bab ii. tinjauan pustaka 2.1 keanekaragaman hayati menurut
TRANSCRIPT
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Keanekaragaman Hayati
Menurut KTT Bumi 1992 di Rio de Janeiro (Yencken dan Henry, 2010)
keanekaragaman hayati (biodiversity) didefinisikan sebagai: the variability among
living organism from all sources, including inter alia, terrestrial marine, and
other aquatic ecosystem, and the ecological complexes of which they are part:this
includes diversity within species, between species and ecosystem. Definisi ini
diadopsi oleh United Nations Convention on Biological Diversity (1993) yang
ditandatangani oleh hampir seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia.
United Nations Convention on Biological Diversity atau Konvensi PBB
mengenai Keanekaragaman Hayati (KKH) mulai berlaku di Indonesia sejak tahun
1994, melalui ratifikasi dalam bentuk UU No.5/1994. Kementerian Lingkungan
Hidup (KLH) adalah focal point nasional bagi pelaksanaan KKH. Tujuan utama
dari KKH yaitu: konservasi keanekaragaman hayati, pemanfaatan berkelanjutan
dari komponennya, dan pembagian keuntungan yang adil dan merata dari
pengguna sumber daya genetik, termasuk akses yang memadai serta alih
teknologi, dan melalui sumber pendanaan yang sesuai (UNEP, 2010; Yencken dan
Henry, 2010).
Pada Mei 2010, Global Biodiversity Outlook edisi ketiga dilaksanakan.
Kegiatan ini menyoroti pokok permasalahan yang sama dan beberapa kasus
kehilangan keanekaragaman hayati yang semakin intensif. Kehilangan habitat,
pemanfaatan yang tidak lestari, dan eksploitasi yang berlebihan, perubahan iklim,
spesies asing invasive, dan polusi terus menerus menjadi ancaman yang paling
Universitas Sumatera Utara
besar bagi semua negara. KTT CBD yang terakhir, dilaksanakan pada Oktober
2010 di Nagoya Jepang. KTT ini menyetujui adanya beberapa langkah untuk
menjamin ekosistem di planet ini akan berlanjut untuk umat manusia pada masa
yang akan datang. Langkah-langkah tersebut meliputi (Yencken dan Henry,
2010):
- mengadopsi rencana sepuluh tahun yang baru, yaitu Strategic Plan of the
Convention on Biological Diversity (juga dikenal sebagai Target Aichi)
untuk menjadi pedoman dalam upaya skala internasional dan nasional;
- mengadopsi strategi untuk meningkatkan secara substansial keadaan saat
ini untuk membantu pengembangan dalam mendukung keanekaragaman
hayati;
- mengadopsi protokol internasional yang baru untuk menjamin pembagian
keuntungan secara adil dari pemanfaatan sumberdaya genetik bumi.
Target Taichi akan dijadikan kerangka yang sangat penting pada keanekaragaman
hayati untuk PBB dan diharapkan dapat diimplementasikan pada tingkat lokal,
nasional dan internasional pada tahun 2012 (Yencken dan Henry, 2010).
2.2 Ancaman Keanekaragaman Hayati
Conservation International mempertimbangkan Indonesia sebagai salah
satu dari 17 negara megabiodiversity, termasuk dalam dua wilayah 25 hotspots
keanekaragaman hayati dunia untuk prioritas konservasi (Gambar 2.1.)(Myers et
al., 2000; ASEAN Center for Biodiversity, 2010). Sekitar 17.000 pulau di
Indonesia terbentang antara kawasan Indo Malaya dan Australasia. Kepulauan
Indonesia memiliki tujuh kawasan biogeografi utama keanekaragaman tipe-tipe
Universitas Sumatera Utara
habitat yang luar biasa. Banyak pulau yang terisolisasi selama ribuan tahun,
sehingga memiliki tingkat endemik yang tinggi.
Gambar 2.1. Sebaran 25 hotspot dunia, memiliki luasan 30 ± 3% dari area
merah (Sumber: Myers et al. (2000)) Perbandingan kekayaan biotis dan endemisme di seluruh Indonesia
disajikan pada Tabel 2.1. Sumatera, Borneo dan Irian Jaya merupakan pulau
yang mempunyai kekayaan jenis tinggi dibanding pulau-pulau lainnya, demikian
juga dari persen endemismenya.
Tabel 2.1. Perbandingan kekayaan biotis dan endemisme di seluruh Indonesia
Pulau
Tumbuhan direvisi Mamalia Burung penetap Reptilia
Kekayaan
Jenis
% Endemis
me
Kekayaan
Jenis
% endemis
me
Kekayaan
jenis
% endemis
me
Kekayaan
jenis
% endemisme
Sumatera 820 11 221 10 465 2 217 11 Jawa+Bali 630 5 113 12 362 7 173 8 Borneo 900 34 221 19 358 10 254 24 Sulawesi 520 7 127 62 289 32 117 26 Nusa Tenggara 150 3 41 12 242 30 77 22 Maluku 380 6 69 17 210 33 98 18 Irian Jaya 1.030 55 125 58 602 52 223 35
Sumber: MacKinnon dalam MacKinnon et al., 2000
Saat ini keanekaragaman hayati Indonesia mengalami ancaman yang
serius, seiring dengan laju kehilangan hutan setiap tahunnya. Tekanan terus
menerus terhadap keanekaragam hayati Indonesia yang unik berasal dari tingginya
laju perubahan habitat, deforestasi, eksploitasi yang berlebihan, kebakaran hutan,
Universitas Sumatera Utara
penebangan illegal dan perdagangan untuk mempercepat laju ekonomi, tingginya
pertumbuhan penduduk dan institusi yang korup (Bappenas, 2003). Forest Watch
Indonesia/Global Forest Watch (2001) melaporkan bahwa pada tahun 1980-an
laju kehilangan hutan mencapai 1 juta ha per tahun, pada awal 1990-an 1,7 juta ha
per tahun dan terus meningkat mencapai 2 juta ha per tahun pada tahun 1996.
Sejak era reformasi, laju kehilangan hutan terus semakin meningkat, dan pada
tahun 2003 mencapai angka tertinggi di dunia yaitu 2,4 juta ha/th (USAID, 2004),
namun mengalami penurunan pada tahun 2006 menjadi sekitar 1,09 juta ha/th
(Departemen Kehutanan, 2009) dan data terbaru menunjukkan 0,8 juta ha/th
(Kementerian Kehutanan, 2012).
Penelitian Budiharta et al. (2011) membedakan ancaman terhadap 5 grup
tanaman yang terdiri atas: palem (Arecaceae, 60 spesies), anggrek (Orchidaceae,
52 spesies), pohon (57 spesies), semak (41 spesies) dan lain-lain (30 spesies)
menjadi 4 ancaman besar. Ancaman tersebut adalah kehilangan habitat
(penurunan ukuran dan kualitas habitat), eksploitasi berlebihan, faktor biologi
(karakter instrinsik biologi spesies yang rentan terhadap penurunan populasi), dan
faktor alam. Ternyata faktor intrinsik biologi dan kehilangan habitat menempati
porsi terbesar, yaitu 83 dan 82%, sementara eksploitasi berlebihan 64% dan faktor
alam 6%.
Hal tersebut tidak jauh berbeda dengan Primack et al. (1998) yang
menyatakan bahwa berbagai ancaman kepunahan spesies disebabkan oleh
kegiatan manusia dan juga ciri atau karakter spesies itu sendiri. Ancaman utama
pada keanekaragam hayati yang disebabkan oleh kegiatan manusia dibedakan
menjadi: perusakan habitat, fragmentasi habitat, gangguan pada habitat (termasuk
Universitas Sumatera Utara
populasi), penggunaan spesies yang berlebihan untuk kepentingan manusia,
introduksi spesies-spesies eksotik dan penyebaran penyakit. Sedangkan spesies-
spesies yang rentan terhadap kepunahan biasanya mempunyai salah satu karakter
sebagai berikut: spesies dengan sebaran geografis yang sempit, spesies yang
terdiri dari salah satu atau beberapa populasi, spesies yang memiliki ukuran
populasi yang kecil, spesies yang ukuran populasinya menurun, spesies yang
memiliki densitas yang rendah, spesies yang memerlukan wilayah jelajah yang
luas, spesies yang tidak memiliki kemampuan menyebar yang baik, spesies yang
bermigrasi musiman, spesies dengan keanekaragaman genetik yang rendah,
spesies yang memiliki relung tertentu, spesies yang hanya dijumpai pada
lingkungan yang stabil, spesies yang membentuk kelompok secara tetap atau
sementara dan spesies yang diburu atau dipanen manusia.
2.3 Definisi Endemik, Langka dan Terancam Punah
Istilah endemisme, langka (rare) dan terancam punah (endangered)
seringkali dianggap sama, penting untuk disadari bahwa ketiga istilah tersebut
menggambarkan aspek biogeografi yang berbeda. Dikatakan endemik apabila
sebarannya terbatas pada suatu lokasi tertentu, langka (rare) mengacu pada
sedikitnya jumlah yang ditemui dan terancam punah (endangered) mengacu pada
keterancaman menuju kepunahan (Estill dan Cruzan, 2001).
Menurut Daubenmire (1978) dalam Estill dan Kruzan (2001) terdapat 4
tipe endemisme yang dibedakan berdasarkan mekanisme sebaran endemiknya.
Yang pertama adalah paleoendemics merupakan spesies-spesies yang tersisa dari
sebaran takson yang luas, neoendemics mewakili turunan taksa baru yang
mungkin meningkat sebarannya seiring dengan waktu. Insular endemics adalah
Universitas Sumatera Utara
spesies yang dihasilkan dari suatu isolasi dalam waktu yang lama, misalnya
spesies endemik di Kepulauan Hawai. Tipe endemisme yang terakhir adalah
ecological endemics, yaitu taksa yang telah berevolusi dalam lingkungan yang
spesifik secara ketat dan membatasi diri dari koloni di luar area habitatnya yang
spesifik.
Para konservasionis telah lama menggunakan data geografi
keanekaragaman hayati untuk menentukan prioritas untuk area yang dilindungi
(Brooks et al., 2006 dalam Young, 2007). Masukan penting untuk analisis
tersebut meliputi data spesies endemik dan spesies yang terancam punah. Spesies
terancam punah memerlukan tindakan khusus atau kalau tidak mereka akan punah
selamanya. Spesies endemik juga memerlukan perhatian karena terbatasnya
sebaran dan sebagai konsekuensinya dapat menjadi terancam punah. Apabila
habitat yang dibutuhkan tidak terpenuhi, populasinya akan menurun dan habis
(Young, 2007).
2.4 Konservasi
Konservasi diartikan sebagai pengelolaan biosphere secara bijaksana bagi
keperluan manusia, sehingga menghasilkan manfaat secara berkelanjutan bagi
generasi kini dan menetapkan potensi untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi
generasi mendatang (Alikodra, 2012). Strategi Konservasi Dunia yang
dikeluarkan bersama oleh IUCN, WWF dan UNEP pada tahun 1980
menganjurkan konservasi sumberdaya kehidupan sebagai bagian yang penting
untuk pembangunan yang berkelanjutan, melalui (MacKinnon et al., 2000):
Universitas Sumatera Utara
- Pemeliharaan proses-proses ekologis yang penting dan sistem penunjang
kehidupan yang merupakan sumber kelangsungan hidup manusia dan
pembangunan
- Pengawetan keragaman genetika yang merupakan sumber program
pemuliaan yang perlu untuk melindungi dan memperbaiki tumbuhan yang
dibudidayakan dan binatang yang dijinakkan, juga untuk kemajuan ilmu
pengetahuan, inovasi teknis, dan banyak industri yang menggunakan
sumberdaya kehidupan
- Menjamin penggunaan secara berkelanjutan jenis-jenis dan ekosistem-
ekosistem yang menunjang berjuta-juta masyarakat manusia dan juga
industri-industri utama
Menyadari berkembangnya proses penyusutan keanekaragaman hayati
Indonesia di semua tingkatannya, maka pemerintah berupaya agar laju
penyusutannya dapat dikurangi dengan jalan menyisihkan areal hutan alam untuk
kawasan pelestarian. Di dalam areal seperti itu keanekaragaman hayati
diharapkan dapat dipertahankan secara in situ (di tempat habitat aslinya). Pada
akhir-akhir ini, untuk melebarkan usaha pelestarian keanekaragaman hayati,
Indonesia juga telah mengembangkan konsep pelestarian keanekaragaman hayati
di luar kawasan konservasi (ex situ)(Primack et al., 1998).
Sistem kawasan konservasi tersebut secara hukum dibuat berdasarkan
ketentuan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya
Alam dan Ekosistemnya. Di sini ditentukan berbagai jenis kawasan konservasi
dengan berbagai tujuan dan karakteristiknya.
Universitas Sumatera Utara
Kawasan yang dimaksud meliputi Cagar Alam yang terdiri dari Cagar
Alam Ketat dan Suaka Margasatwa dan Kawasan Konservasi Alam (Taman
Nasional, Taman Hutan Raya, Taman Rekreasi Alam). Dalam Undang-Undang
ini juga ditetapkan penetapan zona pengelolaan, penetapan Cagar Alam Biosfer,
perlindungan terhadap spesies langka dan terancam punah, dan mengacu pada
Daerah Penyangga. Definisi istilah-istilah tersebut adalah sebagai berikut:
- Cagar Alam: suatu kawasan daratan atau perairan yang memiliki cagar
alam sebagi fungsi utamanya yaitu melestarikan keanekaragaman hayati
tumbuhan dan binatang serta sebagai suatu ekosistem yang juga berfungsi
sebagai sistem penunjang kehidupan
- Cagar Alam Ketat: merupakan kawasan cagar alam yang memiliki
serangkaian tumbuhan, binatang dan ekosistem yang khas, yang
harus dilindungi dan dibiarkan berkembang secara alamiah.
- Suaka Margasatwa: merupakan suatu kawasan cagar alam yang
memiliki keanekaragaman spesies bernilai tinggi atau unik, tempat
pengelolaan habitat bisa diterapkan, dengan maksud menjamin
keberadaan dan kelangsungan hidupnya.
- Kawasan Konservasi Alam: merupakan suatu kawasan daratan atau
perairan yang fungsi utamanya adalah melestarikan keanekaragaman
spesies tumbuhan dan binatang, serta memberikan pemanfaatan
sumberdaya hidup dan ekosistemnya secara berkelanjutan.
- Taman Nasional: merupakan kawasan konservasi alam yang
memiliki ekosistem asli, dan yang dikelola melalui suatu sistem
zonasi untuk memudahkan riset, kepentingan ilmu pengetahuan,
Universitas Sumatera Utara
pendidikan, peningkatan perkembangbiakan, rekreasi dan
pariwisata
- Taman Hutan Raya: merupakan kawasan konservasi alam yang
berfungsi menyediakan berbagai jenis tumbuhan dan binatang asli
dan atau bukan asli untuk kepentingan penelitian, ilmu
pengetahuan, pendidikan, peningkatan perkembangbiakan,
kebudayaan, rekreasi dan pariwisata
- Taman Rekreasi Alam: merupakan suatu kawasan konservasi alam
yang terutama dimaksudkan untuk kepentingan rekreasi dan
pariwisata
Selain pelestarian secara in situ, perlu juga dilaksanakan pelestarian ex
situ. Hal ini diperlukan untuk melengkapi usaha pelestarian in situ di atas.
Bentuk-bentuk pelestarian secara ex situ misalnya: kebun raya, kebun binatang,
kebun-kebun koleksi tanaman, dan lain-lain.
Kawasan konservasi di Indonesia mengalami peningkatan dibandingkan
dengan tahun 1981 yang hanya sekitar 7.628 juta hektar (ASEAN Center for
Biodiversity, 2010). Luas dan fungsi serta jumlah kawasan konservasi di
Indonesia disajikan pada Tabel 2.2.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2. Fungsi, jumlah dan luas kawasan konservasi di Indonesia Fungsi Jumlah (Unit) Luas (Ha)
Cagar Alam Cagar Alam Laut Suaka Margasatwa Suaka Margasatwa Laut Taman Nasional Taman Nasional Laut Taman Wisata Alam Taman Wisata Alam Laut Taman Buru Taman Hutan Raya
239 6 71 4 43 7
102 14 13 22
4.330.619,96 154.610,00
5.024.138,29 5.588,25
12.328.523,34 4.043.541,30 257.418,85 491.248,00 220.951,44 350.090,41
Luas Total 521 27.206.729,84 Sumber: Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung, 2010
Indonesia juga telah meratifikasi berbagai kesepakatan lingkungan
multilateral (Multilateral Environment Agreement). Berbagai kesepakatan yang
telah diratifikasi tersebut adalah CITES (Convention on International Trade of
Endangered Species) pada tahun 1979; World Heritage Convention, pada tahun
1989; Convention Wetlands of International Importance (RAMSAR), pada tahun
1992; Convention on Biological Diversity pada tahun 1994; dan Cartagena
Protocol on Biosafety pada tahun 2005 (ASEAN Center for Biodiversity, 2010).
Dalam skala regional, telah pula ditandatangani Deklarasi Heart of Borneo (HoB)
pada tanggal 12 Februari 2007 di Bali antara Indonesia, Brunei dan Malaysia
untuk menyelamatkan kawasan jantung Kalimantan yang terletak di perbatasan.
Saat ini pemerintah sedang mempertimbangkan untuk penandatanganan
kesepakatan ASEAN Heritage Park (Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina
Hutan Lindung, 2011).
Universitas Sumatera Utara
2.5 Johannesteijsmannia altifrons (Rchb.f. &Zoll.) H. E. Moore
2.5.1 Tata Nama
Johannesteijsmannia altifrons termasuk keluarga Palmae, yang memiliki
daun tunggal dengan ukuran besar, dapat mencapai 3 meter panjangnya dengan
lebar 1 meter. Palem ini dikenal dengan berbagai nama, yaitu Palem Daun
Payung (Indonesia, Malaysia), Daun Sang (Sumatera Utara), Salo (Jambi, Riau),
Balahan (Sumatera Barat), Kor, Wud, Sal, Segaloh (Malaysia) serta Joey Palm
atau Diamond Palm di negara barat (Witono, 1998; Chan, 2007).
Daun Sang pertama kali ditemukan oleh ahli Botani Belanda, Johannes
Elias Teijsman (Moore Jr, 1961; Dransfield et al., 2008). Adapun sebaran Daun
Sang meliputi Thailand, Malaysia Barat, Sumatera dan Borneo (Witono, 1998;
Dransfield et al., 2008). Di Indonesia sendiri keberadaannnya hanya dijumpai di
Aras Napal, Sekundur (TNGL) dan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (Mogea et
al., 2001;Qomar et al., 2006).
Genus Johannesteijsmannia terdiri atas 4 spesies, yaitu J. altifrons, J.
lanceolata, J. perakensis, dan J. magnifica. Malaysia mempunyai ke-4 jenis
tersebut, sementara Indonesia hanya mempunyai J. altifrons saja (Witono, 1998;
Mogea et al., 2001; Lee et al., 2003; Chan, 2007; Chan et al., 2010). Menurut
penelitian Siregar (2005) Daun Sang (J. altifrons) di kawasan hutan Sekundur
Resort Sei Betung ditemukan sebanyak 103 individu.
Universitas Sumatera Utara
Tata nama Daun Sang selengkapnya adalah sebagai berikut (GBIF, tanpa
tahun):
Kerajaan : Tumbuhan Divisi : Magnoliophyta Klas : Liliopsida Ordo : Arecales Suku : Arecaceae Marga : Johannesteijsmannia Jenis :
2.5.2 Deskripsi dan Karakteristik
Johannesteijsmannia altifrons (Rchb.f.&Zoll) H. E. Moore
Palem raksasa ini soliter (tumbuh tunggal), biasanya mencapai tinggi
sampai 6 meter. Daun: berbentuk belah ketupat yang besar dan lebar, sampai
lancet agak tebal dan tunggal. Tidak mempunyai batang, kecuali J. perakensis.
Daun Sang mempunyai daun yang sangat lebar dan panjang, panjang daunnya
dapat mencapai 3 meter bahkan 6 meter (Witono, 1998; Rozainah dan Sinniah,
2005; Rozainah, 2007) dan lebarnya dapat mencapai 1 m. Tepi daun
bergelombang, pelepah daun tidak berduri, tetapi tepi pelepahnya ditumbuhi duri-
duri. Perbungaan: tumbuh di antara daun, berbentuk tandan yang bagian
pangkalnya ditutupi oleh beberapa seludang bunga. Bunga: warna kuning krem,
bisexual, dan beraroma manis asam yang kuat. Buah: berbentuk tandan, bulat,
berwarna coklat, berwarna hijau tua dan muda, permukaan kulit buah kasar dan
buah sangat keras apabila telah matang, dengan diameter sekitar 4-5 cm dan
berbiji satu (Witono, 1998; Chan, 2007). Perbanyakan spesies ini lebih banyak
berasal dari biji (Witono, 1998).
Penelitian Chan (2009) pada J. lanceolata menunjukkan, pada populasi
alam, berbunganya musiman, sementara pada populasi buatan berbunga terus
menerus. Korelasi antara pembungaan dan curah hujan lemah. Siklus reproduksi
Universitas Sumatera Utara
dari mulai berbunga sampai berbuah membutuhkan waktu 14-15 bulan dan hanya
menghasilkan 2-6 buah per musim.
Produksi daun J. lanceolata pada semua tingkat umur kontinyu dan
lambat, dan daunnya berumur panjang (Rozainah dan Sinniah, 2005; Rozainah,
2007). Lebih lanjut dijelaskan bahwa pertumbuhan daun baru pada tajuknya
berkisar antara 2,6-3,3 daun per tahun untuk tingkat dewasa, 1,3-2,1 daun per
tahun untuk tingkat juvenile dan 0,8-1,6 untuk tingkat semai. Sedangkan umur
hidup daun pada tajuk berkisar 8,8 tahun untuk dewasa dan 8,4 tahun untuk
tingkat juvenile. Pada penelitian tersebut, pembedaan tingkat hidup didasarkan
pada jumlah daun hidup pada tajuknya. Tingkat semai mulai dari berkecambah
sampai mempunyai 9 daun, juvenile mulai 10-18 daun dan dewasa 19-35 daun.
2.5.3 Persyaratan Tempat Tumbuh
Daun Sang dijumpai sebagai tumbuhan bawah di hutan hujan tropis primer
terutama di hutan dataran rendah dan sangat sensitif terhadap gangguan. Di
Serawak, J. altifrons hadir terbatas di hutan kerangas; banyak terdapat di lembah
tapi cenderung menghindari lembah yang bertanah basah. J. magnifica dan J.
lanceolata merupakan tumbuhan lereng bukit dan J perakensis merupakan
tumbuhan lereng bukit dan punggung bukit. Distribusi ini sangat terpisah, spesies
sering tidak ditemui pada kondisi hutan yang sesuai (Dransfield et al., 2008).
Chan (2007) menemukan bahwa distribusi J. lanceolata berbeda berdasarkan arah
kontur, dengan kepadatan tertinggi pada lembah (65 individu per hektar). Hal ini
sepertinya dipengaruhi oleh sebaran benih, kompetisi antar spesies dan fitur
topografi.
Universitas Sumatera Utara
Daun Sang termasuk spesies palem yang tidak tahan terkena sinar
matahari langsung, dan lebih sering hidup di bawah naungan pepohonan, biasanya
populasinya kecil dan lokal (Witono, 1998). Qomar et al. (2006) menyatakan
karakteristik habitat mikro Daun Sang di TN Bukit Tigapuluh sebagai berikut:
ditemukan pada ketinggian tempat antara 85-175 m dpl dan paling banyak
sebarannya pada 110 m ke atas, kelerengan bukit sangat curam (>60%), jenis
tanah paleudult atau latosol, relatif asam (pH 5,6-5,9), konsentrasi N dan K tinggi,
penutupan tajuk >70%, intensitas cahaya 13-19 lux, suhu udara 27o
2.5.4 Kegunaan
C dan
kelembaban relatif 84%.
Masyarakat setempat biasanya memanfaatkan ukuran dan daun yang
sangat kuat dari palem ini untuk dipergunakan sebagai atap rumah dan daging
buahnya dimakan secara langsung (Witono, 1998) dan di Malaysia dilaporkan
selain sebagai atap rumah yang bisa bertahan sampai beberapa tahun, Daun Sang
juga dimanfaatkan buahnya oleh komunitas China sebagai obat herbal. Selain itu,
karena tanamannya yang indah dan khas, jenis ini juga digunakan untuk dekorasi
dan pertamanan (Chan, 2007). Di beberapa situs web, banyak permintaan akan
bijinya terutama di negara barat (Amerika-Florida misalnya) jenis ini banyak
diperjualbelikan sebagai tanaman hias dengan harga yang sangat mahal.
2.5.5 Status Konservasi
Sebaran dan populasi Daun Sang sangat terbatas, dan merupakan jenis asli
di Indonesia, sehingga tanaman ini masuk ke dalam kategori flora yang
dilindungi. Hal tersebut tercantum pada Peraturan Pemerintah Republik
Universitas Sumatera Utara
Indonesia No. 7 Tahun 1999 tanggal 27 Januari 1999 Tentang pengawetan jenis
tumbuhan dan satwa. Selain itu, jenis ini juga termasuk kategori Red Data Book
sebagai jenis yang terancam punah menurut IUCN (Lucas dan Synge, 1978;
Walter dan Gillet, 1998; WCMC, 1990). Namun sayangnya, banyak masyarakat
dan stake holder yang belum memahami dan mengetahuinya. Apabila hal
tersebut tidak segera ditindaklanjuti, bukan tidak mungkin, populasinya akan terus
mengalami penurunan dan kepunahan akan segera terjadi.
2.6 Taman Nasional Gunung Leuser
2.6.1 Status dan Potensi
Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) menyandang tiga gelar
sekaligus, yaitu sebagai Cagar Biosfer, Tropical Rainforest Heritage of
Sumatera/World Heritage Site dan ASEAN Heritage Park. Hal tersebut
menandakan betapa pentingnya ekosistem dan keanekaragaman hayati di Taman
Nasional Gunung Leuser tidak hanya bagi Indonesia tetapi juga bagi dunia.
TNGL pertama kali dideklarasikan pada tanggal 6 Maret 1980 sesuai
Pengumuman Menteri Pertanian Nomor : 811/Kpts/Um/II/1980 dengan luas
792.675 hektar. Kemudian ditunjuk oleh Menteri Kehutanan melalui SK Nomor :
276/Kpts-VI/1997 dengan luas 1.094. 692 hektar. TNGL terletak di Provinsi
Sumatera Utara (Kabupaten Langkat, Karo dan Dairi) dan Daerah Istimewa Aceh
(Kabupaten Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Tenggara, Gayo Lues, dan
Aceh Tamiang), dengan temperatur udara antara 21-28oC, curah hujan 200-3200
mm/th serta ketinggian tempat 0-3.381 m dpl. Saat ini, Balai Besar TNGL dibagi
menjadi tiga bidang pengelolaan TN Wilayah, yaitu Tapaktuan, Kutacane dan
Stabat; enam seksi pengelolaan TN Wilayah, yaitu Blang Pidie, Kluet Utara,
Universitas Sumatera Utara
Blangkejeren, Badar, Bukit Lawang dan Besitang; 31 Resort; 2 Stasiun Penelitian
dan 1 PPOS (Dirjen PHKA, tanpa tahun).
TNGL merupakan perwakilan tipe ekosistem hutan pantai, dan hutan
hujan tropika dataran rendah sampai pegunungan. Jenis batuannya terdiri dari
batuan sediment, batuan vulkanik, batuan kapur, batuan pluton, batuan alluvium
dan batuan lainnya. Keadaan tanahnya didominasi oleh komplek podsolik coklat,
podsolik dan litosol. Van Steenis membagi wilayah tumbuh-tumbuhan di TNGL
atas 4 zona, yaitu (Dirjen PHKA, tanpa tahun).:
- Zona Tropika (termasuk zona Colline, terletak 500 – 1000 mdpl)
Zona tropika merupakan daerah berhutan lebat ditumbuhi berbagai jenis
tegakan kayu yang berdiameter besar dan tinggi sampai mencapai 40
meter. Pohon tersebut digunakan sebagai pohon tumpangan dari berbagai
tumbuhan jenis liana dan epifit yang menarik seperti anggrek dan lainnya.
- Zona peralihan dari zona tropika ke zona Colline dan zona sub-montana
ditandai dengan semakin banyaknya jenis tanaman berbunga indah dan
berbeda jenis karena perbedaan ketinggian. Semakin tinggi suatu tempat
maka pohon semakin berkurang, jenis liana mulai menghilang dan makin
banyak dijumpai jenis rotan berduri.
- Zona Montana (termasuk zona sub-montana, terletak 1000 - 1500 mdpl)
Zona Montana merupakan hutan montana. Tegakan kayu tidak lagi tertlalu
tinggi hanya berkisar antara 10 – 20 meter. Tidak terdapat lagi jenis
tumbuhan liana. Lumut banyak menutupi tegakan kayu atau pohon.
Kelembaban udara sangat tinggi dan hampir setiap saat tertutup kabut.
- Zona Sub-Alphine (2900 – 4200 mdpl)
Universitas Sumatera Utara
Zona sub alphine merupakan zona hutan ercacoid dan tidak berpohon lagi.
Hutan ini merupakan lapisan tebal campuran dari pohon-pohon kerdil dan
semak-semak dengan beberapa pohon berbentuk payung (suku Ericaceae)
yang menjulang tersendiri serta beberapa jenis tundra, anggrek dan lumut.
Diperkirakan ada sekitar 3.500 jenis flora. Terdapat tumbuhan langka dan
khas yaitu daun payung raksasa (Johannesteijsmannia altifrons), bunga raflesia
(Rafflesia atjehensis dan R. micropylora) serta Rhizanthes zippelnii yang
merupakan bunga terbesar dengan diameter 1,5 meter. Selain itu, terdapat
tumbuhan yang unik yaitu ara atau tumbuhan pencekik (Dirjen PHKA, tanpa
tahun).
TNGL dan kawasan disekitarnya yang disebut sebagai Kawasan ekosistem
Leuser (KEL) merupakan habitat dari berbagai jenis mamalia, burung, reptil,
amfibi, ikan dan invertebrata. Untuk jenis mamalia dan/primata Taman Nasional
Gunung Leuser memiliki 130 jenis mamalia atau sepertiga puluh dua dari
keseluruhan jenis mamalia yang ada di dunia atau seperempat dari seluruh jumlah
jenis mamalia yang ada di Indonesia. Diantaranya yang paling menonjol adalah
Mawas/orang-utan sumatera (Pongo pygmaeus abelii), Sarudung/owa (Hylobates
lar), Siamang (Hylobates syndactilus syndactilus), Kera (Macaca fascicularis),
Beruk (Macaca nemestriana) dan Kedih (Presbytis thomasi). Untuk jenis satwa
karnivora seperti Macan dahan (Neofelis nebulosa), Beruang (Helarctos
malayanus), Harimau sumatera (Panthera tigris Sumatraensis). Jenis satwa
herbivora seperti Gajah (Elephas maximus), Badak Sumatera (Dicerorhinus
sumatraensis), Rusa (Cervus unicolor) (TFCA Sumatera, 2010; Dirjen PHKA,
tanpa tahun).
Universitas Sumatera Utara
Jenis satwa Aves/burung, diperkirakan ada sekitar 325 jenis burung di
Taman Nasional Gunung Leuser atau 1/30
Diperkirakan ada sekitar 89 jenis satwa yang tergolong langka dan
dilindungi ada di hutan Taman Nasional Gunung Leuser di samping jenis satwa
lainnya. Satwa langka dan dilindungi yang terdapat di taman nasional ini antara
lain: Mawas/Orang Utan (Pongo pygmaeus abelii), Badak
Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), Harimau loreng Sumatera (Panthera tigris
sumatrae, Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus), Beruang
Madu (Helarctos malayanus), Burung Rangkong Papan (Buceros bicornis),
Anjing Ajag (Cuon Alpinus), Siamang (Hylobates syndactylus syndactylus),
Kambing hutan (Capricornis sumatraensis), Rusa Sambar (Cervus unicolor), dan
Kucing Hutan (Prionailurus bengalensis sumatrana) (TFCA Sumatera, 2010;
Dirjen PHKA, tanpa tahun).
dari jumlah jenis burung yang ada di
dunia. Diantaranya yang paling menonjol adalah Rangkong Badak (Buceros
rhinoceros). Jenis fauna Reptilia dan Amphibia didominasi oleh jenis fauna ular
berbisa dan Buaya (Crocodillus sp). Untuk fauna jenis Pisces yang menarik
adalah Ikan Jurung (Tor sp), yang merupakan ikan khas Sungai Alas dan
dagingnya terkenal akan kelezatannya serta bisa mencapai panjang 1 meter.
Sedangkan jenis fauna invertebrata, didominasi oleh Kupu-kupu (TFCA
Sumatera, 2010; Dirjen PHKA, tanpa tahun).
2.6.2 Aspek sosial ekonomi dan budaya
Keberadaan masyarakat di sekitar TNGL, tak jarang menimbulkan konflik
tersendiri dan merupakan ancaman yang serius bagi kelestarian TNGL.
Pengertian konflik (conflict) adalah benturan yang terjadi antara dua pihak atau
Universitas Sumatera Utara
lebih, yang disebabkan adanya perbedaan nilai, status, kekuasaan, dan kelangkaan
sumberdaya (Faisal dan Siti Maskanah, 2000). Konflik merupakan hal yang tidak
terhindarkan dalam pengelolaan hutan di Indonesia. Alasannya sederhana, karena
terlalu banyaknya pihak yang berkepentingan terhadap hutan, sementara masing-
masing pihak berbeda kebutuhan dan tujuannya. Pada masa lalu, konflik
kehutanan seringkali ditutup-tutupi karena berbagai alasan; dan apabila terjadi
konflik, pihak yang kuat selalu mengalahkan yang lemah, dan pihak yang lemah
tidak pernah berani melawan yang kuat. Namun, Era Reformasi telah merubah
keadaan menjadi terbalik. Pihak yang lemah kini sudah berani melawan yang kuat
dengan berbagai cara, dari mulai tuntutan biasa, protes, demonstrasi, sampai
benturan fisik yang keras. Oleh karena itu, kita harus mulai mengakui bahwa
konflik merupakan suatu persoalan penting yang harus segera ditanggulangi
dalam pengelolaan hutan (Wulan et al, 2004).
Ancaman nyata bagi keanekaragaman hayati di kawasan ekosistem leuser
(KEL) adalah konversi lahan untuk tujuan pertanian dan perkebunan (milik
Negara, korporasi/perusahaan dan milik masyarakat), penggalian batu kapur dan
penambangan skala kecil (seperti emas), IDPs (pengungsi internal – mencapai
ribuan keluarga), pertumbuhan enklave, illegal logging, perambahan, sawmill
illegal, usaha perabot/meubel, kilang kayu, pembukaan jalan (pembangunan
jaringan jalan “Ladia Galaska”), panglong kayu, perburuan satwa dan
penangkapan ikan dengan menggunakan dinamit, sengatan listrik, potassium dan
racun berbahaya lainnya. Ancaman lain yang juga terjadi adalah pembukaan hutan
untuk perkebunan kelapa sawit seperti yang terjadi di Aceh Tamiang, Aceh
Universitas Sumatera Utara
Selatan (Rawa Kluet) dan Rawa Singkil (Kabupaten Rawa Singkil) (TFCA
Sumatera, 2010).
Pembalakan liar di Taman Nasional Gunung Leuser kawasan Besitang,
Kabupaten Langkat diperhitungkan mencapai Rp 3,6 triliun. Kerugian tersebut
dihitung dari luas kerusakan hutan Taman Nasional Gunung Leuser di kawasan
Besitang yang mencapai lebih dari 21.000 hektar. Hutan yang rusak ini
didominasi oleh jenis meranti. Tenaga kerja untuk illegal logging ini antara lain
pengungsi asal Aceh yang masih menetap di dalam kawasan TNGL. Saat ini
masih terdapat sekitar 700 kepala keluarga pengungsi asal Aceh yang menetap di
TNGL kawasan Besitang (TFCA Sumatera, 2010).
Beberapa indikasi yang menunjukkan adanya ancaman kerusakan
ekosistem Leuser antara lain (TFCA Sumatera, 2010):
- Jumlah penduduk umumnya berada dalam batas ambang yang berarti
sebagian besar penduduk yang bergantung kepada lahan budidaya
pertanian, dihadapkan pada daya dukung lahan yang semakin rendah,
sementara tekanan akibat pertambahan penduduk absolut semakin
meningkat
- Isu pembangunan perkebunan (dan pertanian) mempengaruhi motivasi
sebagian besar masyarakat di sekitar ekosistem Leuser, terutama di
Kabupaten Aceh Selatan dan Langkat untuk mengembangkan lahan usaha
budidaya tanaman perkebunan (kelapa sawit, karet dan kakao) yang
membutuhkan areal relatif luas. Dalam hal ini, konflik antara kepentingan
pengembangan lahan budidaya dengan aspek pelestarian sumberdaya
alam ekosistem Leuser semakin dirasakan.
Universitas Sumatera Utara
Upaya pemerintah untuk mengembangkan sektor non-pertanian di
kecamatan-kecamatan di kawasan penyangga ekosistem Leuser tampaknya
terbatas, bahkan dalam kebijaksanaan pembangunan Provinsi NAD, dua
kabupaten dimana ekosistem Leuser berada yaitu Kabupaten Aceh Selatan dan
Aceh Tenggara diarahkan kepada wilayah pembangunan dan pengembangan
pertanian-perkebunan (TFCA Sumatera, 2010).
Terdapat sedikitnya 31 wilayah kecamatan di empat kabupaten yang
merupakan daerah penyangga ekosistem leuseur. Penggunaan lahan di kawasan
penyangga ekosistem Leuser ini umumnya terdiri dari pemukiman, perkebunan
rakyat, sawah, pertanaman campuran dan hutan lindung (TFCA Sumatera, 2010).
Terlepas dari keanekaragaman hayatinya yang kaya, Ekosistem Leuser
menyediakan fungsi pendukung kehidupan untuk pengembangan yang bisa
mendukung kira-kira empat juta orang-orang yang hidup di sekitarnya. Beberapa
contoh dari fungsi ini adalah: persediaan air bersih yang rutin, pengendali banjir
dan erosi, perlindungan plasma nutfah, pengaturan iklim lokal, penjerap karbon,
perikanan air tawar dan kecantikan alami untuk mendukung pariwisata (TFCA
Sumatera, 2010).
2.7 Sistem Informasi Geografis (SIG)
SIG mulai dikenal pada awal 1980-an. Sejalan dengan berkembangnya
perangkat komputer, baik perangkat lunak maupun perangkat keras, SIG
berkembang sangat pesat pada era 1990-an. Secara harfiah, SIG dapat diartikan
sebagai: suatu komponen yang terdiri atas perangkat keras, perangkat lunak, data
geografis dan sumberdaya manusia yang bekerja bersama secara efektif untuk
menangkap, menyimpan, memperbaiki, memperbaharui, mengelola,
Universitas Sumatera Utara
memanipulasi, mengintegrasikan, menganalisa dan menampilkan data dalam
suatu informasi berbasis geografis (Puntodewo et al., 2003). Lebih lanjut
dijelaskan bahwa aplikasi SIG menjawab beberapa pertanyaan seperti: lokasi,
kondisi, trend, pola dan pemodelan. Kemampuan inilah yang membedakan SIG
dari sistem informasi lainnya.
Informasi geografis selalu berhubungan erat dengan ilmu tumbuh-
tumbuhan, sejak dimulainya eksplorasi sampai dengan mengkombinasikannya
dengan pemetaan, dan membantu ahli botani dalam manganalisis identifikasi
prioritas konservasi tumbuhan. Aplikasi SIG dan teknologi Remote Sensing
(Penginderaan Jauh) menunjukkan peningkatan dalam penggunaannya untuk
konservasi tumbuhan selama lebih dari dua dekade. Kegunaan utamanya dalam
konservasi tumbuhan adalah: pemetaan (lokasi spesimen dan distribusi spesimen),
pemetaan vegetasi dan habitat, deteksi perubahan habitat, dan mendukung dalam
pengelolaan lahan (Moat et al., 2009; Foody, 2008).
2.8 Pemodelan Kesesuaian Habitat Berbasis SIG dan Statistika
Pemodelan kesesuaian habitat (habitat suitability) dikenal juga dengan
istilah ecological niche, environmental niche, species distribution modeling, dan
bioclimate envelope modeling (Pearson, 2007; Hirzel dan Lay, 2008). Pemodelan
ini menjadi popular dan efektif dalam ilmu ekologi dan digunakan secara luas
pada berbagai aplikasi ekologi (Elith et al., 2006; Nazeri et al., 2010; Gelfand et
al., 2006).
Prinsipnya adalah interpolasi data hasil survey biologi pada skala
keruangan. Pemodelan ini merupakan model prediksi kuantitatif hubungan antara
spesies dengan lingkungannya, sehingga dapat digunakan untuk memprediksi
Universitas Sumatera Utara
sebaran aktualnya atau potensi sebarannya (Pallaris, 1998; Cayuela et al., 2009;
Hoeting, 2006, Nanyomo, 2010, Pearson, 2007, Gelfand et al., 2006; William et
al., 2009; Gaston dan Fuller, 2008; Kumar dan Stohlgren, 2009). Oleh karenanya
dapat dimanfaatkan untuk perencanaan konservasi, menilai status spesies,
memproyeksikan dampak perubahan iklim, memprediksi invasif spesies, restorasi
ekologi, dampak lingkungan dan analisis resiko (Franklin, 2010).
Prediksi dan pemetaan potensi kesesuaian habitat untuk spesies terancam
punah sangat penting. Hal ini perlu untuk memantau dan memulihkan penurunan
populasi pada habitat alaminya, untuk kepentingan introduksi buatan atau
pemilihan lokasi konservasi dan perlindungan serta pengelolaan habitat alaminya
(Gaston, 1996; Bartel dan Sexton, 2009). Sebaran data spesies terancam punah
seringkali tersebar (Guissan et al., 2006) dan terkelompok yang biasanya
menyebabkan pendekatan pemodelan kesesuian habitat sulit untuk dilakukan
(Kumar dan Stohlgren, 2009).
Kerangka pemikiran pemodelan ini dilandasi oleh teori niche, yang
dikemukakan oleh Hutchinson (1957) dalam Phillips et al. (2004) yaitu suatu
tempat dimana spesies memilih untuk hidup dan memenuhi persyaratan untuk
kelangsungan hidupnya. Hal ini tidak jauh berbeda dengan Franklin (2010) yang
mengutip pendapat Hutchinson (1987), ‘…hypervolume yang didefinisikan oleh
lingkungan dimana spesies tersebut dapat bertahan hidup dan berreproduksi’.
Hutchinson lebih jauh membedakan antara istilah niche dasar/fundamental niche
(secara fisiologi atau potensial) yang didefinisikan sebagai respon spesies kepada
lingkungannya (sumberdaya) dalam suatu interaksi biotik (kompetisi,
pemangsaan, fasilitasi) dengan niche nyata/realized niche (secara ekologi, aktual)
Universitas Sumatera Utara
yang didefinisikan sebagai dimensi lingkungan dimana spesies dapat bertahan
hidup dan berreproduksi, termasuk dari efek interaksi biotik.
Model konseptual tentang pengaruh lingkungan pada suatu niche
dikemukakan oleh Franklin (2010) berdasarkan inspirasi dari Guissan dan
Zimmermann (2000) sebagaimana terlihat pada Gambar 2.2.
· Gambar 2.2. Model konseptual pengaruh lingkungan pada suatu niche
Sumber: Franklin (2010)
Pemodelan kesesuaian habitat didukung oleh tiga komponen utama, yaitu
ekologi, data dan model statistika (Austin, 2002). Model ekologi meliputi teori
ekologi yang diterapkan atau hipotesis yang diuji dalam suatu penelitian. Model
data terdiri dari keputusan yang dibuat tentang bagaimana data dikumpulkan dan
bagaimana data akan diukur atau diperkirakan. Model statistika mencakup
pilihan metode dan keputusan tentang pelaksanaan (kalibrasi dan validasi).
Guissan dan Zimmermann (2000) membedakan tahapan pemodelan statistik
menjadi empat tahap, yaitu: perumusan model konseptual, perumusan model
statistika, kalibrasi dan evaluasi. Skemanya dapat dilihat pada Gambar 2.3.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.3. Diagram komponen pemodelan kesesuaian habitat
Sumber: Franklin (2010)
Beberapa teknik pemodelan yang biasa digunakan adalah (Newbold,
2009):
1. Climate envelopes
Teknik ini merupakan pemodelan paling sederhana. Envelopes mendefinisikan
kondisi kesesuaian lingkungan untuk suatu spesies dengan referensi kondisi tapak
dimana spesies tersebut ditemukan. BIOCLIM lebih biasa digunakan untuk teknik
ini. Teknik ini mempunyai kelemahan, yaitu over prediksi. Hal ini terjadi
mungkin karena sensitivitas BIOCLIM pada data pencilan spesies pada ruang
lingkungan atau karena interaksi antara variabel iklim yang tidak
dipertimbangkan. Performa teknik ini sedang sampai rendah.
2. Logistic regression
Teknik kedua terdiri atas pendekatan statistik tradisional. Secara umum, Model
Linear telah banyak dikenal oleh para ahli ekologi, dianggap tidak sesuai untuk
Universitas Sumatera Utara
pemodelan sebaran spesies karena berasumsi variansnya homogen, hubungan
antara variabel respon dan variabel bebas linear dan galat terdistribusi normal.
Generalized linear models (GLMs) adalah perluasan dari model linear umum,
yang memungkinkan untuk berbagai distribusi kesalahan dan mengendurkan
asumsi linieritas dan homogenitas varians.
3. Maximum Entrophy
Untuk model sebaran spesies
menggunakan GLMs, catatan kejadian spesies (ada dan tidak ada) dicocokkan
sebagai variabel respon dan variabel lingkungan sebagai variabel bebas. Model
didasarkan pada data ada dan tidaknya spesies mempunyai distribusi galat yang
binomial. Model ini dikenal sebagai model regresi logistik. GLMs secara umum
mempunyai performa yang sangat bagus dibandingkan teknik pemodelan yang
lain, tetapi relatif jelek dengan ukuran sampel yang sangat kecil. Penelitian dan
review penggunaan GLMs telah dilakukan oleh Guisan dan Zimmermann (2000)
dan Guisan et al. (2002). Generalized additive models (GAMs) adalah perluasan
dari GLMs. GAMs juga mempunyai performa yang baik , hanya saja sensitif
terhadap ukuran sampel yang kecil.
Maxent merupakan metode yang didasarkan pada prinsip maksimum entropi,
tujuannya adalah untuk menghasilkan sebuah prediksi yang sebisa mungkin sama
dengan kendala bahwa nilai harapan dari masing masing variabel lingkungan
harus sama dengan rata-rata empiris. Maxent hanya membutuhkan catatan
keberadaan spesies, membandingkannya dengan sampel latar belakang secara
acak dari semua grid cell pada lokasi penelitian. Maxent merupakan teknik
pemodelan yang selalu konsisten memberikan performa yang terbaik. Aplikasi
Universitas Sumatera Utara
dan review Maxent telah dilakukan oleh Kumar dan Stohlgren (2009) dan Phillips
et al. (2004).
4. Genetic Algorithm for Rule-set Prediction (GARP)
GARP mengembangkan satu set pernyataan jika-maka (aturan) yang menentukan
apakah spesies tersebut diperkirakan ada atau tidak sesuai dengan kondisi
lingkungan dari sel grid tersebut.
GARP menunjukkan performa campuran pada
uji akurasi yang dilakukan. Ada yang menunjukkan performa yang akurat tapi ada
juga yang menunjukkan performa yang relatif jelek dan cenderung over prediksi.
Universitas Sumatera Utara