas sedang atau berat minimal >600 MET-
menit/minggu.
c) Kategori Aktivitas Fisik Kuat/Berat (Hepa Active), apabila:
1) Melakukan aktivitas fisik kurang lebih selama 3 hari dan
diakumulasikan menjadi sekitar 1500 MET-menit dalam
seminggu.
2) 7 hari atau lebih melakukan kombinasi aktivitas fisik seperti
berjalan, aktivitas fisik intensitas sedang atau aktivitas fisik
intensitas kuat yang mencapai angka minimal 3000 MET-menit
dalam seminggu.
Untuk penghitungan kategori aktivitas fisik, dapat digunakan dengan
kriteria MET. MET adalah rasio laju metabolisme saat bekerja dan laju
metabolisme saat istirahat. MET merupakan kepanjangan dari
Metabolic Equivalents Turnover (MET) dan merupakan kelipatan dari
Resting Metabolik Rate (RMR). Dimana 1 METs adalah energi yang
dikeluarkan per menit/kg BB orang dewasa (1 METs = 1,2 kkal/menit).
MET ini digunakan dalam mengintrepretasikan intensitas dan kategori
aktivitas fisik, serta digunakan guna menganalisis data dari Global
Physical Activity Questionnaire (GPAQ).
Untuk mengetahui total aktivitas fisik, selanjutnya digunakan rumus
sebagai berikut: Total Aktivitas Fisik MET menit/minggu = [(P2 x P3 x
8) + (P5 x P6 x 4) + (P8 x P9 x P4) + (P11 x P12 x 8) + (P14 x P15 x
4)]. Untuk kategori aktivitas fisik berat akan dikalikan dengan koefisien
MET = 8, sedangkan untuk kategori aktivitas sedang akan dikalikan
dengan koefisien MET = 4. Setelah melakukan perhitungan dapat
dikategorikan menjadi 3 kategori aktivitas fisik yaitu aktivitas ringan,
aktivitas sedang, dan aktivitas berat. Penilaian kategori aktivitas fisik
menurut nilai MET dibedakan menjadi tiga meliputi intensitas ringan,
intensitas sedang dan intensitas berat. Jika nilai sebesar 600 < MET
maka kategori aktivitasnya adalah intensitas ringan, nilai untuk kategori
http://repository.unimus.ac.id
49
intensitas sedang yaitu jika nilai sebesar 3000 > MET ≥ 600 MET dan
intensitas kuat atau berat jika nilai MET sebesar ≥ 3000 >6 MET
(WHO, 2001).
7. Kategori Aktivitas Fisik berdasarkan Global Physical Activity
Questionnaire (GPAQ)
a) Aktivitas fisik yang ringan seperti berlari kecil, mencuci piring,
berdiri, memasak, menyetrika, berjalan kaki, menonton TV, dan
menyapu lantai. Dimana aktivitas ini dilakukan hanya dengan
memerlukan sedikit tenaga dan biasanya tidak menyebabkan
perubahan pernafasan atau perubahan ketahanan (endurance).
b) Aktivitas fisik sedang yaitu mencuci kendaraan, membersihkan
lantai, jalan cepat, jogging, bersepeda santai, menanam tanaman,
berdiri dengan membawa barang diatas kepala, dan menimba air.
Aktivitas fisik sedang ini memerlukan energi secara
berkesinambungan, memerlukan gerakan otot yang berirama dan
memerlukan kelenturan (fleksibility).
c) Pada aktivitas berat diperlukan energi yang besar seperti kekuatan
(strength) yang biasanya dihubungkan dengan olahraga seperti
contoh berkebun, berlari dan membawa barang yang berat.
8. Proses fisiologis aktivitas fisik pada lansia
Kebiasaan kurang gerak, konsumsi alkohol, berat badan yang
berlebih, konsumsi rokok, kolesterol dan lemak yang tinggi merupakan
beberapa kegiatan yang perlu dihindari. Semua kegiatan tersebut
merupakan faktor resiko penyebab munculnya penyakit pada sistem
kardiovaskuler. Faktor penyebab inilah yang perlu dihindari.
Pada tubuh manusia terdapat otot-otot yang dapat menyusut dan
melemah ketika tidak dipergunakan. Sebaliknya, melalui kegiatan
aktivitas fisik maupun olahraga, otot-otot yang sebelumnya menyusut
ketika tidak dipergunakan kini menjadi berkembang dari segi ukuran,
http://repository.unimus.ac.id
50
stamina, serta tenaga pada otot. Demikian pula yang terjadi pada otot
jantung dan otot-otot pada anggota gerak (otot lengan dan tungkai).
Otot pada jantung berkembang akibat latihan dan aktivitas fisik yang
teratur dilaksanakan. Kesegaran dan kebugaran pada tubuh tentunya
tidak hanya ditentukan oleh tenaga dan perkembangan otot.
Peran utama dalam kesegaran jasmani adalah kapasitas jantung dan
paru-paru yang berperan dalam penyuplai O2 dan darah menuju seluruh
jaringan tubuh. Jantung dan paru-paru yang sehat dan segar akan
mengalirkan O2 dan darah yang lebih banyak ke jaringan tubuh lainnya.
hal tersebut berbanding terbalik dengan seseorang yang sistem kerja
jantung dan parunya tidak segar. Kegiatan aktivitas fisik yang baik dan
tepat untuk usia lanjut adalah dengan memusatkan perhatian dan
menghayati manfaat dari aktivitas fisik yang dilakukan. Bentuk
aktivitas fisik yang perlu dilakukan hendaknya melibatkan otot-otot
besar dalam tubuh seperti bersepeda, berlari, berjalan dan berenang.
Aktivitas fisik yang meliputi latihan angkat besi dan push-up dapat
meningkatkan kekuatan dan perkembangan otot dan tonus otot.
Aktivitas tersebut tidak dianjurkan bagi lanjut usia oleh karena tidak
berpengaruhnya aktivitas tersebut dalam peningkatan kesegaran
jasmani. Aktivitas tersebut termasuk dalam kategori latihan isometrik
dimana aktivitas tersebut hanya berpusat pada peningkatan kekuatan
otot-otot pada luar tubuh. Latihan isometrik ini tidak mempengaruhi
peningkatan kemampuan paru-paru dalam menyerap O2 serta tidak
mempengaruhi kerja jantung dan pembuluh darah dalam mengedarkan
oksigen ke seluruh jaringan tubuh. Tidak dianjurkan pula manusia usia
lanjut melakukan aktivitas fisik isometrik seperti kerja berat mengapak
kayu dan menggali tanah.
Aktivitas fisik maupun olahraga bagi lanjut usia sangatlah penting
dalam mempengaruhi fungsi kerja jantung. Jumlah denyut nadi dalam 1
menit (frekuensi denyut nadi) ketika istirahat pada seseorang yang
terlatih lebih rendah jumlah denyut nadinya daripada orang yang tidak
http://repository.unimus.ac.id
51
terlatih. Frekuensi yang lebih rendah ini akan menyebabkan lebih
panjangnya waktu istirahat pada jantung antara 2 kucupan. Frekuensi
yang rendah dapat melenyap ketika latihan dihentikan (Irianto, 2011:
69).
Selama seseorang melakukan aktivitas yang berat, paru-paru sering
mengabsorbsi oksigen 20 kali lebih besar dari absorbsi oksigen normal.
Absorbsi ini dicapai dengan meningkatkan jumlah kapiler yang terbuka
sehingga oksigen dapat berdifusi jauh lebih mudah diantara gas
alveolus dan darah, serta dicapai dengan meningkatkan curah jantung
yang diikuti dengan peningkatan aliran darah melalui paru-paru
sehingga darah mengambil oksigen dalam jumlah yang lebih besar
setiap menitnya (Guyton, 2002: 181). Sekecil apapun aktivitas fisik
yang dilakukan oleh lansia terutama diluar rumah dapat meningkatkan
sikap, mengurangi stres dan kesepian, menjadikan tidur lebih baik, dan
mencegah perasaan depresi (Stanley & Beare: 20).
Perubahan normal yang terjadi pada lansia termasuk penurunan
tinggi badan, redistribusi massa otot dan lemak subkutan, peningkatan
porositas tulang, atrofi otot, pergerakan yang lambat, pengurangan
kekuatan, dan kekakuan sendi-sendi (Stanley & Beare: 154). Perubahan
pada tulang, otot, dan sendi mengakibatkan terjadinya perubahan
penampilan, kelemahan, dan lambatnya pergerakan yang menyertai
penuaan. (Stanley & Beare: 154).
9. Manfaat Aktivitas Fisik ditinjau dari Segi Kesehatan
Menurut (United States Departement of Health and Human
Services, 2008) manfaat aktivitas fisik bagi orang dewasa dan usia
lanjut adalah sebagai berikut:
a) Menurunkan risiko kematian dini
Meningkatkan kardiorespirasi dan kejang otot
b) Pencegahan jatuh
Mengurangi depresi
http://repository.unimus.ac.id
52
c) Menurunkan risiko penyakit jantung koroner, stroke, tekanan darah
tinggi, sindrom lipid darah, risiko kanker usus besar, dan risiko
kanker payudara.
Sebagai upaya penurunan berat badan terutama jika dikombinasikan
dengan penurunan asupan kalori, serta guna mengurangi obesitas
perut.
d) Fungsi kognitif dan kesehatan fungsional yang lebih baik
Manfaat aktivitas fisik pada kardiorespirasi dimana orang yang
melakukan aktivitas fisik intensitas sedang atau intensitas tinggi
secara teratur memiliki risiko penyakit kardiovaskuler yang jauh
lebih rendah dibandingkan orang yang tidak aktif.
e) Manfaat kesehatan Metabolik
Aktivitas fisik yang teratur sangat mengurangi risiko penyakit
diabetes tipe 2 serta sindrom metabolisme yang diantaranya tekanan
darah tinggi. Orang-orang yang secara teratur melakukan aktivitas
fisik dengan intensitas sedang sedikit lebih rendah terkena resiko
diabetes tipe 2 daripada orang yang tidak aktif. Kondisi ini terlihat
antara 120 sampai 150 menit seminggu di aktivitas fisik dengan
intensitas sedang. Aktivitas fisik membantu mengontrol kadar
glukosa darah pada orang yang menderita diabetes tipe 2.
http://repository.unimus.ac.id
53
D. Kerangka Teori
Sumber: United States. Departement of Health and Human Services (2008)
Skema 2.1 Kerangka Teori
Aktivitas fisik dengan intensitas sedang
(Moderate Intensity):
1) Berjalan cepat (3 mil per jam atau lebih
cepat, tapi tidak lomba berjalan)
2) Aerobik air
3) Bersepeda lebih lambat dari 10 mil per jam
4) Tenis (ganda)
5) Tarian ballroom
6) Berkebun secara umum
Aktivitas fisik dengan intensitas berat
(Vigorous Intensity):
a. Racewalking, joging, atau berlari
b. Berenang
c. Tenis (single)
d. Tarian aerobik
e. Bersepeda 10 mil per jam atau lebih cepat.
f. Lompat tali.
g. Berkebun berat (penggalian atau
mencangkul terus menerus, dengan disertai
peningkatan denyut jantung).
h. Berjalan menanjak atau dengan ransel yang
berat.
Aktivitas Fisik
http://repository.unimus.ac.id
54
E. Kerangka konsep
Tabel 2.2
Kerangka konsep
Sumber : (United States Departement of Health and Human Services, 2008).
F. Variabel Penelitian
Variabel Independen (bebas) pada penelitian ini adalah aktivitas
fisik yang meliputi aktivitas fisik intensitas sedang (Moderate intensity)
dan aktivitas fisik intensitas berat (Vigorous Activity).
G. Hipotesis Penelitian
Bagaimanakah gambaran kategori aktivitas fisik pada lansia
hipertensi di Posbindu Sumber Sehat RW 05 Desa Sehat Desa Kangkung
Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak.
Aktivitas fisik denganntensitas sedang
(Moderate intensity)
Aktivitas fisik dengan intensitas kuat
(Vigorous Activity)
1) Berjalan cepat (3 mil per jam atau lebih
cepat, tapi tidak lomba berjalan)
2) Aerobik air
3) Bersepeda lebih lambat dari 10 mil per
jam
4) Tenis (ganda)
5) Tarian ballroom
6) Berkebun secara umum
a. Racewalking, joging, atau berlari
b. Berenang
c. Tenis (single)
d. Tarian aerobik
e. Bersepeda 10 mil per jam atau lebih cepat.
f. Lompat tali.
g. Berkebun berat (penggalian atau
mencangkul terus menerus, dengan disertai
peningkatan denyut jantung).
h. Berjalan menanjak atau dengan ransel yang
berat.
http://repository.unimus.ac.id