bab ii tinjauan pustakaeprints.umm.ac.id/45954/3/bab ii.pdf · pasal 2 ayat (1) undang-undang nomor...
TRANSCRIPT
22
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab II ini penulis akan dijabarkan mengenai tinjauan umum tentang
perkawinana yang terdiri dari (pengertian perkawinan, asas-asas perkawinan, dasar
hukum perkawinan, serta hak dan kewajiban dalam perkawinan), tinjauan umum
tentang putusnya perkawinan yang terdiri dari (pengertian putusnya perkawinan,
penyebab putusnya perkawinan, serta akibat hukum putusnya perkawinan), tinjauan
umum tentang nafkah anak yang terdiri dari (pengertian nafkah anak akibat
putusnya perkawinan, batas usia pemberian nafkah anak pasca putusnya
perkawinan, serta hak dan kewajiban memberi nafkah kepada anak), dan tinjauan
umum tentang akibat hukum adanya putusan yang terdiri dari (kewajiban
menjalankan isi putusan dan akibat hukum tidak menjalankan isi putusan).
A. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan
Pada bagian ini akan dijabarkan mengenai perkawinan yaitu meliputi
pengertian perkawinan baik dari sumber Undang-Undang Perkawinan,
Kompilasi Hukum Islam dan pendapat para ahli. Asas-asas perkawinan baik
dari sumber Undang-Undang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam dan
pendapat para ahli. Dasar hukum perkawinan baik dari sumber Undang-
Undang Dasar 1945, Undang-Undang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam
serta Al-Qur’an dan Al-Hadis. Serta hak dan kewajiban dalam perkawinan
yang meliputi hak dan kewajiban suami istri baik dari sumber Undang-Undang
Perkawinan, Kompilasi hukum Islam dan hak dan kewajiban orangtua
23
terhadap anak baik dari sumber Undang-Undang Perkawinan serta Kompilasi
Hukum Islam.
1. Pengertian Perkawinan
Terdapat berbagai definisi mengenai perkawinan, dalam hal ini
untuk mempelajari dan memahami lebih lanjut terkait definifi perkawinan,
maka penulis akan menjabarkan definisi perkawinan sebagai berikut:
a. Pengertian Perkawinan Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan
Berdasarkan ketentuan yang dimuat dalam Pasal 1 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang memuat
pengertian yuridis perkawinan ialah “Perkawinan merupakan ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.1
b. Pengertian Perkawinan Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam
Perkawinan menurut hukum islam di atur dalam Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Pengertian perkawinan di atur di dalam Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam
yang berbunyi:
“Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu
akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati
perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.
1 Lihat Pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
24
c. Pengertian Perkawinan Berdasarkan Pendapat Para Ahli
Menurut Sajuti Thalib, dalam bukunya menyatakan bahwa
“Perkawinan adalah perjanjian suci membentuk keluarga antara seorang
laki-laki dan seorang perempuan. Unsur perjanjian disini untuk
memperlihatkan segi kesenjangan dari pekawinan serta
menampakkannya pada masyarakat ramai. Sedangkan sebutan suci untuk
pernyataan segi keagamaannya dari suatu perkawian”. 2
Menurut Prof. Subekti, Perkawinan adalah pertalian yang sah
antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk waktu yang
lama.3 Sedangkan menurut Anwar Haryono, dalam bukunya menyatakan
bahwa Pernikahan adalah perjanjian suci antara seorang laki-laki dengan
seorang perempuan guna membentuk keluarga bahagia”.4
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perkawinan
merupakan ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan sebagai
suami isteri yang memiliki kekuatan hukum dan diakui secara sosial
dengan tujuan membentuk keluarga sebagai satu dengan tujuan
membentuk keluarga yang bahagia dengan penuh rasa cinta,
mendapatkan keturunan, memenuhi kebutuhan hidup jasmani dan rohani,
2 Sajuti Thalib, 1982, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Universitas Indonesia Press,
Jakarta, hal. 47 3 Subekti dan Tjitrosudibio, 2013, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk
Wetboek) dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Jakarta: Pradnya Paramita, hal. 53 4 Riduan Syahrani, 2006, Seluk Beluk Asas-asas Hukum Perdata, Banjarmasin: PT.
Alumni, hal. 34
25
dan menghindari perzinahan sehingga tercipta ketenangan dan
ketentraman jiwa.
2. Asas – Asas Perkawinan
Terdapat berbagai definisi mengenai asas-asas perkawinan, dalam
hal ini untuk mempelajari dan memahami lebih lanjut terkait definifi
perkawinan, maka penulis akan menjabarkan definisi perkawinan sebagai
berikut:
a. Asas-Asas Perkawinan Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan
Asas-asas perkawinan dimuat di dalam Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu berbunyi sebagai berikut5:
1) Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
Artinya hanya dengan perkawinan kekal dapat membentuk
keluarga yang bahagia dan sejahtera. Prinsip perkawinan kekal ini
dapat dijumpai dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
yang menyatakan, bahwa: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
2) Untuk sahnya perkawinan harus di lakukan berdasarkan agama dan
kepercayaan yang akan melangsungkan perkawinan
5 Sudarsono, 2005, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, hal. 79
26
Artinya, perkawinan dianggap sah apabila dilakukan
menurut hukum agama atau kepercayaan agama masing-masing
yang dianut oleh calon mempelai. Hal ini dapat dijumpai dalam
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang
menentukan, bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
3) Peristiwa perkawinan harus di lakukan pencatatan berdasarkan
peraturan yang ada
Artinya setiap perkawinan yang dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu akan dianggap
mempunyai kekuatan hukum bilamana dicatat menurut peraturan
yang berlaku. Perkawinan yang tidak dicatat tidak mempunyai
kekuatan hukum. Hal ini terdapat dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi
“Tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku”.
4) Kedudukan suami istri adalah seimbang dalam rumah tangga dan
pergaulan hidup bersama dalam masyaraka
Artinya hak dan kedudukan antara suami istri dalam
kehidupan rumah tangga maupun masyarakat adalah seimbang.
Suami berkedudukan sebagai kepala rumah tangga dan istri
berkedudukan sebagai ibu rumah tangga. Dalam memutuskan
27
sesuatu, maka dirundingkan secara bersama-sama antara suami istri.
Prinsip ini lebih lanjut dijabarkan dalam Pasal 31 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
5) Berdasarka alasan serta syarat-syarat tertentu juga izin pengadilan
seorang pria boleh beristri lebih dari satu (asas monogamy)
Artinya seorang suami boleh memiliki istri lebih dari satu,
apabila memenuhi berbagai persyaratan tertentu, dan diputuskan
oleh pengadilan. Hal ini sesuai dengan Pasal 3 ayat (2), Pasal 4,
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
6) Untuk dapat melangsungkan perkawinan ditentukan batas umur
serendah-rendahnya bagi pria 19 tahun dan bagi wanita tahun (Pasal
7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan izin orang tua
masih diperlukan sampai yang akan melangsungkan perkawinan
mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun (Pasal 6 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).
b. Asas-Asas Perkawinan Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam
Dalam Kompilasi Hukum Islam terdapat asas- asas
perkawinan antara lain sebagai berikut:
1) Asas persetujuan
Dalam melangsungkan perkawinan, tidak boleh ada paksaan.
Hal ini sesuai dengan Pasal 16-17 KHI yang berbunyi:
“Perkawinan atas persetujuan calon mempelai. Dapat berupa
pernyataan tegas dan nyata, dengan tulisan, lisan atau isyarat
yg mudah dimengerti atau diam. Sebelum berlangsungnya
28
perkawinan Pegawai Pencatat Nikah menanyakan lebih
dahulu persetujuan calon mempelai di hadapan dua
saksi nikah. Bila tidak disetujui oleh salah seorang calon
mempelai maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan”.
2) Asas kebebasan
Asas kebebasan artinya setiap orang tidak dipaksakan dalam
memilih pasangannya dengan tetap memperhatikan larangan
perkawinan. Pasal 18 (tidak terdapat halangan perkawinan), 39-44
KHI (larangan perkawinan). Dalam asas kebebasan sebelum
melakukan suatu perkawinan harus memperhatikan 2 hal yaitu agi
calon suami dan calon isteri yang akan melangsungkan pernikahan
tidak terdapat halangan perkawinan. Serta tidak melanggar larangan-
larangan dalam perkawianan.
3) Asas kemitraan suami-isteri
Asas kemitraan suami-istri merupakan asas kekeluargaan
atau kebersamaan yang sederajat, hak dan kewajiban Suami Isteri
(Pasal 77 KHI). Dalam hal ini suami menjadi kepala keluarga,
sedangkan istri menjadi kepala dan penanggung jawab pengaturan
rumah tangga. (Pasal 79 KHI).
4) Asas untuk selama-lamanya.
Maksud dari asas ini adalah pernikahan merupakan suatu
akad yang sangat kuat untuk menaati perintah Allah dan
menjalankan ibadah (Pasal 2 KHI).
29
5) Asas kemaslahatan hidup
Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah
tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah (Pasal 3 KHI).
Sakinah, mawaddah, wa rahmah merupakan sebuah pokok yang
harus ada dalam menjalin kehidupan berkeluarga. Agar kehidupan
rumah tangga suami istri menjadi aman, tentram, damai. Serta suami
istri harus saling mencintai, saling menjaga dan saling memberi
kepercayaan dan kasih sayang sepenuhnya.
6) Asas Kepastian Hukum
Perkawinan harus dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah.
Isbath Nikah dilakukan di Pengadilan Agama. Sedangkan rujuk
dibuktikan dengan kutipan Buku Pendaftaran Rujuk dari Pegawai
Pencatat Nikah. (Pasal 5-10).
c. Asas-Asas Perkawinan Berdasarkan Pendapat Para Ahli
Menurut Muhammad Idris Ramulyo, terdapat ada 3 (tiga)
asas yang harus diperhatikan di dalam asas perkawinan, yaitu6 :
1) Asas absolut abstrak
ialah asas dalam hukum perkawinan di mana pasangan
suami istri itu sebenarnya sejak dulu sudah ditentukan oleh
Allah.
6 Mohd. Idris Ramulyo, 1996, Hukum Perkawinan Islam, Bumi Askara, Jakarta, hal. 34
30
2) Asas selektivitas
adalah asas dalam perkawinan di mana seseorang yang
hendak menikah harus menyeleksi lebih dahulu dengan siapa ia
boleh menikah dan dengan siapa ia tidak boleh menikah.
3) Asas legalitas
Ialah asas dalam perkawinan yang wajib dicatatkan.
Dr. Musdah Mulia menjelaskan bahwa terdapat asas
perkawinan yang didasarkan pada ayat-ayat AlQuran7 :
1) Prinsip kebebasan dalam memilih jodoh.
Prinsip ini sebenarnya kritik terhadap tradisi bangsa arab
yang menempatkan perempuan pada posisi yang lemah,
sehingga untuk dirinya sendiri saja ia tidak memiliki kebebasan
untuk menentukan apa yang terbaik pada dirinya. bertentangan
dengan syariat islam.
2) Prinsip mawaddah wa rahmah
Prinsip ini didasarkan pada firman Allah QS. Ar-Rum:
21. mawaddah wa rahmah adalah karakter manusia yang tidak
dimiliki oleh mahluk lainnya. Jika binatang melakukan
hubungan seksual semata-mata untuk kebutuhan seks itu sendiri
juga dimaksudkan untuk berkembang biak.
7 Musdah Mulia, 1999, Pandangan Islam tentang Poligami, Jakarta: Lembaga Kajian
Agama dan jender dan The Asia Foundation, hal. 11-17.
31
3) Prinsip saling melengkapi dan melindungi
Prinsip ini didasarkan pada firman Allah SWT yang
terdapat pada surah al-Baqarah : 187 yang menjelaskan istri-istri
adalah pakaian sebagaimana layaknya dengan laki-laki juga
sebagai pakaian untuk wanita.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa asas-asas dalam
perkawinan merupakan prinsip-prinsip dasar yang dijadikan tumpuan
untuk membentuk suatu aturan hukum perkawinan yang bersifat konkrit.
3. Dasar Hukum Perkawinan
Terdapat berbagai dasar hukum dalam perkawinan, dalam hal ini
untuk mempelajari dan memahami lebih lanjut terkait dasar hukum
perkawinan, maka penulis akan menjabarkan sebagai berikut:
a. Dasar Hukum Perkawinan Berdasarkan Undang-Undang
Perkawinan
Pengaturan mengenai hukum perkawinan di Indonesia dimuat
dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pengaturan mengenai hukum perkawinan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bukan
hanya disusun berdasarkan prinsip dan nilai-nilai Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tetapi juga disusun dengan
mengupayakan menampung segala kebiasaan yang selama ini
berkembang dalam masyarakat Indonesia. Dasar hukum perkawinan
32
menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
tertuang dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (2) yang rumusannya
“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu. Tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
b. Dasar Hukum Perkawinan Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam
Pengaturan mengenai dasar hukum perkawinan dimuat juga
dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam yang tertuang dalam Pasal 2 yang berbunyi sebagai
berikut: “Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu
akad yang sangat kuat atau miitsaaqan ghaliizhan untuk mentaati
perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”. Sedangkan
bunyi dari Pasal 3 “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan
kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah”.
c. Dasar Hukum Perkawinan Berdasarkan Al-Quran dan Hadits
1) QS. Ar. Ruum (30) : 21
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir “.
33
2) QS. Adz Dzariyaat (51) : 49
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan
supaya kamu mengingat kebesaran Allah” .
3) HR. Bukhari-Muslim
“ Wahai para pemuda, siapa saja diantara kalian yang telah
mampu untuk kawin, maka hendaklah dia menikah. Karena dengan
menikah itu lebih dapat menundukkan pandangan dan lebih menjaga
kemaluan dan barang siapa yang belum mampu, maka hendaklah dia
berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu bisa menjadi perisai
baginya“.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hukum perkawinan
adalah sah apabila dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku baik
secara agama atau pun secara hukum. Di dalam Agama Islam juga telah
diatur mengenai hukum-hukum perkawinan bagi yang sudah mampu
untuk menikah.
4. Hak Dan Kewajiban Dalam Perkawinan
Di dalam suatu perkawianan suami dan istri mempunyai kewajiban
satu sama lain untuk dapat menegakkan rumah tangga. Hak dan kedudukan
antara suami isteri adalah seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan
dalam kehidupan di masyarakat. Hak dan kewajiban tersebut antara lain:
a. Hak dan Kewajiban Suami Istri
1) Hak dan Kewajiban Suami Istri Berdasarkan Undang-Undang
Perkawinan
34
Hak dan kewajiban antara suami-istri adalah hak dan
kewajiban yang timbul karena adanya perkawinan antara mereka.
Hak dan kewajiban suami istri diatur dalam Pasal 30 sampai dengan
pasal 34 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Hak dan kewajiban
tersebut antara lain:
a) Suami - isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan
rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat
b) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan
hidup bersama dalam masyarakat
c) Masing -masing pihak berhak untuk mlelakukan perbuatan
hukum.
d) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga
e) Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
Rumah tempat kediaman yang dimaksud ini ditentukan oleh
suami isteri bersama
f) Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat-menghormati
setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang
lain
g) Suami wajib melindungi isteri dan memberikan segala sesuatu
keperluan rumah tangga sesuai dengan kemampuannya
h) Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya
i) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masi
dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.
2) Hak dan Kewajiban Suami Istri Berdasarkan Kompilasi
Hukum Islam
Masalah hak dan kewajiban suami istri dalam Kompilasi
Hukum Islam diatur dalam Bab XII pasal 77 sampai pasal 83 antara
lain sebagai berikut:
(1) Suami isteri memikul kewjiban yang luhur untuk menegakkan
rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang
menjadi sendi dasar dan susunan masyarakat.
35
(2) Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati,
setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satui kepada yang
lain.
(3) Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan
memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan
jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan
agamanya.
(4) Suami isteri wajib memelihara kehormatannya
(5) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya, maka masing-
masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama.
(6) Suami istri harus mempunyai tempat kediaman. Tempat
kediaman disediakan untuk melindungi istri dan anak-anaknya
dari gangguan pihak lain.
b. Hak dan Kewajiban Orangtua Terhadap Anak
Orangtua berkewajiban untuk memelihara serta mendidik
anak-anak mereka dengan sebaik-baiknya. Sedangkan anak wajib
untuk menghormati orangtua dan mentaati kehendak orangtuanya
dengan baik. Hak dan kewajiban orangtua terhadap anak-anaknya
antara lain sebagai berikut:
(1) Hak dan Kewajiban Orangtua Terhadap Anak Berdasarkan
Undang-Undang Perkawinan
Mengenai hak dan kewajiban orangtua kepada anak di atur
di dalam Pasal 45 sampai Pasal 49 Undang – Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hak dan kewajiban tersebut
antara lain:
(a) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak - anak
sebaik-baiknya. Kewajiban orang tua ini berlaku sampai anak
tersebut kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban ini berlaku
meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus
36
(b) Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak
mereka yang baik
(c) Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara sesuai dengan
kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke
atas,bila mereka itu memerlukan bantuannya
(d) Anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum
pernah melangsungkan perkawinan berada di bawah kekuasaan
orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya
(e) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan
(f) Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau
menggadaikan barang -barang tetap yang dimiliki anaknya yang
belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak
itu menghendakinya
(g) Salah satu orangtua atau kedua orang tua dapat dicabut
kekuasaannya terhadap anaknya, untuk waktu yang tertentu atas
permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus
ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat
yang berwenang, dengan keputusan Pengadilan dalam hal
melalaikan kewajibannya terhadap anaknya dan berkelakuan
buruk
(h) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap
berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak
tersebut.
(2) Hak dan Kewajiban Orangtua Terhadap Anak Berdasarkan
Kompilasi Hukum Islam
Mengenai hak dan kewajiban orangtua kepada anak di atur
di dalam Pasal 98 sampai Pasal 106 Kompilasi Hukum Islam yang
berbunyi sebagai berikut:
(a) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa
adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik
maupun mental atau belum pernah melangsungkan
perkawinan.
(b) Orang tua dapat mewakili anaknya mengenai segala perbuatan
hukum di dalam dan di luar Pengadilan.
(c) Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat
terdekat yang mampu menunaikan kewajiban trsebut apabila
kedua orang tuanya tidak mampu.
37
(d) Semua biaya penyusuan anak dipertanggungkawabkan kepada
ayahnya. Apabila ayahya stelah meninggal dunia, maka biaya
penyusuan dibebankan kepada orang yang berkewajiban
memberi nafkah kepada ayahnya atau walinya.
(e) Penyusuan dilakukan paling lama dua tahun, dan dapat
dilakukan penyapihan dalam masa kurang dua tahun dengan
persetujuan ayah dan ibunya.
(f) Dalam hal terjadinya perceraian pemeliharaan anak yang
belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak
ibunya
(g) Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz atau sudah
berumur 12 tahun diserahkan kepada anak itu sendiri untuk
memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak
pemeliharaanya, sementara untuk biaya pemeliharaan
ditanggung oleh ayahnya.
(h) Orang tua memiliki kewajiban merawat dan mengembangkan
harta anaknya yang belum dewasa atau dibawah
pengampunan, dan tidak diperbolehkan menggadaikan harta
tersebut, kecuali karena keperluan mendesak yaitu jika
kepentingan dan keslamatan anak itu menghendaki atau suatu
kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa
mendidik dan memelihara anak-anak menjadi kewajiban bersama
antara ibu dan bapak, hal ini berlaku sampai anak tersebut dewasa,
meskipun akhirnya bapak ibu bersangkutan mengalami perceraian.
B. Tinjauan Umum Tentang Putusnya Perkawinan
Pada bagian ini akan dijabarkan mengenai putusnya perkawinan yang
meliputi pengertian putusnya perkawinan baik dari sumber Undang-Undang
Pekawinan, Kompilasi Hukum Islam dan pendapat para ahli. Penyebab
putusnya perkawinan, dan akibat hukum putusnya perkawinan baik dari
sumber Undang-Undang Pekawinan, dan Kompilasi Hukum Islam.
1. Pengertian Putusnya Perkawinan
38
Putusnya perkawinan merupakan istilah hukum yang sering
digunakan dalam Undang-Undang Perkawinan untuk menjelaskan
berakhirnya hubungan perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan yang selama hidup menjadi sepasang suami istri. Istilah yang
paling sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari adalah perceraian.
a. Pengertian Putusnya Perkawinan Berdasarkan Undang-Undang
Perkawinan
Istilah “perceraian” terdapat dalam Pasal 38 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang memuat ketentuan
bahwa perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas
putusan pengadilan.
Perceraian menurut hukum Agama Islam yang telah dipositifkan
dalam Pasal 38 dan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang
telah dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
mencakup perceraian dalam pengertian cerai talak dan perceraian dalam
pengertian cerai gugat. Perceraian karena talak adalah perceraian yang
diajukan oleh suami kepada Pengadilan Agama. 8 Sedangkan perceraian
karena cerai gugat ialah perceraian yang diajukan oleh istri kepada
Pengadilan Agama.9
8 Lihat pada Pasal 14 sampai Pasal 18 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang
aturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 9 Lihat pada Pasal 20 sampai Pasal 36 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang
aturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
39
b. Pengertian Putusnya Perkawinan Berdasarkan Kompilasi Hukum
Islam
Perkawinan dapat putus karena tiga hal yaitu karena kematian,
perceraian dan atas putusan Pengadilan. Putusnya perkawinan yang
disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan
gugatan perceraian baik cerai talak maupun cerai gugat. Talak
merupakan ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang
menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Dalam Kompilasi
Hukum Islam terdapat 5 jenis talak antara lain Talak Raj’I, Talak Ba’in
Shughraa, Talak Ba`in Kubraa, Talak sunny dan Talak bid`I. Talak Raj`I
adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk selama isteri
dalam masa iddah (Pasal 118 KHI). Talak Ba`in Shughraa adalah talak
yang tidak boleh dirujuk kembali tetapi boleh akad nikah baru dengan
bekas suaminya meskipun dalam iddah (Pasal 119 KHI). Talak Ba`in
Kubraa adalah talak yang tidak dapat dirujuk kembali, karena terjadi
untuk ketiga kalinya kecuali bekas isteri menikah dengan orang lain dan
kemudian terjadi perceraian ba`da al dukhul dan telah habis masa
iddahnya (Pasal 120 KHI). Talak sunny adalah talak yang dibolehkan
yaitu talak yang dijatuhkan terhadap isteri yang sedang suci dan tidak
dicampuri dalam waktu suci tersebut (Pasal 121 KHI). Talak bid`I adalah
talak yang dilarang karena talak ini dijatuhkan pada waktu isteri dalam
keadaan haid atau dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu
suci tersebut (Pasal 122 KHI).
40
c. Pengertian Putusnya Perkawinan Berdasarkan Pendapat Ahli
Menurut Abdul Kadir Muhammad, putusnya perkawinan karena
kematian di sebut dengan “cerai mati”, sedangkan putusnya perkawinan
karena perceraian terdapat dua istilah yaitu, cerai gugat (khulu’) dan cerai
talak. Putusnya perkawinan karena putusan pengadilan di sebut dengan
istilah “cerai batal”.10
Menurut Subekti, perceraian merupakan salah satu peristiwa yang
dapat terjadi dalam suatu perkawinan, perceraian adalah penghapusan
perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam
perkawinan.11
Menurut R. Soetojo Prawiroharmid jojo dan Aziz Saefuddin,
perceraian berbeda dengan pemutusan perkawinan, karena sesudah
perpisahan meja dan tempat tidur yang didalamnya tidak terdapat
perselisihan bahkan ada kehendak baik dari suami maupun dari istri
untuk pemutusan perkawinan. Perceraian selalu berdasar pada
perselisihan antara suami dan istri.12
Jadi berdasarkan uraian diatas yang dimaksud dengan perceraian
adalah putusnya hubungan rumah tangga antara suami dan istri yang
mengakibatkan berakhirnya hubungan keluarga antara suami dan istri
tersebut.
10 Abdul Kadir Muhammad, 2000, Hukum Perdata Indonesia, Bandung: Citra Aditya
Bakti, hal. 108
11 Subekti, 2001, Pokok-pokok Hukum Perdata, Cet. XXIX, Jakarta: PT. Intermasa, hal. 42
12 R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Azis Safioedin,1986, Hukum Orang Dan Keluarga,
Bandung: Alumni, hal. 109
41
2. Penyebab Putusnya Perkawinan
Masalah putusnya perkawinan serta akibatnya di atur di dalam
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dalam Bab VIII Pasal 38 sampai dengan
Pasal 41. Di dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan yang berbunyi:
“Perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas
putusan Pengadilan”.13
Putusnya perkawinan karena kematian maksudnya adalah apabila
apabila salah seorang dari kedua suami istri itu meninggal dunia, maka
perkawinannya putus karena adanya kematian. 14 Sementara putusnya
perkawinan karena perceraian antara suami istri maksudnya apabila suami
istri itu bercerai. Perceraian ini dapat terjadi langsung atau dengan tempo
dengan menggunakan kata talaq atau kata lain yang senada. Sedangkan
putusnya perkawinan karena putusan Pengadilan terjadi karena pembatalan
perkawinan, dengan demikian perkawinan itu harus memenuhi syarat-syarat
dalam Pasal 6 dan 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Syarat-syarat
yang tidak dapat dipenuhi dalam suatu perkawinan, maka perkawinannya
dapat dibatalkan.15
13 Abber Hasibuan, 2015, Putusnya Perkawinan Dan Akibat Hukumnya, Jurnal Pendidikan
Dan Hukum Islam, Vol. 9, No. 1, hal. 6 14 Subekti, 1996, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT. Intermassa, hal. 42
42
Sedangkan di dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam dijelaskan
mengenai penyebab putusnya perkawinan, antara lain sebagai berikut:
1) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk pemadat, penjudi dan
lain sebagainya yang susah disembuhkan
2) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturutturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau diluar
kemampuannya
3) Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara selama 5 (lima) tahun
atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung
4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang telah
membahayakan pihak lain
5) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri
6) Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga
7) Suami melanggar taklik talak
8) Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga.16
3. Akibat Hukum Putusnya Perkawinan
Adapun dari akibat putusnya perkawinan, maka mempunyai akibat
hukum sebagai berikut :
a. Akibat Putusnya Perkawinan Dalam Undang-Undang
Menurut Pasal 41 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan disebutkan bahwa akibat putusnya perkawinan karena
perceraian adalah:
1) Baik bapak atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana
ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi
keputusannya
2) Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak, bilamana bapak dalam kenyataan
16 Op. Cit, hal. 56
43
tidak dapat memberi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan
bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut
3) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan
biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas
istri.17
Berdasarkan bunyi pasal tersebut maka dapat diketahui bahwa, baik
ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,
semata-mata berdasarkan kepentingan anak. Jika suatu saat terjadi
perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, maka diselesaikan melalui
putusan pengadilan.
b. Akibat Putusnya Perkawinan Dalam Kompilasi Hukum Islam
Menurut Hukum Islam setelah terjadinya suatu perceraian, maka
akan menimbulkan akibat hukum tertentu, menurut Kompilasi Hukum
Islam Pasal 156, akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
1) Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari
ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya
digantikan oleh wanita-wanita dalam garis lurus dari ibu, ayah, wanita-
wanita dalam garis Iurus ke atas dari ayah, saudara perempuan dari anak
yang bersangkutan, wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis
samping dari ibu, wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping
dari ayah, anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk
mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya.
2) Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin
keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan
hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang
bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah
kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula
3) Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah
menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut
dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).
4) Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak,
Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b),
(c), dan (d). 6) Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan
17 Lihat pada Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
44
ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan
anak yang tidak turut padanya
Adapun di dalam Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam, bilamana
perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib :
a. Memberikan mut‟ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa
uang atau benda, kecuali bekas istri sudah tersebut qobla al dukhul
b. Memberi nafkah, maskan dan kiswah ke bekas istri selama dalam iddah,
kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba‟in atau nisyuz dalam keadaan
tidak hamil
c. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separoh apabila
qobla al dukhul
d. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anak yang belum mencapai
umur 21 tahun.18
C. Tinjauan Umum Tentang Nafkah Anak
Pada bagian ini akan dijabarkan mengenai nafkah anak yang meliputi
pengertian nafkah anak akibat putusnya perkawinan, batas usia pemberian
nafkah anak pasca putusnya perkawinan, serta hak dan kewajiban dalam
memberi nafkah anak.
1. Pengertian Nafkah Anak Akibat Putusnya Perkawinan
Nafkah ialah “belanja”. Artinya adalah sesuatu yang diberikan
kepada seseorang istri, sebagai keperluan pokok, seperti makanan, pakaian
dan tempat tinggal.19 Terkait dengan nafkah dalam keluarga, maka dalam
pasal 80 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam berbunyi:
18 Op cit, hal 57 19 Departemen Agama RI, 1984, Ilmu Fiqh, Jilid II, Jakarta : Ditjen Binbaga Islam, hal.
184.
45
“Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung (1) nafkah,
kiswah dan tempat kediaman bagi isteri, (2) biaya rumah tangga,
biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak”.20
Anak adalah putra putri kehidupan, masa depan bangsa dan negara.
Oleh karena itu anak memerlukan pembinaan agar dapat berkembang
mental dan spiritu alnya secara maksimal. Dalam Kompilasi Hukum Islam
Batas usia dewasa diatur dalam Pasal 98 ayat 1 dinyatakan bahwa dewasa
adalah 21 tahun sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik maupun mental
ataupun belum pernah melakukan perkawinan. Dalam Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tidak secara tegas mengatur mengenai kapan
seseorang dapat digolongkan sebagai anak, dalam Pasal 6 ayat 2
menyatakan bahwa “syarat perkawinan bagi seorang yang belum berumur
21 tahun harus mendapat ijin orangtuanya”, sementara dalam Pasal 7 ayat
(1) menyatakan bahwa “minimal usia anak dapat kawin pria 19 tahun dan
wanita 16 tahun”, sedangkan Pasal 47 ayat (1) menyatakan bahwa “anak
yang belum mencapai 18 tahun atau belum melakukan pernikahan ada di
bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak mencabut kekuasaan
orang tuanya”.
Nafkah merupakan kewajiban ayah (suami) terhadap anak-anaknya,
apabila anak fakir telah sampai pada umur mampu bekerja, meskipun belum
baligh, dan tidak ada halangan apapun untuk bekerja, gugurlah kewajiban
ayah untuk memberi nafkah kepada anaknya. Berbeda halnya apabila anak
20 Op. Cit, Abdurrahman, hal. 133
46
telah mencapai umur dapat bekerja itu terhalang untuk bekerja disebabkan
sakit atau kelemahan-kelemahan lain, maka ayah tetap berkewajiban
memberi nafkah terhadap anaknya.21
2. Batas Usia Pemberian Nafkah Anak Pasca Putusnya Perkawinan
Dalam Al-Quran dan Hadits tidak diterangkan dengan tegas masa
berakhirnya memberikan nafkah anak setelah terjadinya perceraian, hanya
ada isyarat-isyarat ayat yang menjelaskan terhadap hal itu. Dalam hal ini
terdapat beberapa pendapat dalam batasan anak mendapatkan hak nafkah
anak :
a. Ulama Hanafiyyah mengatakan bahwa masa asuh anak, hingga anak
tidak membutuhkan bantuan ibunya yang artinya ia mengurus sendiri
keperluan makan, minum, pakaian, dan bersuci yaitu kira-kira usia anak
sampai dengan 7 tahun dan menurut sebagian lainnya ada juga yang
berpendapat pada usia 9 tahun
b. Ulama Malikiyyah berpendapat bahwa masa pemberian nafkah kepada
anak yaitu sejak anak lahir sampai dewasa. Ibulah yang berhak untuk
mengasuhnya akan tetapi mengenai biaya nafkahnya tetap kewajiban
seorang ayah
21 Rukiah M. Ali dan Zakki Fikri Khairuna, 2017, “Hak Nafkah Anak Pegawai Negeri Sipil
Setelah Perceraian”, Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam, Vol. 1, No. 2, hal. 419
47
c. Ulama Syafiiyyah berpendapat tidak ada batas waktu dalam hal
pengasuhan. Sesungguhnya anak kecil berhak untuk memilih antara ayah
dan ibunya, dan siapa yang dipilih olehnya dialah yang berhak atasnya
d. Ulama Hanbaliah mengatakan bahwa masa hak nafkah terhadap anak
baik laki-laki maupun perempuan adalah 7 tahun. Tetapi jika anak sudah
mencapai usia 7 tahun dan kedua orang tuanya sepakat agar salah satu
dari mereka yang mengasuhnya, maka dibolehkan. Dan jika keduanya
berselisih maka anak disuruh memilih.22
Adapun di dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 98 yang berbunyi
sebagai berikut :
1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun,
sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum
pernah melangsungkan perkawinan
2) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum
di dalam dan di luar Pengadilan
3) Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang
mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak
mampu.
3. Hak dan Kewajiban Memberi Nafkah Kepada Anak
Menurut Undang-undang Perkawinan meskipun telah terjadi
perceraian, bukan berarti kewajiban suami isteri sebagai ayah dan ibu
terhadap anak di bawah umur berakhir. Suami yang menjatuhkan talak pada
isterinya wajib membayar nafkah untuk anak-anaknya, yaitu belanja untuk
memelihara dan keperluan pendidikan anak-anaknya itu. Pemberian nafkah
anak harus terus dilakukan sampai anak-anak tersebut baliq dan berakal
22 Zuhaili Az-Wahbah, 2011, Fiqh Islam Wa adilatuhu, Jakarta: Gema Insani, hal. 79-81
48
serta mempunyai penghasilan sendiri. Suami dan isteri bersama
bertanggung jawab atas segala biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-
anaknya. Apabila suami tidak mampu, maka pengadilan dapat menetapkan
bahwa ibu yang memikul biaya anak-anak. 23
Salah satu kewajiban ayah terhadap anaknya adalah memberi
nafkah, seorang ayah berkewajiban untuk memberikan nafkah terhadap
anaknya, baik pakaian, tempat tinggal, pendidikan maupun kebutuhan
lainnya, meskipun hubungan perkawinan antara ayah dan ibu telah putus.
Suatu perceraian tidak mengakibatkan hilangnya kewajiban ayah untuk
tetap memberi nafkah kepada anak-anaknya sampai anak tersebut dewasa
atau berusia 21 tahun.
Sebagaimana dijelaskan pada Pasal 45 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa:
a. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka
sebaik-baiknya;
b. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam Ayat (1) pasal ini berlaku
sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana berlaku
terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.
Sedangkan di dalam Pasal 106 Kompilasi Hukum Islam berbunyi
sebagai berikut:
a. Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya
yang belum dewasa atau di bawah pengampuan, dan tidak diperbolehkan
memindahkan atau menggadaikannya kecuali karena keperluan yang
mendesak jika kepentingan dan kemaslahatan anak itu menghendaki atau
suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi;
23 Nunung Rodliyah, 2014, “Akibat Hukum Perceraian Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”, Jurnal Keadilan Progresif, Vol. 5 , No. 1, hal. 127
49
b. Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena
kesalahan dan kelalaian dari kewajiban yang tersebut pada Ayat (1).
D. Tinjauan Umum Tentang Akibat Hukum Adanya Putusan
Pada bagian ini akan dijabarkan mengenai akibat hukum adanya
putusan yang terdiri dari kewajiban menjalankan isi putusan dan akibat hukum
tidak menjalankan isi putusan.
1. Kewajiban Menjalankan Isi Putusan
Menurut Sudikno Mertokusumo, putusan hakim adalah suatu
pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang
untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau
menyelesaikan suatu perkara atau masalah antar pihak. Bukan hanya yang
diucapkan saja yang disebut putusan, melainkan juga pernyataan yang
dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan oleh Hakim di
persidangan. Sebuah konsep putusan (tertulis) tidak mempunyai kekuatan
sebagai putusan sebelum diucapkan di persidangan oleh hakim.24
Putusan perdata pada dasarnya memiliki kekuatan hukum tetap
(inkracht van gewijsde) yaitu putusan pengadilan pada tingkat pertama
yang tidak diajukan pada tingkat banding, putusan banding yang tidak
diajukan pada tingkat kasasi, dan putusan kasasi. Pelaksanaan putusan
perdata diatur dalam Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (HIR) Bab
24 Sudikno Mertokusumo, 2006, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cet Ke-VII,
Yogyakarta: Liberty, hal. 52
50
Kesembilan Bagian Kelima tentang Menjalankan Keputusan Pasal 195 s.d.
Pasal 224. Pasal 195 HIR huruf (a), (b), (c) berbunyi sebagai berikut:
“(1) Keputusan hakim dalam perkara yang pada tingkat pertama
diperiksa oleh pengadilan negeri, dilaksanakan atas perintah dan di
bawah pimpinan ketua pengadilan negeri yang memeriksa perkara
itu, menurut cara yang diatur dalam pasal-pasal berikut. (Rv. 350,
360; IR. 194.) (2) Jika keputusan itu harus dilaksanakan seluruhnya
atau sebagian di luar daerah hukum pengadilan negeri tersebut,
maka ketuanya akan meminta bantuan dengan surat kepada ketua
pengadilan negeri yang berhak; begitu juga halnya pelaksanaan
keputusan di luar Jawa dan Madura. (3) Ketua pengadilan negeri
yang diminta bantuan itu harus bertindak menurut ketentuan ayat
di atas, jika nyata baginya, bahwa keputusan itu harus dilaksanakan
seluruhnya atau sebagian di luar daerah hukumnya”.
Akibat dari tidak adanya kepastian hukum jika isi putusan
dilaksanakan secara sukarela, banyak ditemui berbagai praktik pemenuhan
putusan secara sukarela berbeda antara pengadilan yang satu dengan
pengadilan yang lain. Terdapat pengadilan yang tidak mau campur tangan
atas pemenuhan nafkah secara sukarela, tetapi terdapat juga pengadilan
yang ikut campur dalam menyelesaikan pemenuhan isi putusan secara
sukarela. Walaupun pelaksanaan isi putusan dilakukan secara sukarela,
Ketua Pengadilan seharusnya melalui juru sita membuat Berita Acara
pemenuhan putusan secara sukarela yang disaksikan oleh dua orang
saksi.25
Dalam hal ini jangka waktu pelaksanaan isi putusan secara sukarela
oleh pihak yang dikalahkan tidak diatur dalam peraturan perundang-
25 Yahya Harahap, 1993, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, hal. 12
51
undangan. Tetapi jika isi putusan tidak dilaksanakan oleh pihak yang
kalah, maka pihak yang menang dapat memaksakan pelaksanaan eksekusi
dengan cara mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan.
2. Akibat Hukum Tidak Menjalankan Isi Putusan
Dalam perkara perdata pelaksanaan isi putusan dilakukan oleh
pihak yang dikalah. Namun, pihak yang kalah terkadang tidak mau
menjalankan isi putusan secara sukarela. Sedangkan di dalam peraturan
perundang-undangan tidak diatur jangka waktu jika isi putusan akan
dilaksanakan secara sukarela oleh pihak yang kalah. Tetapi pihak yang
menang dapat meminta bantuan pengadilan untuk memaksakan eksekusi
putusan berdasarkan Pasal 196 HIR yang berbunyi:
“Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi
isi keputusan itu dengan damai, maka pihak yang menang
memasukkan permintaan, baik dengan lisan, maupun dengan
surat, kepada ketua, pengadilan negeri yang tersebut pada ayat
pertama pasal 195, buat menjalankan keputusan itu Ketua
menyuruh memanggil pihak yang dikalahkan itu serta
memperingatkan, supaya ia memenuhi keputusan itu di dalam
tempo yang ditentukan oleh ketua, yang selama-lamanya delapan
hari.”
Eksekusi merupakan hukum yang mengatur cara beserta syarat –
syarat yang dipakai oleh alat – alat negara untuk membantu pihak-pihak
yang berkepentingan dalam menjalankan putusan hakim, apabila pihak
kalah tidak bersedia memenuhi bunyi putusan dalam waktu yang
52
ditentukan.26 Adapun pelaksaan eksekusi dilakukan melalui prosedur
sebagai berikut:
a. Ada permohonan sita eksekusi
Putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap, tidak langsung
dijalankan, tetapi terlebih dahulu diberikan kesempatan kepada para
pihak untuk melaksanakan isi putusan secara sukarela. Bila pihak yang
kalah ternyata tidak menjalankan isi putusan, maka Pengadilan harus
menunggu sampai adanya permohonan gugatan yang diajukan oleh pihak
yang merasa dirugikan baik secara lisan atau tertulis.27 Pengadilan
bersifat pasif karena pada dasarnya pelaksanaan eksekusi memerlukan
biaya yang banyak, dan biaya tersebut dibebankan kepada pihak
pemohon.
b. Aanmaning (Peringatan)
Aanmaning merupakan salah satu pokok eksekusi. Tanpa
peringatan terlebih dahulu, eksekusi tidak boleh dilakukan atau
dijalankan. Peringatan dalam kaitannya dengan menjalankan putusan
merupakan tindakan dan upaya yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan
yang berupa teguran kepada tergugat agar menjalankan isi putusan
pengadilan dalam tempo yang ditentukan oleh Ketua Pengadilan.28 Maka
26 R. Supomo, 1985, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Cet. 9, Jakarta: PT.
Pradnya Paramita, Hal. 119 27 Raihan Rasid, 2002, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: PT Grafindo Persada, hal.
217 28 M. Yahya Harahap, 2005, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata,
Jakarta: Sinar Grafika, hal. 30
53
dalam hal ini bahwa ketika pihak tergugat tidak mau menjalankan isi
putusan, pihak penggugat dapat mengajukan permohonan eksekusi
putusan dengan tahapan peringatan yang dilakukan langsung oleh Ketua
Pengadilan.
c. Jika dalam waktu yang diberikan tersebut sudah lewat dan isi putusan
Pengadilan tetap belum dilaksanakan, maka ketua Pengadilan dapat
memberi perintah agar putusan hakim dilaksanakan dengan paksa, dan
bahkan bila perlu dengan bantuan pihak Kepolisian.
d. Ketika surat perintah eksekusi yang telah ditandatangani Ketua
Pengadilan telah dikeluarkan, maka panitera dengan di bantu oleh juru
sita dan dua orang saksi dapat membawa surat perintah tersebut ke
tempat penyitaan dan menunjukkannya kepada pihak-pihak atau pejabat
yang bersangkutan. Hal ini diatur dalam Pasal 197 HIR. 208-212 Rbg.29
e. Harus terdapat dua orang saksi sebagai syarat sahnya pelaksanaan
eksekusi. Saksi ini berfungsi sebagai pembantu dalam penyitaan. Saksi
harus berumur 21 tahun, warga Negara Indonesia (WNI), memiliki sifat
jujur dan dapat dipercaya.30
f. Sita eksekusi harus dilakukan di tempat objek eksekusi. Setelah selesai
maka dibuatlah berita acara eksekusi yang memuat sebagai berikut:
1) Perincian proses eksekusi meliputi semua pekerjaan yang telah
dilakukan
29 Soeroso, 1996, Praktek Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 198-199 30 Mukti Artho, 2003, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, hal. 315
54
2) Identitas saksi
3) Berita acara yang ditandatangani oleh pejabat pelaksana dan saksi,
sedangkan pihak tersita dan aparat desa menurut hukum tidak
diwajibkan turut menandatangani
4) Isi berita acara sita diberikan kepada pihak tersita
Jadi, jika setelah jangka waktu yang telah ditetapkan, putusan masih
juga tidak dilaksanakan, maka Ketua Pengadilan memerintahkan agar disita
barang-barang milik pihak yang kalah sampai dirasa cukup akan pengganti
jumlah uang yang tersebut di dalam keputusan itu dan ditambah pula dengan
semua biaya untuk menjalankan keputusan itu (Pasal 197 HIR).