bab ii tinjauan pustakaeprints.umm.ac.id/39887/3/bab 2.pdf · misalnya tetralogi of fallot,...
TRANSCRIPT
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kateterisasi jantung
2.1.1 Definisi
Kateterisasi jantung adalah suatu tindakan pemeriksaan diagnostik untuk
menentukan diagnosa secara invasive pada kelainan jantung dan pembuluh darah.
Dikatakan invasive karena tindakan ini memasukkan selang/tube kecil (kateter) ke
dalam jantung, melalui pembuluh darah baik vena atau arteri. Oleh karena itu biasa
disebut juga pemeriksaan kateterisasi jantung (Rokhaeni, Purnamasari & Rahayoe,
2001).
Kateterisasi jantung adalah suatu pemeriksaan jantung dengan memasukkan
kateter ke dalam sistem kardiovaskular untuk memeriksa dan mengetahui keadaan
anatomi dan fungsi jantung. Angiografi koroner atau penyuntikan bahan kontras ke
dalam arteri koronaria merupakan tindakan yang paling sering digunakan untuk
menentukan lokasi, luas dan keparahan sumbatan dalam arteri. Angiografi koroner
dapat memberikan informasi tentang lokasi lesi atau sumbatan pada koroner, derajat
obstruksi, adanya sirkulasi kolateral, luasnya gangguan jaringan pada area proximal
hingga distal koroner yang tersumbat dan jenis morfologi lesi (Price & Wilson 2005).
2.1.2 Macam kateterisasi jantung
Menurut (Rokhaeni, Purnamasari & Rahayoe, 2001). pemeriksaan kateterisasi
jantung terbagi atas:
1. Kateterisasi jantung kanan (untuk kelainan pada jantung kanan ) misalnya stenosis
pulmonal.
8
2. Kateterisasi jantung kiri ( untuk kelainan pada jantung kiri ) misalnya penyakit
jantung koroner, Koartasio Aorta.
3. Kateterisasi jantung kanan dan kiri ( untuk kelainan jantung kanan dan kiri )
misalnya Tetralogi Of Fallot, transposisi arteri besar.
Lebih lanjut lagi menurut Rokhaeni, Purnamasari & Rahayoe (2001).
menyebutkan bahwa pemeriksaan kateterisasi pada intinya terbagi atas 2 tindakan
yaitu angiogram dan penyadapan.
1. Angiogram / Angiography
Yaitu memasukkan media / zat kontras kedalam suatu rongga (ruang jantung /
pembuluh darah), untuk meyakinkan suatu anatomi/ aliran darah, kemudian
merekam / mendokumentasikannya ke dalam film/ CD/Video sebagai data.
2. Penyadapan
Yaitu tindakan menyadap/merekam/mendokumentasikan tekanan, kandungan
oksigen, sisem listrik jantung, tanpa menggunakan media kontras.
2.1.3 Indikasi
Indikasi kateterisasi jantung secara umum menurut Rokhaeni, Purnamasari &
Rahayoe, (2001) dilakukan untuk beberapa kondisi yaitu
1. Penyakit jantung koroner yang jelas/didiagnosis.
2. Sakit dada (angina pektoris) yang belum jelas penyebabnya.
3. Angina pektoris yang tidak stabil/bertambah.
4. Infark miokard yang tidak berespon dengan obat-obatan.
5. Gagal jantung kongestif.
9
6. Gambaran EKG abnormal (injuri, iskemik, infark), usia 50 tahun ke atas,
asimtomatik.
7. Treadmill test positif.
8. Evaluasi bypass koroner.
9. Abnormal irama (bradi/takhikardia).
10. Kelainan katub jantung.
11. Kelainan jantung bawaan.
12. Kelainan pembuluh perifer
2.1.4 Kontraindikasi kateterisasi jantung.
Kontraindikasi tindakan ini dibagi menjadi 2, yaitu :
1. Kontraindikasi Absolut : ketidaktersediaan peralatan atau fasilitas
kateterisasi
2. Kontraindikasi relative :
a. Perdarahan saluran cerna akut
Pada pasien yang mengalami perdarahan akan dapat menjadi syok dan
akan menyebabkan ke tidakstabilan hemodinamik
b. Ketidakseimbangan elektrolit
Ketidakseimbangan elekrolit menyebabkan gangguan metabolisme
tubuh dan akan mengalami gangguan fungsi jantung
c. Infeksi dan demam.
Pasien demam dapat menyebabkan gangguan metabolisme dan
perubahan hemodinamik, sehingga harus di stabilkan terlebih dahulu
10
d. Allergi berat terhadap zat kontras
Alergi kontras dapat mempengaruhi metabolisme dan hemodinamik,
pemilihan kontras dan profilaksis bisa di sarankan di berikan sebelum
tindakan apabila dibutuhkan
e. Kehamilan.
Paparan radiasi sangat berbahaya pada ibu dengan kondisi hamil
f. Gagal ginjal.
Penggunaan media kontras pada tindakan kateterisasi bisa
menyebabkan kondisi ginjal lebih parah
g. Hipertensi, CHF tidak terkontrol, aritmia.
Perubahan hemodinamik akan menyebabkan kesulitan tindakan
kateterisasi jantung
h. Pasien yang tidak kooperatif.
Akan mempersulit operator untuk melakukan tindakan
(Wangko, Budiono & Lefrandt, 2016)
2.1.5 Komplikasi angiography koroner
Angiografi koroner memiliki beberapa komplikasi seperti :
1. Major
a. Cerebrovascular accident
b. Death
c. Myocardial infarction
d. Ventricular tachycardia, fibrillation, or serious arrhythmia
2. Other
a. Aortic dissection
b. Cardiac perforation, tamponade
11
c. Congestive heart failure
d. Contrast reaction (anaphylaxis, nephrotoxicity)
e. Heart block, asystole
f. Hemorrhage (local, retroperitoneal, pelvic)
g. Infection
h. Protamine reaction
i. Supraventricular tachyarrhythmia, atrial fibrillation
j. Thrombosis, embolus, air embolus
k. Vascular injury, pseudoaneurysm
l. Vasovagal reaction
(Kern, 2011).
2.1.6 Lokasi akses.
Pemilihan arteri yang akan digunakan sebagai akses masuknya kateter ke dalam
tubuh pasien juga tidak kalah penting. Pemilihan arteri ini bergantung pada
beberapa faktor, seperti keahlian operator, kondisi fisik pasien, status antikoagulasi
dan kondisi pembuluh darah perifer. Beberapa arteri yang dapat dipilih, antara
lain:
1. Arteri femoralis
2. Arteri radialis dan brackhialis : dibandingkan dengan arteri brakialis, arteri radialis
lebih sering dipilih karena kateter lebih mudah dipasang dan dilepas.
3. Untuk pemilihan akses melalui arteri radialis sebelum dilakukan tindakan
dilakukan pemeriksaan Allen test untuk mengetahui kepatenan aliran arteri
radialis dan ulnaris.
12
2.1.7 Persiapan Pre Tindakan
1. Persiapan fisik
a. Puasa (makanan) kurang lebih 4-6 jam sebelum tindakan.
b. Bebaskan area penusukan (cukur rambut pada area tersebut).
c. Obat-obatan dilanjutkan sesuai instruksi dokter.
d. Hasil pemeriksaan penunjang dibawakan: laboratorium (Hb, CT, BT,
Ureum, Kreatinin, HbSAg, AIDS), test treadmill, X-ray,
Echokardiogram, EKG lengkap.
e. Nilai tanda-tanda vital saat itu.
f. Allen tes (untuk kateterisasi melalui arteri radialis).
g. Cek sirkulasi darah perifer (arteri femoralis, poplitea, dorsalis pedis)
untuk kateterisasi melalaui arteri femoralis.
(Rokhaeni, Purnamasari & Rahayoe, 2001).
2. Persiapan Administrasi
a. Surat ijin tindakan/inform concent.
b. Surat pernyataan pembayaran (keuangan).
3. Persiapan Mental
Pemberian pendidikan kesehatan tentang prosedur kateterisasi jantung
(apa, bagaimana, tujuan, manfaat, komplikasi dan prosedur kerja).
2.1.8 Teknik anestesi
Umumnya tindakan kateterisasi menggunakan anestesi lokal, karena kita perlu
kerja sama dengan pasien saat tindakan berlangsung, tetapi pada bayi atau anak yang
tidak stabil/biru dan berpotensi terjadi kegawatan biasanya digunakan anestesi umum
(Rokhaeni, Purnamasari & Rahayoe, 2001).
13
2.1.9 Teknik memasukkan kateter
Rokhaeni, Purnamasari & Rahayoe, (2001). menyebutkan bahwa teknik
memasukkan kateter PCA ada 2 yaitu:
1. Perkutan / Percutaneous, seperti teknik memasang infus.
2. Cutdown atau vena seksi, yaitu membuat sayatan pada otot dan mencari
pembuluh darah kemudian melokalisasinya dan membuat tusukan pada
pembuluh darah tersebut untuk memasukkan kateter.
Teknik yang sering digunakan adalah cara perkutan karena komplikasi dari
teknik ini sangat kecil dan mudah untuk mengerjakannya.
2.1.10 Teknik Pelaksanaan
Tahapan pelaksanaan prosedur kateterisasi jantung dapat digambarkan
sebagai berikut:
1. Pasien dibaringkan pada tempat tidur khusus sehingga dapat dilakukan X-Ray
selama intervensi sebagai monitoring lokasi. Alat monitor jantung dan oksigen
juga diberikan.
2. Sterilisasi area jalan masuk dilakukan serta pemberian anastesi lokal.
3. Jalan masuk menuju arteri femoralis, arteri radialis atau arteri brachealis dibuat
dengan alat yang disebut jarum introducer. Prosedur ini sering disebut dengan
jalan masuk percutaneous.
4. Setelah jalan masuk menuju arteri dibuat, sebuah sheath introducer ditempatkan
untuk menjaga arteri tetap terbuka dan mengontrol perdarahan.
5. Melalui sheath introducer ini, sebuah kateter panjang,lentur dan lembut yang terbuat
dari plastik yang disebut diagnostik catheter dimasukkan. Ujung dari diagnostik
catheter ini ditempatkan di awal arteri koroner. diagnostik catheter ini juga dapat
digunakan untuk menyuntikan zat radiopaque ke dalam arteri koroner sehingga
14
besar dan lokasi sumbatan dapat segera dikaji melalui gambaran X-ray. Klien
mungkin akan merasakan sensasi panas saat kontras diinjeksikan.
Rumus pemberian kontras : 4-6 cc zat kontras x BB klien
kreatinin klien
Nichiban dipasang pada pergelangan tangan, jika prosedur dilakukan melalui
arteri radialis. 4 jam setelah tindakan nichiban dapat dilonggarkan dan diganti dengan
balutan biasa. Jika prosedur dilakukan melalui arteri brakhialis atau femoralis setelah
pencabutan sheath gunakan sarung tangan steril, cabut sheath dan lakukan
penekanan selama 10-15 menit sampai perdarahan berhenti dan tidak ada hematoma.
Perdarahan pada area pungsi ditutup dengan menggunakan verban elastik (Rokhaeni,
Purnamasari & Rahayoe, 2001).
2.2 Contrast Induced Nephropathy (CIN)
2.2.1 Definisi
Contrasst induced nephropathy adalah adanya peningkatan serum creatinine ≥ 0,5
mg/dl (≥ 44µmol/L) atau peningkatan 25% dari nilai awal creatinine yang dilihat 48
jam setelah prosedur radiological, tanpa penyebab yang lainnya (Mc Cullough, 2008).
Menurut European Society of urogenital Radiology adalah peningkatan kreatinin
serum ≥ 25% atau 0,5 mg/dL yang terjadi dalam 3 hari setelah pemberian media
kontras intravaskular tanpa ada penyebab lainnya (Thomsen, 2006).
Slocum et al (2010) melakukan studi untuk menentukan definisi CIN yang
paling baik dalam implikasi klinis apakah peningkatan serum ≥ 25% dari nilai dasar
kreatinin serum atau peningkatan yang absolut ≥ 0,5 mg/dL. Dari data yang ada
peningkatan yang absolut ≥ 0,5 mg/dL lebih superior dibanding peningkatan serum
≥ 25% dari nilai dasar kreatinin serum dalam menegakkan CIN.
15
2.2 2 Epidemiologi
Insidensi terjadinya CIN sebagai komplikasi kateterisasi jantung sangat
bervariasi tergantung dari definisi yang digunakan, prosedur yang dilakukan, jumlah
dan tipe media kontras serta adanya faktor-faktor resiko seperti penyakit ginjal
kronik, diabetes mellitus dan penggunaan jumlah kontras yang terlalu banyak
(Gleeson et al, 2004).
CIN terjadi berkisar antara 0,6-2,3% pada populasi umum, namun pada
sebagian penderita prevalensi terjadinya CIN secara signifikan lebih tinggi (Mehran et
al, 2006). Pada studi yang dilakukan di William Beaumont Hospital, diantara 1826
penderita yang menjalani PCI, CIN terjadi pada 14,5% dari seluruh kasus dan
sebanyak 0,7% memerlukan hemodialisa (McCullough et al, 1997).
Studi yang dilakukan di Graduate Hospital mendapatkan bahwa dari 1196
penderita yang menjalani intervensi koroner 11,1% terjadi CIN, selain itu juga
disimpulkan bahwa hanya pada penderita yang dengan gangguan ginjal sebelumnya
atau disertai adanya diabetes mellitus memiliki resiko yang lebih tinggi untuk terjadi
CIN (Rudnick et al, 1997).
Studi retrospektif dengan menggunakan Mayo Clinic PCI Registry pada tahun
1996 sampai 2000 dengan mengikutsertakan 7586 pasien yang menjalani kateterisasi
jantung didapatkan insiden CIN sebanyak 254 pasien (3,3%). Studi ini juga
menunjukkan insiden terjadinya kematian selama perawatan rumah sakit, terutama
akibat infark miokard meningkat > 10 kali lipat pada penderita CIN. Dan pada
penderita CIN tersebut angka kejadian perdarahan, terbentuknya hematom,
pseudoaneurysm, stroke, emboli paru dan perdarahan saluran cerna juga lebih tinggi
dibandingkan dengan penderita yang tidak mengalami CIN. (Rihal et al, 2002).
16
Studi besar lainnya yang dilakukan di Washington Hospital Center dari tahun 1994
sampai 1999 dengan 8628 pasien yang menjalani kateterisasi jantung didapatkan 1431
(16,5%) menderita CIN (Iakovou et al, 2003). Studi yang dilakukan terhadap 183
penderita dengan usia tua yaitu lebih dari 70 tahun yang menjalani intervensi koroner
didapatkan 11% menderita CIN (Rich et al, 1990).
Insidensi CIN yang dilaporkan menurut literatur – literatur yang ada sangat
bervariasi. Dengan menggunakan data tahun 2000, diperkirakan lebih dari 59.000
kasus CIN terjadi pertahunnya dan lebih dari 4600 dari pasien tersebut
membutuhkan hemodialisis (Gami et al, 2004).
Studi lainnya yang dilakukan pada sekitar 20.500 pasien yang menjalani
kateterisasi jantung menunjukkan bahwa 2% dari pasien yang mengalami CIN
memiliki resiko 15 kali lipat untuk terjadi major adverse cardiac events (MACE) selama
perawatan rumah sakit dibanding penderita yang tidak mengalami CIN.
Resiko untuk terjadinya infark miokard meningkat 6 kali lipat, terjadi reokslusi
meningkat 11 kali lipat, dan resiko kematian meningkat 22 kali lipat dibandingkan
pada pasien yang tidak mengalami CIN (Bartholomew et al, 2004).
Gambar 2.1. Insidens kematian selama masa rawatan rumah sakit yang berhubungan
dengan CIN (Brinker,2005).
Nilai kreatinin serum awal dengan angka kejadian CIN memiliki hubungan
yang signifikan yaitu bervariasi dari 2% pada pasien dengan kreatinin serum dasar
17
<1,5 mg/dL hingga mencapai 20% pada penderita dengan kreatinin serum dasar > 2
mg/dL, terutama apabila pasien juga menderita DM (Meschi et al, 2006; Brinker at al,
2005).
Tabel 2.1. Insidensi terjadinya CIN setelah PCI. (Brinker, 2005)
Suatu studi yang dilakukan oleh Mutjaba et al (2010) untuk menentukan
frekuensi pasien dengan adanya insufisiensi ginjal dengan nilai serum kreatinin
normal yang menjalani kateterisasi jantung. Ternyata pada studi ini didapatkan bahwa
pada pasien dengan kreatinin normal sering memiliki nilai GFR yang tidak normal.
Sehingga GFR sebaiknya selalu dinilai untuk menentukan apakah telah terjadi
insufisiensi ginjal walaupun kreatinin serum dalam batas normal.
Ribichini et al (2010) melakukan suatu studi untuk melihat apakah
peningkatan kreatinin serum yang cepat dapat memprediksi terjadinya CIN dan
kerusakan ginjal yang permanen setelah kateterisasi jantung. Dan dari penelitian ini
didapatkan hasil bahwa peningkatan kreatinin serum yang minimal pada 12 jam
pertama merupakan prediktor kuat untuk terjadinya CIN dan kerusakan ginjal dalam
30 hari setelah terpapar media kontras.
2.2.3 Patogenesis
Patogenesis pasti CIN belum dapat sepenuhnya diketahui, namun cenderung
melibatkan beberapa faktor patogen dan kombinasi beberapa mekanisme (Persson et
al, 2005). Pada CIN terjadi kombinasi yang unik dari berbagai proses patologi yang
18
melibatkan disfungsi endotel, adanya oksigen radikal bebas yang sitotoksik dan
toksisitas tubulus yang akhirnya dapat menimbulkan hipoksia jaringan medulla ginjal
(Heyman et al, 2007; Wong et al, 2007; McCullough, 2009 ).
Marry et al (2001) menyatakan bahwa kerusakan ginjal akibat media kontras
oleh karena perubahan hemodinamik dan efek toksisitasnya pada ginjal. Perubahan
hemodinamik ginjal ditemukan pada banyak studi yang menemukan implikasi kuat
adanya vasokontriksi ginjal dengan efek iskemi medulla, yang melibatkan nitric oxide
(NO) sebagai vasodilator protektif endogen.
Penyebab instrinsik CIN adalah peningkatan vasokonstriksi, penurunan
prostaglandin lokal dan NO sehingga menurunkan efek vasodilatasi, efek toksik
langsung pada sel-sel tubular ginjal yang rusak oleh karena radikal-radikal bebas,
meningkatkan kebutuhan oksigen dan tekanan intratubular serta viskositas urin dan
obstruksi tubular yang akan berakumulasi untuk terjadinya iskemia medulla ginjal
(Gleeson et al, 2006).
Setelah pemberian media kontras terjadi vasodilatasi renal yang cepat yang
diikuti dengan vasokonstriksi yang panjang dengan peningkatan resistensi vaskular
intrarenal, sehingga terjadi pengurangan total aliran darah ginjal dan penurunan GFR
(Detrenis et al, 2005). Serta peningkatan ekskresi enzim lisosom urine dan protein
berat molekul kecil yang menandakan adanya kerusakan tubular (Weisberg et al,
1994).
2. 2. 4. Disfungsi endotel
Gangguan hemodinamik secara langsung yang diakibatkan oleh media
kontras terhadap sintesis dan pelepasan NO dan prostaglandin belum jelas terlihat.
Produksi intrarenal terhadap mediator vasodilator tersebut bertanggung jawab
terhadap suplai dan perfusi oksigen di medulla, penurunan dalam ketersediaan
19
mediator-mediator tersebut dapat menyebabkan terjadinya nephropathy. Penurunan
sintesis atau respon terhadap NO yang dilepaskan dari endothelium dapat menjadi
salah satu penyebab terjadinya iskemia pada ginjal (Detrenis et al, 2005; Gleeson et al,
2004).
2. 2. 5 Toksisitas tubulus
Efek toksik media kontras secara langsung terhadap sel-sel tubulus adalah
penurunan resistensi transepitel, gangguan permeabilitas substan-substan dan
gangguan polarisasi membran protein. Kerusakan pada sel-sel tubulus ini dapat
diikuti dengan penurunan yang signifikan dari konsentrasi kalium, adenosine diphosphate
dan adenosine triphosphate (Detrenis et al, 2005) serta ketidakseimbangan dari
homeostasis kalsium dan apoptosis (Wong et al, 2007). Hal ini akan menimbulkan
gangguan pada hemodinamik ginjal yang akhirnya dapat terjadi hipoksia (Wong et al,
2007).
2. 2. 6. Oksigen radikal bebas
Oksigen radikal bebas merupakan partikel-partikel endogen yang dapat
menyebabkan vakuolisasi sel-sel epitel pada tubulus proksimal. Adanya bukti bahwa
produksi radikal bebas ginjal meningkat setelah pemberian media kontras (Gleeson et
al, 2004). Stress oksidatif terjadi apabila jumlah oksigen radikal bebas melebihi
antioksidan. Keadaan ini biasanya meningkat pada gagal ginjal kronik dan diabetes
yang diketahui sebagai faktor resiko terjadinya CIN (Wong et al, 2007).
Oksigen radikal bebas memegang peranan terhadap efek vasokonstriksi yang
telah diketahui merupakan faktor yang penting dalam terjadinya CIN. Dengan adanya
bukti keterlibatan oksigen radikal bebas dalam terjadinya CIN maka tidak heran
apabila banyak studi-studi yang dilakukan untuk menurunkan angka kejadian CIN
20
dengan efek terhadap oksigen radikal bebas seperti misalnya N-acetylcysteine (Persson
et al, 2005)
Pemberian media kontras dapat menginduksi perubahan-perubahan terhadap
efek sistemik, yaitu oksigenasi pada jaringan ginjal, gangguan ventilasi-perfusi paru,
penurunan curah jantung dan perfusi ginjal, mengubah reologi darah serta
meningkatkan asosiasi oksigen-hemoglobin (Heyman et al, 2008).
Gambar 2.2. Patogenesis terjadinya CIN (Gleeson et al, 2004).
2. 2. 7. Gambaran patologi
Karakterisitik lesi pada ginjal yang mengalami CIN adalah vakuolisasi sel
tubular proksimal (osmotic nephrosis). Heyman et al (2007) melakukan 211 biopsi ginjal
setelah hari ketujuh pada pasien yang mendapat media kontras saat urography atau
arteriography, ginjal akan mengalami osmotic nephrosis pada 47 kasus. Bentuk osmotic
nephrosis yang difus lebih banyak terjadi pada penyakit ginjal berat sedangkan bentuk
yang fokal terjadi pada gangguan ginjal yang ringan atau penderita dengan fungsi
ginjal yang normal sebelumnya. Vakuola tidak dibentuk dari endositosis tetapi dari
21
invaginasi membran sel. Hal ini menunjukkan bahwa media kontras pada daerah
paraselular dapat menyebabkan kerusakan membran. Struktur histokima
menunjukkan vakuola ini terdiri dari aktifitas asam fospat. Vakuola tubular proksimal
merupakan petanda adanya paparan media kontras daripada terjadinya CIN.
2. 2. 8 Faktor Risiko
1. Hipotension
Penyakit darah rendah atau hipotensi adalah suatu keadaan dimana tekanan
darah seseorang turun di bawah angka normal, yaitu mencapai nilai rendah 90/60
mmhg. Ada beberapa faktor yang menyebabkan mengapa terjadi penurunan tensi
darah :
a. Kurangnya pemompaan darah dari jantung, kelainan atau kerusakan fungsi
otot jantung, berdampak pada berkurangnya pemompaan darah (curah
jantung) ke seluruh anggota tubuh
b. Volume (jumlah) darah berkurang
c. Kapasitas pembuluh darah, pelebaran pembuluh darah (dilatasi)
menyebabkan menurunnya tekanan darah, hal ini biasanya sebagai dampak
dari syok septic, obat-obat vasodilator (nitrat, penghambat ACE).
2. Penyakit ginjal kronik
Studi-studi yang ada sebelumnya menyatakan bahwa penyakit ginjal kronik
dan peningkatan kreatinin serum merupakan faktor risiko terpenting dalam
menimbulkan CIN (Mehran et all,2006). Insiden CIN pada penderita dengan
penyakit ginjal kronik cenderung tinggi berkisar antara 14,8 sampai 55% (Ultramari et
all, 2006).
Suatu studi yang dilakukan oleh Gruberg et.all 2001 pada 439 penderita yang
menjalani intervensi koroner dengan menggunakan kontras media non-ionic dengan
22
nilai kreatinin serum dasar ≥ 1,8% mg/dL, dan didapatkan bahwa CIN terjadi pada
sepertiga kasus. Semakin tinggi nilai awal serum kreatinin maka resiko untuk terjadi
CIN akan semakin besar, penderita dengan kreatinin serum dasar <1,5 mg/dL resiko
CIN hanya < 2% namun pada penderita dengan kreatinin serum dasar >2 mg/dL
resiko CIN dapat mencapai hingga 20%, terutama apabila penderita juga menderita
DM ( Mehran et all, 2006).
Namun nilai kreatinin serum saja tidak cukup untuk mengidentifikasi
penderita dengan resiko tinggi terjadinya CIN, hal ini oleh karena nilai kreatinin
serum bervariasi sesuai umur, dipengaruhi massa otot dan gender (Mehran et all,
2006). Beberapa studi menunjukkan bahwa nilai GFR 60 ml/min/1,73 m2 adalah
batas untuk menetukan penderita mana yang dengan risiko tinggi untuk terjadinya
CIN, hal ini menyebabkan perhitungan GFR lebih direkomendasikan sebelum
terpapar kontras media untuk penilaian CIN (Mehran et all, 2006). Terdapat
hubungan antara nilai kreatinin serum dengan GFR, pada penderita yang
menunjukkan nilai kreatinin serum dua kali lipat lebih tinggi biasanya merupakan
respon dari penurunan GFR hampir 50% (Finn, 2006).
3. Diabetes mellitus (DM)
Diabetes melitus merupakan independen prediktor lainnya yang kuat untuk
terjadinya CIN setelah intervensi koroner (Gami et al, 2004). Insiden CIN pada
penderita DM berkisar antara 5,7 sampai 29,4% (Mehran et.all, 2006). Studi yang
dilakukan oleh Rihal et all (2002) menyimpulkan bahwa jika fungsi ginjal normal atau
terjadi gangguan ringan (kreatinin serum < 2 mg/dL), resiko terjadiya CIN pada
penderita DM adalah 4,1% atau dua kali dibandingkan pada non DM.
Pada suatu studi, CIN terjadi pada 27% penderita DM dengan nilai kreatinin
serum dasar 2,0-4,0 mg/dL dan 81% pada penderita dengan kreatinin serum >4,0
23
mg/dL (Mehran et all, 2006). Chong at al, (2009) melakukan studi pada penderita
DM dengan nilai kreatinin serum normal yang dilakukan intervensi koroner dan
didapatkan hasil bahwa pada penderita tersebut terjadi peningkatan resiko untuk
timbulnya CIN.
Walaupun resiko CIN pada penderita DM dengan fungsi ginjal normal adalah
rendah, namun apabila juga disertai dengan PGK resiko terjadinya CIN menjadi
tinggi dan sebaiknya tidakan profilaksis CIN dilakukan (Ultramari et al, 2006).
4. Usia Lanjut
Alasan yang mungkin menyebabkan terjadi insiden CIN yang tinggi pada usia
lanjut adalah perubahan-perubahan oleh usia seperti lebih dominannya vasokonstriksi
renal dibandingkan vasodilatasi, sulitnya untuk akses vasular oleh karena pembuluh
darah yang berkelok-kelok, kalsifikasi pada pembuluh darah sehingga membutuhkan
jumlah kontras yang lebih banyak dan gangguan pada sintesis prostaglandin (Toprak
et all, 2006).
Pada suatu studi prospektif terhadap 183 penderita dengan usia lanjut yaitu
>70 tahun yang menjalani intervensi koroner didapatkan 11% menderita CIN (Rich
et al, 1990). Studi lainnya menunjukkan CIN terjadi 17% pada usia >60 tahun
dibandingkan 4% pada usia yang lebih muda (Toprak et al, 2006).
5. Anemia
Pengertian anemia menurut WHO adalah merupakan suatu keadaan dimana
terjadi penurunan jumlah sel darah merah. Menurut WHO, anemia didefinisikan
sebagai Hb (hemoglobin) kurang 13g/dl untuk laki-laki dan kurang 12g/dl untuk
wanita. Definisi anemia sangat tergantung pada usia dan jenis kelamin. Definisi yang
paling sering dipakai adalah definisi anemia menurut WHO dan CDC (Center For
24
Disease Control and Prevnetion), (http://postkesehatan.blogspot.co.id, diperoleh
pada tahun 2012).
Studi ynag dilakukan oleh Wen-Hua-Li et al (2012) menghasilkan kejadian
CIN pada pasien anemia secara signifikan lebih tinggi daripada pasien non anemia
yaitu mengalami peningkatan dua kali lipat.
6. Faktor resiko jantung
Congestive heart failure (CHF) merupakan kegagalan jantung dalam memompa
pasokan darah yang dibutuhkan tubuh. Hal ini terjadi karena kelainan otot-otot
jantung sehingga tidak bisa bekerja secara normal. Seseorang yang mengalami gagal
jantung kongestif perlu waspada terhadap keselamatannya, resiko yang bisa terjadi
pada pasien dengan gagal jantung kongestif yaitu
a. Aritmia, salah satunya akibat terjadinyafibrilasi atriumdi mana serambi jantun
berdetak cepat dan tdak beraturan dan akan beresiko stroke
b. Kegagalan organ tubuh lain, salah satu organ yang bisa mengalami kegagalan
fungsi adalah ginjal, hal ini terjadi karena pada penderita gagal jantung kongestif
aliran darah ke ginjal akan berkurang, (http://www.alodokter.com, di peroleh
2016).
berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya CIN, hal ini terutama
akibat seluruh kondisi tersebut menyebabkan penurunan perfusi ginjal (Shoukat et al,
2010).
Studi-studi yang ada menunjukkan bahwa penurunan left ventricular ejection
fraction (LVEF) ≤ 49% atau CHF New York Heart Association (NYHA) III atau IV
merupakan faktor resiko untuk terjadinya CIN (Schillinger at al, 2001; Gruberg at al,
2000).
25
Pada suatu studi yang dilakukan oleh Rihal et al (2002) menunjukkan bahwa
CHF merupakan faktor resiko independen untuk terjadinya CIN dengan OR 1,53
dan p = 0,007. Selain itu pada suatu studi kohort yang dilakukan oleh Bartholomew
BA et al (2004) juga mendapatkan hasil yang sama dengan OR 2,2 dan p < 0,0001
7. Intra Aortic Ballon Pump (IABP)
Merupakan suatu alat mekanik yang memiliki fungsi meningkatkan perfusi oksigen
myocard dan pada saat yang sama juga akan meningkatkan cardiac output ini akan
meningkatkan aliran darah koroner yang membawa oksigen menuju myocard,
(http://andrillifesaver.blogspot.co.id,2017)
Karena posisi yang berada di atas arteri renalis IABP dapat menjadi emboli yang
mengakibatkan penurunan aliran darah ke renal dan jika posisi IABP terlalu rendah,
akan menutup aliran darah ke renal.
8. Volume dan waktu pemberian media kontras
Dosis besar dan pemberian media kontras yang multipel dalam 72 jam meningkatkan
risiko pasien untuk terjadinya CIN. Dosis letal, 50% (LD 50) diatrizoat, media
kontras osmolaritas tinggi (hiperosmolar contrast media/HOCM), pada tikus
diperkirakan 7.6 g l/kg, sedang dosis letal iohexol, media kontras osmolaritas rendah
(low osmolar media contrast/LOCM), adalah24.2 g l/kg. Tapi sayangnya nilai dosis letal
pada tikus tidak dapat memprediksi bagaimana media kontras akan mempengaruhi
ginjal manusia ( Ningrum, 2009).
Cigarroa et al (2010) membuat rumusan volume media kontras berdasarkan
berat badan pada pasien yang menjalani angiografi koroner. Batasannya adalah 5 ml
media kontras per kilogram berat badan dengan maksimal 300 ml, dibagi nilai
kreatinin serum (dalam mg/dl). Terjadi nefropati pada 21% pasien yang penggunaan
media kontras nya melebihi formula yang dibuat dibandingkan dengan hanya 2% saja
26
pasien yang menggunakan volume kontras dalam batasan Jumlah kontras yang
digunakan merupakan faktor resiko utama yang dapat dimodifikasi. Dengan
meningkatnya tingkat kesulitan dari prosedur intervensi koroner maka penggunaan
jumlah kontras biasanya meningkat, hal ini berhubungan dengan kejadian CIN.
Banyak studi yang telah menunjukkan adanya hubungan antara jumlah kontras yang
digunakan dengan resiko terjadinya CIN (Shoukat et al, 2010).
Studi yang dilakukan oleh McCullough et al (1997) menyimpulkan bahwa pada
penderita yang mendapat kontras <100 ml selama prosedur intervensi koroner,
resiko untuk terjadi CIN sangat kecil. Studi yang dilakukan oleh Nikolsky et al (2004)
pada penderita DM yang menjalani intervensi koroner, didapatkan bahwa setiap 100
ml dari jumlah media kontras yang digunakan meningkatkan resiko CIN 30%.
Menurut Heyman et al (2007) dosis maksimal penggunaan media kontras (mL)
yang dapat menurunkan insiden CIN hingga 90% adalah: [5ml x berat badan (kg)] /
serum kreatinin (mg/dl).
Yoon et al (2011) melakukan suatu studi untuk menilai rasio dari dosis media
kontras (CM-dose) dengan nilai GFR dalam memprediksi terjadinya CIN dan
menentukan tingkat mana yang aman dari CM-dose/GFR terhadap prosedur
intervensi koroner. Dari studi ini disimpulkan bahwa CM-dose(gram)/GFR <1,42
merupakan metode yang simpel dan berguna sebagai indikator untuk menentukan
dosis media kontras yang aman berdasarkan GFR.
Metaanalisis yang dilakukan terhadap 31 studi untuk melihat hubungan insiden
CIN dan osmolaritas dari media kontras yang digunakan. Didapatkan hasil bahwa
insiden CIN pada penggunaan kontras media dengan osmolaritas yang tinggi
meningkat secara signifikan pada penderita dengan gangguan ginjal sebelumnya.
27
Namun pada penderita tanpa kelainan ginjal sebelumnya tidak ada perbedaan yang
signifikan (Barret et al, 1993).
Studi lain yang dilakukan oleh Rudnick et al (1995) pada penderita DM yang juga
disertai dengan adanya gangguan ginjal yang menjalani intervensi koroner
mendukung fakta yang ada sebelumnya bahwa penggunaan media kontras dengan
osmolaritas yang lebih rendah dapat menurunkan angka kejadian CIN (Aspelin et al,
2003).
Secara umum, penggunaan media kontras iso-osmolar lebih aman dan dapat
menurunkan kejadian CIN pada penderita dengan resiko tinggi untuk terjadi
kerusakan ginjal akut setelah intervensi koroner. Sebagai tambahan, efek samping
obat terjadi lebih jarang pada penggunaan media kontras yang non-ionik, osmolaritas
rendah dibandingkan pada ionik-osmolaritas tinggi (Gami et al, 2004).
Adanya dua atau lebih faktor resiko CIN yang terjadi bersamaan akan
meningkatkan angka kejadian CIN (Mehran et al, 2006; Heyman et al, 2007). Studi
yang dilakukan oleh Rich et al (1990) menyatakan bahwa CIN terjadi 1,2% pada
penderita tanpa faktor resiko, 11,2% pada penderita dengan satu faktor resiko dan
>20% pada penderita dengan dua atau lebih faktor resiko.
2.2.9 Stratifikasi Resiko:
1. Berdasarkan gromerular filtration rate / GFR:
GFR adalah laju rata-rata penyaringan darah yang terjadi di glomerulus yaitu sekitar
25% dari total curah jantung per menit,± 1,300 ml .GFR digunakan sebagai salah
satu indikator menilai fungsi ginjal. Biasanya digunakan untuk menghitung bersihan
kreatinin yang selanjutnya dimasukkan kedalam formula dibawah ini:
GFR for male: (140 – age) x wt(kg) / [72 x Serum Creatinine]
GFR for female: GFR(females) = GFR(males) x 0.85
28
Risiko CIN berdasarkan GFR dibagi atas :
a) Low Risk : eGFR > 60 ml/menit
b) Moderate Risk : eGFR 30 – 59 ml/menit
c) High Risk : eGFR < 30 ml/menit
(Goldfarb, 2009)
2. Berdasarkan Mehran Score
Banyak faktor-faktor resiko CIN yang telah diidentifikasi, namun resiko
kumulatif kombinasi dari faktor-faktor resiko tersebut belum diketahui. Oleh karena
itu Mehran et al (2004) melakukan suatu studi untuk membuat suatu skor resiko
terjadinya CIN yang mudah digunakan. Sampel yang diikutkan dalam penelitian ini
berjumlah 8.357 orang, secara keseluruhan angka kejadian CIN terjadi 13,1%. Pada
skor resiko yang rendah ≤( 5) CIN terjadi 7,5% sedangkan pada skor resiko yang
tinggi (≥ 16) CIN terjadi hingga 57,3%. Angka kejadian CIN meningkat dengan
meningkatnya jumlah skor resiko CIN. Skor resiko tersebut juga dikaitkan dengan
tindakan dialisis yang diperlukan.
29
Tabel 2.2 : Scoring Mehran kategori resiko CIN, 2004
Beberapa studi menunjukkan bahwa nilai GFR 60 ml/min/1,73 m2 adalah batas
untuk menetukan penderita mana yang dengan risiko tinggi untuk terjadinya CIN, hal
ini menyebabkan perhitungan GFR lebih direkomendasikan sebelum terpapar
kontras media untuk penilaian CIN (Mehran et al, 2006). Terdapat hubungan antara
nilai kreatinin serum dengan GFR, pada penderita yang menunjukkan nilai kreatinin
serum dua kali lipat lebih tinggi biasanya merupakan respon dari penurunan GFR
hampir 50% (Finn, 2006). Namun nilai kreatinin serum saja tidak cukup untuk
mengidentifikasi penderita dengan resiko tinggi terjadinya CIN, hal ini oleh karena
nilai kreatinin serum bervariasi sesuai umur, dipengaruhi massa otot dan gender
(Mehran et al, 2006). Studi yang dilakukan oleh Rich et al (1990) menyatakan bahwa
CIN terjadi 1,2% pada penderita tanpa faktor resiko, 11,2% pada penderita dengan
satu faktor resiko dan >20% pada penderita dengan dua atau lebih faktor resiko.
Resiko CIN setelah kateterisasi jantung dapat dengan mudah di nilai menggunakan
informasi yang tersedia. Skor Mehran dapat digunakan untuk tujuan klinis dan
penelitian (Mehran et al, 2004). Berdasarkan penelitian Abellas et al (2016), mehran
score masih bisa di gunakan dalam 10 tahun kedepan untuk mengidentifikasi resiko
Risk Kategori Total score
Low < 5
Moderate 6-10
High 11-15
Very High > 16
30
terjadinya CIN, mehran score dapt memberikan informasi yang berguna untuk
prediksi CIN dan klinis setelah tindakan kateterisasi jantung.
2.2.10. Studi kardiovaskular pada pasien CIN
Pada berbagai studi, CIN selain dihubungkan dengan peningkatan resiko
kematian, juga dihubungkan dengan peningkatan resiko kejadian yang akan datang,
termasuk kejadian kardiovaskular setelah IKP. Pada satu studi registri yang
melibatkan 5.967 pasien IKP, kejadian CIN diasosiasikan dengan peningkatan insiden
MI dan revaskularisasi ulang setelah 1 tahun (Lindsay J et al, 2003). Studi besar IKP
lainnya mendokumentasikan adanya hubungan antara CIN, CK-MB setelah prosedur,
dan resiko kejadian kardiovaskular kedepannya (Lindsay et al, 2004).
Pada studi yang melibatkan 5.397 pasien, serum kreatinin post prosedural
merupakan prediktor kematian kedepan yang lebih kuat dibandingkan dengan CK-
MB. Peningkatan kreatinin diasosiasikan dengan peningkatan rasio kematian dan
infark miokard sebesar 16% setelah 1 tahun, meningkat menjadi 26,3% jika kadar
CK-MB juga meningkat setelah prosedur (Lindsay et al, 2004).
Studi oleh Dangas et al (2005) meneliti kejadian selama perawatan, bedah
pintas arteri koroner, perdarahan yang memerlukan transfusi, dan komplikasi
vaskular lainnya, pada pasien IKP yang terkena CIN, baik yang dengan riwayat
penyakit ginjal sebelumnya dan yang tidak mempunyai riwayat. Setelah 1 tahun,
kejadian major adverse cardiac event (MACE) pasien yang terkena CIN lebih tinggi
(p<0,0001) baik pada pasien dengan atau tanpa riwayat penyakit ginjal sebelumnya.
Kejadian CIN juga dikaitkan dengan peningkatan lama perawatan rumah
sakit. Pada studi yang melibatkan 200 pasien yang menjalani IKP pada kasus
sindroma koroner akut (SKA), pasien yang terkena CIN mempunyai masa rawatan
31
yang lebih lama, komplikasi klinis yang lebih banyak, dan peningkatan angka
kematian jika dibandingkan dengan pasien yang tanpa CIN (Lindsay et al, 2004).
2.2.11 Tindakan Pencegahan
Sebelum tindakan dengan zat kontras dilakukan sebaiknya dilakukan
pemeriksaan maupun tindakan pencegahan yang tepat terutama pada pasien dengan
gangguan ginjal sebelumnya. Pelaksanaaan strategi pencegahan sebelum tindakan
dilakukan masih menjadi pendekatan terbaik untuk mengurangi kejadian CIN paska
prosedural (Morcos, 1999)
Langkah pertama dalam mengurangi resiko gangguan pada ginjal adalah
dengan mengidentifikasi faktor resiko kejadian CIN dan memperjelas indikasi untuk
pemberian zat kontras. Sebagian besar faktor resiko umumnya dapat dideteksi dari
anamnesa dan pemeriksaan fisik. Faktor-faktor seperti dehidrasi dapat dideteksi dan
dikoreksi sebelum terjadinya paparan terhadap medium kontras. Resiko untuk
terjadinya penurunan fungsi ginjal setelah pemberian zat kontras akan semakin
meningkat sebanding dengan jumlah faktor resiko yang ditemukan (Marenzi et al,
2004; Rich et al, 1990; Gruberg et al, 2000).
The European Society of Urogenital Radiology dan the American College of Radiology
merekomendasikan penilaian terhadap faktor-faktor resiko termasuk dehidrasi, gagal
jantung, usia ≥ 70 tahun, dan penggunaan obat-obatan nefrotoksik, seiring dengan
pemeriksaan level kreatinin serum pada penderita yang memiliki resiko untuk
terjadinya CIN (Thomsen et al, 2003; ACR 2005). Dengan keberadaan faktor resiko
yang bermakna, pertimbangan untuk pemilihan teknik pencitraan alternatif,
penghentian obat-obatan nefrotoksik dalam 24-48 jam sebelum diberikan kontras
serta penggunaan zat kontras yang low-osmolar atau iso-osmolar dalam dosis yang
terbatas harus dipertimbangkan. Mempertahankan status hidrasi yang adekuat, dan
32
pemberian cairan tambahan juga direkomendasikan, namun penjelasan tentang dosis
regimen yang digunakan tidak dijelaskan (Barret et al, 2006; JCS Guidelines 2012;
Gleeson et al, 2004)
Beberapa intervensi obat berdasarkan satu atau lebih mekanisme yang telah
dijabarkan sebelumnya telah diuji dalam beberapa studi untuk pencegahan CIN.
Beberapa telah memberikan hasil yang positif meskipn penggunaannya belum
dilakukan secara luas. Saat ini, hanya hidrasi dengan cairan intravena dan
penghindaran obat-obatan nefrotoksik yang telah digunakan secara luas untuk
mengurangi angka kejadian CIN (Gleeson et al, 2004).
a. Hidrasi
Memastikan tercapainya status hidrasi yang adekuat merupakan cara yang paling
sederhana dan efektif untuk melindungi fungsi ginjal. Pada pasien dengan resiko
tinggi, sebaiknya dilakukan hidrasi cairan dengan NaCl 0,9% sebanyak 1 ml/kg per
jam secara intravena, disesuaikan dengan status hidrasi pasien saat itu dan kondisi
penyakit jantung penyerta. Hidrasi dilakukan selama 6-12 jam sebelum tindakan,
dilanjutkan dengan 12-24 jam setelah tindakan, jika diuresis yang baik tercapai.
Meskipun studi klinis yang ada tidak secara seragam menunjukkan bahwa dehidrasi
adalah faktor resiko yang pasti, namun pemberian zat kontras akan meningkatkan
volume urin dan tingkat osmolaritas, dan efek ini akan semakin diperpanjang oleh
penurunan aliran darah ke ginjal dan GFR yang sering ditemui pada pasien-pasien
dengan kondisi dehidrasi (Katzberg et al, 1997).
Goldenberg et al (2005) melaporkan bahwa protokol pemberian hidrasi dengan
NaCl 0,9% telah terbukti mengurangi resiko terjadinya CIN dan sebaiknya digunakan
secara rutin sebelum tindakan yang menggunakan zat kontras dilakukan. Selain waktu
33
dan cara hidrasi, faktor lain seperti tonisitas dan komposisi cairan juga tampaknya
memegang peranan penting dalam proses hidrasi tersebut (Pannu et al, 2006).
Solomon et al (1994) melakukan studi prospektif pada 78 pasien dengan
gangguan ginjal kronik yang diberikan terapi cairan (1 mL/kg per jam selama 12 jam
sebelum dan setelah angiografi) terbukti menguntungkan dalam mengurangi kejadian
CIN setelah pemberian zat kontras.
Studi prospektif yang dilakukan Merten et al (2004) yang melibatkan 119 pasien
menunjukkan bahwa hidrasi dengan menggunakan sodium bicarbonate lebih superior
dibandingkan dengan normal saline. Tingkat kejadian CIN secara signifikan lebih
rendah pada grup sodium bicarbonate (1.7%, n = 1) dibandingkan dengan grup normal
saline (13.6%, n = 8).
Patofisiologi dari efek protektif sodium bicarbonate dalam mencegah CIN masih
belum jelas. Namun demikian, beberapa studi yang dilakukan terhadap hewan
menunjukkan bahwa bicarbonate dapat scavenge oksigen reaktif radikal bebas, sehingga
melindungi ginjal dari proses iskemia akut (Atkins et al, 1986). Studi lain
menyebutkan bahwa pembentukan radikal bebas (yang didukung oleh lingkungan
yang asam) dapat dihambat dengan meningkatkan pH dari cairan ekstraseluler tubular
ginjal dengan menggunakan bikarbonat (Lindinger et al, 2000; Merten et al, 2004).
b. N-Acetylcysteine
Ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa spesies oksigen reaktif memegang
peranan pada kerusakan ginjal yang disebabkan oleh zat kontras. N-acetylcysteine
(NAC), dapat berfungsi sebagai anti oksidan dan berperan meningkatkan efek
biologis dari NO dengan mengikat NO dan membentuk S-nitrosothiol, yang lebih
stabil dan poten sebagai vasodilator (Gleeson et al, 2004).
34
Interaksi ini dapat membatasi produksi dari radikal peroxinitrite karena NAC
akan berkompetisi dengan radikal superoxide dalam mengikat NO. NAC juga dapat
meningkatkan ekspresi dari NO synthase dan memperbaiki aliran darah (Safirstein et
al, 2000).
Tepel et al (2006) menemukan bahwa kejadian CIN pada pasien dengan gagal
ginjal kronik yang akan dilakukan CT mengalami penurunan yang drastis setelah
pemberian NAC. Dengan dosis 1,200 mg per hari, yang diberikan secara oral dalam
dosis terbagi sehari sebelum dan saat dilakukan tindakan, NAC terbukti mencegah
terjadinya penurunan fungsi ginjal lebih lanjut pada semua pasien tersebut. Namun
demikian, studi ini memiliki keterbatasan karena jumlah sampelnya yang kecil (n =
83), kurangnya follow-up jangka panjang, dan adanya fakta bahwa beberapa pasien
memiliki nilai kreatinin serum yang normal.
Penemuan yang positif dari studi yang dilakukan oleh Tepel et al ini kemudian
didukung oleh hasil dari studi lainnya yaitu Acetylcysteine to Prevent Angiography-Related
Renal Tissue Injury (The APART trial) yang melibatkan 54 pasien dengan keseluruhan
angka kejadian CIN sebesar 28% (RR 0.18 dengan 95% CI) (Diaz-Sandoval et al,
2002).
Hasil dari beberapa studi ini, digabungkan dengan efek menguntungkan dari NAC
serta harganya yang murah, membuat NAC menjadi pilihan di banyak tempat sebagai
terapi preventif, terutama pada pasien resiko tinggi yang akan menjalani intervensi
koroner. Meskipun penurunan resiko kejadian CIN oleh NAC masih menjadi
perdebatan, namun peningkatan morbiditas, mortalitas serta pemanjangan masa
rawatan yang diakibatkan oleh CIN menjadikan penggunaan NAC menjadi lebih
dapat diterima terutama pada pasien-pasien dengan resiko tinggi. Dosis oral 600 mg
dua kali sehari, satu hari sebelum dan saat akan dilakukan prosedur merupakan
35
regimen yang paling sering digunakan. Penggunaan NAC secara intravena dengan
dosis 150 mg/kg selama setengah jam sebelum prosedur atau 50 mg/kg yang
diberikan dalam 4 jam juga dapat digunakan terutama pada pasien-pasien yang sedang
dalam perawatan intensif ataupun bagi pasien yang tidak dapat menggunakan NAC
secara oral (Baker et al, 2003).
2.2.12 Penatalaksanaan
1. Pengobatan
Pengobatan yang telah dipercaya untuk nefropati akibat media kontras
harusnya dimulai dengan pengenalan gangguan ginjal setelah pemberiannya. Pada
pasien pasien dengan risiko tinggi, fungsi ginjal harus dimonitor lebih hati-hati
dengan mengukur nilai kreatinin serum sebelum dan tiap hari selama 5 hari setelah
pemberian media kontras atau prosedur radiografi (Bettmann, 2005).
Bila CIN teridentifikasi, penangananya sama seperti yang dilakukan terhadap
gagal ginjal akut karena sebab lainnya. Perawatan rumah sakit dan monitor berkala
elektrolit serum diperlukan untuk mencegah hiperkalemia, hiponatremia,
hiperfosfatemia, hipokalsemia, hipermagnesemia dan asidosis metabolik yang
berhubungan dengan kasus gagal ginjal akut tersebut. Pemberian nutrisi yang tepat
dan sesuai serta perhatikan asupan dan keluaran cairan yang sesuai dengan
kebutuhan, sampai nilai kreatinin kembali seperti semula. Kenaikan fosfat yang tinggi
bisa diterapi menggunakan pengikat fosfat (phosphate binder) seperti kalsium
karbonat (calcium carbonate); hiperkalemia diterapi dengan restriksi diet dan resin
pengikat kalium (potassium-binding resins) atau infus dekstros-insulin jika nilai
kalium > 6.5 mmol/L. Koreksi asidosis mungkin memerlukan natrium bikarbonat
per oral. Pada kasus berat mungkin memerlukan hemodialisa sementara. Hanya
sedikit pasien yang tidak menunjukkan respon baik dengan terapi konservatif
sehingga memerlukan dialisa permanen atau transplantasi ginjal (Ningrum, 2009).