bab ii tinjauan pustakaeprints.umm.ac.id/45954/3/bab ii.pdf · pasal 2 ayat (1) undang-undang nomor...

33
22 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab II ini penulis akan dijabarkan mengenai tinjauan umum tentang perkawinana yang terdiri dari (pengertian perkawinan, asas-asas perkawinan, dasar hukum perkawinan, serta hak dan kewajiban dalam perkawinan), tinjauan umum tentang putusnya perkawinan yang terdiri dari (pengertian putusnya perkawinan, penyebab putusnya perkawinan, serta akibat hukum putusnya perkawinan), tinjauan umum tentang nafkah anak yang terdiri dari (pengertian nafkah anak akibat putusnya perkawinan, batas usia pemberian nafkah anak pasca putusnya perkawinan, serta hak dan kewajiban memberi nafkah kepada anak), dan tinjauan umum tentang akibat hukum adanya putusan yang terdiri dari (kewajiban menjalankan isi putusan dan akibat hukum tidak menjalankan isi putusan). A. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan Pada bagian ini akan dijabarkan mengenai perkawinan yaitu meliputi pengertian perkawinan baik dari sumber Undang-Undang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam dan pendapat para ahli. Asas-asas perkawinan baik dari sumber Undang-Undang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam dan pendapat para ahli. Dasar hukum perkawinan baik dari sumber Undang- Undang Dasar 1945, Undang-Undang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam serta Al-Qur’an dan Al-Hadis. Serta hak dan kewajiban dalam perkawinan yang meliputi hak dan kewajiban suami istri baik dari sumber Undang-Undang Perkawinan, Kompilasi hukum Islam dan hak dan kewajiban orangtua

Upload: others

Post on 27-Dec-2020

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/45954/3/BAB II.pdf · Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menentukan, bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut

22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab II ini penulis akan dijabarkan mengenai tinjauan umum tentang

perkawinana yang terdiri dari (pengertian perkawinan, asas-asas perkawinan, dasar

hukum perkawinan, serta hak dan kewajiban dalam perkawinan), tinjauan umum

tentang putusnya perkawinan yang terdiri dari (pengertian putusnya perkawinan,

penyebab putusnya perkawinan, serta akibat hukum putusnya perkawinan), tinjauan

umum tentang nafkah anak yang terdiri dari (pengertian nafkah anak akibat

putusnya perkawinan, batas usia pemberian nafkah anak pasca putusnya

perkawinan, serta hak dan kewajiban memberi nafkah kepada anak), dan tinjauan

umum tentang akibat hukum adanya putusan yang terdiri dari (kewajiban

menjalankan isi putusan dan akibat hukum tidak menjalankan isi putusan).

A. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan

Pada bagian ini akan dijabarkan mengenai perkawinan yaitu meliputi

pengertian perkawinan baik dari sumber Undang-Undang Perkawinan,

Kompilasi Hukum Islam dan pendapat para ahli. Asas-asas perkawinan baik

dari sumber Undang-Undang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam dan

pendapat para ahli. Dasar hukum perkawinan baik dari sumber Undang-

Undang Dasar 1945, Undang-Undang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam

serta Al-Qur’an dan Al-Hadis. Serta hak dan kewajiban dalam perkawinan

yang meliputi hak dan kewajiban suami istri baik dari sumber Undang-Undang

Perkawinan, Kompilasi hukum Islam dan hak dan kewajiban orangtua

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/45954/3/BAB II.pdf · Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menentukan, bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut

23

terhadap anak baik dari sumber Undang-Undang Perkawinan serta Kompilasi

Hukum Islam.

1. Pengertian Perkawinan

Terdapat berbagai definisi mengenai perkawinan, dalam hal ini

untuk mempelajari dan memahami lebih lanjut terkait definifi perkawinan,

maka penulis akan menjabarkan definisi perkawinan sebagai berikut:

a. Pengertian Perkawinan Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan

Berdasarkan ketentuan yang dimuat dalam Pasal 1 Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang memuat

pengertian yuridis perkawinan ialah “Perkawinan merupakan ikatan lahir

batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri

dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.1

b. Pengertian Perkawinan Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam

Perkawinan menurut hukum islam di atur dalam Instruksi

Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

Pengertian perkawinan di atur di dalam Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam

yang berbunyi:

“Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu

akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati

perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.

1 Lihat Pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/45954/3/BAB II.pdf · Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menentukan, bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut

24

c. Pengertian Perkawinan Berdasarkan Pendapat Para Ahli

Menurut Sajuti Thalib, dalam bukunya menyatakan bahwa

“Perkawinan adalah perjanjian suci membentuk keluarga antara seorang

laki-laki dan seorang perempuan. Unsur perjanjian disini untuk

memperlihatkan segi kesenjangan dari pekawinan serta

menampakkannya pada masyarakat ramai. Sedangkan sebutan suci untuk

pernyataan segi keagamaannya dari suatu perkawian”. 2

Menurut Prof. Subekti, Perkawinan adalah pertalian yang sah

antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk waktu yang

lama.3 Sedangkan menurut Anwar Haryono, dalam bukunya menyatakan

bahwa Pernikahan adalah perjanjian suci antara seorang laki-laki dengan

seorang perempuan guna membentuk keluarga bahagia”.4

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perkawinan

merupakan ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan sebagai

suami isteri yang memiliki kekuatan hukum dan diakui secara sosial

dengan tujuan membentuk keluarga sebagai satu dengan tujuan

membentuk keluarga yang bahagia dengan penuh rasa cinta,

mendapatkan keturunan, memenuhi kebutuhan hidup jasmani dan rohani,

2 Sajuti Thalib, 1982, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Universitas Indonesia Press,

Jakarta, hal. 47 3 Subekti dan Tjitrosudibio, 2013, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk

Wetboek) dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Jakarta: Pradnya Paramita, hal. 53 4 Riduan Syahrani, 2006, Seluk Beluk Asas-asas Hukum Perdata, Banjarmasin: PT.

Alumni, hal. 34

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/45954/3/BAB II.pdf · Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menentukan, bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut

25

dan menghindari perzinahan sehingga tercipta ketenangan dan

ketentraman jiwa.

2. Asas – Asas Perkawinan

Terdapat berbagai definisi mengenai asas-asas perkawinan, dalam

hal ini untuk mempelajari dan memahami lebih lanjut terkait definifi

perkawinan, maka penulis akan menjabarkan definisi perkawinan sebagai

berikut:

a. Asas-Asas Perkawinan Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan

Asas-asas perkawinan dimuat di dalam Undang-Undang No. 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu berbunyi sebagai berikut5:

1) Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan

kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa

Artinya hanya dengan perkawinan kekal dapat membentuk

keluarga yang bahagia dan sejahtera. Prinsip perkawinan kekal ini

dapat dijumpai dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

yang menyatakan, bahwa: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin

antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri

dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

2) Untuk sahnya perkawinan harus di lakukan berdasarkan agama dan

kepercayaan yang akan melangsungkan perkawinan

5 Sudarsono, 2005, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, hal. 79

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/45954/3/BAB II.pdf · Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menentukan, bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut

26

Artinya, perkawinan dianggap sah apabila dilakukan

menurut hukum agama atau kepercayaan agama masing-masing

yang dianut oleh calon mempelai. Hal ini dapat dijumpai dalam

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang

menentukan, bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan

menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

3) Peristiwa perkawinan harus di lakukan pencatatan berdasarkan

peraturan yang ada

Artinya setiap perkawinan yang dilakukan menurut hukum

masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu akan dianggap

mempunyai kekuatan hukum bilamana dicatat menurut peraturan

yang berlaku. Perkawinan yang tidak dicatat tidak mempunyai

kekuatan hukum. Hal ini terdapat dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi

“Tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku”.

4) Kedudukan suami istri adalah seimbang dalam rumah tangga dan

pergaulan hidup bersama dalam masyaraka

Artinya hak dan kedudukan antara suami istri dalam

kehidupan rumah tangga maupun masyarakat adalah seimbang.

Suami berkedudukan sebagai kepala rumah tangga dan istri

berkedudukan sebagai ibu rumah tangga. Dalam memutuskan

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/45954/3/BAB II.pdf · Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menentukan, bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut

27

sesuatu, maka dirundingkan secara bersama-sama antara suami istri.

Prinsip ini lebih lanjut dijabarkan dalam Pasal 31 Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

5) Berdasarka alasan serta syarat-syarat tertentu juga izin pengadilan

seorang pria boleh beristri lebih dari satu (asas monogamy)

Artinya seorang suami boleh memiliki istri lebih dari satu,

apabila memenuhi berbagai persyaratan tertentu, dan diputuskan

oleh pengadilan. Hal ini sesuai dengan Pasal 3 ayat (2), Pasal 4,

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

6) Untuk dapat melangsungkan perkawinan ditentukan batas umur

serendah-rendahnya bagi pria 19 tahun dan bagi wanita tahun (Pasal

7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan izin orang tua

masih diperlukan sampai yang akan melangsungkan perkawinan

mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun (Pasal 6 ayat (2) Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).

b. Asas-Asas Perkawinan Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam

Dalam Kompilasi Hukum Islam terdapat asas- asas

perkawinan antara lain sebagai berikut:

1) Asas persetujuan

Dalam melangsungkan perkawinan, tidak boleh ada paksaan.

Hal ini sesuai dengan Pasal 16-17 KHI yang berbunyi:

“Perkawinan atas persetujuan calon mempelai. Dapat berupa

pernyataan tegas dan nyata, dengan tulisan, lisan atau isyarat

yg mudah dimengerti atau diam. Sebelum berlangsungnya

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/45954/3/BAB II.pdf · Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menentukan, bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut

28

perkawinan Pegawai Pencatat Nikah menanyakan lebih

dahulu persetujuan calon mempelai di hadapan dua

saksi nikah. Bila tidak disetujui oleh salah seorang calon

mempelai maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan”.

2) Asas kebebasan

Asas kebebasan artinya setiap orang tidak dipaksakan dalam

memilih pasangannya dengan tetap memperhatikan larangan

perkawinan. Pasal 18 (tidak terdapat halangan perkawinan), 39-44

KHI (larangan perkawinan). Dalam asas kebebasan sebelum

melakukan suatu perkawinan harus memperhatikan 2 hal yaitu agi

calon suami dan calon isteri yang akan melangsungkan pernikahan

tidak terdapat halangan perkawinan. Serta tidak melanggar larangan-

larangan dalam perkawianan.

3) Asas kemitraan suami-isteri

Asas kemitraan suami-istri merupakan asas kekeluargaan

atau kebersamaan yang sederajat, hak dan kewajiban Suami Isteri

(Pasal 77 KHI). Dalam hal ini suami menjadi kepala keluarga,

sedangkan istri menjadi kepala dan penanggung jawab pengaturan

rumah tangga. (Pasal 79 KHI).

4) Asas untuk selama-lamanya.

Maksud dari asas ini adalah pernikahan merupakan suatu

akad yang sangat kuat untuk menaati perintah Allah dan

menjalankan ibadah (Pasal 2 KHI).

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/45954/3/BAB II.pdf · Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menentukan, bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut

29

5) Asas kemaslahatan hidup

Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah

tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah (Pasal 3 KHI).

Sakinah, mawaddah, wa rahmah merupakan sebuah pokok yang

harus ada dalam menjalin kehidupan berkeluarga. Agar kehidupan

rumah tangga suami istri menjadi aman, tentram, damai. Serta suami

istri harus saling mencintai, saling menjaga dan saling memberi

kepercayaan dan kasih sayang sepenuhnya.

6) Asas Kepastian Hukum

Perkawinan harus dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah.

Isbath Nikah dilakukan di Pengadilan Agama. Sedangkan rujuk

dibuktikan dengan kutipan Buku Pendaftaran Rujuk dari Pegawai

Pencatat Nikah. (Pasal 5-10).

c. Asas-Asas Perkawinan Berdasarkan Pendapat Para Ahli

Menurut Muhammad Idris Ramulyo, terdapat ada 3 (tiga)

asas yang harus diperhatikan di dalam asas perkawinan, yaitu6 :

1) Asas absolut abstrak

ialah asas dalam hukum perkawinan di mana pasangan

suami istri itu sebenarnya sejak dulu sudah ditentukan oleh

Allah.

6 Mohd. Idris Ramulyo, 1996, Hukum Perkawinan Islam, Bumi Askara, Jakarta, hal. 34

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/45954/3/BAB II.pdf · Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menentukan, bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut

30

2) Asas selektivitas

adalah asas dalam perkawinan di mana seseorang yang

hendak menikah harus menyeleksi lebih dahulu dengan siapa ia

boleh menikah dan dengan siapa ia tidak boleh menikah.

3) Asas legalitas

Ialah asas dalam perkawinan yang wajib dicatatkan.

Dr. Musdah Mulia menjelaskan bahwa terdapat asas

perkawinan yang didasarkan pada ayat-ayat AlQuran7 :

1) Prinsip kebebasan dalam memilih jodoh.

Prinsip ini sebenarnya kritik terhadap tradisi bangsa arab

yang menempatkan perempuan pada posisi yang lemah,

sehingga untuk dirinya sendiri saja ia tidak memiliki kebebasan

untuk menentukan apa yang terbaik pada dirinya. bertentangan

dengan syariat islam.

2) Prinsip mawaddah wa rahmah

Prinsip ini didasarkan pada firman Allah QS. Ar-Rum:

21. mawaddah wa rahmah adalah karakter manusia yang tidak

dimiliki oleh mahluk lainnya. Jika binatang melakukan

hubungan seksual semata-mata untuk kebutuhan seks itu sendiri

juga dimaksudkan untuk berkembang biak.

7 Musdah Mulia, 1999, Pandangan Islam tentang Poligami, Jakarta: Lembaga Kajian

Agama dan jender dan The Asia Foundation, hal. 11-17.

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/45954/3/BAB II.pdf · Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menentukan, bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut

31

3) Prinsip saling melengkapi dan melindungi

Prinsip ini didasarkan pada firman Allah SWT yang

terdapat pada surah al-Baqarah : 187 yang menjelaskan istri-istri

adalah pakaian sebagaimana layaknya dengan laki-laki juga

sebagai pakaian untuk wanita.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa asas-asas dalam

perkawinan merupakan prinsip-prinsip dasar yang dijadikan tumpuan

untuk membentuk suatu aturan hukum perkawinan yang bersifat konkrit.

3. Dasar Hukum Perkawinan

Terdapat berbagai dasar hukum dalam perkawinan, dalam hal ini

untuk mempelajari dan memahami lebih lanjut terkait dasar hukum

perkawinan, maka penulis akan menjabarkan sebagai berikut:

a. Dasar Hukum Perkawinan Berdasarkan Undang-Undang

Perkawinan

Pengaturan mengenai hukum perkawinan di Indonesia dimuat

dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Pengaturan mengenai hukum perkawinan sebagaimana dimaksud

dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bukan

hanya disusun berdasarkan prinsip dan nilai-nilai Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tetapi juga disusun dengan

mengupayakan menampung segala kebiasaan yang selama ini

berkembang dalam masyarakat Indonesia. Dasar hukum perkawinan

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/45954/3/BAB II.pdf · Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menentukan, bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut

32

menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

tertuang dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (2) yang rumusannya

“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-

masing agamanya dan kepercayaannya itu. Tiap-tiap perkawinan

dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

b. Dasar Hukum Perkawinan Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam

Pengaturan mengenai dasar hukum perkawinan dimuat juga

dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi

Hukum Islam yang tertuang dalam Pasal 2 yang berbunyi sebagai

berikut: “Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu

akad yang sangat kuat atau miitsaaqan ghaliizhan untuk mentaati

perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”. Sedangkan

bunyi dari Pasal 3 “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan

kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah”.

c. Dasar Hukum Perkawinan Berdasarkan Al-Quran dan Hadits

1) QS. Ar. Ruum (30) : 21

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia

menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu

cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya

diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang

demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang

berfikir “.

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/45954/3/BAB II.pdf · Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menentukan, bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut

33

2) QS. Adz Dzariyaat (51) : 49

“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan

supaya kamu mengingat kebesaran Allah” .

3) HR. Bukhari-Muslim

“ Wahai para pemuda, siapa saja diantara kalian yang telah

mampu untuk kawin, maka hendaklah dia menikah. Karena dengan

menikah itu lebih dapat menundukkan pandangan dan lebih menjaga

kemaluan dan barang siapa yang belum mampu, maka hendaklah dia

berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu bisa menjadi perisai

baginya“.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hukum perkawinan

adalah sah apabila dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku baik

secara agama atau pun secara hukum. Di dalam Agama Islam juga telah

diatur mengenai hukum-hukum perkawinan bagi yang sudah mampu

untuk menikah.

4. Hak Dan Kewajiban Dalam Perkawinan

Di dalam suatu perkawianan suami dan istri mempunyai kewajiban

satu sama lain untuk dapat menegakkan rumah tangga. Hak dan kedudukan

antara suami isteri adalah seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan

dalam kehidupan di masyarakat. Hak dan kewajiban tersebut antara lain:

a. Hak dan Kewajiban Suami Istri

1) Hak dan Kewajiban Suami Istri Berdasarkan Undang-Undang

Perkawinan

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/45954/3/BAB II.pdf · Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menentukan, bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut

34

Hak dan kewajiban antara suami-istri adalah hak dan

kewajiban yang timbul karena adanya perkawinan antara mereka.

Hak dan kewajiban suami istri diatur dalam Pasal 30 sampai dengan

pasal 34 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Hak dan kewajiban

tersebut antara lain:

a) Suami - isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan

rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat

b) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan

kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan

hidup bersama dalam masyarakat

c) Masing -masing pihak berhak untuk mlelakukan perbuatan

hukum.

d) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga

e) Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.

Rumah tempat kediaman yang dimaksud ini ditentukan oleh

suami isteri bersama

f) Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat-menghormati

setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang

lain

g) Suami wajib melindungi isteri dan memberikan segala sesuatu

keperluan rumah tangga sesuai dengan kemampuannya

h) Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya

i) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masi

dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.

2) Hak dan Kewajiban Suami Istri Berdasarkan Kompilasi

Hukum Islam

Masalah hak dan kewajiban suami istri dalam Kompilasi

Hukum Islam diatur dalam Bab XII pasal 77 sampai pasal 83 antara

lain sebagai berikut:

(1) Suami isteri memikul kewjiban yang luhur untuk menegakkan

rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang

menjadi sendi dasar dan susunan masyarakat.

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/45954/3/BAB II.pdf · Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menentukan, bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut

35

(2) Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati,

setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satui kepada yang

lain.

(3) Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan

memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan

jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan

agamanya.

(4) Suami isteri wajib memelihara kehormatannya

(5) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya, maka masing-

masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama.

(6) Suami istri harus mempunyai tempat kediaman. Tempat

kediaman disediakan untuk melindungi istri dan anak-anaknya

dari gangguan pihak lain.

b. Hak dan Kewajiban Orangtua Terhadap Anak

Orangtua berkewajiban untuk memelihara serta mendidik

anak-anak mereka dengan sebaik-baiknya. Sedangkan anak wajib

untuk menghormati orangtua dan mentaati kehendak orangtuanya

dengan baik. Hak dan kewajiban orangtua terhadap anak-anaknya

antara lain sebagai berikut:

(1) Hak dan Kewajiban Orangtua Terhadap Anak Berdasarkan

Undang-Undang Perkawinan

Mengenai hak dan kewajiban orangtua kepada anak di atur

di dalam Pasal 45 sampai Pasal 49 Undang – Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hak dan kewajiban tersebut

antara lain:

(a) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak - anak

sebaik-baiknya. Kewajiban orang tua ini berlaku sampai anak

tersebut kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban ini berlaku

meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/45954/3/BAB II.pdf · Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menentukan, bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut

36

(b) Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak

mereka yang baik

(c) Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara sesuai dengan

kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke

atas,bila mereka itu memerlukan bantuannya

(d) Anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum

pernah melangsungkan perkawinan berada di bawah kekuasaan

orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya

(e) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan

(f) Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau

menggadaikan barang -barang tetap yang dimiliki anaknya yang

belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah

melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak

itu menghendakinya

(g) Salah satu orangtua atau kedua orang tua dapat dicabut

kekuasaannya terhadap anaknya, untuk waktu yang tertentu atas

permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus

ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat

yang berwenang, dengan keputusan Pengadilan dalam hal

melalaikan kewajibannya terhadap anaknya dan berkelakuan

buruk

(h) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap

berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak

tersebut.

(2) Hak dan Kewajiban Orangtua Terhadap Anak Berdasarkan

Kompilasi Hukum Islam

Mengenai hak dan kewajiban orangtua kepada anak di atur

di dalam Pasal 98 sampai Pasal 106 Kompilasi Hukum Islam yang

berbunyi sebagai berikut:

(a) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa

adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik

maupun mental atau belum pernah melangsungkan

perkawinan.

(b) Orang tua dapat mewakili anaknya mengenai segala perbuatan

hukum di dalam dan di luar Pengadilan.

(c) Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat

terdekat yang mampu menunaikan kewajiban trsebut apabila

kedua orang tuanya tidak mampu.

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/45954/3/BAB II.pdf · Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menentukan, bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut

37

(d) Semua biaya penyusuan anak dipertanggungkawabkan kepada

ayahnya. Apabila ayahya stelah meninggal dunia, maka biaya

penyusuan dibebankan kepada orang yang berkewajiban

memberi nafkah kepada ayahnya atau walinya.

(e) Penyusuan dilakukan paling lama dua tahun, dan dapat

dilakukan penyapihan dalam masa kurang dua tahun dengan

persetujuan ayah dan ibunya.

(f) Dalam hal terjadinya perceraian pemeliharaan anak yang

belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak

ibunya

(g) Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz atau sudah

berumur 12 tahun diserahkan kepada anak itu sendiri untuk

memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak

pemeliharaanya, sementara untuk biaya pemeliharaan

ditanggung oleh ayahnya.

(h) Orang tua memiliki kewajiban merawat dan mengembangkan

harta anaknya yang belum dewasa atau dibawah

pengampunan, dan tidak diperbolehkan menggadaikan harta

tersebut, kecuali karena keperluan mendesak yaitu jika

kepentingan dan keslamatan anak itu menghendaki atau suatu

kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa

mendidik dan memelihara anak-anak menjadi kewajiban bersama

antara ibu dan bapak, hal ini berlaku sampai anak tersebut dewasa,

meskipun akhirnya bapak ibu bersangkutan mengalami perceraian.

B. Tinjauan Umum Tentang Putusnya Perkawinan

Pada bagian ini akan dijabarkan mengenai putusnya perkawinan yang

meliputi pengertian putusnya perkawinan baik dari sumber Undang-Undang

Pekawinan, Kompilasi Hukum Islam dan pendapat para ahli. Penyebab

putusnya perkawinan, dan akibat hukum putusnya perkawinan baik dari

sumber Undang-Undang Pekawinan, dan Kompilasi Hukum Islam.

1. Pengertian Putusnya Perkawinan

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/45954/3/BAB II.pdf · Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menentukan, bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut

38

Putusnya perkawinan merupakan istilah hukum yang sering

digunakan dalam Undang-Undang Perkawinan untuk menjelaskan

berakhirnya hubungan perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang

perempuan yang selama hidup menjadi sepasang suami istri. Istilah yang

paling sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari adalah perceraian.

a. Pengertian Putusnya Perkawinan Berdasarkan Undang-Undang

Perkawinan

Istilah “perceraian” terdapat dalam Pasal 38 Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang memuat ketentuan

bahwa perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas

putusan pengadilan.

Perceraian menurut hukum Agama Islam yang telah dipositifkan

dalam Pasal 38 dan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang

telah dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

mencakup perceraian dalam pengertian cerai talak dan perceraian dalam

pengertian cerai gugat. Perceraian karena talak adalah perceraian yang

diajukan oleh suami kepada Pengadilan Agama. 8 Sedangkan perceraian

karena cerai gugat ialah perceraian yang diajukan oleh istri kepada

Pengadilan Agama.9

8 Lihat pada Pasal 14 sampai Pasal 18 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang

aturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 9 Lihat pada Pasal 20 sampai Pasal 36 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang

aturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/45954/3/BAB II.pdf · Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menentukan, bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut

39

b. Pengertian Putusnya Perkawinan Berdasarkan Kompilasi Hukum

Islam

Perkawinan dapat putus karena tiga hal yaitu karena kematian,

perceraian dan atas putusan Pengadilan. Putusnya perkawinan yang

disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan

gugatan perceraian baik cerai talak maupun cerai gugat. Talak

merupakan ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang

menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Dalam Kompilasi

Hukum Islam terdapat 5 jenis talak antara lain Talak Raj’I, Talak Ba’in

Shughraa, Talak Ba`in Kubraa, Talak sunny dan Talak bid`I. Talak Raj`I

adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk selama isteri

dalam masa iddah (Pasal 118 KHI). Talak Ba`in Shughraa adalah talak

yang tidak boleh dirujuk kembali tetapi boleh akad nikah baru dengan

bekas suaminya meskipun dalam iddah (Pasal 119 KHI). Talak Ba`in

Kubraa adalah talak yang tidak dapat dirujuk kembali, karena terjadi

untuk ketiga kalinya kecuali bekas isteri menikah dengan orang lain dan

kemudian terjadi perceraian ba`da al dukhul dan telah habis masa

iddahnya (Pasal 120 KHI). Talak sunny adalah talak yang dibolehkan

yaitu talak yang dijatuhkan terhadap isteri yang sedang suci dan tidak

dicampuri dalam waktu suci tersebut (Pasal 121 KHI). Talak bid`I adalah

talak yang dilarang karena talak ini dijatuhkan pada waktu isteri dalam

keadaan haid atau dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu

suci tersebut (Pasal 122 KHI).

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/45954/3/BAB II.pdf · Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menentukan, bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut

40

c. Pengertian Putusnya Perkawinan Berdasarkan Pendapat Ahli

Menurut Abdul Kadir Muhammad, putusnya perkawinan karena

kematian di sebut dengan “cerai mati”, sedangkan putusnya perkawinan

karena perceraian terdapat dua istilah yaitu, cerai gugat (khulu’) dan cerai

talak. Putusnya perkawinan karena putusan pengadilan di sebut dengan

istilah “cerai batal”.10

Menurut Subekti, perceraian merupakan salah satu peristiwa yang

dapat terjadi dalam suatu perkawinan, perceraian adalah penghapusan

perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam

perkawinan.11

Menurut R. Soetojo Prawiroharmid jojo dan Aziz Saefuddin,

perceraian berbeda dengan pemutusan perkawinan, karena sesudah

perpisahan meja dan tempat tidur yang didalamnya tidak terdapat

perselisihan bahkan ada kehendak baik dari suami maupun dari istri

untuk pemutusan perkawinan. Perceraian selalu berdasar pada

perselisihan antara suami dan istri.12

Jadi berdasarkan uraian diatas yang dimaksud dengan perceraian

adalah putusnya hubungan rumah tangga antara suami dan istri yang

mengakibatkan berakhirnya hubungan keluarga antara suami dan istri

tersebut.

10 Abdul Kadir Muhammad, 2000, Hukum Perdata Indonesia, Bandung: Citra Aditya

Bakti, hal. 108

11 Subekti, 2001, Pokok-pokok Hukum Perdata, Cet. XXIX, Jakarta: PT. Intermasa, hal. 42

12 R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Azis Safioedin,1986, Hukum Orang Dan Keluarga,

Bandung: Alumni, hal. 109

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/45954/3/BAB II.pdf · Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menentukan, bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut

41

2. Penyebab Putusnya Perkawinan

Masalah putusnya perkawinan serta akibatnya di atur di dalam

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dalam Bab VIII Pasal 38 sampai dengan

Pasal 41. Di dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

perkawinan yang berbunyi:

“Perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas

putusan Pengadilan”.13

Putusnya perkawinan karena kematian maksudnya adalah apabila

apabila salah seorang dari kedua suami istri itu meninggal dunia, maka

perkawinannya putus karena adanya kematian. 14 Sementara putusnya

perkawinan karena perceraian antara suami istri maksudnya apabila suami

istri itu bercerai. Perceraian ini dapat terjadi langsung atau dengan tempo

dengan menggunakan kata talaq atau kata lain yang senada. Sedangkan

putusnya perkawinan karena putusan Pengadilan terjadi karena pembatalan

perkawinan, dengan demikian perkawinan itu harus memenuhi syarat-syarat

dalam Pasal 6 dan 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Syarat-syarat

yang tidak dapat dipenuhi dalam suatu perkawinan, maka perkawinannya

dapat dibatalkan.15

13 Abber Hasibuan, 2015, Putusnya Perkawinan Dan Akibat Hukumnya, Jurnal Pendidikan

Dan Hukum Islam, Vol. 9, No. 1, hal. 6 14 Subekti, 1996, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT. Intermassa, hal. 42

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/45954/3/BAB II.pdf · Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menentukan, bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut

42

Sedangkan di dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam dijelaskan

mengenai penyebab putusnya perkawinan, antara lain sebagai berikut:

1) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk pemadat, penjudi dan

lain sebagainya yang susah disembuhkan

2) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun

berturutturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau diluar

kemampuannya

3) Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara selama 5 (lima) tahun

atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung

4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang telah

membahayakan pihak lain

5) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak

dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri

6) Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran

dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga

7) Suami melanggar taklik talak

8) Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya

ketidakrukunan dalam rumah tangga.16

3. Akibat Hukum Putusnya Perkawinan

Adapun dari akibat putusnya perkawinan, maka mempunyai akibat

hukum sebagai berikut :

a. Akibat Putusnya Perkawinan Dalam Undang-Undang

Menurut Pasal 41 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan disebutkan bahwa akibat putusnya perkawinan karena

perceraian adalah:

1) Baik bapak atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik

anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana

ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi

keputusannya

2) Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan

pendidikan yang diperlukan anak, bilamana bapak dalam kenyataan

16 Op. Cit, hal. 56

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/45954/3/BAB II.pdf · Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menentukan, bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut

43

tidak dapat memberi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan

bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut

3) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan

biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas

istri.17

Berdasarkan bunyi pasal tersebut maka dapat diketahui bahwa, baik

ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,

semata-mata berdasarkan kepentingan anak. Jika suatu saat terjadi

perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, maka diselesaikan melalui

putusan pengadilan.

b. Akibat Putusnya Perkawinan Dalam Kompilasi Hukum Islam

Menurut Hukum Islam setelah terjadinya suatu perceraian, maka

akan menimbulkan akibat hukum tertentu, menurut Kompilasi Hukum

Islam Pasal 156, akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:

1) Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari

ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya

digantikan oleh wanita-wanita dalam garis lurus dari ibu, ayah, wanita-

wanita dalam garis Iurus ke atas dari ayah, saudara perempuan dari anak

yang bersangkutan, wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis

samping dari ibu, wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping

dari ayah, anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk

mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya.

2) Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin

keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan

hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang

bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah

kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula

3) Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah

menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut

dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).

4) Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak,

Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b),

(c), dan (d). 6) Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan

17 Lihat pada Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/45954/3/BAB II.pdf · Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menentukan, bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut

44

ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan

anak yang tidak turut padanya

Adapun di dalam Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam, bilamana

perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib :

a. Memberikan mut‟ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa

uang atau benda, kecuali bekas istri sudah tersebut qobla al dukhul

b. Memberi nafkah, maskan dan kiswah ke bekas istri selama dalam iddah,

kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba‟in atau nisyuz dalam keadaan

tidak hamil

c. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separoh apabila

qobla al dukhul

d. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anak yang belum mencapai

umur 21 tahun.18

C. Tinjauan Umum Tentang Nafkah Anak

Pada bagian ini akan dijabarkan mengenai nafkah anak yang meliputi

pengertian nafkah anak akibat putusnya perkawinan, batas usia pemberian

nafkah anak pasca putusnya perkawinan, serta hak dan kewajiban dalam

memberi nafkah anak.

1. Pengertian Nafkah Anak Akibat Putusnya Perkawinan

Nafkah ialah “belanja”. Artinya adalah sesuatu yang diberikan

kepada seseorang istri, sebagai keperluan pokok, seperti makanan, pakaian

dan tempat tinggal.19 Terkait dengan nafkah dalam keluarga, maka dalam

pasal 80 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam berbunyi:

18 Op cit, hal 57 19 Departemen Agama RI, 1984, Ilmu Fiqh, Jilid II, Jakarta : Ditjen Binbaga Islam, hal.

184.

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/45954/3/BAB II.pdf · Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menentukan, bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut

45

“Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung (1) nafkah,

kiswah dan tempat kediaman bagi isteri, (2) biaya rumah tangga,

biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak”.20

Anak adalah putra putri kehidupan, masa depan bangsa dan negara.

Oleh karena itu anak memerlukan pembinaan agar dapat berkembang

mental dan spiritu alnya secara maksimal. Dalam Kompilasi Hukum Islam

Batas usia dewasa diatur dalam Pasal 98 ayat 1 dinyatakan bahwa dewasa

adalah 21 tahun sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik maupun mental

ataupun belum pernah melakukan perkawinan. Dalam Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 tidak secara tegas mengatur mengenai kapan

seseorang dapat digolongkan sebagai anak, dalam Pasal 6 ayat 2

menyatakan bahwa “syarat perkawinan bagi seorang yang belum berumur

21 tahun harus mendapat ijin orangtuanya”, sementara dalam Pasal 7 ayat

(1) menyatakan bahwa “minimal usia anak dapat kawin pria 19 tahun dan

wanita 16 tahun”, sedangkan Pasal 47 ayat (1) menyatakan bahwa “anak

yang belum mencapai 18 tahun atau belum melakukan pernikahan ada di

bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak mencabut kekuasaan

orang tuanya”.

Nafkah merupakan kewajiban ayah (suami) terhadap anak-anaknya,

apabila anak fakir telah sampai pada umur mampu bekerja, meskipun belum

baligh, dan tidak ada halangan apapun untuk bekerja, gugurlah kewajiban

ayah untuk memberi nafkah kepada anaknya. Berbeda halnya apabila anak

20 Op. Cit, Abdurrahman, hal. 133

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/45954/3/BAB II.pdf · Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menentukan, bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut

46

telah mencapai umur dapat bekerja itu terhalang untuk bekerja disebabkan

sakit atau kelemahan-kelemahan lain, maka ayah tetap berkewajiban

memberi nafkah terhadap anaknya.21

2. Batas Usia Pemberian Nafkah Anak Pasca Putusnya Perkawinan

Dalam Al-Quran dan Hadits tidak diterangkan dengan tegas masa

berakhirnya memberikan nafkah anak setelah terjadinya perceraian, hanya

ada isyarat-isyarat ayat yang menjelaskan terhadap hal itu. Dalam hal ini

terdapat beberapa pendapat dalam batasan anak mendapatkan hak nafkah

anak :

a. Ulama Hanafiyyah mengatakan bahwa masa asuh anak, hingga anak

tidak membutuhkan bantuan ibunya yang artinya ia mengurus sendiri

keperluan makan, minum, pakaian, dan bersuci yaitu kira-kira usia anak

sampai dengan 7 tahun dan menurut sebagian lainnya ada juga yang

berpendapat pada usia 9 tahun

b. Ulama Malikiyyah berpendapat bahwa masa pemberian nafkah kepada

anak yaitu sejak anak lahir sampai dewasa. Ibulah yang berhak untuk

mengasuhnya akan tetapi mengenai biaya nafkahnya tetap kewajiban

seorang ayah

21 Rukiah M. Ali dan Zakki Fikri Khairuna, 2017, “Hak Nafkah Anak Pegawai Negeri Sipil

Setelah Perceraian”, Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam, Vol. 1, No. 2, hal. 419

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/45954/3/BAB II.pdf · Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menentukan, bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut

47

c. Ulama Syafiiyyah berpendapat tidak ada batas waktu dalam hal

pengasuhan. Sesungguhnya anak kecil berhak untuk memilih antara ayah

dan ibunya, dan siapa yang dipilih olehnya dialah yang berhak atasnya

d. Ulama Hanbaliah mengatakan bahwa masa hak nafkah terhadap anak

baik laki-laki maupun perempuan adalah 7 tahun. Tetapi jika anak sudah

mencapai usia 7 tahun dan kedua orang tuanya sepakat agar salah satu

dari mereka yang mengasuhnya, maka dibolehkan. Dan jika keduanya

berselisih maka anak disuruh memilih.22

Adapun di dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 98 yang berbunyi

sebagai berikut :

1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun,

sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum

pernah melangsungkan perkawinan

2) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum

di dalam dan di luar Pengadilan

3) Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang

mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak

mampu.

3. Hak dan Kewajiban Memberi Nafkah Kepada Anak

Menurut Undang-undang Perkawinan meskipun telah terjadi

perceraian, bukan berarti kewajiban suami isteri sebagai ayah dan ibu

terhadap anak di bawah umur berakhir. Suami yang menjatuhkan talak pada

isterinya wajib membayar nafkah untuk anak-anaknya, yaitu belanja untuk

memelihara dan keperluan pendidikan anak-anaknya itu. Pemberian nafkah

anak harus terus dilakukan sampai anak-anak tersebut baliq dan berakal

22 Zuhaili Az-Wahbah, 2011, Fiqh Islam Wa adilatuhu, Jakarta: Gema Insani, hal. 79-81

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/45954/3/BAB II.pdf · Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menentukan, bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut

48

serta mempunyai penghasilan sendiri. Suami dan isteri bersama

bertanggung jawab atas segala biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-

anaknya. Apabila suami tidak mampu, maka pengadilan dapat menetapkan

bahwa ibu yang memikul biaya anak-anak. 23

Salah satu kewajiban ayah terhadap anaknya adalah memberi

nafkah, seorang ayah berkewajiban untuk memberikan nafkah terhadap

anaknya, baik pakaian, tempat tinggal, pendidikan maupun kebutuhan

lainnya, meskipun hubungan perkawinan antara ayah dan ibu telah putus.

Suatu perceraian tidak mengakibatkan hilangnya kewajiban ayah untuk

tetap memberi nafkah kepada anak-anaknya sampai anak tersebut dewasa

atau berusia 21 tahun.

Sebagaimana dijelaskan pada Pasal 45 Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa:

a. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka

sebaik-baiknya;

b. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam Ayat (1) pasal ini berlaku

sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana berlaku

terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.

Sedangkan di dalam Pasal 106 Kompilasi Hukum Islam berbunyi

sebagai berikut:

a. Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya

yang belum dewasa atau di bawah pengampuan, dan tidak diperbolehkan

memindahkan atau menggadaikannya kecuali karena keperluan yang

mendesak jika kepentingan dan kemaslahatan anak itu menghendaki atau

suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi;

23 Nunung Rodliyah, 2014, “Akibat Hukum Perceraian Berdasarkan Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”, Jurnal Keadilan Progresif, Vol. 5 , No. 1, hal. 127

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/45954/3/BAB II.pdf · Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menentukan, bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut

49

b. Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena

kesalahan dan kelalaian dari kewajiban yang tersebut pada Ayat (1).

D. Tinjauan Umum Tentang Akibat Hukum Adanya Putusan

Pada bagian ini akan dijabarkan mengenai akibat hukum adanya

putusan yang terdiri dari kewajiban menjalankan isi putusan dan akibat hukum

tidak menjalankan isi putusan.

1. Kewajiban Menjalankan Isi Putusan

Menurut Sudikno Mertokusumo, putusan hakim adalah suatu

pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang

untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau

menyelesaikan suatu perkara atau masalah antar pihak. Bukan hanya yang

diucapkan saja yang disebut putusan, melainkan juga pernyataan yang

dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan oleh Hakim di

persidangan. Sebuah konsep putusan (tertulis) tidak mempunyai kekuatan

sebagai putusan sebelum diucapkan di persidangan oleh hakim.24

Putusan perdata pada dasarnya memiliki kekuatan hukum tetap

(inkracht van gewijsde) yaitu putusan pengadilan pada tingkat pertama

yang tidak diajukan pada tingkat banding, putusan banding yang tidak

diajukan pada tingkat kasasi, dan putusan kasasi. Pelaksanaan putusan

perdata diatur dalam Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (HIR) Bab

24 Sudikno Mertokusumo, 2006, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cet Ke-VII,

Yogyakarta: Liberty, hal. 52

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/45954/3/BAB II.pdf · Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menentukan, bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut

50

Kesembilan Bagian Kelima tentang Menjalankan Keputusan Pasal 195 s.d.

Pasal 224. Pasal 195 HIR huruf (a), (b), (c) berbunyi sebagai berikut:

“(1) Keputusan hakim dalam perkara yang pada tingkat pertama

diperiksa oleh pengadilan negeri, dilaksanakan atas perintah dan di

bawah pimpinan ketua pengadilan negeri yang memeriksa perkara

itu, menurut cara yang diatur dalam pasal-pasal berikut. (Rv. 350,

360; IR. 194.) (2) Jika keputusan itu harus dilaksanakan seluruhnya

atau sebagian di luar daerah hukum pengadilan negeri tersebut,

maka ketuanya akan meminta bantuan dengan surat kepada ketua

pengadilan negeri yang berhak; begitu juga halnya pelaksanaan

keputusan di luar Jawa dan Madura. (3) Ketua pengadilan negeri

yang diminta bantuan itu harus bertindak menurut ketentuan ayat

di atas, jika nyata baginya, bahwa keputusan itu harus dilaksanakan

seluruhnya atau sebagian di luar daerah hukumnya”.

Akibat dari tidak adanya kepastian hukum jika isi putusan

dilaksanakan secara sukarela, banyak ditemui berbagai praktik pemenuhan

putusan secara sukarela berbeda antara pengadilan yang satu dengan

pengadilan yang lain. Terdapat pengadilan yang tidak mau campur tangan

atas pemenuhan nafkah secara sukarela, tetapi terdapat juga pengadilan

yang ikut campur dalam menyelesaikan pemenuhan isi putusan secara

sukarela. Walaupun pelaksanaan isi putusan dilakukan secara sukarela,

Ketua Pengadilan seharusnya melalui juru sita membuat Berita Acara

pemenuhan putusan secara sukarela yang disaksikan oleh dua orang

saksi.25

Dalam hal ini jangka waktu pelaksanaan isi putusan secara sukarela

oleh pihak yang dikalahkan tidak diatur dalam peraturan perundang-

25 Yahya Harahap, 1993, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Jakarta:

PT. Gramedia Pustaka Utama, hal. 12

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/45954/3/BAB II.pdf · Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menentukan, bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut

51

undangan. Tetapi jika isi putusan tidak dilaksanakan oleh pihak yang

kalah, maka pihak yang menang dapat memaksakan pelaksanaan eksekusi

dengan cara mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan.

2. Akibat Hukum Tidak Menjalankan Isi Putusan

Dalam perkara perdata pelaksanaan isi putusan dilakukan oleh

pihak yang dikalah. Namun, pihak yang kalah terkadang tidak mau

menjalankan isi putusan secara sukarela. Sedangkan di dalam peraturan

perundang-undangan tidak diatur jangka waktu jika isi putusan akan

dilaksanakan secara sukarela oleh pihak yang kalah. Tetapi pihak yang

menang dapat meminta bantuan pengadilan untuk memaksakan eksekusi

putusan berdasarkan Pasal 196 HIR yang berbunyi:

“Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi

isi keputusan itu dengan damai, maka pihak yang menang

memasukkan permintaan, baik dengan lisan, maupun dengan

surat, kepada ketua, pengadilan negeri yang tersebut pada ayat

pertama pasal 195, buat menjalankan keputusan itu Ketua

menyuruh memanggil pihak yang dikalahkan itu serta

memperingatkan, supaya ia memenuhi keputusan itu di dalam

tempo yang ditentukan oleh ketua, yang selama-lamanya delapan

hari.”

Eksekusi merupakan hukum yang mengatur cara beserta syarat –

syarat yang dipakai oleh alat – alat negara untuk membantu pihak-pihak

yang berkepentingan dalam menjalankan putusan hakim, apabila pihak

kalah tidak bersedia memenuhi bunyi putusan dalam waktu yang

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/45954/3/BAB II.pdf · Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menentukan, bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut

52

ditentukan.26 Adapun pelaksaan eksekusi dilakukan melalui prosedur

sebagai berikut:

a. Ada permohonan sita eksekusi

Putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap, tidak langsung

dijalankan, tetapi terlebih dahulu diberikan kesempatan kepada para

pihak untuk melaksanakan isi putusan secara sukarela. Bila pihak yang

kalah ternyata tidak menjalankan isi putusan, maka Pengadilan harus

menunggu sampai adanya permohonan gugatan yang diajukan oleh pihak

yang merasa dirugikan baik secara lisan atau tertulis.27 Pengadilan

bersifat pasif karena pada dasarnya pelaksanaan eksekusi memerlukan

biaya yang banyak, dan biaya tersebut dibebankan kepada pihak

pemohon.

b. Aanmaning (Peringatan)

Aanmaning merupakan salah satu pokok eksekusi. Tanpa

peringatan terlebih dahulu, eksekusi tidak boleh dilakukan atau

dijalankan. Peringatan dalam kaitannya dengan menjalankan putusan

merupakan tindakan dan upaya yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan

yang berupa teguran kepada tergugat agar menjalankan isi putusan

pengadilan dalam tempo yang ditentukan oleh Ketua Pengadilan.28 Maka

26 R. Supomo, 1985, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Cet. 9, Jakarta: PT.

Pradnya Paramita, Hal. 119 27 Raihan Rasid, 2002, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: PT Grafindo Persada, hal.

217 28 M. Yahya Harahap, 2005, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata,

Jakarta: Sinar Grafika, hal. 30

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/45954/3/BAB II.pdf · Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menentukan, bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut

53

dalam hal ini bahwa ketika pihak tergugat tidak mau menjalankan isi

putusan, pihak penggugat dapat mengajukan permohonan eksekusi

putusan dengan tahapan peringatan yang dilakukan langsung oleh Ketua

Pengadilan.

c. Jika dalam waktu yang diberikan tersebut sudah lewat dan isi putusan

Pengadilan tetap belum dilaksanakan, maka ketua Pengadilan dapat

memberi perintah agar putusan hakim dilaksanakan dengan paksa, dan

bahkan bila perlu dengan bantuan pihak Kepolisian.

d. Ketika surat perintah eksekusi yang telah ditandatangani Ketua

Pengadilan telah dikeluarkan, maka panitera dengan di bantu oleh juru

sita dan dua orang saksi dapat membawa surat perintah tersebut ke

tempat penyitaan dan menunjukkannya kepada pihak-pihak atau pejabat

yang bersangkutan. Hal ini diatur dalam Pasal 197 HIR. 208-212 Rbg.29

e. Harus terdapat dua orang saksi sebagai syarat sahnya pelaksanaan

eksekusi. Saksi ini berfungsi sebagai pembantu dalam penyitaan. Saksi

harus berumur 21 tahun, warga Negara Indonesia (WNI), memiliki sifat

jujur dan dapat dipercaya.30

f. Sita eksekusi harus dilakukan di tempat objek eksekusi. Setelah selesai

maka dibuatlah berita acara eksekusi yang memuat sebagai berikut:

1) Perincian proses eksekusi meliputi semua pekerjaan yang telah

dilakukan

29 Soeroso, 1996, Praktek Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 198-199 30 Mukti Artho, 2003, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, hal. 315

Page 33: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/45954/3/BAB II.pdf · Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menentukan, bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut

54

2) Identitas saksi

3) Berita acara yang ditandatangani oleh pejabat pelaksana dan saksi,

sedangkan pihak tersita dan aparat desa menurut hukum tidak

diwajibkan turut menandatangani

4) Isi berita acara sita diberikan kepada pihak tersita

Jadi, jika setelah jangka waktu yang telah ditetapkan, putusan masih

juga tidak dilaksanakan, maka Ketua Pengadilan memerintahkan agar disita

barang-barang milik pihak yang kalah sampai dirasa cukup akan pengganti

jumlah uang yang tersebut di dalam keputusan itu dan ditambah pula dengan

semua biaya untuk menjalankan keputusan itu (Pasal 197 HIR).