bab ii tinjauan pustaka 2.1 pencemaran tanah pertanian · 2017-04-01 · kenyataan di lapangan,...
TRANSCRIPT
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pencemaran Tanah Pertanian
Tanah yang merupakan salah satu penunjang kehidupan yang ada di bumi
adalah bagian yang terdapat pada kerak bumi yang tersusun atas mineral dan
bahan organik. Pada dasarnya, tanah merupakan campuran dari berbagai mineral
dan bahan organik, yang mampu menopang kehidupan tanaman. Di dalam tanah
terdapat unsur hara yang diperlukan oleh tanaman. Unsur hara dapat digolongkan
menjadi dua yaitu unsur hara makro dan mikro. Unsur hara makro adalah unsur-
unsur yang dibutuhkan dalam jumlah besar oleh tanaman, meliputi karbon (C),
hidrogen (H2), Oksigen (O2), nitrogen (N2), fosfor (P), kalium (K), kalsium (Ca),
magnesium (Mg), dan belerang (S). Unsur hara mikro adalah unsur yang
dibutuhkan dalam jumlah kecil oleh tanaman dan bersifat esensial, meliputi boron
(B), klor (Cl), tembaga (Cu), besi (Fe), mangan (Mn), molibdenum (Mo), natrium
(Na), vanadium (V), dan seng (Zn) (Achmad, 2004).
Tanah dapat sebagai tempat penampungan berbagai bahan pencemar, salah
satu diantaranya adalah cemaran berupa logam berat. Sebagai contoh, partikel Pb
yang berasal dari asap buangan kendaraan bermotor ditemukan dalam jumlah
yang sangat besar dalam tanah, terutama tanah yang berada di sepanjang jalan
raya (Manahan, 1994; Achmad, 2004). Sumber utama pencemaran logam berat
pada tanah pertanian di Cina berasal dari emisi pabrik, air limbah, dan residu
pupuk (Cheng, 2003). Konsentrasi logam berat As, Cd, Hg, dan Pb dalam seluruh
sampel tanah yang dianalisis oleh Jia et al. (2010) lebih tinggi dibandingkan
13
dengan konsentrasi logam tersebut dalam tanah yang belum kena pencemaran
(background concentration) kecuali logam As. Hal ini mengindikasikan bahwa
kontaminasi logam berat pada tanah pertanian di Yucheng City, Cina disebabkan
oleh aktivitas pertanian dalam jangka waktu yang cukup lama (Jia et al., 2010).
Dalam pertanian yang intensif, berkembangnya pertanian akan dibarengi
dengan penggunaan pupuk (organik dan anorganik) dan pestisida dalam jumlah
besar. Dengan meningkatnya penggunaan pupuk anorganik dan organik juga
dapat menyebabkan meningkatnya logam berat seperti Cd, Pb, Cu, dan Zn dalam
tanah dan tanaman (He et al., 2005). Pemakaian pupuk anorganik dan pestisida
kimia secara berlebihan akan meninggalkan residu bahan kimia seperti logam
berat dalam tanah dan ini memungkinkan dapat menurunkan produktivitas lahan
pertanian pada periode berikutnya. Sebagai contoh, produksi bawang merah dari
daerah pertanian Kabupaten Kendal, yang produksinya sekitar 9 ton/Ha pada
tahun 2000, sedangkan pada tahun 2008 menurun menjadi 4 – 6 ton/Ha (Karyadi,
2008). Ini berarti bahwa pemakaian bahan agrokimia (pupuk anorganik dan
pestisida sintetis) yang berlebihan dapat meningkatkan residu logam berat Pb
sebesar 6,526 mg/kg atau setara dengan 43,072 g/Ha tanah lahan bawang merah.
Diyakini bahwa pupuk anorganik yang diaplikasikan tersebut meninggalkan
residu Pb jauh lebih besar dibandingkan pestisida yaitu sekitar 40 g/Ha, karena
kenyataan di lapangan, pestisida hanya dapat menambah residu Pb sebanyak
2,950 g/Ha (Karyadi, 2008).
Penggunaan pupuk anorganik seperti pupuk P secara berlebih dan terus
menerus memberikan kontribusi logam berat seperti Pb, Cd, Cu, Cr, Ni, dan Zn
14
yang cukup besar pada tanah pertanian (Alloway, 1995; Taylor and Percival,
2001). Menurut Gimeno-Garcia et al. (1996) hal itu disebabkan karena pupuk
superfosfat mengandung zat pengotor yang berupa logam-logam Cd, Cu, Co, dan
Zn. Jia et al. (2010) menemukan bahwa pengaruh penggunaan pupuk dan air
irigasi hanya memberikan sedikit kontribusi logam berat seperti As, Cd, Hg, dan
Pb ke dalam tanah pertanian Yucheng City, Cina. Berkaitan dengan hal tersebut,
Alloway (1990) mendiskripsikan jenis logam berat beserta konsentrasinya yang
terdapat dalam berbagai jenis pupuk termasuk pupuk anorganik dan organik
(Tabel 2.1). Penggunaan pupuk anorganik, pemakaian pestisida sintetis yang
berlebih juga akan menambah jumlah logam berat seperti Cd, Mn, Zn, Co, Pb, As,
Hg dan Ni ke dalam tanah pertanian sebagai bahan pencemar (Gimeno-Garcia et
al. 1996; Curtis and Smith, 2002; Karyadi, 2008).
Logam berat total yang ada dalam tanah pertanian merupakan selisih dari
total masukan (seperti pelapukan bahan induk, kondensasi/pengendapan dari
atmosfer, pupuk organik, agrokimia, limbah organik, dan polutan anorganik
lainnya) dengan total kehilangan (pindah ke tanaman, pengikisan dan penguapan)
(Alloway, 1990). Pernyataan ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
MTotal = (Mp + Ma + Mf + Mac + Mow + Mip) – (Mcr + Ml)
dimana M : logam berat; p: dari bahan induk; a: pengendapan dari atmosfer; f:
pupuk; ac: agrokimia; ow: limbah organik; ip: polutan anorganik lain; cr:
pemindahan ke tanaman; dan l: kehilangan karena terkikis, penguapan, dan lain-
lain.
15
Tabel 2.1
Kandungan Logam Berat Dalam Pupuk Anorganik dan Organik
Unsur Pupuk
Fosfat (ppm)
Pupuk Nitrat
(ppm)
Pupuk
Kandang (ppm)
Kapur
(ppm)
Kompos
(ppm)
As 2–1200 2,2–120 3– 5 0,1–25 2–52
B 5-115 - 0,3–0,6 10 -
Cd 0,1–170 0,05–8,5 0,1–0,8 0,04–0,1 0,01–100
Co 1–12 5,4–12 0,3–24 0,4–3 -
Cr 66–245 3,2–19 1,1–55 10–15 1,8–410
Cu 1–300 - 2–172 2–125 13–3580
Hg 0,01–1,2 0,3–2,9 0,01–0,36 0,05 0,09–21
Mn 40–2000 - 30–969 40–1200 -
Mo 0,1–60 1–7 0,05–3 0,1–15 -
Ni 7–38 7– 4 2,1–30 10–20 0,9–279
Pb 7–225 2–27 1,1–27 20– 250 1,3–2240
Sb < 100 - - - -
Se 0,5 - 2,4 0,08–0,1 -
U 30–300 - - - -
V 2–1600 - - 20 -
Zn 59-1450 1-42 15-566 10-450 82–5894
Sumber : Alloway, 1990
2.2 Logam Berat
Logam berat adalah suatu logam dengan berat molekul tinggi dan
memiliki massa jenis (densitas) lebih besar dari 4 g/cm3 (Moon and Chae, 2007),
sedangkan menurut Angima (2010) logam berat adalah suatu unsur kimia dengan
massa jenis paling sedikit 5 kali massa jenis air. Definisi itu kurang bermakna dan
tidak ada hubungan yang dapat dilihat antara massa jenis dengan berbagai konsep
fisikokimia yang telah digunakan untuk mendefinisikan “logam berat” dan
16
toksisitasnya atau ekotoksisitas yang ditujukan untuk “logam berat” tersebut
(Duffus, 2002). Tidak semua logam berat bersifat racun terhadap manusia, karena
ada logam berat esensial seperti Fe, Cu, Mn, dan Zn yang diperlukan oleh tubuh
dalam jumlah yang sangat kecil. Ada juga logam berat yang sangat berguna dalam
bahan dasar industri seperti Pb, misalnya digunakan dalam batterai mobil. Logam-
logam tersebut menjadi beracun ketika tidak dapat dimetabolisasi oleh tubuh dan
akhirnya terakumulasi dalam jaringan-jaringan tertentu dalam tubuh. Pada hewan
dan manusia, pencernaan merupakan jalur yang umum untuk masuknya logam
berat, namun pada tanaman, penyerapan logam berat bergantung pada spesies
tanaman dan bioavailabilitas logam tersebut dalam tanah (Angima, 2010).
Beberapa logam seperti Co, Cu, Fe, Mn, Mo, dan Zn merupakan mikronutrien
esensial dan berguna pada metabolisme tanaman atau diperlukan untuk fungsi
normal metabolisme sel. Apabila logam tersebut berada dalam bentuk
bioavailable dengan jumlah berlebih, maka mereka berpotensi toksik terhadap
tanaman (Chapman et al., 1996; Radojević and Bashkin, 1999; Reichman, 2002).
Akumulasi dan distribusi logam berat di dalam tanaman bergantung pada spesies
tanaman, konsentrasi logam dalam tanah dan udara, spesies unsur dan
bioavailabilitasnya, pH, Kapasitas Tukar Kation (KTK), kondisi masa kritis, masa
vegetasi, dan multifaktor lainnya (Filipović-Trajković et al., 2012).
Beberapa logam berat adalah pencemar dengan pengaruh yang
membahayakan ekosistem dan kesehatan manusia. Logam berat yang masuk ke
lingkungan tidak dapat membahayakan mahluk hidup dengan sendirinya, tapi
membahayakan jika logam tersebut masuk ke dalam sistem metabolisme mahluk
17
hidup dalam jumlah yang melebihi ambang batas (Notohadiprawiro, 1993;
Radojević and Bashkin, 1999). Ambang batas untuk tiap jenis logam berat dan
untuk tiap jenis mahluk hidup berbeda-beda. Masuknya logam berat ke dalam
sistem metabolisme manusia dan hewan dapat terjadi secara langsung yaitu
bersama dengan air minum, udara yang terhirup, dan kontak dengan kulit dan
secara tidak langsung yaitu bersama dengan bahan yang dikonsumsi
(Notohadiprawiro, 1993).
Logam berat yang sering mencemari tanah terutama tanah pertanian antara
lain As, Cd, Co,Cu, Cr, Fe, Hg, Mo, Mn, Ni, Pb, dan Zn (Manahan, 1994;
Chapman et al., 1996; Radojević and Bashkin, 1999; Reichman, 2002; Cheng,
2003; Marjanović et al., 2009). Logam berat di dalam tanah mungkin terabsorbsi
lewat akar tanaman bersama-sama dengan air tanah dimana logam-logam tersebut
larut dan mungkin menyebabkan kerusakan tanaman atau terbawa lewat rantai
makanan ketika tanaman tersebut dikonsumsi. Tidak seperti pecemaran organik
yang dapat terurai sesuai tingkat reaktivitasnya, logam berat tidak dapat
terdegradasi dan akan tetap tertinggal di dalam tanah secara permanen kecuali jika
mereka terlepas ke permukaan akibat pH tanah menurun (Radojević and Bashkin,
1999). Dari semua logam berat tersebut yang sering mencemari tanah pertanian,
hanya 5 logam yaitu Pb, Cd, Cu, Cr, dan Zn dibahas lebih detail.
2.2.1 Logam Berat Timbal (Pb)
Logam Pb (Plumbum) dan sering disebut logam timbal dengan nomor
atom 82 terletak pada golongan IVA pada daftar periodik unsur. Logam Pb yang
memiliki massa atom relatif (Ar): 207,19 g/mol adalah logam berat, lunak,
18
berwarna abu-abu kebiruan atau keperakan, mempunyai kerapatan (densitas) yang
tinggi yaitu 11,48 g/mL (Svehla, 1979). Penggunaan logam Pb sangat bervariasi
meliputi: peralatan, tempat penyimpanan makanan, pelapis barang pecah belah,
pipa air dan pipa pembuangan, tinta, dan cat. Keberadaan logam Pb di alam
adalah sebagai galena (PbS) dan mengalami pelapukan sehingga menghasilkan
logam Pb kadar tinggi dalam tanah. Konsentrasi rata-rata Pb dalam tanah berkisar
antara 15 dan 25 mg/kg. Selain sumber alami, Pb bersumber dari aktivitas
manusia (anthropogenic activities) seperti: penggunaan Pb sebagai zat aditif
bahan bakar premium, penambangan dan peleburan Pb, percetakan, cat, limbah
lumpur, dan penggunaan agrokimia (pupuk dan pestisida). Begitu juga, Pb yang
terdapat pada uap air di udara yang tersuspensi diendapkan pada permukaan tanah
dan tertahan dalam lapisan atas tanah (2-5 cm) (Davies, 1990; Radojević and
Bashkin, 1999). Marjanović et al. (2009) juga melaporkan bahwa 93,3% sampel
tanah dearah perkotaan di Belgrade, Serbia terkontaminasi logam Pb sangat
tinggi. Tingginya kandungan Pb tersebut disinyalir berasal dari aktivitas
antropogenik, terutama dari lalulintas yang menggunakan bahan bakar bensin.
Senyawa-senyawa Pb sangat persisten, bahkan jika semua emisi tiba-tiba berhenti,
maka polusi Pb akan tertinggal di sekitar kita hingga berabad-abad lamanya.
Manusia terpapar Pb yang berasal dari berbagai sumber, sebagian besar
terjadi melalui pernafasan dan pencernaan. Timbal (Pb) yang terhirup lewat
pernafasan akan masuk ke peredaran darah dan terdistribusi ke seluruh tubuh, dan
kemudian mengumpul pada darah, tulang, dan jaringan-jaringan halus. Sementara
itu, Pb yang masuk melalui pencernaan, 10 hingga 15% terabsorbsi ke dalam
19
tubuh, bahkan terabsorbsi lebih besar pada anak-anak dan wanita hamil. Oleh
karena Pb yang masuk ke dalam tubuh tersebut tidak siap diekskresikan, maka
dapat mempengaruhi ginjal, hati, sistem syaraf, dan organ-organ lain (Radojević
and Bashkin, 1999).
Kelebihan Pb yang terpapar ke dalam tubuh dapat menyebabkan anemia,
gangguan ginjal, gangguan reproduksi, gangguan syaraf seperti keterbelakangan
mental, dan/atau gangguan prilaku. Perubahan dalam proses-proses tubuh juga
terjadi walaupun terpapar Pb pada dosis rendah, terutama anak-anak dan janin
sangat peka, sehingga mereka sering menderita kerusakan sistem syaraf pusat atau
kelambatan pertumbuhan. Keracunan Pb pada tingkat rendah mungkin memiliki
gejala non spesifik seperti sakit kepala, perih lambung, dan cepat marah. Apabila
kadar Pb-darah tinggi pada anak-anak, maka pertumbuhannya mungkin terhambat
dan kecerdasannya berkurang, tapi pada orang dewasa, mungkin menyebabkan
ginjal rusak, tidak subur, dan kanker. Akan tetapi, ketika konsentrasi Pb amat
sangat tinggi (> 100 µg/dL), biasanya menyebabkan kematian (Radojević and
Bashkin, 1999).
2.2.2 Logam Berat Kadmium (Cd)
Kadmium adalah logam berwarna putih perak, liat dan dapat ditempa.
Logam Cd adalah unsur transisi yang terletak pada Golongan IIB dengan nomor
atom 48 dan memiliki massa atom relatif (Ar) 112,4 g/mol. Logam ini mempunyai
densitas 8,64 g/cm3, meleleh pada suhu 320,9
oC dan mendidih pada suhu 767
oC.
Kadmium merupakan logam non esensial baik untuk tanaman, hewan, maupun
manusia. Unsur Cd berada di bawah Zn sehingga Cd memiliki sifat kimia yang
20
mirip dengan Zn yang merupakan unsur esensial bagi hewan dan tumbuh-
tumbuhan. Cd dapat mensubstitusi Zn jika Zn tidak tersedia, sehingga terjadi
malfungsi dalam proses metabolisme. Logam ini merupakan unsur toksik bagi
manusia yang dapat mempengaruhi ginjal dan tulang dan merupakan karsinogen
bagi pernafasan. Unsur ini sangat biopersisten, tetapi mempunyai sedikit sifat
toksik, begitu terserap oleh organisme, akan tertinggal dan diam di dalam tubuh
hingga bertahun-tahun. Akumulasi Cd sebagian besar dalam ginjal dan hati hewan
vertebrata dan dalam hewan akuatik invertebrata, serta dalam alga. (Svehla, 1979;
Chang, 1991; UNEP, 2010; Wuana and Okieimen, 2011).
Kadmium banyak digunakan dalam campuran logam (alloys),
elektroplating sebagai pelindung logam dari karat, dan sebagai zat warna dan
penstabil pada polyvinil chloride (PVC). Logam kadmium juga banyak digunakan
dalam pabrik cat, plastik, dan batterai. Logam ini juga sebagai pengotor dalam
pupuk fosfat, detergen, dan pruduk minyak bumi. Kadmium sering terkandung di
dalam limbah lumpur yang berasal dari pengelolaan limbah cair, sehingga lumpur
tersebut tidak dapat digunakan sebagai pupuk untuk pertanian karena Cd dapat
terakumulasi dalam tanaman. Kandungan Cd yang tinggi dalam jaringan tanaman
dapat membahayakan binatang dan manusia yang mengkonsumsi tanaman
tersebut sebagai makanan. Masuknya kadmium ke dalam tubuh hewan dan
manusia biasanya terjadi melalui pencernaan dan pernafasan. Kadmium
berpotensi menyebabkan kanker paru-paru, prostat, ginjal dan bahkan
menyebabkan kematian. Sebagai contoh, 100 orang jepang meninggal karena
keracunan Cd pada tahun 1950an akibat mengkonsumsi beras yang dihasilkan dari
21
tanah yang tercemar. Penyakit yang diderita ini akhirnya dikenal sebagai penyakit
“itai itai”. Oleh sebab itu, WHO menyarankan agar kadmium yang masuk (intake)
setiap hari tidak boleh lebih dari 1 µg per kg berat badan (Merian, 1991; Chang,
1991; Radojević and Bashkin, 1999; Wuana and Okieimen, 2011). Kadmium
dapat menyebabkan iritasi paru-paru, tekanan darah tinggi, kerusakan ginjal, dan
kemandulan pada laki-laki. Cd yang terpapar jangka lama dapat menyebabkan
tulang menjadi rapuh. (Radojević and Bashkin, 1999).
Kadmium bersifat persisten dalam lingkungan dan tidak dapat dihancurkan
untuk menurunkan sifat toksisitasnya (UNEP, 2010). Peningkatan Cd total dalam
tanah disebabkan karena input aplikasi pertanian seperti pupuk, pestisida, dan
biosolids (limbah lumpur), pembuangan limbah industri atau pengendapan
kontaminan yang berasal dari atmosfer. Derajat bioavailabilitas dan potensi
pengaruhnya bergantung pada spesies Cd tersebut di lingkungan (UNEP, 2010;
Wuana and Okieimen 2011). Dengan demikian, spesiasi Cd dapat digunakan
untuk menentukan bioavailabilitasnya, sehingga akumulasinya di dalam tanaman
seperti sayur dapat diprediksi.
2.2.3 Logam Berat Tembaga (Cu)
Tembaga adalah logam transisi yang berwarna merah terang, lunak, dan
mudah dibentuk, serta merupakan penghantar listrik yang baik. Unsur Cu ini
terletak pada periode 4 dan Golongan IB di dalam daftar periodik unsur, dengan
nomor atom 29 dan massa atom relatifnya 63,5 g/mol. Densitas logam Cu adalah
8,96 g/cm3, meleleh pada 1083
oC dan mendidih pada suhu 2595
oC (Svehla,
1979; Baker, 1990; Chang, 1991; Wuana and Okieimen, 2011).
22
Tembaga merupakan mikronutrien esensial yang diperlukan dalam
pertumbuhan baik hewan maupun tanaman. Cu yang ada dalam tubuh manusia
berperan dalam membantu proses produksi haemoglobin (Hb) darah, sedangkan
pada tumbuh-tumbuhan, Cu berperan penting dalam produksi biji, memberi
perlawanan terhadap penyakit, dan pengaturan air. Walaupun Cu esensial bagi
manusia, namun dalam konsentrasi tinggi justru dapat menyebabkan anemia,
kerusakan hati dan ginjal, dan iritasi lambung dan usus (Radojević and Bashkin,
1999; Wuana and Okieimen, 2011).
Logam Cu digunakan secara besar-besaran dalam industri kawat dan
campuran logam (alloys) seperti kuningan dan prunggu. Pipa air terbuat dari
logam yang mengandung Cu dan fungsi Cu tersebut adalah sebagai aditif untuk
mengontrol pertumbuhan alga. Hal ini menyebabkan air minum sering
terkontaminasi oleh Cu (Baker, 1990; Wuana and Okieimen, 2011).
Tembaga yang masuk ke dalam lingkungan akan berinteraksi secara cepat
membentuk senyawa yang stabil sehingga tidak berbahaya bagi lingkungan.
Senyawa stabil yang dibentuk oleh Cu dengan lingkungan dapat berupa sulfida,
sulfat, garam-garam sulfo, karbonat dan senyawa-senyawa lain, dan juga terjadi
dalam bentuk terreduksi yaitu dalam bentuk logamnya. Cu yang ada dalam tanah
membentuk kompleks kuat dengan organik sehingga fraksi ion Cu(II) dalam
larutan tanah sangat sedikit, tetapi kelarutan Cu meningkat drastis jika pH turun
dari 6,0 – 6,5 menjadi pH 5,5 (Baker, 1990; Wuana and Okieimen, 2011).
Bioavailabilitas Cu terhadap tanaman bergantung pada kesiapan ion
[Cu(H2O)6]2+
yang tersedia diabsorbsi oleh tanaman dalam tanah asam dan
23
Cu H2O 20 dalam tanah netral dan basa. Dengan demikian, availabilitas Cu
berhubungan dengan potensi kimia (sesuai dengan pH) spesies masing-masing di
dalam larutan tanah. Oleh sebab itu, tanah yang terkontaminasi logam berat ini
mungkin mempunyai ancaman secara langsung dan tak langsung. Ancaman
langsung yaitu memberi pengaruh negatif terhadap pertumbuhan tanaman dan
hasil panen dan ancaman tak langsung yaitu masuknya logam berat tersebut ke
dalam rantai makanan sehingga memberi pengaruh negatif terhadap kesehatan
manusia (Baker, 1990; Wuana and Okieimen, 2011).
2.2.4 Logam Berat Kromium (Cr)
Kromium adalah logam rapuh yang berwarna abu-abu dan dapat dibuat
mengkilaf, tidak begitu lunak dan tidak dapat ditempa maupun dibengkokkan.
Kromium merupakanm logam transisi yang terletak pada Golongan VIB, dengan
nomor atom 24, massa atom relatifnya 51,996 g/mol, dan densitasnya 7,19 g/cm3.
Logam ini meleleh pada suhu 1775 oC dan mendidih pada suhu 2665
oC. Ini
adalah logam yang kurang lazim dan di alam tidak berada dalam bentuk unsur,
tetapi dalam bentuk senyawa. Unsur ini tahan terhadap oksidasi, maka digunakan
dalam alloys, sehingga tahan terhadap korosi. Keberadaan Cr dalam campuran
logam dapat memperkuat logam tersebut. Kromium adalah hasil tambang,
utamanya sebagai bijih dalam bentuk mineral kromit (FeCr2O4) (Svehla, 1979;
McGrath and Smith, 1990; Chang, 1991; Wuana and Okieimen, 2011).
Kromium (Cr) di lingkungan dapat berasal dari: pabrik logam non besi,
pabrik baja, bahan kimia organik dan petrokimia, produksi kertas dan bubur kayu,
pemurnian minyak bumi, pembangkit listrik, pabrik kain, penyamakan kulit,
24
elektroplating, kendaraan bermotor, semen, pupuk, produk asbes, cat, pewarna,
fungisida, anti karat atau penguat baja, katalis, dan lain sebagainya. Kandungan
Cr di dalam tanah berkisar antara <1 hingga 1000 mg/kg dan bahkan di beberapa
lokasi dilaporkan telah mencapai 10.000 mg/kg (Radodjevic, 1999).
Kromium bersifat toksik terhadap hewan dan manusia, tetapi kurang
toksik terhadap tumbuhan. Jalur utama terpaparnya Cr pada manusia adalah lewat
pernafasan dan pencernaan. Asap kromium oksida dan debu serta garam-garam
heksavalen yang terhirup melalui pernafasan dapat memicu penyakit paru-paru
seperti bronkhitis dan pembengkakan paru-paru. Kromium (VI) heksavalen
dicurigai sebagai karsinogen terhadap manusia. Kromium juga dapat
menyebabkan alergi kulit pada manusia (Radojević and Bashkin, 1999; Wuana
and Okieimen, 2011).
Dalam lingkungan, Cr memiliki bilangan oksidasi +3 dan +6. Spesies
Cr(VI) paling umum dijumpai dalam daerah yang terkontaminasi, sedangkan
Cr(III) adalah hasil reduksi dari Cr(VI) oleh zat organik tanah, ion-ion S2-
dan
Fe2+
dalam keadaan anaerobik. Kromium (VI) adalah bentuk yang lebih toksik
dan mobilitasnya lebih tinggi daripada Cr(III), tetapi mobilitas Cr(III) berkurang
oleh adsorpsinya pada liat dan mineral oksida pada pH <5 dan solubilitasnya
rendah pada pH >5 karena terbentuk endapan Cr(OH)3. Kromium (III) merupakan
bentuk yang paling dominan dari Cr pada pH rendah (<4), dan Cr3+
ini
membentuk larutan kompleks dengan OH-, Cl
-, F
-, CN
-, SO4
2-, dan ligan organik
terlarut. Sebagian besar spesies Cr(VI) yaitu kromat (CrO42-
) dan dikromat
(Cr2O72-
) mudah mengendap dengan adanya kation-kation seperti Pb2+
, Ba2+
, dan
25
Ag+. Kedua spesies ini mengadsorpsi oksida-oksida Fe dan Al pada permukaan
tanah. Dengan demikian, mobilitas Cr bergantung pada karakteristik serapan
tanah yang meliputi kandungan liatnya, Fe oksidanya, dan jumlah zat organik
yang ada dalam tanah tersebut. Konsentrasi Cr dalam bentuk tersedia untuk
tanaman sangat kecil dalam sebagian besar tanah, sehingga dengan kurangnya
kelarutan Cr tersebut, kadar Cr di dalam tanaman menjadi rendah. Konsentrasi
unsur dalam bagian-bagian tanaman menunjukkan sedikit korelasi dengan
kandungan total Cr dalam tanah (McGrath and Smith, 1990; Wuana and
Okieimen, 2011).
2.2.5 Logam Berat Seng (Zn)
Seng yang merupakan logam berwarna putih kebiruan adalah logam lentur
dan dapat ditempa pada suhu 110-150 oC. Logam ini merupakan logam transisi
yang terletak pada periode 4 dan Golongan IIB, dengan nomor atom 30 dan massa
atom realifnya (Ar) adalah 65,4 g/mol. Zn meleleh pada suhu 419,5 oC dan
mendidih pada 906 oC, serta Zn memiliki massa jenis 7,14 g/cm
3 (Svehla, 1979;
Chang, 1991; Wuana and Okieimen, 2011). Seng termasuk unsur mikro esensial
untuk tanaman, hewan, dan manusia. Unsur ini berasosiasi dengan berbagai enzim
dan protein-protein tertentu dan jika kekurangan seng dapat menyebabkan cacat
lahir, sehingga banyak bahan mankanan dan air minum mengandung Zn sejumlah
konsentrasi tertentu. Jika air minum ditampung dalam tangki logam, maka air
tersebut kemungkinan mengandung Zn lebih tinggi. Air yang berasal dari lokasi
sumber industri atau limbah toksik mungkin menyebabkan konsentrasi Zn
meningkat hingga mencapai tingkat yang dapat membayakan kesehatan. Zn
26
dalam perairan mungkin dapat meningkatkan keasaman air. Jika ikan yang hidup
di perairan yang tercemar Zn, maka Zn dapat terakumulasi dalam tubuh ikan
tersebut, yang selanjutnya dapat sebagai biomagnifikasi rantai makanan
(Radojević and Bashkin, 1999; Wuana and Okieimen, 2011).
Seng relatif lebih melimpah dalam kerak bumi dibandingkan dengan
beberapa logam lain, tetapi tidak banyak mineral yang mengandung seng.
Masuknya seng ke dalam lingkungan paling banyak berasal dari aktivitas manusia
antara lain: Proses percetakan, bahan-bahan konstruksi, logam (besi, baja dan
kuningan yang dilapisi dengan seng), pupuk, batterai, limbah lumpur, kotoran
hewan sebagai pupuk kandang, pestisida yang mengandung Zn (seperti Zineb,
Mancozeb, dan Ziram), dan pembakaran batubara. Konsentrasi Zn dalam tanah
berkisar antara 1 - 2000 mg/kg, tetapi di beberapa lokasi telah dilaporkan bahwa
konsentrasi Zn mencapai 10.000 mg/kg. Walaupun Zn di dalam tanah lebih tinggi
dari logam Cu, Mo, dan mikronutrien lainnya, namun kebutuhan tanaman juga
lebih besar. Zn dapat menghambat penyerapan Cu, sehingga tidak diharapkan
konsentrasi Zn tinggi karena dapat menyebabkan defisiensi Cu. Asupan Zn tiap
hari yang diijinkan seperti yang direkomendasikan dalam beberapa negara oleh
International Commission on Radilogical Protection (ICRP) adalah sebagai
berikut: USA (remaja dan anak-anak di atas 1 tahun) 10 mg/h; UK sebesar 14,3
mg/h; Jepang: 14,4 mg/h; India: 16,1 mg/h; Itali: 4,7-11,3 mg/h; dan ICRP
sebesar 13,0 mg/h (Radojević and Bashkin, 1999).
Bioavailabilitas Zn sangat dipengaruhi oleh pH tanah, sehingga semakin
turun pH tanah, kelarutan Zn semakin meningkat dalam larutan tanah. Dengan
27
meningkatnya kelarutan Zn, maka keberadaan ion logam bebas di dalam larutan
tanah menjadi semakin besar, akibatnya bioavailabilitas Zn semakin besar
(Reichman, 2002).
2.3 Bioavailabilitas dan Spesiasi Logam Berat
Bioavailabilitas logam berat adalah bagian dari logam berat total yang
tersedia (available) untuk biota. Jika hal ini melibatkan komponen lingkungan
seperti tanah dan sedimen, maka definisi ini secara implisit merupakan banyaknya
zat yang dapat mendesorbsi, melarut, atau memisah dari media lingkungan
sehingga menjadi tersedia (available) untuk diabsorpsi oleh biota (Benhard and
Neff, 2001). Jika mengacu pada prosesnya, bioavailabilitas merupakan interaksi
fisik, kimia, dan biologis yang menentukan paparan organisme terhadap zat kimia
yang terdapat dalam tanah dan sedimen (National Research Council, 2003).
Fraksi bioavailabilitas suatu logam adalah persentase logam total yang
tersedia untuk biota dalam media lingkungan (seperti: air, tanah, sedimen, atau
pangan). Bioavailabilitas dapat dipengaruhi oleh cara hidup organisme yang ada
dalam lingkungan tersebut, seperti organisme yang mencerna sedimen atau tanah.
Cara mencerna ini mungkin meningkatkan bioavailabilitas zat melalui proses
pencernaan seperti sekresi asam-asam saluran pencernaan (Chapman et al., 1996).
Bioavailabilitas juga berbeda antar spesies dari organisme karena jalur paparan
dan mekanisme pertahanannya bisa bervariasi. Bioavailabilitas kontaminan dalam
tanah dapat diubah oleh tumbuhan dan organisme yang ada pada tanah tersebut,
seperti akar tanaman dalam keadaan kekurangan nutrien dapat mengeksresikan
28
asam organik dan proton untuk memobilisasi nutrien dari fase padat tanah (Gaw,
2009).
Suatu bahan pencemar (polutan) dapat dianggap sebagai bioavailable jika
memenuhi tiga criteria, yaitu (a) suatu organisme berada pada matriks (tanah)
yang mengandung bahan pencemar, (b) sebagian dari bahan pencemar tersebut
tersedia untuk diserap/diasup (uptake), dan (c) organisme tersebut mampu
menyerap bahan pencemar tersebut (Juhaz, 2003 in Gaw, 2009).
Fraksi logam yang dapat diserap oleh tumbuh-tumbuhan disebut sebagai
fraksi available (tersedia) atau bioavailable (dapat tersedia untuk biota). Menurut
beberapa peneliti yang dirangkum oleh Reichman (2002), logam yang ada dalam
tanah dapat dibedakan menjadi beberapa fraksi, yaitu (1) fraksi logam terlarut
dalam larutan tanah, (2) fraksi logam dalam betuk endapan, (3) fraksi logam yang
teradsorpsi pada tanah liat, (4) fraksi logam hidroksida/oksida dan organik, dan
(5) fraksi logam terikat dalam matriks mineral tanah. Logam yang terlarut dalam
larutan tanah adalah fraksi logam yang langsung dapat tersedia (available) untuk
tanaman, sedangkan logam dalam spesies-spesies lain adalah fraksi yang kurang
available dan non available. Konsentrasi dan spesiasi logam dalam larutan tanah
merupakan faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas logam tersebut terhadap
tanaman.
Faktor-faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas logam berat dalam tanah
yang paling penting adalah konsentrasi logam total, pH, adanya zat organik,
keadaan redoks, dan adanya tanah liat dan hidrooksida (Reichman, 2002). Faktor-
29
faktor tersebut seperti yang dirangkum dari beberapa artikel dan dideskripsikan
oleh Reichman (2002) adalah sebagai berikut:
a. Konsentrasi logam total yang terdapat dalam tanah adalah semua fraksi
logam, yaitu mulai dari fraksi yang langsung/sertamerta available hingga
fraksi yang paling non available (resisten). Proporsi logam total yang terdapat
di dalam larutan tanah ditentukan oleh faktor-faktor tanah lainnya, seperti pH,
zat organik, tanah liat dan keadaan redoksnya. Faktor-faktor tersebut
mempunyai peran yang sangat penting dalam menentukan seberapa banyak
dari logam total yang ada dalam tanah dapat tersedia untuk tanaman
(Reichman, 2002).
b. Kesetimbangan antara spesiasi logam, kelarutan, adsorpsi, dan pertukaran
pada fase padat sangat erat kaitannya dengan pH larutan. Pengaruh pH
terhadap bioavailabilitas logam sangat besar terutama terhadap Mn dan Zn,
tetapi sangat kecil terhadap Cu. Semakin kecil pH larutan tanah, semakin
meningkat konsentrasi fraksi Mn dan Zn yang bioavailable, sehingga
penyerapan tanaman terhadap Mn dan Zn semakin meningkat. Cu justru
mempunyai afinitas yang kuat terhadap zat organik, sehingga zat organik
yang larut dalam larutan tanah dapat menjadi faktor penentu yang lebih
penting daripada pH (Reichman, 2002).
c. Zat organik dapat mengkompleks ion-ion logam, sehingga mengubah
availabilitas logam tersebut terhadap tanaman. Hal ini terjadi karena gugus
COO- dalam zat organik baik padat maupun terlarut membentuk kompleks
stabil dengan logam. Semakin meningkat jumlah zat organik yang ada dalam
30
tanah, semakin meningkat kesempatan terbentuknya kompleks logam-organik
yang stabil, sehingga bioavailabilitas logam menurun, karena tanaman tidak
mampu mengabsorbsi kompeks-logam besar tersebut (Reichman, 2002).
d. Tanah liat dan hidrooksida (seperti oksida Al, Fe, dan Mn) memegang peran
penting dalam availabilitas logam. Tanah liat dan hidrooksida menentukan
availabilitas logam melalui adsorpsi spesifik pada permukaan gugus
hidroksil, adsorpsi non spesifik (exchange), pengendapan bersama
(coprecipitation), dan pengendapan sebagai oksida logam atau hidroksida
logam secara tersendiri. Semakin meningkat kandungan tanah liat dan
hidrooksidanya di dalam tanah, semakin banyak tempat atau area yang
tersedia untuk adsorpsi logam. Hal ini mengakibatkan jumlah logam yang
langsung bioavailable semakin berkurang (Reichman, 2002).
e. Keadaan oksidasi/reduksi (redoks) suatu tanah juga dapat memegang peran
dalam availabilitas logam. Keadaan redoks dapat mempengaruhi availabilitas
logam dengan mempengaruhi proporsi spesies logam tertentu (seperti Mn2+
vs Mn6+
) dalam larutan tanah dan mempengaruhi kelarutan logam dalam
larutan tanah (Reichman, 2002).
2.3.1 Bioavailabilitas Logam Berat Dalam Tanah
Bioavailabilitas logam dalam tanah bergantung pada spesies logam yang
terdapat dalam fase padat dan fase cair (larutan tanah), serta partisi logam tersebut
di antara kedua fase. Logam-logam berinteraksi dengan fase padat tanah melalui
berbagai mekanisme termasuk pertukaran ion, adsorpsi dan kompleksasi non
spesifik, serta pembentukan endapan dan kompleks organologam. Komposisi
31
tanah mempengaruhi serapan dan bioavailabilitas logam, sehingga tanah bersifat
sebagai penukar kation, zat organik tanah, oksida aluminium dan besi, tanah liat,
uap air, asam atau keasaman (pH). Sifat-sifat tersebut dapat menentukan muatan
permukaan tanah dan jumlah serta jenis/tipe letak available untuk serapan logam,
sehingga mempengaruhi partisi logam antara fase padat dan fase cair (Gaw,
2009).
Masuknya logam-logam dari tanah, sedimen, dan air ke tumbuhan dan
hewan melalui proses uptake adalah peristiwa yang bersifat kompleks. Tumbuhan
dan hewan menyerap logam yang tersedia dari tanah, sedimen, dan air melalui (a)
kontak dengan permukaan eksternal, (b) proses pencernaan tanah, sedimen, atau
air yang terkontaminasi, (3) serapan/hisapan uap logam yang ada di udara. Hewan
dapat juga memperoleh logam yang tersedia tersebut melalui makanannya. Proses
masuknya logam ke dalam tumbuhan dan hewan melibatkan mekanisme yang
berbeda, sehingga pengukuran bioavailabilitasnya juga berbeda (Bernhard and
Neff, 2001). Hal ini sangat bergantung pada keberadaan logam dalam lingkungan,
dimana karakteristik kimia dan fisika logam tersebut sangat mempengaruhi
bentuknya dalam tanah. Oleh sebab itu, maka logam total yang terdapat dalam
tanah atau sedimen tidak dapat digunakan untuk menentukan fraksi ketersediaan
hayati (biologically available) untuk organisme di perairan atau di tanah
(Bernhard and Neff, 2001). Pengukuran biovailabilitas merupakan cara yang tepat
dalam memperkirakan jumlah logam yang mungkin terserap oleh organisme
termasuk tanaman seperti tanaman sayuran.
32
Ekstraksi kimia secara luas telah digunakan untuk mengganti bioassay (uji
biologis) dalam penentuan fraksi logam bioavailable dalam tanah. Ekstraksi ini
merupakan ekstraksi tunggal yaitu ekstraksi dengan EDTA atau HCl encer
(Florence and Batley, 1980; Förstner and Salomons, 1991; Ng and Moore, 1996;
Takáč et al., 2009). Beberapa keuntungan uji ekstraksi tunggal dibandingkan
dengan bioassay untuk menentukan bioavailabilitas antara lain: lebih sederhana,
keterulangannya lebih bagus, lebih murah, dan lebih cepat (Gaw, 2009).
Walaupun demikian, ekstraksi tunggal boleh tidak dilakukan jika ekstraksi
bertahap (sequential extraction) diaplikasikan dalam suatu sampel untuk
mengetahui tingkat bioavailabilitas logam dalam tanah. Hal ini disebabkan karena
bioavailabilitas logam berat dapat ditentukan dari jumlah logam yang terekstraksi
pada fraksi-fraksi F1 dan F2 dari ekstraksi bertahap. F1 merupakan fraksi EFLE
(easily, freely, leachable, and exchangeable), yaitu logam yang mungkin
teradsorpsi pada permukaan partikel, mudah terlepas dan masuk ke larutan
sehingga siap menjadi bioavilable. F2 adalah fraksi yang peka terhadap perubahan
pH dan kondisi redoks. Ini berarti, logam-logam yang terdapat pada F2 mudah
terlarut dalam keadaan perairan yang asam dan mungkin larutnya berlanjut
walaupun keadaan sedikit asam atau netral (Fang et al., 2009; Jena et al., 2013).
Beberapa peneliti lain juga menyarankan hal yang sama, bahwa bioavailabilitas
dapat ditentukan dengan tanpa melakukan ekstraksi tunggal, tapi dengan
menggunakan data dari fraksi non resisten (F1 dan F2 adalah bioavailable, F3 dan
F4 adalah fraksi yang berpotensi bioavailable) (Gasparatos et al., 2005; Aydinalp,
33
2009; Shivakumar et al., 2012; Jena et al., 2013). Ekstraksi bertahap dibahas pada
Sub-Bab. 2.3.2.
2.3.2 Spesiasi Logam Berat Dalam Tanah
Tanah merupakan tempat tertampungnya kontaminan yang memiliki
kemampuan untuk mengikat berbagai zat kimia, sehingga zat kimia tersebut bisa
berada dalam berbagai spesies dalam tanah dan dengan berbagai gaya yang
menyebabkan zat tersebut tetap terikat pada partikel tanah. Hal ini berkaitan
dengan toksisitas zat kimia tersebut dalam lingkungan. Toksisitas sangat
bergantung pada bentuk kimia zat tersebut dalam lingkungan. Variabilitas tanah
dan sifat-sifat beberapa lingkungan mungkin berubah dalam tanah dan
menyebabkan pelarutan unsur toksik seperti logam berat yang terikat kuat pada
partikel tanah (Shivakumar et al., 2012).
Logam-logam yang berasosiasi dengan partikel tanah memiliki perbedaan
spesiasi atau fraksi yang menunjukkan perbedaan bioavailabilitas dan potensial
risiko terhadap manusia. Dengan demikian, fraksi labil dari logam yang terikat
pada partikel diyakini lebih mudah tersedia bagi reseptor lingkungan dan
selanjutnya memiliki risiko lingkungan lebih besar dibandingkan dengan fraksi
resisten (Feng et al., 2009). Kuantifikasi perbandingan fraksi labil dengan fraksi
resiten logam yang terikat pada tanah belum distandarisasi dalam literatur,
sehingga fraksinasi spesies kimia hasil ekstraksi bertahap adalah metode yang
sangat bagus untuk menentukan aktivitas logam sesungguhnya dalam lingkungan
(Feng et al., 2009). Oleh sebab itu, maka prosedur ekstraksi bertahap (sequential
extraction) yang telah banyak diaplikasikan untuk mengetahui fraksi logam-logam
34
yang berasosiasi dengan lingkungan padat seperti tanah dan sedimen adalah
metode yang tepat untuk menentukan spesies logam berat baik yang bersifat labil
maupun resisten dalam tanah (Feng et al., 2009).
Metode ekstraksi bertahap (sequential extraction method) adalah metode
umum dan secara luas telah diaplikasikan untuk menetukan spesies logam dalam
lingkungan seperti sedimen, tanah, dan bahan padat biologis (biosolids). Dalam
teknik ekstraksi multi tahap ini, digunakan zat kimia pengekstrak yang berbagai
jenis bergantung pada jenis spesies logam yang diharapkan terekstraksi pada
setiap tahap. Banyak sekali peneliti yang telah mengaplikasikan teknik ini dalam
berbagai jenis sampel lingkungan seperti debu jalan raya dan tanah pinggir jalan,
bahan padat biologis (biosolids), lumpur yang telah diabukan, sedimen, dan tanah
(Shivakumar et al., 2012). Teknik ekstraksi bertahap ini pertama kali
diperkenalkan oleh Tessier et al. (1979) yang terdiri dari 5 tahap ekstraksi. Dalam
ekstraksi bertahap ini diharapkan bahwa sifat kimia logam tertentu dikaitkan
dengan ke lima (5) fraksi sesuai dengan tingkat kelarutannya. Masing-masing
fraksi dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Fraksi 1 disebut sebagai fraksi exchangeable (dapat dipertukarkan) yaitu
fraksi yang akan terpengaruh oleh perubahan dalam hal komposisi ion-ion air
dan proses-proses desorpsi-adsorpsi;
2. Fraksi 2 adalah fraksi karbonat yaitu fraksi yang peka terhadap perubahan
pH;
3. Fraksi 3 merupakan fraksi yang dapat tereduksi (reducible), yaitu fraksi yang
terikat pada oksida besi dan mangan. Keberadaan oksida besi dan mangan
35
tersebut dikenal sebagai gumpalan-gumpalan, padatan, perekat antara
partikel, atau sebagai pelapis sederhana pada partikel-partikel. Oksida ini
penangkap logam yang sangat hebat dan secara thermodinamika tidak stabil
pada kondisi anoksik;
4. Fraksi 4 adalah fraksi organik yaitu fraksi yang dapat didegradasi yang
menyebabkan pelepasan logam-logam terlarut pada keadaan teroksidasi;
5. Fraksi 5 adalah fraksi residu yaitu fraksi yang mengandung mineral-mineral
primer dan sekunder yang kemungkinan mengikat logam-logam di dalam
struktur kristalnya. Logam tersebut tidak diharapkan lepas dalam larutan
selama waktu yang layak di bawah kondisi normal secara alami.
Dari ke lima fraksi tersebut, maka F1-F4 adalah fraksi non resisten, sedangkan F5
adalah fraksi resisten. Fraksi 1 (F1) kemungkinan teradsorpsi pada permukaan
partikel sangat mudah lepas ke larutan dan bersifat bioavailable dan fraksi 2 (F2)
terikat dengan karbonat yang peka terhadap perubahan pH dan sangat mudah
larut dalam suasana asam dan pelarutan berlanjut walaupun keadaan sedikit asam
atau pH netral, sehingga logam pada fraksi tersebut bioavailable. Logam-logam
dalam fraksi 3 (F3) yang terikat pada Fe/Mn oksida adalah fraksi yang peka
terhadap perubahan kondisi redoks, sementara logam pada fraksi 4 (F4) biasanya
dijumpai terikat pada zat organik seperti senyawa humat yang tak larut dalam air
dan mineral yang dapat teroksidasi. Apabila nilai potensial oksidasi-reduksi (Eh)
meningkat, maka matriks organik dan anorganik yang mengikat logam-logam bisa
terdegradasi, sehingga terlepasnya logam-logam tersebut dan terlarut. Dengan
demikian, fraksi ini berpotensi bioavailable. Fraksi 5 (F5) yaitu fraksi residu yang
36
mengandung logam-logam yang sebagian besar berbentuk silikat, semen, oksida
terpasifkan dan yang dapat terekstraksi di bawah keadaan asam kuat. Oleh sebab
itu, logam pada fraksi 5 merupakan non bioavailable (Tessier et al., 1979;
Gasparatos et al., 2005; Aydinalp, 2009; Feng et al., 2009; Shivakumar et al.,
2012; Jena et al., 2013). Sesuai dengan metode ekstraksi tersebut, aktivitas kimia
dan availabilitas dari logam yang terikat pada bahan partikulat akan semakin kecil
dengan urutan sebagai berikut: F1 > F2 > F3 > F4 > F5. Dengan memperhatikan
bahwa F1 dan F2 adalah labil dan bioavailable, maka indeks bioavailabilitasnya
(IB) dapat dihitung dengan persamaan:
𝐼𝐵 =𝐹1+𝐹2
𝑖=15 𝐹𝑖
(Feng et al., 2009)
Dimana, IB adalah Indeks Bioavailabilitas; F1 dan F2 adalah fraksi 1 dan 2; dan
Fi adalah fraksi ke i dari 5 fraksi.
Para peneliti lain memodifikasi ektraksi bertahap ini dengan menggabung fraksi 1
dan 2 menjadi fraksi 1 (F1) yang bioavailable sehingga ekstraksi bertahap
tersebut terdiri dari 4 fraksi yaitu: F1 adalah fraksi bioavailable atau disebut juga
fraksi EFLE (easily, freely, leachable, exchangeable) yaitu fraksi mudah larut
dalam air dan asam lemah, F2 adalah fraksi reducible (berpotensi bioavailable),
F3 adalah fraksi oxidizable (berpotensi bioavailable), dan F4 adalah fraksi silikat
yang bersifat non bioavailable (resiten) (Thomas et al., 1994; Davidson et al.,
1994; Davidson et al., 1998; Espinosa et al., 2002; Aydinalp, 2009).
37
2.4 Sayuran
Sayur-sayuran merupakan sumber serat alami yang mengandung mineral
dan vitamin, sehingga cukup penting dalam melengkapi kebutuhan gizi dan diet
masyarakat. Sayuran dapat menjadi tempat terakumulasinya logam-logam berat
seperti Fe, Mn, Cu, dan Zn terutama pada sayuran yang diirigasi dengan air
limbah. Arora et al. (2008) melaporkan bahwa sayuran seperti sayur herbs dan
bayam mengakumulasi Fe dan Mn tertinggi, tetapi Cu dan Zn tertinggi
terakumulasi pada sayuran wortel. Sayuran lain seperti selada, lobak, tomat dan
buncis yang ditanam pada tanah limbah tambang mengakumulasi logam berat Pb,
Cd, As, dan Zn cukup tinggi (Cobb, 2000). Akumulasi logam Pb, Cu, dan Cd
pada sayur-sayuran dapat diakibatkan oleh penggunaan pestisida, herbisida, dan
fungisida secara berlebihan. Demikian juga, sayuran yang ditanam di tepi jalan
raya terakumulasi cemaran Pb lebih tinggi dibandingkan dengan sayuran yang
jauh dari jalan raya (Astawan, 2008). Hal ini menunjukkan bahwa cemaran
kendaraan bermotor dapat memberikan kontribusi Pb cukup besar baik ke dalam
tanah maupun tanaman yang ada di pinggir jalan raya.
Tanaman secara alami mengandung logam berat yang sangat kecil, dan
ragam konsentrasinya tergantung pada bagian tanamannya dan faktor
lingkungannya. Bagian tanaman yang mengakumulasi logam berat Pb dan Cd
terbesar adalah bagian akar, sementara bagian tanaman yang berada di atas tanah
memiliki kemampuan mengakumulasi logam Pb tertinggi adalah bagian daun,
diikuti oleh buah, begitu juga sayur-sayuran yang tumbuh di daerah Kosovska,
Serbia (Filipović-Trajković et al., 2012). Menurut Voutsa et al. (1996) dan
38
Okoronkwo et al. (2005), konsentrasi logam berat seperti Pb, Zn, Cr, dan Mn
sangat tinggi terdapat pada tanaman sayuran khususnya sayuran daun yang
tumbuh di daerah tercemar atau terkontaminasi logam berat di Thessaloniki,
Yunani. Tanaman sayuran yang ditanam pada tanah yang terkontaminasi seperti
tanah di daerah dekat peleburan logam dan tanah pertanian yang dialiri air limbah
sebagai irigasi, cendrung mengandung logam berat sangat tinggi karena adanya
emisi logam-logam ke tanah pertanian tersebut (Kachenko and Singh, 2004; Cui
et al., 2004; Behbahaninia and Mirbagheri, 2008).
Sayuran yang dihasilkan dari sentra produksi sayuran Candikuning,
Bedugul mungkin juga mengakumulasi sejumlah logam berat karena para petani
cendrung mengaplikasikan agrokimia pada setiap proses produksi sayuran.
Perkiraan ini didukung oleh keterangan ketua kelompok tani Candikuning, bahwa
pupuk anorganik (seperti KCl, SP-36, Urea, dan lain-lain) dan pestisida sintetis
antara lain acrobat, antracol, daconil, curacron, dan sherpa selalu diaplikasikan
selama proses produksi.
Berkenaan dengan hal tersebut, laporan tentang logam berat dalam sayur-
sayuran pasca panen dari wilayah Candikuning, Bedugul telah dipublikasikan
sebagai studi awal. Hasil penelitian tersebut cukup memberikan informasi, bahwa
10 sampel berbagai jenis sayuran mengandung logam Pb, Cu, Cr, dan Zn cukup
tinggi seperti yang disajikan dalam Tabel 2.2. Logam berat yang terkandung
dalam edible part semua sayuran yang dianalisis tersebut mengandung Pb dan Cr
melebihi batas maksimum yang diperbolehkan, kecuali kentang dan seledri tidak
terdeteksi adanya Cr. Kandungan Cu dan Zn dalam semua sayuran lebih rendah
39
dari batas maksimum, kecuali kol dan sawi yang mengandung Cu melebihi batas
maksimum. Batas maksimun logam berat Pb, Cd, Cu, Cr, dan Zn dalam sayuran
menurut FAO/WHO berturut-turut: 0,3; 0,1; 40; 0,05; dan 100 mg/kg (Codex,
2001). Dari hasil studi awal tersebut disimpulkan bahwa tanah pertanian di daerah
Candikuning umumnya tercemar oleh logam berat terutama Pb dan Cr, sedangkan
Cu dan Zn diprediksi belum mencemari tanah pertanian tersebut (Siaka et al.,
2014).
Sayur-sayuran tersebut selanjutnya digunakan sebagai dasar pemilihan
jenis sayuran untuk penelitian lebih lanjut. Dari 10 jenis sayuran tersebut, dipilih 5
jenis yaitu tomat, selada, prei, kentang, dan wortel untuk diteliti dalam penelitian
ini. Penetapan jenis sayuran tersebut juga didasarkan pada beberapa pertimbangan
yang berkaitan dengan keadaan di lapangan termasuk sayuran yang mempunyai
nilai ekonomis tinggi, mudah memelihara, dan produksi cepat.
2.4.1 Tomat (Lycopersicum Esculentum Mill)
Tomat adalah salah satu komoditas hortikultura yang merupakan sayuran
buah dan bernilai ekonomis tinggi. Buah tomat sangat bermanfaat bagi kesehatan
tubuh manusia, karena mengandung vitamin, mineral, dan asam organik yang
diperlukan untuk pertumbuhan dan kesehatan. Kandungan berbagai zat dan unsur
dalam buah tomat masak disajikan pada Tabel 2.3. Buah tomat juga mengandung
alkaloid solanin (0,007%), saponin, asam folat, asam malat, asam sitrat,
bioflavonoid, gula (glukosa dan fruktosa), adenin, trigonelin, kholin, tomatin,
40
Tabel 2.2
Kandungan Logam Berat Total Dalam Beberapa Jenis Sayuran Hasil Pertanian
Sentra Produksi Sayuran Wilayah Candikuning, Bedugul
No Sampel Cu
(mg/kg)
Pb
(mg/kg)
Cr
(mg/kg)
Zn
(mg/kg)
1 Prei 4,69 14,23 73,54 49,60
2 Kol 150,15 347,54 152,82 28,58
3 Sawi 76,70 232,21 99,36 14,38
4 Kentang 9,44 13,42 - 9,34
5 Selada 73,22 167,34 136,70 90,69
6 Brokoli 21,70 14,70 1,02 76,04
7 Seledri 4,34 11,62 - 5,12
8 Wortel 5,09 13,13 2,78 25,33
9 Tomat 5,11 11,11 1,41 25,01
10 Paprika 9,00 13,02 7,28 29,13
- = tidak terdeteksi Sumber: Siaka et al. (2014)
Tabel 2.3
Kandungan Zat Gizi Buah Tomat Masak Tiap 100 g.
Komponen Jumlah
Air (g)
Protein (g)
Lemak (g)
Kabohidrat (g)
Kalsium (mg)
Fosfor (mg)
Besi (mg)
Vitamin A (SI)
Vitamin Bl(mg)
Vitamin C (mg)
94
1,0
0,3
4,2
5,0
2,7
0,5
1500
0,06
40
Sumber: Direktorat Gizi (1981)
41
Ca, Mg, Na, S, Cl, vitamin B2, B6, vitamin E, likopen, dan niasin (Cox, 2000).
Buah tomat memiliki bentuk yang bervariasi sesuai varietasnya yaitu
bulat, agak bulat, agak lonjong dan bulat telur (oval). Ukuran dan berat buahnya
juga bervariasi yaitu 8 gram untuk tomat yang paling kecil dan 180 gram untuk
tomat yang paling besar (Cahyono, 1998).
Tanaman tomat memiliki akar tunggang, akar cabang, serta akar serabut
yang berwarna keputih-putihan dan berbau khas. Akarnya menyebar ke semua
arah dengan kedalaman hingga 30 - 40 cm, namun ada akar dapat mencapai
kedalaman hingga 60 - 70 cm. Akar tanaman tomat berfungsi untuk menopang
berdirinya tanaman serta menyerap air dan unsur hara dari dalam tanah. Dengan
demikian, tingkat kesuburan tanah di bagian atas sangat berpengaruh terhadap
pertumbuhan tanaman dan produksi buah, serta benih tomat yang dihasilkan
(Redaksi Agromedia, 2007). Tanaman tomat dapat tumbuh dengan baik pada
tanah yang gembur, berpasir, banyak mengandung humus, tanah dengan pH 5-6,
dan tanah yang pengairannya teratur (Redaksi Agromedia, 2007).
Tanaman tomat yang diberi pupuk anorganik dan hamanya dibasmi
dengan pestisida sintetis akan dapat terkontaminasi oleh logam berat seperti As,
Pb, Cd, Cu, Co, Cr, Mo, Sr, Ti, V, Mn, Fe, Ni, Hg, Ba, Sc, dan Zn (Alloway,
1990; Gimeno-Garcia, et al., 1996; dan Taylor and Percival, 2001). Begitu juga,
tanaman tomat yang ditanam pada tanah yang terkontaminasi oleh logam berat,
maka tomat tersebut dapat mengakumulasi logam berat. Cobb (2000) melaporkan
bahwa sayuran seperti tomat yang ditanam di daerah limbah tambang
mengandung logam berat Pb, Cd, As, dan Zn cukup tinggi. Hindersah et al., 2004
42
menemukan bahwa, ada korelasi positif antara akumulasi Pb dan Cd dalam buah
tomat dengan dosis lumpur kering domestik yang diaplikasikan pada tanah yang
ditanami tomat.
2.4.2 Wortel (Daucus corata L)
Wortel adalah salah satu sayuran akar, karena akar tunggang yang tumbuh
tegak lurus ke dalam tanah dapat berubah bentuk dan fungsinya sebagai
penyimpanan cadangan makanan di dalam tanah. Bagian akar yang membesar,
bulat, memanjang, dan berwarna kemerahan-merahan inilah yang disebut umbi
dan merupakan bagian yang dapat dikonsumsi (edible part). Wortel sering juga
dimanfaatkan sebagai pewarna makanan dan minuman, serta bahan ramuan obat
tradisional (Pitojo, 2006).
Wortel mengandung tiga zat penting, yaitu β-karoten, vitamin A, dan
fitokemikalia. Ketiga zat tersebut dalam tubuh manusia yang mengkonsumsi
wortel mempunyai peran sebagai berikut: β-karoten dapat mengurangi kerusakan
kulit akibat sinar matahari; vitamin A berperan dalam kesehatan mata dan
memperkuat membran sel sehinga lebih kuat melawan penyakit yang diakibatkan
oleh mikroorganisme; dan fitokemikalia berperan dalam mengurangi risiko stroke,
menghindari proses penuaan dini, menjaga keseimbangan metabolisme hormonal,
dan berperan sebagai anti virus serta anti bakteri (Pitojo 2006). Wortel juga
mengandung serat, protein, lemak, karbohidrat,vitamin C, mineral seperti Ca, P,
dan Fe (Direktorat Gizi, 1981). Komposisi kimia wortel disajikan dalam Tabel
2.4.
43
Tabel 2.4
Komposisi Kimia Wortel Tiap 100 g Bahan.
Komponen Jumlah
Air (g)
Protein (g)
Lemak (g)
Kabohidrat (g)
Kalsium (mg)
Fosfor (mg)
Besi (mg)
Vitamin A (SI)
Vitamin C (mg)
88,2
1,2
0,3
9,3
339
37,0
0,8
12000
6,0
Sumber: Direktorat Gizi (1981)
Wortel merupakan sayuran dataran tinggi, karena dapat tumbuh dengan
baik pada dataran tinggi atau pegunungan dengan ketinggian sekitar 1200 m di
atas permukaan laut dan memiliki iklim subtropik yaitu dingin (suhu 15,6 – 21,1
oC) dan lembab. Tanaman wortel sangat cocok tumbuh pada tanah gembur,
remah, poros, serta memiliki aerasi udara yang bagus seperti tanah andosol
(Pitojo, 2006). Tanah andosol terbentuk dari bahan induk tufa atau abu volkanis
yang berada di sekitar puncak gunung berapi atau dataran tinggi. Keasaman (pH)
tanah yang cocok untuk tanaman wortel berkisar 6,0 – 6,8 dan tanah yang kaya
bahan organik pada permukaannya (Pitojo, 2006).
Aplikasi agrokimia terhadap tanaman wortel dapat menyebabkan tanaman
tersebut terkontaminasi oleh logam berat seperti As, Pb, Cd, Cu, Co, Cr, Mo, Sr,
Ti, V, Mn, Fe, Ni, Hg, Ba, Sc, dan Zn (Alloway, 1990; Gimeno-Garcia, et al.,
1996; dan Taylor and Percival, 2001). Air limbah yang digunakan sebagai irigasi
tanaman wortel juga dapat menyebabkan tanaman wortel tersebut mengakumulasi
44
logam-logam berat, seperti yang dilaporkan bahwa wortel yang diirigasi dengan
air limbah dapat mengakumulasi logam Fe, Mn, Cu, dan Zn (Arora et al., 2008).
2.4.3 Kentang (Solanum tuberosum, L)
Kentang merupakan tanaman hortikultura yang umum dibudidayakan di
dataran tinggi. Kentang termasuk jenis tanaman sayuran semusim (karena hanya
satu kali berproduksi dan setelah itu mati), berumur pendek, dan termasuk
tanaman herbacious. Umbi kentang terbentuk dari stolon dan bentuknya ada yang
bulat, oval agak bulat, dan bulat panjang. Warna umbi kentang ada yang berwarna
kuning, putih, dan merah (Samadi, 2007).
Kentang cocok ditanam di daerah dataran tinggi atau pegunungan pada
ketinggian lebih dari 700 m di atas permukaan laut, dengan keadaan tanah yang
gembur dan berpori baik sehingga air mudah diserap dan hara dapat tersimpan.
Kelembaban tanah tidak lebih dari 70% dan pHnya 5,0 - 6,5 (agak asam). Suhu
ideal untuk pertumbuhan umbi kentang sekitar 18 - 21oC dan pada suhu ini akan
berproduksi lebih baik, apabila suhu terlalu tinggi kentang akan menggunakan
energinya hanya untuk pertumbuhan vegetatif akibat laju respirasi yang tinggi
(Samadi, 2007).
Kentang dipanen pada usia 90 sampai120 hari, setelah umbi benar-benar
tua dengan ciri-ciri daunnya menguning rata, kulit umbi sudah kuat dan tidak
mudah lecet (Sunarjono, 2007). Panen dilakukan sesuai dengan umur masing-
masing varietas kentang, seperti 80 hari setelah tanam untuk varietas Atlantik dan
45
Agria, 84 untuk varietas Granola, dan 90 hari untuk varietas Panda atau dengan
tanda-tanda daun dan batang telah menguning atau mati serta umbinya tidak
mudah mengelupas (BPTP Yogyakarta, 2004).
Kentang yang merupakan salah satu komoditas hortikultura adalah sayuran
umbi yang kaya vitamin C, karbohidrat dan protein (Samadi, 2007). Kandungan
karbohidrat yang tinggi tersebut membuat kentang dikenal sebagai bahan pangan
yang dapat menggantikan bahan pangan karbohidrat lainnya seperti padi, jagung
dan gandum (Pitojo, 2004). Kandungan kimia umbi kentang setiap 100 g disajikan
pada Tabel 2.5.
Selain mengandung zat gizi umbi tanaman kentang juga mengandung
solanin yakni zat racun dan sangat berbahaya. Racun solanin ini sangat sulit
hilang apabila umbi tersembul keluar dari tanah dan terkena sinar matahari
(Samadi, 2007).
Tanaman kentang dapat menyetap logam berat dari tanah yang diirigasi
dengan air yang terkontaminasi logam berat. Akar dan daun kentang
terkontaminasi nikel dan kromium pada tanaman kentang yang diirigasi dengan
air yang terkontaminasi logam berat tersebut (Stasinos and Zabetakis, 2013).
Begitu juga, beberapa peneliti mengemukakan bahwa penggunaan pupuk
anorganik dan pestisida sintetis dapat menyebabkan tanah dan tanaman tercemar
oleh zat-zat kimia, termasuk logam berat seperti As, Pb, Cd, Cu, Co, Cr, Mo, Sr,
Ti, V, Mn, Fe, Ni, Hg, Ba, Sc, dan Zn (Alloway, 1990; Gimeno-Garcia, et al.,
1996; Taylor and Percival, 2001; Curtis and Smith, 2002; He et al., 2005;
Papafilippaki et al., 2007; Karyadi, 2008).
46
Tabel 2.5
Komposisi Kimia Umbi Kentang Tiap 100 g Bahan.
Komponen Jumlah
Air (g)
Protein (g)
Lemak (g)
Kabohidrat (g)
Kalsium (mg)
Fosfor (mg)
Besi (mg)
Vitamin B1 (mg)
Vitamin C (mg)
77,8
2,0
0,1
19,1
11,0
50,0
0,7
0,11
17,0
Sumber: Direktorat Gizi (1981)
2.4.4 Selada (Lactuca sativa L.)
Selada (Lactuce) merupakan sayuran daun yang berumur semusim dan
termasuk dalam famili Compositae. Ada 2 jenis selada yaitu selada yang dapat
membentuk krop dan yang tidak. Jenis yang tidak membentuk krop daun-daunnya
berbentuk "rosette". Warna daun selada hijau terang sampai putih kekuningan.
Selada biasanya dikonsumsi sebagai salad atau lalapan dan jarang sebagai sayur
yang dimasak (BPTP Yogyakarta, 2013).
Selada tumbuh baik di dataran tinggi yaitu pada ketinggian antara 400-
2200 m di atas permukaan laut (dpl). Tanaman selada cocok ditanam pada lahan
subur yang banyak mengandung humus, pasir atau lumpur dengan pH tanah 6,5-7.
Pada tanah yang masam selada ini tumbuh kerdil dan pucat karena kekurangan
unsur magnesium dan besi. Suhu udara optimum untuk pertumbuhan tanaman
selada adalah 15-29 oC. Waktu tanam terbaik pada akhir musim hujan, walaupun
demikian dapat juga ditanam pada musim kemarau dengan pengairan atau
penyiraman yang cukup (Surpriyatna, 1996; Alamtani, 2013).
47
Selada adalah sayuran yang mempunyai kandungan mineral yang cukup
tinggi termasuk zat besi, mangan, tembaga, kalsium, magnesium, dan potasium
yang bermanfaat dalam meningkatkan laju metabolisme dalam tubuh. Kalium
merupakan vascodilutor penting yang membantu menjaga tekanan darah dan
meningkatkan kesehatan jantung melalui pengaturan cairan tubuh. Kalsium
membantu memperkuat gigi dan tulang, sementara tembaga dan besi membantu
dalam produksi sel darah merah dalam tubuh. Selada mentah kaya vitamin A dan
beta-karoten. Selada juga mengandung folat, vitamin C dan vitamin K yang
berperan dalam pencegahan osteoporosis dan kerusakan saraf otak (Rizqi, 2013).
Kandungan gizi selada seperti protein, lemak, karbohidrat, vitamin, dan mineral
disajikan pada Tabel 2.6.
Sayuran yang ditanam di daerah yang terkontaminasi logam berat akan
terkontaminasi oleh logam tersebut, seperti sayuran selada yang ditanam pada
tanah di daerah limbah tambang mengandung logam berat Pb, Cd, As, dan Zn
cukup tinggi pada sayuran tersebut (Cobb, 2000).
2.4.5 Prei atau Bawang Daun (Allium fistulosum L.)
Bawang daun atau prei biasa juga disebut daun bawang yang merupakan
jenis sayuran dari kelompok bawang yang banyak digunakan dalam masakan. Prei
atau bawang daun yang termasuk dalam famili Liliaceae adalah bawang yang
paling umum dikenal sebagai daun bawang atau bawang hijau di banyak negara
dan digunakan dalam salad dan berbagai masakan Asia. Di Indonesia, bawang
daun ini disebut dengan berbagai nama seperti bawang daun, bawang semprong,
bawang bakung, bawang cina, dan bawang prei. Bawang daun ini adalah bawang
48
Tabel 2.6
Kandungan Kimia Selada Tiap 100 g Bahan.
Komponen Jumlah
Air (g)
Protein (g)
Lemak (g)
Kabohidrat (g)
Kalsium (mg)
Fosfor (mg)
Besi (mg)
Vitamin B1 (mg)
Vitamin C (mg)
94,8
1,7
0,3
3,0
182,0
27,0
2,5
0,08
50,0
Sumber: Direktorat Gizi (1981)
muda dengan dua bagian batang yang berbeda yaitu bagian atas berongga dan
berwarna hijau, sedangkan bagian bawah berupa akar putih seperti bola lampu.
Prei ini mempunyai aroma dan rasa yang khas, sehingga banyak digunakan untuk
campuran masakan seperti soto, sop, martabak telur, dan telur dadar. Bawang prei
(leek) ini tidak berumbi dan mempunyai daun yang lebih lebar dibandingkan
dengan bawang merah maupun bawang putih, pelepahnya panjang dan liat serta
bagian dalam daun berbentuk pipih (IKPI, 1993; Litbang. Deptan, 2013;
Annehira. Com, 2013).
Bawang daun cocok tumbuh di dataran rendah maupun dataran tinggi
dengan ketinggian 250 -1500 m di atas permukaan laut (dpl) dengan curah hujan
150 - 200 mm/tahun dan suhu harian 18-25 oC. Tanaman cocok pada pH netral
(6,5-7,5) dengan jenis tanah Andosol (bekas lahar gunung berapi) atau tanah liat
berpasir. Pupuk yang umum digunakan adalah pupuk kandang, Urea, SP36, dan
KCl. Tanaman bawang daun ini dapat dipanen pada umur sekitar 2 bulan setelah
tanam (Litbang. Deptan, 2013).
49
Bawang daun atau prei, seperti sayuran lainnya, juga mengandung
berbagai zat gizi yang diperlukan oleh tubuh manusia seperti karbohidrat, lemak,
protein, mineral, vitamin dan serat (dapat dilihat pada Tabel 2.7).
Tabel 2.7
Kandungan Kimia Bawang Daun/Prei Tiap 100 g Bahan.
Komponen Jumlah
Air (g)
Protein (g)
Lemak (g)
Kabohidrat (g)
Serat (g)
Kalsium (mg)
Fosfor (mg)
Besi (mg)
Vitamin A (S.I)
Vitamin B1 (mg)
Vitamin C (mg)
-
1,8
0,4
6,0
0,9
35,0
38,0
3, 2
910,0
0,08
48,0
Sumber: Direktorat Gizi (1981)
2.5 Metode Digesti (Digestion method) Logam Berat
Metode digesti atau sering juga disebut destruksi adalah salah satu metode
yang umum digunakan untuk mengekstraksi atau melepaskan logam berat
dari sampel padat seperti tanah, sedimen, dan sapel biologis. Berbagai metode
digesti termasuk digesti basah dan kering telah diaplikasikan pada sampel
sebelum dianalisis dengan alat AAS. Metode digesti melibatkan penggunaan asam
oksidasi kuat baik asam tunggal maupun asam campuran. Asam-asam yang sering
digunakan dalam digesti antara lain: asam nitrat, asam perklorat, asam klorida,
asam florida, hidrogen peroksida, dan asam sulfat (Yaru et al., 1995; AGAL,
1994). Digesti dengan campuran asam nitrat dan asam perklorat dan ditambah
asam florida dapat memberikan hasil yang memadai untuk berbagai logam seperti:
50
Al, Ca, Fe, Ti, V, U, Mo, Pb, Cd, Ni, Co, Cu, K, Mg, Mn, Na, Sr, dan Zn dalam
sedimen (AGAL, 1994; NIST, 1990). Penggunaan asam perklorat dan asam
florida di beberapa negara tidak direkomendasikan, sehingga digesti
menggunakan asam campuran selain ke dua asam tersebut. Dengan demikian,
campuran asam yang digunakan untuk digesti sampel lingkungan dan sampel
biologis semakin bervariasi, diantaranya: H2SO4-HCl, H2SO4-HCl-H2O2, H2SO4-
H2O2, H2SO4-HNO3, HNO3-HClO4, dan HNO3-HCl-H2O2 (Kokot et al., 1995; Gil
et al., 1993), tetapi campuran asam ini tidak selalu dapat mengekstrak semua
logam yang terdapat dalam sampel secara optimal (Saraswati et al., 1995; Kokot
et al., 1995).
Waktu yang diperlukan dalam proses digesti menjadi faktor yang perlu
dipertimbangkan, karena faktor ini sangat bergantung pada alat yang digunakan.
Sebagai contoh digesti dengan menggunakan pemanas listrik (hotplate),
diperlukan waktu sekitar 8 - 24 jam untuk menuntaskan proses digesti (Christian,
1994). Waktu yang diperlukan cukup lama, sehingga diperlukan suatu usaha
untuk memperkecil waktu yang diperlukan, maka para peneliti menggunakan alat
digesti alternatif seperti microwave oven dan ultrasonic bath atau
mengkombinasikan peralatan tersebut sehingga diperoleh hasil yang memadai
dengan waktu sesingkat mungkin. Untuk itu, telah dilaporkan metode digesti yang
cukup aman dan cepat yaitu menggunakan asam HNO3-HCl yang digesti pada
ultrasonic bath (45 menit, suhu 60 oC) dan hotplate (45 menit, suhu 140
oC),
dengan persentase perolehan kembali dari 9 logam (Pb, Cd, Cu, Zn, Ni, Mn, Fe,
Cr, dan Co) dalam sedimen referensi standar, AGAL-10 berkisar antara 83 sampai
51
105% (Siaka et al., 1998). Metode ini diaplikasikan untuk analisis logam berat Pb,
Cd, Cu, Cr, dan Zn dalam tanah dan sayur.
2.6 Tingkat Aman Konsumsi Sayuran
Tanah pertanian yang terkontaminasi logam berat dapat menyebabkan
berbagai dampak terhadap manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan karena
toksisitasnya. Logam berat seperti As, Fe, Mn, Pb, Cu, Cd, Cr, dan Zn banyak
sekali ditemukan sebagai kontaminan di dalam sayuran (Cobb, 2000; Okoronkwo
et al.,2005; Arora et al., 2008; Astawan, 2008). Logam-logam toksik tersebut
terakumulasi dalam sayuran pada konsentrasi yang tinggi menyebabkan risiko
yang sangat serius terhadap kesehatan manusia jika sayuran tersebut dikonsumsi
(Alloway, 1990; Vousta et al.,1996). Masuknya logam berat ke dalam tubuh
manusia melalui konsumsi sayuran sangat bergantung pada jumlah sayuran yang
dikonsumsi perhari. Menurut kajian Litbang Deptan, orang Indonesia
mengkonsumsi sayuran rata-rata perkapita adalah 40,35 kg/tahun atau sekitar 115
g/hari/orang (Abdurrahman, 2013).
Kandungan logam berat dalam sayuran dibandingkan dengan batas aman
(safe limit) untuk setiap logam berat dalam sayuran yang ditetapkan oleh
WHO/FAO. Batas aman tersebut berkaitan dengan asupan logam perhari (daily
intake of metals) melalui konsumsi sayuran dan ini digunakan untuk menghitung
nilai indeks risiko kesehatan (HRI, Health Risk Index). Berdasarkan nilai HRI ini
dapat ditentukan tingkat keamanan konsumsi sayuran. Jika nilai HRI lebih kecil
dari 1 (satu), maka sayuran tersebut aman untuk dikonsumsi (Cui et al., 2004).
52
2.6.1 Asupan Logam Perhari (DIM, daily intake of metals)
Asupan logam perhari (DIM) merupakan hasil kali dari konsentrasi logam
dalam sayuran dengan faktor konversi dan asupan sayuran perhari dibagi dengan
berat badan rata-rata (Khan et al., 2008; Khan et al., 2009). Nilai DIM tersebut
dihitung menurut persamaan berikut:
𝐷𝐼𝑀 =𝐶𝑀 𝑥 𝐶𝑓 𝑥 𝐷𝑓𝑖
𝐵𝑎𝑤
Dimana, CM adalah konsentrasi logam dalam sayuran (mg/kg),
Cf adalah faktor konversi (0,085 digunakan untuk mengubah berat
sayuran segar ke berat kering) (Khan et al., 2009),
Dfi adalah asupan sayuran perhari (daily intake of vegetables),
Baw adalah berat badan rata-rata (average body weight).
2.6.2 Indeks Risiko Kesehatan (HRI, health risk index)
Nilai indeks risiko kesehatan (HRI) dapat ditetapkan dengan menggunakan
nilai asupan logam perhari (DIM) dan dosis referensi oral (RfD, oral refence
dose). Indeks tersebut menyatakan tingkat bahaya bagi orang yang mengkonsumsi
sayuran yang terkontaminasi logam berat. Sayuran yang dikonsumsi diasumsikan
aman apabila nilai HRInya kurang dari satu (Cui et al., 2004). Persamaan berikut
digunakan untuk menghitung nilai HRI:
𝐻𝑅𝐼 =𝐷𝐼𝑀
𝑅𝑓𝐷
Dimana, RfD adalah dosis referensi oral (oral refence dose).
Nilai HRI untuk sayuran yang mengandung beberapa loagm berat dapat dihitung
dengan persamaan berikut:
HRIt = 𝐻𝑅𝐼𝑛𝑖=0
Dimana, HRIt = HRI total dan n = banyaknya jenis logam berat dalam sayuran.