bab ii tinjauan pustaka 1.1 tinjauan mengenai...
TRANSCRIPT
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Tinjauan Mengenai Kriminologi
1.1.1 Definisi Kriminologi
Kriminologi adalah keseluruhan pengetahuan yang membahas
kejahatan sebagai suatu gejala sosial. Nama kriminologi yang
ditemukkan oleh P. Topinard (1830-1911) seorang ahli antropologi
Perancis, secara harfiah berasal dari kata “crimen” yang berarti kejahatan
atau jahat, dan “logos” yang berarti ilmu pengetahuan, maka kriminologi
dapat berarti ilmu tentang kejahatan atau penjahat. Beberapa sarjana
memberikan definisi berbeda mengenai kriminologi ini diantaranya :
W. A. Bonger memberikan definisi kriminologi sebagai ilmu
pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluasluasnya.
Sutherland merumuskan kriminologi sebagai keseluruhan ilmu
pengetahuan yang bertalian dengan perbuatan jahat sebagai gejala sosial
(The body of knowlwdge regarding crime as a social phenomenon).
Menurut Sutherland kriminologi mencakup proses pembuatan
hukum, pelanggaran hukum, dan reaksi atas pelanggaran hukum.1
Paul Mudigdo Moeliono menyatakan bahwa tidak sependapat dengan
yang dikemukakan Sutherland dan dia memberikan definisi kriminologi
sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai masalah
manusia.
1 Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2002. Kriminologi, PT Grafindo, Jakarta. Hal 10
7
Michael dan Adler mendefinisikan bahwa kriminologi adalah
keseluruhan keterangan mengenai perbuatan dan sifat dari para penjahat,
lingkungan mereka dan cara mereka secara resmi diperlakukan oleh
lembaga-lembaga penertib masyarakat dan oleh para anggota
masyarakat.
Wood berpendirian bahwa istilah kriminologi meliputi keseluruhan
pengetahuan yang diperoleh berdasar teori atau pengalaman, yang
bertalian dengan perbuatan jahat dan penjahat, termasuk didalamnya
reaksi dari masyarakat terhadap perbuatan jahat dan para penjahat.
Noach merumuskan kriminologi sebagai ilmu pengetahuan tentang
perbuatan jahat dan perilaku tercela yang menyangkut orangorang yang
terlibat dalam perilaku jahat dan perbuatan tercela itu.
Wolfgang, Savitz dan Johnston dalam The Sociology of Crime and
Delinquency memberikan definisi kriminologi sebagai kumpulan ilmu
pengetahuan tentang kejahatan yang bertujuan untuk memperoleh
pengetahuan dan pengertian tentang gejala kejahatan dengan jalan
mempelajari dan mennganalisis secara ilmiah keterangan-keterangan,
keseragaman-keseragaman, pola-pola dan faktor-faktor kausal yang
berhubungan dengan kejahatan, pelaku kejahatan serta reaksi masyarakat
terhadap keduanya.2
2 Ibid Hal. 12
8
1.1.2 Objek Kriminologi
Jadi secara umum maka dapat ditarik suatu kesimpulan dari berbagai
pendapat para sarjana tersebut diatas bahwa obyek studi dalam
kriminologi mencakup tiga hal yaitu :
a. Perbuatan yang disebut kejahatan;
b. Pelaku kejahatan; dan
c. Reaksi masyarakat yang ditujukan baik terhadap perbuatan maupun
terhadap pelakunya.3
1.1.3 Teori-teori Kriminologi
Kriminologi mengenal banyak sekali teori-teori, akan tetapi kita
coba untuk memfokuskan pada beberapa teori yang dapat dibagi ke
dalam tiga perspektif :
a. Teori yang menjelaskan kejahatan dari perspektif biologis dan
psikologis. Teori ini menitikberatkan pada perbedaan-perbedaan
kondisi fisik dan mental yang terdapat pada individu. Dengan
mempertimbangkan suatu variasi kemungkinan, antara lain yaitu ;
cacat kesadaran, ketidakmatangan emosi, perkembangan moral lemah,
pengaruh hormon, ketidak normalan kromosom, kerusakan otak dan
sebagainya yang mempengaruhi tingkah laku kriminal. Para tokoh
teori ini; Cesare Lambroso, Rafaelle Garofalo serta Charles Goring.4
b. Teori yang menjelaskan kejahatan dari perspektif sosiologis. Teori
sosiologis mencari alasan perbedaan dalam angka kejahatan di dalam
suatu lingkungan sosial. Teori ini dapat dikelompokkan menjadi tiga
3 Rahmat. 2012. Analisis yuridis kriminologis terhadap kejahatan yang dilakukan oleh oknum
aparat kepolisian di indonesia ( studi kasus universitas negeri gorontalo )”. Hal. 16 4 Ibid. Hal 17
9
kategori umum, yaitu; strain, cultural deviance (penyimpangan
budaya), dan social control (kontrol sosial). Mendasarkan satu asumsi
bahwa motivasi kejahatan merupakan bagian dari umat manusia.
c. Teori yang menjelaskan kejahatan dari perspektif lainnya.
Teori dari perspektif lainnya ini merupakan suatu alternative
penjelasan terhadap Kejahatan yang sangat berbeda dengan dua
perspektif sebelumnya, yang dianggap sebagai tradisional
expanations. Para kriminolog menjelaskan kejahatan dngan berusaha
menunjukkan bahwa orang menjadi kriminal bukan karena cacat atau
kekurangan internal tetapi lebih karena apa yang dilakukan oleh
orangorang yang berada dalam kekuasaan, khususnya mereka yang
berada dalam sistem peradilan pidana.5
1.1.4 Pemikiran Kriminologi Baru (kritis)
Sedangkan aliran kriminologi baru lahir dari pemikiran yang
bertolak belakang pada anggapan bahwa perilaku menyimpang yang
disebut sebagai kejahatan, harus dijelaskan dengan melihat pada kondisi-
kondisi struktural yang ada dalam mayarakat dan menempatkan perilaku
menyimpang dalam konteks ketidakmerataan kekuasaan, kemakmuran
dan otoritas serta kaitannya dengan perubahan-perubahan ekonomi dan
politik dalam masyarakat.
Ukuran dari menyimpang atau tidaknya suatu perbuatan bukan
ditentukan oleh nilai-nilai dan norma-norma yang dianggap sah oleh
mereka yang duduk pada posisi-posisi kekuasaan atau kewibawaan,
5 Op Cit.
10
melainkan oleh besar kecilnya kerugian atau keparahan sosial (social
injuries) yang ditimbulkan oleh perbuatan tersebut dan dikaji dalam
konteks ketidakmerataan kekuasaan dan kemakmuran dalam masyarakat.
Perilaku menyimpang sebagai proses sosial dianggap terjadi sebagai
reaksi terhadap kehidupan kelas seseorang. Disini yang menjadi nilai-
nilai utama adalah keadilan dan hak-hak asasi manusia.
Rumusan kejahatan dalam kriminologi semakin diperluas. Sasaran
perhatian terutama diarahkan kepada kejahatan-kejahatan yang secara
politis, ekonomis dan sosial amat merugikan yang berakibat jatuhnya
korban-korban bukan hanya korban individual melainkan juga golongan-
golongan dalam masyarakat. Pengendalian sosial dalam arti luas
dipahami sebagi usaha untuk memperbaiki atau mengubah struktur
politik, ekonomi dan sosial sebagai keseluruhan.
Robert F. Meier mengungkapkan bahwa salah satu kewajiban dari
kri minologi baru ini adalah untuk mengungkap tabir hukum pidana,baik
berupa sumber-sumber maupun penggunaan-penggunaannya, guna
menelanjangi kepentingan-kepentingan penguasa.6
Suatu catatan kritis terhadap pemikiran ini, diungkapkan oleh Paul
Mudigdo Moeliono. Dinyatakan bahwa kadar kebenaran dan nilai-nilai
praktis dari teori kritis dapat bertambah apabila hal itu dikembangkan
dalam situasi konkret demi kepentingan atau bersama-sama mereka yang
diterbelakangkan, guna memperbaiki sistem hukum atau pengurangan
keterbelakangan mereka dalam masyarakat. Akan tetapi, bahaya dari
6 Ibid Hal 18
11
praktek pengalaman yang terbatas adalah adanya penyempitan kesadaran
dan diadakannya generalisasi yang terlalu jauh jangkauannya. Mereka
sampai pada perumusan-perumusan tentang kejahatan dan perilaku
penyimpangan yang tidak dapat dipertahankan oleh karena adanya
generalisasi yang berlebihan bahwa delik adalah pernyataan dari
perlawanan sadar dan rasional terhadap masyarakat yang tidak adil yang
hendak menyamaratakan orang-orang menjadi obyek-obyek peraturan
oleh birokrasi dan politik.
Jock Young (1975) mengenalkan suatu term baru “kriminologi kelas
pekerja” (The working class criminology) dengan mengatakan strategi
radikal kriminologis bukanlah mendukung legalitas dan rule of law,
melainkan membuka kedok hukum dalam warna yang sesungguhnya,
sebagai alat dari kelas yang berkuasa, dan secara taktis menunjukkan
bahwa negara akan melanggar Undang-undangnya sendiri, bahwa
legitimasinya adalah sebuah dalih belaka, serta pembuat aturan adalah
juga sekaligus pelanggar hukum yang paling utama.
Pada intinya bahwa Kriminologi bertujuan untuk menciptakan
perkembangan pengetahuan lain berkenaan dengan proses penyusunan
undang-undang; kejahatan dan pencegahan atau perlakuan.7
Menurut Sutherland8 merumuskan: ”The Body of Knowledge
regarding crime as social Phenomenon”; kriminologi sebagai
keseluruhan ilmu pengetahuan yang bertalian dengan perbuatan jahat
sebagai gejala sosial. Menurutnya, kriminologi mencakup proses-proses
7 Ibid Hal 19
8 Yesmil Anwar dan Adang, 2010. Kriminologi, Bandung, PT Refika Aditama, hlm.xviii.
12
pembuatan hukum, pelanggaran hukum dan reaksi atas pelanggaran
hukum. Sehingga olehnya dibagi menjadi tiga yaitu: sosiologi hukum,
yaitu ilmu tentang perkembangan hukum, Etiologi hukum yaitu yang
mencoba melakukan analisa ilmiah mengenai sebab-sebab kejahatan,
penologi yaitu yang menaruh perhatian atas perbaikan narapidana.
Secara luas kriminologi diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang
mencakup semua materi pengetahuan yang diperlukan untuk
mendapatkan konsep kejahatan serta bagaimana pencegahan kejahatan
dilakukan termasuk didalamnnya pemahaman tentang pidana atau
hukuman. Bidang ilmu yang menjadi fokus kriminologi dan objek studi
kriminologi, mencakup:
Pertama: sosiologi hukum yang lebih memfokuskan perhatiannya
pada objek studi kriminologi, yakni kejahatan, dengan mempelajari hal-
hal; yang terkait dengan kondisi terbentuknya hukum pidana , peranan
hukum dalam mewujudkan nilai-nilai sosial, serta kondisi empiris
perkembangan hukum.
Kedua: etiologi kriminal lebih memfokuskan perhatiannya pada
objek studi kriminologi, yakni penjahat, yaitu mempelajari alasan
seseorang melanggar hukum pidana, atau melakukan tindak kejahatan
sementara orang lainnya tidak melakukannya.
Ketiga: penologi lebih memfokuskan perhatiannya pada objek studi
keriminologi, yakni reaksi sosial, dengan mempelajari hal-hal yang
terkait dengan berkembangnya hukuman, arti dan manfaatnya yang
berhubungan dengan “control of crime”.
13
Keempat: viktimologi yang lebih memfokuskan perhatiannya pada
objek studi kriminologi, yakni korban kejahatan, dengan mempelajari
hal-hal yang terkait dengan kedudukan korban dalam kejahatan, interaksi
yang terjadi antara korban dan penjahat, tanggung jawab korban pada
saat sebelum dan selama kejahatan terjadi.9
Kriminologi termasuk cabang ilmu yang baru. Berbeda dengan
hukum pidana yang muncul begitu manusia bermasyarakat. Kriminologi
telah berkembang semenjak tahun 1850 bersama-sama sosiologi,
antropologi dan psikologi. Secara etimologis, kriminologi berasal dari
kata crimen yang berarti kejahatan dan logos berarti ilmu atau
pengetahuan. Jadi kriminologi adalah ilmu / pengetahuan tentang
kejahatan. Istilah kriminologi untuk pertama kali di gunakan oleh P.
Topinand ( 1879 ), ahli antropologi perancis.10
Nama Kriminologi yang disampaikan oleh P.Topinard seorang ahli
antropologi perancis secara harfiah menyatakan berasal dari kata Crimen
yang berarti Kejahatan atau penjahat dan “Logos” yang berarti ilmu
pengetahuan. Maka Kriminologi dapat berarti Ilmu tentang kejahatan
atau penjahat. Beberapa sarjana memberikan pengertian yang berbeda
mengenai kriminologi”. Bonger Memberikan definisi Kriminologi
“sebagai ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan
seluas-luasnya.”11
9 Ibid.
10 Romli Atmasasmita, 2007 ,Teori dan Kapikta Selekta Kriminologi, Bandung. Adi Tama.hlm. 4
11 Topo santoso, Eva Achjani Zulfa, 2010. Kriminologi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta Hlm.
10
14
Disamping itu Bonger Juga Membagi Menjadi Kriminologi Terapan
yang berupa:
1. Higiene Kriminil, usaha yang bertujuan mencegah terjadinya
kejahatan;
2. Politik Kriminil, usaha penanggulangan kejahatan dimana satu
kejahatn terjadi. disini dilihat sebab-sebab seorang melakukan
kejahatan, kalau karena faktor ekonomi maka yng perlu diperbaiki
adalah kesejhteraan masyarakatnya;
3. Kriminalistik, yang merupakan ilmu tentang pelaksanaan penyidikan
tekhnik kejahatan dn pengusutan kejahatan;
Pengertian Kriminologi Menurut Sutherland Merumuskan
kriminologi sebagai keseluruhan ilmu pengetahuan yang bertalian dengan
perbuatan jahat sebgai gejala social yang mencakup proses-proses
pembuatan hukum, pelanggaran hukum dan reaksi atas pelnggaran
hukum. sehingga olehnya dibagi menjadi tiga yaitu:
a) Sosiologi Hukum ilmu tentang perkembangan hukum;
b) Etiologi Hukum yang mencoba melakukan analisa ilmiah mengenai
sebab-sebab kejahatan;
c) Penologi yang menaruh perhatian atas perbaikan nara pidana;
Paul Mudigdo Mulyono tidak sependapat dengan definisi yang
diberikan Suthrland. menurutnya definisi itu seakan-akan tidak
memberikan gambaran bahwa pelaku kejahatan itupun mempunyai andil
atas terjadinya kejahatan, oleh karena terjadinya kejahatan bukan semata-
mata perbuatan yang ditentang oleh masyarakat, akan tetapi adanya
15
dorongan dari sipelaku untuk melakukan perbuatan jahat yang ditentang
oleh masyarakat tersebut. karenanya Paul Mudigdo Mulyono
memberikan definisi Kiminologi adalah:“Ilmu pengetahuan yang
mempelajari kejahatan sebagai masalah manusia”.12
Michael dan Adler berpendapat bahwa Kriminologi adalah
keseluruhan keterangan mengenai perbuatan dan sifat dari para penjahat,
lingkungan mereka dan cara mereka secara resmi di perlukan oleh
lembaga-lembaga penertib masyarakat dan oleh para anggota
masyarakat.
Wood berpendirian bahwa istilah Kriminologi meliputi keseluruhan
pengetahuan yang di peroleh berdasarkan teori atau pengalaman, yang
bertalian dengan perbuatan jahat dan penjahat termasuk di dalamnya
reaksi dari masyarakat terhadap perbuatan jahat dan para penjahat.
Noach merumuskan Kriminologi sebagai ilmu pengetahuan tentang
perbuatan jahat dan perilaku tercela yang menyangkut orang-orang yang
terlibat dalam perilaku jahat dan perbuatan jahat itu.
Wolfgang Savitz dan Johnston dalam memberikan definisi sebagai
kumpulan ilmu pengetahuan tentang kejahatan yang bertujuan untuk
memperoleh pengetahuan dan pengertian tentang gejala gejahatan dengan
jalan mempelajari dan menganalisa secara ilmiah keterangan-keterangan,
keseragaman-keseragaman, pola-pola, dan faktor-faktor kausal yang
berhubungan dengan kejahatan, pelaku kejahatan serta reaksi masyarakat
terhadap keduanya.13
12
Ibid. hlm.12 13
Ibid.
16
Bertolak dari pemikiran yang di sampaikan para pakar kriminologi di
atas maka calon peneliti berpendapat bahwa kriminologi adalah suatu ilmu
yang mempelajari tentang perbuatan jahat menyangkut orang-orang yang
terlibat dalam suatu tindakan yang melanggar norma hukum yang dapat di
kategorikan kedalam unsur-unsur pidana.
Sejak kelahirannya, hubungan kriminologi dengan hukum pidana
sangat erat, artinya hasil-hasil penyelidikan kriminologi dapat membantu
pemerintah dalam menangani masalah kejahatan, terutama melalui hasil-
hasil studi dibidang etiologi dan penologi dipakai untuk membantu
pembuatan undang-undang pidana (kriminalitas) atau pencabutan undang-
undang (dekriminilisasi), sehingga kriminologi sering disebut sebagai
“signal-wetenchap”. Bahkan aliran modern yang diorganisasikan oleh von
liszt menghendaki kriminologi bergabung dengan hukum pidana sebagai
ilmu bantunya agar bersama-sama menangani hasil penyelidikan “politik
kriminal” sehingga memungkinkan memberikan petunjuk jika terhadap
penanganan hukum pidana dan pelaksanaannya, yang semuanya
ditunjukkan untuk melindungi warga negara yang baik dari penjahat.
Terhadap kriminalisasi, H. Manneheim memberikan pandangannya
bahwa terdapat berbagai bentuk perbuatan anti sosial yang tidak dijadikan
tindak pidana dan banyak diantaranya yang seharusnya tidak boleh
dijadikan tindak pidana karena tiga alasan:
1. Efisiensi dalam menjalankan undang-undang pidana banyak
tergantung pada adanya dukungan dari masyarakat luas, sehingga
17
harus diselidiki apakah tentang kelakuan yang bersangkutan itu ada
sikap yang sama dalam masyarakat;
2. Sekalipun ada sikap yang sama, maka harus diselidiki pula apakah
tingkah laku yang bersangkutan merupakan tingkah laku yang
bersangkutan merupakan tingkah laku yang penindakannya secara
teknis sangat sulit atau tidak. Sebab apabila ini terjadi, akan
menimbulkan manipulasi dalam pelaksanaannya;
3. Perlu diingat pula apakah tingkah laku yang bersangkutan sebenarnya
merupakan sesuatu yang tidak sesuai untuk dijadikan obyek hukum
pidana, artinya apakah nantinya tidak terlalu banyak mencampuri
kehidupan pribadi daari individu.
Kriminologi khususnya sebagai pengaruh pemikiran kritis yang
mengarahkan studinya pada proses-proses (kriminalisasi), baik proses
pembuatan maupun bekerjanya undang-undang, dapat memberikan
sumbangan besar di bidang sistem peradilan pidana, khususnya berupa
penelitian tentang penegakan hukum, akan dapat digunakan untuk
memperbaiki bekerjanya aparat penegak hukum, seperti untuk
memberikan perhatian terhadap hak-hak terdakwa maupun korban
kejahatan, organisasi (birokrasi) penegakan hukum serta perbaikan
terhadap perundang-undangan itu sendiri.
Pembagian kriminologi menurut Bonger yaitu:
a. Antropologi kriminal, yaitu suatu ilmu pengetahuan tentang manusia
jahat, dimana ilmu pengetahuan ini, memberikan jawaban atas
18
pertanyaan tentang orang jahat, misalnya didalam tubuhnya
mempunyai tanda-tanda seperti apa;
b. Sosiologi kriminal, yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang
kejahatan sebagai sutau gejala masyarakat. Intinya ingin mengetahui
dan menjawab sampai dimana letak sebab musabab kejahatan dalam
masyarakat;
c. Psychology kriminal, yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari
tentang penjahat yang dilihat dari sudut jiwanya;
d. Psycho dan neuro kriminal, yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari
penjahat yang sakit jiwa atau urat syaraf;
e. Penologi, yaitu ilmu yang mempelajari tentang tumbuh dan
perkembangan hukuman.14
14
Wahju Muljono , Pengantar Teori kriminologi . Yogyakarta. Pustaka Yudistia, 2012 Hlm. 31
19
1.2 Tinjauan Mengenai Kejahatan
1.2.1 Definisi tentang kejahatan
Menurut definisi dalam KUHP; Kejahatan (misdrijven) yaitu
perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang sebagai
perbuatan pidana, telah dirasakan sebagai perbuatan yang bertentangan
dengan tata hukum. Misalnya ; Penganiayaan (Pasal 351).
Menurut W.A. Bonger dalam bukunya “Pengantar Tentang
Kriminologi”, Kejahatan dirasakan sebagai perbuatan yang immoral dan
asosial, yang tidak dikehendaki oleh kelompok pergaulan yang
bersangkutan, dan secara sadar ditentang oleh pemerintah.15
Menurut Paul Mudigdo Moeliono, Kejahatan adalah perbuatan
manusia yang merupakan pelanggaran norma, yang dirasakan merugikan,
menjengkelkan, sehingga tidak boleh dibiarkan.16
Menurut Garofalo yang mengembangkan suatu konsepsi tentang
sifat hakikat alamiah kejahatan dan memberikan definisinya sebagai
suatu pelanggaran terhadap perasaan-perasaan tentang rasa kasihan dan
rasa kejujuran.
Menurut Sutherland menekankan bahwa kejahatan adalah perilaku
yang dilarang oleh negara karena merupakan perbuatan yang merugikan
negara dan terhadap perbuatan itu negara bereaksi dengan hukuman
sebagai upaya pamungkas.17
15
Rahmat. 2012. Analisis yuridis kriminologis terhadap kejahatan yang dilakukan oleh oknum
aparat kepolisian di indonesia ( studi kasus universitas negeri gorontalo )”. Hal. 20 16
Ibid. 17
Ibid
20
Menurut Radcliff Brown telah mendefinisikan kejahatan sebagai
suatu pelanggaran terhadap suatu kebiasaan yang mendorong
dilaksanakannya sanksi pidana. Menurut Thomas mendefinisikan
kejahatan dari sudut psikologi sosial sebagai suatu tindakan yang
bertentangan dengan rasa solidaritas kelompok.18
Kejahatan dapat juag dikatakan sebagai peristiwa pidana (tindak
pidana = delik). Menurut Simon19
Peristiwa pidana adalah Perbuatan
salah dan melawan hukum yang diancam pidana dan dilakukan oleh
seseorang yang mampu bertanggung jawab.
1. Unsur-unsur Kejahatan atau Tindak Pidana
Suatu perbuatan dikategorikan sebagai kejahatan atau perbuatan
pidana, jika memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
(1) Unsur obyektif (unsur yang secara awam bisa dilihat)
(2) Pelaku/Subyek; Pelaku/subyek kejahatan atau tindak pidana bisa
orangperseorangan ataupun korporasi.
a. Melanggar peraturan perundang-undangan
b. Perbuatan itu bersifat melawan hukum.
c. Unsur subyektif (mengenai bentuk kesalahannya) Misal :
kesengajaan, kealpaan.
Selain dua unsur di atas, Moeljatno juga menambahkan tentang
unsur-unsur kejahatan atau perbuatan pidana, yaitu :
a. Kelakuan dan akibatnya
b. Hal ihwal atau keadaan yang menyertai perbuatan. Van Hamel
18
Ibid 19
C.T. Kansil &Christine S.T. Kansil. Pokok-pokok Huku Pidana Hukum Pidana Untuk Tiap
Orang, Jakarta, Pradnya Pratama. Hal 37
21
membagi hal ihwal menjadi dua golongan, yaitu yang mengenai
diri orang yang melakukan perbuatan dan yang mengenai di luar
diri si pembuat.
c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana contoh
:penganiayaan yang menyebabkan matinya seseorang, pidananya
lebih berat dibanding penganiayaan biasa (Pasal 351 KUHP).
Dalam hal ini keadaan tambahan yang memberatkan pidana adalah
matinya seseorang.
Peristiwa pidana adalah Perbuatan salah dan melawan hukum yang
diancam pidana dan dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggung
jawab. Menurut Simon unsur-unsur erisriwa pidana adalah sebagai
berikut :
a. Handeling : Perbuatan manusia
Dengan handeling dimaksudkan tidak saja perbuatan akan tetapi
juga melainkan atau tidak berbuat, masalahnya apakah kelalaian atau
tidak berbuat itu dapat disebut berbuat? Seseorang yang tidak berbuat
atau melainkan dapat dikatakan bertanggung jawab atas sesuatu
peristiwa pidana, apabila ia tidak berbuat atau melalaikan sesuatu,
padahal kepadana dibebankan suatu kewajiban hukum atau keharusan
untuk berbuat.
b. Perbuatan manusia itu harus melawan hokum
c. Perbuatan itu diancam dengan pidana
d. Harus dilakukan oleh orang yang mampu tertanggung jawab
22
e. Perbuatan itu harus terjadi karena kesalahan si pembuat.20
1.3 Teori-teori tentang sebab-sebab kejahatan
1.3.1 Teori-teori tentang sebab-sebab kejahatan dari faktor biologis
Teori Lombroso tentang born criminal (penjahat yang dilahirkan)
menyatakan bahwa para penjahat adalah suatu bentuk yang lebih rendah
dalam kehidupan, lebih mendekati nenek moyang mereka yang mirip
kera dalam hal sifat bawaan dan watak dibanding mereka yang bukan
penjahat.
Mereka dapat dibedakan dari non-kriminal melalui beberapa
atavistic stigmata, ciri-ciri fisik dari mahluk pada tahap awal
perkembangan, sebelum mereka benar-benar menjadi manusia.
Lombroso beralasan bahwa seringkali para penjahat memiliki rahang
yang besar dan gigi taring yang kuat, suatu sifat yang pada umumnya
dimiliki mahluk carnivora yang merobek dan melahap daging mentah.
kejahatan adalah perbuatan yang melanggar hukum alam. Penjahat
perempuan, menurutnya berbeda dengan dengan penjahat laki-laki. Ia
adalah pelacur yang mewakili born criminal. Penjahat perempuan
memiliki banyak kesamaan sifat dengan anak-anak, moral sense mereka
berbeda, penuh dendam, cemburu sebagai konsekuensi penjahat
perempuan merupakan suatu monster.21
Menurut Aristoteles yang menyatakan bahwa otak merupakan organ
dari akal. Ajaran ahli-ahli frenologi ini mendasarkan pada preposisi
dasar:
20
C.T. Kansil &Christine S.T. Kansil. Pokok-pokok Huku Pidana Hukum Pidana Untuk Tiap
Orang, Jakarta, Pradnya Pratama. Hal 38 21
Topo santoso dan Eva Ajhani Zulfa, Op. cit. Hlm. 38
23
a. Bentuk luar tengkorak kepala sesuai dengan apa yang ada di dalamnya
dan bentuk dari otak,
b. Akal terdiri dari kemampuan atau kecakapan, dan
c. Kemampuan atau kecakapan ini berhubungan dengan bentuk otak dan
tengkorak kepala.22
1.3.2 Teori-teori sebab kejahatan dari faktor pisikologis dan psikiatris
(Psikologi Kriminal)
Psikologi kriminal adalah mempelajari ciri-ciri psikis dari para
pelaku kejahatan yang “sehat”, artinya sehat dalam pengertian psikologi.
Yechelson dan Samenow mengidentifikasi sebanyak 52 pola berfikir
yang umumnya ada pada penjahat yang mereka teliti. Kedua-duanya
berpendapat bahwa para penjahat adalah orang yang marah yang merasa
suatu sense superioritas, menyangka tidak bertanggung jawab atas
tindakan yang mereka ambil, dan mempunyai harga diri yang sangat
melambung. Tiap dia merasa ada satu serangan terhadap harga dirinya, ia
akan memberi reaksi yang sangat kuat, sering berupa kekerasan.23
1.3.3 Teori-teori tentang sebab-sebab kejahatan dari faktor sosiologis
Teori-teori sosiologis mencari alasan-alasan perbedaan dalam hal
rangka kejahatan didalam lingkungan sosial. Teori-teori ini dapat
dikelompokan menjadi tiga kategori umum, yaitu:
a. Teori strain dan penyimpangan budaya, memusatkan perhatian pada
pada kekuatan-kekuatan sosial (social forces) yang menyebabkan
orang melakukan aktivitas kriminal. Teori strain dan penyimpangan
22
Susanto, kriminologi, Yogyakarta. Genta Publishing, 2011, Hlm. 48 23
Topo Santoso dan Eva Ajhani Zulfa, Op.cit, Hlm. 49-50
24
budaya keduanya berasumsi bahwa kelas sosial dan tingkah laku
kriminal berhubungan, tetapi berbeda dalam sifat hubungan tersebut.
Para penganut teori strain beranggapan bahwa seluruh anggota
masyarakat mengikuti satu set nilai-nilai budaya yaitu nilai-nilai
budaya yang kelas menengah. Sedangkan teori penyimpangan budaya
mengklaim bahwa orang-orang dari kelas bawah memiliki satu set
nilai-nilai yang berbeda cenderung konflik dengang nilai-nilai dari
kelas menengah.
b. Teori kontrol sosial, berasumsi bahwa motivasi melakukan kejahatan
merupakan bagian dari umat manusia serta mengkaji kemampuan
kelompok-kelompok dan lembaga-lembaga sosial membuat aturan-
aturannya efektif.24
1.4 Kajian umum hukum pidana dan legalitas
Menurut Moh.Hatta Hukum pidana adalah keseluruhan peraturan-
peraturan yang menentukan perbuatan apa yang merupakan tindak pidana atau
bukan yang dpat dijatuhkan terhadap orang atau badan hukum yang
melakukannya.25
Jadi hukum pidana tidak membuat norma hukum sendiri,
tetapi sudah ada pada norma yang lain. Adanya sanksi pidana untuk menjamin
agar norma itu ditaati. Norma itu dapat berupa norma kesusilaan seperti
perkosaan, perbuatan tidak menyenangkan, norma hukum penganiayaan,
pencurian dan sebagainya. Norma juga biasa disebut dengan istilah kaidah.
Syarat utama dari adanya perbuatan pidana adalah aturan yang melarang.
Dalam pengertian yang umum, tindak pidana mencakup isi dan sifat dari si
24
Ibid. hlm.57 dan 58 25 moh hatta. kebijakan politik kriminal. Jogjakarta. Pustaka pelajar, 2010, hlm. 1
25
pelaku (terdakwa) hanyalah sebagi bahan pertimbangan untuk menentukan
berat ringan hukuman atau pidana yang dijatuhkan.
1.5 Pengertian Tindak Pidana
Tindak Pidana adalah perbuatan yang melanggar larangan yang di atur
oleh aturan Hukum yang diancam dengan sanksi Pidana. Dalam rumusan
tersebut bahwa yang tidak boleh dilakukan adalah perbuatan yang
menimbulkan akibat yang dilarang dan yang diancam sanksi Pidana bagi orang
yang melakukan perbuatan tersebut.26
Dari definisi tersebut diatas tadi dapatlah kita mengambil kesimpulan
bahwa Hukum Pidana itu bukanlah suatu hukum yang mengandung norma-
norma yang baru, melainkan hanya mengatur tentang pelanggaran-pelanggarn
dan kejahatan terhadap norma-norma hukum yang mengenai kepentingan
umum.
Lebih lanjut mengenali tindak pidana didalam undang undang Negara
kesatuan Republik Indonesia awalnya menggunakan istilah Straafbaarfeit
untuk menyebutkan nama tindak pidana, tetapi tidak memberikan
penjelasansecara rinci mengenai straafbaarfeit tersebut.
Sehingga pengertian dari perkataan straafbaarfeit dimana menurut Simons
dalam rumusannya straafbaarfeititu adalah Tindakan melanggar hukum yang
telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang
yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakanya dan oleh undang-undang
telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat di hukum”.
26
Suharto RM,1996,Hukum Pidana Materil.Jakarta.Sinar Grafika Offset,hlm.28-29
26
Dengan alasan dari simon mengapa straafbaarfeit harus di rumuskan
seperti diatas karena :
a) untuk adanya suatu straafbaarfeit disyaratkan bahwa disitu terdapat sutu
tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan dengan dengan undang-
undang itu dimana pelangggaran terhadap larangan atau kewajiban seperti
itu telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum;
b) Agar suatu tindakan seperti itu dapat di hukum maka tindakan itu harus
memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan dengan undang -
undang;
c) Setiap straafbaarfeit sebagai pelanggaran terhadap suatu larangan atau
kewajiban menurut undang-undang itu, pada hakikatnya merupakan
tindakan melawan hukum atau suatu onrchtmatige handeling. Jadi, sifat
melawan hukum timbul dari suatu kenyataan bahwa tindakan manusia
bertentangandengan peraturan perundang-undangan, hingga pada dasarnya
sifat tersebut bukansatu unsur dari delik yang mempunyai arti tersendiri
seperti halnya dengan unsur lain.
Sedangkan pendapat pakar lain seperti E. Utrecht (Evi Hartanti, 2005:6)27
.
Menerjemahkan straafbarfeit dengan istilah peristiwa pidana yang sering juga
disebut delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan handelen atau doen positif
atau melalaikan nalaten negatif, maupun akibatnya ( keadaan yang ditimbulkan
karena perbuatan atau melalaikan itu ). Peristiwa pidana merupakan suatu
peristiwa hukum ( rechtsfeit ) yaitu peristiwa kemasyarakatan yang membawa
akibat yang diatur oleh hukum.
27
Ibid.hlm.6
27
Tindakan semua unsur yang disinggung oleh suatu ketentuan pidana
dijadikan unsur yang mutlak dari peristiwa pidana. Hanya sebagian yang dapat
dijadikan unsur-unsur mutlak suatu tindak pidana. Yaitu perilaku manusia yang
bertentangan dengan hukum (unsur melawan hukum), oleh sebab itu dapat
dijatuhi suatu hukuman dan adanya seorang pembuat dalam arti kata
bertanggung jawab.
Ada juga pakar lain mengungkapkan seperti menurut Pompe (Evi Hartanti,
2005:6)28
.Perkataan straafbaar feit secara teoritis dapat dirumuskan sebagai
suatu : “pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum yang dengan
sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana
penjatuhan hukuman terhadap pelaku itu adalah penting demi terpeliharanya
tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum ”.
Sangatlah berbahaya untuk mencari suatu penjelasan mengenai hukum
positif, yakni semata-semata dengan menggunakan pendapat secara ekarena
itu, yang terpenting dalam teori itu adalah tidak seorang pun dapat dihukum
kecuali tindakannya benar -benar melanggar hukum.
Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan
perbuaan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi,
meskipun perbuatanya memenuhi rumusan delik, namun hal tersebut belum
memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu
adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai
kesalahan mempunyai kesalahan atau bersalah. Di sini berlaku “tiada pidana
tanpa kesalahan”. Culpa di sini dalam arti luas, meliputi kesengajaan.
28
Ibid. hlm.6
28
Adapula menurut Moeljatno (Evi Hartanti, 2005:7)29
. “perbuatan yang
darang oleh suatu aturan hukum” larangan yang mana disertai sanksi berupa
pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut”.
Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang
dilarang hukum dan diancam pidana pasal saja dalam hal itu diingat bahwa
larangan ditujukan pada perbuatan yaitu kejadian atau keadaan yang
ditimbulkan oleh kelakuan orang, seorang ancaman pidananya ditujukan pada
orang yang menimbulkan kejahatan. Untuk adanya perbuatan pidana harus ada
unsur-unsur:
(1) Perbuatan (manusia);
(2) Memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil);
(3) Bersifat melawan hukum (syarat materiil). Syarat formil harus ada, karena
asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP;
1. Unsur-Unsur Tindak Pidana
a. Unsur Subjektif
1) Kesengajaan atau kelalaian;
2) Maksud dari suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud
dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP;
3) Berbagai maksud seperti yang terdapat dalam kejahatan pencurian,
penipuan, pemerasan, pemalsuan, dan lain-lain;
4) Merencanakan terlebih dahulu, seperti yang terdapat dalam
kejahatan menurut Pasal 340 KUHP;
29
Ibid. Hlm.7
29
5) Perasaan takut seperti yang terdapat dalam rumusan tindak pidana
menurut Pasal 308 KUHP;
2. Unsur Objectif
1) Sifat melawan hukum;
2) Kualitas dari pelaku, misalnya seorang pegawai negeri sipil
melakukan kejahatan yang diatur dalam Pasal 415 KUHP;
3) Kualitas, yang hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab
dengan kenyataan sebagai akibat;
3. Jenis Tindak Pidana
Jenis tindak pidana atas pelanggaran dan kejahatan. Pembagian
tindak pidana ini memebawa akibat hukum materil, yaitu sebagai berikut:
a. Undang-undang tidak membuat perbedaan antara opzet dan culpa
dalam suatu pelanggaran;30
b. Percobaan suatu pelanggaran tidak dapat dihukum;
c. Keikutsertaan dalam pelanggaran tidak dapat dihukum;
d. Pelanggaran yang dilakukan pengurus atau anggota pengurus ataupun
para komisaris dapat dihukum apabila pelanggaran itu terjadi
sepengetahuan mereka;
e. Dalam pelanggaran itu tidak terdapat ketentuan bahwa adanya
pengaduan yang merupakan syarat bagi penuntutan;
f. Tempat dan Waktu Tindak Pidana
Tidak mudah untuk menentukan secara pasti tentang waktu dan
tempat dilakukannya tindak pidana. Hal ini disebabkan oleh hakikat
30
Ibid.
30
tindak pidana merupakan tindakan manusia, di mana pada waktu
melakukan tindakanya seringkali manusia menggunakan alat yang dapat
menimbulkan akibat pada waktu dan tempat yang lain di mana orang
tersebut telah menggunakan alat-alat itu. Dapat pula terjadi bahwa
tindakan dari seorang pelaku telah menimbulkan akibat pada waktu dan
tempat yang lain daripada waktu dan tempat di mana pelaku tersebut
telah melakukan perbuatannya. Jadi, temous delicti adalah waktu di mana
telah terjadi sauatu tindak pidana sedangkan locus delicti adalah tempat
tindak pidana berlangsung.
Menurut van Bemmelen31
. Yang dipandang sebagai tempat dan
waktu dilakukannya perbuatan secara materil. Yang dianggap sebagai
locus delicti adalah:
a. tempat di mana seorang pelaku itu telah melakukan sendiri
perbuatannya;
b. tempat di mana alat yang telah dipergunakan oleh seorang itu bekerja;
c. tempat di mana langsung dari suatu tindakan itu telah timbul;
d. tempat di mana akibat konstitusi itu telah timbul;
1.6 Pengertian Pembunuhan Kandungan
Kata “pengguguran kandungan” adalah terjemahan dari kata “abortus
provocatur” yang dalam kamus kedokteran diterjemahkan dengan : “membuat
keguguran”. Persamaan antara pembunuhan anak dan pengguguran atau
pembunuhan kandungan adalah bahwa harus ada kandungan atau bayi yang
hidup dan kemudian dimatikan. Persamaan inilah juga yang menyebabkan
31
Ibid.hlm.8
31
tindak pidana pengguguran dimasukan kedalam titel XIX buku II KUHP
tentang kejahatan terhadap nyawa seseorang.
Perbedaan pokok antara pembunuhan anak dan pengguguran anak adalah
bahwa dalam pembunuhan anak harus ada bayi yang lahir dan hidup,
sedangkan dalam menggugurkan atau mematikan kandungan, apa yang keluar
dari tubuh ibu adalah suatu kandungan, yang hidup tetapi belum menjadi bayi,
atau seorang bayi yang sudah mati. Perbedaan inilah yang juga menyebabkan
maksimum hukuman pada abortus ( empat tahun) kurang dari pembunuhan
anak (tujuh tahun).32
Pengguguran kandungan diatur diatur dalam KUHP oleh pasal-pasal 346,
347, dan 348 dan dalam undang-undang nomor 23 tahun 1992 serta undang-
undang terbaru nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan . Jika diamati pasal-
pasal tersebut maka akan dapat diketahui bahwa ada 3 unsur atau faktor pada
kasus pengguguran kandungan yakni:
a. Janin;
b. Ibu yang mengandung;
c. Orang ketiga yang terlibat pada pengguran tersebut.
Tujuan pasal-pasal tersebut adalah untuk melindungi janin. Berdasarkan
kamus besar bahasa indonesia dimuat arti janin sebagai bakal bayi(masih
dalam kandungan) dan embrio setelah melebihi umur dua bulan. Perkataan
“gugur kandungan” tidak sama dengan “matinya janin”. Kemungkinan, janin
dalam kandungan dapat di bunuh, tanpa gugur namun membuat undang-
undang dalam rumusan KUHP, belum membedakan kedua hal tersebut. Untuk
32
Wirjono Prodjodikoro. Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia.Bandung. PT Refika
Aditama, 2010, hlm. 74.
32
rumusan KUHP yang akan datang, hal ini perlu dikaji dengan saksama. Selain
dari pada itu “kandungan” si ibu yakni tempat janin, perlu dilindungi.33
Pengaturan KUHP mengenai “pengguguran kandungan” adalah sebagai
berikut.
a. Pengguguran kandungan oleh si ibu
Hal ini diatur oleh pasal 346 KUHP yang bunyinya sebagai
berikut.“perempuan dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati
kandungannya atau menyuruh orang lain menyebabkan itu dihukum dengan
hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.”
b. Pengguguran kandungan bagi orang lain tanpa izin perempuan yang
mengandung
Hal ini diatur pasal 347 KUHP yang bunyinya sebagai berikut.
1) Barang siapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati
kandungan seorang perempuan tidak dengan izin perempuan itu,
dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 12 tahun.
2) Jika perbuatan itu berakibat perempuan itu mati, ia dihukum
dengan hukuman poenjara selama-lamanya 15 tahun.
“Pasal ini sama dengan pasal 346 dan 347 KUHP lama. Pasal ini
dirumuskan dalam rangka melindungi kandungan seorang perempuan. Itu
berarti, jika digugurkan kandungan yang sudah mati, maka ancaman
pidana dalam pasal ini tidak berlaku atau tidap dapat diterapkan. Tidaklah
relevan disini untuk menentukan cara-cara atau sarana apa yang
digugurkan atau dimatikan kandungan perempuan itu. Yang penting dan
33 Leden marpaung, tindak pidana terhadap nyawa dan tubuh. Jakarta, sinar grafika, 2005. Hlm
46-48
33
yang menentukan adalah akibat yang ditimbulkan, yaitu gugur atau mati
kandungan itu.”
c. Pengguguran Kandungan dengan izin perempuan yang mengandungnya.
Hal ini diatur oleh pasal 348 KUHP yang bunyinya sebagai berikut.
1) Barang siapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati
kandungan seorang perempuan dengan izin perempuan itu, dihukum
dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan.
2) Jika perbuatan itu berakibat perempuan itu mati, ia dihukum dengan
hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun”
Menurut satochid kartanegara membuat rumasan tentang pengguguran
sebagai berikut : Yang dimaksud dengan pengguguran adalah menyebabkan
dilahirkannya si anak tidak menurut alam dan setelah anak dilahirkan, lalu
mati oleh karena belum saatnya untuk dilahirkan. Kasus tersebut
menggambarkan bahwa suatu bentuk pengguguran kandungan adalah
Tindakan melawan hukum yang patut dikenakan kat pidana.34
Adanya hal tersebut dapat menjelaskan bahwa dalam suatu tindakan
pidana khusunya pada pasal 346 yaitu pengguguran kandungan merupakan
suatu tindakan melawan hukum yang patut di berikan sanksi sesuai hak dan
kewajiban.
34 leden marpaung, tindak pidana terhadap nyawa dan tubuh. Jakarta. sinar grafika, 2005. Hlm.
49