bab ii tinjauan pustaka 2.1. landasan teori 2.1.1...
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori
2.1.1. Kepatuhan Wajib Pajak
Permasalahan kepatuhan pajak merupakan hal yang klasik dalam
perpajakan. Berbagai teori kepatuhan pajak yang dikemukakan beberapa ahli
menjelaskan tentang definisi serta faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan
pajak. Pendekatan sederhana dari kepatuhan pajak berpendapat bahwa ketika
orang-orang memutuskan apakah membayar pajak mereka, mereka akan
memperhitungkan besarnya pajak tersebut dan sanksi legal yang diterima dari
ketidak patuhan (Posner, 2000). Jackson dan Milliron mendefenisikan kepatuhan
pajak sebagai melaporkan seluruh pendapatan dan membayar seluruh pajak
berdasarkan hukum, peraturan dan keputusan pengadilan (Jackson dan Miliron
1986, dalam Palil dan Mustapha, 2011).
James dan Alley (1999) mengemukakan kepatuhan wajib pajak
menyangkut sejauh mana wajib pajak memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai
dengan aturan perpajakan yang berlaku. Dengan demikian tingkat kepatuhan
wajib pajak dapat di ukur dengan Tax Gap yaitu perbedaan antara apa yang
tersurat dalam peraturan perpajakan dengan apa yang dilaksanakan oleh wajib
pajak. Tax gap dapat pula diartikan sebagai perbedaan antara seberapa besar
pajak yang dapat dikumpulkan dengan besar pajak yang seharusnya terkumpul
( James dan alley ,1999). Sarker (2003) mendefenisikan kepatuhan wajib pajak
sebagai suatu tingkatan dimana seorang wajib pajak memenuhi atau tidak
peraturan perpajakan di negaranya. Internal Revenue Service (Brown dan Mazur,
Universitas Sumatera Utara
2003) mengelompokkan kepatuhan wajib pajak terdiri dari 3 tipe kepatuhan : (1)
kepatuhan penyerahan SPT (filing compliance), (2) kepatuhan pembayaran
(payment compliance), dan (3) kepatuhan pelaporan (reporting compliance).
Ketiga tipe kepatuhan tersebut bila di ukur secara bersama-sama akan
memberikan gambaran yang komperhensif tentang kepatuhan wajib pajak.
Jackson dan Miliron melalui tinjauan terhadap literatur kepatuhan
mengidentifikasi adanya 14 faktor kunci yang digunakan peneliti dalam meneliti
kepatuhan pajak yang secara garis besar dikelompokkan dalam empat kelompok
(Jackson dan Miliron 1986, dalam Fischer et al.1992) yaitu demografic (age,
gender and education), non compliance opportunity (income level, income source,
and occupation), attitudinal and perceptions (fairness of the law system and peer
influence) dan tax system/structural (complexity of the tax system, probability of
detection and penalties and tax rates)
Kepatuhan pajak juga dapat di lihat dari segi keuangan publik (public
finance), penegakan hukum (law enforcement), struktur organisasi (orgazational
structure), tenaga kerja (employees), etika (code of conduct) atau gabungan dari
semua segi (Adreoni et al. 1998). Trivedi et al. (1997) mencoba menggabungkan
berbagai faktor personal yaitu alasan moral , orientasi nilai (value oriented), dan
pilihan resiko (risk preference) dengan tiga faktor situasional pemeriksaan pajak
(tax audit), ketidak adilan (tax inequity), dan prilaku laporan wajib pajak (peer
reporting behaviour) di dalam analisisnya dimana faktor-faktor tersebut ternyata
sangat berperan di dalam memotivasi kepatuhan Wajib Pajak. Tomkins (2001)
mengemukakan bahwa faktor sosial memiliki tingkat tertinggi sebagai penentu
dari tax payer non compliance.
Universitas Sumatera Utara
Teori tentang tax compliance pertama kali dikemukakan oleh Allingham
and Sandmo ( Allingham dan Sadmo 1972, dalam Hamonangan dan Mukhlis,
2012). Teori ini mengasumsikan sedemikian tingginya tingkat ketidak patuhan
dari sisi ekonomi. Teori ini berkeyakinan tidak ada individu bersedia membayar
pajak secara sukarela (voluntary compliance). Oleh sebab itu individu akan selalu
menentang untuk membayar pajak (risk aversion). Untuk menjelaskan teorinya
tersebut, Allingham dan Sadmo merumuskan suatu model :
D = D (I,t,p, f)
D : declared income
I : pendapatan tetap
t : tarif pajak
p : probabilitas untuk diaudit
f : penalty rate
Menurut teori ini , faktor utama yang mempengaruhi kepatuhan pajak
antara lain : pendapatan tetap (I), tarif pajak (t), probabilitas dilakukan audit (p),
dan besarnya sanksi yang mungkin dikenakan (f). Individu diasumsikan memiliki
endowment pendapatan yang tetap yang harus dilaporkan ke pemerintah untuk
menentukan besarnya pajak yang harus dibayarkannya. Declared Income
merupakan tingkat pendapatan wajib pajak yang dilaporkan pada tingkat tarif
pajak t. Pendapatan yang tidak dilaporkan tidak dikenai pajak, tetapi
konsekuensinya individu dimungkinkan untuk di audit dengan denda sanksi
sebesar f yang harus di bayar untuk setiap pendapatan yang tidak dikenakan
pajak. Frey memperkenalkan adanya moral pajak (tax morale) disebut juga
motivasi intrinsik individu untuk bertindak yang didasari oleh nilai-nilai yang
Universitas Sumatera Utara
dipengaruhi norma-norma budaya (Frey 1997, dalam Hamonangan dan Mukhlis,
2012). Menurut teori ini, tax morale dapat dipahami sebagai penjelasan prinsip-
prinsip moral atau nilai-nilai yang diyakini seseorang mengapa membayar pajak.
Beberapa faktor yang mempengaruhi tax morale antara lain :
- Persepsi adanya kejujuran
- Sikap membantu atau melayani dari aparat pajak
- Kepercayaan terhadap instansi pemerintah
- Penghargaan atau rasa hormat dari aparat pajak
Beberapa peneliti kepatuhan pajak menggunakan konsep Theory of
Planned Behavior (Ajzen, 1991) untuk menjelaskan perilaku kepatuhan pajak
wajib pajak. Berdasarkan teori ini, prilaku individu untuk tidak atau patuh
terhadap ketentuan perpajakan dipengaruhi oleh niat untuk berperilaku dan niat
berperilaku tidak atau patuh dipengaruhi yang oleh tiga faktor yaitu : 1)
behavioral belief yaitu keyakinan akan hasil dari suatu perilaku (outcome belief)
yang membentuk variabel sikap (attitude), 2) normative belief yaitu keyakinan
individu terhadap harapan normatif yang menjadi rujukannya yang membentuk
variabel norma sujektif (subjective norm) dan 3) control belief yaitu
keyakinan/persepsi individu tentang keberadaan hal-hal yang mempengaruhi
(mendukung atau menghambat) perilaku yang membentuk variabel kontrol
perilaku yang dipersepsikan (perceived behavioral control). Niat berperilaku
merupakan variabel perantara dalam membentuk perilaku (Ajzen, 1988). Ini
berarti pada umumnya manusia bertindak sesuai dengan niat atau tendensinya.
Trivedi et al. (2005) menggunakan konsep Theory of Planned Behavior
dalam melakukan penelitian terhadap niat dan perilaku kepatuhan pajak.
Universitas Sumatera Utara
Penelitian dilakukan menggunakan cara hipotesis dan eksperimen. Hasil
penelitian Trivedi et al. (2005) menyimpulkan bahwa niat kepatuhan pajak dan
etika berpengaruh signifikan terhadap perilaku kepatuhan pajak sedangkan sikap,
norma subjektif dan kontrol yang persepsikan tidak berpengaruh signifikan. Dari
sisi pengaruh terhadap niat kepatuhan pajak, Trivedi et al. (2005) menyimpulkan
bahwa norma subjektif dan sikap berpengaruh signifikan terhadap niat kepatuhan
pajak sedangkan kontrol yang dipersepsikan dan etika berpengaruh tidak
signifikan.
2.1.2. Sikap Terhadap Keadilan dari Sistem Perpajakan ( Attitude on
righteousness of tax system)
Allport mendefenisikan sikap sebagai suatu keadaan mental dan syaraf
yang diatur melalui pengalaman yang memberikan pengaruh dinamik atau terarah
terhadap respon individu pada semua objek dan situasi yang berkaitan ( Allport
1953, dalam Schwarz dan Bohner, 2001). Ajzen dan Fishbein’s mengemukakan
bahwa sikap seseorang terhadap suatu obyek adalah perasaan mendukung atau
memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak
(unfavorable) pada objek tersebut (Ajzen dan Fishbein’s 1980, dalam Bobek dan
Hatfield,2003).
Berkaitan dengan pajak, sikap wajib pajak didefinisikan sebagai
pandangan positif atau negatif dari perilaku kepatuhan pajak. Hasil positif adalah
kepatuhan pajak dan hasil negatif adalah ketidakpatuhan pajak ( Marti et al. 2010).
Sikap positif terhadap sistem perpajakan sebenarnya adalah hasil dari persepsi
keadilan positif atau dengan kata lain persepsi keadilan positif dapat sebagai
pendorong dari sikap positif. Dengan demikian wajib pajak dengan persepsi
Universitas Sumatera Utara
positif terhadap keadilan sistem perpajakan akan lebih memiliki sikap positif
terhadap sistem perpajakan dan kosekuensinya akan mendorong mereka untuk
patuh.
Sulit untuk mendefenisikan keadilan pajak , di satu sisi harus memuaskan
wajib pajak dan di sisi lain berkaitan pelaksanaan terhadap peraturan perundang-
undangan perpajakan. Christensen et al. menyatakan bahwa keadilan pajak sulit
didefinisikan karena empat masalah utama (Christensen et al. 1994, dalam Azmi
dan Perumal 2008) : (1) masalah dimensional, (2) dapat didefinisikan pada tingkat
individu maupun pada masyarakat luas, (3) keadilan terkait dengan kompleksitas,
dan (4) kurangnya keadilan dapat menjadikan pertimbangan atau menyebabkan
ketidakpatuhan. Azmi dan Perumal (2008) mengidentifikasi 5 (lima) dimensi
keadilan pajak yang mempengaruhi perilaku kepatuhan pajak yaitu:
1. Keadilan Umum (General Fairness). Dimensi ini terkait dengan keadilan
menyeluruh atas sistem perpajakan dan distribusi pajak.
2. Timbal balik Pemerintah (Exchange with Government). Dimensi ini terkait
dengan timbal balik yang secara tidak langsung diberikan pemerintah atas
pajak yang dibayarkan oleh wajib pajak.
3. Kepentingan Pribadi (Self-Interest). Dimensi ini terkait dengan apakah
jumlah pajak yang dibayarkan wajib pajak secara pribadi terlalu tinggi dan
jika dibandingkan dengan wajib pajak lainnya.
4. Ketentuan-ketentuan khusus (Special Provisions). Dimensi ini terkait
ketentuan-ketentuan khusus yang diberikan kepada wajib pajak tertentu,
misalnya insentif pengurangan tarif untuk perusahaan go public maupun
UMKM.
Universitas Sumatera Utara
Erich et al. mengemukakan bahwa persepsi keadilan dapat di lihat dalam
beberapa bentuk ( Erich et al. 2006, dalam Saad 2010). Pertama, keadilan vertikal
(vertikal fairness) yaitu wajib pajak dalam situasi ekonomi berbeda akan
dikenakan pajak pada tarif yang berbeda. Hal ini akan mengakibatkan penghasilan
yang lebih tinggi akan membayar pajak lebih tinggi dari pada penghasilan lebih
rendah. Kedua, keadilan horizontal (horizontal fairness) didefinisikan sebagai
perlakuan yang sama dalam situasi yang sama dari individu. Dengan kata lain
keadilan horizontal merekomendasikan bahwa wajib pajak dalam posisi ekonomi
yang sama akan membayar jumlah pajak yang sama.
Studi Bobek pada sistem perpajakan Amerika tentang keadilan prosedural
(procedural fairness) dan keadilan kebijakan (policy fairness) menyatakan bahwa
keadilan prosedural berhubungan dengan proses yang digunakan dalam
kaitannnya dengan fungsi distribusi sedangkan keadilan kebijakan berkaitan
dengan isi dari hukum pajak (Bobek 1997, dalam Saad 2010) . Dapat disimpulkan
bahwa keadilan secara umum mengukur penilaian individu apakah sistem
perpajakan secara umum adil atau tidak.
2.1.3. Norma-norma Individu dan Sosial (Personal and Social Norms)
Faktor lain yang mempengaruhi perilaku kepatuhan pajak adalah norma-
norma perilaku, yang terbagi atas norma-norma individu (personal norms),
norma-norma sosial (social norms) dan norma masyarakat/warga negara
(societal/national norms) (Kirchler, 2007). Norma individu didefenisikan
sebagai internalisasi standar bagaimana kita harus berperilaku. Norma individu
berhubungan dengan pertimbangan moral (moral reasioning), sifat otoriter
(authoritarianism) dan sifat Machiavellian (machiavellianism), sifat egois, norma
Universitas Sumatera Utara
dependency dan nilai. Norma sosial didefenisikan sebagai suatu kelaziman atau
penerimaan dari penghindaran pajak antara suatu grup yang direferensikan .
Norma sosial berhubungan dengan perilaku dari grup yang direferensikan seperti
teman, kenalan atau kelompok. Jika wajib pajak percaya bahwa perilaku
ketidakpatuhan tersebar luas dan disetujui dalam suatu grup yang direferensikan
maka mereka akan cenderung untuk tidak patuh. Norma masyarakat/warganegara
merupakan budaya standar yang sering dicerminkan sebagai hukum actual.
Ajzen (1991) mengemukakan bahwa norma subyektif merupakan
persepsi individu berhubungan dengan kebanyakan dari orang-orang yang penting
bagi dirinya mengharapkan individu untuk melakukan atau tidak melakukan
perilaku tertentu. Norma subjektif mengacu pada persepsi individu apakah
individu atau grup tertentu setuju atau tidak setuju atas perilakunya dan motivasi
yang diberikan oleh mereka kepada individu untuk berperilaku tertentu. Secara
umum jika norma-norma tersebut dipegang teguh oleh wajib pajak maka
kepatuhan sukarela (voluntary compliance) akan diperoleh. Penelitian Wenzel
(2004) menyimpulkan bahwa norma sosial tidak berpengaruh signifikan terhadap
kepatuhan pajak sedangkan norma individu berpengaruh signifikan terhadap
kepatuhan pajak.
2.1.4. Probabilitas Ditemukan (Detection Probability)
Walaupun wajib pajak telah diberikan kepercayaan untuk menghitung,
memperhitungkan, membayar dan melaporkan pajaknya sendiri (self assessment
system), penegakan hukum (law enforcement) tetap diperlukan dalam rangka
Universitas Sumatera Utara
mengawasi pelaksanaan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan
perpajakan. Salah satunya adalah melalui pemeriksanaan pajak (tax audit) yang
bertujuan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan tujuan
lain dalam rangka pelaksanaan peraturan perundang-undangan perpajakan (UU RI
No. 16 tahun 2009).
Secara umum, pengertian dari probabilitas temuan (detection
probabilility) adalah kemungkinan ditemukannnya ketidakpatuhan dan IRS akan
mencari dan memperbaiki penyimpangan tersebut (Fischer et al. 1992).
Meningkatkan probabilitas temuan akan menambah kepatuhan pajak dan audit
pajak merupakan salah satu langkah efektif yang digunakan oleh otoritas pajak
(Alm 1991 dalam Fischer et al. 1992). Individu biasanya sepenuhnya ingin
menghindari kewajiban pajak mereka dan satu-satunya alasan mereka tidak
melakukan hal tersebut adalah adanya peluang kemungkinan tertangkap (Chau
dan Leung, 2009) . Beberapa peneliti menemukan bahwa peningkatan resiko
temuan pajak akan mengurangi penghindaran pajak dan akhirnya akan menambah
kepatuhan pajak antara lain Dubin and wilde 1988; Franzoni 2000; Scholz 2007;
Cumming et al. 2009 (Benk, et. al, 2011)
2.1.5. Besarnya Penalti (Penalty Magnitude)
Faktor penting lain yang mempengaruhi kepatuhan pajak adalah besarnya
sanksi. Idealnya adalah ketakutan akan penalti akan memperkecil perilaku ketidak
patuhan (Chau dan Leung, 2009). Struktur sistem penalti mungkin berbeda
disetiap negara misalnya karena perbedaan subjek pajak, tarif penalti dan jenis
Universitas Sumatera Utara
wajib pajak. Doran (2009) memberikan dua fungsi dari penalti pajak (tax penalty).
Pertama, berperan sebagai instrumen fungsi yang mempromosikan kepatuhan
pajak. Hal ini diakui secara luas oleh hukum dan literatur ekonomi, meskipun ada
sedikit konsensus tentang bagaimana penalti mempromosikan kepatuhan dalam
arti struktur penalti yang berbeda mungkin mempengaruhi kepatuhan yang
bebeda. Kedua, fungsi mendefinisikan kepatuhan pajak. Jika denda yang
ditetapkan dalam konsep yang salah maka akan menyebabkan perilaku yang tidak
sesuai dengan konsep kepatuhan. Membangun sebuah sistem penalti untuk
menghukum para penghindar pajak merupakan ukuran penting untuk kepatuhan
pajak. Wajib pajak akan lebih menginginkan untuk patuh jika ketidakpatuhan
dikenakan hukuman yang berat (Chau dan Leung, 2009). Kepatuhan pajak dapat
ditingkatkan dengan meningkatkan hukuman yang terkait dengannya. Untuk lebih
effektif, sanksi harus diterapkan dengan cepat dan tepat. Menurut Mardiasmo
(2011), sanksi perpajakan merupakan jaminan bahwa ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan akan dituruti/ditaati/dipatuhi. Atau dengan kata
lain sanksi perpajakan merupakan alat pencegah agar wajib pajak tidak melanggar
norma perpajakan .
Di sisi lain Borck (2004) menemukan bahwa dampak sanksi penalti
terhadap penggelapan pajak (tax evasion) berakibat menurunnya penerimaan
pajak yang diharapkan (expected tax revenue), tetapi meningkatkan kesejahteraan
wajib pajak (taxpayer welfare). Borck (2004) berpendapat apabila pengenaan
sanksi denda diterapkan terhadap penggelapan pajak, maka penghindaran pajak
justru menjadi besar dan penerimaan pajak menjadi kecil. Hal mengindikasikan
bahwa dampak besarnya penalti dapat berpengaruh terhadap berkurangnya
Universitas Sumatera Utara
kepatuhan wajib pajak. Carnes dan Engelbrecht (1995) menyimpulkan bahwa
besarnya penalti dan resiko temuan secara signifikan mempengaruhi kepatuhan
pajak tetapi interaksi variabel tersebut tidak signifikan.
Dalam TPB (Azjen, 1991) , kontrol perilaku yang dipersepsikan mengacu
kepada tingkat persepsi kontrol individu tentang suatu perilaku. Lebih spesifik,
faktor fundamental dari kontrol perilaku yang dipersepsikan bekenaan dengan ada
atau tidaknya sumberdaya dan kesempatan termasuk hambatan dan tantangan
untuk mewujudkan perilaku tertentu (Bobek dan Hatfield, 2003). Pelaksanaan
perilaku tergantung pada keyakinan individu terhadap seberapa besar kontrol yang
dimilikinya. mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung (melalui
niat) terhadap perilaku (Ajzen, 1988). Pengaruh langsung dapat terjadi jika
terdapat actual control di luar kehendak individu sehingga mempengaruhi
perilaku. Berkaitan dengan kontrol aktual, Benk et al. (2011) mengemukan bahwa
kontrol perilaku menentukan tingkat kesulitan dari kinerja yang ditampilkan oleh
individu. Elemen ini terkadang dapat mempengaruhi perilaku secara langsung.
Dalam hal kontrol perilaku, aktual kontrol tidak tergantung pada keinginan
individu, misalnya sanksi hukum merupakan kontrol perilaku yang dapat
mempengaruhi perilaku secara langsung.
2.2. Review Penelitian Terdahulu (Theoritical Mapping)
Mustikasari (2007) menyimpulkan bahwa (1) tax professional yang
memiliki sikap terhadap ketidakpatuhan positif, niat ketidakpatuhan pajaknya
tinggi, (2) pengaruh orang sekitar (perceived social pressure) yang kuat
mempengaruhi niat tax professional untuk berperilaku patuh, (3) tax professional
yang memiliki kewajiban moral yang tinggi, niat ketidakpatuhan pajaknya rendah
Universitas Sumatera Utara
atau sebaliknya, (4) semakin rendah persepsi tax professional atas kontrol yang
dimilikinya akan medorong tax professional berniat patuh. Di antara variabel
bebas sikap yang diteliti, variabel kontrol keperilakuan yang dipersepsikan
mempunyai pengaruh total paling besar terhadp variabel niat tax professional
untuk berperilaku tidak patuh, (5) semakin rendah persepsi atas kontrol yang
dimiliki tax professional maka akan mendorong tax professional tidak patuh
dalam melaksanakan kewajiban perpajakan badan yang diwakilinya, atau
mencukupi maka ketidakpatuhan pajak badan rendah atau sebaliknya. Napitupulu
(2008) menyimpulkan kewajiban moral secara simultan berpengaruh signifikan
terhadap kepatuhan wajib pajak sedangkan secara parsial tidak signifikan
berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak.
Menurut Benk et al. (2011), equity attitudes tidak berpengaruh signifikan
terhadap niat kepatuhan pajak sedangkan normative expectation dan legal
sanction berpengaruh terhadap niat kepatuhan pajak.
Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian Benk et al. (2011)
dan penelitian terdahulu dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1. Tinjauan Penelitian Terdahulu
No Nama Peneliti
Judul Penelitian Variabel Yang Digunakan Kesimpulan
1.
Mustikasari, Elia (2007)
Kajian Empiris tentang Kepatuhan Wajib Pajak Badan di Perusahaan Industri Pengolahan Surabaya.
Niat tax professional berperilaku tidak patuh (Y1) dan ketidakpatuhan pajak badan (Y2). Sikap terhadap ketidakpatuhan pajak (X1), Norma subyektif (X2), kewajiban moral (X3), kontrol keperilakuan yang dipersepsikan (X4), persepsi tentang kondisi keuangan (X5), persepsi tentang fasilitas perusahaan (X6), dan persepsi tentang iklim organisasi (X7)
(1) tax professional yang memiliki sikap terhadap ketidakpatuhan positif, niat ketidakpatuhan pajaknya tinggi, (2) pengaruh orang sekitar (perceived social pressure) yang kuat mempengaruhi niat tax professional untuk berperilaku patuh, (3) tax professional yang memiliki kewajiban moral yang tinggi, niat ketidakpatuhan pajaknya rendah atau sebaliknya, (4) semakin rendah persepsi tax professional atas kontrol yang dimilikinya akan medorong tax professional berniat patuh.
2.
Napitupulu , Krisman (2008)
Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Wajib Pajak badan Di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Belawan
Perilaku Kepatuhan Wajib Pajak (Y1). Kewajiban moral (X1) Niat tax professional berperilaku patuh (X2), persepsi tentang kondisi keuangan (X3), persepsi tentang fasilitas perusahaan (X4), dan persepsi tentang iklim organisasi (X5)
(1) Secara simultan kewajiban moral, niat profesional berperilaku patuh, persepsi tentang kondisi perusahaan, persepsi fasilitas peusahaan dan persepsi iklim organisasi berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan pajak.
(2) Secara parsial persepsi tentang iklim organisasi dan niat profesional berperilaku patuh berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak, sedangkan kewajiban moral , persepsi tentang kondisi perusahaan dan persepsi fasilitas perusahaan berpengaruh tidak signifikan terhadap kepatuhan
Universitas Sumatera Utara
wajib pajak.
3. 33
Benk, et. al. An Investigation ofTax Compliance Intention:ATheory Of Planned Behavior Approach
Tax Compliance Intention (Y1). Equity Attitudes (X1), Normative Expectation (X2), Legal Sanction (X3)
1. No statiscally significant between the equity attitudes with tax compliance intention.
2. Normative Expectation and legal sanction influencing tax compliance intention
Universitas Sumatera Utara