bab ii tinjauan pustaka 2.1 ziziphus mauritiana. bab ii.pdf · adaptogen berperan dalam memberikan...
TRANSCRIPT
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ziziphus mauritiana
Ziziphus mauritiana Auct. non Lamk atau Ziziphus rotundifolia Lamk. Atau
Ziziphus jujuba Auct. non Lamk. dikenal dengan berbagai nama di beberapa
daerah yang ada di Indonesia seperti Bidara (Jawa, Sunda), Bekul (Bali),
Kalangga (Sumba), dan Rangga (Bima) (Heyne, 1987).
Gambar 2.1 Batang Ziziphus mauritiana
2.1.1 Klasifikasi Ziziphus mauritiana
Divisi : Magnoliophyta
Klas : Magnoliopsida
Ordo : Rosales
Famili : Rhamnaceae
Genus : Ziziphus
Spesies : Ziziphus mauritiana Auct. non Lamk.
8
2.1.2 Morfologi Ziziphus mauritiana
Ziziphus mauritiana merupakan tumbuhan hijau berbentuk semak atau
pohon berukuran kecil sampai menengah dengan tinggi bervariasi dari 3-4 sampai
10-16 m. Daunnya lamina berbentuk bulat telur sampai hampir bundar, 4-8 kali 2-
7 cm, bertulang daun 3, bergerigi lemah, dari bawah putih atau coklat karat. Daun
penumpu berbentuk duri, hampir selalu salah satu dari keduanya gagal tumbuh.
Bunga dalam payung tambahan, bertangkai pendek atau duduk, berambut di
ketiak. Bunga bergaris tengah lebih kurang 0,5 cm. Kelopak kuning hijau, separuh
berlekuk 5, taju segi 3 bulat telur dari dalam berlunas. Daun mahkota 5, bulat telur
terbalik bentuk tudung berwarna putih. Buah berbentuk oval berdaging dengan
ukuran 1,5-2 cm berwarna kuning kemerahan. Memiliki banyak percabangan
batang dengan kulit batang memiliki alur longitudinal yang mendalam berwarna
coklat keabu-abuan atau kemerahan. Biasanya terdapat duri pada batangnya (Gaur
and Sharma, 2013; Ali et al., 2006; Steenis et al., 2005).
2.1.3 Distribusi Ziziphus mauritiana
Khusus di Indonesia, Ziziphus mauritiana diketahui banyak tumbuh liar di
seluruh pulau Jawa dan Bali pada ketinggian dibawah 400 meter dari permukaan
laut. Tumbuhan ini memiliki kemampuan untuk tumbuh pada daerah dengan suhu
ekstrim dan tumbuh subur pada daerah dengan kondisi lingkungan yang kering
(Steenis dkk., 2005;(Heyne, 1987).
2.1.4 Khasiat Ziziphus mauritiana
Secara tradisional tumbuhan Ziziphus mauritiana dapat digunakan sebagai
obat diare, disentri, pencahar, mual, muntah, gangguan hati, rematik, penenang
9
(sedatif), asma, demam dan tonik (Gaur and Sharma, 2013). Beberapa penelitian
melaporkan bahwa tumbuhan Ziziphus mauritiana memiliki beberapa khasiat
seperti antikanker, antidiabetes, dan antioksidan (Mishra et al., 2011; Bhatia et al.,
2010; Perumal et al., 2012). Khusus untuk kulit batang Ziziphus mauritiana telah
dilaporkan memiliki aktivitas antiobesitas dan antioksidan (Gaur and Sharma,
2013; Perumal et al., 2012)
2.1.5 Kandungan kimia Ziziphus mauritiana
Tumbuhan Ziziphus mauritiana secara keseluruhan mengandung beberapa
golongan senyawa seperti flavonoid, alkaloid, glikosida, saponin, resin, polifenol,
mucilago dan vitamin. Bagian buah tumbuhan ini merupakan salah satu sumber
yang baik untuk vitamin C, gula dan beberapa macam mineral. Sari buah (pulp)
Ziziphus mauritiana diketahui mengandung protein, lemak, karbohidrat, kalsium,
fosfor, zat besi, pigmen karoten, vitamin B1, B2, dan fluorid. Pada daun Ziziphus
mauritiana diketahui mengandung beberapa senyawa seperti saponin, fenolik,
lignin dan tanin. Kulit batang Ziziphus mauritiana diketahui mengandung tanin,
leukosinidin, leukopalargonidin, asam betulinik, asam ziziphinik, resin, zizogenin,
dan alkaloid. Ekstrak petroleum eter dari kulit batang Ziziphus mauritiana
dilaporkan mengandung senyawa golongan glikosida dan sterol dan ekstrak
metanol kulit batang Ziziphus mauritiana dilaporkan mengandung senyawa
golongan alkaloid, flavonoid, glikosida, fenol, lignin, sterol dan saponin (Gaur
and Sharma,2013; Jain et al., 2012).
10
2.2 Adaptogen
Adaptogen didefinisikan sebagai senyawa yang dapat meningkatkan
adaptasi/toleransi terhadap stres. Adaptogen berperan dalam memberikan efek
stimulasi dan perlindungan terhadap stres (stress-protection) atau anti stres. Efek
stimulasi dari adaptogen umumnya timbul setelah terjadinya efek perlindungan
terhadap stres. Kerja adaptogen dalam perlindungan terhadap stres, dilakukan
melalui modulasi respon stres dan penjagaan kondisi homeostasis dan allostasis di
dalam tubuh (Panossian and Wikman, 2010).
Mekanisme adaptogen sebagai antistres dapat dilakukan melalui pengurangan
NO (Nitric Oxide) selama kondisi stres terjadi. Molekul NO ini merupakan salah
satu radikal bebas yang dapat berperan dalam memicu stres oksidatif melalui
penghambatan respirasi mitokondria. Penghambatan respirasi mitokondria dapat
menyebabkan penurunan produksi ATP yang berakibat pada tidak dapat
berfungsinya protein seperti Hsp (Heat shock protein) untuk menghasilkan respon
pertahanan terhadap stres dan tidak dapat membantu perbaikan protein yang
rusak. Hal ini dapat menyebabkan kelelahan di tingkat sel yang apabila
terakumulasi dapat berujung pada penurunan performa fisik dan mental.
Mekanisme lain dari adaptogen terjadi melalui stimulasi ekspresi Hsp70 dan p-
FoxO1 (faktor transkripsi yang mensintesis protein yang terlibat dalam resistensi
terhadap stres) (Vinod and Shivakumar, 2012; Panossian and Wikman, 2010).
Panossian et al. (1999) dalam Vinod and Shivakumar (2012) berpendapat
bahwa senyawa dalam tumbuhan yang memiliki aktivitas adaptogenik terdiri dari
tiga golongan senyawa yaitu triterpen, fenilpropanoid dan oksilipin. Senyawa
11
aktif yang memiliki aktivitas adaptogen terbagi menjadi 2 kelompok yang terdiri
dari:
a. Triterpenoid dengan rangka tetrasiklik seperti kortisol. Contohnya adalah
kurkubitasin R glukosida V dan sitoindosida I-IV.
b. Senyawa aromatik yang secara struktural mirip dengan katekolamin.
Contohnya adalah lignan (seperti Eleuterosida E IX, Schizandrin B X),
derivat fenilpropan (seperti Siringin VI, Rosavin VIII), derivat feniletan
(seperti Salidrosid VII).
Selain diketahui memiliki aktivitas adaptogenik, beberapa senyawa adaptogen
diketahui memiliki aktivitas antioksidan. Senyawa golongan fenol, misalnya
lignan (Kasote, 2013), diketahui memiliki aktivitas antioksidan yang mirip
vitamin E yang bekerja dengan memberikan efek perlindungan terhadap stres
oksidatif yang disebabkan oleh LDL (low density lipoprotein) (Dimitros, 2006).
2.3 Tumbuhan Berkhasiat Adaptogenik
Beberapa tumbuhan yang telah diketahui memiliki aktivitas adaptogenik
antaralain Gingseng (Panax gingseng) dan Schisandra (Schizandra chinensis).
Menurut penelitian yang dilakukan Deepak et al. (2003), ekstrak gingseng (Panax
gingseng) dengan dosis 100 mg/kg berat badan memiliki aktivitas adaptogenik
yang dapat digunakan untuk mengobati stres kronik. Alexander et al. (2007),
membuktikan bahwa ekstrak terstandar dari Schizandra chinensis dengan dosis 22
mg/kg berat badan memiliki aktivitas adaptogenik yang diuji dengan menginduksi
12
stres hewan uji menggunakan beberapa protein yang berperan sebagai mediator
stres.
Selain memiliki aktivitas adaptogenik, tumbuhan Gingseng (Panax gingseng)
dan Schisandra (Schizandra chinensis) diketahui pula memiliki aktivitas
antioksidan (Ji Bak et al., 2012; Di Hu et al., 2012). Hal ini mendukung teori yang
diajukan oleh Dardymov dan Kirkorian yang menyatakan bahwa aktivitas
adaptogen dari suatu senyawa berkaitan erat dengan adanya aktivitas antioksidan
dari senyawa tersebut. Akan tetapi teori ini belum dapat diterima sepenuhnya dan
belum cukup untuk menjelaskan keterkaitan antara adaptogen dengan antioksidan
secara penuh (Vinod and Shivakumar, 2012).
2.4 Radikan Bebas dan Stres Oksidatif
Radikal bebas merupakan suatu molekul yang sangat reaktif karena
mempunyai satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan dan untuk
mengembalikan keseimbangannya, maka radikal bebas berusaha mendapatkan
elektron dari molekul lain atau melepas elektron yang tidak berpasangan tersebut
(Marks et al., 2000). Radikal bebas atau biasa disebut ROS (reactive oxygen
species) dapat diproduksi di dalam tubuh selama metabolisme sel normal dan
apabila jumlahnya berlebih, maka ROS dapat menyerang molekul biologis seperti
lipid, protein, enzim, asam deoksiribonukleat (DNA) dan asam ribonukleat (RNA)
yang selanjutnya dapat menyebabkan kerusakan sel atau jaringan. Kondisi ini
sering disebut stres oksidatif yang mana terdapat ketidakseimbangan jumlah
13
radikal bebas di dalam tubuh dan sering dihubungkan sebagai penyebab beberapa
penyakit degeneratif dan kanker (Birben et al., 2012).
Stres oksidatif merupakan suatu keadaan yang diakibatkan ketidak
seimbangan jumlah radikal bebas dengan antioksidan di dalam tubuh suatu
organisme. Stres oksidatif diketahui berkontribusi terhadap beberapa macam
penyakit seperti kanker, gangguan neurologi, aterosklerosis, hipertensi, diabetes,
penyakit pernapasan akut dan depresi. Rasio antara proses oksidasi yang terjadi
dengan reduksi GSH (Glutathione) menjadi faktor penting untuk melihat tingkat
stres oksidatif yang terjadi di dalam tubuh. Stres oksidatif diketahui dapat
memberikan efek pada perubahan struktur DNA, menyebabkan modifikasi protein
dan lipid, aktivasi beberapa faktor transkripsi stres, dan mengganggu transduksi
sinyal di dalam sel (Birben et al., 2012).
2.5 Antioksidan
Antioksidan merupakan senyawa yang mampu menunda, memperlambat atau
mencegah proses oksidasi. Antioksidan dapat dimanfaatkan dalam pembuatan
makanan dan obat dan juga dapat berfungsi dalam menjaga kesehatan tubuh
manusia. Dalam hal kesehatan manusia, antioksidan merupakan salah satu
komponen yang mampu menghambat ROS, spesies nitrogen reaktif, dan juga
radikal bebas di dalam tubuh. Sehingga dapat dikaitkan bahwa antioksidan dapat
mencegah penyakit yang dihubungkan dengan radikal bebas (Halliwell and
Gutteridge, 2000).
14
Tubuh manusia memiliki antioksidan alami di dalamnya yang dapat di
kategorikan menjadi antioksidan enzimatik dan antioksidan nonenzimatik.
Antioksidan enzimatik memanfaatkan sistem enzim dalam menangkal radikal
bebas di dalam tubuh, contohnya SOD (superoxide dismutase) dan enzim katalase
lainnya. Sedangkan antioksidan nonenzimatik melibatkan senyawa mikronutrien
seperti vitamin C dan vitamin E (Birben et al., 2012). Adanya hubungan
antioksidan dengan aktivitas adaptogenik suatu senyawa dikaitkan dengan
kemampuan antioksidan dalam menangkal radikal bebas seperti radikal anion
superoksida, radikal hidroksil dan hidrogen peroksida yang dihasilkan selama
stres oksidatif terjadi (Mehta et al., 2012).
2.6 Ekstrak
2.6.1 Definisi ekstrak
Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi
senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut
yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau
serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian rupa hingga memenuhi baku yang
telah ditetapkan (DepKes RI, 2000).
Ekstrak tumbuhan berkhasiat obat umumnya dapat dijadikan bahan awal,
bahan antara, atau bahan produk obat jadi. Ekstrak sebagai bahan awal dapat
dikombinasikan dengan komoditi bahan baku obat yang dengan proses
pengolahan lebih lanjut dapat diubah menjadi produk jadi. Ekstrak sebagai bahan
antara artinya ekstrak tersebut masih dapat mengalami proses pengolahan lebih
15
lanjut menjadi fraksi-fraksi, isolat senyawa tunggal ataupun tetap menjadi bahan
campuran dengan ekstrak lain. Ekstrak sebagai produk jadi memiliki pengertian
bahwa ekstrak tersebut telah berada dalam bentuk suatu sediaan obat yang siap
digunakan oleh pasien penyakit tertentu (DepKes RI, 2000).
2.6.2 Metode ekstraksi
Ekstraksi merupakan suatu cara penarikan kandungan kimia yang dapat
larut pada pelarut tertentu sehingga dapat dipisahkan dari bahan-bahan yang tidak
dapat larut dalam pelarut cair (DepKes RI, 2000). Secara umum proses ekstraksi
dapat dilakukan dengan beberapa metode antara lain maserasi, perkolasi dan
sokletasi.
Maserasi merupakan proses penyarian simplisia dengan cara direndam
menggunakan pelarut yang sesuai dengan beberapa kali disertai proses
pengadukan pada temperatur ruangan. Metode ini umumnya dapat digunakan jika
kandungan senyawa organik atau yang hendak dipisahkan didalam sampel cukup
banyak dan telah diketahui jenis pelarut yang sesuai untuk mengekstraksi senyawa
tersebut. Pada proses maserasi umumnya setiap 24 jam sekali filtrat diambil dan
residu yang tersisa dimaserasi kembali dengan pelarut baru. Begitupun seterusnya
sampai semua metabolit yang ada didalam tumbuhan terkekstrak secara optimal.
Metode maserasi ini memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan metode
lain seperti perkolasi ataupun sokletasi antara lain proses pengerjaannya relatif
mudah, tidak memerlukan peralatan yang rumit dan tidak menggunakan
pemanasan sehingga cocok digunakan untuk mengekstraksi senyawa aktif yang
tidak tahan pemanasan (DepKes RI, 2000).
16
2.7 Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan salah satu metode yang digunakan
untuk pemisahan senyawa. Prinsip pemisahan dengan KLT didasarkan pada
afinitas suatu analit (senyawa yang hendak dipisahkan) terhadap fase diam atau
fase gerak yang digunakan. Suatu analit yang dipisahkan akan bergerak naik atau
melintasi lapisan fase diam (berupa gelas, plastik atau aluminium foil yang
dilapisi dengan adsorben seperti silika gel, aluminium oksida atau selulosa),
dibawah pengaruh fase gerak (pelarut atau campuran pelarut organik) yang
bergerak melalui fase diam oleh kerja kapiler (Watson, 2009; Bele et al., 2011).
Beberapa macam fase gerak dapat digunakan untuk identifikasi kandungan
kimia yang terdapat dalam tumbuhan dengan fase diam berupa silika gel yang
dapat dilihat pada tabel 2.1.
Tabel. 2.1 Sistem Pelarut yang Digunakan dalam Identifikasi Kandungan Kimia
Tumbuhan (Reich dan Blatter, 2003) Golongan
Senyawa Sistem Pelarut atau Fase Gerak
Alkaloid Toluen, etil asetat, dietil amin atau amonia (70:20:10 v/v)
Minyak atsiri Etil asetat atau metanol dan toluen atau heksan pada berbagai
konsentrasi, atau diklorometan
Flavonoid
Etil asetat, asam formiat, asam asetat, air (100:11:11:26 v/v) atau
asam formiat, air, etil asetat pada berbagai konsentrasi, dengan
atau tanpa etil metil keton
Saponin
Kloroform, metanol, air (70:30:4 v/v)
Asam asetat, air, 1-butanol (10:40:50 v/v) atau amonia, air,
etanol, etil asetat (1:9:25:65 v/v) atau etil asetat, air, 1-butanol
(25:50:100 v/v)
Terpenoid Kloroform:Metanol (10:1 v/v)
17
Teknik KLT diketahui memiliki beberapa kelebihan antara lain:
1. Deteksi melalui reaksi kimia dengan menggunakan reagen penampak dapat
dilakukan, yang berarti bahwa kurang lebih setiap jenis senyawa dapat
dideteksi jika menggunakan reagen deteksi yang sesuai.
2. Mantap (robust) dan murah.
3. Bila dikombinasikan dengan deteksi densitometri, metode ini dapat
digunakan sebagai teknik kuantitatif untuk senyawa-senyawa yang sulit
dianalisis dengan metode-metode kromatografi lain karena tidak adanya
kromofor.
Senyawa dalam KLT dapat dikarakterisasi dengan menentukan nilai Rf. Nilai
Rf dihitung dengan rumus sesuai persamaan 1.
Rf =Jarak bercak dari titik awal
Jarak pelarut dari titik awal ……………...………………………..(1)
Nilai Rf konstan untuk masing-masing senyawa apabila dibawah kondisi
eksperimental yang sama. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti sifat
adsorben, fase gerak, temperatur, ketebalan lapisan plat, tangki pengembangan,
massa sampel dan teknik kromatografi (ascending, descending, horizontal dan
lain-lain) (Bele et al., 2011).
2.8 Uji Penentuan Aktivitas Antioksidan
Analisis aktivitas antioksidan dapat dilakukan dengan memanfaatkan radikal
bebas yang ada. Apabila sampel uji mempunyai kemampuan untuk menangkap
radikal, maka dapat diindikasikan bahwa sampel uji berefek sebagai antioksidan
18
(Rohman dkk., 2009). Salah satu radikal bebas yang digunakan adalah radikal
DPPH (Gaikwad et al., 2010).
Senyawa DPPH (2,2-Diphenyl-1-picrylhydrazyl) merupakan radikal bebas
yang sering digunakan untuk mengevaluasi aktivitas antioksidan beberapa
senyawa atau ekstrak bahan alam. Interaksi yang terjadi selama proses uji
aktivitas antioksidan adalah reaksi penetralan radikal bebas DPPH oleh
antioksidan. Elektron yang tidak berpasangan dari atom nitrogen pada struktur
molekul radikal DPPH distabilkan dengan menerima atom hidrogen yang berasal
dari senyawa antioksidan (Kedare and Singh, 2011). Apabila seluruh elektron
pada radikal bebas DPPH telah berpasangan, maka warna larutan akan mengalami
perubahan dari ungu tua menjadi kuning terang (Suratmo, 2009).
Data hasil uji penangkapan radikal DPPH umumnya dinyatakan dalam nilai
IC50, yaitu konsentrasi antioksidan yang dibutuhkan untuk menangkap 50%
radikal DPPH dalam rentang waktu tertentu. Nilai IC50 dapat diperoleh
menggunakan persamaan regresi linier yang mampu menggambarkan hubungan
antara konsentrasi senyawa uji dan persen penangkapan radikal. Senyawa uji
dikatakan aktif sebagai antioksidan apabila memiliki nilai IC50 yang semakin kecil
(Rohman dkk., 2009).
2.9 Metode Uji Aktivitas Adaptogenik
Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menguji aktivitas adaptogenik
adalah swimming endurance test (Habbu et al., 2010; Kothiyal and Ratan, 2011).
Swimming endurance test termasuk ke dalam Behavioural Models yang hampir
19
sama dengan Behavioural Despair Test. Uji ini diadaptasi dari penelitian yang
dilakukan Porsolt (1981) yang dilakukan dengan menekankan pada perilaku stres
hewan uji ketika dipaksa untuk berenang pada sebuah wadah tanpa adanya jalan
keluar. Aktivitas adaptogenik suatu obat selanjutnya dinilai melalui parameter
durasi renang hewan uji setelah pemberian sampel obat dibandingkan dengan
kelompok kontrol yang digunakan (Duraisami et al., 2010; Habbu et al., 2010;
Porsolt, 1981). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Porsolt (1981), seluruh
kelompok kontrol hewan uji yang digunakan hanya mampu bertahan selama 5
menit dan dapat mati karena tenggelam jika tidak diselamatkan. Akan tetapi
parameter ini sifatnya tidak pasti dan kemungkinan terdapat perbedaan untuk tiap
kondisi percobaan.
Pada pengujian aktivitas adaptogenik, pengamatan terhadap aktivitas renang
lebih banyak digunakan dibandingkan dengan pengamatan aktivitas menggunakan
treadmill. Aktivitas renang umumnya digunakan untuk mempelajari perubahan
fisiologis dan kapasitas organisme dalam merespon stres. Pengamatan terhadap
aktivitas renang memiliki keunggulan dari segi respon terhadap stress jika
dibandingkan dengan metode yang menggunakan treadmill dalam pengujiannya.
Hal ini dikarenakan jumlah aktivitas yang dilakukan selama berenang jauh lebih
besar dibandingkan dengan menggunakan treadmill (Kothiyal and Ratan, 2011).
Selain itu aktivitas renang dapat menyebabkan aktivasi axis HPA
(hypothalamic/pituary/adrenal) yang ditunjukkan dengan hipertrofi kelenjar
adrenal pada hewan uji (Habbu et al., 2010). Aktivasi axis HPA ini berhubungan
dengan kondisi stres oksidatif di dalam tubuh hewan uji yang dipicu oleh molekul
20
radikal, contohnya NO (Nitric Oxide) (Vinod and Shivakumar, 2012).
Berdasarkan hal ini, pengamatan terhadap aktivitas renang dapat digunakan
sebagai permodelan untuk pengujian adaptogenik yang melibatkan stres oksidatif
di dalamnya.