bab ii tinjauan pustaka 2.1 wacana 2.1.1 pengertian wacanarepository.ub.ac.id/718/3/bab 2 tinjauan...
TRANSCRIPT
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Wacana
2.1.1 Pengertian Wacana
Menurut Purwadarminta dalam Abdul Rani, et al. (2013: 3), dalam
pemakaiannya pada bahasa Indonesia, wacana digunakan untuk mengacu pada
bahan bacaan, percakapan, tuturan. Hal senada dikemukakan oleh Willis
Edmondson yang menjelaskan wacana adalah suatu peristiwa terstruktur yang
dimanifestasikan dalam perilaku bahasa atau yang lainnya (Sumarlam, 2003: 5).
Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa peristiwa sebagai sebuah
realita merupakan suatu rangkaian, struktur yang diungkap lewat bahasa.
Menurut Van Dijk dalam Eriyanto (2001: 221) wacana bukanah sesuatu yang
final sebagai sebuah konsep. Ia menilai bahwa konsep tidak saja menyangkut
penggunaan bahasa, akan tetapi melibatkan juga beberapa komponen penting lain
dari konsep wacana, di antaranya, melibatkan siapa yang menggunakan bahasa,
bagaimana menggunakannya, mengapa menggunakannya, dan kapan
menggunakannya.
Bahasa dikaji dengan memperhatikan konteks saat ia digunakan. Dengan
menaruh perhatian terhadap konteks tersebut maka kalimat atau gramatikal tidak
lagi menjadi satuan terlengkap bahasa seperti yang diakui dalam kajian bahasa
selama ini, wacana baik bahasa lisan maupun tulis menjadi satuan terlengkapnya.
Menurut Abdul Chaer dalam Sumarlam (2003:10), wacana merupakan posisi
9
tertinggi dalam tataran bahasa karena dibentuk dari kalimat-kalimat yang
memenuhi persyaratan gramatikal dan kewacanaan lainnya.
Agar mendapat pengertian bersama, wacana dapat dipahami dengan
menyandingkannya pada penggunaan istilah teks, yang dalam bahasa Inggris
keduanya dibedakan antara discourse dan text. Yang pertama berarti spoken
discourse atau wacana lisan sedangkan yang kedua adalah written discourse atau
wacana tulis.
2.1.2 Wacana dalam Berbagai Bidang Ilmu
Kajian wacana telah dikenal sejak akhir abad ke-19 ketika Ferdinand de
Saussure membagi bahasa ke dalam dua bentuk yakni langue (bahasa) dan parole
(ucapan) sehingga kajian bahasa memiliki struktur yang jelas dan logis.
Pemikiran Saussure tersebut merupakan tonggak baru linguistik sebagai ilmu
yang mempunyai paradigma ilmu tersendiri.
Seiring berjalannya waktu, linguistik struktural tersebut mendapat kritik,
salah satunya dari Michel Foucault. Perhatiannya ditujukan pada pembahasan
kekuasaan dalam penggunaan bahasa (Lubis, 2014: 83). Foucault menyebut
bahasa tersebut harus dilihat sebagai bentuk-bentuk pengetahuan yang bekerja
seperti manusia mempelajari bahasa. Dengan pola pikir ini, wacana memiliki
ragam seperti bahasa (wacana) postkolonial, wacana kolonial, wacana perempuan
kulit hitam, wacana perempuan kulit putih, wacana feminis postmodern, wacana
perempuan kulit putih, wacana feminis postmodern, wacana perempuan Islam
kontemporer, wacana perempuan multikultural, dan lain-lain.
10
Oleh karena kebenaran suatu wacana berasal dari berbagai paradigma dan
perspektif, maka ia dapat diterapkan dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan,
mulai dari ilmu bahasa, psikologi, sosiologi, politik, komunikasi, sastra dan
sebagainya (Badara, 2012: 16). Sebagai contoh, dalam bidang hukum, kajian
bahasa hukum sebagai proses mengutamakan pemahaman teks hukum. Analisis
wacana hukum hanya berfokus pada bahasa sebagai objek dari wacana hukum.
Teks tersebut dibatasi pada teks yang diterbitkan oleh notaris sehingga orang
awan sangat sulit memahami teks-teks hukum tersebut.
Dari berbagai bidang ilmu yang tersedia, artikel Les Paradoxes du
Président Indonésien ‹‹Jokowi›› dalam Surat Kabar Harian Le Monde edisi 21
Mei 2015 merupakan wacana dalam bidang ilmu politik sebab berkaitan dengan
situasi dan dunia perpolitikan di Indonesia yang disorot oleh media asing yaitu
Surat Kabar Harian Le Monde dari Prancis. Wacana tulis politik inilah yang akan
dikaji secara mendalam.
2.1.3 Jenis-jenis Wacana
Ada berbagai macam jenis wacana. Sumarlam (2003: 15-18) mengemukakan
jenis-jenis wacana sebagai berikut.
a. Wacana berdasarkan pemakaian bahasa sarana ungkapan diklasifikasikan
sebagai wacana bahasa nasional (Indonesia), wacana bahasa lokal atau daerah,
wacana bahasa internasional (Inggris), wacana bahasa lainnya, seperti bahasa
Belanda, Jerman, Prancis, dan sebagainya
b. Wacana berdasarkan penggunaan media dibedakan atas:
11
1. Wacana tulis, yaitu wacana yang disampaikan dengan bahasa tulis atau
media tulis. Wacana tulis dalam referensi bahasa Inggris disebut oleh
sebagian ahli dengan written discourses atau written text.
2. Wacana lisan, yaitu wacana yang disampaikan dengan bahasa lisan atau
media lisan. Untuk dapat memahami wacana lisan, penerima harus
menyimak atau mendengarkan bahasa. Dalam wacana lisan terjadi
komunikasi langsung antara pembicara dan pendengar.
c. Wacana berdasarkan ragam bahasa yang digunakan dilihat sebagai:
1. Wacana bahasa Indonesia tulis ragam baku, misalnya wacana surat-
menyurat resmi).
2. Wacana bahasa Indonesia tulis ragam tak baku, misalnya surat-surat
pribadi.
3. Wacana bahasa Indonesia lisan ragam baku, seperti pidato kenegaraan.
4. Wacana bahasa Indonesia ragam tak baku, seperti obrolan santai, wacana
ketoprak humor. Hal ini juga berlaku untuk ragam bahasa lainnya, seperti
wacana bahasa Jawa tulis ngoko¸wacana bahasa Jawa tulis krama, dan
sebagainya.
d. Wacana berdasarkan sifat atau jenis pemakaian dapat dibedakan atas:
1. Wacana monolog (monologue discourse), yaitu wacana yang disampaikan
oleh seorang diri tanpa melibatkan orang lain untuk berpartisipasi langsung.
Wacana ini bersifat searah dan tidak termasuk dalam komunikasi interaktif.
12
2. Wacana dialog (dialogue discourse), yaitu wacana atau percakapan yang
dilakukan langsung oleh dua orang atau lebih. Wacana ini bersifat dua arah
dan masing masing aprtisipan berperan di dalam komunikasi interaktif.
e. Wacana berdasarkan bentuknya dibagi atas tiga bentuk:
1. Wacana prosa, yaitu wacana yang disampaikan dalam bentuk prosa, dapat
berupa wacana tulis atau lisan.
2. Wacana puisi, yaitu wacana yang disampaikan dalam bentuk puisi, dapat
berupa wacana tulis atau lisan.
3. Wacana drama, yaitu wacana yang disampaikan dalam bentuk drama,
dialog, baik berupa wacana tulis atau wacana lisan.
f. Wacana berdasarkan cara dan tujuan pemaparan:
1. Wacana narasi, yaitu wacana yang mementingkan urutan waktu, dituturkan
oleh persona pertama atau ketiga dalam kurun waktu tertentu, berorientasi
pada pelaku dan seluruh bagiannya diikat secara kronologis.
2. Wacana deskripsi, yaitu wacana yang bertujuan melukiskan,
menggambarkan atau memerikan sesuatu menurut apa adanya.
3. Wacana eksposisi atau wacana pembeberan, yaitu wacana yang tidak
mementingkan waktu dan pelaku. Wacana ini berorientasi pada pokok
pembicaraan, dan bagian-bagian dari wacana merupakan sesuatu yang
logis.
4. Wacana argumentasi, adalah wacana yang berisi ide atau gagasan yang
dilengkapi dengan data-data sebagai bukti, tujuannya untuk meyakinkan
pembaca atau pendengar tentang kebenaran ide atau gagasannya.
13
5. Wacana persuasi, yaitu wacana yang bersifat ajakan atau nasihat yang
bertujuan untuk mempengaruhi pembaca atau pendengar agar melakukan
nasihat atau ajakan tersebut.
Dari jenis-jenis wacana di atas, artikel Les Paradoxes du Président
Indonésien ‹‹Jokowi›› dalam Surat Kabar Harian Le Monde edisi 21 Mei 2015
merupakan wacana yang berjenis bahasa lainnya yaitu bahasa Prancis, wacana
tulis, wacana ragam baku, wacana monolog dan wacana argumentasi. Wacana
tulis inilah yang akan diteliti secara mendalam.
2.2 Analisis Wacana Kritis
2.2.1 Analisis Wacana Kritis
Analisis Wacana Kritis merupakan suatu metode analisis yang tidak
memahami wacana hanya terbatas pada bahasa semata. Bahasa dalam pengertian
kritis dipahami dapat menyebabkan pertarungan kelompok-kelompok sosial
dalam mengajukan pengaruh dan ideologinya masing-masing. Wodak dan
Fairclough dalam Eriyanto (2001: 7) menyatakan bahwa praktik wacana tersebut
menampilkan efek ideologis yang memproduksi hubungan kekuasaan yang tidak
seimbang pada kelas sosial, laki-laki dan wanita sehingga praktik sosial sering
menunjukkan perbedaan-perbedaan yang membuka diksursif dalam masyarakat.
Pengertian kritis dalam analisis di sini tidak semata-mata dilakukan
untuk mencari kesalahan dan menunjukkan keburukan-keburukan subjek yang
ada di dalam teks berita. Wodak menyatakan bahwa analisis wacana kritis
dimaknai sebagai sebuah sikap untuk tidak menggenalisir persoalan akan tetapi
14
memperlihatkan kompleksitasnya, menentang penciutan, penyempitan atau
penyederhanaan, dogmatisme dan dikotomi.
Eriyanto (2001: 8-14) menyebutkan bahwa karakteristik penting dalam
melakukan analisis wacana kritis yaitu melalui tindakan, konteks, historis,
kekuasaan dan ideologi.
1. Tindakan
Wacana dipahami sebagai sebuah tindakan (action). Wacana bukan
ditempatkan dalam ruang tertutup atau internal namun seseorang berbicara,
menulis dan menggunakan bahasa untuk berinteraksi dengan orang lain.
Wacana dipandang mempunyai tujuan untuk mempengaruhi, mendebat,
membujuk, menyangga, bereaksi dan sebagainya. Selain itu, wacana dipahami
sebagai sesuatu yang diekspresikan secara sadar dan terkontrol.
2. Konteks
Konteks dalam wacana mencakup latar, situasi, peristiwa dan kondisi.
Dalam pengertian ini wacana diproduksi, dimengerti dan dianalisis pada suatu
konteks tertentu. Menurut Guy Cook dalam Badara (2013: 30), analisis
wacana memeriksa konteks dari komunikasi: siapa yang mengomunikasikan
dengan siapa dan mengapa; dalam jenis khalayak dan situasi apa; melalui
medium apa; bagaimana perbedaan tipe dari perkembangan komunikasi; dan
hubungan untuk setiap masing-masing pihak.
Meski begitu, tidak semua konteks dimasukkan dalam analisis.
Konteks penting yang mempengaruhi produksi wacana adalah partisipan
wacana dan latar siapa yang memproduksi wacana. Beberapa konteks penting
15
yang berpengaruh terhadap produksi wacana: pertama, jenis kelamin, umur,
pendidikan, kelas sosial, etnik, agama, dalam banyak hal relevan dalam
menggambarkan wacana; kedua, setting sosial tertentu, seperti tempat, waktu,
posisi pembicara dan pendengar atau lingkungan fisik adalah konteks yang
berguna untuk mengerti suatu wacana. Setting, seperti tempat privat atau
publik, dalam suasana formal atau informal, atau pada ruang tertentu dapat
memberikan wacana tertentu (Badara, 2013: 31).
3. Historis
Wacana juga berada dalam konteks historis. Pemahaman terhadap wacana
diperoleh apabila ada penjelasan tentang situasi pada saat wacana tersebut
diproduksi.
4. Kekuasaan
Kekuasaan (power) dalam hubungannya dengan wacana dilihat sebagai
kontrol. Satu atau kelompok mengontrol orang atau kelompok lain. Kontrol
tadi tidak selalu dalam bentuk fisik dan langsung tetapi juga kontrol secara
mental dan psikis. Kontrol terhadap wacana dapat berupa kontrol atas konteks,
siapa yang boleh dan harus berbicara, siapa pula yang hanya dapat mendengar
dan menerima. Selain konteks, kontrol dapat diwujudkan dengan membentuk
struktur wacana yang dapat terlihat dari bagaimana sosok yang berkuasa harus
ditampilkan dengan penonjolan kata-kata tertentu.
5. Ideologi
Teks, percakapan dan lainnya merupakan bentuk dari praktik atau
pencerminan ideologi. Ideologi dimaksudkan untuk mengatur tindakan dan
16
praktik individu atau anggota suatu kelompok. Ideologi dapat membuat
anggota dari suatu kelompok bertindak dalam situasi yang sama, dapat
menghubungkan masalah mereka dan memberikan kontribusi dalam
membentuk solidaritas dan kohesi di dalam kelompok. Dalam analisis wacana,
bahasa dapat ditempatkan sebagai sarana penyebaran ideologi.
2.2.2 Pendekatan Linguistik Kritis (Critical Linguistic) dalam Analisis
Wacana Kritis
Analisis Linguistik Kritis diperkenalkan oleh sekelompok pengajar
Universitas East Anglia sekitar tahun 1970-an yang dipengaruhi banyak oleh
teori sistematik bahasa yang diperkenalkan M.A.K. Halliday. Menurut Fowler
dalam Santoso (2008: hal.7) model linguistik kritis sangat memerhatikan
penggunaan analisis linguistik untuk membongkar misrepresentasi dan
diskriminasi dalam pelbagai modus wacana publik.
Dalam rumusannya, Fowler merancang analisis wacana publik untuk
mengamati ideologi secara khusus dalam konteks pembentukan sosial. Manusia
menglasifikasi dunia yang kompleks dengan menyederhanakan fenomena
objektif dan membuatnya menjadi sesuatu yang dapat dikelola. Klasifikasi ini
ternyata pada akhirnya telah menjadi sesuatu yang alamiah (natural) dalam
pandangan masyarakat. Angggota masyarakat memakainya sebagai asumsi-
asumsi dan mempercayainya sebagai akal sehat atau pengetahuan umum
(common sense), kemudian memandangnya sebagai sebuah kebenaran. Padahal
menurut Fowler dalam Santoso (2008: 8) semua kata-kata yang menjadi
kebenaran tersebut merupakan sebuah distorsi. Bahasa tidak hanya menyediakan
17
kata-kata untuk konsep tertentu, bahasa juga mengkristalisasikan dan
menstabilisasikan ide-ide.
Fowler menunjukkan bahwa struktur bahasa yang dipilih menciptakan
sebuah jaring makna untuk mendorong manusia menuju sebuah perspektif
tertentu. Jaring makna ini semestinya dianggap sebagai kategori kultural sebab
penutur telah memberikan ideologi atau teori dalam menentukan jaring makna.
Pendapat yang sama dikemukakan oleh Eriyanto (2001: 15) bahwa gagasan
Critical Linguistics adalah pemilihan bahasa dan struktur tata bahasa yang dapat
membawa posisi dan makna ideologi tertentu. Cara seperti ini dapat membuat
ideologi suatu kelompok memenangkan dukungan publik dan memarjinalkan
kelompok lain. Oleh karena itu, menurut Fowler dalam Santoso (2008: 9),
dimensi kesejarahan, struktur sosial, dan ideologi adalah sumber utama
pengetahuan dalam kerangka kerja linguistik kritis.
2.2.3 Analisis Wacana Kritis Model Teun A. Van Dijk
Gambar 2.1 Skema Analisis Wacana Kritis Model Teun A. Van Dijk
Menurut Eriyanto (2001: 222-274), analisis wacana kritis Van Dijk
mempunyai tiga dimensi: teks, kognisi sosial dan analisis sosial. Ia berpendapat
Teks
Kognisi Sosial
Konteks
18
bahwa analisis teks juga harus mengamati praktik produksi untuk menemukan
penjelasan mengapa suatu teks dihasilkan.
a. Analisis Teks
Van Dijk membagi teks dalam tiga tingkatan yang saling berhubungan.
1. Struktur makro, yang merupakan makna global atau umum dari teks dengan
melihat topik atau tema dalam berita.
2. Superstruktur, yang merupakan struktur wacana yang berhubungan dengan
kerangka teks yang tersusun ke dalam berita.
3. Struktur mikro, yang merupakan makna wacana setelah mengamati bagian
kecil teks, seperti kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, parafrase dan gambar.
Tabel 2.1 Analisis Wacana Kritis Model Teun A. Van Dijk
Struktur
Wacana Hal yang diamati Elemen
Struktur
Makro Tematik
Tema/topik yang di-depankan dalam berita Topik
Superstruktur Skematik
Bagaimana bagian dan urutan berita di-
skemakan dalam teks berita utuh
Skema
Struktur
Mikro
Semantik
Makna yang ingin ditekankan dalam teks
berita. Misalnya dengan memberi detil pada
satu sisi atau membuat eksplisit satu sisi
dan mengurangik detil sisi lain
Latar, Detil,
Maksud,
Praanggapan,
Nominalisasi
Sintaksis
Bagaimana kalimat (bentuk, susunan) yang
dipilih
Bentuk kalimat,
koherensi, kata
ganti
Stilistika
Bagaimana pilihan kata yang dipakai dalam
teks berita
Leksikon
Retoris
Bagaimana dan dengan cara penekanan
dilakukan
Grafis,
Metafora,
Ekspresi
19
1. Tematik: menunjuk pada gambaran umum teks, bisa sebagai gagasan inti,
ringkasan, atau bagian utama dari teks. Tema atau topik menunjukkan konsep
dominan, sentral, dan bagian penting dari berita. Van Dijk memberi perhatian
lebih terhadap tataran umum (macrorule) di dalam teks. Dalam teks berita,
bagian-bagian teks saling mendukung untuk menunjuk pada suatu titik
gagasan umum. Pembentukan topik berasal dari subtopik satu dengan subtopik
lain yang terbentuk dari serangkaian fakta. Van Dijk menyebutkan bahwa
pemandangan masalah atau peristiwa yang diliput wartawan didasarkan pada
suatu mental/pikiran tertentu yang dapat terlihat jelas dari topik berita.
2. Skematik: Teks atau wacana umumnya mempunyai skema atau alur dari
pendahuluan sampai akhir. Alur tersebut menunjukkan bagian-bagian teks
disusun dan diurutkan sehingga membentuk kesatuan arti. Meskipun
mempunyai ragam skema, secara hipotetik, pada umumnya berita mempunyai
dua kategori skema besar, yakni:
a. Summary lead, yang umumnya ditandai dengan judul dan teras berita
(lead). Judul dan lead menunjukkan tema yang ingin ditampilkan oleh
wartawan dalam pemberitaannya. Teras berita umumnya berupa ringksan
berita sekaligus pengantar sebelum masuk dalam isi berita secara lengkap.
b. Story, yakni isi lengkap berita yang umumnya secara hipotetik
mempunyai dua subkategori. Subkategori pertama, yaitu situasi yang
menggambarkan proses atau jalannya peristiwa. Subkategori kedua adalah
komentar yang berada di dalam teks berita.
20
Van Dijk melihat skema ini sebagai kesatuan yang koheren dan padu.
Teras berita dilengkapkan dengan peristiwa dan kutipan komentar. Bagian-
bagian dan skema ini tidak hanya dilihat sebagai susunan teks berita karena
peristiwa tersebut tersusun dari pemahaman dan pengertian wartawan.
3. Latar: merupakan gambaran atau suasana yang berada secara bersamaan
dengan terjadinya suatu peristiwa. Pemilihan latar akan menggiring arah
pandangan khalayak sehingga dapat mempengaruhi arti (semantik) yang ingin
ditampilkan. Latar juga dihadirkan sesuai dengan cerminan ideologis
wartawan dalam menggambarkan suatu peristiwa.
4. Detil: merupakan strategi wartawan dalam mengekspresikan sikap dengan
implisit. Sikap atau wacana tidak perlu disampaikan secara terbuka tetapi
memberikan detil tertentu pada bagian berita.
5. Maksud: upaya implisit dan tersembunyi wartawan untuk menonjolkan basis
kebenaran dan menyingkirkan kebenaran lain. Informasi disampaikan dengan
tersamar, eufimistik, dan berbelit-belit tetapi apabila informasi
menguntungkan komunikator, elemen maksud dinyatakan eksplisit dan jelas.
6. Koherensi: pertalian atau jalinan antarkata atau kalimat dalam teks. Fakta satu
dan lainnya disusun untuk menunjukkan suatu kesinambungan dalam kalimat.
Elemen koherensi dapat melihat suatu fakta atau kalimat sebagai bagian yang
terpisah, berhubungan, atau mempunyai kausalitas. Koherensi dapat diamati
dengan memperhatikan konjungsi dalam menghubungkan fakta.
7. Koherensi Kondisional: ditandai dengan pemakaian anak kalimat sebagai
penjelas. Anak kalimat tersebut terlihat menjadi cermin kepentingan
21
komunikator karena dapat memberi keterangan terhadap suatu pernyataaan.
Induk kalimat tidak hanya mendapat penjelasan dari keterangan yang
ditambahkan, ia dapat memperoleh kesan baik atau buruk.
8. Koherensi Pembeda: strategi untuk membedakan dua atau lebih peristiwa
saling bertentangan dan berseberangan. Wartawan membandingkan satu
peristiwa atau fakta dengan peristiwa lain untuk menampakkan perbedaan,
meskipun terdapat hubungan atau kausalitas di antara peristiwa-peristiwa tadi.
Peristiwa tersebut diceritakan terpisah secara waktu sehingga menampakkan
ketiadaan kausalitas antar peristiwa.
9. Pengingkaran: bentuk strategi wartawan dalam menyampaikan gagasan
dengan menyangkal fakta atau peristiwa. Penginkaran menunjukkan seakan-
akan wartawan menyetujui, padahal sebenarnya ia tidak menyetujui.
Pengingkaran disampaikan impilisit dengan argumentatif untuk
menyembunyikan ekspresi wartawan sesungguhnya.
10. Bentuk Kalimat: segi sintaksis yang berhubungan dengan cara berpikir logis,
yaitu prinsip kausalitas. Bentuk kalimat bukan persoalan kebenaran tata
bahasa tetapi menentukan makna yang dibentuk susunan kalimat. Makna
tersebut dapat didapatkan pada bentuk kalimat aktif atau pasif. Bentuk kalimat
aktif menempatkan seseorang yang menjadi subjek dari pernyataan,
sebaliknya, dalam kalimat pasif ia menjadi objek dari pernyataan. Yang juga
penting adalah proposisi susunan kalimat, mana yang ditempatkan di awal
kalimat dan mana di akhir kalimat karena dapat mempengaruhi makna dari
bagian yang ditonjolkan pada kalimat. Dalam bentuk deduktif, aspek yang
22
ditonjolkan dari inti kalimat akan dipahami jelas, sementara bentuk induktif
akan membuat inti kalimat terlihat samar-samar dan tersembunyi.
11. Kata Ganti: digunakan untuk memanipulasi bahasa dengan menciptakan
suatu komunitas imajinatif. Dalam mengungkapkan sikap, seseorang dapat
menggunakan kata ganti saya atau kami untuk menunjukkan sikap resmi
komunikator. Ketika kata ganti tersebut adalah kita, ia akan menghilangkan
batas antara komunikator dengan khalayak dan ingin menunjukkan sikap yang
sama dari komunikator kepada komunitas secara keseluruhan. Kata ganti kita
mempunyai implikasi menumbuhkan solidaritas, aliansi, perhatian publik,
serta mengurangi kritik dan oposisi kepada diri sendiri.
12. Leksikon: menandakan pemilihan kata atas berbagai kemungkinan kata yang
tersedia. Seseorang dapat menggambarkan peristiwa yang dialaminya dengan
kata yang berbeda-beda. Pilihan kata merupakan cerminan ideologis seseorang
sehingga fakta atau peristiwa dalam teks bukan realita murni yang apa adanya.
13. Praanggapan (presupposition): digunakan untuk mendukung makna suatu
teks. Praanggapan dipandang kebenarannya apabila premis yang mendukung
berdasarkan pada common sense sehingga dapat dipercaya padahal
kebenaran peristiwa tersebut belum tentu terbukti dan belum terjadi.
14. Grafis: cara untuk mengamati penekanan terhadap suatu peristiwa penting di
dalam teks. Grafis di dalam teks berita dimunculkan dengan membedakan
bagian tulisan dari yang lain. Elemen tersebut terlihat dari ketebalan huruf,
kemiringan huruf, pemakaian garis bawah, ukuran huruf yang lebih besar
23
atau kecil, termasuk pemakaian caption, raster, grafik, gambar, atau tabel
yang mendukung arti penting pesan di dalam teks.
15. Metafora: menjadi petunjuk utama agar mengerti makna suatu teks.
Wartawan memakainya sebagai strategi landasan berpikir, alasan pembenar
atas pendapat atau gagasan tertentu kepada publik dan memperkuat pesan
utama. Metafora berasal dari kepercayaan masyarakat, ungkapan sehari-hari,
peribahasa, pepatah, petuah leluhur, kata kuno-kuno atau kitab suci.
b. Kognisi Sosial
Analisis wacana memperhatikan kesadaran mental wartawan yang
membentuk teks. Pendekatan kognitif seperti ini didasarkan pada asumsi bahwa
makna teks diberikan oleh pemakai bahasa atau lebih tepatnya kesadaran mental
dari pemakai bahasa. Hal ini disebabkan setiap teks pada dasarnya dihasilkan
lewat kesadaran, pengetahuan, prasangka dan pengetahuan tertentu atas suatu
peristiwa. Demikian juga dengan wartawan tidak dianggap sebagai individu yang
netral, melainkan memiliki bermacam nilai, pengalaman dan pengaruh ideologi
yang didapatkan dari kehidupannya.
Peristiwa yang berada dalam teks dapat dipahami dan dimengerti dengan
mendasarkannya pada skema. Van Dijk menyebutkan skema sebagai model yang
dikonseptualisasikan sebagai struktur mental yang mencangkup pandangan
manusia, peranan sosial dan peristiwa. Skema menggambarkan seseorang
menggunakan informasi yang tersimpan dalam memori dan mengintegrasikan
dengan informasi baru sehingga peristiwa dipahami, ditafsirkan, dan dimasukkan
sebagai bagian dari pengetahuan sesorang tentang suatu realitas. Model yang
24
tertanam dalam ingatan akan mendorong pembuat teks atau wartawan
menyampaikan pendapat atau penilaian tentang peristiwa.
Salah satu elemen yang sangat penting dalam proses kognisi sosial selain
model adalah memori. Lewat memori, seseorang bisa berpikir tentang sesuatu
dan mempunyai pengetahuan tentang sesuatu pula. Lewat memori seseorang
dapat mengerti dan mengategorikan pesan. Ada beberapa macam skema/ model:
1. Skema person (person schemas), yang menggambarkan seseorang dan
pandangannya terhadap orang lain.
2. Skema diri (self schemas), yang berhubungan dengan pandangan seseorang
terhadap dirinya sendiri dan pandangan orang lain terhadapnya.
3. Skema peran (role schemas), yang merupakan pandagan seseorang terhadap
posisi yang ditempati seseorang dalam masyarakat.
4. Skema peristiwa (event schemas), yang merupakan gambaran seseorang
dengan sesuatu yang dilihat dan didengarkan olehnya.
c. Analisis Sosial
Analisis sosial pada dasarnya merupakan upaya menempatkan suatu
masalah tertentu dalam konteks realitas sosial yang lebih luas. Ruang analisis
mencakup konsep waktu (sejarah), konteks struktur (ekonomi, sosial, politik,
budaya, konteks nilai, dan konteks tingkat. Dalam hubungannya dengan analisis
wacana, analisis ini akan menunjukkan kekuasaan produksi menentukan makna
melalui praktik diskursus dan legitimasi.
Van Dijk memasukkan dua hal penting, yakni kekuasaan (power) dan
akses (acces) dalam analisis mengenai masyarakat.
25
1. Praktik kekuasaan
Van Dijk mendefinisikan kekuasaan sebagai kepemilikan suatu kelompok
(atau anggota), satu kelompok untuk mengontrol kelompok (atau anggota) dari
kelompok lain. Kekuasaan ini didasarkan pada kepemilikan atas sumber-sumber
bernilai, seperti uang (modal), status, dan pengetahuan. Kekuasaan juga dapat
berjalan dengan mempengaruhi kondisi mental, seperti kepercayaan, sikap, dan
pengetahuan. Secara umum, analisis terhadap proses produksi digunakan untuk
membentuk kesadaran dan konsesus.
2. Akses Mempengaruhi Wacana
Dalam semua wacana, setiap orang atau kelompok tidak mempunyai
akses sama. Dalam media, beberapa orang lebih mungkin diwawancara dan
mendapatkan tempat di media dibandingkan orang atau kelompok lain. Dalam
gambaran umum, kelompok elit lebih diuntungkan dengan kemudahan akses
pada media sehingga pengaruh itu akan berdampak terhadap kesadaran publik.
Van Dijk membuat ilustrasi dari kelompok minoritas di Eropa dalam
konteks komunikasi. Ada empat aspek penting yang tidak dapat diakses mudah
oleh kelompok minoritas tersebut, yakni akses terhadap pembuat kebijakan
(politik), akses terhadap media, akses terhadap akademis, dan akses terhadap
modal. Hambatan terhadap sumber-sumber politik pembuat keputusan,
pembuatan hukum, khususnya pada tingkat pengambilan kebijakan negara
mengakibatkan keputusan tidak menguntungkan kelompok ini. Untuk
mengimbangi wacana media, kelompok ini juga tidak mudah menjangkau akses
26
terhadap media. Akibatnya, tidak mengherankan kelompok ini justru ditempatkan
sebagai objek pemberitaan dan mendapatkan pemberitaan buruk.
Begitu juga kerugian yang mereka dapatkan ketika akses akademis
berasal kelompok mayoritas. Akibatnya, ketika wartawan melakukan wawancara
terhadap akademis, pandangan keluar menempatkan mereka sebagai objek
pemberitaan. Upaya pengembangan opini publik hampir sia-sia sebab buruknya
akses yang menghubungkan mereka kepada kalangan pebisnis dan pengusaha.
2.3 Penelitian Terdahulu
Ada beberapa penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan penelitian
ini. Eva Kurnia Prista mahasiswa FIB Universitas Brawijaya pernah membuat
penelitian berjudul “The Interpretation of “Pria Punya Selera” Slogan Used in
Gudang Garam Cigarette Advertisement Critical Discours Analysis” pada tahun
2015. Penelitian ini menganalisis slogan “Pria Punya Selera” dalam iklan rokok
Gudang Garam dengan menggunakan teori wacana kritis Fairclough dengan
pendekatan kualitatif. Peneliti menyimpulkan bahwa slogan tersebut tidak
memberi dampak yang membujuk konsumen untuk memilik rokok Gudang
Garam, slogan hanya memberi kesan baik dan menarik.
Rizki Amelia Kurniadewi mahasiswa FISIP Universitas Brawijaya pernah
membuat penelitian berjudul “Konstruksi Pemberitaan Terorisme di Media
Massa (Studi Analisis Wacana Kritis pada Berita Peledakan Bom Masjid Az-
Zikra Cirebon di Harian Koran Tempo Periode 16-30 April 2011)” tahun 2014.
Penelitian ini menggunakan teori wacana kritis Teun A. Van Dijk dengan fokus
27
pada headline pemberitaan peledakan bom Masjid Az-Zikra kompleks
Mapolresta Cirebon di Koran Tempo periode 16-30 April 2011. Peneliti
menyimpulkan bahwa Koran Tempo tidak menyoroti pemberitaan di tempat
kejadian peledakan yaitu masjid tetapi menekankan bahwa peledakan dilakukan
atas dasar kebencian terhadap institusi kepolisian dan juga menonjolkan
informasi seputar penemuan buku jihad sehingga mampu meyakinkan khalayak
pada motif agama dalam peledakan.