bab ii tinjauan pustaka
TRANSCRIPT
15
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Batasan Laut, Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
2.1.1 Laut
Laut adalah keseluruhan rangkaian air asin yang menggenangi permukaan
bumi. Definisi ini hanya bersifat fisik saja, sedangkan laut menurut definisi
hukum adalah keseluruhan air laut yang berhubungan secara bebas di seluruh
permukaan bumi (Mauna 2005).
Dalam Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir (DKP 2001),
wilayah laut adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap
unsur terkait padanya yang terbatas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek
administrasi dan atau aspek fungsional. Laut merupakan jalan raya yang
menghubungkan seluruh pelosok dunia, melalui laut masyarakat dari berbagai
bangsa mengadakan segala macam pertukaran dari komoditi perdagangan sampai
ilmu pengetahuan. Dapat dikatakan bahwa laut merupakan sarana penting dalam
hubungan internasional, sebagai contoh-contoh kompetisi antar negara-negara
besar untuk menguasai laut, karena barangsiapa yang menguasai laut akan
menguasai lalu-lintas laut dan barangsiapa menguasai lalu-lintas laut juga akan
menguasai dunia.
Khusus bagi negara pantai, dalam menjalankan kegiatan di laut, maka
perlu adanya pengawasan yang dilakukan secara bersama oleh negara-negara
pantai melalui konvensi untuk menjaga kebebasan di laut lepas atau kepentingan-
kepentingan khusus negara pantai. (Mauna 2005).
Lebar laut negara pantai menetapkan laut teritorialnya hinga suatu batas
yang tidak melebihi 12 mil laut, diukur dari garis pangkal (Pasal 3 UNCLOS).
Sedangkan batas luar laut teritorial adalah garis jarak setiap titiknya dari titik yang
terdekat garis pangkal, sama dengan lebar laut teritorial. (pasal 4 UNCLOS).
2.1.2 Wilayah pesisir
Wilayah pesisir (coastal zone) belum dididefiniskan secara baku, namun
terdapat kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah
peralihan antara daratan dan lautan (Dahuri et al. 2001). Sebagai kawasan daratan,
16
wilayah pesisir yang masih dipengaruhi oleh proses dan dinamika laut seperti
pasang surut, intrusi air laut dan kawasan laut yang masih mendapat pengaruh dari
proses dan dinamika daratan seperti sedimentasi dan pencemaran. Sementara itu
pendekatan administrasi membatasi wilayah pesisir sebagai wilayah administrasi
pemerintahan memiliki batas terluar sebelah hulu dari kecamatan atau
kabupaten/kota yang mempunyai laut dan ke arah laut sejauh 12 (dua belas) mil
laut dari garis pantai untuk provinsi dan sepertiganya untuk kabupaten/kota.
Dalam konteks pendekatan perencanaan, wilayah pesisir merupakan wilayah
perencanaan pengelolaan sumberdaya yang difokuskan pada penanganan isu yang
akan dikelola secara bertanggung-jawab.
Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai bagian integral
dari pembangunan kelautan dan perikanan, perlu mendapat perhatian dengan skala
prioritas yang tinggi dan menjadi bagian dari orientasi kebijakan perencanaan
pembangunan nasional. Mengingat wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
merupakan tempat bermukim sebagian penduduk (60% penduduk Indonesia
tinggal di wilayah pesisir), juga memiliki potensi kekayaan sumberdaya alam
yang besar karena didukung oleh adanya sumberdaya hayati dan non-hayati,
sehingga dalam melaksanakan program pengelolaan pesisir pulau-pulau kecil
memerlukan pendekatan terpadu yaitu pendekatan: ekologi, adminsitasi,
perencanaan, sosial, budaya, dan hukum.
2.1.3 Pulau-pulau kecil
Definisi pulau dalam Pasal 121 UNCLOS, adalah daratan yang dibentuk
secara alamiah yang dikelilingi oleh air dan yang ada di atas permukaan air pada
air pasang, sedangkan definisi pulau sebagaimana yang tercantum dalam Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 1985 (Bab VIII Pasal 121 ayat 1) bahwa: Pulau adalah
massa daratan yang terbentuk secara alamiah, di kelilingi oleh air dan selalu
berada/muncul di atas permukaan air pasang tinggi. Sedangkan, pulau-pulau kecil
secara harafiah merupakan kumpulan pulau berukuran kecil yang secara
fungsional saling berinteraksi dari sisi ekologi, ekonomi, sosial dan budaya.
Interaksi ini menyebabkan pulau-pulau kecil tersebut terpisah dari pulau induknya
(mainland).
17
Karakteristik pulau-pulau kecil yang sangat menonjol menurut Griffith dan
Inniss (1992) serta Beller, 1990) adalah:
(1) terpisah dari habitat pulau induk sehingga bersifat insuler
(2) memiliki persediaan air tawar yang sangat terbatas, termasuk air tanah atau air
permukaan
(3) rentan terhadap gangguan eksternal, baik alami maupun akibat kegiatan
manusia
(4) memiliki spesies endemik yang memiliki fungsi ekologi yang tinggi, dan
(5) tidak memiliki daerah hinterland.
Menurut Brookfield (1990), pulau-pulau kecil adalah pulau yang luasnya
sekitar 1.000 km2 dan penduduk lebih kecil dari 100.000 orang. Batasan ini juga
digunakan di Jepang (Nakajima dan Machida, 1990). Berkaitan dengan hal
tersebut, Kementerian Kelautan dan Perikanan (DKP 2001) mendefinisikan pulau
kecil sebagai pulau yang ukuran luasnya kurang dari 2.000 km2 dengan jumlah
penduduk sekitar 200.000 jiwa (Abubakar 2004).
Pulau-pulau kecil (PPK) juga mempunyai peran yang sangat penting bagi
manusia, seperti mempengaruhi iklim global, siklus hidrologi, biogeokimia, dan
penyerap limbah (Dahuri 1998). Pulau-pulau kecil tersebut juga memberikan
manfaat lain bagi kehidupan manusia seperti pemanfaatan jasa lingkungan untuk
kegiatan usaha pariwisata, budidaya perairan yang dapat menambah pendapatan
dan devisa, serta sebagai tempat yang menyimpan plasma nuftah yang sangat
berharga bagi keberlangsungan kehidupan manusia.
Pulau kecil menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil didefinisikan, sebagai pulau
dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilometer persegi)
beserta kesatuan ekosistemnya.
2.2 Potensi Pulau-Pulau Kecil Terluar di Perbatasan Negara
Pulau-pulau kecil terluar merupakan wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) yang berbatasan dengan negara tetangga, sehingga
keberadaannya mempunyai arti yang strategis dalam proses pembangunan.
18
Menurut Dahuri (1998), potensi pulau-pulau perbatasan dapat dikelompokkan
menjadi tiga, yaitu (1) potensi sumberdaya alam dan jasa lingkungan, (2) potensi
ekonomi, dan (3) potensi sebagai bisnis pertahanan negara.
Lebih lanjut Dahuri (1998) menyatakan bahwa potensi sumberdaya alam
dan jasa lingkungan di pulau-pulau kecil terluar terdiri dari sumberdaya hayati
(padang lamun, terumbu karang, dan hutan manggrove), yang sangat berperan
dalam mengendalikan keseimbangan ekosistem termasuk kelestarian biota-biota
perairan. Sementara itu, potensi sumberdaya non-hayati seperti bahan tambang,
energi laut dan jasa lingkungan (terutama pariwisata) dapat dimanfaatkan untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi.
Upaya untuk menjadikan pulau-pulau terluar sebagai basis pengembangan
komuditas pertanian, perikanan, peternakan atau industri, serta jasa lingkungan
bukan merupakan sesuatu yang mudah dilakukan, hal ini dikarenakan oleh
masing-masing sektor mempunyai peluang yang sama. Adakalanya
pengembangan jasa lingkungan pada pulau-pulau kecil terluar mendapat
tantangan dari para aktivis lingkungan, karena diduga dapat merusak lingkungan
ekosistem pesisirnya.
Permasalahan yang terjadi di pulau-pulau kecil terluar adalah kondisinya
yang relatif terisolasi dan jauh dari pulau induk, terbatasnya sarana dan prasarana
perekonomian seperti: jalan raya, pelabuhan, pasar, penerangan listrik, lembaga
perbankan, sehingga berakibat pada kesejahteraan dan pendapatan masyarakat
rendah serta kualitas sumberdaya manusia rendah akibat kurangnya fasilitas
pendidikan, tidak tersedianya informasi dan komunikasi serta fasilitas kesehatan
(Bengen 2004).
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai dengan Pasal 5
dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007, meliputi kegiatan
perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian terhadap interaksi
manusia dalam memanfaatkan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta
proses alamiah secara berkelanjutan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
19
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil wajib dilakukan
dengan cara mengintegrasikan kegiatan: (a). antara Pemerintah dan Pemerintah
Daerah; (b). antar Pemerintah Daerah; (c). antar sektor; (d). antara Pemerintah,
dunia usaha, dan Masyarakat; (e). antara Ekosistem darat dan Ekosistem laut; dan
(f). antara ilmu pengetahuan dan prinsip-prinsip manajemen.
2.3 Hukum Laut Indonesia
Kedudukan Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic state) telah
diakui dunia internasional yang penetapannya sejak Indonesia meratifikasi
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 31 Desember 1985 melalui
Undang-Undang No.17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations
Convention on the Law of the Sea 1982. Konvensi ini telah memberi pengakuan
terhadap status Indonesia sebagai suatu negara kepulauan dengan dicantumkannya
Bab IV pasal 46 sampai pasal 54 tentang Negara Kepulauan. Menurut Konvensi
Hukum Laut 1982 Indonesia berhak untuk menetapkan batas-batas terluar dari
berbagai zona maritim, dengan batas-batas maksimum yang ditetapkan sebagai
berikut:
(1) Laut teritorial sebagai bagian dari wilayah negara: 12 mil laut
(2) Zona tambahan dimana negara memiliki yuridiksi khusus: 24 mil laut
(3) Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE): 200 mil laut, dan
(4) Landas kontinen: antara 200-350 mil laut atau sampai dengan 100 mil laut dari
isobath (kedalaman) 2.500 meter.
Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Landas Kontinen (LK) Indonesia
memiliki hak-hak berdaulat untuk memanfaatkan kekayaan sumberdaya. Sebagai
negara kepulauan Indonesia berhak untuk menetapkan perairan kepulauan pada
sisi dalam dari garis-garis pangkal kepulauannya dan perairan pedalaman pada
perairan kepulauannya, dan pada zona maritim harus diukur dari garis-garis
pangkal atau garis dasar.
Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang
Perairan Indonesia pada tanggal 8 Agustus 1996, maka secara tegas telah
menetapkan batas-batas terluar (outer limit) kedaulatan dan yuridiksi Indonesia di
laut, termasuk memberikan dasar dalam menetapkan garis batas (boundary)
20
dengan negara-negara tetangga yang berbatasan, baik negara-negara yang
letaknya berhadapan maupun yang berdampingan dengan Indonesia. Undang-
undang tersebut telah dilengkapi dengan pelaksanaannya yaitu Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 Tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik
Pangkal Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Karena Peraturan Pemerintah
tersebut, masih memasukkan Pulau Sipadan dan Ligitan, dimana kedua pulau
tersebut terdapat 3 (tiga) titik pangkal pengukuran dan letaknya sangat strategis
dalam mempertegas batas-batas terluar, sehingga Pengumunan Pemerintah
tersebut secepatnya dilakukan perubahan sehingga tidak menimbulkan
permasalahan yang baru di wilayah tersebut.
Indonesia sebagai negara kepulauan, dalam arti laut mempunyai makna
sebagai satu kesatuan wilayah, memiliki dua aspek utama yaitu keamanan
(security) dan kesejahteraan (prosperity), sehingga penetapan batas-batas terluar
wilayah sebagai yuridiksi negara di laut dengan negara-negara yang bertetangga
perlu dilaksanakan. Penetapan batas merupakan kepastian hukum yang dapat
menunjang berbagai kegiatan pembangunan nasional dibidang pertahanan
keamanan, perikanan, pariwisata, pelayaran, pertambangan seperti: eksplorasi dan
eksploitasi mineral-gas dasar laut dan tanah di bawahnya, termasuk harta warisan
muatan kapal tenggelam, dan lain sebagainya. Penyempurnaan batas-batas
wilayah dan yuridiksi negara di laut harus dapat menunjukkan tegaknya wibawa
Republik Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, terwujudnya rasa
aman, perekonomian dan teknologi yang maju untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat melalui pengelolaan wilayah pesisir dan laut terpadu.
Posisi geografis Indonesia mempunyai batas dengan sepuluh negara di
perairan dan di daratan tiga negara, sehingga pengaturan wilayah perbatasan
penting diselesaikan karena sangat strategis. Oleh karena itu Indonesia
mengakomodasikan kepentingan internasional di perairan Indonesia, yakni
menghormati hak-hak masyarakat internasional di perairan yang kini menjadi
perairan nasional, terutama hak lintas damai dan hak lintas alur laut kepulauan,
bagi kapal-kapal asing. Dengan meningkatnya kepentingan keamanan nasional,
maka kebijakan di wilayah laut yang pada pokoknya hanya mengurus kegiatan-
21
kegiatan di atas permukaan laut, saat ini telah diarahkan pada pengelolaan
sumberdaya di zona ekonomi eksklusif, dasar laut dan kekayaan mineral yang
terkandung di dalamnya, sehingga terjadi perubahan pengertian hukum laut yang
dahulu bersifat unidimensional sekarang telah menjadi pluridimensional, yang
sekaligus merubahn filosofi dan konsepsi hukum laut di masa lalu (Mauna 2005).
2.4 Pembangunan Wilayah Perbatasan
Pembangunan kawasan perbatasan menurut Dahuri yang diacu Pratikto et
al. (2006) mencakup beberapa aspek utama, seperti: (1) geografi (meliputi
pembuatan jaringan perhubungan laut, darat dan udara, serta sarana komunikasi),
(2) demografi (mencakup pengisian dan pendistribusian penduduk untuk
keperluan kekuatan sistem pertahanan keamanan rakyat semesta), serta (3)
sumberdaya alam (untuk mengetahui secara rinci data dasar keseluruhan kekayaan
sumberdaya alam dan sistem pengamanannya). Selain aspek utama lainnya
berupa: (4) ideologi (berkaitan dengan pembinaan dan penghayatan ideologi guna
menangkal ideologi asing), (5) politik (mencakup pemahaman sistem politik
nasional dan menjaga stabilitas politik yang dinamis bersama aparat pemerintah
sebagai mitra pembinaan teritorial serta pemahaman politik internasional negara
tetangga), dan (6) perhubungan (mencakup pembangunan sarana perhubungan
sehingga terbuka akses pengembangan ekonomi, pendukung logistik,
pemberdayaan masyarakat dan wilayah pertahanan keamanan). Aspek lainnya
berupa: (7) ekonomi, sosial dan budaya (meliputi peningkatkan akses pasar,
kualitas komuditi, pendidikan kesehatan, kesejahteraan yang memadai, serta
meningkatkan ketahanan budaya guna membendung penetrasi budaya asing) dan
(8) pertahanan dan keamanan (seperti pembuatan pos-pos perbatasan),
pembentukan sabuk pengaman dan kekuatan pembinaan teritorial yang memadai
dan pengendalian yang cukup baik oleh aparat keamanan maupun swakarsa
masyarakat).
Wilayah perbatasan sebagai batas kedaulatan suatu negara secara universal
memiliki peran strategis dalam penentuan kebijakan pemerintah untuk
kepentingan nasional maupun internasional. Secara geografis penetapan batas
wilayah negara di darat maupun di laut belum tuntas diselesaikan dimana
22
Indonesia memiliki bagian laut yang langsung berbatasan dengan 10 (sepuluh)
negara tetangga yaitu (1) Australia, (2) Filipina, (3) India, (4) Malaysia, (5) Palau,
(6) Papua Nugini, (7) Singapura, (8) Timor Leste, (9) Thailand dan (10) Vietnam.
Berberapa penjanjian bilateral yang disepakati adalah garis batas laut teritorial,
ZEE dan landas kontinen dengan beberapa negara tetangga antara lain dengan
Singapura, Malaysia, Thailand, India, Papua Nugini dan Aurtralia, sedangkan
Filipina, Palau, Timor Leste, dan Vietnam belum mencapai persetujuan. (Agoes
2002).
Kajian kebijakan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar perlu dilakukan
secara komprehensif dengan tidak mengabaikan potensi dan karakteristik yang
mencakup antara lain aspek sumberdaya alam hayati dan non-hayati; aspek sarana
dan pra-sarana pembangunan yang meliputi aspek sosial, ekonomi, budaya,
hukum, kelembagaan, serta geopolitik. Dengan tidak menyampingkan
kepentingan pembangunan pemanfaatan pulau-pulau kecil, maka penataan ruang
sangat penting untuk di dilakukan agar tidak terjadi tumpang tindih kebijakan dan
konflik pengelolaan. Penataan ruang pesisir termasuk pulau-pulau kecil dapat
dilakukan untuk menentukan lokasi atau wilayah yang dijadikan sebagai tempat
penangkapan ikan, budidaya perairan, wisata, dan konservasi. Penetapan
pengelolaan pulau-pulau terluar dilakukan secara terencana dan
berkesinambungan, terus menenus (continous presence), kemudian dalam proses
penyusunan dituangkan dalam kebijakan jangka panjang di daerah pada dokumen-
dokumen Rencana Strategi, Rencana Zonasi, Rencana Pengelolaan, dan Rencana
Aksi.
Wilayah perbatasan Indonesia – Filipina dibatasi oleh pulau-pulau kecil
yang masuk dalam wilayah Provinsi Sulawesi Utara, dan masuk dalam wilayah
Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud. Jumlah pulau-
pulau kecil yang terdapat di dalam dua wilayah tersebut berdasarkan data dari
Dinas Hidrografi–Oseanografi (DISHIDROS) TNI Angkatan Laut November
2003 berjumlah 11 (sebelas) pulau yaitu (1) Pulau Bangkit; (2) Pulau Manterawu;
(3) Pulau Makalehi; (4) Pulau Kawalusu; (5) Pulau Kawio; (6) Pulau Marore; (7)
23
Pulau Batubawaikang; (8) Pulau Miangas; (9) Pulau Marampit; (10) Pulau Intata;
(11) Pulau Kakorotan.
Kompleksitas permasalahan pengelolaan batas negara di wilayah laut
terutama berkaitan dengan masih banyak segmen kawasan pesisir yang belum
ditetapkan yang berkaitan dengan batas negara seperti pulau-pulau terluar yang
belum bernama, hal ini memiliki dimensi strategis kewilayahan terutama penataan
ruang laut yang berdampak sangat luas terhadap keamanan dan kesejahteraan.
Tindakan yang sering dan selalu terjadi di laut wilayah perbatasan negara yang
merupakan penyakit pesisir (coastal disease) antara lain pencurian ikan oleh
nelayan asing, di daratan kemiskinan masyarakat karena kesulitan akses dan
transportasi, kurang perhatian pembangunan sarana dan prasarana oleh
pemerintah, mobilitas masyarakat di pelintasan batas, pengelolaan sumberdaya
tidak terkontrol, dan kurangnya pengawasan aparat pemerintah, sulit melakukan
pemasaran dan kurang penentuan harga jual hasil perikanan dalam negeri
sehingga penjualan hasil perikanan dilakukan ke negara tetangga.
Menurut Sabarno (2003) dalam pemanfaatan potensi pulau-pulau kecil
terluar terdapat permasalahan hukum yang terkait dengan negara tetangga yang
meliputi :
(1) Belum adanya peraturan perundang-undangan yang jelas dan menyeluruh
untuk pemanfaatan potensi pulau-pulau kecil terluar;
(2) Penyelesaian permasalahan perbatasan negara saat ini masih tergantung pada
pertimbangan keuntungan dan kerugian dari wilayah tersebut;
(3) Penetapan batas negara masih menggunakan acuan survei dan pemetaan
wilayah yang bersifat parsial, sehingga realisasinya memerlukan koordinasi
yang panjang dan berbelit-belit;
(4) Penyelesaian permasalahan perbatasan masih bersifat insidentil dan
situasional.
Menurut Numberi (2006) isu tentang pembangunan pulau-pulau kecil
terluar diantaranya adalah kedaulatan, ekonomi dan penegakan hukum.
24
Pengelolaan perbatasan sampai saat ini belum memberikan filosofi riil dan
menyentuh semua aspek yang menyertainya, termasuk teknis pelaksanaannya di
lapangan. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka pemerintah telah
mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Pulau-Pulau Kecil terluar yang merupakan landasan juridis yang secara khusus
berkaitan dengan pengelolaan di daerah daerah perbatasan. Beberapa hal yang
penting dalam pengelolaan tersebut adalah mencakup beberapaa bidang yaitu : (1)
bidang sumberdaya alam dan lingkungan; (2) infrastruktur dan perhubungan; (3)
pembinaan wilayah; (4) pertahanan dan keamanan; dan (5) sosial ekonomi dan
budaya.
Pengembangan pulau-pulau di wilayah perbatasan tidak terlepas dari visi-
misi pengembangan kawasan perbatasan secara umum dan kecenderungan
perubahan global dan regional yang terjadi diantaranya adalah:
(1) Liberalisasi perdagangan internasional dan tumbuhnya kawasan-kawasan
perdagangan bebas di ASEAN dan Asia Pasifik
(2) Meningkatkan kerjasama ekonomi sub-regional IMT-GT, IMS-GT, BIMP-
EAGA dan AIDA
(3) Kejahatan teroganisir lintas negara
(4) Perubahan iklim global, pemanasan suhu air laut, pencairan es di kutub utara
dan meningkatnya permukaan air laut, dan
(5) Pencemaran akibat angkutan laut dan pembuangan limbah berbahaya serta
beracun (Retraubun 2006).
Menurut Sarundajang (2006) pemerintah provinsi Sulawesi Utara harus
mampu menjaga wilayah kedaulatannya sebagai bagian kewenangan pengelolaan,
sehingga memberikan citra stabil di perairan nasional dan regional, mewujud-
nyatakan kewenangan pengelolaan di laut, penyelesaian sengketa batas wilayah
laut dengan negara tetangga Filipina dan Kerajaan Malaysia. Program
pembangunan pulau-pulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara sesuai dengan
Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah (RJMD) tahun 2005-2010, telah ditetapkan bahwa kegiatan-
25
kegiatan yang akan dilaksanakan untuk mencapai dan meningkatkan pengelolaan
sumberdaya pesisir, laut dan pulau-pulau kecil berkelanjutan adalah:
(1) Pembangunan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan dan berbasis
masyarakat, khususnya di pulau-pulau terluar
(2) Sosialisasi peringatan dini dan penanggulangan bencana alam di laut dan
pesisir (mitigasi bencana)
(3) Managemen kawasan pesisir secara terpadu
(4) Rencana Tata Ruang Pembangunan kawasan pesisir secara terpadu
(5) Pengelolaan kawasan konservasi laut sebagai reservoir
(6) Pengendalian pencemaran
(7) Bersih pantai dan laut
(8) Rehabilitasi ekosistem mangrove
(9) Rehabilitasi ekosistem karang
(10) Pembuatan daerah perlindungan laut dan kawasan konservasi laut daerah,
cagar alam laut, dan
(11) Identifikasi penamaan laut.
2.5 Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu
Berdasarkan ketentuan umum dalam Undang Undang Nomor 27 Tahun
2007 pasal 1 angka 1 disebutkan bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan
pengendalian sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil antarsektor, antara
Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara
ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dalam kegiatan pembangunan dan pengalaman empiris, terbukti bahwa
perencanaan pembangunan yang dilakukan secara sektoral, tidak atau belum
membuahkan hasil maksimal dalam mencapai pemanfaatan ekosistem pesisir dan
laut secara berkelanjutan. Oleh karena itu dalam setiap perencanaan pembangunan
perlu pendekatan pengelolaan pesisir secara terpadu, dengan teknik bahwa
pengelolaan pesisir terpadu menjadikan fasilitator optimalisasi keuntungan
ekonomi sosial, pemanfaatan sumberdaya alam, serta jasa-jasa lingkungan di
26
wilayah pesisir. Pendekatan pengelolaan pesisir terpadu dapat menjamin
pemeliharaan struktur dan integritas fungsional ekosistem serta aliran sumberdaya
alam secara berkesinambungan, dan sangat baik untuk negara-negara yang sedang
berkembang dimana pembangunan ekonominya sangat tergantung pada kualitas
lingkungan dan sumberdaya alam.
Dalam perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
seperti yang diatur dalam perundangannya yaitu :
(1) Rencana Strategis adalah rencana yang memuat arah kebijakan lintas sektor
untuk Kawasan perencanaan pembangunan melalui penetapan tujuan, sasaran
dan strategi yang luas, serta target pelaksanaan dengan indikator yang tepat
untuk memantau rencana tingkat nasional.
(2) Rencana Zonasi adalah rencana yang menentukan arah penggunaan sumber
daya tiap-tiap satuan perencanaan disertai dengan penetapan struktur dan pola
ruang pada Kawasan perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh
dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat
dilakukan setelah memperoleh izin.
(3) Rencana Pengelolaan adalah rencana yang memuat susunan kerangka
kebijakan, prosedur, dan tanggung jawab dalam rangka pengoordinasian
pengambilan keputusan di antara berbagai lembaga/instansi pemerintah
mengenai kesepakatan penggunaan sumber daya atau kegiatan pembangunan
di zona yang ditetapkan.
(4) Rencana Aksi Pengelolaan adalah tindak lanjut rencana pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang memuat tujuan, sasaran, anggaran, dan
jadwal untuk satu atau beberapa tahun ke depan secara terkoordinasi untuk
melaksanakan berbagai kegiatan yang diperlukan oleh instansi Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan pemangku kepentingan lainnya guna mencapai hasil
pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil di setiap Kawasan
perencanaan.
(5) Rencana Zonasi Rinci adalah rencana detail dalam 1 (satu) Zona berdasarkan
arahan pengelolaan di dalam Rencana Zonasi yang dapat disusun oleh
27
Pemerintah Daerah dengan memperhatikan daya dukung lingkungan dan
teknologi yang dapat diterapkan serta ketersediaan sarana yang pada
gilirannya menunjukkan jenis dan jumlah surat izin yang dapat diterbitkan
oleh Pemerintah Daerah.
Dengan pelaksanaan perencanaan pembangunan pengelolaan pesisir secara
terpadu merupakan suatu proses yang dinamis dan terus menerus, dimana segala
keputusan dibuat untuk penggunaan yang berkelanjutan, serta pembangunan dan
perlindungan terhadap sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil.
Menurut Cicin-Sain dan Knecht (1998) tujuan pengelolaan pesisir terpadu
adalah:
(1) Untuk mencapai pembangunan daerah pesisir dan lautan yang berkelanjutan
(2) Untuk mengurangi gangguan alam yang membahayakan daerah pesisir dan
makhluk hidup yang terdapat di dalamnya
(3) Untuk mempertahankan proses ekologi, sistem pendukung kehidupan, dan
keanekaragaman hayati di daerah pesisir dan lautan.
Pada prinsipnya pengelolaan pesisir terpadu dapat mengakomodasikan
adanya spektrum zonasi dari wilayah pesisir dan lautan yaitu (1) daerah
pedalaman (inland areas), (2) daerah pantai (coastal lands), (3) perairan pantai
(coastal water), (4) perairan lepas pantai (offshore waters), dan laut bebas (high
sea). Masing-masing zona tersebut memiliki kepemilikan, ketertarikan pemerintah
serta institusi yang berbeda. Melalui beberapa dimensi integrasi yang ada dalam
pengelolaan pesisir terpadu, proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan
menjadi sesuatu yang penting dalam keberlanjutan sumberdaya (Dahuri 2003).
2.6 Prinsip Dasar Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu
Untuk memandu perencanaan program pengelolaan wilayah pesisir terpadu
di Indonesia, Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menentukan prinsip-prinsip
dasar pengelolaan wilayah pesisir terpadu yang diuraikan dalam Pedoman Umum
Pengelolaan Wilayah Peisisir Terpadu, seperti dikutip secara utuh. Prinsip-prinsip
umum menguraikan mengenai kaidah keterpaduan perencanaan, desentralisasi
28
pengelolaan, pembangunan berkelanjutan, dan keterbukaan serta partisipasi
masyarakat. Prinsip-prinsip dasar pengelolaan pesisir terpadu meliputi: (1) keterpaduan,
(2) desentralisasi pengelolaan, (3) pembangunan berkelanjutan, (4) keterbukaan dan
peran serta masyarakat, dan (5) kepastian hukum.
2.6.1 Prinsip keterpaduan
(1) Keterpaduan perencanaan sektor secara horisontal
Keterpaduan perencanaan horisontal adalah memadukan perencanaan dari
berbagai sektor, seperti sektor pertanian dan sektor konservasi yang berada di hulu,
sektor perikanan, sektor pariwisata, sektor perhubungan laut, sektor industri
maritim, sektor pertambangan lepas pantai, sektor konservasi laut, dan sektor
pengembangan kota, yang berada dalam satu tingkat pemerintahan yaitu
Kabupaten/Kota, Provinsi, atau pemerintah pusat.
(2) Keterpaduan perencanaan secara vertikal
Keterpaduan perencanaan vertikal meliputi keterpaduan kebijakan dan
perencanaan mulai dari tingkat Desa, Kecamatan, Kabupaten/Kota, Provinsi,
sampai tingkat Nasional.
(3) Keterpaduan ekosistem darat dan laut
Perencanaan pengelolaan pesisir terpadu diprioritaskan dengan menggunakan
kombinasi pendekatan batas ekologis, misalnya daerah aliran sungai (DAS), dan
wilayah administratif Provinsi, Kabupaten/Kota, dan Kecamatan sebagai basis
perencanaan; sehingga dampak dari suatu kegiatan di DAS, seperti kegiatan
pertanian dan industri, perlu diperhitungkan dalam pengelolaan pesisir.
(4) Keterpaduan sains dan manajemen
Pengelolaan pesisir terpadu perlu didasarkan pada masukan (input) data dan
informasi ilmiah yang absah untuk memberikan berbagai alternatif dan
rekomendasi bagi pengambil keputusan dengan mempertimbangkan kondisi,
karakteristik sosial-ekonomi-budaya, kelembagaan, dan biogeofisik lingkungan
setempat.
(5) Keterpaduan antar negara
Pengelolaan pesisir di wilayah perbatasan negara tetangga perlu mengintegrasikan
kebijakan dan perencanaan pemanfaatan sumber daya pesisir masing-masing
29
negara tersebut. Keterpaduan kebijakan ataupun perencanaan antarnegara antara
lain mengendalikan faktor-faktor penyebab kerusakan sumber daya pesisir yang
bersifat lintas negara, seperti di pesisir antara Pulau Batam dengan Singapura.
2.6.2 Prinsip pembangunan berkelanjutan
Tujuan utama pengelolaan pesisir terpadu adalah untuk memanfaatkan
sumber daya pesisir dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat dan
pelaksanaan pembangunan nasional, dengan tidak mengorbankan kelestarian
sumber daya pesisir dalam upaya memenuhi kebutuhan tersebut, baik untuk
generasi sekarang maupun generasi yang akan datang. Untuk itu, laju
pemanfaatan sumber daya pesisir harus dilakukan kurang atau sama dengan laju
regenerasi sumber daya hayati, atau laju inovasi untuk menemukan substitusi sumber
daya nir-hayati di pesisir. Dalam hal ketidakmampuan manusia mengantisipasi
dampak lingkungan di pesisir akibat berbagai aktivitas, maka setiap pemanfaatan
harus dilakukan dengan hati-hati (precautionary principles), selain mengantisipasi
dampak negatifnya.
2.6.3 Prinsip keterbukaan, peran serta dan pemberdayaan masyarakat
Keterbukaan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan akan
memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk memahami bahwasanya
perencanaan perundang-undangan yang ditetapkan Pemerintah pada dasarnya adalah
untuk kepentingan masyarakat.
Prinsip ini juga memberi kesempatan kepada masyarakat untuk ikut
berperan menyusun perencanaan, melaksanakan, serta memantau sekaligus
mengendalikan pelaksanaannya, sehingga masyarakat pesisir menjadi lebih
berdaya. Keterbukaan Pemerintah dalam menginformasikan rumusan kebijakan dan
rencana kegiatan sebelum ditetapkan oleh pihak yang berwenang akan memberi
peluang kepada masyarakat untuk berpartisipasi menyampaikan gagasan, persepsi,
keberatan, usulan perubahan, ataupun gagasan mereka lainnya yang berkaitan
dengan pengelolaan sumber daya pesisir. Keterbukaan tersebut juga dapat
menambah wawasan masyarakat tentang proses pengambilan keputusan yang
dilakukan oleh pemerintah.
30
Dengan demikian, kebijakan atau kegiatan yang dilaksanakan Pemerintah
dapat mengurangi potensi konflik pemanfaatan atau konflik yuridiksi yang
muncul akibat penetapan kebijakan itu sendiri. Oleh sebab itu, konsultasi publik
yang melibatkan stakeholders utama sejak proses perencanaan, pelaksanaan, sampai
tahap pengendalian adalah sesuatu yang sangat penting.
2.7 Hak-Hak pada Sumberdaya Properti Bersama
Menurut Ostrom (1996), pemanfaatan sumberdaya properti bersama dibatasi
dan dilandasi beberapa hak yang memberikan jaminan bagi pemegangnya. Hak-
hak tersebut adalah sebagai berikut:
(1) Hak Akses adalah hak untuk masuk ke dalam sumberdaya yang memiliki
batas-batas fisik yang jelas
(2) Hak Memanfaatkan adalah hak untuk memanfaatkan sumberdaya dengan
cara-cara dan teknik produksi sesuai dengan ketetapan dan peraturan yang
berlaku
(3) Hak Mengatur adalah hak untuk mengatur pemanfaatan sumberdaya serta
meningkatkan kualitas dan kuantitas sumberdaya melalui upaya pengkayaan
stok ikan serta pemeliharaan dan perbaikan lingkungan
(4) Hak Eksklusif adalah hak untuk menentukan siapa yang boleh memiliki hak
akses dan apakah hak akses tersebut dapat dialihkan kepada orang lain
(5) Hak Mengalihkan adalah hak untuk menjual atau menyewakan keempat hak
tadi kepada orang lain.
Hak akses dan hak memanfaatkan lebih bersifat operasional dan melekat
dengan pemegang hak sebagai individu. Keputusan dalam menjalankan hak-hak
ini adalah keputusan individu dan pada hakekatnya tidak dipengaruhi orang lain.
Begitu hak ini diberikan kepada seseorang, dia dapat memutuskan langkah-
langkah operasionalnya sesuai dengan keinginan dan kemampuannya. Oleh
karena itu, kedua hak ini menjamin pemegangnya melakukan aksi-aksi pilihan
individu (individual-choice actions).
31
Hak akses dan hak memanfaatkan sumberdaya properti bersama ini boleh
diibaratkan dengan hak azasi seseorang. Pemilikan hak ini dapat melalui
pemberian, pembelian, penyewaan, perizinan, atau karena faktor warisan dan
keturunan. Seringkali hak-hak ini secara otomatis tanpa dukungan dan bukti
formal yang diwariskan dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Pelaksanaan
hak-hak ini berpengaruh secara langsung pada tingkat pemanfaatan sumberdaya
properti bersama (Nikijuluw 2002).
Di daerah perbatasan negara, pengelolaan wilayah pesisir dan lautan
merupakan suatu sistem yang dinamis, karena adanya interaksi dan
interdependensi antar elemen-elemen (subsistem-subsistem) yang saling
mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya. Dalam pengelolaan di daerah
perbatasan melibatkan beberapa aktor yang berperan sebagai stakeholder yang
memiliki kebutuhan dan pandangan berbeda terhadap wilayah pesisir di daerah
perbatasan. Stakeholder yang terlibat terdiri dari :
(1) Pemerintah, yaitu lembaga otoritas lokal dan nasional yang memegang
kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan di daerah perbatasan.
(2) Masyarakat, termasuk masyarakat tradisional yaitu masyarakat yang secara
terus menerus menetap dan memanfaatkan wilayah pesisir pulau kecil sebagai
tempat tinggal dan atau tempat bekerja, serta memanfaatkan wilayah pesisir
pulau kecil sebagai obyek mata pencaharian utama.
(3) Kelompok masyarakat yang mempunyai kebutuhan berbeda dalam hal
pengelolaan wilayah pesisir pulau kecil di daerah perbatasan.
(4) Swasta, yaitu pelaku ekonomi yang terlibat dalam pengusahaan
pengembangan perikanan, pariwisata dan lainnya.
2.8 Karakteristik Sosial dan Budaya Masyarakat Pulau-Pulau Kecil
Berbeda dengan pulau-pulau besar, masyarakat di pulau-pulau kecil
memiliki karakteristik sosial budaya tersendiri, sebagai konsekuensi dari proses
evolusi budaya yang telah terjadi dalam suatu rangkaian proses interaksi manusia
dan lingkungannya. Interaksi manusia dengan lingkungannya terjadi dalam suatu
bentuk pola tingkah laku yang dilembagakan, kemudian menghasilkan sistem
adaptasi yang terpola dan merupakan bagian dari sistem yang lebih luas, yakni
32
budaya. Selanjutnya budaya yang memiliki keterkaitan secara langsung dengan
adaptasi manusia terhadap lingkungan adalah aspek-aspek budaya yang berupa
sistem teknologi mata pencaharian dan pola pemukiman, yang keduanya disebut
sebagai cultural core. Oleh karenanya karakteristik inipun menjadi spesifik pada
tempat atau lokasi yang berbeda; sehingga penanganan sistem sosial bagi
pengembangan pulau-pulau kecil pun akan memiliki strategi yang berbeda pada
setiap saat.
2.9 Dimensi Sosial Ekonomi Pulau-Pulau Kecil
Sebagian besar pulau-pulau kecil di Indonesia merupakan pulau yang tidak
berpenghuni. Namun demikian tidak berarti bahwa pulau-pulau tersebut tidak
memiliki fungsi sosial dan ekonomi bagi masyrakat pesisir dan pemangku
kepentingan (stakeholders). Pada dasarnya pulau-pulau yang menempati ruang
atau berada pada posisi tertentu, walaupun tidak berpenghuni, namun memiliki
nilai strategis baik secara sosial maupun ekonomi; misalnya pulau-pulau yang
memiliki kandungan sumberdaya alam yang berharga, terlebih pulau-pulau yang
berdekatan dengan pusat pertumbuhan ekonomi baik dalam skala lokal, regional,
nasional maupun internasional.
Beragam ekosistem dan sumberdaya alam kelautan produktif di kawasan
pulau-pulau kecil, menjadikan pulau-pulau kecil sebagai kawasan yang sangat
potensial bagi perkembangan sosial-ekonomi kelautan (Dahuri 2003).
2.10 Aspek Yuridis Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Perbatasan Negara
Menurut Djalal (1979), Indonesia memiliki kedaulatan terhadap
pemanfaatan potensi pulau-pulau kecil perbatasan mengacu pada berbagai
ketentuan hukum internasional yang berlaku. Ketentuan awal mengacu pada
ordonansi laut teritorial dan lingkungan maritime, yang diumumkan oleh
pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1939. Berdasarkan ketentuan tersebut,
batas laut teritorial Indonesia adalah 3 mil laut, sedangkan perairan laut diantara
pulau-pulau di dalam negara Indonesia merupakan laut bebas yang dapat
digunakan oleh berbagai negara.
Setelah posisi Indonesia dalam dunia Internasional semakin mantap,
maka Indonesia secara sepihak mengeluarkan deklarasi Djuanda pada tanggal
33
13 Desember 1957 dan menetapkan batas perairan laut teritorial Indonesia
adalah 12 laut. Deklarasi Juanda ini, secara ekplisit menunjukkan pada dunia
bahwa Indonesia adalah negara kepulauan. Perairan laut yang ada diantara
pulau-pulau Indonesia merupakan laut nusantara (Mare Nostrum). Wilayah
ini merupakan wilayah kedaulatan mutlak bagi negara kesatuan Republik
Indonesia yang dikenal sebagai "archipelagic state". Batas terluar
"archipelagic state" ditetapkan dari base line pulau terluar Indonesia 12 mil
ke arah laut. Konsep "archipelagic state" menurut Djalal (1979) bahwa
Indonesia bukan berarti mengambil wilayah perairan Internasional tetapi
merupakan pemulihan hak yang sekian lama telah diambil oleh pemerintah
kolonial dari bangsa Indonesia.
Perjuangan Indonesia tentang prinsip "archipelagic state" akhirnya
diakui secara Internasional melalui keputusan Perserikatan Bangsa Bangsa
pada tahun 1982, dalam bentuk konvensi hukum laut yang disebut United
Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) yang berlaku mutlak
pada tahun 1994.
Dengan berlakunya UNCLOS 1982, posisi Indonesia terhadap wilayah
laut sangat diuntungkan dan rezim wilayah laut Indonesia menjadi semakin
luas. Menurut Djalal (2000) dan Rais (2003), rezim itu mencakup:
(1) Perairan pedalaman.
Perairan pedalaman adalah perairan yang ditutup oleh garis dasar
penutup teluk, muara dan yang menutup lekukan selebar masksimal 24
mil. Wilayah ini merupakan bagian dari laut yang berada kearah daratan.
(2) Perairan kepulauan
Wilayah ini merupakan perairan yang ada dalam wilayah kepulauan.
Perairan ini lazim disebut perairan nusantara. Dengan demikian perairan
kepulauan merupakan kesatuan wilayah kedaulatan negara berikut ruang
udara, dan tanah yang terdapat di dalamnya.
(3) Laut teritorial
Wilayah ini merupakan bagian laut selebar 12 mil laut diukur dari garis
dasar kepulauan ke arah laut. Garis dasar kepulauan itu sendiri merupakan
titik terluar dari pulau-pulau terluar. Pulau terluar itu termasuk pulau atol.
34
Batasan ini menunjukkan pulau-pulau kecil perbatasan mempunyai arti
penting sekurang-kurangnya sebagai titik dasar penetapan batas wilayah
kita. Pada wilayah ini Indonesia memiliki kedaulatan penuh atas wilayah
laut teritorial, ruang udara, dasar laut dan tanah di bawahnya. Disamping
itu, Indonesia juga berwenang membuat peraturan mengenai lintas laut yang
berkaitan dengan pelayaran.
(4) Zona tambahan (zona berdekatan).
Wilayah ini meliputi laut teritorial ditambah dengan perairan 12 mil ke arah
laut. Dalam zona tambahan ini Indonesia mempunyai wewenang tertentu
seperti pencegahan pelanggaran imigrasi, bea cukai, karantina, serta
menindak pelaku pelanggaran sesuai dengan peraturan.
(5) Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
Zona ini adalah bagian laut sejauh 200 mil laut diukur dari garis dasar laut
teritorial. Zona ini bukanlah wilayah kedaulatan dari suatu negara, tetapi
dengan konvensi UNCLOS negara pantai yang memiliki ZEE mempunyai:
1) Hak berdaulat (sovereign right) untuk tujuan eksplorasi, eksploitasi,
konservasi dan pengelolaan sumberdaya hayati dan non hayati dari
perairan diatas dasar laut.
2) Kewenangan untuk membangun pulau-pulau buatan dan instalasi di
laut, serta memberi izin atau riset ilmiah kelautan, serta perlindungan
lingkungan laut
(6) Landas kontinen
Wilayah ini mencakup dasar laut dan tanah di bawah dasar laut di luar laut
teritorial dan merupakan kelanjutan dari wilayah daratan sampai tepi luar
dari batas kontinen. Berdasarkan batasan ini negara pantai dapat
menetapkan dua kriteria landas kontinen. Pertama, wilayah yang lebarnya
dari zona landas kontinen dibatasi sampai jarak 200 mil laut dari garis dasar
batas teritorial diukur. Kedua, tepi luar dari landas kontinen melebihi 200
mil dari garis dasar laut teritorial diukur, sehingga negara pantai dapat
menetapkan batas melebihi 200 mil laut tetapi tidak boleh melebihi 350 mil
laut atau tidak melebihi 100 mil laut dari garis kedalaman 2500 meter.
35
Berdasarkan butir 1 sampai 6, maka Indonesia mempunyai hak terhadap
pulau-pulau kecil perbatasan negara yang ada pada keenam wilayah perairan
tersebut. Menurut Djalal (2000) terdapat masalah yuridis batas laut Indonesia
dengan negara tetangga. Masalah tersebut menyangkut perairan Indonesia saat
ini, yaitu ketidakpastian tentang garis terluar, khususnya yang terkait dengan
titik-titik dasar dan batas terluar mulai perairan kepulauan Indonesia yang
tercantum dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 Tentang Perairan
Indonesia dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Daftar
Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia.
2.11 Penanganan Pulau-Pulau Kecil Perbatasan Negara
Menurut Sabarno (2003), penanganan pulau-pulau kecil perbatasan
negara substansinya menyangkut justifikasi tentang administrasi perbatasan
negara, untuk menjaga stabilitas politik, ekonomi, dan sosial dalam rangka
menjaga keutuhan NKRI.
Untuk menangani administrasi perbatasan negara Indonesia dengan
negara tetangga, pemerintahan membentuk beberapa lembaga-lembaga ad-hoc
seperti:
(1) General Border Committee (GBC) Republik Indonesia-Malaysia, yang
penangananya dilakukan oleh MABES TNI
(2) Joint Commission Meeting (JMC) Republik Indonesia-Malaysia,
penanganannya diserahkan kepada oleh Kementerian Luar Negeri RI.
(3) Joint Border Committee (JBC) Republik Indonesia-Papua New Guinea,
penanganannya dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri RI.
(4) Joint Border Committee (JBC) Republik Indonesia - Republik Demokratik
Timor Leste, penanganannya dikoordinasikan oleh Kementerian Dalam
Negeri RI.
(5) Sub Komisi Teknis Batas Landas Kontinental, penanganannya diserahkan
kepada Kementerian Luar Negeri.
(6) Sub Komisi Teknis Survey dan Demarkasi (untuk batas darat Republik
Indonesia - Malaysia), penangannya diserahkan kepada Kementerian Dalam
Negeri RI.
36
(7) Sub Komisi Teknis Survey Penegasan dan Penetapan Batas Republik
Indonesia - Papua New Guinea, penangananya oleh MABES TNI.
(8) Sub Komisi Teknis Border Demarcation and Regulation Republik Indonesia
- Republik Demokratik Timor Leste, penanganannya oleh MABES TNI dan
BAKOSURTANAL.
Lebih lanjut dikemukakan Sabarno (2003), bahwa kejelasan batas negara
Indonesia dengan negara tetangga harus mendapat prioritas utama, karena sangat
mempengaruhi kontinuitas pelaksanaan pembangunan. Pengalaman
menunjukkan bahwa secara yuridis formal pelaksanaan pembangunan di wilayah
perbatasan negara masih menghadapi kesulitan karena belum adanya kejelasan
kesepakatan perbatasan sehingga sejumlah program pembangunan tidak dapat
diimplementasikan.
2.12 Kebijakan Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Perbatasan Negara
Menurut Dahuri (2003), Pemerintah Indonesia mulai memperhatikan
pulau-pulau kecil, saat digulirkannya wacana penyewaan pulau-pulau kecil oleh
Kementerian Eksplorasi Laut dan Perikanan pada pertengahan tahun 1999. Isu
ini bahkan menjadi bahan dengar pendapat di DPR. Wacana ini mendapat
sambutan hangat, karena saat itu Indonesia sedang menghadapi krisis ekonomi
yang cukup serius, sehingga penyewaan pulau-pulau kecil seakan merupakan
alternatif sumber pendapatan negara untuk pembiayaan pembangunan. Oleh
sebab itu, pemerintah melakukan penajaman dalam melihat potensi yang
dimiliki pulau-pulau kecil secara lebih terarah, namun kepentingan sektoral
masih terkesan sangat menonjol.
Posisi geografis yang strategis menyebabkan beberapa pulau-pulau kecil
perbatasan mempunyai potensi ekonomi yang dapat dikembangkan untuk
berbagai kepentingan, karena:
(1) Berada pada jalur lintas perdagangan internasional, pemerintah telah
memutuskan beberapa kebijakan strategis.
(2) Dapat dijadikan pusat transit komoditas primer untuk tujuan ekspor ke
berbagai negara, antara lain: Pulau Marore dan Pulau Miangas.
37
(3) Dapat dijadikan sebagai obyek wisata ekslusif untuk mendapatkan devisa,
dengan menyediakan aturan yang berkaitan dengan investasi.
Sementara itu, secara institusional pemerintah telah memberikan
wewenang kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk menyusun
kebijakan nasional dalam pemanfaatan potensi sumberdaya alam hayati di
pulau-pulau kecil. Berkaitan dengan hal tersebut, juga menyusun strategi jangka
pendek dan jangka panjang.
Strategi jangka pendek yang ditempuh menurut Dahuri (2003) adalah:
(1) Membuat rancangan Keputusan Presiden tentang pengembangan pulau--
pulau kecil terluar yang mempunyai titik dasar untuk dikelola oleh
Pemerintah Pusat.
(2) Memanfaatkan pulau-pulau tersebut sebagai basis pengembangan
perikanan terpadu yang berbasis potensi.
(3) Memberdayakan ekonomi masyarakat pesisir dengan mengarahkan dana
pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir ke masyarakat pulau di daerah
perbatasan.
(4) Melakukan identifikasi terhadap keberadaan pulau-pulau kecil terluar.
(5) Mensosialisasikan pentingnya menjaga pulau-pulau kecil terluar.
Strategi jangka panjang meliputi :
(1) Menarik investasi masuk ke pulau-pulau yang mempunyai potensi jasa
lingkungan yang cocok untuk kepariwisataan bahari.
(2) Mendeklarasikan pulau-pulau yang memiliki produktivitas hayati yang tinggi
sebagai kawasan konservasi.
(3) Melakukan penataan ruang pada wilayah pulau-pulau kecil termasuk laut dan
pesisirnya.
(4) Meningkatkan koordinasi lintas sektor dalam upaya menjaga keberadaan.
(Abubakar 2004).
38
2.13 Kejahatan Wilayah Perbatasan
Kejahatan (crime) dan pelanggaran (violation) perikanan adalah dua
bentuk tindakan atau perbuatan melawan peraturan perundang-undangan
perikanan. Pada perspektif nasional, hal tersebut berarti perbuatan melawan
hukum nasional, yaitu hukum positif yang berlaku di Indonesia. Sejauh ini,
hukum positif perikanan yang merupakan payung serta rujukan bagi keseluruhan
aturan atau regulasi perikanan adalah Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (UU 31/2004).
UU 31/2004 ini mengatur secara komprehensif pokok-pokok pembangunan
perikanan yang berawal dari penataan atau pengelolaan sumberdaya perikanan,
pemanfaatan, pengawasan, hingga pengolahannya dan pemasaran produk
perikanan. UU 31/2004 ini juga memberikan arahan bagi pembangunan
masyarakat perikanan, terutama pemberdayaan nelayan serta pengembangan
usaha perikanan. Selain itu, UU 31/2004 memuat ketentuan tentang perbuatan
atau peristiwa pidana yang berkaitan dengan perikanan serta pengadilan atas
perbuatan atau peristiwa pidana tersebut. Perbuatan pidana atau peristiwa pidana
pada UU 31/2004 ini dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu kejahatan
perikanan dan pelanggaran perikanan. (Nikijuluw 2008).
Kejahatan lainnya yang sangat rawan di daerah perbatasan adalah terorisme,
dimana daerah perbatasan dapat menjadi tempat masuk keluar terorisme dan
pulau-pulau kecil menjadi tempat persembunyian. Teroris bukan suatu peristiwa
yang baru di Indonesia.
2.14 Dimensi Hukum Pengelolaan Wilayah Perbatasan
Ada tiga hal berkenaan dengan pengelolaan perbatasan, yaitu: (1)
alternatif lembaga pengelola wilayah perbatasan (2) kelebihan dan kekurangan
ketiga alternatif, dan (3) implikasi terhadap sebuah usulan kebijakan (Wila 2006).
Pertama mempertahankan struktur kelembagaan yang ada seperti sekarang ini,
kedua, perlu memiliki badan khusus yang langsung bertanggung jawab kepada
presiden, ketiga tidak perlu sebuah badan akan tetapi dibentuk forum, dewan atau
board perbatasan.
39
Kelebihan dan kekurangan dari ketiga alternatif kelebihannya adalah
mempertahankan stuktur yang telah ada seperti Kementerian Luar Negeri,
Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Kelautan dan Perikanan,
Kementerian Dalam Negeri dan lainnya. Kelemahannya adalah penegakan
akuntabilitas publik dari pelaksanaan pengawasan atau implementasi dari masing-
masing peran dan tugas yang diemban oleh pihak-pihak yang berkompeten.
Implikasi sebuah usulan kebijakan dengan konsep debirokratisasi atau
reinveting government dalam setiap kelembagaan perbatasan yang akan dibentuk
untuk mendukung ke arah akuntabilitas kelembagaan dan optimalisasi kinerja
yang semakin meningkat.
Menurut Dunn (2000), kebijakan meliputi tiga pendekatan yaitu: (1)
pendekatan empiris, yaitu pendekatan yang menjelaskan sebab akibat dari
kebijakan publik; (2) pendekatan evaluatif, yaitu pendekatan yang berkenaan
dengan penentuan harga atau nilai dari beberapa kebijakan, (3) pendekatan
normatif, yaitu pendekatan yang berkaitan dengan pengusulan arah tindakan yang
dapat memecahkan masalah kebijakan. Dalam proses penelitian, analisis
kebijakan menggunakan prosedur analisis umum yang biasa dipakai untuk
memecahkan masalah-masalah kemanusiaan yaitu: deskripsi, prediksi, evaluasi
dan rekomendasi. Dari segi waktu dalam hubungannya dengan tindakan, maka
prediksi dan rekomendasi digunakan sebelum tindakan diambil sedangkan
deskripsi dan evaluasi digunakan setelah tindakan terjadi.
Kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah khususnya pengelolaan
pulau-pulau kecil terluar adalah Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005. Dalam
pengelolaannya perlu kelembagaan yang merupakan wadah koordinasi non
struktural yang berada di bawah dan bertangung jawab kepada Presiden.
Kelembagaan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar dilaksanakan oleh Tim
Koordinasi yang telah dibentuk yang terdiri dari ketua Menteri Koordinator
Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) dan Wakil Ketua I
merangkap Anggota Menteri Perikanan dan Kelautan dan Wakil Ketua II
merangkap Anggota Menteri Dalam Negeri, sedangkan Sekretaris adalah
Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Polhukam. Keanggotaan kelembagaan
40
terdiri dari 17 (tujuh belas) yaitu : (1) Menteri Pertahanan; (2) Menteri Luar
Negeri; (3) Menteri Perhubungan; (4) Menteri Pekerjaan Umum (5) Menteri
energi dan Sumberdaya Mineral; (6) Menteri Kesehatan; (7) Menteri Pendidikan
Nasional; (8) Menteri Keuangan; (9) Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia;
(10) Menteri Kehutanan; (11) Menteri Negara Perencanaan Pembangunan
Nasional/Kepala BAPPENAS; (12) Menteri Negara Lingkungan Hidup; (13)
Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal; (14) Sekretaris Kabinet; (15)
Panglima Tentara Nasional Indonesia; (16) Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia; (17) Kepala Badan Intelijen Negara (BIN).
Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar mengacu pada Tata Ruang
Wilayah oleh karena itu perlu dilakukan penataan kembali tentang batas di
wilayah laut terutama di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif. Hal ini menjadi
penting untuk pelaksanaan pengelolaan dan kepentingan nasional keutuhan batas
negara serta implementasi dari ratifikasi UNCLOS Tahun 1982 yang telah
dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan
United Nation Convention on the Law of The Sea.
Penegakan hukum merupakan salah satu pilar utama untuk menegakan
kedudukan dan kewenangan kelembagaan. Oleh karena itu penegakan hukum
harus dikembangkan untuk menjamin kepastian hukum sehingga setiap institusi
yang berkepentingan di bidang kelautan dan perikanan mampu memainkan peran
sesuai yang diharapkan. Penegakan Hukum yang efektif juga akan menjamin
sistem dan mekanisme hubungan kelembagaan yang efektif. Pengembangan
penegakan hukum dapat bersifat prefentif dan represif. Pengembangan penegakan
hukum yaitu mencakup pengembangan sistem dan prosedur penanganan
pelanggaran dan penyelesaian sengeketa di bidang kelautan dan perikanan di
wilayah perbatasan.
Menurut Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 Tentang Wilayah Negara,
batasan Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang selanjutnya disebut
dengan Wilayah Negara adalah salah satu unsur negara yang merupakan satu
kesatuan wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut
41
teritorial beserta dasar laut dan tanah di bawahnya, serta ruang udara di atasnya,
termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya.
Selanjutnya disebutkan tentang definisi wilayah perairan, wilayah
yuridiksi bahwa Wilayah Perairan adalah perairan pedalaman, perairan kepulauan,
dan laut teritorial. Wilayah Yurisdiksi adalah wilayah di luar Wilayah Negara
yang terdiri atas Zona Ekonomi Eksklusif, Landas Kontinen, dan Zona Tambahan
di mana negara memiliki hak-hak berdaulat dan kewenangan tertentu lainnya
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan dan hukum
internasional.
Batas Wilayah Negara adalah garis batas yang merupakan pemisah
kedaulatan suatu negara yang didasarkan atas hukum internasional, sedangkan
Batas Wilayah Yurisdiksi adalah garis batas yang merupakan pemisah hak
berdaulat dan kewenangan tertentu yang dimiliki oleh negara yang didasarkan atas
ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.
Kawasan Perbatasan adalah bagian dari Wilayah Negara yang terletak
pada sisi dalam sepanjang batas wilayah Indonesia dengan negara lain, dalam hal
Batas Wilayah Negara di darat, Kawasan Perbatasan berada di kecamatan.
Bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 43 Tahun 2008 Tentang Wilayah Negara, telah ditetapkan organisasi
Badan Nasional Pengelola Perbatasan dalam Peraturan Presiden. Menurut
Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Badan Nasional Pengelola
Perbatasan (BNPP). BNPP sesuai Pasal 3, mempunyai tugas :
(1) penyusunan dan penetapan rencana induk dan rencana aksi pembangunan
Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan;
(2) pengoordinasian penetapan kebijakan dan pelaksanaan pembangunan,
pengelolaan serta pemanfaatan Batas Wilayah Negara dan Kawasan
Perbatasan;
(3) pengelolaan dan fasilitasi penegasan, pemeliharaan dan pengamanan Batas
Wilayah Negara;
(4) inventarisasi potensi sumber daya dan rekomendasi penetapan zona
pengembangan ekonomi, pertahanan, sosial budaya, lingkungan hidup dan
zona lainnya di Kawasan Perbatasan;
42
(5) penyusunan program dan kebijakan pembangunan sarana dan prasarana
perhubungan dan sarana lainnya di Kawasan Perbatasan;
(6) penyusunan anggaran pembangunan dan pengelolaan Batas Wilayah
Negara dan Kawasan Perbatasan sesuai dengan skala prioritas;
(7) pelaksanaan, pengendalian dan pengawasan serta evaluasi dan pelaporan
(8) pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan Batas Wilayah Negara dan
Kawasan Perbatasan.
Untuk melaksanakan tugas tersebut, BNPP menyelenggarakan fungsi di
antaranya adalah penyusunan dan penetapan rencana induk dan rencana aksi
pembangunan batas wilayah negara dan kawasan perbatasan. Selain itu BNPP
memiliki fungsi pengkoordinasian penetapan kebijakan dan pelaksanaan
pembangunan, pengelolaan serta pemanfaatan batas wilayah negara dan kawasan
perbatasan. BNPP juga berfungsi untuk menyusun program dan kebijakan
pembangunan sarana dan prasana perhubungan dan sarana lain di kawasan
perbatasan. Serta, menyusun anggaran pembangunan dan pengelolaan batas
wilayah negara dan kawasan perbatasan sesuai dengan skala prioritas.
Susunan keanggotaan BNPP berdasarkan Pasal 6, terdiri dari (a) Ketua
Pengarah : Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Kamanan; (b) Wakil
Ketua Pengarah I : Menteri Koordinator Bidang Perekonomian; (c) Wakil Ketua
Pengarah II : Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat; (d) Kepala
BNPP : Menteri Dalam Negeri. Sedangkan anggota terdiri atas : (1) Menteri Luar
Negeri; (2) Menteri Pertahanan; (3) Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia; (4)
Menteri Keuangan; (5) Menteri Pekerjaan Umum; (6) Menteri Perhubungan; (7)
Menteri Kehutanan; (8) Menteri Kelautan dan Perikanan; (9) Menteri Perencanaan
Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional; (10)
Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal; (11) Panglima Tentara Nasional
Indonesia; (12) Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia; (13) Kepala Badan
Intelijen Negara; (14) Kepala Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional;
(15) Gubernur Provinsi terkait.