bab ii. tinjauan pustaka 2.1 keanekaragaman hayati menurut

27
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keanekaragaman Hayati Menurut KTT Bumi 1992 di Rio de Janeiro (Yencken dan Henry, 2010) keanekaragaman hayati (biodiversity) didefinisikan sebagai: the variability among living organism from all sources, including inter alia, terrestrial marine, and other aquatic ecosystem, and the ecological complexes of which they are part:this includes diversity within species, between species and ecosystem. Definisi ini diadopsi oleh United Nations Convention on Biological Diversity (1993) yang ditandatangani oleh hampir seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia. United Nations Convention on Biological Diversity atau Konvensi PBB mengenai Keanekaragaman Hayati (KKH) mulai berlaku di Indonesia sejak tahun 1994, melalui ratifikasi dalam bentuk UU No.5/1994. Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) adalah focal point nasional bagi pelaksanaan KKH. Tujuan utama dari KKH yaitu: konservasi keanekaragaman hayati, pemanfaatan berkelanjutan dari komponennya, dan pembagian keuntungan yang adil dan merata dari pengguna sumber daya genetik, termasuk akses yang memadai serta alih teknologi, dan melalui sumber pendanaan yang sesuai (UNEP, 2010; Yencken dan Henry, 2010). Pada Mei 2010, Global Biodiversity Outlook edisi ketiga dilaksanakan. Kegiatan ini menyoroti pokok permasalahan yang sama dan beberapa kasus kehilangan keanekaragaman hayati yang semakin intensif. Kehilangan habitat, pemanfaatan yang tidak lestari, dan eksploitasi yang berlebihan, perubahan iklim, spesies asing invasive, dan polusi terus menerus menjadi ancaman yang paling Universitas Sumatera Utara

Upload: vutu

Post on 12-Jan-2017

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keanekaragaman Hayati Menurut

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Keanekaragaman Hayati

Menurut KTT Bumi 1992 di Rio de Janeiro (Yencken dan Henry, 2010)

keanekaragaman hayati (biodiversity) didefinisikan sebagai: the variability among

living organism from all sources, including inter alia, terrestrial marine, and

other aquatic ecosystem, and the ecological complexes of which they are part:this

includes diversity within species, between species and ecosystem. Definisi ini

diadopsi oleh United Nations Convention on Biological Diversity (1993) yang

ditandatangani oleh hampir seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia.

United Nations Convention on Biological Diversity atau Konvensi PBB

mengenai Keanekaragaman Hayati (KKH) mulai berlaku di Indonesia sejak tahun

1994, melalui ratifikasi dalam bentuk UU No.5/1994. Kementerian Lingkungan

Hidup (KLH) adalah focal point nasional bagi pelaksanaan KKH. Tujuan utama

dari KKH yaitu: konservasi keanekaragaman hayati, pemanfaatan berkelanjutan

dari komponennya, dan pembagian keuntungan yang adil dan merata dari

pengguna sumber daya genetik, termasuk akses yang memadai serta alih

teknologi, dan melalui sumber pendanaan yang sesuai (UNEP, 2010; Yencken dan

Henry, 2010).

Pada Mei 2010, Global Biodiversity Outlook edisi ketiga dilaksanakan.

Kegiatan ini menyoroti pokok permasalahan yang sama dan beberapa kasus

kehilangan keanekaragaman hayati yang semakin intensif. Kehilangan habitat,

pemanfaatan yang tidak lestari, dan eksploitasi yang berlebihan, perubahan iklim,

spesies asing invasive, dan polusi terus menerus menjadi ancaman yang paling

Universitas Sumatera Utara

Page 2: BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keanekaragaman Hayati Menurut

besar bagi semua negara. KTT CBD yang terakhir, dilaksanakan pada Oktober

2010 di Nagoya Jepang. KTT ini menyetujui adanya beberapa langkah untuk

menjamin ekosistem di planet ini akan berlanjut untuk umat manusia pada masa

yang akan datang. Langkah-langkah tersebut meliputi (Yencken dan Henry,

2010):

- mengadopsi rencana sepuluh tahun yang baru, yaitu Strategic Plan of the

Convention on Biological Diversity (juga dikenal sebagai Target Aichi)

untuk menjadi pedoman dalam upaya skala internasional dan nasional;

- mengadopsi strategi untuk meningkatkan secara substansial keadaan saat

ini untuk membantu pengembangan dalam mendukung keanekaragaman

hayati;

- mengadopsi protokol internasional yang baru untuk menjamin pembagian

keuntungan secara adil dari pemanfaatan sumberdaya genetik bumi.

Target Taichi akan dijadikan kerangka yang sangat penting pada keanekaragaman

hayati untuk PBB dan diharapkan dapat diimplementasikan pada tingkat lokal,

nasional dan internasional pada tahun 2012 (Yencken dan Henry, 2010).

2.2 Ancaman Keanekaragaman Hayati

Conservation International mempertimbangkan Indonesia sebagai salah

satu dari 17 negara megabiodiversity, termasuk dalam dua wilayah 25 hotspots

keanekaragaman hayati dunia untuk prioritas konservasi (Gambar 2.1.)(Myers et

al., 2000; ASEAN Center for Biodiversity, 2010). Sekitar 17.000 pulau di

Indonesia terbentang antara kawasan Indo Malaya dan Australasia. Kepulauan

Indonesia memiliki tujuh kawasan biogeografi utama keanekaragaman tipe-tipe

Universitas Sumatera Utara

Page 3: BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keanekaragaman Hayati Menurut

habitat yang luar biasa. Banyak pulau yang terisolisasi selama ribuan tahun,

sehingga memiliki tingkat endemik yang tinggi.

Gambar 2.1. Sebaran 25 hotspot dunia, memiliki luasan 30 ± 3% dari area

merah (Sumber: Myers et al. (2000)) Perbandingan kekayaan biotis dan endemisme di seluruh Indonesia

disajikan pada Tabel 2.1. Sumatera, Borneo dan Irian Jaya merupakan pulau

yang mempunyai kekayaan jenis tinggi dibanding pulau-pulau lainnya, demikian

juga dari persen endemismenya.

Tabel 2.1. Perbandingan kekayaan biotis dan endemisme di seluruh Indonesia

Pulau

Tumbuhan direvisi Mamalia Burung penetap Reptilia

Kekayaan

Jenis

% Endemis

me

Kekayaan

Jenis

% endemis

me

Kekayaan

jenis

% endemis

me

Kekayaan

jenis

% endemisme

Sumatera 820 11 221 10 465 2 217 11 Jawa+Bali 630 5 113 12 362 7 173 8 Borneo 900 34 221 19 358 10 254 24 Sulawesi 520 7 127 62 289 32 117 26 Nusa Tenggara 150 3 41 12 242 30 77 22 Maluku 380 6 69 17 210 33 98 18 Irian Jaya 1.030 55 125 58 602 52 223 35

Sumber: MacKinnon dalam MacKinnon et al., 2000

Saat ini keanekaragaman hayati Indonesia mengalami ancaman yang

serius, seiring dengan laju kehilangan hutan setiap tahunnya. Tekanan terus

menerus terhadap keanekaragam hayati Indonesia yang unik berasal dari tingginya

laju perubahan habitat, deforestasi, eksploitasi yang berlebihan, kebakaran hutan,

Universitas Sumatera Utara

Page 4: BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keanekaragaman Hayati Menurut

penebangan illegal dan perdagangan untuk mempercepat laju ekonomi, tingginya

pertumbuhan penduduk dan institusi yang korup (Bappenas, 2003). Forest Watch

Indonesia/Global Forest Watch (2001) melaporkan bahwa pada tahun 1980-an

laju kehilangan hutan mencapai 1 juta ha per tahun, pada awal 1990-an 1,7 juta ha

per tahun dan terus meningkat mencapai 2 juta ha per tahun pada tahun 1996.

Sejak era reformasi, laju kehilangan hutan terus semakin meningkat, dan pada

tahun 2003 mencapai angka tertinggi di dunia yaitu 2,4 juta ha/th (USAID, 2004),

namun mengalami penurunan pada tahun 2006 menjadi sekitar 1,09 juta ha/th

(Departemen Kehutanan, 2009) dan data terbaru menunjukkan 0,8 juta ha/th

(Kementerian Kehutanan, 2012).

Penelitian Budiharta et al. (2011) membedakan ancaman terhadap 5 grup

tanaman yang terdiri atas: palem (Arecaceae, 60 spesies), anggrek (Orchidaceae,

52 spesies), pohon (57 spesies), semak (41 spesies) dan lain-lain (30 spesies)

menjadi 4 ancaman besar. Ancaman tersebut adalah kehilangan habitat

(penurunan ukuran dan kualitas habitat), eksploitasi berlebihan, faktor biologi

(karakter instrinsik biologi spesies yang rentan terhadap penurunan populasi), dan

faktor alam. Ternyata faktor intrinsik biologi dan kehilangan habitat menempati

porsi terbesar, yaitu 83 dan 82%, sementara eksploitasi berlebihan 64% dan faktor

alam 6%.

Hal tersebut tidak jauh berbeda dengan Primack et al. (1998) yang

menyatakan bahwa berbagai ancaman kepunahan spesies disebabkan oleh

kegiatan manusia dan juga ciri atau karakter spesies itu sendiri. Ancaman utama

pada keanekaragam hayati yang disebabkan oleh kegiatan manusia dibedakan

menjadi: perusakan habitat, fragmentasi habitat, gangguan pada habitat (termasuk

Universitas Sumatera Utara

Page 5: BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keanekaragaman Hayati Menurut

populasi), penggunaan spesies yang berlebihan untuk kepentingan manusia,

introduksi spesies-spesies eksotik dan penyebaran penyakit. Sedangkan spesies-

spesies yang rentan terhadap kepunahan biasanya mempunyai salah satu karakter

sebagai berikut: spesies dengan sebaran geografis yang sempit, spesies yang

terdiri dari salah satu atau beberapa populasi, spesies yang memiliki ukuran

populasi yang kecil, spesies yang ukuran populasinya menurun, spesies yang

memiliki densitas yang rendah, spesies yang memerlukan wilayah jelajah yang

luas, spesies yang tidak memiliki kemampuan menyebar yang baik, spesies yang

bermigrasi musiman, spesies dengan keanekaragaman genetik yang rendah,

spesies yang memiliki relung tertentu, spesies yang hanya dijumpai pada

lingkungan yang stabil, spesies yang membentuk kelompok secara tetap atau

sementara dan spesies yang diburu atau dipanen manusia.

2.3 Definisi Endemik, Langka dan Terancam Punah

Istilah endemisme, langka (rare) dan terancam punah (endangered)

seringkali dianggap sama, penting untuk disadari bahwa ketiga istilah tersebut

menggambarkan aspek biogeografi yang berbeda. Dikatakan endemik apabila

sebarannya terbatas pada suatu lokasi tertentu, langka (rare) mengacu pada

sedikitnya jumlah yang ditemui dan terancam punah (endangered) mengacu pada

keterancaman menuju kepunahan (Estill dan Cruzan, 2001).

Menurut Daubenmire (1978) dalam Estill dan Kruzan (2001) terdapat 4

tipe endemisme yang dibedakan berdasarkan mekanisme sebaran endemiknya.

Yang pertama adalah paleoendemics merupakan spesies-spesies yang tersisa dari

sebaran takson yang luas, neoendemics mewakili turunan taksa baru yang

mungkin meningkat sebarannya seiring dengan waktu. Insular endemics adalah

Universitas Sumatera Utara

Page 6: BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keanekaragaman Hayati Menurut

spesies yang dihasilkan dari suatu isolasi dalam waktu yang lama, misalnya

spesies endemik di Kepulauan Hawai. Tipe endemisme yang terakhir adalah

ecological endemics, yaitu taksa yang telah berevolusi dalam lingkungan yang

spesifik secara ketat dan membatasi diri dari koloni di luar area habitatnya yang

spesifik.

Para konservasionis telah lama menggunakan data geografi

keanekaragaman hayati untuk menentukan prioritas untuk area yang dilindungi

(Brooks et al., 2006 dalam Young, 2007). Masukan penting untuk analisis

tersebut meliputi data spesies endemik dan spesies yang terancam punah. Spesies

terancam punah memerlukan tindakan khusus atau kalau tidak mereka akan punah

selamanya. Spesies endemik juga memerlukan perhatian karena terbatasnya

sebaran dan sebagai konsekuensinya dapat menjadi terancam punah. Apabila

habitat yang dibutuhkan tidak terpenuhi, populasinya akan menurun dan habis

(Young, 2007).

2.4 Konservasi

Konservasi diartikan sebagai pengelolaan biosphere secara bijaksana bagi

keperluan manusia, sehingga menghasilkan manfaat secara berkelanjutan bagi

generasi kini dan menetapkan potensi untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi

generasi mendatang (Alikodra, 2012). Strategi Konservasi Dunia yang

dikeluarkan bersama oleh IUCN, WWF dan UNEP pada tahun 1980

menganjurkan konservasi sumberdaya kehidupan sebagai bagian yang penting

untuk pembangunan yang berkelanjutan, melalui (MacKinnon et al., 2000):

Universitas Sumatera Utara

Page 7: BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keanekaragaman Hayati Menurut

- Pemeliharaan proses-proses ekologis yang penting dan sistem penunjang

kehidupan yang merupakan sumber kelangsungan hidup manusia dan

pembangunan

- Pengawetan keragaman genetika yang merupakan sumber program

pemuliaan yang perlu untuk melindungi dan memperbaiki tumbuhan yang

dibudidayakan dan binatang yang dijinakkan, juga untuk kemajuan ilmu

pengetahuan, inovasi teknis, dan banyak industri yang menggunakan

sumberdaya kehidupan

- Menjamin penggunaan secara berkelanjutan jenis-jenis dan ekosistem-

ekosistem yang menunjang berjuta-juta masyarakat manusia dan juga

industri-industri utama

Menyadari berkembangnya proses penyusutan keanekaragaman hayati

Indonesia di semua tingkatannya, maka pemerintah berupaya agar laju

penyusutannya dapat dikurangi dengan jalan menyisihkan areal hutan alam untuk

kawasan pelestarian. Di dalam areal seperti itu keanekaragaman hayati

diharapkan dapat dipertahankan secara in situ (di tempat habitat aslinya). Pada

akhir-akhir ini, untuk melebarkan usaha pelestarian keanekaragaman hayati,

Indonesia juga telah mengembangkan konsep pelestarian keanekaragaman hayati

di luar kawasan konservasi (ex situ)(Primack et al., 1998).

Sistem kawasan konservasi tersebut secara hukum dibuat berdasarkan

ketentuan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya

Alam dan Ekosistemnya. Di sini ditentukan berbagai jenis kawasan konservasi

dengan berbagai tujuan dan karakteristiknya.

Universitas Sumatera Utara

Page 8: BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keanekaragaman Hayati Menurut

Kawasan yang dimaksud meliputi Cagar Alam yang terdiri dari Cagar

Alam Ketat dan Suaka Margasatwa dan Kawasan Konservasi Alam (Taman

Nasional, Taman Hutan Raya, Taman Rekreasi Alam). Dalam Undang-Undang

ini juga ditetapkan penetapan zona pengelolaan, penetapan Cagar Alam Biosfer,

perlindungan terhadap spesies langka dan terancam punah, dan mengacu pada

Daerah Penyangga. Definisi istilah-istilah tersebut adalah sebagai berikut:

- Cagar Alam: suatu kawasan daratan atau perairan yang memiliki cagar

alam sebagi fungsi utamanya yaitu melestarikan keanekaragaman hayati

tumbuhan dan binatang serta sebagai suatu ekosistem yang juga berfungsi

sebagai sistem penunjang kehidupan

- Cagar Alam Ketat: merupakan kawasan cagar alam yang memiliki

serangkaian tumbuhan, binatang dan ekosistem yang khas, yang

harus dilindungi dan dibiarkan berkembang secara alamiah.

- Suaka Margasatwa: merupakan suatu kawasan cagar alam yang

memiliki keanekaragaman spesies bernilai tinggi atau unik, tempat

pengelolaan habitat bisa diterapkan, dengan maksud menjamin

keberadaan dan kelangsungan hidupnya.

- Kawasan Konservasi Alam: merupakan suatu kawasan daratan atau

perairan yang fungsi utamanya adalah melestarikan keanekaragaman

spesies tumbuhan dan binatang, serta memberikan pemanfaatan

sumberdaya hidup dan ekosistemnya secara berkelanjutan.

- Taman Nasional: merupakan kawasan konservasi alam yang

memiliki ekosistem asli, dan yang dikelola melalui suatu sistem

zonasi untuk memudahkan riset, kepentingan ilmu pengetahuan,

Universitas Sumatera Utara

Page 9: BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keanekaragaman Hayati Menurut

pendidikan, peningkatan perkembangbiakan, rekreasi dan

pariwisata

- Taman Hutan Raya: merupakan kawasan konservasi alam yang

berfungsi menyediakan berbagai jenis tumbuhan dan binatang asli

dan atau bukan asli untuk kepentingan penelitian, ilmu

pengetahuan, pendidikan, peningkatan perkembangbiakan,

kebudayaan, rekreasi dan pariwisata

- Taman Rekreasi Alam: merupakan suatu kawasan konservasi alam

yang terutama dimaksudkan untuk kepentingan rekreasi dan

pariwisata

Selain pelestarian secara in situ, perlu juga dilaksanakan pelestarian ex

situ. Hal ini diperlukan untuk melengkapi usaha pelestarian in situ di atas.

Bentuk-bentuk pelestarian secara ex situ misalnya: kebun raya, kebun binatang,

kebun-kebun koleksi tanaman, dan lain-lain.

Kawasan konservasi di Indonesia mengalami peningkatan dibandingkan

dengan tahun 1981 yang hanya sekitar 7.628 juta hektar (ASEAN Center for

Biodiversity, 2010). Luas dan fungsi serta jumlah kawasan konservasi di

Indonesia disajikan pada Tabel 2.2.

Universitas Sumatera Utara

Page 10: BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keanekaragaman Hayati Menurut

Tabel 2.2. Fungsi, jumlah dan luas kawasan konservasi di Indonesia Fungsi Jumlah (Unit) Luas (Ha)

Cagar Alam Cagar Alam Laut Suaka Margasatwa Suaka Margasatwa Laut Taman Nasional Taman Nasional Laut Taman Wisata Alam Taman Wisata Alam Laut Taman Buru Taman Hutan Raya

239 6 71 4 43 7

102 14 13 22

4.330.619,96 154.610,00

5.024.138,29 5.588,25

12.328.523,34 4.043.541,30 257.418,85 491.248,00 220.951,44 350.090,41

Luas Total 521 27.206.729,84 Sumber: Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung, 2010

Indonesia juga telah meratifikasi berbagai kesepakatan lingkungan

multilateral (Multilateral Environment Agreement). Berbagai kesepakatan yang

telah diratifikasi tersebut adalah CITES (Convention on International Trade of

Endangered Species) pada tahun 1979; World Heritage Convention, pada tahun

1989; Convention Wetlands of International Importance (RAMSAR), pada tahun

1992; Convention on Biological Diversity pada tahun 1994; dan Cartagena

Protocol on Biosafety pada tahun 2005 (ASEAN Center for Biodiversity, 2010).

Dalam skala regional, telah pula ditandatangani Deklarasi Heart of Borneo (HoB)

pada tanggal 12 Februari 2007 di Bali antara Indonesia, Brunei dan Malaysia

untuk menyelamatkan kawasan jantung Kalimantan yang terletak di perbatasan.

Saat ini pemerintah sedang mempertimbangkan untuk penandatanganan

kesepakatan ASEAN Heritage Park (Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina

Hutan Lindung, 2011).

Universitas Sumatera Utara

Page 11: BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keanekaragaman Hayati Menurut

2.5 Johannesteijsmannia altifrons (Rchb.f. &Zoll.) H. E. Moore

2.5.1 Tata Nama

Johannesteijsmannia altifrons termasuk keluarga Palmae, yang memiliki

daun tunggal dengan ukuran besar, dapat mencapai 3 meter panjangnya dengan

lebar 1 meter. Palem ini dikenal dengan berbagai nama, yaitu Palem Daun

Payung (Indonesia, Malaysia), Daun Sang (Sumatera Utara), Salo (Jambi, Riau),

Balahan (Sumatera Barat), Kor, Wud, Sal, Segaloh (Malaysia) serta Joey Palm

atau Diamond Palm di negara barat (Witono, 1998; Chan, 2007).

Daun Sang pertama kali ditemukan oleh ahli Botani Belanda, Johannes

Elias Teijsman (Moore Jr, 1961; Dransfield et al., 2008). Adapun sebaran Daun

Sang meliputi Thailand, Malaysia Barat, Sumatera dan Borneo (Witono, 1998;

Dransfield et al., 2008). Di Indonesia sendiri keberadaannnya hanya dijumpai di

Aras Napal, Sekundur (TNGL) dan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (Mogea et

al., 2001;Qomar et al., 2006).

Genus Johannesteijsmannia terdiri atas 4 spesies, yaitu J. altifrons, J.

lanceolata, J. perakensis, dan J. magnifica. Malaysia mempunyai ke-4 jenis

tersebut, sementara Indonesia hanya mempunyai J. altifrons saja (Witono, 1998;

Mogea et al., 2001; Lee et al., 2003; Chan, 2007; Chan et al., 2010). Menurut

penelitian Siregar (2005) Daun Sang (J. altifrons) di kawasan hutan Sekundur

Resort Sei Betung ditemukan sebanyak 103 individu.

Universitas Sumatera Utara

Page 12: BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keanekaragaman Hayati Menurut

Tata nama Daun Sang selengkapnya adalah sebagai berikut (GBIF, tanpa

tahun):

Kerajaan : Tumbuhan Divisi : Magnoliophyta Klas : Liliopsida Ordo : Arecales Suku : Arecaceae Marga : Johannesteijsmannia Jenis :

2.5.2 Deskripsi dan Karakteristik

Johannesteijsmannia altifrons (Rchb.f.&Zoll) H. E. Moore

Palem raksasa ini soliter (tumbuh tunggal), biasanya mencapai tinggi

sampai 6 meter. Daun: berbentuk belah ketupat yang besar dan lebar, sampai

lancet agak tebal dan tunggal. Tidak mempunyai batang, kecuali J. perakensis.

Daun Sang mempunyai daun yang sangat lebar dan panjang, panjang daunnya

dapat mencapai 3 meter bahkan 6 meter (Witono, 1998; Rozainah dan Sinniah,

2005; Rozainah, 2007) dan lebarnya dapat mencapai 1 m. Tepi daun

bergelombang, pelepah daun tidak berduri, tetapi tepi pelepahnya ditumbuhi duri-

duri. Perbungaan: tumbuh di antara daun, berbentuk tandan yang bagian

pangkalnya ditutupi oleh beberapa seludang bunga. Bunga: warna kuning krem,

bisexual, dan beraroma manis asam yang kuat. Buah: berbentuk tandan, bulat,

berwarna coklat, berwarna hijau tua dan muda, permukaan kulit buah kasar dan

buah sangat keras apabila telah matang, dengan diameter sekitar 4-5 cm dan

berbiji satu (Witono, 1998; Chan, 2007). Perbanyakan spesies ini lebih banyak

berasal dari biji (Witono, 1998).

Penelitian Chan (2009) pada J. lanceolata menunjukkan, pada populasi

alam, berbunganya musiman, sementara pada populasi buatan berbunga terus

menerus. Korelasi antara pembungaan dan curah hujan lemah. Siklus reproduksi

Universitas Sumatera Utara

Page 13: BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keanekaragaman Hayati Menurut

dari mulai berbunga sampai berbuah membutuhkan waktu 14-15 bulan dan hanya

menghasilkan 2-6 buah per musim.

Produksi daun J. lanceolata pada semua tingkat umur kontinyu dan

lambat, dan daunnya berumur panjang (Rozainah dan Sinniah, 2005; Rozainah,

2007). Lebih lanjut dijelaskan bahwa pertumbuhan daun baru pada tajuknya

berkisar antara 2,6-3,3 daun per tahun untuk tingkat dewasa, 1,3-2,1 daun per

tahun untuk tingkat juvenile dan 0,8-1,6 untuk tingkat semai. Sedangkan umur

hidup daun pada tajuk berkisar 8,8 tahun untuk dewasa dan 8,4 tahun untuk

tingkat juvenile. Pada penelitian tersebut, pembedaan tingkat hidup didasarkan

pada jumlah daun hidup pada tajuknya. Tingkat semai mulai dari berkecambah

sampai mempunyai 9 daun, juvenile mulai 10-18 daun dan dewasa 19-35 daun.

2.5.3 Persyaratan Tempat Tumbuh

Daun Sang dijumpai sebagai tumbuhan bawah di hutan hujan tropis primer

terutama di hutan dataran rendah dan sangat sensitif terhadap gangguan. Di

Serawak, J. altifrons hadir terbatas di hutan kerangas; banyak terdapat di lembah

tapi cenderung menghindari lembah yang bertanah basah. J. magnifica dan J.

lanceolata merupakan tumbuhan lereng bukit dan J perakensis merupakan

tumbuhan lereng bukit dan punggung bukit. Distribusi ini sangat terpisah, spesies

sering tidak ditemui pada kondisi hutan yang sesuai (Dransfield et al., 2008).

Chan (2007) menemukan bahwa distribusi J. lanceolata berbeda berdasarkan arah

kontur, dengan kepadatan tertinggi pada lembah (65 individu per hektar). Hal ini

sepertinya dipengaruhi oleh sebaran benih, kompetisi antar spesies dan fitur

topografi.

Universitas Sumatera Utara

Page 14: BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keanekaragaman Hayati Menurut

Daun Sang termasuk spesies palem yang tidak tahan terkena sinar

matahari langsung, dan lebih sering hidup di bawah naungan pepohonan, biasanya

populasinya kecil dan lokal (Witono, 1998). Qomar et al. (2006) menyatakan

karakteristik habitat mikro Daun Sang di TN Bukit Tigapuluh sebagai berikut:

ditemukan pada ketinggian tempat antara 85-175 m dpl dan paling banyak

sebarannya pada 110 m ke atas, kelerengan bukit sangat curam (>60%), jenis

tanah paleudult atau latosol, relatif asam (pH 5,6-5,9), konsentrasi N dan K tinggi,

penutupan tajuk >70%, intensitas cahaya 13-19 lux, suhu udara 27o

2.5.4 Kegunaan

C dan

kelembaban relatif 84%.

Masyarakat setempat biasanya memanfaatkan ukuran dan daun yang

sangat kuat dari palem ini untuk dipergunakan sebagai atap rumah dan daging

buahnya dimakan secara langsung (Witono, 1998) dan di Malaysia dilaporkan

selain sebagai atap rumah yang bisa bertahan sampai beberapa tahun, Daun Sang

juga dimanfaatkan buahnya oleh komunitas China sebagai obat herbal. Selain itu,

karena tanamannya yang indah dan khas, jenis ini juga digunakan untuk dekorasi

dan pertamanan (Chan, 2007). Di beberapa situs web, banyak permintaan akan

bijinya terutama di negara barat (Amerika-Florida misalnya) jenis ini banyak

diperjualbelikan sebagai tanaman hias dengan harga yang sangat mahal.

2.5.5 Status Konservasi

Sebaran dan populasi Daun Sang sangat terbatas, dan merupakan jenis asli

di Indonesia, sehingga tanaman ini masuk ke dalam kategori flora yang

dilindungi. Hal tersebut tercantum pada Peraturan Pemerintah Republik

Universitas Sumatera Utara

Page 15: BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keanekaragaman Hayati Menurut

Indonesia No. 7 Tahun 1999 tanggal 27 Januari 1999 Tentang pengawetan jenis

tumbuhan dan satwa. Selain itu, jenis ini juga termasuk kategori Red Data Book

sebagai jenis yang terancam punah menurut IUCN (Lucas dan Synge, 1978;

Walter dan Gillet, 1998; WCMC, 1990). Namun sayangnya, banyak masyarakat

dan stake holder yang belum memahami dan mengetahuinya. Apabila hal

tersebut tidak segera ditindaklanjuti, bukan tidak mungkin, populasinya akan terus

mengalami penurunan dan kepunahan akan segera terjadi.

2.6 Taman Nasional Gunung Leuser

2.6.1 Status dan Potensi

Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) menyandang tiga gelar

sekaligus, yaitu sebagai Cagar Biosfer, Tropical Rainforest Heritage of

Sumatera/World Heritage Site dan ASEAN Heritage Park. Hal tersebut

menandakan betapa pentingnya ekosistem dan keanekaragaman hayati di Taman

Nasional Gunung Leuser tidak hanya bagi Indonesia tetapi juga bagi dunia.

TNGL pertama kali dideklarasikan pada tanggal 6 Maret 1980 sesuai

Pengumuman Menteri Pertanian Nomor : 811/Kpts/Um/II/1980 dengan luas

792.675 hektar. Kemudian ditunjuk oleh Menteri Kehutanan melalui SK Nomor :

276/Kpts-VI/1997 dengan luas 1.094. 692 hektar. TNGL terletak di Provinsi

Sumatera Utara (Kabupaten Langkat, Karo dan Dairi) dan Daerah Istimewa Aceh

(Kabupaten Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Tenggara, Gayo Lues, dan

Aceh Tamiang), dengan temperatur udara antara 21-28oC, curah hujan 200-3200

mm/th serta ketinggian tempat 0-3.381 m dpl. Saat ini, Balai Besar TNGL dibagi

menjadi tiga bidang pengelolaan TN Wilayah, yaitu Tapaktuan, Kutacane dan

Stabat; enam seksi pengelolaan TN Wilayah, yaitu Blang Pidie, Kluet Utara,

Universitas Sumatera Utara

Page 16: BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keanekaragaman Hayati Menurut

Blangkejeren, Badar, Bukit Lawang dan Besitang; 31 Resort; 2 Stasiun Penelitian

dan 1 PPOS (Dirjen PHKA, tanpa tahun).

TNGL merupakan perwakilan tipe ekosistem hutan pantai, dan hutan

hujan tropika dataran rendah sampai pegunungan. Jenis batuannya terdiri dari

batuan sediment, batuan vulkanik, batuan kapur, batuan pluton, batuan alluvium

dan batuan lainnya. Keadaan tanahnya didominasi oleh komplek podsolik coklat,

podsolik dan litosol. Van Steenis membagi wilayah tumbuh-tumbuhan di TNGL

atas 4 zona, yaitu (Dirjen PHKA, tanpa tahun).:

- Zona Tropika (termasuk zona Colline, terletak 500 – 1000 mdpl)

Zona tropika merupakan daerah berhutan lebat ditumbuhi berbagai jenis

tegakan kayu yang berdiameter besar dan tinggi sampai mencapai 40

meter. Pohon tersebut digunakan sebagai pohon tumpangan dari berbagai

tumbuhan jenis liana dan epifit yang menarik seperti anggrek dan lainnya.

- Zona peralihan dari zona tropika ke zona Colline dan zona sub-montana

ditandai dengan semakin banyaknya jenis tanaman berbunga indah dan

berbeda jenis karena perbedaan ketinggian. Semakin tinggi suatu tempat

maka pohon semakin berkurang, jenis liana mulai menghilang dan makin

banyak dijumpai jenis rotan berduri.

- Zona Montana (termasuk zona sub-montana, terletak 1000 - 1500 mdpl)

Zona Montana merupakan hutan montana. Tegakan kayu tidak lagi tertlalu

tinggi hanya berkisar antara 10 – 20 meter. Tidak terdapat lagi jenis

tumbuhan liana. Lumut banyak menutupi tegakan kayu atau pohon.

Kelembaban udara sangat tinggi dan hampir setiap saat tertutup kabut.

- Zona Sub-Alphine (2900 – 4200 mdpl)

Universitas Sumatera Utara

Page 17: BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keanekaragaman Hayati Menurut

Zona sub alphine merupakan zona hutan ercacoid dan tidak berpohon lagi.

Hutan ini merupakan lapisan tebal campuran dari pohon-pohon kerdil dan

semak-semak dengan beberapa pohon berbentuk payung (suku Ericaceae)

yang menjulang tersendiri serta beberapa jenis tundra, anggrek dan lumut.

Diperkirakan ada sekitar 3.500 jenis flora. Terdapat tumbuhan langka dan

khas yaitu daun payung raksasa (Johannesteijsmannia altifrons), bunga raflesia

(Rafflesia atjehensis dan R. micropylora) serta Rhizanthes zippelnii yang

merupakan bunga terbesar dengan diameter 1,5 meter. Selain itu, terdapat

tumbuhan yang unik yaitu ara atau tumbuhan pencekik (Dirjen PHKA, tanpa

tahun).

TNGL dan kawasan disekitarnya yang disebut sebagai Kawasan ekosistem

Leuser (KEL) merupakan habitat dari berbagai jenis mamalia, burung, reptil,

amfibi, ikan dan invertebrata. Untuk jenis mamalia dan/primata Taman Nasional

Gunung Leuser memiliki 130 jenis mamalia atau sepertiga puluh dua dari

keseluruhan jenis mamalia yang ada di dunia atau seperempat dari seluruh jumlah

jenis mamalia yang ada di Indonesia. Diantaranya yang paling menonjol adalah

Mawas/orang-utan sumatera (Pongo pygmaeus abelii), Sarudung/owa (Hylobates

lar), Siamang (Hylobates syndactilus syndactilus), Kera (Macaca fascicularis),

Beruk (Macaca nemestriana) dan Kedih (Presbytis thomasi). Untuk jenis satwa

karnivora seperti Macan dahan (Neofelis nebulosa), Beruang (Helarctos

malayanus), Harimau sumatera (Panthera tigris Sumatraensis). Jenis satwa

herbivora seperti Gajah (Elephas maximus), Badak Sumatera (Dicerorhinus

sumatraensis), Rusa (Cervus unicolor) (TFCA Sumatera, 2010; Dirjen PHKA,

tanpa tahun).

Universitas Sumatera Utara

Page 18: BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keanekaragaman Hayati Menurut

Jenis satwa Aves/burung, diperkirakan ada sekitar 325 jenis burung di

Taman Nasional Gunung Leuser atau 1/30

Diperkirakan ada sekitar 89 jenis satwa yang tergolong langka dan

dilindungi ada di hutan Taman Nasional Gunung Leuser di samping jenis satwa

lainnya. Satwa langka dan dilindungi yang terdapat di taman nasional ini antara

lain: Mawas/Orang Utan (Pongo pygmaeus abelii), Badak

Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), Harimau loreng Sumatera (Panthera tigris

sumatrae, Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus), Beruang

Madu (Helarctos malayanus), Burung Rangkong Papan (Buceros bicornis),

Anjing Ajag (Cuon Alpinus), Siamang (Hylobates syndactylus syndactylus),

Kambing hutan (Capricornis sumatraensis), Rusa Sambar (Cervus unicolor), dan

Kucing Hutan (Prionailurus bengalensis sumatrana) (TFCA Sumatera, 2010;

Dirjen PHKA, tanpa tahun).

dari jumlah jenis burung yang ada di

dunia. Diantaranya yang paling menonjol adalah Rangkong Badak (Buceros

rhinoceros). Jenis fauna Reptilia dan Amphibia didominasi oleh jenis fauna ular

berbisa dan Buaya (Crocodillus sp). Untuk fauna jenis Pisces yang menarik

adalah Ikan Jurung (Tor sp), yang merupakan ikan khas Sungai Alas dan

dagingnya terkenal akan kelezatannya serta bisa mencapai panjang 1 meter.

Sedangkan jenis fauna invertebrata, didominasi oleh Kupu-kupu (TFCA

Sumatera, 2010; Dirjen PHKA, tanpa tahun).

2.6.2 Aspek sosial ekonomi dan budaya

Keberadaan masyarakat di sekitar TNGL, tak jarang menimbulkan konflik

tersendiri dan merupakan ancaman yang serius bagi kelestarian TNGL.

Pengertian konflik (conflict) adalah benturan yang terjadi antara dua pihak atau

Universitas Sumatera Utara

Page 19: BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keanekaragaman Hayati Menurut

lebih, yang disebabkan adanya perbedaan nilai, status, kekuasaan, dan kelangkaan

sumberdaya (Faisal dan Siti Maskanah, 2000). Konflik merupakan hal yang tidak

terhindarkan dalam pengelolaan hutan di Indonesia. Alasannya sederhana, karena

terlalu banyaknya pihak yang berkepentingan terhadap hutan, sementara masing-

masing pihak berbeda kebutuhan dan tujuannya. Pada masa lalu, konflik

kehutanan seringkali ditutup-tutupi karena berbagai alasan; dan apabila terjadi

konflik, pihak yang kuat selalu mengalahkan yang lemah, dan pihak yang lemah

tidak pernah berani melawan yang kuat. Namun, Era Reformasi telah merubah

keadaan menjadi terbalik. Pihak yang lemah kini sudah berani melawan yang kuat

dengan berbagai cara, dari mulai tuntutan biasa, protes, demonstrasi, sampai

benturan fisik yang keras. Oleh karena itu, kita harus mulai mengakui bahwa

konflik merupakan suatu persoalan penting yang harus segera ditanggulangi

dalam pengelolaan hutan (Wulan et al, 2004).

Ancaman nyata bagi keanekaragaman hayati di kawasan ekosistem leuser

(KEL) adalah konversi lahan untuk tujuan pertanian dan perkebunan (milik

Negara, korporasi/perusahaan dan milik masyarakat), penggalian batu kapur dan

penambangan skala kecil (seperti emas), IDPs (pengungsi internal – mencapai

ribuan keluarga), pertumbuhan enklave, illegal logging, perambahan, sawmill

illegal, usaha perabot/meubel, kilang kayu, pembukaan jalan (pembangunan

jaringan jalan “Ladia Galaska”), panglong kayu, perburuan satwa dan

penangkapan ikan dengan menggunakan dinamit, sengatan listrik, potassium dan

racun berbahaya lainnya. Ancaman lain yang juga terjadi adalah pembukaan hutan

untuk perkebunan kelapa sawit seperti yang terjadi di Aceh Tamiang, Aceh

Universitas Sumatera Utara

Page 20: BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keanekaragaman Hayati Menurut

Selatan (Rawa Kluet) dan Rawa Singkil (Kabupaten Rawa Singkil) (TFCA

Sumatera, 2010).

Pembalakan liar di Taman Nasional Gunung Leuser kawasan Besitang,

Kabupaten Langkat diperhitungkan mencapai Rp 3,6 triliun. Kerugian tersebut

dihitung dari luas kerusakan hutan Taman Nasional Gunung Leuser di kawasan

Besitang yang mencapai lebih dari 21.000 hektar. Hutan yang rusak ini

didominasi oleh jenis meranti. Tenaga kerja untuk illegal logging ini antara lain

pengungsi asal Aceh yang masih menetap di dalam kawasan TNGL. Saat ini

masih terdapat sekitar 700 kepala keluarga pengungsi asal Aceh yang menetap di

TNGL kawasan Besitang (TFCA Sumatera, 2010).

Beberapa indikasi yang menunjukkan adanya ancaman kerusakan

ekosistem Leuser antara lain (TFCA Sumatera, 2010):

- Jumlah penduduk umumnya berada dalam batas ambang yang berarti

sebagian besar penduduk yang bergantung kepada lahan budidaya

pertanian, dihadapkan pada daya dukung lahan yang semakin rendah,

sementara tekanan akibat pertambahan penduduk absolut semakin

meningkat

- Isu pembangunan perkebunan (dan pertanian) mempengaruhi motivasi

sebagian besar masyarakat di sekitar ekosistem Leuser, terutama di

Kabupaten Aceh Selatan dan Langkat untuk mengembangkan lahan usaha

budidaya tanaman perkebunan (kelapa sawit, karet dan kakao) yang

membutuhkan areal relatif luas. Dalam hal ini, konflik antara kepentingan

pengembangan lahan budidaya dengan aspek pelestarian sumberdaya

alam ekosistem Leuser semakin dirasakan.

Universitas Sumatera Utara

Page 21: BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keanekaragaman Hayati Menurut

Upaya pemerintah untuk mengembangkan sektor non-pertanian di

kecamatan-kecamatan di kawasan penyangga ekosistem Leuser tampaknya

terbatas, bahkan dalam kebijaksanaan pembangunan Provinsi NAD, dua

kabupaten dimana ekosistem Leuser berada yaitu Kabupaten Aceh Selatan dan

Aceh Tenggara diarahkan kepada wilayah pembangunan dan pengembangan

pertanian-perkebunan (TFCA Sumatera, 2010).

Terdapat sedikitnya 31 wilayah kecamatan di empat kabupaten yang

merupakan daerah penyangga ekosistem leuseur. Penggunaan lahan di kawasan

penyangga ekosistem Leuser ini umumnya terdiri dari pemukiman, perkebunan

rakyat, sawah, pertanaman campuran dan hutan lindung (TFCA Sumatera, 2010).

Terlepas dari keanekaragaman hayatinya yang kaya, Ekosistem Leuser

menyediakan fungsi pendukung kehidupan untuk pengembangan yang bisa

mendukung kira-kira empat juta orang-orang yang hidup di sekitarnya. Beberapa

contoh dari fungsi ini adalah: persediaan air bersih yang rutin, pengendali banjir

dan erosi, perlindungan plasma nutfah, pengaturan iklim lokal, penjerap karbon,

perikanan air tawar dan kecantikan alami untuk mendukung pariwisata (TFCA

Sumatera, 2010).

2.7 Sistem Informasi Geografis (SIG)

SIG mulai dikenal pada awal 1980-an. Sejalan dengan berkembangnya

perangkat komputer, baik perangkat lunak maupun perangkat keras, SIG

berkembang sangat pesat pada era 1990-an. Secara harfiah, SIG dapat diartikan

sebagai: suatu komponen yang terdiri atas perangkat keras, perangkat lunak, data

geografis dan sumberdaya manusia yang bekerja bersama secara efektif untuk

menangkap, menyimpan, memperbaiki, memperbaharui, mengelola,

Universitas Sumatera Utara

Page 22: BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keanekaragaman Hayati Menurut

memanipulasi, mengintegrasikan, menganalisa dan menampilkan data dalam

suatu informasi berbasis geografis (Puntodewo et al., 2003). Lebih lanjut

dijelaskan bahwa aplikasi SIG menjawab beberapa pertanyaan seperti: lokasi,

kondisi, trend, pola dan pemodelan. Kemampuan inilah yang membedakan SIG

dari sistem informasi lainnya.

Informasi geografis selalu berhubungan erat dengan ilmu tumbuh-

tumbuhan, sejak dimulainya eksplorasi sampai dengan mengkombinasikannya

dengan pemetaan, dan membantu ahli botani dalam manganalisis identifikasi

prioritas konservasi tumbuhan. Aplikasi SIG dan teknologi Remote Sensing

(Penginderaan Jauh) menunjukkan peningkatan dalam penggunaannya untuk

konservasi tumbuhan selama lebih dari dua dekade. Kegunaan utamanya dalam

konservasi tumbuhan adalah: pemetaan (lokasi spesimen dan distribusi spesimen),

pemetaan vegetasi dan habitat, deteksi perubahan habitat, dan mendukung dalam

pengelolaan lahan (Moat et al., 2009; Foody, 2008).

2.8 Pemodelan Kesesuaian Habitat Berbasis SIG dan Statistika

Pemodelan kesesuaian habitat (habitat suitability) dikenal juga dengan

istilah ecological niche, environmental niche, species distribution modeling, dan

bioclimate envelope modeling (Pearson, 2007; Hirzel dan Lay, 2008). Pemodelan

ini menjadi popular dan efektif dalam ilmu ekologi dan digunakan secara luas

pada berbagai aplikasi ekologi (Elith et al., 2006; Nazeri et al., 2010; Gelfand et

al., 2006).

Prinsipnya adalah interpolasi data hasil survey biologi pada skala

keruangan. Pemodelan ini merupakan model prediksi kuantitatif hubungan antara

spesies dengan lingkungannya, sehingga dapat digunakan untuk memprediksi

Universitas Sumatera Utara

Page 23: BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keanekaragaman Hayati Menurut

sebaran aktualnya atau potensi sebarannya (Pallaris, 1998; Cayuela et al., 2009;

Hoeting, 2006, Nanyomo, 2010, Pearson, 2007, Gelfand et al., 2006; William et

al., 2009; Gaston dan Fuller, 2008; Kumar dan Stohlgren, 2009). Oleh karenanya

dapat dimanfaatkan untuk perencanaan konservasi, menilai status spesies,

memproyeksikan dampak perubahan iklim, memprediksi invasif spesies, restorasi

ekologi, dampak lingkungan dan analisis resiko (Franklin, 2010).

Prediksi dan pemetaan potensi kesesuaian habitat untuk spesies terancam

punah sangat penting. Hal ini perlu untuk memantau dan memulihkan penurunan

populasi pada habitat alaminya, untuk kepentingan introduksi buatan atau

pemilihan lokasi konservasi dan perlindungan serta pengelolaan habitat alaminya

(Gaston, 1996; Bartel dan Sexton, 2009). Sebaran data spesies terancam punah

seringkali tersebar (Guissan et al., 2006) dan terkelompok yang biasanya

menyebabkan pendekatan pemodelan kesesuian habitat sulit untuk dilakukan

(Kumar dan Stohlgren, 2009).

Kerangka pemikiran pemodelan ini dilandasi oleh teori niche, yang

dikemukakan oleh Hutchinson (1957) dalam Phillips et al. (2004) yaitu suatu

tempat dimana spesies memilih untuk hidup dan memenuhi persyaratan untuk

kelangsungan hidupnya. Hal ini tidak jauh berbeda dengan Franklin (2010) yang

mengutip pendapat Hutchinson (1987), ‘…hypervolume yang didefinisikan oleh

lingkungan dimana spesies tersebut dapat bertahan hidup dan berreproduksi’.

Hutchinson lebih jauh membedakan antara istilah niche dasar/fundamental niche

(secara fisiologi atau potensial) yang didefinisikan sebagai respon spesies kepada

lingkungannya (sumberdaya) dalam suatu interaksi biotik (kompetisi,

pemangsaan, fasilitasi) dengan niche nyata/realized niche (secara ekologi, aktual)

Universitas Sumatera Utara

Page 24: BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keanekaragaman Hayati Menurut

yang didefinisikan sebagai dimensi lingkungan dimana spesies dapat bertahan

hidup dan berreproduksi, termasuk dari efek interaksi biotik.

Model konseptual tentang pengaruh lingkungan pada suatu niche

dikemukakan oleh Franklin (2010) berdasarkan inspirasi dari Guissan dan

Zimmermann (2000) sebagaimana terlihat pada Gambar 2.2.

· Gambar 2.2. Model konseptual pengaruh lingkungan pada suatu niche

Sumber: Franklin (2010)

Pemodelan kesesuaian habitat didukung oleh tiga komponen utama, yaitu

ekologi, data dan model statistika (Austin, 2002). Model ekologi meliputi teori

ekologi yang diterapkan atau hipotesis yang diuji dalam suatu penelitian. Model

data terdiri dari keputusan yang dibuat tentang bagaimana data dikumpulkan dan

bagaimana data akan diukur atau diperkirakan. Model statistika mencakup

pilihan metode dan keputusan tentang pelaksanaan (kalibrasi dan validasi).

Guissan dan Zimmermann (2000) membedakan tahapan pemodelan statistik

menjadi empat tahap, yaitu: perumusan model konseptual, perumusan model

statistika, kalibrasi dan evaluasi. Skemanya dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Universitas Sumatera Utara

Page 25: BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keanekaragaman Hayati Menurut

Gambar 2.3. Diagram komponen pemodelan kesesuaian habitat

Sumber: Franklin (2010)

Beberapa teknik pemodelan yang biasa digunakan adalah (Newbold,

2009):

1. Climate envelopes

Teknik ini merupakan pemodelan paling sederhana. Envelopes mendefinisikan

kondisi kesesuaian lingkungan untuk suatu spesies dengan referensi kondisi tapak

dimana spesies tersebut ditemukan. BIOCLIM lebih biasa digunakan untuk teknik

ini. Teknik ini mempunyai kelemahan, yaitu over prediksi. Hal ini terjadi

mungkin karena sensitivitas BIOCLIM pada data pencilan spesies pada ruang

lingkungan atau karena interaksi antara variabel iklim yang tidak

dipertimbangkan. Performa teknik ini sedang sampai rendah.

2. Logistic regression

Teknik kedua terdiri atas pendekatan statistik tradisional. Secara umum, Model

Linear telah banyak dikenal oleh para ahli ekologi, dianggap tidak sesuai untuk

Universitas Sumatera Utara

Page 26: BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keanekaragaman Hayati Menurut

pemodelan sebaran spesies karena berasumsi variansnya homogen, hubungan

antara variabel respon dan variabel bebas linear dan galat terdistribusi normal.

Generalized linear models (GLMs) adalah perluasan dari model linear umum,

yang memungkinkan untuk berbagai distribusi kesalahan dan mengendurkan

asumsi linieritas dan homogenitas varians.

3. Maximum Entrophy

Untuk model sebaran spesies

menggunakan GLMs, catatan kejadian spesies (ada dan tidak ada) dicocokkan

sebagai variabel respon dan variabel lingkungan sebagai variabel bebas. Model

didasarkan pada data ada dan tidaknya spesies mempunyai distribusi galat yang

binomial. Model ini dikenal sebagai model regresi logistik. GLMs secara umum

mempunyai performa yang sangat bagus dibandingkan teknik pemodelan yang

lain, tetapi relatif jelek dengan ukuran sampel yang sangat kecil. Penelitian dan

review penggunaan GLMs telah dilakukan oleh Guisan dan Zimmermann (2000)

dan Guisan et al. (2002). Generalized additive models (GAMs) adalah perluasan

dari GLMs. GAMs juga mempunyai performa yang baik , hanya saja sensitif

terhadap ukuran sampel yang kecil.

Maxent merupakan metode yang didasarkan pada prinsip maksimum entropi,

tujuannya adalah untuk menghasilkan sebuah prediksi yang sebisa mungkin sama

dengan kendala bahwa nilai harapan dari masing masing variabel lingkungan

harus sama dengan rata-rata empiris. Maxent hanya membutuhkan catatan

keberadaan spesies, membandingkannya dengan sampel latar belakang secara

acak dari semua grid cell pada lokasi penelitian. Maxent merupakan teknik

pemodelan yang selalu konsisten memberikan performa yang terbaik. Aplikasi

Universitas Sumatera Utara

Page 27: BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keanekaragaman Hayati Menurut

dan review Maxent telah dilakukan oleh Kumar dan Stohlgren (2009) dan Phillips

et al. (2004).

4. Genetic Algorithm for Rule-set Prediction (GARP)

GARP mengembangkan satu set pernyataan jika-maka (aturan) yang menentukan

apakah spesies tersebut diperkirakan ada atau tidak sesuai dengan kondisi

lingkungan dari sel grid tersebut.

GARP menunjukkan performa campuran pada

uji akurasi yang dilakukan. Ada yang menunjukkan performa yang akurat tapi ada

juga yang menunjukkan performa yang relatif jelek dan cenderung over prediksi.

Universitas Sumatera Utara