bab ii tinjauan pustaka 2.1 konsep pendidikan kesehatan ...eprints.umm.ac.id/50373/2/bab ii.pdf ·...

22
9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pendidikan Kesehatan Menggunakan Media Audiovisual 2.1.1 Pengertian Pendidikan Kesehatan Menggunakan Media Audiovisual Pendidikan kesehatan merupakan salah satu bentuk strategi intervensi atau upaya dalam pelayanan keperawatan komunitas. Pendidikan kesehatan mencakup pemberian informasi yang sesuai, spesifik, diulang terus menerus, sehingga dapat memfasilitasi perubahan perilaku kesehatan. Program pendidikan kesehatan digunakan untuk meningkatkan kemampuan seseorang dalam merubah gaya hidupnya menjadi positif, mendukung peningkatan kesehatan dan kualitas hidup komunitas serta meningkatkan partisipasi seseorang dalam merawat kesehatannya sendiri. Pendidikan kesehatan yang efektif dapat dilakukan dengan mengkaji kebutuhan seseorang terhadap informasi, mengidentifikasi hambatan seseoarang dalam belajar (Widyanto, F.C, 2014). Pendidikan kesehatan menurut (Bintoro widodo, 2014) merupakan bagian dari keseluruhan upaya kesehatan (promotif, prefentif, kuratif, dan rehabilitatif) yang menitik beratkan pada upaya untuk meningkatkan perilaku hidup sehat. Secara konsep pendidikan kesehatan merupakan upaya mempengaruhi/mengajak orang lain (individu, kelompok, dan masyarakat) agar berperilaku hidup sehat. Secara operasional pendidikan kesehatan adalah semua kegiatan untuk memberikan/ meningkatkan pengetahuan, sikap dan praktik masyarakat dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya. Pendidikan kesehatan adalah suatu usaha untuk menolong individu, kelompok masyarakat dalam meningkatkan kemampuan perilaku untuk mencapai kesehatan secara optimal. Sehingga perlu suatu metode yang tepat untuk mengembangkan

Upload: others

Post on 25-Dec-2019

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Pendidikan Kesehatan Menggunakan Media Audiovisual

2.1.1 Pengertian Pendidikan Kesehatan Menggunakan Media Audiovisual

Pendidikan kesehatan merupakan salah satu bentuk strategi intervensi atau

upaya dalam pelayanan keperawatan komunitas. Pendidikan kesehatan mencakup

pemberian informasi yang sesuai, spesifik, diulang terus menerus, sehingga dapat

memfasilitasi perubahan perilaku kesehatan. Program pendidikan kesehatan digunakan

untuk meningkatkan kemampuan seseorang dalam merubah gaya hidupnya menjadi

positif, mendukung peningkatan kesehatan dan kualitas hidup komunitas serta

meningkatkan partisipasi seseorang dalam merawat kesehatannya sendiri. Pendidikan

kesehatan yang efektif dapat dilakukan dengan mengkaji kebutuhan seseorang terhadap

informasi, mengidentifikasi hambatan seseoarang dalam belajar (Widyanto, F.C, 2014).

Pendidikan kesehatan menurut (Bintoro widodo, 2014) merupakan bagian dari

keseluruhan upaya kesehatan (promotif, prefentif, kuratif, dan rehabilitatif) yang

menitik beratkan pada upaya untuk meningkatkan perilaku hidup sehat. Secara konsep

pendidikan kesehatan merupakan upaya mempengaruhi/mengajak orang lain

(individu, kelompok, dan masyarakat) agar berperilaku hidup sehat. Secara operasional

pendidikan kesehatan adalah semua kegiatan untuk memberikan/ meningkatkan

pengetahuan, sikap dan praktik masyarakat dalam memelihara dan meningkatkan

kesehatannya.

Pendidikan kesehatan adalah suatu usaha untuk menolong individu, kelompok

masyarakat dalam meningkatkan kemampuan perilaku untuk mencapai kesehatan

secara optimal. Sehingga perlu suatu metode yang tepat untuk mengembangkan

10

pengetahuan. Dengan metode pembelajaran yang efektif dan menarik sehingga

harapanya siswa termotivasi untuk belajar dan dapat membantu meningkatkan

pengetahuan dan praktik serta sebagai alat bantu untuk mempermudah menyampaikan

materi pelajaran. Salah satu media pendidikan kesehatan praktis adalah media

audiovisual (Andayani, 2015).

Media pembelajaran, kata media berasal dari bahasa latin medius yang secara

harafiah berarti tengah perantara/pengaturan. Dapat diartikan bahwa media

merupakan pembawa informasi dari sumber ke penerima. Media adalah alat informasi

dan sumber informasi baik berupa alat elektronik maupun non elektronik yang dapat

dijadikan sarana penyampaian pesan dalam berkomunikasi. Dalam hal ini pembawa

informasi dapat berupa manusia dan benda yang mampu memperjelas informasi

sehingga tidak terjadi kesalahan informasi dan diharapkan informasi yang diterima oleh

penerima/receiver. Media secara garis besar adalah manusia, materi, dan kejadian yang

membangun kondisi untuk membuat pembelajar mampu memperoleh pengetahuan,

keterampilan atau sikap. Dalam pengertian ini, guru, buku teks dan lingkungan sekolah

merupakan media secara lebih khusus. Pengertian media dalam proses belajar mengajar

cenderung diartikan sebagai alat grafis, elektronika untuk menangkap, memproses, dan

menyusun kembali informasi visual (Louk & Sukoco, 2016).

Adapun nilai dan manfaat media pembelajaran yaitu dapat mempertinggi

proses belajar siswa dalam pembelajaran yang pada gilirannya diharapkan dapat

mempertinggi hasil belajar yang dicapainya. Ada beberapa alasan mengapa media

pembelajaran dapat mempertinggi proses belajar siswa. Pengajaran akan lebih menarik

perhatian siswa sehingga dapat menumbuhkan motivasi belajar, selain itu manfaat

media pembelajaran dalam proses belajar siswa yaitu: (1) bahan pengajaran akan lebih

jelas maknanya sehingga dapat lebih dipahami oleh para siswa dan memungkinkan

11

siswa menguasai tujuan pengajaran lebih baik, (2) metode pengajar akan lebih

bervariasi, tidak sematamata komunikasi verbal melalui penuturan kata-kata oleh guru,

sehingga tidak bosan, (3) siswa lebih banyak melakukan kegiatan belajar, sebab tidak

hanya mendengarkan uraian guru tapi juga aktivitas lain seperti mengamati, melakukan

atau mendemonstrasikan suatu hal (Louk & Sukoco, 2016).

Media audiovisual adalah suatu media terdiri dari media visual yang di

gabungkan dengan media audio. Media audiovisual adalah suatu perantara yang dapat

di nikmati dengan indera penglihatan dan indera pendengaran. Dengan penggunaan

media audiovisual sangat memungkinkan terjadinya komunikasi dua arah antara guru

dan peserta didik di dalam proses belajar mengajar. Media audiovisual dalam

pembelajaran dimaksudkan sebagai bahan yang mengandung pesan dalam bentuk

audio dan visual yang dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan

peserta didik sehingga dapat tejadi proses pembelajaran yang efisien dan efektif. Media

audiovisual adalah suatu media atau perantara yang dapat di nikmati dengan indera

penglihatan dan indera pendengaran. Media audiovisual merupakan media yang sangat

praktis, dapat mengatasi keterbatasan pengalaman yang di miliki oleh peserta didik,

dapat melampaui batasan ruang dan waktu, sehingga memungkinkan terjadi interaksi

langsung antara peserta didik dan lingkunganya (Riyanto, 2018).

Penggunaan media audio visual dapat mempertinggi perhatian anak dengan

tampilan yang menarik. Selain itu, anak akan takut ketinggalan jalannya video tersebut

jika melewatkan dengan mengalihkan konsentrasi dan perhatian. Media audio visual

yang menampilkan realitas materi dapat memberikan pengalaman nyata pada anak saat

mempelajarinya sehingga mendorong adanya aktivitas diri, dan dapat di artikan juga

media pembelajaran menggunakan media audiovisual ini yaitu “pemakaian media

pembelajaran dalam proses belajar mengajar dapat membangkitkan keinginan dan

12

minat yang baru, membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar, dan

bahkan membawa pengaruh-pengaruh psikologis terhadap anak.” Pesan pembelajaran

yang disampaikan guru tanpa menggunakan media akan terasa hambar dan tidak akan

membekas jika tidak menggunakan media. Begitupun semangat anak untuk belajar

sangat rendah bahkan bisa dikatakan tidak ada. Ketika pembelajaran sudah mencapai

titik jenuh dan tidak ada semangat anak untuk melanjutkan kegiatan belajar, maka

kehadiran sebuah media akan terasa sangat membantu dan sangat diperlukan

pembelajaran yang menggunakan multimedia telah terbukti lebih efektif dan efisien

serta bisa meningkatkan hasil belajar siswa”. Media audio visual termasuk dalam

multimedia yaitu jenis media yang selain mengandung unsur suara juga mengandung

unsur gambar yang dapat dilihat, seperti misalnya rekaman video, berbagai ukuran film,

slide suara dan lain sebagainya. Pada penggunaan media audio visual disini

menggunakan rekaman video (Fujiyanto, Jayadinata, & Kurnia, 2016).

2.1.2 Tujuan dan Fungsi Pendidikan Kesehatan Menggunakan Media

Audiovisual

Pendidikan kesehatan untuk membantu individu, keluarga dan masyarakat

untuk mencapai tingkat kesehatan yang optimal. Pendidikan kesehatan bertujuan untuk

mengubah perilaku individu, keluarga, serta masyarakat dari perilaku yang tidak sehat

menjadi sehat. Perilaku yang tidak sesuia dengan nilai – nilai kesehatan menjadi perilaku

yang sesuai dengan nilai – nilai kesehatan atau dari perilaku yang negatif menjadi

perilaku yang positif. Perilaku – perilaku yang perlu dirubah misalnya adalah merokok,

minum – minuman keras, membuang sampah sembarangan, tidak mencuci tangan

sebelum makan, ibu hamil tidak memeriksakan kehamilannya, bayi tidak diberikan ASI

eksklusif, dan lain sebagainya. Pendidikan kesehatan juga bertujuan untuk merubah

perilaku yang kaitan dengan budaya. Sikap dan perilaku merupakan bagian dari budaya

13

yang ada di lingkungan (Widyanto, F.C, 2014). Sehingga pendidikan kesehatan

menggunakan media audiovisual merupakan suatu perantara yang dapat di nikmati

dengan indera penglihatan dan indera pendengaran. Dengan penggunaan media

audiovisual sangat memungkinkan terjadinya komunikasi dua arah antara guru dan

peserta didik di dalam proses belajar mengajar. Media audiovisual dalam pembelajaran

dimaksudkan sebagai bahan yang mengandung pesan dalam bentuk audio dan visual

yang dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan peserta didik

sehingga dapat tejadi proses pembelajaran yang efisien dan efektif. Media audiovisual

adalah suatu media atau perantara yang dapat di nikmati dengan indera penglihatan dan

indera pendengaran. Media audiovisual merupakan media yang sangat praktis, dapat

mengatasi keterbatasan pengalaman yang di miliki oleh peserta didik, dapat melampaui

batasan ruang dan waktu, sehingga memungkinkan terjadi interaksi langsung antara

peserta didik dan lingkunganya. Peranan media audiovisual dalam upaya

mengembangkan pola pikir peserta didik antara lain yaitu, mampu menarik perhatian

peserta didik, sehingga akan mudah untuk memberikan pesan-pesan pendidikan dalam

suatu proses pembelajaran, dapat melakukan dasar-dasar teori konkrit, sehingga

memudahkan untuk mengembangkan pola berpikir peserta didik. Dapat

mengembangkan pengetahuan peserta didik untuk belajar mandiri (Riyanto 2018).

Media pembelajaran dapat mempertinggi proses belajar anak dalam

pembelajaran yang pada gilirannya diharapkan dapat mempertinggi hasil belajar yang

dicapainya. Ada beberapa alasan mengapa media pembelajaran dapat mempertinggi

proses belajar anak. Pengajaran akan lebih menarik perhatian anak sehingga dapat

menumbuhkan motivasi belajar. Manfaat media pembelajaran dalam proses belajar

siswa yaitu: (1) bahan pengajaran akan lebih jelas maknanya sehingga dapat lebih

dipahami oleh anak dan memungkinkan anak menguasai tujuan pengajaran lebih baik,

14

(2) metode pengajar akan lebih bervariasi, tidak sematamata komunikasi verbal melalui

penuturan kata-kata oleh guru, sehingga tidak bosan, (3) siswa lebih banyak melakukan

kegiatan belajar, sebab tidak hanya mendengarkan uraian guru tapi juga aktivitas lain

seperti mengamati, melakukan atau mendemonstrasikan suatu hal (Louk & Sukoco,

2016).

Adapun fungsi dari pendidikan kesehatan menggunakan media audiovisual

yaitu memungkinkan siswa untuk menerima pesan pembelajaran melalui pendengaran

dan memungkinkan penciptaan pesan belajar melalui penglihatan. Menstimulus atau

mampu merebut saluran masuknya pesan atau informasi kedalam jiwa manusia melalui

mata dan telinga serta mampu untuk membuat orang pada umumnya mengingat dari

apa yang mereka lihat dan dengar dari tayangan program. Media audiovisual juga dapat

mempermudah orang menyampaikan dan menerima informasi, mendorong keinginan

orang untuk mengetahui lebih banyak informasi dari yang ditayangkan, dan dapat

mengenalkan pengertian yang diperoleh (Johan, 2018).

Fungsi media pembelajaran menurut (Arsyad & Azhar, 2010) yang menyatakan

bahwa terdapat empat fungsi media pembelajaran, khususnya media visual, yaitu: 1)

Fungsi atensi yaitu menarik dan mengarahkan perhatian siswa untuk berkonsentrasi

kepada isi pelajaran yang berkaitan dengan makna visual yang ditampilkan atau

menyertai teks materi pelajaran. 2) Fungsi afektif yaitu media visual dapat terlihat dari

tingkat kenikmatan siswa ketika belajar atau membaca teks yang bergambar. 3) Fungsi

kognitif artinya lambang visual atau gambar akan memperlancar pencapaian tujuan

yang terkandung dalam gambar. 4) Fungsi kompensatoris yaitu media pembelajaran

berfungsi untuk mengakomodasikan siswa yang lemah dan lambat menerima dan

memahami isi pelajaran yang disajikan dengan teks atau disajikan dengan secara verbal.

15

Sedangkan menurut (Cahyo, 2011), media pembelajaran video adalah alat yang

digunakan untuk meningkatkan kemampuan otak, khususnya ketajaman otak dan daya

ingat. Selain itu penggunaan media pembelajaran video interaktif mampu menarik

minat anak tunagrahita dalam mengenal kata-kata baru dan praktek secara langsung.

Hal ini cukup menarik sehingga dapat meminimalisir kejenuhan anak tunagrahita , anak

merasa senang dan tidak merasa terpaksa dalam belajar membaca permulaan yang

diberikan oleh peneliti. Dengan menggunakan media pembelajaran video interaktif

dalam proses bina diri yaitu melakukan cuci tangan yang baik dan benar bagi anak

tunagrahita khususnya di UPT Layanan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus yang

dapat mengurangi keterbatasan anak tunagrahita dalam hal penyerapan materi

pembelajaran yang cenderung lamban dan kurang mampu berpikir abstrak, sehingga

mampu membantu mengaktifkan anak tunagrahita mengembangkan keterampilannya

dalam kemampuanya melakukan cuci tangan yang baik dan benar. Sehingga dirasa

cukup sesuai dengan karakteristik belajar anak tunagrahita yang memiliki kesulitan

dalam berfikir secara abstrak. Dengan menggunakan media audiovisual anak

tunagrahita mendapat gambaran tentang materi pembelajaran yang diajarkan secara

konkret tentang cuci tangan memakai sabun yang baik dan benar sesuai SOP. Selain

itu, media audiovisual juga dapat membantu anak dalam mengingat materi yang telah

diajarkan. , media audiovisual mempunyai kelebihan dari aspek guru yaitu

meringankan guru dalam menjelaskan materi pembelajaran pentingnya cuci tangan

memakai sabun guna untuk mengurangi risiko tertularnya penyakit. Media audiovisual

yaitu media pembelajaran yang cukup terjangkau dalam segi biaya dan penggunaannya

lebih praktis dibanding dengan media ataupun metode lain dalam pembelajaran edukasi

cuci tangan yang baik dan benar sesuai SOP. Mudah tergoda untuk menayangkan

16

media audiovisual yang bersifat hiburan sehingga proses belajar tidak menjadikan

anak.bosan.

2.1.3 Karakteristik Media Audiovisual

Karakteristik media audioviasual (Suleiman, 2015) adalah untuk menghasilkan

video pembelajaran yang tampak dengar (audio) dan unsur tampak gambar (visual)

yang dapat di sajikan serentak. Media audiovisual mampu menampilkan suatu objek

yang membuat siswa lebih tertarik karena unsur audio dan visual serta daya ingat

terhadap pelajaran lebih lama menggunakan media audiovisual dalam pengajaran dan

pembelajaran memiliki dampak positif yang signifikan terhadap pengajaran dan

pembelajaran di sekolah-sekolah.

2.2 Konsep Cuci Tangan

2.2.1 Pengertian Cuci Tangan

Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS) adalah tindakan sanitasi dengan

membersihkan tangan dan jari-jemari dengan menggunakan air bersih yang mengalir

dan sabun . Pernyataan ini selaras dengan (Johan, 2018) yang menjelaskan bahwa

Perilaku mencuci tangan pakai sabun adalah suatu aktivitas, tindakan mencuci tangan

yang di kerjakan oleh individu yang dapat diamati secara langsung maupun tidak

langsung dengan cara menggosok dan menggunakan sabun serta membilasnya dengan

air yang mengalir.

2.2.2 Tujuan Cuci Tangan

Tujuan mencuci tangan pakai sabun menurut (Hariyadi, 2016) adalah sebagai

salah satu upaya pencegahan penyakit. Tujuan mencuci tangan pakai sabun yaitu untuk

menghilangkan mikroorganisme sementara yang mungkin ditularkan ke orang lain dan

dapat mengurangi penularan infeksi bakteri (Rihiantoro, 2016).

17

Cuci tangan menggunakan air dan sabun, bagi sebagian besar masyarakat sudah

menjadi kegiatan rutin sehari-hari, tapi bagi sebagian masyarakat lainnya, cuci tangan

menggunakan air dan sabun belum menjadi kegiatan rutin, terutama bagi anak-anak

yang rawan terhadap berbagai penyakit, terutama yang berhubungan dengan perut,

seperti diare, kecacingan, dan lain-lain. Kebiasaan anak-anak mengkonsumsi jajanan

secara bebas, ditambah anak-anak tidak melakukan cuci tangan pakai sabun sebelum

makan akan mengakibatkan berbagai kuman penyebab penyakit mudah masuk ke

dalam tubuh, karena tangan adalah bagian tubuh kita yang paling banyak tercemar

kotoran dan bibit penyakit. Jika masalah ini tidak diperhatikan, maka akan

meningkatkan resiko penyakit. Sehingga dengan cuci tangan menggunakan sabun dapat

menghilangkan sejumlah besar virus dan bakteri yang menjadi penyebab berbagai

penyakit, terutama penyakit yang menyerang saluran cerna, seperti diare dan penyakit

infeksi saluran nafas akut (Risnawaty, 2016).

2.2.3 Manfaat Cuci Tangan

Mencuci tangan menggunakan air dan sabun yang dipraktikkan secara tepat dan

benar dapat mencegah terjangkitnya penyakit, dapat menghilangkan atau mengurangi

organisme yang menempel ditangan. Mencuci tangan dengan sabun non anti mikroba

(sabun biasa) selama 15 detik dapat mengurangi jumlah bakteri 0.6 – 1.1 log 10.

Sedangkan mencuci tangan dengan sabun selama 30 detik dapat mengurangi kuman

1.8 – 2. Selain itu, manfaat positif lain dari mencuci tangan adalah tangan menjadi

bersih dan wangi (Hudzaifah, 2017).

2.2.4 Indikasi Waktu Cuci Tangan

Indikasi waktu untuk mencuci tangan menurut (Hudzaifah, 2017) waktu yang

tepat untuk cuci tangan pakai sabun adalah: (1) sebelum dan sesudah makan, (2)

sebelum memegang makanan, (3) sebelum melakukan kegiatan jari-jari kedalam mulut

18

atau mata, (4) setelah bermain dan berolahraga, (5) setelah buang air besar (BAB) dan

buang air kecil (BAK), (6) setelah buang ingus, (7) setelah buang sampah, (8) setelah

menyentuh hewan/unggas termasuk hewan peliharaan, dan (9) sebelum mengobati

luka.

2.2.5 Teknik Mencuci Tangan yang Benar

Berikut sebelas cara mencuci tangan yang benar menurut WHO 2009 :

1. Buka kran air dan basuh kedua tangan.

2. Gunakan sabun cair atau batang.

3. Gosok kedua telapak tangan hingga timbul busa pada seluruh permukaan

tangan.

4. Gosok punggung tangan dan sela-sela jari pada tangan kanan dan kiri.

5. Gosok telapak tangan dan sela-sela jari.

6. Gosok ujung jari ke telapak tangan.

7. Gosok ibu jari pada tangan kanan dan kiri.

8. Gosok seluruh ujung jari tangan ke telapak tangan pada tangan kanan dan

kiri.

9. Bilas kedua tangan dengan air bersih mengalir.

10. Keringkan kedua tangan dengan tisu atau handuk.

11. Matikan kran.

19

Sumber: (Rahayu, 2016)

Gambar 2.1 Tata Cara Mencuci Tangan dengan Baik dan Benar

20

2.3 Konsep Anak Berkebutuhan Khusus

2.3.1 Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus

Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memerlukan penanganan khusus

karena adanya gangguan perkembangan dan kelainan yang dialami anak. Berkaitan

dengan istilah disability, maka anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki

keterbatasan di salah satu atau beberapa kemampuan baik itu bersifat fisik seperti

tunanetra dan tunarungu, maupun bersifat psikologis seperti autism dan ADHD.

Pengertian lainnya bersinggungan dengan istilah tumbuh-kembang normal dan

abnormal, pada anak berkebutuhan khusus bersifat abnormal, yaitu terdapat

penundaan tumbuh kembang yang biasanya tampak di usia balita seperti baru bisa

berjalan di usia 3 tahun. Hal lain yang menjadi dasar anak tergolong berkebutuhan

khusus yaitu ciri-ciri tumbuh-kembang anak yang tidak muncul (absent) sesuai usia

perkembangannya seperti belum mampu mengucapkan satu katapun di usia 3 tahun,

atau terdapat penyimpangan tumbuh-kembang seperti perilaku echolalia atau membeo

pada anak autis. Pemahaman anak berkebutuhan khusus terhadap konteks, ada yang

bersifat biologis, psikologis, sosio-kultural. Dasar biologis anak berkebutuhan khusus

bisa dikaitkan dengan kelainan genetik dan menjelaskan secara biologis penggolongan

anak berkebutuhan khusus, seperti brain injury yang bisa mengakibatkan kecacatan

tunaganda. Dalam konteks psikologis, anak berkebutuhan khusus lebih mudah dikenali

dari sikap dan perilaku, seperti gangguan pada kemampuan belajar pada anak slow

learner, gangguan kemampuan emosional dan berinteraksi pada anak autis, gangguan

kemampuan berbicara pada anak autis dan ADHD. Konsep sosio-kultural mengenal

anak berkebutuhan khusus sebagai anak dengan kemampuan dan perilaku yang tidak

pada umumnya, sehingga memerlukan penanganan khusus (Ratri Desiningum, 2016).

Secara umum dapat disimpulkan bahwa anak berkebutuhan khusus adalah anak

21

dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu

menunjukkan pada ketidak mampuan mental, emosi atau fisik. Istilah lain bagi anak

berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa dan anak cacat. Anak dengan kebutuhan

khusus (special needs children) dapat diartikan secara simpel sebagai anak yang lambat

(slow) atau mangalami gangguan (retarded) yang sangat sukar untuk berhasil di sekolah

sebagaimana anak-anak pada umumnya. Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang

secara pendidikan memerlukan layanan yang spesifik yang berbeda dengan anak-anak

pada umumnya. Banyak istilah yang dipergunakan sebagai variasi dari kebutuhan

khusus, seperti disability, impairment, dan handicap. Menurut World Health

Organization (WHO), definisi masing-masing istilah adalah sebagai berikut: Disability

yaitu keterbatasan atau kurangnya kemampuan (yang dihasilkan dari impairment)

untuk menampilkan aktivitas sesuai dengan aturannya atau masih dalam batas normal,

biasanya digunakan dalam level individu. Impairment yaitu kehilangan atau

ketidaknormalan dalam hal psikologis, atau struktur anatomi atau fungsinya, biasanya

digunakan pada level organ. Handicap yaitu ketidak beruntungan individu yang

dihasilkan dari impairment atau disability yang membatasi atau meng- hambat

pemenuhan peran yang normal pada individu (Ratri Desiningum, 2016).

2.3.2 Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus

Klasifikasi dari anak berkebutuhan khusus menurut (Ratri Desiningum, 2016)

adalah:

1. Anak dengan Gangguan Fisik:

1) Tunanetra, yaitu anak yang indera penglihatannya tidak berfungsi

(blind/low vision) sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan

sehari-hari seperti orang awas.

2) Tunarungu, yaitu anak yang kehilangan seluruh atau sebagian daya

22

pendengarannya sehingga tidak atau kurang mampu berkomunikasi secara

verbal.

3) Tunadaksa, yaitu anak yang mengalami kelainan atau cacat yang menetap

pada alat gerak (tulang, sendi dan otot).

2. Anak dengan Gangguan Emosi dan Perilaku:

1) Tunalaras, yaitu anak yang mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri

dan bertingkah laku tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku.

2) Anak dengan gangguan komunikasi bisa disebut tunawicara, yaitu anak

yang mengalami kelainan suara,artikulasi (pengucapan), atau kelancaran

bicara,yang mengakibatkan terjadi penyimpangan bentuk bahasa,isi

bahasa,atau fungsi bahasa.

3) Hiperaktif, secara psikologis hiperaktif adalah gangguan tingkah laku yang

tidak normal, disebabkan disfungsi neurologis dengan gejala utama tidak

mampu mengendalikan gerakan dan memusatkan perhatian.

3. Anak dengan Gangguan Intelektual:

1) Tunagrahita, yaitu anak yang secara nyata mengalami hambatan dan

keterbelakangan perkembangan mental intelektual jauh dibawah rata-rata

sehingga mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik, komunikasi

maupun sosial.

2) Anak Lamban belajar (slow learner), yaitu anak yang memiliki potensi

intelektual sedikit di bawah normal tetapi belum termasuk tunagrahita

(biasanya memiliki IQ sekitar 70-90).

3) Anak berkesulitan belajar khusus, yaitu anak yang secara nyata mengalami

kesulitan dalam tugas- tugas akademik khusus, terutama dalam hal

kemampuan membaca,menulis dan berhitung atau matematika.

23

4) Anak berbakat, adalah anak yang memiliki bakat atau kemampuan dan

kecerdasan luar biasa yaitu anak yang memiliki potensi kecerdasan

(intelegensi), kreativitas, dan tanggung jawab terhadap tugas (task

commitment) diatas anak-anak seusianya (anak normal), sehingga untuk

mewujudkan potensinya menjadi prestasi nyata, memerlukan pelayanan

pendidikan khusus.

5) Autisme, yaitu gangguan perkembangan anak yang disebabkan oleh

adanya gangguan pada sistem syaraf pusat yang mengakibatkan gangguan

dalam interaksi sosial, komunikasi dan perilaku.

6) Indigo adalah manusia yang sejak lahir mempunyai kelebihan khusus yang

tidak dimiliki manusia pada umumnya.

2.4 Tuna Grahita

2.4.1 Definisi Tuna Grahita

Tunagrahita mempunyai kelainan mental, atau tingkah laku akibat kecerdasan

yang terganggu. Tunagrahita dapat berupa cacat ganda, yaitu cacat mental yang

dibarengi dengan cacat fisik. Misalnya cacat intelegensi yang mereka alami disertai

dengan kelainan penglihatan (cacat mata). Ada juga yang disertai dengan gangguan

pendengaran. Tidak semua anak tunagrahita memiliki cacat fisik. Contohnya pada

tunagrahita ringan. Masalah tunagrahita ringan lebih banyak pada kemampuan daya

tangkap yang kurang (Ratri Desiningum, 2016). Tunagrahita menurut (Sari, Binahayati,

& Muhammad, 2017) merupakan anak yang memiliki inteligensi yang signifkan berada

dibawah rata-rata dan disertai dengan ketidakmampuan dalam adaptasi perilaku yang

muncul dalam masa perkembangan.

24

2.4.2 Klasifikasi Tunagrahita

Klasifikasi tunagrahita menurut (Ratri Desiningum, 2016) adalah :

1. Intelektual. Tingkat kecerdasan tunagrahita selalu dibawah rata-rata anak yang

berusia sama, perkembangan kecerdasannya juga sangat terbatas. Mereka hanya

mampu mencapai tingkat usia mental setingkat anak SD kelas IV, atau kelas II,

bahkan ada yang hanya mampu mencapai tingkat usia mental anak pra sekolah.

2. Segi Sosial. Kemampuan bidang sosial anak tunagrahita mengalami

kelambatan. Hal ini ditunjukkan dengan kemampuan anak tunagrahita yang

rendah dalam hal mengurus, memelihara, dan memimpin diri, sehingga tidak

mampu bersosialisasi.

3. Ciri pada Fungsi Mental Lainnya. Anak tunagrahita mengalami kesukaran

dalam memusatkan perhatian, jangkauan perhatiannya sangat sempit dan cepat

beralih sehingga kurang mampu menghadapi tugas.

4. Ciri Dorongan dan Emosi. Perkembangan dorongan emosi anak tunagrahita

berbeda-beda sesuai dengan ketunagrahitaannya masing-masing. Anak yang

berat dan sangat berat ketunagrahitaannya hampir tidak memperlihatkan

dorongan untuk mempertahankan diri, dalam keadaan haus dan lapar tidak

menunjukkan tanda-tandanya, ketika mendapat stimulus yang menyakitkan

tidak mampu menjauhkan diri dari stimulus tersebut. Kehidupan emosinya

lemah, dorongan biologisnya dapat berkembang tetapi peng-hayatannya

terbatas pada perasaan senang, takut, marah, dan benci.

5. Ciri Kemampuan dalam Bahasa. Kemampuan bahasa anak tunagrahita sangat

terbatas terutama pada perbendaharaan kata abstrak. Pada anak yang

ketunagrahitaannya semakin berat banyak yang mengalami gangguan bicara

disebabkan cacat artikulasi dan masalah dalam pembentukan bunyi di pita suara

25

dan rongga mulut.

6. Ciri Kemampuan dalam Bidang Akademis. Anak tunagrahita sulit mencapai

bidang akademis membaca dan kemampuan menghitung yang problematis,

tetapi dapat dilatih dalam kemampuan dasar menghitung umum.

7. Ciri Kepribadian dan Kemampuan Organisasi. Dari berbagai penelitian oleh

Leahy, Balla, dan Zigler (Hallahan & Kauffman, 1988) disebutkan bahwa

terkait kepribadian anak tunagrahita umumnya tidak memiliki kepercayaan diri,

tidak mampu mengontrol dan mengarahkan dirinya sehingga lebih banyak

bergantung pada pihak luar (external locus of control). Kemampuan anak

tunagrahita untuk mengorganisasi keadaan dirinya sangat jelek, terutama pada

anak tunagrahita dengan kategori berat. Hal ini ditunjukkan dengan baru dapat

berjalan dan berbicara pada usia jauh lebih tua daripada anak normal, sikap

gerak langkahnya kurang serasi, pendengaran dan penglihatannya seringkali

tidak dapat difungsikan, kurang rentan terhadap beberapa hal seperti perasaan

sakit, bau yang tidak enak, serta makanan yang tidak enak.

2.4.3 Karakteristik Tunagrahita Berdasar IQ

Menurut (Ratri Desiningum, 2016) karakterisitik tunagrahitaan mengacu pada

intelektual umum yang secara signifikan berada di bawah rata-rata. Para tunagrahita

mengalami hambatan dalam tingkah laku dan penyesuaian diri. Semua itu berlangsung

atau terjadi pada masa perkembangannya. Seseorang dikatakan tunagrahita apabila

memiliki tiga indikator, yaitu: (1) Keterhambatan fungsi kecerdasan secara umum atau

di bawah rata-rata, (2) Ketidakmampuan dalam perilaku sosial/adaptif, dan (3)

Hambatan perilaku sosial/adaptif terjadi pada usia perkembangan yaitu sampai dengan

usia 18 tahun.

26

Menurut (Putri, 2012) karakteristik anak tunagrahita meliputi hal-hal sebagai

berikut: 1)Mempunyai dasar secara fisiologis, sosial dan emosional sama seperti anak-

anak yang tidak menyandang tunagrahita, 2) Suka meniru perlakuan yang benar dari

orang lain dalam upaya mengatasi kesalahan-kesalan yang mungkin ia lakukan, 3)

Mempunyai prilaku yang tidak dapat mengatur diri sendiri, 4) Mempunyai

permasalahan berkaitan dengan prilaku sosial, 5) Mempunyai masalah berkaitan

dengan karakteristik belajar, 6) Mempunyai masalah dalam bahasa dan pengucapan, 7)

Mempunyai masalah dalam kesehatan fisik, 8) Kurang mampu untuk berkomonikasi,

9) Mempunyai kelainan pada sensori dan gerak.

Tingkat kecerdasan seseorang diukur melalui tes inteligensi yang hasilnya

disebut dengan IQ (intelligence quotient). Tingkat kecerdasan biasa dikelompokkan

ke dalam tingkatan sebagai berikut:

1. Tunagrahita ringan memiliki IQ 70-55

2. Tunagrahita sedang memiliki IQ 55-40

3. Tunagrahita berat memiliki IQ 40-25

4. Tunagrahita berat sekali memiliki IQ <25

2.4.4 Faktor Penyebab Anak Tunagrahita

Berikut ini beberapa penyebab ketunagrahitaan menurut (Ratri Desiningum,

2016) yang sering ditemukan baik yang berasal dari faktor keturunan maupun faktor

lingkungan:

1. Faktor Keturunan

1) Kelainan kromosom dapat dilihat dari bentuk dan nomornya. Dilihat dari

bentuk dapat berupa inversiatau kelainan yang menyebabkan berubahnya

urutan gen karena melihatnya kromosom; delesi (kegagalan meiosis), yaitu

salah satu pasangan sel tidak membelah sehingga terjadi kekurangan

27

kromosom pada salah satu sel; duplikasi yaitu kromosom tidak berhasil

memisahkan diri sehingga terjadi kelebihan kromosom pada salah satu sel

lainnya; translokasi, yaitu adanya kromosom yang patah dan patahannya

menempel pada kromosom lain.

2) Kelainan gen. Kelainan ini terjadi pada waktu imunisasi, tidak selamanya

tampak dari luar namun tetap dalam tingkat genotif.

2. Gangguan Metabolisme dan Gizi

Metabolisme dan gizi merupakan faktor yang sangat penting dalam

perkembangan individu terutama perkembangan sel-sel otak. Kegagalan

metabolisme dan kegagalan pemenuhan kebutuhan gizi dapat mengakibatkan

terjadinya gangguan fisik dan mental pada individu.

3. Infeksi dan Keracunan

Keadaan ini disebabkan oleh terjangkitnya penyakit-penyakit selama janin

masih berada didalam kandungan. Penyakit yang dimaksud antara lain rubella

yang mengakibatkan ketunagrahitaan serta adanya kelainan pendengaran,

penyakit jantung bawaan, berat badan sangat kurang ketika lahir, syphilis

bawaan, syndrome gravidity beracun.

4. Trauma dan Zat Radioaktif

Terjadinya trauma terutama pada otak ketika bayi dilahirkan atau terkena radiasi

zat radioaktif saat hamil dapat mengakibatkan ketunagrahitaan. Trauma yang

terjadi pada saat dilahirkan biasanya disebabkan oleh kelahiran yang sulit

sehingga memerlukan alat bantuan. Ketidaktepatan penyinaran atau radiasi

sinar X selama bayi dalam kandungan mengakibatkan cacat mental

microsephaly.

28

2.4.5 Kebutuhan Pendidikan Anak Tunagrahita

Berikut beberapa landasan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan bagi anak

tunagrahita menurut (Ratri Desiningum, 2016) yaitu:

1. Adanya kebutuhan pendidikan bagi anak tunagrahita. Anak tunagrahita

sebagaimana manusia lainnya, bahwa mereka dapat dididik dan mendidik. Anak

tunagrahita ringan mendidik diri sendiri dalam hal-hal sederhana, misalnya cara

makan-minum bahkan dapat belajar hingga tingkat SD, dan anak tunagrahita

sedang, berat, dan sangat berat dapat dididik dengan mengaktualisasikan

potensi yang dimiliki, misalnya menggulung benang.

2. Perlunya pencapaian kebutuhan pendidikan bagi anak tunagrahita. Landasan

ini meliputi: landasan agama dan perikemanusiaan yang mengakui bahwa tiap

insan wajib bertakwa kepada Tuhan dan memiliki hak yang sama dalam

memperoleh pendidikan, landasan falsafah bangsa, landasan hukum positif,

landasan sosial ekonomi dan martabat bangsa.

3. Cara untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anak tunagrahita. Cara

memenuhi kebutuhan pendidikan ini meliputi: persamaan hak dengan anak

normal, perbedaan individual harus didasarkan pada karateristik kebutuhan

anak secara khusus, didasarkan pada keterampilan praktis, sikap rasional dan

wajar.

2.4.6 Tujuan Pendidikan Anak Tunagrahita

Tujuan pendidikan anak tunagrahita adalah, sebagai berikut:

1. Tujuan pendidikan anak tunagrahita ringan adalah agar anak dapat mengurus

dan membina diri, serta dapat bergaul di masyarakat.

2. Tujuan pendidikan anak tunagrahita sedang adalah agar anak dapat mengurus

diri; seperti makan- minum, dan dapat bergaul dengan anggota keluarga dan

29

tetangga.

3. Tujuan pendidikan anak tunagrahita berat dan sangat berat adalah agar dapat

mengurus diri secara sederhana seperti memberi tanda atau kata-kata ketika

menginginkan sesuatu, seperti makan dan buang air.

2.5 Efektifitas Pendidikan Kesehatan Menggunakan media audiovisual

terhadap kemampuan psikomotor cuci tangan pada Anak

Berkebutuhan Khusus (tunagrahita)

Pengunaan pendidikan dengan media audiovisual ialah media yang dapat

menampilkan unsur gambar dan suara secara bersama, sehingga lebih menarik

perhatian anak untuk melakukan suatu pengindraan ke media audiovisual yang sudah

diputarkan tersebut, dan adanya media audiovisual dapat memberi stimulus secara

sukarela dan tanpa paksaan sehingga anak mampu menirukan apa yang sudah di

putarkan dalam media audiovisual tersebut (Suryaningsiha, 2018).

Menurut (Adriani, 2014) Proses pembelajaran yang nyata dapat dilakukan

melalui kombinasi antara media audio dan media visual yang memungkinkan siswa

untuk menerima pesan pembelajaran melalui pendengaran dan memungkinkan

penciptaan pesan belajar melalui visualisasi, media ini dikenal sebagai media pandang-

dengar atau disebut media audio visual. Pendidikan kesehatan dengan media audio

visual juga diketahui dapat meningkatkan pengetahuan, sikap, dan perilaku. Sehingga

metode yang sekiranya tepat untuk mengembangkan pengetahuan dan praktik cuci

tangan pada anak berkebutuhan khusus tunagrahita.

Menggunakan metode pembelajaran yang efektif dan menarik, diharapkan anak

termotivasi untuk belajar dan dapat membantu meningkatkan pengetahuan dan praktik

pada anak berkebutuhan khusus tunagrahita. Maka dalam proses pembelajaran

diperlukan media pelajaran sebagai alat bantu untuk mempermudah menyampaikan

30

materi pelajaran. Media pembelajaran disesuaikan dengan kemampuan anak

berkebutuhan khusus tunagrahita sehingga mereka dapat mencapai hasil yang optimal

dan pada akhirnya akan muncul rasa percaya diri. Salah satu cara untuk memberikan

informasi dan mendorong anak berkebutuhan khusus tunagrahita agar mau

meningkatkan pengetahuan dan praktik adalah dengan memberikan metode

pengajaran berulang dengan media audiovisual. Media audiovisual dengan pembahasan

mengenai video edukasi mencuci tangan dengan benar menurut WHO. Dengan adanya

metode audiovisual diharapkan mampu meningkatkan pengetahuan dan praktik

mencuci tangan pada anak tunagrahita.