bab ii tinjauan pustaka 2.1 sistem drainase

42
7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Drainase Drainase merupakan salah satu fasilitas dasar yang dirancang sebagai sistem guna memenuhi kebutuhan masyarakat dan merupakan komponen penting dalam perencanaan kota (perencanaan infrastruktur khususnya). Drainase yang berasal dari bahasa Inggris yaitu drainage mempunyai arti mengalirkan, menguras, membuang, atau mengalihkan air. Secara umum, drainase dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan teknis untuk mengurangi kelebihan air, baik yang berasal dari air hujan, rembesan, maupun kelebihan air irigasi dari suatu kawasan atau lahan, sehingga fungsi kawasan atau lahan tidak terganggu (Hutomo. dkk, 2016). Air hujan yang jatuh di suatu kawasan perlu dialirkan atau dibuang, caranya dengan pembuatan saluran yang dapat menampung air hujan yang mengalir di permukaan tanah tersebut. Sistem saluran di atas selanjutnya dialirkan ke sistem yang lebih besar. Sistem yang paling kecil juga dihubungkan dengan saluran rumah tangga dan sistem saluran bangunan infrastruktur lainnya, sehingga apabila cukup banyak limbah cair yang berada dalam saluran tersebut perlu diolah (treatment). Seluruh proses tersebut di atas yang disebut dengan sistem drainase (Prasetyo, 2018). Bagian infrastruktur (sistem drainase) dapat didefinisikan sebagai serangkaian bangunan air yang berfungsi untuk mengurangi dan/atau membuang kelebihan air dari suatu kawasan atau lahan, sehingga lahan dapat difungsikan secara optimal. Ditinjau dari hulunya, bangunan sistem drainase terdiri dari saluran penerima (interseptor drain), saluran pengumpul (colector drain), saluran pembawa (conveyor drain), saluran induk (main drain) dan badan air penerima (receiving waters). Di sepanjang sistem sering dijumpai bangunan lainnya, seperti gorong- gorong, siphon, jembatan air (aquaduct), pelimpah, pintu-pintu air, bangunan terjun, kolam tando dan stasiun pompa. Pada sistem drainase yang lengkap, sebelum masuk ke badan air penerima air diolah dahulu pada instalasi pengolah air limbah (IPAL), khususnya untuk sistem tercampur. Hanya air yang telah memiliki

Upload: others

Post on 18-Apr-2022

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Drainase

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Drainase

Drainase merupakan salah satu fasilitas dasar yang dirancang sebagai sistem

guna memenuhi kebutuhan masyarakat dan merupakan komponen penting dalam

perencanaan kota (perencanaan infrastruktur khususnya). Drainase yang berasal

dari bahasa Inggris yaitu drainage mempunyai arti mengalirkan, menguras,

membuang, atau mengalihkan air. Secara umum, drainase dapat didefinisikan

sebagai suatu tindakan teknis untuk mengurangi kelebihan air, baik yang berasal

dari air hujan, rembesan, maupun kelebihan air irigasi dari suatu kawasan atau

lahan, sehingga fungsi kawasan atau lahan tidak terganggu (Hutomo. dkk, 2016).

Air hujan yang jatuh di suatu kawasan perlu dialirkan atau dibuang, caranya

dengan pembuatan saluran yang dapat menampung air hujan yang mengalir di

permukaan tanah tersebut. Sistem saluran di atas selanjutnya dialirkan ke sistem

yang lebih besar. Sistem yang paling kecil juga dihubungkan dengan saluran rumah

tangga dan sistem saluran bangunan infrastruktur lainnya, sehingga apabila cukup

banyak limbah cair yang berada dalam saluran tersebut perlu diolah (treatment).

Seluruh proses tersebut di atas yang disebut dengan sistem drainase (Prasetyo,

2018).

Bagian infrastruktur (sistem drainase) dapat didefinisikan sebagai

serangkaian bangunan air yang berfungsi untuk mengurangi dan/atau membuang

kelebihan air dari suatu kawasan atau lahan, sehingga lahan dapat difungsikan

secara optimal. Ditinjau dari hulunya, bangunan sistem drainase terdiri dari saluran

penerima (interseptor drain), saluran pengumpul (colector drain), saluran pembawa

(conveyor drain), saluran induk (main drain) dan badan air penerima (receiving

waters). Di sepanjang sistem sering dijumpai bangunan lainnya, seperti gorong-

gorong, siphon, jembatan air (aquaduct), pelimpah, pintu-pintu air, bangunan

terjun, kolam tando dan stasiun pompa. Pada sistem drainase yang lengkap,

sebelum masuk ke badan air penerima air diolah dahulu pada instalasi pengolah air

limbah (IPAL), khususnya untuk sistem tercampur. Hanya air yang telah memiliki

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Drainase

8

baku mutu tertentu yang dimasukkan ke dalam badan air penerima biasanya sungai,

sehingga tidak merusak lingkungan (Prasetyo, 2018).

2.2 Permasalahan Drainase dan Gangguan Sistem Drainase

Banyak faktor yang mempengaruhi dan perlu dipertimbangkan secara

matang dalam perencanaan suatu sistem drainase yang berkelanjutan. Perencanaan

tidak hanya disesuaikan dengan kondisi sekarang namun juga untuk masa yang

akan datang. Dalam perencanaan drainase perkotaan tidak lepas dari berbagai

masalah yang perlu ditangani secara benar dan menyeluruh. Permasalahan-

permasalahan drainase perkotaan antara lain:

1. Peningkatan Debit

Perubahan tata guna lahan yang selalu terjadi akibat perkembangan kota

dapat mengakibatkan peningkatan aliran permukaan dan debit banjir. Besar

kecil aliran permukaan sangat ditentukan oleh pola penggunaan lahan, yang

diekspresikan dalam koefisien pengaliran yang bervariasi antara 0,10 (hutan

datar) sampai 0,95 (perkerasan jalan). Hal ini menunjukkan bahwa

pengalihan fungsi lahan dari hutan menjadi perkerasan jalan bisa

meningkatkan debit puncak banjir sampai 9,5 kali, dan hal ini

mengakibatkan prasarana drainase yang ada menjadi tidak mampu

menampung debit yang meningkat tersebut.

2. Penyempitan Dan Pendangkalan Saluran

Peningkatan jumlah penduduk yang sangat pesat mengakibatkan

berkurangnya lahan untuk saluran drainase. Banyak pemukiman yang

didirikan di atas saluran drainase sehingga aliran drainase menjadi

tersumbat. Selain itu, sampah penduduk juga tidak jarang dijumpai di aliran

drainase, terutama di daerah perkotaan. Hal ini karena kesadaran penduduk

yang rendah terhadap kebersihan lingkungan.

3. Lemahnya koordinasi dan sinkronisasi

Lemahnya koordinasi dan sinkronisasi dengan komponen infrastruktur yang

lain. Hal ini dapat dilihat dari seringnya dijumpai tiang listrik atau pipa air

bersih di tengah saluran drainase, yang berakibat terganggunya kelancaran

aliran di drainase itu sendiri. Selain itu, seringkali penggalian saluran

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Drainase

9

drainase tidak sengaja merusak prasarana yang sudah ada atau yang ditanam

dalam tanah. Biasanya kesalahan ini terjadi karena tidak adanya informasi

yang akurat mengenai prasarana tersebut.Permasalahan-permasalahan

tersebut tidak dapat diatasi tanpa peran aktif masyarakat itu sendiri. Dalam

skala yang lebih kecil kita dapat turut berperan dengan tidak membuang

sampah sembarangan dan membuat sumur resapan (Anggraini, 2018).

2.3 Daerah Aliran Sungai

Daerah Aliran Sungai (DAS) atau dalam skala luasan kecil disebut

catchment area adalah suatu wilayah daratan yang dikelilingi oleh batas-batas

pemisah topografi atau punggung bukit yang berfungsi menerima, menyimpan, dan

mengalirkan air hujan ke sungai utama melalui anak sungainya dan akhirnya

bermuara ke danau/waduk atau ke laut (Naharuddin dkk., 2018).

Daerah Aliras Sungai (DAS) adalah satu kesatuan dari suatu wilayah

daratan dan sungai beserta anak-anak sungainya yang dibatasi oleh tinggi

rendahnya kontur wilayah tersebut (topografi), yang berfungsi menampung,

menyimpan dan mengalirkan air hujan ke danau atau laut (SNI 2415:2016).

Setiap DAS terbagi menjadi beberapa sub DAS. Sub DAS adalah satu

kesatuan wilayah yang terbentuk secara alamiah, terdiri dari ekosistem-ekosistem

tempat air hujan meresap atau mengalirkan air melalui anak sungai menuju sungai

utama yang membentuk bagian wilayah DAS (Naharuddin dkk., 2018). Ilustrasi

kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2. 1 Daerah Aliran Sungai

Sumber: Naharuddin dkk., 2018

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Drainase

10

2.4 Penyebab Terjadinya Banjir

Banyak faktor menjadi penyebab terjadinya banjir. Namun secara umum

penyebab terjadinya banjir dapat diklasifikasikan dalam 2 kategori, yaitu banjir

yang disebabkan oleh sebab-sebab alami dan banjir yang diakibatkan oleh tindakan

manusia (Anggraini, 2018).

1. Curah Hujan

Indonesia mempunyai iklim tropis sehingga sepanjang tahun mempunyai

dua musim yaitu musim hujan umumnya terjadi antara bulan Oktober

sampai bulan Maret, dan musim kemarau terjadi antara bulan April sampai

bulan September. Pada musim penghujan, curah hujan yang tinggi akan

mengakibatkan banjir disungai dan bilamana melebihi tebing sungai maka

akan timbul banjir atau genangan.

2. Pengaruh Fisiografi

Fisiografi atau geografi fisik sungai seperti bentuk, fungsi dan kemiringan

daerah pengaliran sungai (DPS), kemiringan sungai, geometrik hidrolik

(bentuk penampang seperti lebar, kedalaman, potonan memanjang, material

dasar sungai), lokasi sungai dan lain-lain. Merupakan hal-hal yang

mempengaruhi terjadinya banjir.

3. Erosi dan Sedimentasi

Erosi di DPS berpengaruh terhadap pengurangan kapasitas penampang

sungai. Erosi menjadi problem klasik sungai-sungai di Indonesia. Besarnya

sedimentasi akan mengurangi kapasitas saluran, sehingga timbul genangan

dan banjir di sungai. Sedimentasi juga menjadi masalah besar pada sungai-

sungai di Indonesia.

4. Kapasitas Sungai

Pengurangan kapasitas aliran banjir pada sungai dapat disebabkan oleh

pengendapan berasal dari erosi DPS dan erosi tanggul sungai yang

berlebihan dan sedimentasi di sungai itu karena tidak adanya vegetasi

penutup dan adanya penggunaan lahan yang tidak tepat.

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Drainase

11

5. Kapasitas Drainase yang tidak memadai

Hampir semua kota-kota di Indonesia mempunyai drainase daerah

genangan yang tidak memadai, sehingga kota-kota tersebut sering menjadi

langganan banjir di musim hujan.

6. Pengaruh air pasang

Air pasang laut memperlambat aliran sungai ke laut. Pada waktu banjir

bersamaan dengan air pasang yang tinggi maka tinggi genangan atau banjir

menjadi besar karena terjadi aliran balik (backwater).

7. Kawasan kumuh

Perumahan kumuh yang terdapat di sepanjang sungai, dapat merupakan

penghambat aliran. Masalah kawasan kumuh dikenal sebagai faktor penting

terhadap masalah banjir daerah pedesaan/perkotaan.

2.5 Analisa Hidrologi

Pada perencanaan saluran drainase terdapat masalah yaitu berapakah besar

debit air yang harus disalurkan melalui saluran tersebut. Karena debit air ini

tergantung kepada curah hujan tidak tetap (berubah-ubah) maka debit air yang akan

ditampung saluran juga pasti akan berubah-ubah. Dalam hal perencanaan saluran

drainase kita harus menetapkan suatu besarnya debit rencana (debit banjir rencana)

jika memilih atau membuat debit rencana tidak bisa kecil, maka nantinya dapat

berakibat air didalam saluran akan meluap dan sebaliknya juga tidak boleh

mengambilnya terlalu besar karena dapat juga berakibat saluran yang kita

rencanakan tidak ekonomis. Kita harus dapat memperhitungkan besarnya debit

didalam saluran drainase agar dapat memilih suatu debit rencana. Didalam memilih

debit rencana maka diambil debit banjir maximum pada daerah perencanaan

(Prasetyo, 2018).

2.5.1 Siklus Hidrologi

Siklus hidrologi adalah sirkulasi air dari atmosfer ke bumi dan kembali lagi

ke atmosfer melalui kondensasi, presipitasi, evaporasi dan transpirasi. Pemanasan

air laut oleh sinar matahari merupakan kunci proses siklus hidrologi tersebut dapat

berjalan secara kontinu. Air menguap, kemudian jatuh sebagai presipitasi dalam

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Drainase

12

bentuk hujan, salju, hujan batu, hujan es dan salju, hujan gerimis atau kabut. Pada

perjalanan menuju bumi air dapat berevaporasi kembali ke atas atau langsung jatuh

yang kemudian diintersepsi oleh tanaman sebelum mencapai tanah. Setelah

mencapai tanah, siklus hidrologi terus terjadi secara kontinu seperti yang terlihat

pada Gambar 2.2 berikut.

Gambar 2.2 Siklus Hidrologi

Sumber: Naharuddin dkk., 2018

Menurut Tanika dkk., (2016), siklus hidrologi melibatkan beberapa

komponen/proses antara lain: hujan, aliran batang dan tetesan daun, infiltrasi, aliran

bawah permukaan, absorbsi oleh tanaman, aliran permukaan, evaporasi, dan

transpirasi seperti yang terlihat pada Tabel 2.1 berikut.

Tabel 2.1 Komponen/proses penyusun siklus hidrologi

No Komponen/proses Deskripsi

1 Hujan (precipitation) Jatuhnya tetes-tetes uap air yang berasal dari

awan

2 Intersepsi (interception) Proses tertahannya air hujan oleh tanaman yang

kemudian sampai ke permukaan tanah melalui

aliran batang dan tetesan kanopi tanaman

(stemflow and throughfall)

3 Infiltrasi (infiltration) Proses meresapnya air hujan ke dalam tanah

4 Aliran bawah

permukaan (sub

surface flow)

Aliran air secara horizontal yang terjadi di

bawah permukaan tanah

5 Penyerapan oleh

tanaman (uptake)

Air tanah yang diserap atau digunakan oleh

tanaman

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Drainase

13

No Komponen/proses Deskripsi

6 Aliran limpasan

(surface flow)

Air hujan yang mengalir secara horizontal yang

terjadi di atas permukaan tanah. Aliran

permukaan terjadi jika tanah sudah tidak mampu

menyerap air yang jatuh ke atas permukaan

tanah.

7 Evaporasi

(evaporation)

Proses perubahan bentuk air ke dalam uap air

dan membaur di atmosfer yang kemudian

membentuk kabut dan awan melalui proses

kondensasi

8 Transpirasi

(transpiration)

Proses pelepasan uap air oleh tanaman ke

atmosfer yang kemudian membentuk kabut dan

awan melalui proses kondensasi

9 Perkolasi (percolation) Aliran air dalam tanah secara vertikal melalui

lapisan-lapisan tanah yang disebabkan oleh gaya

gravitasi dan kapiler

10 Aliran Dasar (base

flow)

Aliran air secara horizontal yang terjadi di

lapisan aquifer yang memiliki sifat aliran yang

lambat

*) Naharuddin dkk., 2018

Komponen/proses diatas merupakan penyusun siklus hidrologi yang

memegang peran penting bagi kelangsungan hidup organisme bumi. Melalui siklus

ini, ketersediaan air di daratan bumi dapat tetap terjaga, mengingat teraturnya suhu

lingkungan, cuaca, hujan, dan keseimbangan ekosistem bumi dapat tercipta karena

proses siklus hidrologi.

2.5.2 Perhitungan hujan rerata Daerah Pematusan

Ada tiga cara untuk melakukan perjhitungan hujan rata rata daerah

pematusan yaitu (a) Cara rata rata Aritmatik, (b) Cara rata rata thiesen dan (c) Cara

Isyohiet. Dari ketiga cara tersebut hanya dua cara pertama yang paling sering

digunakan di Indonesia karena kesederhanaannya, selain itu cara ketiga

membutuhkan kerapatan stasiun yang sesuai dengan jaring jaring kagan padahal

untuk mendapatkan hal tersebut masih sulit dilakukan (Kusuma, 2016).

1. Rata-rata Aritmatik

Metode rata-rata aritmatik ini, digunakan dengan cara menghitung rata-rata

curah hujan dari stasiun yang terdekat. Rumus yang digunakan untuk cara

ini adalah sebagai berikut:

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Drainase

14

(2.1)

Keterangan:

XR = Curah hujan rata rata daerah pematusan (mm)

n = Jumlah stasiun hujan

iR = Curah hujan di stasiun hujan ke-i (mm)

2. Rata-rata Poligon Thiesen

Poligon Thiessen. Cara perhitungan Poligon Thiessen dilakukan seperti

memperhitungkan luas daerah yang diwakili oleh stasiun yang bersangkutan

Tahapan perhitungan hujan rata-rata adalah sebagai berikut:

a. Semua stasiun pengamatan di dalam dan sekitar daerah pengaliran harus

dicantumkan pada peta fotografi, kemudian tiap-tiap stasiun yang

berdekatan dihubungkan dengan sebuah garis lurus sehingga terbentuk

jaringan-jaringan segitiga

b. Daerah yang bersangkutan tersebut dibagi dalam poligon-poligon yang

didapat dengan menggambar garis bagi tegak lurus pada tiap sisi

segitiga

c. Curah hujan dalam tiap poligon itu dapat dianggap diwakili oleh curah

hujan dari titik pengamatan dalam setiap polygon seperti yang terlihat

pada gambar berikut 2.3 berikut.

Gambar 2.3 Hitungan dengan poligon Thiessen

Sumber: Maryono (1999) dalam Sari (2016)

1

1.

n

X i

i

R Rn =

=

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Drainase

15

Cara ini lebih teliti dibandingkan dengan cara sebelumnya terutama

untuk daerah pematusan yang penyebaran stasiunnya tidak merata. Dengan

memperhitungkan daerah pengaruh dari masing masing stasiun maka

diharapkan hasilnya lebih mendekati dari kenyataan. Rumusan Poligon

Thiesen adalah sebagai berikut:

( )1 1 2 2

1 2

. . ... .

...

n n

n

A R A R A RR

A A A

+ + +=

+ + + (2.2)

Keterangan:

R = Curah hujan rata-rata

1R 2R nR = Curah hujan di tiap titik pengamatan

1A 2A nA = Bagian luas yang mewakili tiap titik pengamatan

n = Jumlah titik pengamatan

3. Isohyet

Cara perhitungan Isohyet adalah garis yang menghubungkan tempattempat

yang mempunyai curah hujan yang sama pembagian daerahnya. Tahapan

perhitungannya adalah sebagai berikut:

a. Cara ini dilakukan dengan membuat kontur, berupa garis-garis yang

menunjukkan nilai curah hujan yang sama

b. Luas bagian daerah antara dua garis isohyet yang berdekatan diukur

dengan planimeter

c. Curah hujan ditetapkan sebagai hujan rata-rata antara dua isohyet seperti

yang terlihat pada Gambar 2.4.

Hujan rata – rata DAS metode isohyet dapat dihitung dengan persamaan

berikut:

1

( 1)

2

n

n

i

Ai Ri Ri

RAi

+ +

=

(2.3)

Dimana:

R = Curah hujan rata-rata (mm)

1R 2R nR = Curah hujan yang tercatat di pos penakar hujan 1, 2,...,

n (mm),

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Drainase

16

1A 2A nA = Luas areal poligon 1, 2,..., n (km2),

n = Banyaknya pos penakar hujan

Gambar 2.4 Hitungan Dengan Metode Ishoyet

Sumber: Maryono (1999) dalam Sari (2016)

2.5.3 Analisis Data Curah Hujan Hilang

Data curah hujan dari sebuah stasiun pengukur hujan sering tidak lengkap

atau hilang. Untuk memperbaiki atau memperkirakan data curah hujan yang tidak

lengkap atau hilang, maka dapat dilakukan perhitungan dengan metode reciprocal.

Metode reciprocal dengan menggunakan jarak antar stasiun sebagi faktor koreksi.

Koreksi antara dua stasiun hujan menjadi makin kecil dengan makin besarnya jarak

antar stasiun (Harto, 1993) dalam (Fahmi, 2015).

Untuk mencari data curah hujan yang hilang dari sebuah data curah hujan

di stasiun pencatat curah hujan , maka dilakukan perkiraan data yang hilang/tidak

lengkap dengan metode reciprocal. Metode ini menggunakan perhitungan dengan

sumber jarak antar stasiun pengamat hujan sebagai faktor koreksi (Harto, 1993)

dalam (Fahmi, 2015).

2 2

2 2

1 1

( ) ( )

1 1

( ) ( )

PA PBDxA DxB

Px

DxA DxB

+

=

+

(2.4)

Keterangan:

Px = Data curah hujan pada stasiun X yang diperkirakan data hilang

PA , PB = Hujan pada stasiun A dan B

DxA , DxB = jarak antar stasiun hujan X dengan stasiun hujan A, B

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Drainase

17

2.5.4 Analisis Hujan Rencana

Periode ulang hujan (return period) ialah suatu periode ulang dalam tahun

dalam suatu kejadian hujan dengan intensitas yang sama berulang kembali

kejadianya. Misalnya 2, 5, 10, 25, 100 tahun sekali (Wati, 2015)

Penetapan periode ulang hujan ini digunakan untuk menentukan besarnya

besarnya kapasitas saluran / bangunan drainase. Hal ini berkaitan dengan penentuan

skala prioritas berdasarkan kemampuan pembiayaan, resiko, dan teknologi yang

digunakan. Penentuan periode ulang hujan (PUH) yang digunakan di dalam

perencanaan drainase seperti Tabel 2.2.

Tabel 2.2 PUH untuk Perencanaan Saluran dan Bangunan Air Drainase Perkotaan

No Fasilitas PUH

1 Saluran Mikro

perumahan, Taman, Lahan tak

terbangun 2

Pusat Kota 5 Industri Besar 5 Industri Menengah 10 Industri Kecil 25

2 Saluran Tersier

Resiko Kecil 2 Resiko Besar 5

3 Saluran Sekunder

Resiko Kecil 5 Resiko Besar 10

4 Saluran Primer

Resiko Kecil 10 Resiko Besar 25 Atau

Luas DAS 25-10 ha 5 Luas DAS 50-100 ha 5-10 Luas DAS 100-1300 ha 10-25 Luas DAS 1300-6500 ha 25-100

5 Banjir Makro

6 Gorong-gorong

Jalan raya biasa 10 Jalan by pas 25 Jalan bebas hambatan 50

7 Saluran Tepian

Jalan raya biasa 10

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Drainase

18

No Fasilitas PUH Jalan by pas 25 Jalan bebas hambatan 50

*) Wati, 2015

Besarnya curah hujan yang direncanakan dipilih berdasarkan pada

kesesuaian kawasan yang ditinjau. Nilai periode ulang suatu kawasan yang sesuai

dapat dilihat pada tabel 2.3 berikut.

Tabel 2.3 Nilai Periode Ulang

Daerah Periode Ulang

(tahun)

Permukiman 5 -15

Pusat pemerintaha yang penting, daerah komersil, dan daerah

padat dengan nilai ekonomi tinggi 10 - 50

Perencanaan gorong-gorong jalan raya dan lapangan terbang 3 -15

Perencanaan pengendalian banjir pada sungai 23 - 50

*) Sumber: Wesli (2008) dalam Sari (2016)

Dalam perencanaan saluran drainase pada DAS Durian, DAS Kedondong

dan DAS Sahari periode ulang yang dipergunakan tergantung dari fungsi saluran.

Penggunaan periode ulang untuk perencanaan tersebut dapat dilihat pada tabel 2.4

berikut.

Tabel 2.4 Periode Ulang Untuk Perencanaan Saluran

Saluran Periode Ulang (tahun)

Kwarter 1

Tersier 2

Sekunder 5

Primer 10

*) Sumber: Wesli (2008) dalam Sari (2016)

2.5.5 Analisa Frekuensi Curah Hujan

Dalam analisa frekuensi curah hujan, dikenal beberapa distribusi

probabilitas yang sering digunakan untuk memperoleh nilai curah hujan rencana,

antara lain sebagai berikut (Anugerah, 2019).

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Drainase

19

a. Distribusi Normal

b. Distribusi Log Normal

c. Distribusi Gumbel

d. Distribusi Log Pearson Type III

Penentuan jenis distribusi probabilitas yang sesuai data dilakukan dengan

mencocokkan parameter data tersebut dengan syarat masing-masing jenis distribusi

seperti pada Tabel 2.5 berikut.

Tabel 2.5 Persyaratan Parameter untuk Distribusi

No Distribusi Persyaratan

1 Normal 0Cs

3Ck

2 Log Normal

3 3v vCs C C= +

8 6 4 26 15 16 3v v v vCk C C C C= + + + +

3 Gumbel 1.14Cs =

5.40Ck =

4 Log Pearson Type III Cs dan Ck fleksibel

*) Anugerah, 2019

Masing-masing distribusi probabilitas yang telah disebutkan di atas

memiliki sifat-sifat khas sehingga setiap data curah hujan harus diuji kesesuaiannya

dengan sifat statistik masing-masing tersebut. Setiap jenis distribusi atau sebaran

mempunyai parameter statistik diantaranya terdiri dari:

X = Nilai rata-rata hitung

& S = Deviasi standar

Cv = Koefisien variasi

Ck = Koefisien ketajaman

Cs = Koefisien kemencengan

Dimana setiap parameter statistik tersebut dicari berdasarkan rumus:

1. Nilai rata-rata (Mean):

xx

n=

(2.5)

Dimana:

x = Nilai rata-rata curah hujan (mm)

x = Total nilai curah hujan (mm)

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Drainase

20

n = Jumlah data curah hujan

2. Deviasi standar (Standar Deviation):

( )2

1

x xS

n

−=

(2.6)

Dimana:

S = Deviasi standar curah hujan

x = Nilai rata-rata curah hujan (mm)

x = Nilai curah hujan (mm)

n = Jumlah data curah hujan

3. Koefisien variasi (Coefficien of Vareation) :

SCv

x= (2.7)

Dimana:

Cv = Koefisien variasi curah hujan

S = Deviasi standar curah hujan

x = Nilai rata-rata curah hujan (mm)

4. Koefisien Kemencengan (Coefficien of Skewness):

( )

( )( )

3

31 2

n x xCs

n n S

−=

− −

(2.8)

Dimana:

Cs = koefisien kemencengan curah hujan

S = Deviasi standar curah hujan

x = Nilai rata-rata curah hujan (mm)

x = Nilai curah hujan (mm)

n = Jumlah data curah hujan

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Drainase

21

5. Koefisien ketajaman (Coefficien of Kurtosis)

Koefisien Ketajaman digunakan untuk mengukur keruncingan bentuk

kurva distribusi, yang umumnya dibandingkan dengan distribusi normal.

( )

( )( )( )

42

41 2 3

n x xCk

n n n S

−=

− − −

(2.9)

Dimana:

Ck = koefisien kurtosis curah hujan

S = Deviasi standar curah hujan

x = Nilai rata-rata curah hujan (mm)

x = Nilai rata-rata curah hujan (mm)

n = Jumlah data curah hujan

2.5.6 Perhitungan Hujan rencana dengan Distribusi Frekuensi

Curah hujan rencana untuk periode ulang tertentu secara statistik dapat

diperkirakan berdasarkan seri data curah hujan harian maksimum tahunan

(maximum annual series) jangka panjang dengan analisis distribusi frekuensi.

Curah hujan rancangan/desain ini biasanya dihitung untuk periode ulang 2, 5, 10,

20 atau 25 tahun. Untuk mencari distribusi yang cocok dengan data yang tersedia

dari pos-pos penakar hujan yang ada di sekitar lokasi pekerjaan perlu dilakukan

Analisis Frekuensi. Analisis frekuensi dapat dilakukan dengan seri data hujan

maupun data debit. Jenis distribusi frekuensi yang banyak digunakan dalam

hidrologi adalah distribusi Gumbel, Log Pearson type III, Log Normal, dan Normal.

1. Distribusi Normal

Jika data yang digunakan berupa sampel, maka perhitungan hujan rencana

dengan distribusi normal dilakukan dengan persamaan-persamaan antara lain

sebagai berikut (I Made Kamiana, 2010):

T TX x K S= + (2.10)

Dimana:

TX = Perkiraan nilai curah hujan yang diharapkan terjadi pada periode

ulang T

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Drainase

22

x = nilai curah hujan rata-rata,

S = deviasi standar,

TK = faktor frekuensi, merupakan fungsi dari peluang atau periode

ulang

Nilai KT bergantung dari nilai T (periode ulang), seperti yang terlihat dalam

Tabel 2.6 yang sering disebut sebagai tabel nilai variable reduksi Gauss

(Variable Reduced Gauss).

Tabel 2.6 Nilai Variabel Reduksi Gauss untuk Distribusi Normal

Periode Ulang

(Tahun) Peluang k

1.001 0.999 -3.05

1.005 0.995 -2.58

1.01 0.990 -2.33

1.05 0.950 -1.64

1.11 0.900 -1.28

1.25 0.800 -0.84

1.33 0.750 -0.67

1.43 0.700 -0.52

1.67 0.600 -0.25

2 0.500 0

2.5 0.400 0.25

3.33 0.300 0.52

4 0.250 0.67

5 0.200 0.84

10 0.100 1.28

20 0.050 1.64

50 0.200 2.05

100 0.010 2.33

200 0.005 2.58

500 0.002 2.88

1000 0.001 3.09

*) Suripin, 2004

Nilai KT atau faktor frekuensi, merupakan fungsi dari periode ulang dan

tipe model matematik distribusi peluang yang digunakan untuk analisis

peluang.

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Drainase

23

2. Distribusi Log Normal

Jika data yang digunakan berupa sampel, maka perhitungan hujan rencana

dengan distribusi log normal dilakukan dengan persamaan-persamaan antara

lain sebagai berikut (I Made Kamiana, 2010):

log log logT TX x K S x= + (2.11)

Dimana:

𝑋𝑇 = Perkiraan nilai curah hujan yang diharapkan terjadi pada periode

ulang T

log x = Nilai rata-rata dari log x = 1

logn

i

i

x

n

=

S Log x = Deviasi standar dari Log x,

=

( )2

1

log log

1

n

i

i

x x

n

=

KT = Faktor frekuensi, merupakan fungsi dari peluang atau periode

ulang dan tipe model matematik distribusi peluang yang digunakan

untuk analisis peluang. Nilai KT bergantung dari nilai T (periode

ulang), seperti yang terlihat dalam Tabel 2.7 berikut.

Tabel 2.7 Faktor Frekuensi KT Untuk Distribusi Log Normal

Cv

Peluang komulatif P (%):P (X ≤ X)

50 80 90 95 98 99

Periode Ulang (Tahun)

2 5 10 20 50 100

0.05 -0.025 0.8334 1.2965 1.6863 2.1314 2.457

0.1 -0.0496 0.8222 1.3078 1.7247 2.213 2.5489

0.15 -0.0738 0.8085 1.3156 1.7598 2.2899 2.2607

0.2 -0.0971 0.7926 1.32 1.7911 2.364 2.7716

0.25 -0.1194 0.7746 1.3209 1.8183 2.4318 2.8805

0.3 -0.1406 0.7647 1.3183 1.8414 2.5015 2.9866

0.35 -0.1604 0.7333 1.3126 1.8602 2.5638 3.089

0.4 -0.1788 0.71 1.3037 1.8746 2.6212 3.187

0.45 -0.1957 0.687 1.292 1.8848 2.6731 3.2799

0.5 -0.2111 0.6626 1.2778 1.8909 2.7202 3.3673

0.55 -0.2251 0.6379 1.2613 1.8931 2.7613 3.4488

0.6 -0.2375 0.6129 1.2428 1.8915 2.7971 3.5211

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Drainase

24

Cv

Peluang komulatif P (%):P (X ≤ X)

50 80 90 95 98 99

Periode Ulang (Tahun)

2 5 10 20 50 100

0.65 -0.2185 0.5879 1.2226 1.8866 2.8279 3.393

0.7 -0.2582 0.5631 1.2011 1.8786 2.8532 3.3663

0.75 -0.2667 0.5387 1.1748 1.8677 2.8735 3.7118

0.8 -0.2739 0.5118 1.1548 1.8543 2.8891 3.7617

0.85 -0.2801 0.4914 1.1306 1.8388 2.9002 3.9056

0.9 -0.2852 0.4686 1.106 1.8212 2.9071 3.8137

0.95 -0.2895 0.4466 1.081 1.8021 2.9103 3.8762

1 -0.2929 0.4254 1.056 1.7815 2.9098 3.9035

*) Soewarno, 1995

Nilau faktor frekuensi KT diatas ialah karakteristik dari distribusi log

normal dua parameter. Nilai KT dapat diperoleh dari tabel yang merupakan fungsi

dari periode ulang dan nilai koefisien variasinya.

3. Distribusi Gumbel

Perhitungan persamuum garis lurus untuk distribusi Gumbel, menggunakan

metode paling sering digunakan karena lebih sederhana dan kurang

menyimpang. Persamaan garis lurus untuk distribusi frekuensi tipe I Gumbel

dapat juga menggunakan persam&m distribusi frekuensi empiris sebagai

berikut (Soewarno, 1995).

( )T T n

n

Sx x Y Y

S= + − (2.12)

Hubungan antara periode ulang T dengan Y dapat dapat dihitung dengan

rumus berikut:

1ln lnT

TY

T

− = − −

(2.13)

Keterangan:

Tx = Nilai hujan rencana pada periode ulang T tahun

x = Nilai rata-rata hitung variat

TY = Nilai reduksi variat dari variabel yang diharapkan terjadi pada

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Drainase

25

periode ulang tertentu (hubungan antara periode ulang T dengan Y

dapat dilihat pada Tabel 2.8. untuk T ≥ 20, maka Y= ln T

S = Standar deviasi

nY = Nilai rata-rata dari reduksi variat (mean of reduced variate)

nilainya tergantung dari jumlah data (n) dan dapat dilihat pada Tabel

2.9.

nS = Deviasi standar dari reduksi variat (standard deviation of the

reduced variate), nilainya tergantung dari jumlah data (n) dan dapat

dilihat pada Tabel 2.10.

Tabel 2.8 TY Untuk Metode Gumbel

Periode Ulang Tr

(tahun)

Reduced Variate

YTr

Periode Ulang Tr

(tahun)

Reduced Variate

YTr

2 0.3668 100 4.6012

5 1.500 200 5.2969

10 2.25 250 5.5206

20 2.971 500 6.2149

25 3.199 1000 6.9087

50 3.9028 5000 8.5188

75 4.3117 10000 9.2121

*) Sari, 2016

Nilai Yt ialah hubungan Periode Ulang (Tr) yang akan direncanakan dengan

Reduksi Variat dari Variabel (Yt) yaitu nilai reduksi dari periode yang

direncanakan.

Tabel 2.9 nY Untuk Metode Gumbel

N 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

10 0.495 0.500 0.504 0.507 0.510 0.513 0.516 0.518 0.520 0.522

20 0.524 0.525 0.527 0.528 0.530 0.531 0.532 0.533 0.534 0.535

30 0.536 0.537 0.538 0.539 0.540 0.540 0.541 0.542 0.542 0.544

40 0.544 0.544 0.545 0.545 0.546 0.546 0.547 0.547 0.548 0.548

50 0.549 0.549 0.549 0.550 0.550 0.550 0.551 0.551 0.552 0.552

60 0.552 0.552 0.553 0.553 0.553 0.554 0.554 0.554 0.554 0.555

70 0.555 0.555 0.555 0.556 0.556 0.556 0.556 0.556 0.557 0.557

80 0.557 0.557 0.557 0.557 0.558 0.558 0.558 0.558 0.558 0.559

90 0.559 0.559 0.559 0.559 0.559 0.559 0.560 0.560 0.560 0.560

100 0.560 0.560 0.560 0.560 0.561 0.561 0.561 0.561 0.561 0.561

*) Anugerah, 2019

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Drainase

26

Nilai nY ialah hubungan Reduksi Variat Rata-Rata (Yn) yang diperoleh

berdasarkan Jumlah Data (n) yang digunakan dalam perencanaan.

Tabel 2.10 nS Untuk Metode Gumbel

N 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

10 0.950 0.968 0.983 0.997 1.010 1.021 1.032 1.041 1.049 1.057

20 1.063 1.070 1.075 1.081 1.086 1.092 1.096 1.100 1.105 1.108

30 1.112 1.116 1.119 1.123 1.126 1.129 1.131 1.134 1.136 1.139

40 1.141 1.144 1.146 1.148 1.150 1.152 1.154 1.156 1.157 1.159

50 1.161 1.162 1.164 1.166 1.167 1.168 1.170 1.171 1.172 1.173

60 1.175 1.176 1.177 1.178 1.179 1.180 1.181 1.182 1.183 1.184

70 1.185 1.186 1.187 1.188 1.189 1.190 1.191 1.192 1.192 1.193

80 1.194 1.195 1.195 1.196 1.197 1.197 1.198 1.199 1.199 1.200

90 1.201 1.201 1.202 1.203 1.203 1.204 1.204 1.205 1.206 1.206

100 1.207 1.207 1.207 1.208 1.208 1.208 1.209 1.209 1.209 1.210

*) Anugerah, 2019

Nilai nS ialah hubungan antara Deviasi Standar (sn) yang nilainya harus

berdasarkan dengan Jumlah Data (n) digunakan dalam perencanaan.

4. Distribusi Pearson Tipe III

Menurut Soewarno (1995) Distribusi Pearson Tipe III sering juga di sebut

dengan Distribusi Gamma, persamaan Distribusi Pearson Tipe III sebagai

berikut.

.X X k S= + (2.14)

Dimana:

X = Nilai rata-rata hitung

S = Deviasi Standart

k = Faktor sifat dari Distribusi Pearson Tipe III

5. Distribusi Log Pearson Type III

Jika data yang digunakan berupa sampel, maka perhitungan hujan rencana

dengan distribusi log pearson III dilakukan dengan persamaan-persamaan antara

lain sebagai berikut (I Made Kamiana, 2010):

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Drainase

27

log log logT TX x K S x= + (2.15)

Dimana:

𝑋𝑇 = Perkiraan nilai curah hujan yang diharapkan terjadi pada periode

ulang T

log x = Nilai rata-rata dari log x (seperti pada persamaan 2.7)

S Log x = deviasi standar dari Log x (seperti pada persamaan 2.7)

Dimana besarnya nilai TK tergantung dari koefisien kemencengan pada

Tabel 2.11 memperlihatkan harga KT untuk berbagai nilai kemencengan (Cs).

Tabel 2.11 Nilai TK Distribusi Log Pearson Tipe III

*) Soewarno, 1995

Pada Distribusi Log Pearson Type III nilai TK diperoleh berdasarkan

hubungan antara Koefisien Kemencengan (Cs) ddengan periode ulang atau

presentase peluang. Jika nilai Cs sama dengan nol, maka distribusi kembali ke

distribusi Log Normal.

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Drainase

28

2.5.7 Uji Kecocokan Distribusi

Pengujian parameter untuk menguji kecocokan distribusi frekuensi sampel

data terhadap fungsi distribusi peluang yang diperkirakan dapat menggambarkan

atau mewakili distribusi frekuensi tersebut. Uji kecocokan distribusi ini

dimaksudkan untuk mengetahui kebenaran analisis curah hujan terhadap

simpangan data vertikal maupun simpangan data horizontal. Untuk mengetahui

pengujian distribusi terlebih dahulu harus dilakukan ploting data. Jika pengujian

telah memenuhi syarat tersebut perlu diuji kecocokan distribusi dengan beberapa

metode. Maka diketahui apakah pemilihan metode distribusi frekuensi yang

digunakan dalam perhitungan curah hujan dapat diterima atau ditolak. Terdapat dua

metode pengujian distribusi probabilitas, yaitu Metode Chi-Kuadrat (X2) dan

Metode Smirnov-Kolmogorof (Prasetyo, 2018).

1. Uji Chi-Kuadrat

Uji Chi-Kuadrat dimaksudkan untuk menentukan apakah persamaan

distribusi peluang yang telah dipilih dapat mewakili dari distribusi statistik

sampel data analisis. Pengambilan keputusan uji ini menggunakan parameter,

oleh karena itu disebut Chi-Kuadrat. Parameter dapat dihitung dengan rumus

berikut (Kusuma, 2016).

22

1

( )ni i

h

i i

O EX

E=

−= (2.16)

Dimana:

2

hX = Parameter uji chi kuadrat

G = Jumlah sub kelompok (minimal 4 data pengamatan)

n = Jumlah sub-kelompok

iO = Jumlah nilai pengamatan pada sub kelompok ke-i

iE = Jumlah nilai teoritis pada sub kelompok ke i

Prosedur perhitungan dengan metode uji Chi-Kuadrat antara lain sebagai

berikut:

1. Data diurutkan dari nilai yang besar ke kecil atau sebaliknya,

2. Menghitung jumlah kelas dengan persamaan berikut:

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Drainase

29

1 0.33log( )K n= + (2.17)

Dimana:

K = Banyaknya kelas

n = Banyaknya nilai observasi (data)

3. Menghitung derajat kebebasan (Dk) dengan persamaan berikut:

( 1)Dk K p= − + (2.18)

4. Menghitung kelas distribusi

5. Menghitung interval kelas

6. Melakukan perhitungan X2

7. Membandingkan nilai 2X terhadap 2

crX yang ditunjukkan pada Tabel

2.12.

Distribusi probabilitas yang digunakan untuk menentukan curah hujan

rencana adalah distribusi probabilitas yang memiliki simpangan maksimum

terkecil dan lebih kecil dari simpangan kritis seperti persamaan berikut ini:

2 2

crX X (2.19)

Tabel 2.12 Nilai Kritis untuk Uji Chi-Kuadrat

Dk ALFA derajat kepercayaan

0.995 0.99 0.975 0.95 0.05 0.025 0.01 0.005

1 0 0 0.001 0.004 3.841 5.024 6.634 7.879

2 0.01 0.02 0.051 0.103 5.991 7.378 9.21 10.596

3 0.072 0.115 0.216 0.352 7.815 9.348 11.344 12.838

4 0.207 0.297 0.484 0.711 9.488 11.143 13.276 14.86

5 0.412 0.554 0.831 1.145 11.07 12.833 15.086 16.749

6 0.676 0.872 1.237 1.635 12.592 14.449 16.811 18.547

7 0.989 1.239 1.69 2.167 14.067 16.013 18.475 20.277

8 1.344 1.646 2.18 2.733 15.507 17.535 20.09 21.954

9 1.735 2.088 2.7 3.325 16.919 19.023 21.665 23.589

10 2.156 2.558 3.247 3.94 18.307 20.483 23.209 25.188

11 2.603 3.053 3.816 4.575 19.675 21.92 24.724 26.756

12 3.074 3.571 4.404 5.226 21.026 23.337 26.216 28.299

13 3.565 4.107 5.009 5.892 22.362 24.736 27.688 29.819

14 4.075 4.66 5.629 6.571 23.685 26.119 29.141 31.319

15 4.601 5.229 6.262 7.261 24.996 27.488 30.577 32.801

16 5.142 5.812 6.908 7.962 26.296 28.845 31.999 34.267

17 5.697 6.408 7.564 8.672 27.587 30.191 33.408 35.718

18 6.265 7.015 8.231 9.39 28.869 31.526 34.805 37.156

19 6.844 7.633 8.907 10.117 30.144 32.852 36.19 38.582

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Drainase

30

Dk ALFA derajat kepercayaan

0.995 0.99 0.975 0.95 0.05 0.025 0.01 0.005

20 7.434 8.26 9.591 10.851 31.41 34.17 37.566 39.996

21 8.034 8.897 10.283 11.591 32.671 35.479 38.932 41.401

22 8.643 9.542 10.982 12.338 33.924 36.781 40.289 42.795

23 9.26 10.196 11.689 13.091 35.172 38.076 41.638 44.181

24 9.886 10.856 12.401 13.848 36.415 39.364 42.979 45.558

25 9.886 10.856 12.401 13.848 36.415 39.364 42.979 45.558

26 11.16 12.198 13.844 15.379 38.885 41.923 45.641 48.289

27 11.808 12.879 14.573 16.151 40.113 43.195 46.962 49.644

28 12.461 13.565 15.308 16.928 41.337 44.461 48.278 50.993

29 13.121 14.256 16.047 17.708 42.557 45.722 49.587 52.335

30 13.787 14.953 16.791 18.493 43.773 46.979 50.892 53.671

*) Kusuma, 2016

Nilai kritis diperoleh dari hubungan antara hasil perhitungan dk dengan

derajat kepercayaan yang digunakan dalam perencanaan (Soewarno, 1995).

2. Uji kecocokan Smirnov – Kolmogorov

Uji kecocokan Smirnov – Kolmogorov, sering juga disebut uji kecocokan

Non Parametric (nonparametric test), karena pengujianya tidak menggunakan

fungsi distribusi tertentu (Kusuma, 2016).

Pengujian dengan metode smirnov-kolmogorof dilakukan dengan

langkahlangkah sebagai berikut (I Made Kamiana, 2010):

1. Data diurutkan dari nilai yang besar ke kecil atau sebaliknya dan

ditentukan besarnya peluang dari masing-masing data tersebut.

2. Menentukan nilai peluang empiris dari masing-masing data yang telah

diurutkan dengan rumus tertentu, misalnya rumus:

( )( 1)

i

mP X

n=

+ (2.20)

Dimana:

n = jumlah data

i = nomor urut data (setelah diurutkan)

3. Menentukan nilai peluang teoritis masing-masing data yang telah

diurutkan '( )iP X berdasarkan distribusi probabilitas yang dipilih

(Gumbel, Normal, dan sebagainya)

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Drainase

31

4. Dari kedua nilai peluang tersebut tentukan selisih terbesarnya antara

peluang pengamatan dengan peluang teoritis:

( ) '( )i i iP P X P X = − (2.21)

5. Melakukan perbandingan nilai iP terhadap iP kritis. Nilai iP kritis

ditunjukan pada Tabel 2.13 berikut.

Tabel 2.13 Nilai Kritis iP Uji Smirnov-Kolmogorof

N Derajat kepercayaan (α)

0.2 0.1 0.05 0.01

5 0.45 0.51 0.56 0.67

10 0.32 0.37 0.41 0.49

15 0.27 0.3 0.34 0.4

20 0.23 0.26 0.29 0.36

25 0.21 0.24 0.27 0.32

30 0.19 0.22 0.24 0.29

35 0.18 0.2 0.23 0.27

40 0.17 0.19 0.21 0.25

45 0.16 0.18 0.2 0.24

50 0.15 0.17 0.19 0.23

N>50 0.5

1.07

N

0.5

1.22

N

0.5

1.36

N

0.5

1.63

N

*) Soewarno, 1995

Nilai Kritis iP Uji Smirnov-Kolmogorof diperoleh dengan dari

hubungan jumlah data (n) dengan derajat kepercayaan (α). Apabila nilai iP

lebih kecil dari iP kritis maka distribusi probabilitas yang digunakan dapat

diterima, demikian sebaliknya.

2.5.8 Intensitas Curah Hujan Rencana

Intensitas hujan adalah jumlah hujan yang dinyatakan dalam tinggi hujan

atau volume hujan tiap satuan waktu. Besarnya intensitas hujan berbeda-beda,

tergantung dari lamanya curah hujan dan frekuensi kejadiannya. Intensitas hujan

diperoleh dengan cara melakukan analisis data hujan baik secara statistik maupun

secara empiris. Intensitas hujan ialah ketinggian hujan yang terjadi pada suatu

kurun waktu air hujan terkonsentrasi (Prasetyo, 2018).

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Drainase

32

Terdapat beberapa metode perhitungan intensitas hujan untuk perencanaan

drainase, namun pada umumnya perhitungan intensitas hujan menggunakan

perumusan Mononobe yang menggunakan data hujan harian maksimum yaitu

sebagai berikut (Anugerah, 2019).

24 24

24

mR

It

=

(2.22)

Dimana:

I = Intensitas curah hujan (mm/jam)

t = Waktu konsentrasi (jam),

m = Tetapan = 2/3

24R = Curah hujan maksimum dalam 24 jam (mm).

2.5.9 Waktu Konsentrasi (tc)

Waktu konsentrasi dapat diartikan sebagai waktu yang dibutuhkan air untuk

mengalir dari titik terjauh pada suatu kawasan sampai masuk pada titik saluran yang

terjauh. I Made Kamiana (2010) dalam Setiawan (2019) mengemukakan bahwa

waktu konsentrasi tc dapat dihitung menggunakan rumus kirpich dengan persamaan

sebagai berikut :

0.38520.87

1000c

Lt

S

=

(2.23)

Dimana:

ct = waktu konsentrasi (jam)

L = panjang lintasan air pada lahan (Km)

S = kemiringan rata-rata daerah lintasan air

2.5.10 Koefisien Pengaliran

Koefisien pengaliran adalah perbandingan besarnya aliran permukaan

(bagian hujan yang membentuk limpasan) dengan hujan total. Hujan yang jatuh di

atas permukaan tanah, sebelum melimpas atau mengalir di atas permukaan tanah

akan mengalami hal–hal berikut:

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Drainase

33

a. Intersepsi

Air hujan membasahi segala suatu yang ada di atas permukaan tanah, seperti

tanaman-tanaman dan bangunan-bangunan

b. Infiltrasi

Merembesnya air dari permukaan tanah ke dalam tanah yang lamanya

sangat tergantung dari jenis dan kondisi tanah

c. Retensi

Air hujan mengisi celah-celah dan retakan-retakan serta cekungan yang ada

di atas tanah.

Peristiwa intersepsi, infiltrasi, dan retensi merupakan suatu

peristiwa “kehilangan air” ditambah dengan evapotranspirasi atau

penguapan – penguapan.

Limpasan permukaan = Hujan Total – Kehilangan Air

1 2Q Q Q= − (2.24)

Koefisien Pengaliran:

(C) = 1

Q

Q (2.25)

Kondisi tata guna lahan yang sebenarnya di lapangan sangatlah bervariasi,

sehingga untuk menentukan koefisien pengaliran adalah koefisien pengaliran rata-

rata atau koefisien pengaliran komposit kawasan. Perhitungan koefisien rata-rata �̅�:

1 1 2 2

1 2

...

...

i i n n

n

C A C A C A C AC

A A A A

+ + += =

+ + +

(2.26)

Dimana:

C = Koefisien pengaliran rata – rata

iC = Koefisien pengaliran bagian

iA = Luas bagian.

Koefisien pengaliran dapat dilihat pada Tabel 2.14 berikut.

Tabel 2.14 Koefisien aliran (C)

Tipe Daerah Aliran C

Rerumputan

Tanah pasir, datar, 2% 0,50-0,10

Tanah pasir, sedang, 2-7% 0,10-0,15

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Drainase

34

Tipe Daerah Aliran C

Tanah pasir, curam, 7% 0,15-0,20

Tanah gemuk, datar, 2% 0,13-0,17

Tanah gemuk, sedang, 2-7% 0,18-0,22

kebun

Tanah gemuk, curam, 7%

0.2

0,25-0,35 Perdagangan

Daerah kota lama 0,75-0,95

Daerah pinggiran 0,50-0,70

Perumahan

Daerah single family 0,30-0,50

Multi unit terpisah 0,40-0,60

Multi unit tertutup 0,60-0,75

Suburban 0,25-0,40

Daerah apartemen 0,50-0,70

Industri

Daerah ringan 0.50-0.80

Daerah berat 0,60-0,90

Taman, kuburan 0,10-0,25

Tempat bermain 0,20-0,35

Halaman kereta api 0,20-0,40

Daerah tidak dikerjakan 0,10-0,30

Jalan: beraspal

Beton 0,80-0,95

Batu 0,70-0,85

Atap 0,70-0,85

*) Sadhu, 2014

Kodoatie dan Syarief (2005) dalam Setiawan (2019) mengungkapkan

bahwa terdapat beberapa komponen lahan lainnya seperti hutan sekuder, badan air,

belukar dan jalan beraspal yang memiliki nilai koefisien C masing-masing sebesar

3%, 20%, 15%, dan 95%. Nilai koefisien pengaliran (C) ditentukan berdasaran jenis

lahan pada saluran drainase yang ditinjau. Nilai C dapat ditentukan berdasarkan

range yang ditetapkan.

2.5.11 Analisa Hidrologi (Qp)

Perhitungan debit hidrologi pada tugas akhir ini dilakukan dengan metode

rasional. SNI 2415 2016 tentang Tata Cara Perhitungan Debit Banjir Rencana

menjelaskan bahwa metode rasional berlaku untuk luas DAS hingga 5000 hektar.

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Drainase

35

Berikut ini adalah persamaan yang digunakan dalam perhitungan debit hidrologi

dengan metode rasional:

0.278PQ C I A= (2.26)

Dengan:

PQ = Debit puncak banjir (m3/s)

C = Koefisien limpasan

I = Intensitas hujan selama waktu konsentrasi (mm/jam)

A = Luas daerah aliran (km2)

2.6 Analisa Hidrolika

Zat cair dapat diangkut dari suatu tempat lain melalui bangunan pembawa

alamiah maupun buatan manusia. Bangunan pembawa ini dapat berupa terbuka

maupun tertutup bagian atasnya. Saluran yang tertutup bagian atasnya disebut

saluran tertutup (closed conduits), sedangkan yang terbuka bagian atasnya disebut

saluran terbuka (open channels).

Berdasarkan (Triatmodjo, 1993), konsistensi bentuk penampang dan

kemiringan dasarnya saluran terbuka dapat diklasifikasikan menjadi:

1. Saluran prismatik (prismatic channel) yaitu saluran yang bentuk penampang

melintang dan kemiringan dasarnya tetap.

Contoh: saluran drainase, saluran irigasi.

2. Saluran non prismatik (non prismatic channel) yaitu saluran yang berbentuk

penampang melintang dan kemiringan dasarnya berubah-ubah.

Contoh: sungai.

Aliran pada saluran terbuka terdiri dari saluran alam (natural channel)

seperti sungai-sungai kecil di daerah hulu atau pegunungan hingga sungai besar di

muara, dan saluran buatan (artificial channel) seperti saluran drainase di tepi jalan,

saluran irigasi untuk mengairi persawahan, saluran pembuangan, saluran untuk

membawa air ke pembangkit listrik tenaga air, saluran untuk supply air minum, dan

saluran banjir. Saluran buatan dapat berbentuk segitiga, trapesium, segiempat,

bulat, setengah lingkaran, dan bentuk tersusun (Prasetyo, 2018).

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Drainase

36

2.6.1 Dimensi Penampang Saluran

Bentuk penampang saluran untuk drainase yang paling sering digunakan

adalah penampang trapesium yang banyak digunakan terutama saluran yang dibuat

di tanah asli dan segiempat yang digunakan untuk lahan terbatas, dibuat dari beton

atau pasangan batu, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.5 dan Gambar 2.6.

Gambar 2.5 Penampang saluran trapezium

Sumber: Prasetyo, 2018

Dilakukan pengukuran terhadap dimensi saluran, yaitu lebar dasar saluran

(b), lebar atas saluran (B), kemiringan sisi saluran (m), tinggi jagaan (F), tinggi

basah saluran (h) dan kemiringan saluran (S). Dengan diketahui lebar dasar saluran

dan tinggi basah saluran di atas, maka diperoleh luas penampang basah saluran (A),

keliling basah saluran (P) dan jari-jari hidrolis (R). Berdasarkan (Triatmodjo, 1993)

diperoleh seperti di bawah ini:

( . ).A b m h h= + (2.27)

22 . 1P b h m= + + (2.28)

AR

P= (2.29)

Gambar 2.6 Penampang Saluran Persegi

Sumber: Prasetyo, 2018

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Drainase

37

Menurut (Triatmodjo, 1993), dalam perencanaan saluran di lapangan

dipakai saluran persegi dimana hubungan antara debit rencana dengan dimensi

tampang ditentukan berdasarkan rumus Manning, yaitu:

.A b h= (2.30)

2P b h= + (2.31)

AR

P= (2.32)

Keterangan:

A = Luas penampang basah saluran (m2) F = Tinggi jagaan (m)

R = Jari-jari hidrolis (m) b = Lebar dasar saluran (m)

P = Keliling basah saluran (m) B = Lebar atas saluran (m)

S = Kemiringan saluran h = Tinggi basah saluran (m)

n = Koefisien kekasaran Manning

m = Kemiringan sisi saluran

2.6.2 Dimensi Saluran

Dimensi saluran menurut Triatmodjo (1993) dalam Prasetyo, (2018), harus

mampu mengalirkan debit rencana atau dengan kata lain debit yang dialirkan oleh

saluran ( Qs ) sama atau lebih besar dari debit rencana ( QT ). Hubungan ini

ditunjukkan sebagai berikut:

Qs QT (2.33)

Debit suatu penampang saluran (Qs) dapat diperoleh dengan menggunakan

rumus seperti di bawah ini:

.Qs AsV= (2.34)

Keterangan:

Qs = Debit penampang saluran (m3/det)

As = Luas penampang saluran tegak lurus arah aliran (m2)

V = Kecepatan rata-rata aliran di dalam saluran (m/det)

Berdasarkan Triatmodjo, (1993) dalam Prasetyo, (2018), kecepatan rata-

rata aliran di dalam suatu saluran dapat dihitung dengan menggunakan rumus

Manning seperti di bawah ini:

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Drainase

38

2 1

3 21

. .V R SIn

= (2.35)

AsR

p= (2.36)

Keterangan:

V = Kecepatan rata-rata aliran di dalam saluran (m/det)

n = Koefisien kekasaran Manning

R = Jari-jari hidrolis (m)

SI = Kemiringan saluran

As = Luas penampang saluran tegak lurus arah aliran (m2)

p = Keliling basah saluran (m)

Nilai dari koefisien kekasaran ditentukan berdasarkan bahan/material yang

digunakan pada saluran, nilai koefisien kekasaran saluran dan nilai kemiringan

dinding saluran sesuai bahan ditunjukkan seperti yang terlihat pada Tabel 2.15 dan

Tabel 2.16.

Tabel 2.15 Koefisien Kekasaran Manning ( n )

No Tipe Saluran Baik Sekali Baik Sedang Jelek

SALURAN BUATAN

1 Saluran tanah, lurus teratur. 0.017 0.02 0.023 0.025

2 Saluran tanah yang dibuat dengan

excavator.

0.023 0.028 0.03 0.04

3 Saluran pada dinding batuan, tidak

lurus, teratur.

0.02 0.03 0.033 0.035

4 Saluran pada dinding batuan, tidak

lurus, tidak teratur.

0.035 0.04 0.045 0.045

5 Saluran batuan yang diletakkan,

ada tumbuh-tumbuhan.

0.025 0.03 0.035 0.04

6 Dasar saluran dari tanah, sisi

saluran berbatu.

0.028 0.03 0.033 0.035

7 Saluran lengkung dengan

kecepatan aliran rendah

0.02 0.025 0.028 0.03

SALURAN ALAM

8 Bersih, lurus, tidak berpasir, tidak

berlubang.

0.025 0.028 0.03 0.033

9 Seperti No.8 tetapi ada timbunan

atau kerikil.

0.03 0.033 0.035 0.04

Page 33: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Drainase

39

No Tipe Saluran Baik Sekali Baik Sedang Jelek

10 Melengkung bersih, berlubang dan

berdinding pasir.

0.033 0.045 0.05 0.055

11 Seperti No.10 dangkal tidak teratur. 0.04 0.045 0.05 0.055

12 Seperti No.10 berbatu dan ada

tumbuh-tumbuhan.

0.035 0.04 0.045 0.05

13 Aliran pelan, banyak tumbuh-

tumbuhan dan berlubang.

0.05 0.06 0.07 0.08

14 Banyak tumbuh-tumbuhan. 0.075 0.01 0.0125 0.015

SALURAN BUATAN, BETON atau BATU KALI

15 Saluran pasangan batu, tanpa

penyelesaian

0.025 0.03 0.033 0.035

16 Seperti No.16 tapi dengan

penyelesaian.

0.017 0.02 0.025 0.03

17 Saluran beton. 0.014 0.016 0.019 0.21

18 Saluran beton halus dan rata 0.01 0.022 0.012 0.013

19 Saluran beton pracetak dengan

acuan baja.

0.013 0.014 0.014 0.015

20 Saluran beton pracetak dengan

acuan kayu.

0.015 0.16 0.016 0.018

*) Petunjuk Desain Drainase Permukaan Jalan No.008/BNKT/1990

Koefisien Kekasaran Manning ( n ) Pada suatu saluran tidak selalu sama.

Nilai tersebut bervariasi meskipun pada penampang yang sama, Faktor yang

mempengaruhi nilai tersebut ialah kekasaran permukaan, tumbuhan,

ketidakteraturan saluran, trase saluran, pengendapan dan penggerusan, hambatan,

ukuran dan bentuk saluran, taraf air dan debit, perubahan musiman, endapan

melayang dan endapan dasar (Prasetyo, 2018).

Tabel 2.16 Nilai kemiringan dinding saluran sesuai bahan

No Material

Saluran

Kemiringan Saluran

(%)

1 Pasir halus 0-5

2 Tanah asli 0-6

3 Napal kepasiran 0-7

4 Lanau aluvial 0-8

5 Kerikil halus 0-9

6 Lempung

kokoh 0-10

7 Lempung padat 0-10

8 Kerikil padat 0-10

Page 34: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Drainase

40

9 Batu-batu besar 0-10

10 Pasangan batu

kali 10

11 Beton 10

*) Anugerah, 2019

Dalam merencanakan saluran drainase kemiringan memanjang saluran juga

harus sesuai dengan spesifikasi teknis sebagaimana yang ditetapkan pada tabel

diatas (Anugerah, 2019)

Kemudian hasil perhitungan debit saluran tersebut dibandingkan dengan

perhitungan debit limpasan berdasarkan intensitas hujan yang diperoleh dari

analisis hidrologi dengan menggunakan persamaan Modifikasi Rasional

(Hardjosuprapto, 1998). Debit adalah faktor konversi dikalikan dengan koefisien

tampungan dikalikan dengan koefisien limpasan dikalikan dengan luas daerah

pengaliran sungai dengan pesamaan sebagai berikut.

. . . .Q F Cs C A I= (2.37)

Keterangan:

Q = Debit (m3/det)

F = Faktor konvensi,

F = 1/360 untuk Q dalam (m3/det)

F = 100/36 untuk Q dalam (1/det)

2.6.3 Kecepatan Aliran Drainase

Komponen kecepatan ini bervariasi terhadap kedalaman dari permukaan air.

Kecepatan minimum yang diijinkan adalah kecepatan terkecil yang tidak

menimbulkan pengendapan dan tidak merangsang tumbuhnya tanaman aquatic dan

lumut. Batas kecepatan aliran air berdasarakan bahan penyusun dinding dan dasar

saluran dapat dilihat pada Tabel 2.17 berikut.

Tabel 2.17 Batas Kecepatan Aliran berdasarkan Bahan Material

No Material Saluran Kecepatan Maksimum (m/s)

1 Tanah 0.7

2 Pasangan Batu Kali 2

3 Beton 3

*) Permen PU No. 12, 2014

Page 35: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Drainase

41

Batas maksimum dan minimum kecepatan aliran di saluran drainase harus

memenuhi persyaratan yang diizinkan berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan

Umum No. 12 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Sistem Drainase Perkotaan.

Batas minimum kecepatan aliran di saluran adalah sebesar 0.6 m/s, sedangkan batas

maksimum kecepatan terlihat pada tabel 2.15 diatas (Permen PU No. 12, 2014)

2.6.4 Tinggi Jagaan

Tinggi jagaan merupakan jarak vertical dari puncak sungai ke permukaan

air pada kondisi debit rencana. Harga minimum untuk tinggi jagaan berdasarka

debit banjir yang terjadi dapat dilihat pada tabel 2.18 sebagai berikut :

Tabel 2.18 Tinggi Jagaan

Debit Tanggul Pasangan

(m3/s) (m) (m)

< 0.5 0.40 0.20

0.5 - 1.5 0.50 0.20

1.5 - 5.0 0.60 0.25

5.0 - 10.0 0.75 0.30

10.0 - 15.0 0.85 0.40

> 15.0 1.00 0.50

*) Sumber: Kementrian PU (2013)

Pada studi ini untuk menentukan bajir suatu penampang ditunjukkan dengan

ketinggian air yang harus lebih rendah hingga mencapai 0.5 meter dari pada tinggi

penampang yang ada dikarenakan debit rencana yang mencapai lebih dari 15 m3 /s

dan konstruksi penampang dari pasangan batu atau pasangan beton.

Tinggi jagaan adalah ruang pengamanan berupa ketinggian yang diukur dari

permukaan air maksimum sampai permukaan tanggul saluran dan/atau muka tanah

(SNI,2011:108). Tinggi total saluran dapat diperoleh dari jumlah tinggi jagaan (w)

dan tinggi saluran (H) adalah sebagai berikut:

H w h= + (2.39)

Dimana:

H = Tinggi total (m)

w = Tinggi jagaan (m)

h = Kedalaman air yang tergenang (m)

Page 36: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Drainase

42

2.6.5 Bangunan bantu

Sofiah (2006) dalam Sari (2016) Bangunan bantu sebagai fasilitas drainase

jalan meliputi gorong-gorong, bangunan pematah arus atau terjunan. Gorong-

gorong untuk membawa saluran irigasi atau saluran drainase lain melintasi jalan

raya. Bangunan terjun untuk mengatur kemiringan saluran di medan yang curam.

Gambar-gambar bangunan.

1. Bangunan Terjun

Menurut Naharuddin dkk. (2018) Bangunan terjun dibutuhkan jika

kemiringan saluran lebih dari 1%, jika dibawah itu maka saluran tidak

membutuhkan bangunan terjun. Bangunan terjun direncanakan sendiri,

dimana konsep ada tidaknya bangunan terjun dapat diketahui dengan rumus:

PanjangSaluran Sn

TinggiTerjunan

=

(2.40)

Bangunan terjun adalah bangunan pertolongan yang diperlukan

untuk mengatasi perbedaan yang terlalu besar antara kemiringan dilapangan

dengan kemiringan rencana saluran. Bangunan diperlukan apabila Imedan >

IRencana .

Rumus yang digunakan untuk menghitun bangunan terjun adalah:

Gambar 2.7 Gambar Potongan Memanjang Bangunan Terjun

Sumber: Naharuddin dkk., 2018

1 3L z=

2 1 . 0.25cL C z h= + (2.41)

Dengan :

2L = Panjang Kolam Olak (m)

Page 37: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Drainase

43

ch = Kedalaman Kritis (m)

Salh = Tinggi Air di Saluran (m) h1 = h2

t = Tinggi terjunan (m)

z = Kehilangan Energi (m)

2. Pintu Air

Pintu air dibuka saat muka air hilir (pembuangan akhir) rendah dan ditutup

bila muka air hilir tinggi. Saat kapasitas saluran di hulu cukup menahan air

sampai muka air hilir surut, bila tidak akan meluap atau menggenang.

Perencanaan lebar dan besar bukaan pintu itu pada saluran dihitung

menggunakan rumus seperti berikut dan pintu air yang direncanakan dapat

dilihat pada gambar 2.8.

. . .(2 ).1 2Q k A gz= (2.42)

Dimana:

Q = Debit outflow

k = Faktor aliran tenggelam (dapat dilihat pada gambar 2.17)

= Koefisien aliran (dapat dilihat pada gambar 2.18)

A = Luas penampang pintu air

z = Beda tinggi air upstream dan downstream

g = Percepatan gravitasi

Gambar 2.8 Pintu Air

Sumber: Sari, 2016

Page 38: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Drainase

44

2.7 Konsep Analisa Hidrolika dengan HEC-RAS

Analisa hidrolika merupakan suatu analisis yang kompleks, dimana analisis

ini dilakukan dengan iterasi secara berulang baik pada aliran kondisi permanen

(steady flow) maupun pada aliran kondisi tidak permanen (unsteady flow) dengan

memasukkan parameter-parameter tertentu untuk mendapatkan variabel-variabel

tertentu (Rossana, 2015 dalam Anugerah 2019).

Salah satu variabel yang dihasilkan oleh HEC-RAS adalah profil muka air,

baik aliran baik pada aliran kondisi permanen (steady flow) maupun pada aliran

kondisi tidak permanen (unsteady flow). Profil muka air dari suatu penampang

dihitung dengan persamaan energi melalui prosedur iterasi yang disebut dengan

standart step method yang ditunjukkan dalam persamaan sebagai berikut:

2 2

2 2 1 12 2 1 1

2 2e

V VY Z Y Z h

g g

+ + = + + + (2.43)

Keterangan:

1Y , 2Y = Tinggi muka air pada penampang melintang 1 dan 2 (m)

1V , 2V = Kecepatan rata-rata pada penampang melintang 1 dan 2 (m/det)

1 , 2 = Koefisien Coriolis

g = Percepatan gravitasi (m2/det)

eh = Kehilangan tinggi energi (m)

2.8 Profil Air Balik (Back Water)

Dalam trasenya kadang-kadang pada saluran terdapat perubahan pada alur

atau gangguan pada aliran. Perubahan pada alur saluran misalnya perubahan

kemiringan dasar, perubahan elevasi dasar (pada terjunan), atau perubahan

penampang saluran. Gangguan pada aliran antara lain oleh adanya pintu air,

pelimpah atau perubahan muka air di hilirnya. Akibat perubahan dan gangguan

tersebut profil muka air berubah. Hal ini perlu diperhitungkan agar saluran tetap

dapat mengalirkan air buangan dan tak terjadi peluapan, serta sebagai dasar untuk

menentukan bangunan pelengkap/pertolongan.

Metode untuk menggambarkan bentuk lengkung air balik, diantaranya

Tahapan Langsung (Direct Step). Pembahasan hanya untuk aliran tidak seragam

Page 39: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Drainase

45

berubah lambat laun (gradually varied flow) yang banyak ditemui dalam praktek.

Sifat aliran adalah subkritis dan perhitungan dimulai dari hilir ke arah hulu. Metode

yang dipakai untuk menggambarkan profil muka air adalah metode Tahapan

Langsung seperti yang terlihat pada Gambar 2.9.

Gambar 2.9 Sket definisi untuk perhitungan aliran tidak seragam, metode

tahapan langsung

Sumber: Sofiah. F, 2006 dalam Sari. O.L, 2016 2 2

1 21 20 .

2 2O e

V VS x h h S x

g g + + = + + + (2.43)

1 2 .O eS x E E S x + = + (2.44)

2 1

0 ert

E Ex

S S

− =

− (2.45)

Dimana:

OS = Kemiringan dasar saluran

eS = Kemiringan energi = 2 2

4/3

V n

R

V = Q

A

ertS = 2

2

e elS S+

E = Energi spesifik

x = Jarak

x = panjang pengaruh backwater

Page 40: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Drainase

46

2.8 Penelitian Terdahulu

Berikut adalah beberapa penelitian terdahulu yang dapat dijadikan referensi

dalam penulisan tugas akhir ini seperti yang terlihat pada Tabel 2.19 berikut.

Tabel 2.19 Penelitian Terdahulu

No Judul Permasalahan Solusi

1

Evaluasi Sistem

Drainase Kecamatan

Ponorogo Kabupaten

Ponorogo.

Suryaman, H (2013)

- Kapasitas saluran

drainase primer dan

saluran drainase

sekunder tidak dapat

menampung debit

rancangan yang ada

- Penyempitan saluran

primer

- Perencanaan dimensi saluran di

sesuaikan dengan daerah

(Cath-

ment area) yang berpengaruh

pada saluran tersebut

- Perencanaan dimensi saluran

sesuai perubahan tata guna

lahan perkembangan saat ini

2

Perencanaan Saluran

Drainase (Studi Kasus

Desa Rambah).

Lubis, H dkk (2014)

- Tidak terawatnya

drainase Alami

- Tidak berfungsinya

drainase alami

- Perencanaan ulang dimensi

saluran sesuai debit rencana

3

Analisis Kinerja

Sistem Drainase

Kelurahan Kuto Panji

Kecematan Belinyu.

Restiani, E & Sabri, F

(2015)

- Kurangnya kinerja

system drainase

- Saluran sekunder tidak

dapat menampung

debit aliran

- Pelebaran saluran agar dapat

menampung debit rencana

- Normalisasi saluran berupa

pengerukan secara berkala

dan menambahkan penyaring

sampah pada saluran alami

4

Analisis Hidrologi

dan Kapasitas Sistem

Drainase Kota

Surakarta. Hutomo,

F.P & Firmansyah , R

(2016)

- Backwater dari aliran

tengah kota

- Banjir kiriman oleh

aliran dari hulu DAS

Solo

- Saluran sekunder tidak

dapat menampung

debit aliran

- Perencanaan ulang dimensi

saluran saluran sekunder sesuai

debit kala ulang

- Mendesign sumur resapan pada

- Setiap DAS yang banjir

*) Penulis, 2019

2.9 Letak Penelitian

Penelitian yang dilakukan adalah berdasarkan penelitian-penelitian

terdahulu yang telah dipelajari oleh penulis. Penelitian yang dilakukan memiliki

beberapa pesamaan dan perbedaan dengan penelitian terdahulu, secara umum posisi

penelitian dapat dijabarkan seperti pada Tabel 2.20 berikut.

Tabel 2.20 Posisi penelitian

No Sumber

Analisis

Debit

Limpasan

Evaluasi

Kinerja

Saluran

Perencanaan

Ulang

Saluran

Draisane

Perencanaan

Bangunan

Terjun

1 Suryaman, H (2013) √ √ √

2 Lubis, H dkk (2014) √ √

Page 41: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Drainase

47

No Sumber

Analisis

Debit

Limpasan

Evaluasi

Kinerja

Saluran

Perencanaan

Ulang

Saluran

Draisane

Perencanaan

Bangunan

Terjun

3 Restiani, E & Sabri,

F (2015) √

4

Hutomo, F.P &

Firmansyah , R

(2016)

√ √ √

5 Penelitian yang

dilakukan √ √ √ √

*) Penulis, 2019

Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan, terdapat penelitian terdahulu

yang hanya melakukan evaluasi kinerja saluran maupun perencanaan ulang saluran

drainase, sehingga penulis mencoba untuk menambahkan bangunan bantu berupa

pintu air. Terdapat beberapa persamaan metode perencanaan yang dilakukan

penulis dengan penelitian-penelitian terdahulu dan perbedaan yang terletak pada

posisi penelitian yang dilakukan penulis. Letak penelitian dapat dilihat pada gambar

2.10 berikut.

Gambar 2.10 Posisi Penelitian

Sumber: Penulis, 2019

Pada gambar 2.10 dijelaskan bahwa penelitian yang dikerjakan oleh penulis

adalah irisan dari tiga poin utama yang terletak pada penelitian-penelitian terdahulu.

Pada diagram Venn tersebut pokok penelitian penulis sama denganpenelitian

Page 42: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Drainase

48

terdahulu no 1 dan 4. Hal yang membedakan penelitian ialah lokasi yang ditinjau,

luas area tinjauan, kontur daerah tinjauan serta, tata guna lahan area yang ditinjau.