bab ii tinjauan pustaka 2.1 lalat pengorok daun liriomyza … · 2017. 4. 1. · bab ii tinjauan...
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lalat Pengorok Daun Liriomyza spp.
2.1.1 Taksonomi
Lalat pengorok daun termasuk dalam genus Liriomyza, subfamily
Phytomyzinae, famili Agromyzidae, ordo Diptera, klas Insekta, filum Arthropoda
dan kingdom animal (Spencer dan Steyskal, 1986). Liriomyza dideskripsikan
pertama kali oleh Blanchard tahun 1926 dari tanaman Cineraria di Argentina
(Parrella, 1992). Genus Liriomyza terdiri dari banyak spesies, bersifat polifag
sehingga dapat ditemukan pada berbagai jenis tanaman, sehingga memungkinkan
terbentuknya banyak spesies akibat adaptasi, mutasi dan evolusi.
2.1.2 Morfologi dan biologi
2.1.2.1 Liriomyza sativae Blanchard (Diptera:Agromyzidae)
Liriomyza sativae adalah serangga polifag yang menjadi hama penting pada
tanaman tomat. Hama ini banyak menyerang tanaman dari famili Curcubitaceae,
Fabaceae, Solanaceae dan Brasicaceae (Ronald dan Kessing, 1991). Hama ini
berasal dari Amerika, dan pada tahun 1970 dilaporkan banyak menyerang
tanaman pertanian dan tanaman hias di Amerika Serikat. Tahun 1990 ditemukan
di Jazirah Arab (Deeming, 1992), dan pada tahun 1996 ditemukan di Indonesia
yakni di Kerawang Jawa Barat menyerang tanaman mentimun, oyong, beligo,
buncis, kacang panjang, jarak dan tomat (Rauf 1977, 1999).
Telur berwarna putih, berbentuk lonjong dengan panjang 0,23 mm dan lebar
9
0,13 mm (Gambar 2.1.A). Telur diletakkan satu persatu di bawah permukaan
daun, di dalam jaringan mesofil, tiga hari kemudian menetas. Serangga betina
mampu menghasilkan telur 30-40 telur per hari (Ronald dan Kessing, 1991).
Larva berwarna kuning cerah hingga kuning kehijauan, berukuran panjang
mencapai 2,25 mm (Gambar 2.1.B). Larva terdiri dari tiga instar, dengan stadium
masing-masing instar berkisar antara 2-3 hari (Mau dan Kessing, 2002). Larva
yang baru menetas segera mengorok jaringan mesofil daun dan tinggal dalam
liang korokan selama hidupnya. Korokan semakin melebar dengan semakin
besarnya ukuran larva. Volume jaringan daun yang dapat dimakan oleh larva
instar 3 sebanyak 600 kali lebih banyak dari pada larva instar 1. Setelah larva
berganti kulit meninggalkan kait mulut yang berwarna hitam dan keras
ditinggalkan dalam liang korokan, dan ini dapat digunakan untuk mengetahui
tahap instar. Larva instar akhir akan keluar dari daun dan membentuk pupa pada
permukaan atas daun kemudian akan menjatuhkan diri ke tanah (Parella, 1987).
Fase pupa berlangsung selama 5-12 hari. Pupa berwarna kuning kecoklatan,
berbentuk oval memanjang yang menyempit pada ujungnya, dengan panjang1,5
mm dan lebar 0,75 mm (Gambar 2.1.C). Imago yang muncul dari pupa biasanya
pagi hari. Imago yang baru muncul langsung berkopulasi dan pada hari
berikutnya imago mulai meletakkan telur (Issae dan Marcano, 1991; Ronald dan
Kessing, 1991).
Imago berukuran 1,5 mm berwarna hitam kecoklatan dan terdapat bintik
kuning pada tubuhnya (Gambar 2.1.D). Bagian kepala berwarna kuning,
abdomen berwarna kelabu dengan bintik kuning dan mesonotumnya berwarna
10
hitam keabuan, dengan mesopleura berwarna kuning. Bagian toraks atas
kelihatan hitam mengkilat. Sekitar ¼ sampai 1/3 bagian tepi mata berwarna
hitam. Femur dan koksa berwarna kuning terang, sedangkan tibia-tarsi dibagian
tungkai depan berwarna kuning kecoklatan dan di tungkai belakang berwarna
hitam kecoklatan.
Gambar 2.1.
Liriomyza sativae Blanchard : (A) Telur( Sumber : Tokmaru, 2005), (B) Larva,
(C) Pupa dan (D) Imago (Sumber : dokumen pribadi)
Imago betina memiliki abdomen yang lebih panjang dan kokoh dibandingkan
dengan yang jantan. Panjang sayap berkisar antara 1,25-1,75 mm. Rata-rata
A
C D
B
11
ukuran imago betina adalah 1,5 mm sedangkan jantan 1,3 mm. Lama hidup
imago 10-20 hari tergantung kondisi lingkungan. Lalat betina menusukkan
ovipositornya pada permukaan atas daun kemudian memakan cairannya.
Penusukan juga dilakukan pada saat meletakkan telur pada permukaan daun (Issae
dan Marcano, 1991; Ronald dan Kessing, 1991).
2.1.2.2 Liriomyza huidobrensis
Telur L. huidobrensis berbentuk ginjal, warna agak keputih-putihan dan
tembus pandang, dengan ukuran berkisar antara 0,25-0,35 mm. Stadium telur
berkisar antara 2-4 hari. Selama hidupnya jumlah telur yang diletakkan oleh
betina rata-rata 160 butir (Supartha, 1998).
Larva berbentuk silinder, warna putih bening dan menyerupai tempayak.
Larva terdiri dari tiga instar dan masa perkembangan masing-masing 2-4 hari.
Larva instar-2 dan -3 adalah fase yang dipilih oleh parasitoid H. varicornis untuk
peletakan telur. Larva yang baru keluar dari telur langsung mengorok dan
berlanjut sampai menjelang keluar dari daun. Semakin besar larva semakin besar
liang korokannya. Larva yang sudah berkembang penuh biasanya keluar dari
liang korokan jatuh ke tanah dan pupa terbentuk di tanah (Supartha, 1998).
Pupa L. huidobrensis mula-mula berwarna kuning pucat kemudian berubah
menjadi coklat dan merah kecoklatan. Lama fase pupa berkisar antara 9-12 hari
(Supartha, 1998).
Umumnya imago betina lebih gemuk dan panjang (2,3-3,0 mm)
dibandingkan dengan jantan (2,2-2,4 mm). Mesonotum berwarna hitam
mengkilat dan sebagian besar mesopleuranya berwarna hitam.
12
Gambar 2.2
L. huidobrensis : Telur (A) (Sumber : Wyss Bayern Crop Science, Larva (B),
Pupa (C) dan Imago (D) ( Sumber : dokumen pribadi )
Skutelum berwarna kuning. Koksa berwarna hitam kekuning-kuningan
sedangkan femur berwarna kuning kehitam-hitamanan. Tibia dan tarsus berwarna
coklat sampai hitam. Peletakan telur pertama terjadi setelah betina berumur 2-4
hari. Masa peneluran terjadi 7-14 hari dan pasca peneluran 1-2 hari.
Lama hidup imago betina: 10,3 hari. Lama hidup imago jantan: 6 hari.
Keperidian 180,78 butir/ betina, dengan prapeneluran lebih kurang 2,37 hari, masa
A
B
C D D
13
peneluran : 7,74 hari, pasca peneluran 1 hari dengan nisba kelamin betina: jantan
1,6:1. Siklus hidup berkisar antara 19-35 hari (Supartha, 1998). Gambar 2.2.
merupakan imago Liriomyza huidobrensis (Setiawati, et al., 2004).
2.1.3 Persebaran dan tanaman inang
Hama pengorok daun Liriomyza spp. merupakan kelompok hama yang
merusak daun pada berbagai jenis tanaman hias dan sayuran. Perkembangan lalat
pengorok daun Liriomysa spp. sangat ditentukan oleh ketersediaan tanaman inang
di lapang. Ketersediaan berbagai tanaman inangnya membantu pertumbuhan dan
perkembangan serta pemencarannya. Sifat polifag yang dimiliki oleh Liriomyza
spp. memungkinkan serangga tersebut untuk memencar lebih cepat ke jenis dan
bagian tanaman lain yang lebih disukai. Pada umumnya angin berpengaruh
terhadap penyebaran lalat pengorok ini. Parella (1987) menyatakan rataan jarak
pergerakan imago betina (21,5 m) lebih jauh dari imago jantan (18,0 m) di rumah
kaca. Di alam imago lalat pengorok daun tertarik pada warna kuning. Gerakan
memencar suatu serangga umumnya berlangsung secara lambat dan jarak yang
dapat dijangkau oleh individu selama hidupnya relative pendek. Namun hasil
komulatif dari jarak jangkau pendek yang ditempuh oleh generasi ke generasi
akhirnya akan menjadi nyata juga setelah beberapa tahun. Jarak jangkau akan
menjadi lebih jauh dan berlangsung dengan cepat, jikalau dibantu oleh manusia
secara langsung maupun tidak langsung. Sebagai contoh Liriomyza spp.
merupakan lalat asli Amerika Utara tetapi sekarang lalat tersebut telah menyebar
ke seluruh dunia karena aktivitas manusia.
14
Genus Liriomyza spp. dideskripsikan sekitar tahun 1894 oleh Mik,
mempunyai lebih dari 300 spesies dan sebagian besar menyebar di daerah
beriklim sedang dan beberapa spesies ditemukan di daerah tropis (Parella, 1987).
Liriomyza huidobrensis (Blanchard), L. trifolii (burgesss) dan L. sativae
Blanchard di kenal sebagai spesies polifag dengan kisaran inang yang saling
tumpang tindih di lapangan (Spencer, 1973). Sekitar tahun 1970-an L. trifolii
(burgesss) dan L. sativae Blanchard banyak dilaporkan menyerang tanaman
pertanian dan hias di Amerika Utara, Amerika Tengah dan Selatan. Lalat tersebut
terbawa keluar benua Amerika pada tahun 1976, ketika Kenya mengimport bibit
krisan yang didatangkan dari Florida (Rauf, 1996). Di Indonesia diperkirakan
sudah ada sejak awal tahun 1990 an, namun baru diketahui sebagai hama sekitar
September 1994. Lalat tersebut mula-mula di temukan di kawasan puncak Bogor,
setelah itu di Lembang, Pengalengan, Ciwidey, Garut, Majalengka, Kuningan,
kemudian ke Sumatera yaitu ke Brastagi dan Padang. Tahun 1995 sudah
ditemukan di Dieng, Malang dan Probolinggo (Rauf, 1996). Di Bali Liriomyza
diperkirakan masuk pada tahun 1996 (Supartha et.al., 1999), pada pertengahan
tahun 2001 hampir seluruh kawasan yang menanam sayuran di Bali telah
terserang Liriomyza dengan tingkat serangan ringan, sedang sampai berat
(Supartha, 2002).
Liriomyza spp. tergolong serangga polifag dengan kisaran tanaman inang
yang luas meliputi tanaman sayuran tanaman hias, palawija, dan gulma. Baliadi
(2008) menyatakan bahwa gejala serangan lalat pengorok daun ditemukan pada
tanaman kedelai juga pada 42 spesies tanaman lain termasuk gulma, yaitu:
15
Phaseolus radiatus L. Wilczek (kacang hijau), Vigna unguiculata L. Walp.
(kacang tunggak), Lablab purpureus L. Sweet (komak), Phaseolus vulgaris L.
(buncis), Vigna sinensis L. Hassk (kacang panjang), Phaseolus lunatus L. (kacang
koro), Vigna angularis (Willd) Ohwi dan Ohashi (kacang merah), Lycopersicum
esculentum Mill. (tomat), Pegagan, Celosia argentea L., Crotalaria sp. (orok-
orok), Synedrella nodiflora L. Gaertn, Ocimum basilicum (kemangi), Amaranthus
gracilis Desf. (bayam), Physalis angulata L. (ceplukan), Capsisum sp. (cabai),
Cleome rutidosperma DC., Rorippa indica L. Hiern, Solanum mammosum
(terung), Solanum tuberosum L. (kentang), Ricinus communis (jarak), Murraya
paniculata (kemuning), Passiflora sp. (markisa), Cucumis melo L. (melon),
Cucumis sp. (timun emas), Amaranthus spinosus L. (bayam), Crassocephalum
crepidioides (Benth.), S. Moore, Gambas, Euphorbia sp., Brassica rugosa (sawi),
Gulma sp 1.
Kuantitas dan kualitas gizi tanaman inang mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan serangga seperti periode praoviposisi, kapasitas peneluran dan
perkembangan masing-masing fase. Parella (1987) menyatakan kelimpahan
populasi Liriomyza di lapang berkorelasi posistif dengan kandungan Nitrogen.
Pada kandungan Nitrogen yang lebih tinggi aktivitas makan dan keperidian
Liriomyza sp meningkat sehingga mengakibatkan serangan menjadi berat.
Faktor fisik dan kimia tanaman inang sangat mempengaruhi proses pemilihan
inang hama pengorok daun. Curah hujan belum banyak dipelajari pengaruhnya
terhadap L. huidobrenssis. Suhu dan kelembapan dilaporkan banyak
mempengaruhi kehidupan Liriomyza spp. Perilaku makan dan peletakan telur
16
sangat dipengaruhi oleh suhu. Kerusakan ekonomi yang diakibatkan oleh hama
ini dapat berbeda-bila hama berada di tempat dengan iklim yang berbeda. Jenis L.
trifolii pada suhu 30o C mampu menghasilkan sekitar 367 liang korokan dan
jumlah larva tertinggi. Jenis L. huidobrensis pada suhu 30o C dapat menghasilkan
212 liang korokan, sedangkan jumlah larva tertinggi diperoleh pada suhu 23o C
(Olivera et al., 1996). Aktivitas makan dan peletakkan telur oleh imago L.
huidobrensis umumnya terjadi pada pagi hari, karena aktivitas tersebut berkorelasi
positif dengan suhu. Pada kondisi kualitas makanan terpenuhi, peneluran
maksimum terjadi pada kisaran suhu 20-27o C (Parrella, 1987). Aktivitas makan
imago terjadi pada suhu 15-25 oC (Supartha, 1998).
2.1.4 Pengendalian Liriomyza spp.
Teknik pengendalian yang umum dilakukan terhadap lalat pengorok daun di
negeri asalnya adalah pengendalian hama terpadu (Minkenberg dan van Lenteren,
1986). Cara budidaya yang biasa diterapkan adalah sanitasi, penyiangan gulma,
memangkas bagian dari daun yang terserang, memasang penutup tanah dari
plastik hitam. Penggunaan perangkap kuning berperekat juga pada rumah-rumah
kaca. Penggunaan insektisida kimiawi seperti organoklor, organofosfat dan
karbamat yang berspektrum luas sudah sejak lama direkomendasikan, walaupun
cara tersebut dinilai terlalu berbahaya. Penggunaan insektisida telah banyak
memacu ledakan hama tersebut, karena Liriomyza menjadi resisiten terhadap
sejumlah insektisida seperti permetin, fenvalerat. Oleh karena itu kalangan
peneliti mencari insektisida yang lebih selektif dan efektif (Spencer, 1973).
Insektisida selektif berupa ekstrak daun mimba, Azadirachta indica A. Juss
17
dilaporkan sangat efektif terhadap L.trifolii (Fagoonee dan Torry 1984 dalam
Minkenberg dan van Lenteren, 1986). Pengendalian hayati terhadap lalat
pengorok daun telah dilaporkan Spencer pada tahun 1973. Pada tahun 1980
pengendalian hayati Liriomyza spp dilakukan pada hamparan 30 ha. Parasitoid
yang digunakan adalah Dacnusa siberica terutama terhadap L.trifolii. Kini D.
siberica telah digunakan dalam sistem PHT pada tanaman kormesial dalam rumah
kaca di Belanda (Minkenberg dan van Lenteren, 1986)
2.1.5 Musuh alami
Musuh alami lalat pengorok daun yang dominan ditemukan adalah predator
dan parasitoid. Predator yang telah ditemukan memangsa lalat pengorok daun
adalah jenis semut, kepik dan lalat. Imago pengorok daun umumnya dimangsa
oleh Drapetis subeenescens (Collin), Tachydromia annulata fallen (Diptera:
Empididae) dan Coenosia attenuate (Zatterstedolehm) (Diptera: Muscidae).
Larva dimangsa semut Ponerinae (Hymenoptera: Formicidae), sedangkan laba-
laba (Oxyopidae) dan Dolichopodidae (Diptera) memangsa imago L. trofolli.
Kepik tomat, Cyrtopeltis modestus (Distant) (Hemiptera: Miridae) dikenal sebagai
predator fakultatif hanya pada stadia lanjut, sedangkan pada stadia awal berperan
sebagai hama pada batang tomat (Parella dan Bethke, 1984).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa spesies parasitoid Liriomyza spp
berbeda sesuai dengan spesies Liriomyza, jenis tanaman inang dan daerah
geografinya (Johnson dan Hara, 1987). Parasitoid Liriomyza spp. pada berbagai
tanaman inang di Amerika Utara dan Hawai diketahui 40 spesies parasitoid yang
tergolong dalam ordo Hymenoptera. Sebagian besar parasitoid tersebut tergolong
18
dalam famili Eulophidae, terutama yang berasosiasi dengan L. sativae dan L.
trifolii. Sebagian kecil berasosiasi dengan L. huidobrensis, yaitu parasitoid
Chrysocharis ainsliei Crawford, C. parksi Crawfor, Diglyphus begini (Ashmead),
dan D. intermedius (Girault) yang semuanya dari famili Eulophidae serta satu
spesies dari famili Pteromalidae yaitu Halticoptera circulus (Walker). Purnomo
(2003) menemukan Opius sp. (Hymenoptera:Braconidae) memarasit L.
huidobrensis yang menyerang tanaman kentang selain Hemiptarsenus varicornis.
H.varicornis merupakan spesies umum dan dominan ditemukan memarasit L.
huidobrensis (Supartha, 1998; Rauf et al., 2000). Penelitian Pratama et al. (2013)
dan Herlinadewi et al. (2013) memperoleh parasitoid Neochrysocharis formosa
dominan memarasit Liriomyza di dataran tinggi maupun rendah dan adanya
parasitoid N. okazakii walaupun dengan parasitisasi yang rendah.
Keefektifan musuh alami dalam menekan serangan hama sangat penting
untuk menilai keberhasilan pengendalian hayati. Secara umum, musuh alami
yang efektif mempunyai ciri antara lain: a) mempunyai kekhususan terhadap
mangsa atau inang, b) sinkron dengan hama, c) kerapatannya meningkat dengan
cepat bila kerapatan mangsa atau inang meningkat, d) membutuhkan satu atau
sedikit mangsa untuk melengkapi siklus hidupnya dan e) mempunyai kemampuan
mencari mangsa atau inang yang tinggi, terutama saat populasi mangsa atau inang
yang rendah. Pengendalian hayati dikatakan berhasil bila agen yang digunakan
dapat menekan populasi hama sehingga berada di bawah ambang ekonomi dan
dapat mempertahankan kestabilan keseimbangan populasi hama (Hassel dan
Waage, 1984).
19
2.2 Parasitoid Neochrysocharis spp.
Parasitoid Neochrysocharis spp. terdiri dari dua spesies yaitu
Neochrysocharis formosa (Westwood) dan Neochrysocharis okazakii (Kamijo).
Kedua parasitoid ini dapat dibedakan berdasarkan sayap, torak dan femurnya
(Lampiran 1)(CSIR0,2005). Klasifikasi N. formosa dan N. okazakii (CSIRO,
2005) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Artropoda
Kelas : Insekta
Ordo : Hymenoptera
Famili : Eulophidae
Genus : Neochrysocharis
Spesies : Neochrysocharis formosa (Westwood)
Neochrysocharis okazakii (Kamijo)
2.2.1 Karakteristik biologi
2.2.1.1 Pola reproduksi
Proses reproduksi telur serangga Hymenoptera dibagi dalam dua kelompok
yaitu sinovigenik dan proovigenik. Pada serangga sinovigenik telur diproduksi
selama hidup imago betina. Banyaknya telur yang diproduksi lebih tergantung
pada makanan imago serangga betina dibandingkan metabolit yang disimpan pada
stadia pradewasa. Pada serangga proovigenik imago betina yang baru muncul
mengandung telur yang telah matang dan tidak menghasilkan telur lagi bila semua
telur telah diletakkan (Doutt, 1959). Golongan sinovigenik memerlukan protein
20
untuk kelangsungan produksi telurnya, yang didapat dari embun madu, nektar dan
cairan dari inangnya (host feeding). Makanan inang berperanan penting pada
golongan sinovigenik dibandingkan proovigenik. Jika imago betina sinovigenik
tidak memperoleh makanan berprotein atau tidak menemukan inangnya, telur-
telur yang masak dalam ovari akan diserap untuk menyediakan energi dan nutrisi.
Penyerapan telur merupakan cara yang baik, ketika sumber makanan ditemukan
produksi telur terjadi dalam beberapa hari (Godfray, 1994).
Reproduksi pada serangga ordo Hymenoptera berlangsung secara
partenogenetik. Terdapat tiga tipe reproduksi yakni arenotoki, teliotoki dan
deuterotoki. Umunya tipe reproduksi pada Hymenoptera adalah arenotoki,
sedangkan deuterotoki dan teliotoki hanya terjadi pada beberapa spesies. Pada
arenotoki, telur dapat berkembang baik secara partenogenetik maupun melalui
pembuahan. Telur yang dibuahi akan menjadi diploid dan akan berkembang
menjadi indivindu-indivindu betina, sedangkan yang tidak dibuahi tetap haploid
dan akan berkembang menjadi indivindu jantan. Tipe teliotoki yaitu
perkembangan partenogenetik yang serangga betina berasal dari telur-telur induk
yang tidak berkopulasi, dalam kelompok ini tidak ada serangga jantan. Tipe
deuterotoki adalah yaitu perkembangan parthenogenetik yang mampu
menghasilkan serangga jantan namun tidak berfungsi. Pada imago betina dari
sebagian besar anggota ordo Hymenoptera terdapat spermatika yang berfungsi
sebagai organ penyimpanan sperma yang diterima ketika kopulasi (Doutt, 1973).
Jenis kelamin ditentukan selama proses peletakan telur, yaitu ada atau tidaknya
pengeluaran sperma ketika telur melewati muara spermatika. Oleh karena itu
21
nisbah kelamin suatu spesies serangga yang demikian sering sangat beragam dan
berfluktuasi tergantung pada kondisi lingkungan. Faktor-faktor lingkungan sangat
mempengaruhi pada imago betina parasitoid termasuk perilaku peletakan telur dan
pengaturan pengeluaran sperma yang akhirnya dapat menentukan jenis kelamin
keturunannya.
Kesesuaian inang dapat diukur berdasarkan beberapa ciri biologi, di antaranya
adalah reproduksi parasitoid. Reproduksi parasitoid yang tinggi menjadi salah
satu ukuran potensi parasitoid dalam mengendalikan hama sasaran. Reproduksi
tersebut tidak hanya terbatas pada besarnya populasi, melainkan juga terjadi
dalam komposisi jenis kelamin dan kelompok umur.
Di Jepang N. formosa memiliki strain teliotoki dan arenotoki di lapangan
(Arakaki dan Kinjo 1998). Reproduksi teliotoki pada N. formosa diketahui
disebabkan oleh rickettsia (Hagimori et al. 2006).
2.2.1.2 Pola peletakkan telur harian
Pada umumnya parasitoid hymenoptera termasuk haplodiploid. Jantan
haploid berkembang dari telur yang tidak dibuahi sedangkan yang betina dari telur
yang dibuahi. Serangga betina yang tidak berkopulasi akan menghasilkan
serangga jantan, sedangkan betina yang berkopulasi akan menyimpan sperma
dalam spermatika, dan saat peletakkan telur betina dapat mengatur alokasi
keturunan sepanjang peletakan telur tergantung kondisi lingkungan (Godfray,
1994). Strategi pengaturan kelamin keturunannya dilakukan oleh induk betina
dilaporkan mempunyai pola tertentu. Kondisi tersebut dilakukan sebagai tanggap
terhadap kondisi lingkungan, yakni jumlah betina dan jumlah inang. Alokasi jenis
22
kelamin yang diletakkan oleh induk betina akan tergambar pada suatu peletakan
telur yang pada akhirrnya akan tergambar pada nisbah kelamin keturunan. Pada
umumnya induk betina meletakkan keturunan jantan pada peletakan telur pertama
yang disebut “strategi jantan pertama”. Strategi ini terjadi pada Trichogramma
basalis (Colazza dan Wajaberg, 1998).
Pola peletakkan telur harian parasitoid Trichogramma chilotraeae Nagaraja
dan Nagarkatti (Hymenoptera: Trichogrammatidae) dilaporkan oleh Hasriyanty
(2006), parasitoid mulai meletakkan telur dengan menghasilkan keturunan betina.
Faktor jumlah inang dan kepadatan parasitoid betina berpengaruh pada prilaku
selfsuperparasitism.
Chen dan Khu (2001) menyatakan N. formosa memilih meletakan telur pada
inang instar tiga L. trifolli. Keperidian dihitung dengan menjumlahkan semua
telur yang diletakkan oleh seekor betina selama hidupnya. Banyaknya imago
yang muncul dan jenis kelaminnya dicatat untuk menentukan nisbah kelamin.
Nisbah kelamin dinyatakan dalam persentase betina. Proporsi jantan dan betina
(nisbah kelamin) ditentukan beberapa faktor seperti suhu, umur imago, kesesuaian
nutrisi dan kemampuan imago jantan untuk mengawini imago betina.
2.2.1.3 Statistik demografi
Dinamika populasi suatu organisme perlu diketahui dengan cara
mengetahui atribut numerik (parameter) dari organisme tersebut, misalnya
bertambah atau berkurangnya populasi organisme tersebut, kerapatan
populasinya, laju individu baru yang akan dilahirkan dan laju kehilangannya
melalui mortalitas (Rizal, 1995). Parameter utama populasi dalam suatu
23
organisme (Caughley, 1977) meliputi: 1) daya bertahan hidup berdasarkan umur,
2) keperidian, 3) distribusi frekuensi umur, 4) nisbah kelamin, dan 5) kerapatan
populasi. Berdasarkan parameter tersebut dapat dihitung statistik demografi yang
terkait yaitu: laju reproduksi kotor (GRR), laju reproduksi bersih (Ro), masa rata-
rata satu generasi (T), laju pertambahan intrinsik (r), laju pertambahan terbatas
(ƛ ), angka kelahiran (b), dan angka kematian (d).
Berdasarkan statistik demografi tersebut dapat dihitung dengan cara
menyusun suatu neraca kehidupan atau yang disebut dengan life table (Birch,
1984; Price, 1975). Neraca kehidupan merupakan suatu tabel tentang daya
bertahan hidup dan mortalitas di dalam populasi suatu organisme (Horn, 1988).
Neraca kehidupan menggambarkan perubahan-perubahan yang terjadi di dalam
populasi selama satu generasi (Price, 1975)
Sulaeha et al. (2009) telah melakukan penelitian tentang parameter
demografi parasitoid Hemiptarsenus varicornis pada L. huidobrensis. Hasil
penelitiannya mendapatkan hasil laju reproduksi bersih (Ro) : 18,021
kali/generasi, masa rata-rata satu generasi (T) : 13,90 hari, laju pertambahan
intrinsik (r) : 0,208 keturunan betina/induk/hari, laju pertambahan terbatas (ƛ ):
1,231 kali/hari.
2.2.3 Kisaran toleransi terhadap inang dan tanaman inang
Kehidupan serangga fitofag ditentukan terutama oleh tumbuhan inang,
sedangkan kehidupan serangga entomofag ditentukan oleh serangga inangnya
yang diparasit atau dimangsanya (Price, 1987). Jadi kehidupan serangga fitofag
sangat ditentukan oleh kisaran toleransinya terhadap tanaman inangnya,
24
sedangkan parasitoid sangat ditentukan oleh kisaran toleransinya terhadap
serangga inang.
Parasitoid Hymenoptera sebagian besar dapat memarasit beberapa jenis inang
dan hanya sedikit spesies yang spesifik memarasit satu spesies inang. Menurut
Doutt (1959) terdapat empat tahapan yang harus dilewati agar parasitoid berhasil
memarasit inangnya, yaitu 1) penemuan habitat inang, 2) penemuan inang, 3)
penerimaan inang dan 4) kesesuaian inang. Vinson (1976) menambahkan
pengaturan inang sebagai tahap yang kelima karena keberhasilan parasitisme juga
ditentukan oleh kemampuan parasitoid dalam mengatur fisiologi inangnya.
Penemuan Habitat Inang. Pemilihan terhadap habitat merupakan faktor
utama parasitoid betina dalam mencari tipe habitat yang dapat menyediakan
serangga inangnya. Godfray (1994) menyatakan ada 3 katagori umum yang
digunakan dalam penentuan lokasi inang, pertama adanya rangsangan dari
mikrohabitat inang berupa adanya senyawa kimia yang dihasilkan oleh tanaman
inang, yang tergolong synomon yang diproduksi tumbuhan inang yang berperan
penting dalam upaya parasitoid mendapatkan habitat inang, kedua rangsangan
tidak langsung berhubungan dengan kehadiran inangnya, dan ketiga rangsangan
yang muncul dari inang itu sendiri. Perbedaan habitat inang (tanaman inang)
dapat berpengaruh terhadap kesesuaian nutrisi bagi serangga inang dan
parasitoidnya. Kesesuaian nutrisi baik secara kuantitatif maupun kualitatif amat
penting bagi perkembangan dan pertumbuhan serangga inang maupun parasitoid.
Perkembangan parasitoid dipengaruhi juga oleh perbedaan senyawa nutrisi dan
non nutrisi serta sifat-sifat biofisik dari masing-masing tanaman. Senyawa nutrisi
25
seperti karbohidrat, lemak, protein, vitamin dan mineral merupakan senyawa
primer yang disintesis oleh tanaman untuk keperluan pertumbuhan dan
perkembangan. Selain itu tanaman juga menghasilkan senyawa-senyawa non
nutrisi sebagai senyawa sekunder yang dapat mempengaruhi prilaku serangga
terhadap tanaman yaitu alelokimia.
Penemuan Inang. Bila parasitoid sudah menemukan habitat inangnya atau
mikrohabitat, tahap selanjutmya adalah tanggapan parasitoid sebagai reaksi
terhadap senyawa perangsang yang berasal dari inangnya. Senyawa kimia yang
berasal langsung dari inangnya disebut kairomon. Parasitoid betina lebih tertarik
oleh bau kotoran inangnya yang mengandung senyawa kairomon. Penerimaan
rangsangan kimia kairomon dapat terjadi pada jarak yang jauh dan jarak dekat.
Penerimaan rangsangan kimia jarak jauh dilakukan oleh indra penciuman yang
mampu mendeteksi senyawa kimia dalam bentuk gas. Sedangkan penerimaan
rangsangan kimia jarak dekat dilakukan oleh indera perabaan yang mampu
mendeteksi senyawa kimia dalam bentuk cair/padat. Beberapa senyawa kimia
yang ditinggalkan inang dapat sebagai petunjuk kepada parasitoid untuk
menemukan inangnya.
Penerimaan Inang. Penerimaan inang merupakan suatu langkah untuk
menentukan inang yang spesifik dari parasitoid. Rangsangan penerimaan inang
dapat berupa bau, lokasi, ukuran bentuk atau gerakan inang. Pada ovipositor
parasitoid ada alat penerima rangsangan kimia. Rangsanga kimia dapat berasal
dari inang yang sehat berbeda dengan inang yang sudah diparasit.
26
Kesesuaian Inang. Adanya telur yang diletakkan dalam tubuh inang tidak
mampu berkembang menjadi imago akibat adanya hambatan fisiologis dalam
tubuh inang. Hadi (1985) melaporkan sebagai tolak ukur untuk menentukan
kesesuaian inang adalah ada atau tidaknya hambatan perkembangan embrionik
pada telur parasitoid dan hambatan perkembangan larva parasitoid di dalam tubuh
inang.
Parasitoid dapat digolongkan dalam beberapa katagori menurut cara
penyerangan dan tipe inangnya. Menurut cara penyerangan, dapat dibedakan : (a)
endoparasitoid yaitu parasitoid yang berkembang di dalam inangnya dan
ektoparasitoid merupakan parasitoid yang berkembang dan mengambil makan
dari bagian luar inangnya. Jika di dalam atau pada satu inang hanya berkembang
satu parasitoid disebut parasit soliter dan jika beberapa atau banyak parasitoid
disebut parasitoid gregaria. Menurut stadia inang yang diserang parasitoid, dapat
dibedakan atas parasitoid telur, parasitoid larva, parasitoid pupa dan parasitoid
imago. Namun ada katagori antara misalnya parasitoid telur-larva yakni
parasitoid yang meletakkan telur pada telur inang dan menyelesaikan
perkembangannya pada stadia larva. Parasitoid ini bersifat koinobiont dan
sebaliknya parasitoid idiobiont yakni parasitoid yang menyelesaikan
perkembangannya pada stadia inang yang diletaki telur. Parasitoid idiobiont
umumnya ektoparasitoid dan inang akan dimatisurikan (pelumpuhan permanen)
secara permanen oleh induk betina sebelum telur-telur diletakan di atas tubuh
inang atau di dekat inang (Godfray , 1994).
27
Pengaruh Instar Inang. Fase perkembangan inang dapat mempengaruhi
proses penemuan inang dan penerimaan inang. Parasitisasi pada instar inang yang
berbeda dan ukuran inang yang berbeda mempengaruhi kebugaran dan jumlah
parasitoid (Van Alpen dan Drijver, 1982). Chien dan Ku (2001) melaporkan
bahwa di Taiwan N. formosa memilih instar tiga dari inang L. trifolii untuk
meletakkan telurnya. Sama halnya dengan Suwastika (2003) menemukan bahwa
N.okazakii lebih memilih larva instar 3 untuk meletakkan telurnya. Supartha
(1998) menemukan bahwa dari tiga instar larva L. huidobrensis, instar 2 dan -3
adalah merupakan instar yang dipilih oleh parasitoid Hemiptarsenus varicornis,
Zagrammosoma sp dan Pterpomalidae untuk meletakkan telur.
2.2.4 Kisaran toleransi terhadap suhu
Diantara faktor lingkungan abiotik, suhu berperan penting dan mempengaruhi
keberadaan dan kehidupan suatu parasitoid (Madar dan Miller, (1983).
Peningkatan suhu mempercepat metabolisme dalam tubuh parasitoid sehingga
pertumbuhannya lebih cepat. Pertumbuhan parasitoid yang cepat menyebabkan
kebutuhan hidupnya dalam tubuh inang akan meningkat. Hal ini diduga yang
menyebabkan mortalitas larva inang terparasit lebih cepat dengan meningkatnya
suhu.
Keberhasilan pengendalian hayati dengan menggunakan parasitoid sangat
dipengaruhi oleh iklim. Faktor iklim seperti; suhu, kelembaban, dan curah hujan
adalah diantara faktor yang mempengaruhi kehidupan parasitoid. Studi tentang
bioklimatik pada serangga inang dan parasitoid dapat menjelaskan penyebaran
dan juga untuk melengkapi batasan kemampuannya secara fisiologis. Suhu yang
28
sama antara tempat pengumpulan, perbanyakan dan kolonisasi dapat
meningkatkan kesempatan untuk kesuksesan penyebaran parasitoid. Suhu
berpengaruh terhadap lama perkembangan dan keberhasilan hidup parasitoid.
Nelly (2009) melaporkan bahwa suhu pemeliharaan yang paling banyak
menghasilkan imago Eriborus. argenteopilosus dari larva inang C. pavonana
terparasit adalah pada suhu 20o C. Pada inang L. trifolli laju reproduksi bersih
(Ro) parasitoid N. formosa pada temperature 15oC adalah rendah, kemudian
meningkat dengan meningkatnya temperature (25o C) (Hondo et.al., 2005).
2.2.5 Kompetisi
Musuh alami dalam perkembangan hidupnya untuk memperebutkan satu
macam sumber daya, harus melakukan persaingan (kompetisi). Kompetisi atau
persaingan bisa terjadi antara dua individu untuk memperebutkan satu macam
sumber daya, sehingga hubungan itu bersifat merugikan bagi salah satu pihak.
Kompetisi dapat juga terjadi antar individu dalam satu populasi dan individu dari
populasi lain yang berbeda. Sumber daya yang diperebutkan dalam kompetisi ini
dapat berupa makanan, energi, dan tempat tinggal. Kompetisi terjadi apabila
sejumlah organisme dari spesies yang sama atau berbeda menggunakan sumber
daya yang sama dengan ketersediaan sumber daya terbatas, atau walaupun
ketersediaan sumber daya mencukupi namun kompetisi tetap terjadi karena pada
saat memanfaatkan sumber daya organisme yang satu menyerang organisme yang
lain. Ada dua jenis kompetisi/persaingan yang terjadi di alam, yakni persaingan
intraspesifik dan persaingan interspesifik (Oka, 2005). Persaingan intraspesifik,
yaitu persaingan antara individu-individu yang sejenis, sedangkan persaingan
29
interspesifik merupakan persaingan dua spesies atau lebih yang secara taksonomi
berdekatan atau hampir sama satu dengan lainnya. Persaingan jenis ini akan
mengubah kemampuan beradaptasi suatu jenis organisme dari yang biasa-biasa
saja menjadi yang terkuat atau sebaliknya tergantung jenis kompetitor dan daya
adaptasi organisme tersebut.
2.2.6 Tanggap fungsional terhadap kerapatan inang
Tanggap fungsional merupakan salah satu ukuran untuk menentukan
keefektifan suatu predator atau parasitoid sebagai agen dalam pengendalian
hayati. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Solomon dalam tahun 1949
(Hassel, 2000) untuk menyatakan perubahan jumlah mangsa atau inang yang
diserang oleh indivindu predator atau parasitoid akibat perubahan kerapatan
populasi mangsa atau inang persatuan waktu. Holling pada tahun 1959 (Hassel,
2000) menggolongkan tanggap fungsional ke dalam tiga tipe umum yang
dilukiskan dengan grafik hubungan antara kerapatan inang dan jumlah inang yang
diparasit oleh parasitoid (Gambar 2.3).
Tipe 1(tanggap fungsional linier), mula-mula inang terparasit meningkat
dengan laju yang konstan (linier) kemudian mendatar sesuai dengan peningkatan
inang. Tipe 1 ini biasanya ditemukan pada predator yang bersifat pasif seperti
laba-laba. Misalnya, banyaknya lalat yang terperangkap pada jaring laba-laba
sebanding dengan kerapatan populasi lalat (Sharov, 1996). Pada tipe II (tanggap
fungsonal hiperbolik), laju parasitisasi menurun sejalan dengan meningkatnya
kerapatan inang. Mortalitas maksimum terjadi pada kerapatan inang yang rendah
(Sharow, 1996). Serangga predator dan parasitoid umumnya menunjukkan
30
tanggap fungsional tipe II. Pada tipe III (tanggap fungsional sigmoid), awalnya
peningkatan perasitisasi berlangsung lambat, diikuti dengan peningkatan yang
lebih cepat kemudian mendatar (Hassel, 2000). Tipe III biasanya ditunjukkan
oleh predator yang memangsa beberapa spesies serangga. Predator ini bisa
beralih kepada spesies mangsa yang kepadatannya berlimpah (Sharow, 1996).
Gambar 2.3.
Tiga tipe tanggap fungsional (Holling, 1959)
Keterangan :
Kiri: Sumbu Y= banyaknya inang yang diparasit per parasitoid persatuan waktu
Sumbu X= kerapatan inang
Kanan : sumbu Y = persen parasitisasi per parasitoid per satuan waktu
Sumbu X = kerapatan inang
Tipe II
Tipe III
Tipe I
N. inang
inagmangs
a
N inang
N inang N inang
N inang .N. inang
inangmangs
a
x
y
x
y
x
y
x
y y
x x
y
31
Untuk memperoleh parameter tanggap fungsional yaitu laju parasitasi (a) dan
waktu penanganan mangsa atau inang (Th) diduga dengan menggunakan
persamaan Holling 1959 (Hidrayani, 2003). Persamaan Holling digunakan bila
selama percobaan berlangsung mangsa/inang yang dimakan/diparasit oleh
predator/parasitoid diganti, sehingga kepadatan mangsa konstan, jika tidak maka
lebih cocok menggunakan persamaan acak (William dan Juliano, 1996).
Untuk implikasi di lapangan, tanggap fungsional perlu dilengkapi dengan
tanggap numerik sehingga diperoleh tanggap total dari suatu predator atau
parasitoid. Masing-masing spesies predator atau parasitoid mempunyai tanggap
fungsional yang khas terhadap peningkatan kerapatan mangsa atau inangnya.
Tidak selalu terdapat hubungan langsung antara tanggap fungsional dan numerik
dari suatu predator/parasitoid. Bila jumlah predator terbatas pada kelimpahan
mangsa, maka tanggap numerik akan terkait dengan tanggap fungsional. Tetapi
bila kelimpahan predator ditentukan oleh faktor lain, maka predator tersebut akan
menunjukkan tanggap fungsional tanpa tanggap numerik (Krebs, 1978).
2.3 Biologi Parasitoid Neochrysocharis formosa
Neochrysocharis formosa merupakan parasitoid larva bersifat endoparasit
yang mempunyai bermacam serangga inang. Ukuran panjang badan yang jantan
0,8-1,0 mm dan yang betina 0,8 – 1,6 mm (Hanson, 1995). Serangga betina
meletakkan telur pada larva inang dengan ovipositornya. Telur tembus pandang,
di kedua ujungnya bulat. Telur rata-rata panjangnya 0,23 mm dan lebar 0,08 mm.
Larva yang baru menetas rata-rata panjangnya 0,32 mm dan lebar 0,11 mm.
Larva berkembang dalam tubuh inang sampai dewasa. Sebagian besar larva
32
keluar dari inang larva menjadi pupa dekat inangnya. Beberapa larva berpupa
dalam larva inang. Pupa pada awalnya berwarna putih kemudian berubah menjadi
hitam. Pupa panjangnya rata-rata 1,33 mm dan lebar 0,39 mm (Maryana, 2000).
Selain memarasit Liriomyza spp, Luna et al. (2011) melaporkan bahwa N. formosa
merupakan parasitoid larva Tuta absoluta (Meyrick) pada tanaman tomat di
Argentina. Sebuah metode untuk pemeliharan parasitoid N.formosa
dikembangkan dengan menggunakan pengorok daun L. huidobrensis sebagai
serangga inang, dan Phaseolus vulgaris L. sebagai tanaman inang. Sekitar 1.500
parasitoid muncul dari 84 tanaman yang mengandung sekitar 2.000 larva
pengorok daun, 70% adalah betina. Kepadatan inang yang paling cocok adalah
dua pasang pengorok daun per tanaman kacang, dan tiga pasang parasitoid per 24
larva pengorok daun (Saleh et al., 2010). N. formosa betina tersaji pada gambar
2.4
Gambar 2.4
Imago N. formosa (Pembesaran : 75 kali)
(Sumber : dokumen pribadi)
Femur
33
2.4 Biologi Parasitoid Neochrysocharis okazakii (Kamijo)
Parasitoid N.okazakii merupakan parasitoid larva yang bersifat
endoparasitoid. Telur berbentuk lonjong dengan warna putih tembus cahaya, dan
menyempit di kedua ujungnya. Panjang rata-rata 0,23 mm dan lebar 0,08 mm.
Kemampuan bertelur N. okazakiii 64,9 butir selama hidupnya. Larva berwarna
putih, dengan fase larva 5-7 hari. Larva berkembang dalam tubuh inang sampai
tua. Pupa berukuran panjang 1,23 mm dan lebar 0,35 mm. Lama fase pupa
berkisar antara 3-6 hari. Pembentukan pupa terjadi di dalam tubuh inang. Imago
jantan N. okazakii muncul terlebih dahulu dari pada betina. Pada imago betina
terdapat ovipositor pada ujung abdomennya. Kepala, mesosoma dan metasoma
berwarna hitam. Pada bagian kaput terdapat antena lurus berwarna hitam
termasuk filiforma. Tungkai berwarna hitam namun pada bagian tarsus berwarna
agak hitam pada vena utama dan tidak mempunyai kosta. Keperidian imago
betina berkisar antara 43-76 butir dengan rata-rata 64,9 ± 14,4 butir per ekor
betina (Swastika,2003). Rentang hidup pada suhu 21-32 oC adalah 5,0 dan 4,8
hari dan bisa mencapai 24 hari jika diberi makanan tambahan madu (Christie dan
Parella, 1987). Gambar 2.5 tersaji gambar N. okazakii.
34
Gambar 2.5.
Imago N. okazakii (Pembesaran : 50 kali)
(Sumber : dokumentasi pribadi)
femur