bab ii tinjauan pustaka 2.1 state of the art ii.pdf · kinerja perpindahan panas dari pipa kalor...
TRANSCRIPT
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 State Of The Art
Adapun state of the art pada penelitian sudut peletakan pipa kalor
adalah sebagai berikut.
Beberapa penelitian tentang sudut peletakan pipa kalor telah dimulai dari
tahun 2010 sampai 2013 yang diawali dengan penelitian yang dilakukan oleh Zhen-
Hua Liu et a, 2010, melakukan penelitian tentang kinerja termal pipa kalor beralur
miring dengan menggunakan nano fluida. Hasil dari penelitian yang dilakukan
menghasilkan bahwa sudut kemiringan memiliki pengaruh yang kuat terhadap
kinerja perpindahan panas dari pipa kalor menggunakan air dan nano fluida. Kinerja
termal dari posisi miniatur pipa kalor yang miring berlekuk dapat diperkuat dengan
menggunakan CuO nano fluida. Senthillumar R et al, 2011 juga melakukan
penelitian tentang pengaruh sudut kemiringan terhadap kinerja pipa kalor dengan
menggunakan nanofluid. Ukuran partikel rata-rata tembaga adalah 40 nm dan
konsentrasi nanopartikel tembaga di nanofluid adalah 100 mg / liter. Penelitian ini
juga membahas tentang pengaruh sudut kemiringan pipa kalor, jenis cairan dan
efisiensi termal serta hambatan termal. Penelitian yang dilakukan menyimpulkan
bahwa terjadi penurunan hambatan termal pada pipa kalor yang menggunakan
nanofluid tembaga sebagai fluida kerja. Sudut kemiringan sangat berpengaruh dalam
kinerja termal pipa kalor silinder, karena efisiensi termal nanofluid tembaga lebih
tinggi dari cairan dasar seperti air, sehingga hambatan termalnya juga jauh lebih kecil
dari hambatan termal menggunakan fluida kerja air. Penelitian yang dilakukan oleh
Heri Soedarmanto, 2011 tentang pengaruh sudut kemiringan terhadap kinerja termal
revolving heat pipe alur memanjang dengan fluida kerja methanol menunjukkan hasil
bahwa semakin besar sudut kemiringan (terhadap bidang horisontal) untuk semua
daya input, maka semakin kecil nilai tahanan termal. Pada semua sudut kemiringan
dengan daya input terendah mempunyai hambatan termal tertinggi dan semakin kecil
nilainya pada daya input yang semakin besar. Kapasitas perpindahan kalor terbesar
6
dan daya output terbesar terjadi pada sudut kemiringan terbesar. Penelitian tentang
sudut peletakan pipa kalor juga diteliti oleh T. Yuosefi et al, 2013 tentang studi
eksperimental sistem pendinginan CPU terhadap kinerja perpindahan panas pipa
kalor, serta melakukan pengujian pengaruh sudut kemiringan dengan menggunakan
nano fluida. Dari penelitian yang dilakukan bahwa sudut kemiringan memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap proses pendinginan CPU karena langsung
mempengaruhi penyerapan panas oleh evaporator.
Suchana Akter Jahan et al, 2013, juga melakukan penelitian tentang pengaruh
sudut kemiringan serta karakteristik perpindahan panas dari closed loop pulsating
heat pipe. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh sudut kemiringan,
karateristik fluida kerja dan proses perpindahan panas pada sistem pendingin closed
loop pulsating heat pipe. Karakterisasi dilakukan dengan menggunakan dua cairan
yang berbeda yakni air dan etanol dengan sudut kemiringan 0° (vertikal), 30°, 45°,
60°, 75° dan 90° (horizontal). Dari hasil penelitian yang dilakukan diketahui bahwa
sudut kemiringan pipa kalor berpengaruh terhadap fluks kalor dan sifat
physiochemical dari fluida kerja terhadap kinerja termal. Wayan Nata Septiadi, 2014,
juga melakukan penelitian tentang pengaruh sudut operasional terhadap suhu
permukaan sumber kalor. Dari kondisi suhu yang ditampilkan untuk setiap sudut
operasional baik pada keadaan idle ataupun keadaan pembebanan maksimal suhu
permukaan plat simulator terendah diberikan oleh sudut 0 060 dan 45 . Kondisi suhu
permukaan plat simulator dari terendah sampai dengan yang paling tinggi yakni pada
sudut operasional 0 0 0 0 060 , 45 ,90 ,30 ,0 . Oleh karena itu sudut operasional
berpengaruh terhadap laju alir masa dari kondensat yang nantinya akan berpengaruh
pada laju kalor dari pipa kalor. Sudut operasional 090 merupakan sudut operasional
standar maka pada kondisi idle sudut 060 memberikan selisih 04 C lebih rendah
dibandingkan dengan operasional pada sudut 090 , dan sudut operasional 00 akan
memberikan selisih 3 0C . Pada pembebanan maksimal sudut operasional
060 C juga memberikan selisih suhu permukaan plat simulator 04 C lebih rendah dari
operasional standar serta 06 C lebih tinggi dari sudut operasional standar untuk
operasional 00 C .
7
2.2 Dasar Teori
2.2.1 Sistem Pendingin Komputer
Sistem pendingin pada komputer berfungsi untuk mengurangi atau
menghilangkan panas yang ditimbulkan akibat pengoperasian sebuah perangkat
komputer, dengan cara membuang panas pada prosesor ke lingkungan sekitar
sehingga sama dengan suhu lingkungan sekitar 30-38 derajat celcius. Panas yang
berlebihan pada komputer berpotensi merusak atau memperlambat kerja sebuah
komputer, maka diperlukan sistem pendingin yang mampu bekerja secara optimal.
Berikut ini ada beberapa jenis pendingin komputer yang bias kita lihat antara lain:
(Wikipedia.org/Pendingin komputer)
1. Heatsink
Gambar.2.1 Heatsink (Sumber: www.jalantikus.com. 26/09/2014)
Heat sink adalah sebuah perangkat pendingin yang berfungsi untuk
mempercepat proses pembuangan panas dari permukaan yang panas, dan untuk
mempertahankan suhu perangkat di bawah maksimum untuk menghindari
terjadinya kerusakan piranti elektronik yang lain, Seperti terlihat pada gambar 2.1.
Jenis pendinginan prosesor yang menggunakan heatsink perpindahan panasnya
bergantung pada aliran udara. sistem pendinginan ini tidak cukup efektif, karena
sangat bergantung kepada aliran udara di dalam casing, jika aliran udaranya
teranggu, maka bisa dipastikan prosesor akan kepanasan dan tidak dapat bekerja
secara optimal. Sistem pendingin heatsink ada juga yang menggunakan kipas
yang disebut heatsinkfan (HSF), dengan ditambahkan sebuah kipas untuk
mempercepat proses transfer panas. HSF bekerja lebih baik daripada heatsink.
8
pada masa ini HSF menggunakan teknologi heatpipe yaitu pipa tembaga kecil
untuk transfer panas dengan menggunakan konsep kapilaritas. Sistem pendingin
ini sudah jarang digunakan karena proses pendinginannya kurang efektif.
2. Kipas(fan)
Gambar. 2.2 Kipas / fan (http://www.tuntor.com)
Gambar 2.2 merupakan sistem pendingin komputer berupa fan, dimana sistem
pendingin ini adalah yang paling umum digunakan, biasanya terpasang pada
casing, prosesor atau VGA. Fungsi utama dari kipas adalah menjaga agar CPU
tetap dalam suhu yang normal, Sistem pendinginan komputer menggunakan kipas
sudah tidak terlalu banyak dimanfaatkan karena memiliki kelemahan diantaranya
suara yang ditimbulkan berisik. Pendinginannya kurang maksimal dan masih
membutuhkan daya listrik untuk mengoperasikannya. (sumber:http://
satumultimediatiga.blogspot.com)
3. Liquid Cooler
Jenis pendinginan menggunakan fluida sebagai media penyerap panas dan
ada beberapa alat tambahan seperti pompa mini sebagai pendorong fluida supaya
bisa masuk kesistem dan bersirkulasi, dengan memanfaatkan fan sebagai alat
untuk melepaskan panas melalui cara menghembuskan udara pada bagian sirip
kondensor dengan kecepatan tertentu sehingga ada proses pelepasan panas ke
udara disekitar. Kelebihan liquid cooler adalah tidak berisik ketika digunakan,
9
bahkan hampir tanpa suara. Seperti terlihat pada gambar 2.3
(Wikipedia.org/Pendingin komputer)
Gambar 2.3 Liquid cooler (sumberhttps://jalantikus.com)
2.3 Pipa Kalor (Heat Pipe)
Pipa kalor (heat pipe) merupakan sebuah alat yang memiliki nilai
konduktivitas termal tinggi, yang digunakan untuk memindahkan kalor, dimana
jumlah kalor yang dipindahkan jauh lebih besar daripada kenaikan temperaturnya
yang kecil antara permukaan panas dan dingin. Pipa kalor dapat digunakan pada
keadaan dimana sumber dan pelepas panas diharuskan terpisah, untuk membantu
konduksi atau menyebarkan panas pada bidang. Pipa kalor tidak mengkonsumsi
energi maupun menghasilkan panas sendiri, tidak seperti sistem pendingin pada
termoelektrik. Pipa kalor dipatenkan serta dipublikasikan oleh US Patent nomor
2350348 pada 6 juni 1944. Pipa kalor dipilih karena mempunyai kemampuan
pengangkutan kapasitas beban kalor yang lebih besar dibandingkan pendingin
konvensional lainnya.(Nandy Putra, dan Wayan Nata , 2014: 4)
Ratna Sari et .al, (2013) dan Wayan Nata et .al, (2013), mengatakan bahwa pipa
kalor adalah sebuah tabung atau pipa tertutup yang berfungsi sebagai penghantar
kalor dengan ukuran tertentu, dimana pada bagian dalam pipa tersebut berisi fluida
kerja yang berfungsi sebagai penghantar kalor dari evaporator ke kondensor
10
padapipa kalor. Pipa kalor terbuat dari bahan allummunium, tembaga, dan tembaga
berlapis nikel. Dinding bagian dalam pipa kalor tersebut diisi dengan sumbu
kapiler(wick) yang berfungsi sebagai lintasan fluida dan pompa kapiler dari cairan.
Gambar 2.4 pipa kalor pada pendingin komputer (sumber : Wikipedia, 2014)
Pipa kalor memiliki keunggulan sebagai alat penukar kalor dari pada alat
penukar kalor yang lainya, karena pipa kalor dapat membuang kalor yang cukup
besar dengan beda temperatur yang kecil. Investasi dan perawatan pipa kalor
membutuhkan biaya yang murah.
2.3.1 Jenis-Jenis Pipa Kalor
Pipa kalor yang umum digunakan sebagai alat pemindah kalor pada sistem
pendingin yang beretemperatur tingi maupun secara umum dapat digolongkan
menjadi 3 jenis adalah sebagai berikut:
1. Pipa Kalor konvensional (straight heat pipe)
Pipa kalor konvensional yang terbuat dari bahan tembaga atau stainlesssteel
memiliki beberapa tipe yaitu tipe tabular atau silinder, pipih dan tipe pelat. Pipa kalor
tipe tabular atau silinder paling banyak digunakan karena pengaplikasiannya yang
mudah serta antara daerah evaporator yang digunakan sebagai tempat penyerapan
kalor dan bagian kondensor sebagai tempat pelepasan kalor dapat diatur panjangnya,
kelebihan lain yang dimiliki pipa kalor tipe tabular atau silinder adalah bagian
kondensor juga lebih mudah jika akan digunakan sebagai pendingin berupa sirip, fan
ataupun model terendam dalam fluida(Nandy Putra, dan Wayan Nata S, 2014:21).
11
Gambar 2.5 Skema Pipa Kalor Konvensional (Sumber:
appliedheattransfer.wordpress.com 2014 )
Gambar 2.5 memperlihatkan skema cara kerja pipa kalor konvensional.
Adapun cara kerja pipa kalor jenis konvensional adalah dengan cara menyerap
sumber panas atau kalor oleh evaporator dan ditransfer menuju pada bagian
kondensor, kemudian kalor akan dilepas ke lingkungan sekitar oleh kondensor. Pada
proses ini fluida kerja bersirkulasi dan berubah fase dari cair pada evaporator akan
menguap menuju kondensor dan terjadi proses kondensasi pada bagian kondensor,
fluida kerja berubah fase menjadi embun. Tekanan kapiler di dalam sumbu
kapiler(wick) akan menggerakan cairan dalam saluran sumbu kapiler tersebut,bahkan
melawan gravitasi akibat adanya efek kapilaritas, sehingga cairan dapat kembali ke
bagian evaporator, proses ini terjadi berulang-ulang. (Nandy Putra, dan Wayan Nata
S, 2014:25)
Pipa kalor konvensional tipe pipih atau datar dan tipe pelat digunakan untuk
menyerap kalor dari permukaan yang datar, rata atau pada posisi horizontal, dan bisa
juga pada posisi vertikal.
Gambar 2.6 Pipa kalor tipe pipih / datar (sumber : ebay.co.uk, 2014)
12
Pipa kalor tipe pelat hanya digunakan pada pendingin dengan konstruksi lurus,
dimana pada bagian penerapan kalor dapat melalui satu permukaan dinding atau dua
permukaan, seperti terlihat pada gambar 2.6 diatas
Pipa kalor tipe pelat merupakan tipe yang hampir sama dengan pipa kalor tipe
silinder dan tipe pipih, sebagaimana fungsinya yaitu memindahkan kalor dari bagian
evaporator ke bagian kondensor seperti terlihat pada gambar 2.7. Bagian kondensor
juga bisa dipasangi sirip atau fan sebagai pendingin fluida. Pada umumnya pipa kalor
tipe pelat memiliki sumbu kapiler berupa alur groove pada dinding pipa kalor yang
berbentuk pelat (Nandy Putra, Wayan Nata S, 2014:24).
Gambar 2.7 Pipa kalor tipe plat (sumber :forum.notebookreview.com, 2014)
2. Pipa kalor jenis melingkar
Pipa kalor jenis melingkar merupakan perangkat penghantar kalor yang terdiri
dari bagian evaporator sebagai penyerap kalor dan bagian kondensor yang berfungsi
melepas kalor, dimana ke dua bagian tersebut dihubungkan dengan suatu aliran
fluida yang terpisah antara fluida kerja uap dengan fluida kerja cair, seperti
ditunjukan pada gambar 2.8 di bawah. Pipa kalor melingkar beroperasi pada siklus
tertutup yang merupakan suatu perangkat evaporasi dan kondensasi, dimana pada
bagian evaporator terdapat sumbu berpori atau sumbu kapiler sebagai pompa kapiler
yang menarik cairan kembali ke bagian evaporator. (Nandy Putra, Wayan Nata S,
2014:30)
13
Gambar 2.8 Pipa kalor jenis melingkar (sumber : 1-act.com, 2014)
Gambar 2.9 Skema Kerja Pipa Kalor Melingkar (Sumber : 1-act.com, 2014)
Prinsip kerja pipa kalor melingkar bisa dilihat pada gambar 2.9, dimana pipa
kalor jenis ini mempunyai prinsip yang sama dengan pipa kalor konvensional, yaitu
dengan adanya proses pengangkutan dari sumber panas ke bagian evaporator menuju
bagian kondensor. Perbedaanya adalah aliran antara uap dengan fluida kondensat
tidak terjadi secara bolak-balik akan tetapi terjadi secara melingkar atau melingkari.
Prinsip perpindahan pipa kalor melalui konsep tekanan, perubahan fase dan
terjadinya proses kondensasi masih berlaku pada pipa kalor tipe melingkar. Ada dua
bagian lintasan yang ada pada pipa kalor jenis melingkar yaitu lintasan uap dan
lintasan cairan yang terpisah, dimana didalam lintasan uap tidak terdapat sumbu
kapiler sedangkan didalam lintasan cairan terisi penuh dengan sumbu kapiler.
Kenapa hal ini diterapkan, tujuanya adalah memberikan pengaruh perbedaan
tekanan, sehingga uap yang telah terkondensasi pada bagian kondensor dapat
mengalir kebagian lintasan cairan, hal ini terjadi akibat adanya pengaruh tekanan
14
kapilaritas dari sumbu kapiler. Sumbu kapiler berfungsi sebagai pompa kapiler untuk
menyirkulasikan fluida kondensat menuju evaporator.
Ada beberapa tipe desain pipa kalor jenis melingkar ditinjau penerapan pada
bagian evaporator, kondensor, rentang temperatur operasional maupun kontrol
temperatur sesuai dengan kebutuhan. Dimana evaporator dirancang sesuai dengan
ruang kompensasi, ada yang berbentuk evaporator persegi panjang, ada juga pipa
kalor melingkar dengan evaporator berbentuk silinder. (sumber : Nandy Putra,
Wayan Nata S, 2014:32).
3. Pipa kalor datar (Vapor chamber)
Pipa kalor pelat datar adalah pipa kalor pelat datar dengan disipasi panas yang
baikterkai keseragaman distribusi temperatur dan area kondensasi yang besar. Pipa
kapiler datar merupakan benda berongga tertutup yang berisi fluida kerja dengan
pompa vakum berada di ruangannya seperti terlihat pada gambar 2.10 dibawah.
Vapor chamber terdiri dari subeuah kontainer, sumbu kapiler, dan sebuah ruang
vakum. Tujuan dari proses vakum pada vapor chamber adalah untuk menurunkan
titik didih dari fluida kerja sehingga perubahan fase lebih mudah tercapi dan kalor
tersebar lebih cepat.(Nandy Putra dan Wayan Nata S, 2014:40)
Gambar 2.10 Pipa Kalor Datar / Vapor Chamber (sumber : designworldonline.com, 2014)
Proses kerja pipa kalor datar (vapor chamber) adalah dengan cara memindahkan
kalor dari sumber panas (heat source) ke lingkungan, vapor chamber memanfaatkan
prinsip perubahan fase fluida serta kapilaritas. Dimana pada operasionalnya vapor
chamber menyerap kalor pada bagian evaporator, mengevaporasikan fluida kerja
pada ruang dalam vapor chamber. Fluida kerja yang sudah berubah fase menjadi uap
akan bergerak menuju kondensor akibat gradient tekanan yang kecil, kemudian uap
fluida kerja melepaskan kalor dan berubah fase menjadi embun pada bagian
15
kondensor. Fluida kerja yang berubah kembali kebentuk cair akan kembali menuju
evaporator melalui struktur kapiler pada sumbu kapiler. Seperti terlihat pada gambar
2.11 bahwa proses kerja ini akan terjadi secara berulang dari awal kembali. Adanya
perubahan fase yang terjadi pada proses pendinginan pada vapor chamber maka
temperatur kalor dapat dibuang dengan cepat, sehingga temperatur lokal yang tinggi
dapat dihindari. (Nandy Putra dan Wayan Nata S, 2014:41)
Gambar 2.11 Skema Kerja Vapor chamber (sumber : bytrade.com, 2009)
2.3.2 Prinsip Kerja Pipa Kalor
Gambar 2.12 memperlihatkan bahwa prinsip kerja pipa kalor adalah
memindahkan kalor dari bagian evaporator menuju bagian kondensor dengan siklus
penguapan dan pengembunan fluida kerja. (Nandy Putra et .al, 2011). Prinsip kerja
pipa kalor bergantung pada selisih temperatur antara kedua ujung pipa, jika
temperatur pada salah satu pipa mencapai temperatur penguapan maka fluida kerja
yang berada pada bagian evaporator akan menguap, dan terjadi tekanan didalam
rongga sehingga uap akan mengalir dari ujung satu ke ujung yang lainya, peristiwa
ini akan dibawa oleh fluida kerja kemudian dilepaskan sampai mencapai temperatur
pengembunan sehingga mengakibatkan fluida kerja berubah dari fase uap menjadi
fase cair akibat proses kondensasi (Nandy Putra dan Wayan Nata S, 2014: 25 ).
Setelah peristiwa kondensasi terjadi maka fluida kerja akan berubah fase menjadi
cair yang mengalir ke sumber panas pada evaporator untuk mendinginkan kembali,
selama pipa kalor bekerja, proses ini akan mengalami proses terus menerus,
berulang-ulang, sebagai konsep bahwa seperti inilah cara kerja pipa kalor dalam
menyerap dan mendinginkan pada sumber kalor tersebut. Disini perlu diperhatikan
Sumber Panas
Uap
16
mengenai temperatur yang mampu diserap oleh pipa kalor agar fluida kerja tetap
terjaga dan menghindari pipa kalor dari kekeringan.
Gambar 2.12 Prinsip kerja pipa kalor (sumber : Nandy Putra,W.N. Septiadi, 2014)
Pada dasarnya pipa kalor akan mengalami proses perpindahan panas (heat
exchanger) antara lain :
1. Perpindahan panas secara konduksi
Perpindahan panas ini terjadi dari permukaan dinding sumber panas ke dinding
evaporator, konduktifitas termal dari dinding memegang peranan penting, karena
sebagian besar pipa kalor terbuat dari bahan tembaga, dimana bahan tembaga
mempunyai nilai konduktifitas termal yang cukup tinggi sebesar 394 W/mK.
2.1
Keterangan :
Q = Laju perpindahan kalor konduksi
k = Konduktifitas termal
∆T = Gradien suhu ke arah perpindahan kalor
∆x = Gradien suhu kearah perpindahan kalor
2. Perpindahan panas secara konveksi
Perpindahan panas konveksi terjadi secara alami dari dinding permukaan
sumbu kapiler pipa kalor ke fluida kerja, dimana konveksi alami terjadi pada saat
kondisi awal dimana suhu dan tekanan belum mencapai kondisi terjadinya
nuklesiasi dan pendidihan.
q = hA (Tw-T∞) 2.2
17
Keterangan :
q = Laju perpndahan kalor
h = Koefisien perpindahan kalor konveksi
A = Luas permukaan
Tw = Temperatur dinding
T∞ = Temperatur fluida
3. Proses pendidihan
Proses pendidihan terjadi dimana pada permukaan sumbu kapiler terbentuk
gelembung-gelembung, bersamaan dengan peningkatan tekanan dan temperatur
pada bagian evaporator, maka gelembung-gelembung yang terbentuk akan
terlepas ke permukaan bagian atas fluida kerja. Sumbu kapiler pada pipa kalor
berfungsi untuk meningkatkan terjadinya pertumbuhan gelembung secara cepat.
Dimana pada delta temperatur antara dinding atau permukaan sumbu kapiler
dengan temperatur saturasi fluida yang tidak terlalu tinggi dapat menghasilkan
fluks kalor yang lebih besar.
Proses perpindahan panas melalui pendidihan dapat mempercepat terjadinya
perpindahan kalor dari permukaan evaporator ke bagian permukaan cairan yang
kemudian disalurkan menuju bagian kondensor melalui tahap penguapan.
4. Perpindahan kalor secara evaporasi
Laju perpindahan kalor dari bagian evaporator ke bagian kondensor sangat
dipengaruhi oleh panas laten dari fluida kerja.
2.3
Panas laten pada perpindahan kalor di dalam pipa kalor sangat penting karena
bisa memungkinkan pipa kalor mengangkut lebih banyak kalor dengan dimensi
yang cukup kecil dan ini merupakan suatu keunggulan pipa kalor dari logam
pejal. Akibat dari perubahan temperatur yang terjadi terus-menerus pada bagian
kondensor dan bagian evaporator mengakibatkan perbedaan temperatur antara
kedua ujung bagian kondensor dan bagian evaporator sangatlah kecil, hal ini
bermanfaaat karena dapat memperkecil hambatan termal yang terjadi pada pipa
kalor.
5. Perpindahan panas secara konveksi lanjutan
18
Perpindahan kalor secara konveksi dari fluida uap pada bagian kondensor
kebagian permukaan dinding pipa kalor, akan terjadi penyerapan kalor dari uap
sehingga uap mengalami perubahan fase akibat kondensasi. Maka hasil dari
proses kondensasi dialirkan menuju bagian evaporator melalui gaya kapilaritas
sumbu kapiler, dan kondensat akan mengalir melalui celah-celah dari sumbu
kapiler.
2.3.3 Hambatan Termal Pipa Kalor
Hambatan termal pipa kalor adalah besar beban kalor yang diserap oleh pipa
kalor karena adanya rasio antara perbedaan temperatur pada bagian evaporator dan
bagian kondensor. Berikut gambar 2.13 Jaringan termal dari sumber panas sampai
bagian evaporator.
Gambar 2.13 Jaringan hambatan termal evaporator pipa kalor (Sumber: Nandy Putra
dan Wayan Nata S, 2014)
Plat pemanas sebagai sumber panas (heater) diletakkan pada bagian paling
bawah, sehingga hambatan termal pada sisi evaporator pipa kalor merupakan total
hambatan termal dari plat pemanas(heater) sampai pada permukaan sisi dalam dari
evaporator. Dimana secara matematis dapat ditulis dengan persamaan:
2.4
Dimana merupakan hambatan termal pada kontak antara pelat
pemanas dengan pelat logam bagian bawah, hambatan termal spreading, hambatan
termal konduksi, dan hambatan termal antara permukaan luar dan bagian dalam
evaporator (°C/W). Hambatan termal secara matematis dapat ditulis
seperti persamaan dibawah ini:
2.5
19
2.6
Pelat logam dan sisi luar evaporator jika dilihat dari bagian antara permukaan atas
maka jaringan hambatan termal pipa kalor ditunjukkan pada gambar 2.14
Gambar 2.14 Jaringan Hambatan Termal Pipa Kalor (Sumber : Nandy Putra dan
Wayan Nata S, 2014:48)
Total hambatan termal pipa kalor dapat dirumuskan seperti pada persamaan 2.7
2.7
Berdasarkan Gambar diatas dapat dijelaskan bahwa sebuah plat logam yang
ditaruh diatas sumber panas (pelat pemanas) adalah hambatan termal yang terjadi
pada evaporator yaitu total hambatan thermal dari sumber panas (pelat pemanas)
dengan permukaan bagian dalam dari bagian evaporator. Hambatan termal yang
terjadi secara konduksi pada permukaan plat pemanas dengan plat logam bagian
bawah.
2.3.4 Batasan Kerja Pipa Kalor
Batasan kerja pada pipa kalor adalah batasan maksimal pada saat pipa kalor
beroperasi dalam memindahkan kalor dari sumber kalor dan mengangkut kalor untuk
dilepaskan di area sekitar, demi menunjang kinerja pipa kalor secara maksimal, maka
diperlukan pembuatan desain yang sesuai sehingga desain pipa kalor yang dibuat
tersebut supaya bisa berada di bawah grafik batasan kerja pipa kalor.
20
2.4 Sudut Kontak
Salah satu faktor-faktor dasar yang mengatur kapilaritas atau pengembalian
fluida kerja pada sumbu kapiler dari kondensor ke evaporator adalah sudut kontak
dari fliuda kerja dengan sumbu kapiler. Hal ini membuat perlu memiliki nilai-nilai
sudut kontak yang tersedia untuk prediksi yang lebih baik dari kinerja dan
optimasidari heat pipe. Secara umum semakin rendah sudut kontak, semakin tinggi
tekanan osmotik. Bahkan, perilaku yang tepat adalah bahwa tekanan osmotik
bervariasi secara langsung dengan cosinus kontak sudut.
Sudut kontak pada media berpori atau sumbu kapiler sangat mempengaruhi
daya kapilaritas dari sumbu kapiler tersebut. Semakin kecil sudut kontak yang
terbentuk antara fluida dengan sumbu kapiler maka sifat keterbasahan dari sumbu
kapiler meningkat sedangkan makin besar sudut kontak yang terbentuk maka sumbu
kapiler tersebut memiliki sifat keterbasahan yang semakin kecil yang berarti daya
kapilaritasnya juga semakin kecil. Suduk kontak yang terbentuka apabila dibawah
90o maka sumbu kapiler tersebut dikatakan memiliki sifat hidrofilik sedangkan
apabila sudut kontak yang terbentuk lebih besar dari 90o maka dikatakan sumbu
kapiler tersebut bersifat hidrofobik.
Penggunaan fluida kerja juga berpengaruh terhadap sudut kontak yang
terbentuk pada sumbu kapiler. Penggunaan fluida kerja seperti nano fluida beberapa
jenis ada yang mengakibatkan terjadinya pelapisan pada sumbu kapiler. Pelapisan
ini akan berpengaruh terhadap sudut kontak pada sumbu kapiler. Pelapisan tentunya
sangat dipengaruhi oleh jenis dan besar konsentrasi dari nano fluida yang digunakan
sehingga sudut kontak akan berbeda pada penggunaan nano fluida dengan jenis dan
konsentrasi yang berbeda.(Nandy Putra, Wayan Nata S, 2012:94)
2.5 Sudut Peletakan Pipa Kalor
Pengaruh sudut operasional terhadap perpindahan kalor pipa kalor sudah
banyak dibahas, dimana antara sudut operasional yang paling optimal adalah 60° dan
75° dengan acuan sudut adalah sumbu tabung dan bidang normal. Pada sudut
operasional 60° koefisien perpindahan kalor pada bagian evaporator adalah paling
besar kemudian yang berikutnya adalah 45°, 90°,30° dan 0°. Besar koefisien
21
perpindahan kalor untuk masing-masing sudut operasional meningkat dengan
peningkatan fluks kalor. Pada kondisi beban maksimal koefisien perpindahan kalor
untuk masing-masing sudut operasional 0°, 30°, 45°, 60° dan 90° adalah mencapai
8,693 W/m²°C, 15,486 W/m²°C, 16,392 W/m²°C, 60,038 W/m²°C dan
12,267W/m²°C.
Sudut operasional mempengaruhi koefisien perpindahan kalor, dimana
didapatkan sudut operasional yang memberikan koefisien paling besar untuk setiap
peningkatan fluks kalor adalah sudut operasional 60°. Sudut operasional berpengaruh
terhadap gaya gravitasi yang terjadi pada sumbu kapiler dan lintasan uap, dimana
sudut operasional ini berpengaruh terhadap laju alir massa cairan kondensat dan laju
alir massa uap dalam pipa kalor. Seperti pada persamaan 2.8 berikut Sudut
operasional akan berpengaruh terhadap bilangan Bond yang akan mempengaruhi laju
kalor dari bagian evaporator menuju bagian kondensor sehingga hal ini tentunya
berpengharuh terhadap koefisien perpindahan kalor didalam pipa kalor, ditunjukan
pada gambar 2.15
0.250,5max
1 2 3( ) ( ).
v i v i
Qf f f g
A L
2.8
Gambar 2.15 Grafik parameter 3f terhadap sudut inklinasi (Sumber : Nandy Putra dan Wayan
Nata Septiadi)
Pada proses perpindahan kalor pada dalam pipa kalor diharapkan laju alir
massa uap yang mengalir dari evaporator menuju kondensor besar sehingga jumlah
kalor yang terangkut dari bagian evaporator menuju kondensor juga besar.
Bersamaan dengan itu juga cairan hasil kondensasi uap dibagian kondensor juga
22
diharapkan terangkut dengan cepat dan banyak ke bagian evaporator untuk
menghindari terjadinya kekeringan. Sudut operasional sangat menentukan laju alir
massa cairan dan uap (ρɩvɩAɩ=ρᵥvᵥAᵥ), dimana dalam hal ini sudut operasional yang
optimal adalah pada 60° dari bidang datar.(Wayan Nata Septiadi,2014:116)