bab ii songket dan kebudayaan dalam...
TRANSCRIPT
14
BAB II
Songket Dan Kebudayaan Dalam Masyarakat
2.1 Seni dan Kebudayaan
Budaya adalah suatu konsep yang membangkitan minat. Secara formal budaya
didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap,
makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta,
objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari
generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok. Budaya menampakan
diri dalam pola-pola bahasa dan dalam bentuk-bentuk kegiatan dan perilaku yang
berfungsi sebagai model-model bagi tindakan-tindakan penyesuaian diri dan gaya
komunikasi yang memungkinkan orang-orang tinggal dalam suatu masyarakat di
suatu lingkungan geografis tertentu pada suatu tingkat perkembangan teknis
tertentu dan pada suatu saat tertentu. Budaya juga berkenaan dengan sifat-sifat
dari objek-objek materi yang memainkan peranan penting dalam kehidupan
sehari-hari. Objek-objek seperti rumah, alat, dan mesin yang digunakan dalam
industri dan pertanian, jenis-jenis transportasi, dan alat-alat perang, menyediakan
suatu landasan utama bagi kehidupan sosial. Budaya berkesinambungan dan hadir
di mana-mana; budaya meliputi semua peneguhan perilaku yang diterima selama
periode kehidupan. Budaya juga berkenaan dengan bentuk dan struktur fisik serta
lingkungan sosial yang mempengaruhi hidup kita. Sebagian besar pengaruh
budaya terhadap kehidupan kita dan tidak kita sadari. Mungkin suatu cara untuk
memahami pengaruh budaya adalah dengan membandingkannya dengan
computer elektronik: kita memogram komputer agar melakukan sesuatu, budaya
kita pun memogram kita agar melakukan sesuatu dan menjadikan kita apa adanya,
budaya kita secara pasti mempengaruhi kita sejak dalam kandungan hingga mati
dan bahkan setelah mati pun kita dikuburkan dengan cara-cara yang sesuai dengan
budaya kita.(Deddy Mulyana, 2005: 18)
15
Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi merumuskan kebudayaan sebagai
“semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan
teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmani (material culture)
yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya, agar kekuatan
serta hasilnya dapat diabadikan pada keperluan masyarakat.
Seorang antropolog, yaitu E.B. Tylor dalam tahun 1871 pernah mencoba untuk
memberikan definisi mengenai kebudayaan sebagai berikut (terjemahannya);
“Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan,
kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta
kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat”.
Dengan lain perkataan, kebudayaan mencakup kesemuannya yang didapatkan
atau dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Kata “Kebudayaan” berasal dari kata Sansekerta ‘buddhayah’ yang merupakan
bentuk jamak dari kata “buddhi” yang berarti budi atau akal. Dengan demikian
kebudayaan dapat diartikan sebagai “hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau
akal”.
Adapun istilah culture yang merupakan istilah bahasa asing yang sama artinya
dengan kebudayaan, berasal dari kata Latin colere yang berarti mengolah atau
mengerjakan, yaitu mengolah tanah atau bertani. Dari asal arti tersebut yaitu
colere kemudian culture, diartikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia
untuk mengolah dan merubah alam.
Seorang antropolog yang bernama C. Kluckhohn mengatakan ada tujuh unsur
kebudayaan yang dianggap sebagai cultural universals, yaitu:
- Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan, alat-alat
rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, transportasi, dan sebagainya).
- Mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi (pertanian, peternakan,
sistem produksi, sistem distribusi, dan sebagainya.
16
- Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum,
sistem perkawinan).
- Bahasa (lisan maupun tertulis).
- Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak, dan sebagainya).
- Sistem pengetahuan.
- Religi (sistem kepercayaan).
Dalam pengertian sehari-hari, istilah kebudayaan sering diartikan sama dengan
seni. Akan tetapi apabila istilah kebudayaan diartikan ilmu-ilmu sosial, maka seni
merupakan salah satu bagian saja dari kebudayaan. (Soerjono, 1982:170)
Rathus dalam bukunya “Understanding Art” memberikan setidaknya empat belas
kriteria tujuan penciptaan seni yaitu:
Menciptakan keindahan (to create beauty), menghias (to provide decoration),
mengungkapkan kebenaran (to reaveal truth), mengabadikan (to immortalize),
mengekspresikan nilai-nilai religius (to express religious values), menstimulasi
intelektualitas dan membangkitkan emosi ( to stimulate the intellect and fire the
emotions), menciptakan keteratuan dan harmoni (to create order and harmony),
mengekspresikan kekacauan (to express chaos), mencatat dan mengingat
pengalaman (to record and commemorate experience), merefleksikan konteks
sosial dan budaya (to reflect the social and culture context), memprotes
ketidakadilan dan meningkatkan kesadaran sosial (to protest injustice and rates
social consciosness), mengangkat permasalahan umum (to elevate the
commonplace), dan sebagai sarana seniman berekpresi (to meet the needs of the
artist). ( Rathus dalam Dwi Rahayu, 2004:20)
Dikaitkan dengan penciptaan seni khususnya pada songket Palembang, sedikitnya
ada empat tujuan penciptaan yang terwakili yaitu, selain menciptakan keindahan,
meyajikan hiasan pada benda pakai (provide decoration) tampaknya songket lebih
bertujuan merefleksikan keadaan sosial dan budaya masyarakat Palembang, selain
bertujuan mencatat dan mengenang pengalaman kejayaan masa kerajaan
kesultanan Palembang kuno yang sangat dibanggakan oleh masyarat Palembang.
17
2.2 Pergeseran Kebudayaan
Seorang sosiolog dalam mempelajari kebudayaan sebagai hasil masyarakat, tidak
akan membataskan dari struktur dari kebudayaan tersebut, yakni unsur-unsurnya
yang stastis, akan tetapi perhatiannya juga dicurakan pada pergeseran kebudayaan
tersebut atau disebut dengan gerak kebudayaan. Dalam kebudayaan tak ada yang
statis; semua kebudayaan mempunyai dinamika atau pergeseran atau gerak.
Pergeseran kebudayaan tersebut sebenarnya tak lain pergeseran atau gerak dari
manusia yang hidup dalam masyarakat yang menjadi wadah kebudayaan tadi.
Gerak manusia tersebut terjadi oleh sebab adanya hubungan-hubungan dengan
manusia-manusia lainnya, ataupun oleh karena terjadinya hubungan antar
kelompok-kelompok manusia di dalam masyarakat. (Soerjono Soekanto,1982:22).
Akulturasi terjadi apabila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan
yang tertentu, dihadapkan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing yang berbeda
sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu dengan lambat laun
diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri, tanpa menyebabkan hilangnya
kepribadian kebudayaan itu sendiri. Proses akulturasi di dalam sejarah
kebudayaan manusia, telah terjadi dalam masa-masa yang silam. Biasanya suatu
masyarakat hidup bertetangga dengan masyarakat lainnya dan diantara mereka itu
diadakan hubungan-hubungan mungkin dalam aktifitas perdagangan,
pemerintahan, pernikahan antara dua ras yang berbeda, dan sebagainya, dimana
unsur masing-masing kebudayaan saling menyusup. Proses migrasi, asimilasi,
bilateral, hingga multilateral dapat mempermudahkan berlangsunganya akulturasi
tersebut.
Suatu proses akulturasi yang berjalan dengan baik, dapat menghasilkan intergrasi
dari unsur-unsur kebudayaan asing dengan unsur-unsur kebudayaan sendiri dari
masyarakat penerima. Dengan demikian, unsur-unsur kebudayaan asing tidak
dirasakan lagi sebagai hal yang berasal dari luar, akan tetapi dianggap sebagai
unsur-unsur kebudayaan sendiri. Unsur-unsur asing yang diterima tersebut,
18
tentunya terlebih dahulu mengalami proses pengolahan, sehingga bentuknya
tidaklah asli lagi seperti semula.
Pergeseran ini terjadi disebabkan oleh berubahnya manusia di dalam masyarakat,
perubahan kondisi alam, dan juga hasil dari tindakan belajar yang dilakukan oleh
individu dalam masyarakat yang kemudian berpengaruh besar kepada masyarakat
secara luas.
Menurut pendapat Koentjaraningrat dalam teori difusi kebudayaan, pergeseran
kebudayaan juga dimungkinkan oleh adanya penyebaran penduduk dan migrasi
kelompok-kelompok manusia di muka bumi yang juga membawa serta unsur-
unsur kebudayaannya ke tempat baru. Penyebaran unsur-unsur kebudayaan juga
dapat terjadi tanpa ada perpindahan kelompok-kelompok manusia ke satu tempat
lain, bisa juga karena ada individu-individu tertentu yang membawa unsur-unsur
kebudayaan itu hingga jauh sekali. Individu-individu tersebut bisa para pelancong,
pedagang, penyebar agama atau pelaut yang mendifusikan berbagai unsur dari
kebudayaan asalnya.
Bila dikaitkan dengan songket Palembang, pergeseran kebudayaan memang
terjadi berupa akulturasi budaya. Hal tersebut dapat diamati dalam corak ragam
hias songket Palembang, warna, kualitas material benang, kualitas material zat
pewarna, hingga proses pengaplikasian terhadap masyarakat melalui sosialisasi
budaya Palembang. Pergeseran budaya ini terjadi karena adanya masyarakat
setempat melakukan aktifitas perdagangan antara pedagang cina dan India,
maupun masyarakat dari daerah lainnya. Hal tersebut terjadi karena daerah
Palembang merupakan pusat lintasan jalur pelayaran kapal-kapal yang bermuatan
besar di wilayah Sumatera Selatan. Pada dasarnya pergeseran budaya ini terjadi
karena adanya warga masyarakat yang dengan sengaja melakukan tindakan
belajar ‘learning behaviour’. Pertemuan antara individu dari suatu kelompok
manusia dengan individu dari kelompok tetangga dengan cara belajar tadi
menghasilkan perubahan kebudayaan dari ‘tabu’ menjadi ‘umum’ karena
19
terdorong juga oleh kebijakan baru dan kebutuhan baru dalam unsur teknologi dan
unsur ekonomi.
Proses belajar yang dilakukan oleh warga masyarakat ini menghasilkan inovasi
yang bersifat culture change. Inovasi adalah pembauran kebudayaan melalui
proses dari penggunaan sumber-sumber alam, energi, dan modal, pengaturan baru
dari tenaga kerja dan penggunaan teknologi baru yang akan menyebabkan
produksi dan dibuatnya produk-produk baru. Culture chage terjadi dalam budaya
Palembang sebagai akibat adanya pendorong terhadap pergeseran kebudayaan
khususnya pada tenun songket Palembang.
2.3 Estetika dalam Kebudayaan
Istilah estetika berasal dari kata bahasa Yunani ‘aisthanesthai’ yang berarti
mengamati secara lahiriah, jasmani, inderawi. Filsafat keindahan, nilai seni dan
karya seni sudah dibahas sejak jaman Yunani kuno. (Ensiklopedi,1989)
Estetika adalah suatu penilaian indah atau buruk, menyenangkan atau tidak
menyenangkan terhadap suatu hal atau objek. Penilaian ini muncul dari diri
sendiri secara subjektif atau akibat pengaruh lingkungan dan pengalaman.
(Singgih D.Gunarsa, 1989:200)
Estetika adalah bagian filsafat yang mengkaji dan membicarakan tentang seni dan
keindahan; tanggapan dan kepekaan terhadap keindahan. Keindahan pada
dasarnya adalah sejumlah kualita yang dibebankan terhadap sesuatu. Sejumlah
kualita pokok tertentu yang paling sering disebut adalah kesatuan (unitiy),
keselarasan (harmony), kesetangkupan (symetri), keseimbangan (balance), dan
perlawanan (contras). Dengan demikian estetika berkaitan dengan keindahan
dalam kualita tertentu.(A.A.M. Djelantik, 1999)
20
Lois Fichner dalam bukunya “ Understanding Art” mengatakan bahwa konsep
keindahan tidak harus selalu sama. Proses penciptaan estetika memang tidak lepas
dari pengaruh-pengaruh lingkungan termasuk sistem kepercayaan, yang saling
berhubungan, sehingga menjadi pelengkap rasa estetis.
Dalam dunia seni rupa selain istilah estetika dikenal pula istilah bahasa rupa yang
menurut Primadi Tabrani merupakan komunikasi simbolik dengan
mempergunakan berbagai tanda yang memiliki kaidah, asas, atau konsep berupa
titik, garis, ukuran, warna, tekstur, ruang dan sebagainya. Dalam arti luas”bahasa
rupa” adalah segala sesuatu yang kasat mata (Primadi,98). Menurut Primadi
bahasa rupa gambar bisa berbentuk ekspresif, deskriptif, abstrak, geometris,
stilasi, estetik, simbolik, semiotik.
Dalam songket salah satu cabang seni yang visual, bahasa rupanya berbentuk
geometris, stilasi, dan simbolik. Simbolik dalam bahasan ini bermakna, suatu
sistem konsep yang diwariskan dan terungkap dalam bentuk-bentuk simbolis yang
digunakan manusia untuk berkomunikasi, melestarikan dan memperkembangkan
pengetahuan mereka tentang kehidupan dan sikap-sikap terhadap kehidupan.
2.3.1 Nilai Seni pada Songket sebagai Karya Kerajinan.
Songket adalah salah satu hasil karya kerajinan masyarakat Palembang. Karya
kerajinan dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Jadi kegiatan
kerajinan timbul atas desakan kebutuhan praktis dengan mempergunakan bahan
yang tersedia dan berdasarkan pengalaman kerja yang diperoleh dari kehidupan
sehari-hari. Apabila dalam kerajinan songket perasaan manusia ikut tergugah dan
berperan, maka munculah daya cipta yang mengandung nilai keindahan atau
bernilai artistik yaitu kemampuan manusia yang menyangkut tiga pokok budaya
sebagai kebulatan yakni pikiran atau cipta, kemauan atau karsa, dan rasa. Oleh
karena itu, kerajinan songket sebagai karya seni tidak dilepaskan dari ide atau cita
rasa pengrajinnya sebagai seniman. Dengan demikian sumber ide dan daya cipta
21
pembuatnya memegang peranan penting dalam seni kerajinan, karena hal ini akan
mencermikan identitas budaya.
Menentukan nilai seni kerajinan haruslah memperhatikan keadaan lingkungan
alam di setiap daerah dan memperhatikan pula tingkat perkembangan kebudayaan
masyarakat setempat karena tiap daerah pada setiap zaman menghasilkan seni
kerajinan dengan watak dan ciri tertentu akibat pengaruh kebudayaan yang selalu
berkembang. Perbedaan itu disebabkan karena peranan kebudayaan yang tidak
dirasakan sama di tiap daerah (Wiyoso,98). Untuk seni kerajinan, Wiyoso
menggunakan beberapa parameter yang terbagi kedalam dua nilai fungsional seni
kerajinan, yaitu ‘fungsi spiritual’ dan ‘fungsi fisikal’ seni kerajinan.
Fungsi spiritual dari seni kerajinan berkaitan dengan sumber ide yang didukung
oleh kebutuhan rohani manusia. Kebutuhan spiritual manusia sejak semula
mencapai manifestasinya dalam bentuk berbagai kegiatan termasuk dalam
kegiatan seni. Maka dalam seni kerajinan landasan dari kebutuhan spiritual ini
juga tampak. Kebutuhan spiritual tersebut berakar pada pandangan manusia
terhadap sesuatu yang gaib, yang ingin dipuja, segala sesuatu yang serba rahasia
yang dapat kita kenal pada segala bentuk kepercayaan dan agama serta falsafah
hidup.
Nilai-nilai yang terdapat dalam fungsi ini adalah ‘nilai magis’,’nilai animistik’,
dan ‘nilai adat’. ‘Nilai magis’ berlaku dalam masyarakat yang masih
mempercayai kekuatan gaib, dimana benda-benda magis dibuat oleh mereka yang
dianggap banyak mengetahui tentang segala rahasia mengenai kekuatan magis.
‘Nilai animistik’ berlaku dalam masyarakat yang memiliki kepercayaan kepada
arwah dan roh yang disebut animisme yang berkeinginan dan bersikap memuja
dengan maksud mendapat perlindungan atau berkah. Segala bentuk pemujaan atau
kultus ini membutuhkan alat atau media berupa benda buatan manusia.
22
‘Nilai adat’ dikenakan pada benda-benda kerajinan yang masih dipakai dalam
upacara-upacara adat sebagai media atau sarana yang memiliki arti spiritual sesuai
dengan tujuan dari upacara yang dimaksud.
Fungsi fisikal dari seni kerajinan menyangkut segi kegunaan praktis. Sebagai
cabang seni guna, desain bentuk dan hiasan benda kerajinan erat hubungannya
dengan cara-cara penggunaanya. Artinya nilai artistik dari bentuk dan hiasan tidak
berdiri sendiri, tetapi nilai artistik ini harus pula bisa menjawab nilai-nilai
pakainya sebagai benda untuk memenuhi kebutuhan praktis.
Selain nilai-nilai diatas, benda kerajinan juga memiliki ‘nilai teknik’. Pada
hakekatnya membuat benda kerajinan adalah perpaduan keterampilan pengrajin
dalam mempergunakan bahan dan alat dengan kepekaan apresiasi dalam mencipta
desain sesuai dengan tuntutan fungsi pakai.
Keterampilan dalam mempergunakan bahan berarti pula mengenal watak bahan
yang dipergunakan dengan cara-cara mengolah dan mengerjakannya. Kemampuan
mengolah dan mengerjakan bahan dalam seni kerajinan inilah yang menentukan
nilai-nilai teknik.
2.3.2 Nilai Estetik pada Songket
Sebagai karya seni, benda kerajinan harus menampilkan nilai estetik atau nilai
keindahan rupa, sedangkan sebagai karya seni terapan, nilai estetik karya
kerajinan tidak dapat dipisahkan dari nilai gunanya. (Wiyoso,98).
Tenun songket di Indonesia termasuk kedalam seni kriya atau seni kerajinan. Pada
hakekatnya kerajinan sebagai kegiatan artistik tidak berdiri sendiri. Untuk
mengenal dan memberi penilaian karya seni kerajinan diperlukan pengetahuan
tentang latar belakangnya yang antara lain menyangkut kesejarahan dan
kehidupan sosial budaya masyarakatnya, demikian pula dengan menilai songket.
23
Songket sebagai bentuk budaya adalah sebagai artefak yang berisikan wacana
representasi diri secara tersembunyi bagi pembuat, pemesan atau pemakai yang
dikerangkai budaya yang melahirkannya, dengan kata lain songket bisa dibaca
berdasarkan falsafah atau pandangan hidup masyarakat yang melatar
belakanginya.
Sebagai karya seni songket harus menampilkan nilai estetik atau nilai keindahan
visual atau rupa, sedangkan sebagai seni terapan, nilai estetik songket tidak dapat
dipisahkan dari nilai gunanya, selain itu nilai teknis juga menentukan kualitas
karya seni tenun songket sebagai kriya. Nilai estetik pada songket berkaitan
dengan konsep ornamentik seni hiasnya yang menggunakan simbol-simbol magis
sebagai konsep berpikir yang menjadi falsafah hidup dan budaya masyarakat
pembuat songket. Bentuk ornamen songket tercermin melalui unsur pembentukan
corak yakni unsur utama, unsur pelengkap, dan makna simbolik atau makna
filosofis songket berkait dengan hal-hal yang ada dibalik nama dan bentuk
ornamen songket itu sendiri.
Sebagai karya kerajinan songket diproduksi untuk memenuhi kebutuhan hidup
manusia sehari-hari artinya kebutuhan praktis. Apabila dalam benda kerajinan
tersebut ada unsur yang menggugah perasaan, maka benda tersebut selain
memiliki fungsi pakai juga nilai-nilai artistik atau keindahan, namun demikian
keindahan bukan satu-satunya persyaratan untuk menghasilkan karya seni
kerajinan yang bermutu.
Dalam tradisi masyarakat Indonesia bahkan mungkin di seluruh Asia tak ada
karya senirupa yang dibuat semata untuk ‘keindahan’ sebaliknya tidak ada benda
pakai yang asal bisa dipakai, benda pakai tersebut biasanya juga ‘indah’. Tabrani
dalam teorinya tentang senirupa tradisi menjelaskan bahwa keindahan pada seni
tradisi di Indonesia bukan hanya sekedar memuaskan mata, tapi melebur dengan
kaidah adat, tabu, kepercayaan, agama dan sebagainya. Jadi menurutnya, senirupa
tradisi ataupun kriya tradisi selain bermakna juga sekaligus indah. (Tabrani,2002).
24
Menurut Primadi, dalam perupaan seni tradisi di Indonesia tidak ditemukan
perupaan yang sungguh-sungguh naturalis atau sungguh-sungguh abstrak
sebagaimana di Barat (Eropa). Perupaan senirupa tradisi di Indonesia lebih
bersifat dekoratif berupa ragam hias yang memiliki keseimbangan dinamis.
Konsep berpikir dan konsep komunikasi yang digunakan adalah magis simbolis,
bukan verbal secara mutlak, sehingga tidak ada yang benar-benar konkrit dan
tidak ada yang benar-benar abstrak. Hal-hal inilah yang menjadikan seni kriya
Indonesia sangat khas dan berbeda dengan seni kriya Barat atau Eropa. Kekhasan
ini juga berlaku dalam kerajinan songket yang dianggap sebagai seni tradisi.
2.4 Tinjauan Estetika
Arti estetika / keindahan menurut Herbert Read adalah sekian kualita pokok
tertentu yang terdapat pada sesuatu hal. Kualita pokok itu antara lain kesatuan
(unity), keselarasan (harmony), kesetangkupan (symmetry), keseimbangan
(balance), dan perlawanan (contrast). Dan ciri atau kualita pokok itu antara lain
tersusun oleh susunan berbagai keselarasan dan perlawanan dari titik, garis,
warna, bentuk, tekstur, dan bahan serat (dalam tekstil).
Pengertian estetika adalah falsafah tentang keindahan, meliputi keindahan alam
dan keindahan buatan manusia yang pada umumnya disebut kesenian. Dengan
demikian kesenian dapat dikatakan merupakan salah satu wadah yang
mengandung unsur-unsur keindahan (Djelantik, 1999:15). Estetika itu sendiri
mengandung tiga aspek yang mendasar yaitu wujud atau rupa, bobot atau isi dan
penampilan atau penyajian. Wujud adalah kenyataan yang nampak secara
kongkrit (berarti dapat dipersepsi dengan mata atau telinga) maupun kenyataanya
yang tidak nampak secara kongkrit yakni abstrak. Wujud terdiri bentuk (form) dan
susunan, struktur (structure). (Djelantik, 1999:18)
Lebih lanjut Djelantik menjelaskan bahwa bobot atau isi dari benda atau peristiwa
kesenian meliputi bukan hanya yang dilihat semata-mata tetapi juga apa yang
dirasakan atau dihayati sebagai makna dari wujud kesenian itu. Bobot kesenian
25
mempunyai tiga aspek yaitu suasana (mood), gagasan (idea) dan ibarat/pesan
(message). Sedangkan yang dimaksud dengan penampilan adalah cara bagaimana
kesenian itu disajikan, disuguhkan kepada yang menikmatinya. Ada tiga unsur
dalam penampilan yaitu bakat (talent), keterampilan (skill), sarana atau media
(medium atau vehicle).
Pada perkembangan selanjutnya penafsiran tentang estetika mengalami proses
perubahan, keindahan tidak hanya terbatas pada pengetahuan tentang persepsi
fenomena fisikal, tetapi berkembang pada tataran yang lebih abstrak. Dalam
konsep pengertian estetika sangat luas, didalamnya terpaut pengertian tentang
sesuatu yang benar, teratur, tertata hirarkinya, bagus, indah, yang berguna dan
berbagai predikat lainnya. Derajat substansi dari predikat ini berubah-ubah
tergantung pada obyek pengamatan.
Pendekatan estetis digunakan untuk mengkaji bentuk songket dalam kategori
obyek dua dimensi. Songket sebagai karya seni tradisional memiliki kaidah-
kaidah desain yang dapat dianalisis yaitu unsur seni rupa dalam desain (titik,
garis, bentuk, dan warna) dan prinsip-prinsip penyusunan desain (keseimbangan,
irama, dan keselarasan).
Dari pengertian ragam hias yang berasal dari keinginan manusia untuk menghias
sebuah bidang atau objek, kata hiasan maupun menghias menyangkut makna
keindahan dimana unsur-unsur rupa dilibatkan dalam proses menghias atau
mengkaji bentuk ragam hias songket. Menghias memiliki arti luas dan arti yang
sempit. Dalam pengertian yang luas menghias sama artinya estetik atau indah.
menurut Webster, membuat kesenangan dengan kepuasan hati yang
mementingkan keharmonisan antara unsur-unsur garis, warna, dan irama. Dalam
penerapannya disesuaikan dengan ruang, posisi dan panjang suatu benda.
Sedangkan dalam arti sempit menghias adalah sesuatu yang relitas dan dalam
pengungkapannya secara ekspresif, dalam hal ini merupakan karakter aliran
Gothic (Thomas Munro,1951:122)
26
Bentuk ragam hias songket sebagai karya seni tradisional selain memiliki aspek-
aspek visual dua dimensi, dan mempunyai aspek simbol yang melatarbelakangi
munculnya ragam hias, terkait dengan bagaimana sistem kepercayaan dan sosial
budaya daerah bersangkutan. Pendekatan estetis dalam menggunakan dua aspek
yaitu unsur seni rupa dan prinsip pengorganisasian unsur-unsur rupa, dalam
desain mengenai bentuk ragam hias songket Palembang.
2.4.1 Unsur-Unsur Seni Rupa dalam Bentuk Songket
Secara umum seni rupa menggunakan bahasa rupa dengan unsur-unsurnya seperti
bentuk, titik, garis, tekstur, dan warna sebagai tanda atau simbol rupa yang sangat
berpengaruh dalam kehidupan manusia. Karya seni rupa tidak sekedar tanda
tetapi lebih merupakan simbol karena mempunyai unsur rupa seperti bentuk,
warna, dan bahan yang membentuk kualitas keindahan. Disamping memiliki sifat
yang unik khas dan inovatif serta dirancang berdasarkan suatu penyatuan unsur
rupa untuk memenuhi aturan tertentu. Dalam penggunaan tertentu simbol rupa
mampu membawa imajinasi manusia kealam pikiran sebagai ungkapan simbolik.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur rupa dapat
menjadi bentuk simbolik yang berfokus pada makna dan memiliki nilai-nilai yang
hakiki. Untuk itu unsur-unsur seni rupa sebagai pengembangan ide dan perasaan
tidaklah sekedar bentuk atau gaya tetapi sebuah ungkapan simbolik.
Seperti halnya tanda maupun simbol, unsur rupa berfungsi sebagai ekspresi serta
memberikan makna dan pemahaman melalui suatu penafsiran. Oleh karena itu
unsur rupa merupakan simbol ekspresi yang mengungkapkan ide dan perasaan.
Sebagai suatu ungkapan simbolik, unsur rupa seringkali memiliki makna yang
mendalam, yaitu suatu konsep yang paling bernilai dalam kehidupan masyarakat.
Beragam simbol ekspresi dalam seni rupa mempunyai susunan dari unsur-unsur
seni rupa yaitu titik, garis, bentuk, tekstur, dan warna.
27
2.4.1.1 Titik
Menurut Djelantik dalam buku estetika mengatakan bahwa, titik tersendiri belum
berarti dan baru mendapat arti setelah tersusun penempatannya. Disamping itu
titik bisa menggunakan unsur-unsur penunjang, yang bisa juga membantu atau
dipakai untuk membentuk wujud yang lain. Penunjang-penunjang itu misalnya:
gerak, sinar, dan warna.
Titik yang digerakkan bisa memberi kesan garis yang beraneka rupa dan berliku-
liku. Gerak-gerak ini dapat dilengkapi dengan sinar atau warna. Sinarnya yang
dipancarkan oleh titik itu sendiri sering dijumpai pada ragam hias songket. Jarak-
jarak antara titik, gerak, dan kecepatan, giliran dan warnanya dapat disusun
(distrukturkan) sedemikian rupa sehingga bisa berwujud indah dan memenuhi
syarat-syarat estetis.
Titik dalam penggunaanya di bidang seni, arsitektur, dan desain adalah elemen
visual yang paling sederhana dan minimal. Ia merupakan pembangkit segala
bentuk yang paling utama dan dapat berperan sebagai pendeterminasi serta
pendefinisi posisi dalam suatu ruang. Untuk dapat dilihat, titik haruslah
mempunyai ukuran, bentuk dan nilai. Cara melihatnya tergantung dari referensi
yang ada disekitarnya. Artinya titik itu bisa berarti besar, kecil, berupa bulatan,
kotak, segitiga, huruf “Z” atau sama sekali tidak berdimensi (khayalan). Misalnya,
bayangkan seseorang yang melukis dengan perantaraan mesin tik. Lalu misalnya
dibandingkan dengan pengertian dot yang terlanjur sudah mempunyai konsep
tertentu yaitu semacam bulatan aneka ukuran, contohnya kita mendengar motif
polka dot atau dot matrix, raster, dan lain-lain. (Acmad Haldani, 2007:116)
28
Gambar 2.1 Titik sebagai unsur ragam hias kain tenun tradisional
(Sumber: Album Tenunan Indonesia, 1995)
Haldani menerangkan bahwa dalam tenun songket, titik dapat dihasilkan dalam
bentuk kotak (pattern). Bentuk titik dalam tenunan tidak dapat berbentuk bulatan
atau lingkaran, misalnya yang sering kita lihat dalam ragam hias batik. Dari
susunan atau sekelompok kotak-kotak (pattern) dapat mengasilkan suatu garis
maupun bentuk dalam struktur kain tenun. Maka dalam tenun songket, titik dapat
ditimbulkan melalui proses persilangan antara satu helai benang pakan dengan
sehelai benang lungsi, menghasilkan satu titik pada stuktur benang tenun. Jika
persilangan benang pakan dan benang lungsi itu terjadi secara berulang-ulang
maka titik tersebut akan memiliki gerakan dan warna yang tersusun secara teratur.
Dari kumpulan atau sekelompok titik-titik pada struktur benang akan
menimbulkan kesan estetis atau indah.
2.4.1.2 Garis
Pengulangan titik akan menimbulkan garis, sesuatu yang hanya mempunyai satu
dimensi, yaitu panjang, dan didalam ruang ia mempunyai arah sekaligus posisi.
Garis akan nampak pada prilaku menggambar, menyampaikan gagasan, konsep,
suasana hati, ekspresi (goresan) dan jenis informasi lainnya. Garis dapat
dipergunakan untuk mempresentasikan bidang, bentuk (shape), objek, dan
berbagai susunan lainnya. Garis dapat membawa makna, simbol dan ekspresi
sehubungan dengan visual dan pesan-pesan informasinya, baik langsung maupun
29
tidak langsung. Contohnya, yang berhubungan dengan simbol-simbol tanda dan
lain-lain pada berbagai sejarah peradaban (huruf hieroglyph, gambar, bahasa
tulisan, dan lain-lain.
Garis merupakan elemen mendasar untuk menciptakan dan mewakili bentuk.
Garis sebagaimana halnya titik dapat memberi sifat dan karateristik rupa /
perupaan seperti nada, sifat, dan tekstur suatu permukaan latar. Garis juga dapat
memberi sifat kuat, tebal, ringan, anggun, aktif, rapat, spontan, dan sebagainya
(intensitas karakter), termasuk juga dalam melihat seni tenun songket yang stilasi
dan abstrak.
Garis sebagai bentuk mengandung arti yang lebih daripada titik; karena dengan
bentuknya sendiri, garis menimbulkan kesan tertentu pada sang pengamat. Garis
yang kencang memberikan perasaan yang lain daripada yang membelok atau
melengkung. Yang satu memberi kesan kaku, keras, dan yang lain memberi kesan
yang luwes. Kesan yang diciptakan juga tergantung dari ukurannya, dari tebal-
tipisnya, dan dari penempatannya terhadap garis-garis yang lain, sedang warnanya
selaku penunjang menambahkan kualitas tersendiri. (Djelantik, 1999:22)
Kumpulan garis-garis dapat disusun (diberi struktur) sedemikian rupa sehingga
mewujudkan unsur-unsur struktural seperti misalnya ritme, simetri,
keseimbangan, kontras, dan penonjolan. Seolah-olah garis sudah bisa “berbicara”
lebih daripada titik-titik. (Djelantik,1999:22)
30
Gambar 2.2 Garis sebagai unsur ragam hias songket tradisional
(sumber: Album Tenunan Indonesia,1995)
Karakteristik garis pada seni songket dapat dilihat dalam ornamen songket antar
lain ornamen apit (berbentuk garis lurus), ombak-ombak (berbentuk garis
gelombang), dan patah beras (berbentuk garis diagonal yang membentuk patahan
segitiga. Karakter garis dalam songket, umumnya berbentuk statis dan sifat yang
kaku namun ada juga yang berbentuk dinamis. Semua karakter dari garis dapat di
implementasikan pada seni-seni lainnya, seperti arsitektur, seni lukis, tekstil,
fashion dan sebagainya
Garis-garis dapat disusun secara geometris (sama dengan ukuran, proporsi, siku-
siku tertentu yang teratur) dan mewujudkan gambar yang memberi kepuasan dan
rasa indah karena keserasian dan keseimbangan bentuknya. Susunan garis-garis
yang geometris, baik yang polos atau yang rumit sifatnya, pada umumnya sangat
tepat untuk digunakan sebagai penghias (ornament). Maka semua ornamen tidak
terlepas dari unsur-unsur garis yang sebagai dasar pembentuk ragam hias songket.
31
2.4.1.3 Bentuk
Bentuk (shape) dapat diartikan sebagai konfigurasi permukaan yang spesifik dari
plane, figur, atau obyek. Bentuk (shape) bisa mudah dikenal bisa juga abstrak atau
sebagai bidang-bidang yang dapat didefinisikan, baik berdasarkan kontur garis
atau bidang (plane). Ini yang disebut sebagai atribut fisik atau asosiasi. Seperti
kita mengenal bentuk-bentuk geometri (triangle, hexagon, pentagon, dan lain-
lain). Bentuk (shape) lebih konkrit dibading plane (bidang), dia lebih mempunyai
arah dan stabilitas visual. Oleh karenanya bentuk (shape) mempunyai
kecenderungan lebih sebagai berikut:
a. Regular, tetap (jenisnya: polygon dan polyhedron) dan irregular, tidak tetap.
Jenisnya: polygon dan polyhedron.
b. Dua dimensi dan tiga dimensi.
Bentuk (shape) adalah karakteristik dari bidang (plane) yang dikenali. Bentuk
(shape) ditentukan oleh konfigurasi garis atau batas-batas bidang (plane), dalam
arti: sesuatu figur atau bentuk yang dapat dikenali. Bentuk-bentuk (shapes)
mempunyai sekian nama berdasarkan konturnya, atribut fisiknya, dan asosiasinya.
Bentuk dapat dikategorikan sebagai geometrik atau abstrak, representasional atau
non-representasional, atau simbolis. Hal diatas dapat dijelaskan sebagai berikut:
letakkan empat buah titik dengan formasi seolah-olah ini membuat sekeping ubin
lantai. Tariklah garis dengan menghubungkan keempat titik tadi. Contoh ini
disebut dengan bidang segi empat atau bujur sangkar (tetragon, secara ilmu
geometrik, tetra artinya empat, gon artinya segi, bahasa Yunani). Sedangkan
regular 3 dimensi, contohnya seperti kubus. Maka disini sudah membicarakan apa
yang disebut bentuk (shape). Kata kunci dalam peryataan ini, sebagaimana halnya
titik dan garis akan menghasilkan bidang (plane) juga membangkitkan bentuk,
pencitraan nada, tekstur dengan berbagai teknik, seperti perbedaan nilai pada
ketebalan warna, ukuran, pengulangan, dan sebagainya.
Contoh bentuk yang paling sederhana dalam seni rupa adalah titik. Titik tersendiri
tidak mempunyai ukuran atau dimensi. Namun kumpulan dari beberapa titik akan
mempunyai arti dengan menempatkan titik-titik itu secara tertentu. Kalau titik-
32
titik berkumpul dekat sekali dalam suatu lintasan, titik tersebut menjadi bentuk
garis. Beberapa garis bersamaan bisa menjadi bentuk bidang. Beberapa bidang
bersamaan bisa menjadikan bentuk ruang. Titik, garis, bidang, dan ruang
merupakan bentuk-bentuk yang mendasar bagi seni rupa. (Djelantik,1999:21)
Dalam kacamata seni, bentuk (form) diartikan sebagai organisasi, penempatan,
atau relasi-relasi dari elemen-elemen dasar, seperti garis dan warna dalam tenunan
songket, atau volumen dan ruang dalam seni songket guna menghasilkan eitera
yang koheren struktur formal dari karya seni. ( The Random House of Dictionary,
dalam Munro:3).
Gambar 2.3 Bentuk atau bidang yang sering ditemui dalam songket tradisional
(sumber, dok.2006)
Bila dikaitkan dengan seni songket, maka seni songket merupakan bentuk dari dua
dimensi. Hal ini dapat kita lihat pada ornamen songket diatas. Sekelompok titik
dapat membentuk garis, sekelompok garis-garis yang disusun dengan ukuran
tertentu dapat menghasilkan bidang. Hal ini mewujudkan suatu bentuk yang
diinginkan oleh setiap kreator. Bentuk-bentuk tersebut dapat dilihat dalam seni
songket, terutama pada ornamen-ornamen pada kain tradisional songket.
33
Contohnya, bentuk ragam hias bunga tanjung dan bentuk kotak-kotak. Hal ini
merupakan wujud dari sekelompok garis-garis maupun titik-titik yang membentuk
suatu bidang dan ruang terukur. Maka setiap motif yang terdapat pada kain tenun
Nusantara tidak terlepas dari unsur-unsur penunjang seperti warna dan ukuran
yang berbentuk simetri atau asimetri guna menghasilkan ornamen yang bernilai
estetis.
2.4.1.4 Warna
Warna primer (hue) yakni, warna-warna yang tidak bisa dibuat dengan warna
yang lain sebagai bahannya. Warna primer terdiri dari merah, kuning, dan biru.
Warna sekunder, yakni warna-warna yang dapat dibuat dengan campuran antara
dua warna primer, seperti: merah bersama kuning menjadi orange, kuning
bersama biru menjadi hijau, dan biru bersama merah menjadi unggu. Warna
tersier dibuat dengan warna sekunder dicampur dengan warna primer yang bukan
komplemen dari warna itu, seperti:
Merah dengan oranye menjadi oranye kemerahan,
Merah dengan unggu menjadi unggu kemerahan,
Kuning dengan oranye membuat oranye kekuningan,
Kuning dengan hijau membuat hijau kekuningan,
Biru dengan hijau membuat hijau kebiruan,
Biru dengan unggu membuat unggu kebiruan.
Jumlah warna-warni yang dapat dibuat dengan campuran-campuran warna tidak
ada batasnya. Hasilnya tergantung bukan hanya dari jenis warna yang dipakai
tetapi juga dari banyaknya zat warna dari masing-masing elemen yang disertakan.
34
H.ke k
Hijau
H.ke b.
Biru
U.ke b.
Kuning
Unggu
U.ke m.
Merah
O.ke m.
Oranye
O.ke k
Pr.
Ttr.
Sek.
Ttr.
Pr.
Ttr.Sek.
Ttr.
Pr.
Ttr.
Sek.
Ttr.
Lingkaran warna-warni
Warna-warni primer, sekunder, dan tersier bisa disusun dalam suatu lingkaran.
Warna-warni yang dalam lingkaran itu berposisi silang berhadapan dirasakan
cocok untuk dikombinasikan (dipakai berdampingan, bukan dicampur) disebut
warna komplementer (saling mengisi)
(Djelantik,1999:32-39)
Berdasarkan persepsi psikologis, bahwa warna dapat mengandung makna tertentu
bagi kehidupan manusia. Contohnya, warna merah yang menggambarkan panas,
kegembiraan, dan kegiatan saat baik untuk menimbulkan suasana hangat. Warna
kuning merupakan warna matahari. Percobaan-percobaan psikologis
membuktikan bahwa warna ini adalah warna yang paling menyenangkan dan
merangsang mata ataupun syaraf. Warna biru adalah warna langit dan laut luas
sehingga menimbulkan suasana adem. Percobaan-percobaan psikologis
menunjukkan bahwa warna ini mengurangi ketegangan otot. (Liang Gie, 1996:46)
35
Gambar 2.4 Warna songket Palembang yang sering disebut merah anggur
dan warna kuning emas. (sumber, dok.2006)
Menurut masyarakat Palembang, warna songket lebih didominasi dengan
menggunakan warna cerah, seperti merah dan warna emas. Warna dapat diartikan
sebagai unsur simbolik pada setiap obyek yang mendasari identitas budaya
setempat. Contohnya warna merah melambangkan kebahagian, warna kuning
emas melambangkan keagungan dan kebesaran. Menurut masyarakat Palembang
ditahun 1980-an. Warna merah dan kuning emas merupakan pengaruh budaya
Cina, sebab kedua warna tersebut melambangkan anugrah atau berkat dari para
dewa-dewa dalam mencapai kehidupan yang bahagia didunia. Namun saat ini
warna-warna songket mengalami perkembangan, sehinggga songket itu tidak
selalu berwarna merah melainkan beranekaragam warna, seperti: unggu tua, biru
dongker, oranye, hitam, pink, dan putih.
36
2.4.1.5 Tekstur
Tekstur adalah unsur rupa yang menunjukkan rasa permukaan bahan, yang
sengaja dibuat dan dihadirkan dalam susunannya untuk mencapai bentuk rupa,
sebagai usaha untuk memberikan rasa tertentu pada permukaan bidang,
perwajahan bentuk pada karya desain secara nyata atau semu. Tekstur mempunyai
kualitas plastis yang menimbulkan bayangan pada permukaannya sehingga
memberikan sifat atau karakter yang bervariasi. Pada prinsipnya permukaan benda
menjadi rasa tertentu secara raba atau secara visual. (Toekio,1987:76)
Gambar 2.5 Tekstur permukaan kain songket tampak depan. Songket ini disebut
Lepus Nago Besaung. Sifat kainnya tampak sedikit kaku dengan
bentuk komposisi estetik. (sumber, dok.2066)
37
Tekstur pada kain songket disebabkan oleh adanya motif. Motif pada songket
terasa lebih timbul dari bahan dasar kain merupakan efek dari teknik menenun
dengan pakan tambahan. Biasanya permukaan songket hanya bisa dipakai sebelah
bagian depannya saja, karena permukaan depanlah yang lebih halus teksturnya,
sedangkan bagian belakang sedikit lebih kasar karena banyak rentangan benang
pakan tambahan, terutama untuk motif yang lebih besar. Jadi pengertian tekstur
pada songket adalah efek rasa yang ditimbulkan oleh pakan tambahan dalam
pembuatan motif songket dan efek rasa dari bahan yang digunakan.
2.4.2 Prinsip-Prinsip Pengorganisasian dalam Songket
Unsur-unsur seni rupa dibentuk atau disusun yang mengangkat suatu organisasi
visual, yaitu organisasi yang mempunyai efektivitas lebih besar atau lebih kecil
tergantung pada bagaimana baiknya unsur visual saling bekerjasama. Karya-karya
seni dari semua jenis menampilkan pola-pola umum tertentu mengenai
“kerjasama” yang disebut dengan prinsip-prinsip desain. (E.B.Felmand,
1967:258) Prinsip-prinsip ini akhirnya didasarkan pada cara seseorang melihat
sesuatu yang paling efektif dan menyenangkan dan atas cara bagaimana unsur-
unsur itu dibentuk dengan paling memuaskan dari titik tolak pandang yang paling
efektif dan menyenangkan. Dalam arti apa yang disebut dengan prinsip-prinsip
desain adalah hasil eksperimentasi empiris dan intuitif yang panjang.
Dengan dasar kesamaan dalam prinsip-prinsip penyusunan desain memberikan
persamaan persepsi dan visi manusia yang mempertimbangkan keragaman
daripada keragaman pada visi manusia. Sesuai dengan ragam hias songket, dari
beberapa prinsip penyusunan desain antara lain keseimbangan, irama dan
harmoni.
38
2.4.2.1 Keseimbangan
Keseimbangan adalah kesamaan dari unsur-unsur yang berlawanan atau
bertentangan. Dalam karya seni, walaupun unsur-unsur tampaknya bertentangan,
tetapi sesungguhnya saling memerlukan karena bersama-sama mereka
menciptakan suatu kebulatan. Unsur-unsur yang saling berlawanan itu tidak perlu
hal yang sama, karena ini lalu menjadi kesetangkupan melainkan yang utama
ialah kesamaan dalam nilai. Dengan kesamaan dari nilai-nilai yang saling
bertentangan terdapatlah keseimbangan secara estetis. (Liang Gie,1996:74)
Keseimbangan merupakan penyelesaian kembali dari semua kekuatan dalam suatu
struktur yang mengarah pada keseimbangan atau perimbangan. Hal demikian
terbukti nyata dalam alam, manusia, dan dalam dunia buatan manusia.
Keseimbangan secara struktural sebagian besar merupakan persoalan rekonsiliasi
berat dan tekanan yang mengarah pada stabilitas. (E.B. Feldmand, 1967:263)
Pengorganisasian dari unsur-unsur rupa dalam desain diatur sedemikian rupa agar
tercapai komposisi yang memenuhi keseimbangan. Komposisi desain yang
seimbang dikategorikan dalam komposisi simetri dan asimetri. Dalam
keseimbangan asimetri ini termasuk beberapa jenis keseimbangan berdasarkan
besar kecilnya, berat atau besar obyek dalam sebuah komposisi, misalnya antara
obyek besar dan obyek kecil dalam sebuah kesatuan lukisan. Kesimbangan
berdasarkan penempatan obyek yang menjadi perhatian utama dalam sebuah
komposisi, misalnya di ujung lukisan digambar sebuah pohon yang ukurannya
lebih besar dari pohon-pohon lainnya. Ada juga kesimbangan berdasarkan
kekontrasan antara obyek dan warna, misalnya unsur warna hangat
dikomposisikan dengan warna dingin atau ragam hias geometris dengan organis.
Bentuk corak songket yang berkaitan dengan keseimbangan ini sebagai contoh
adalah corak atau ragam hias dengan kesimbangan simetris dan netral. Pada corak
songket, konsep keseimbangan melambangkan keseimbangan antara kosmologi
yaitu kedudukan sang Pencipta, alam semesta dan manusia. Adanya dari nenek
39
moyang sejak masa prasejarah yaitu adanya dunia atas, dunia manusia, dan dunia
bawah menjadi dasar dari ragam hias songket dengan percampuaran konsep
masuknya pengaruh Cina.
2.4.2.2 Irama
Dalam suatu karya seni, ritme atau irama merupakan kondisi yang menunjukkan
kehadiran sesuatu yang terjadi berulang-ulang secara teratur. (Djelantik,1999:44)
Irama didefinisikan dalam seni rupa adalah pengulangan suatu unsur-unsur secara
teratur dan tersusun. Yang utama dari irama adalah pengorganisasian repetitive,
alternative, dan progesif yang berkesinambungan. Pengulangan dari bentuk,
warna, garis, atau arah yang sama atau hampir sama akan mendukung irama.
Pengulangan ruang-ruang antara garis-garis yang dibentuk serupa dan
pengulangan warna-warna dan berbagai bentuk positif juga merupakan irama.
(E.B.Feldmand,1967:267)
Irama selalu dikaitkan dengan pola berulang, sesuatu yang bergerak, dan
kedinamisan. Ragam hias songket sebagai karya tekstil selalu berhubungan
dengan irama terutama jenis pola berulang, baik simetris maupun asimetris.
Komposisi irama dengan pola berulang-ulang yang teratur banyak terdapat pada
songket dengan ragam hias stilasi simetris.
2.4.2.3 Harmoni
Harmoni dimaksudkan adanya keselarasan antara bagian-bagian atau komponen
yang disusun untuk menjadi kesatuan bagian-bagian itu tidak ada yang saling
bertentangan, semua cocok dan terpadu. Tidak ada yang bertentangan dalam segi
bentuk, ukuran, jarak, warna-warninya, dan tujuannya. (Djelantik, 1999:46)
Harmoni atau keselarasan menyangkut bagaimana semua unsur-unsur rupa atau
bagian-bagian disusun saling berhubungan dalam sebuah komposisi sehingga
tercapai keselarasan serta memperkuat keutuhan. Dalam ragam hias songket,
kelarasan menyangkut kaedah estetis secara visual sesuai dengan ciri khas
40
songket, harmonisasi semua unsur visual dalam sehelai kain songket, ragam hias
songket selaras dengan kesatuan ragam hias, tata warna, tata letak, ukuran kain
dan fungsi. Sedangkan ditinjau dari keselarasan secara estetis tradisi masyarakat,
menyangkut juga konsep keselarasan ragam hias yang menggambarkan semua
unsur-unsur rupa dan pemaknaannya.
2.4.3 Estetika pada Songket
Songket merupakan suatu hasil karya seni yang memiliki nilai estetika yang
cukup tinggi. Disamping proses pengolahannya yang rumit namun keindahan
tetap terpancarkan melalui struktur permukaan kain tradisional. Keindahan
songket terwujud dari adanya kesatuan, keseimbangan, dan irama dalam
mengolah suatu titik, garis, bentuk, dan warna pada satu komposisi ornamen. Dari
keseluruhan unsur-unsur seni rupa tersebut dapat dibentuk menjadi suatu produk
songket yang bernilai estetis melalui pembentukan atau pengorganisasian benang
pakan dan lungsi. Sebab tidak ada tenun songket ataupun kain tradisional lainnya
yang tidak menampilkan ragam hiasnya pada struktur benang.
Kesatuan (unitiy) dalam struktur desain terlihat dari hubungan yang bermakna
relevan antar bagian tanpa adanya bagian yang tidak berguna atau tidak ada
hubungan dengan bagian lainnya. (Djelantik, 2001:38) Hubungan yang relevan
antar bagian bukan berarti gabungan semata-mata atau begitu saja, tetapi yang
satu memerlukan yang lain, bagian-bagian saling mengisi, sehingga terlihat
kesatuan yang menyeluruh. Dalam songket kesatuan dimunculkan oleh adanya
hubungan yang relevan antara motif-motif yang disusun, warna, bidang, tekstur
maupun bentuk motif dengan bagian-bagian yang lainnya.
Djelantik membagi tiga macam kondisi yang berpontensi atau bersifat
memperkuat kesatuan (unity) yaitu simetri (symetry), ritme (rhytm), keselarasan
(harmony). Simetri adalah ciri atau kondisi suatu kesatuan, apabila dibagi menjadi
dua secara vertikal ataupun horizontal menjadi dua bagian yang sama besarnya,
bentuk dan wujudnya. Simetri dalam istilah lain disebut seimbang (keseimbangan)
dan lawannya adalah asimetri atau tidak seimbang. Ritme atau irama merupakan
41
kondisi yang menunjukkan kehadiran sesuatu yang terjadi berulang-ulang secara
teratur. Keteraturan dalam ritme terdapat pada ukuran, bentuk maupun jarak yang
sama dalam sebuah desain ataupun seni. Keteraturan dalam irama disebut dengan
komposisi. Sedangkan harmoni terlihat dengan adanya keselarasan antara bagian
atau komponen yang disusun untuk menjadi kesatuan yang cocok dan terpadu.
(Djelantik, 2001:39-40)
Nilai estetik secara objektif yang terdapat pada songket tradisional pada umumnya
terbentuk oleh kesatuan yang terbangun antar bagian, antar motif dengan motif
yang lainnya, antar bidang yang terdapat dalam songket (kepala kain, badan kain,
dan pinggir kain). Keseimbangan yang simetri secara vertikal maupun horizontal
merupakan ciri keseimbangan bentuk songket tradisional di Indonesia. Irama
dibentuk dengan penataan motif dalam bidang kain dengan memberikan beberapa
variasi ukuran, bentuk motif di antaranya merupakan pengulangan. Harmoni
ditunjukkan dengan keselarasan hubungan antara bidang-bidang pada songket.
Pada umumnya ragam hias songket tradisional mempunyai nama, bentuk dan
nilai-nilai yang abstrak pada motif songketnya sesuai dengan kebiasaan suatu
daerah mengungkapkan ekspresi estetiknya. Salah satu songket dengan nilai-nilai
tradisi tersebut adalah songket tradisional Palembang. Sehingga keindahan
songket tradisi juga ditentukan oleh fungsi songket tersebut dalam budaya tradisi
masyarakat. Karena dalam tradisi di Indonesia pembuatan suatu benda budaya
seperti songket selalu diikuti oleh ketentuan-ketentuan guna oleh suku yang
membuatnya.
2.5 Pengertian, Teknik Pembuatan, dan Motif Songket
2.5.1 Pengertian
Berdasarkan sejarah Sriwijaya di abad 18, songket berasal dari kata menyongket
atau menyungkit. Kata tersebut maksudnya adalah pekerjaan menyusun benang
pakan dan benang lungsi melalui proses menenun yang berbentuk tradisional
(manual). Penyusunan dan penyukitan inilah yang dinamakan songket dan dalam
42
bahasa Inggrisnya adalah design atau perencanaan. (Sejarah & Kebudayaan
Palembang, 1985:63).
Kata songket bagian salah satu dari hasil kerajinan rakyat daerah tertentu di
Indonesia dalam bidang pertekstilan, misalnya: daerah Bali, Palembang, Jambi,
Sumatera Barat, Aceh, Lampung, Bengkulu, Kalimantan, dan sebagainya.
Songket tersebut dibuat dengan alat tenun sederhana (ATBM gedokan) dengan
bermacam motif yang dibuat dengan menyulamkan benang emas, benang perak,
benang kapas bewarna, benang filamen.
Anyaman dasarnya adalah anyaman polos sedang anyaman motif bermacam-
macam demikian pula dengan corak maupun warnanya yang kontras dan dinamis.
Ada yang penuh dengan motif benang emas, ada yang kosong dibagian tengahnya
tetapi motif diberikan pada bagian tepi kain, ada pula kembang-kembang
dicampur benang-benang biasa bewarna putih, merah atau hijau dan beraneka
pula ragam coraknya. (ITT,1977:217).
Kerajinan kriya songket yang tersebar di seluruh Indonesia sangat beraneka ragam
jenisnya, namun di setiap daerah memiliki perbedaan dan keunikannya tersendiri.
Hal tersebut dapat diamati pada corak ragam hias, tingkatan kualitas bahan, fungsi
pemakaian, serta warna yang dihasilkan.
Kerajinan tenun songket Palembang memiliki beberapa perbedaan jenis yang bila
ditinjau dari segi produk songket itu sendiri, antara lain:
a. Songket Lepus (Lepus berarti menutupi) adalah songket yang bermotif benang
emas menutupi hampir seluruh bagian permukaan kain sesuai dengan
motifnya.
b. Songket Tawur adalah songket yang motifnya tidak menutupi seluruh
permukaan kain tetapi berkelompok-kelompok yang letaknya menyebar.
Benang pakan dalam pembentukan motif kembang tidak disisipkan dari
pinggir ke pinggir seperti halnya pada tenun polos yang biasa, tetapi hanya
sekelompok-sekelompok saja mengikuti struktur dari corak kembang itu
43
sendiri. Misalnya: songket Tawur Lintang, songket Tawur Tampuk Manggis,
dan lain-lain.
c. Songket Limar adalah kain songket ini motifnya tidak dibentuk oleh benang-
benang tambahan seperti benang emas atau perak tetapi corak ragam hiasnya
dibentuk dari benang pakan yang di celup pada bagian-bagian tertentu
sebelum ditenun. Biasanya songket ini disebut dengan songket Limar. Kain
Limar ini ada yang dikombinasikan dengan songket berkembang benang emas
Tawur dan disebut dengan songket Limar Tawur.
d. Songket Tretes Mender adalah kain songket ini tidak dijumpai suatu gambar
motif pada bagian tengahnya. Motif-motifnya hanya terletak pada kedua ujung
pangkal dan pinggir-pinggir kain.
e. Songket Kombinasi adalah songket yang merupakan kombinasi dari jenis
songket-songket diatas, misalnya songket Bungo Cino adalah gabungan dari
songket Tawur dan songket Bungo Pacik, songket Bungo Intan adalah
gabungan antara songket Tretes Mender dan songket Bungo Pacik.
f. songket Bungo Pacik adalah kain songket ini sebagian besar benang motif dari
emas diganti dengan benang kapas putih sehingga anyaman benang emasnya
tidak banyak lagi dan hanya sebagai selingan. (Pengetahuan Barang
Tekstil,ITT, 1977:218)
2.5.2 Teknik Pembuatan Songket
Proses pembuatan kain songket Palembang harus melalui tiga tahap, yaitu:
pertama, mempersiapkan kompenen dari peralatan tenun ATBM gedokan. Kedua,
pengolahan material bahan benang, dan ketiga, proses menenun benang pakan dan
lungsi hingga menjadi sehelai kain songket.
a. Komponen Peralatan ATBM Gedokan.
Dari perkembangan alat tenun yang ada di masa sekarang semua asas teknologi
berasal dari alat tenun gedokan. Sebagai cikal bakal alat tenun ini memang sangat
sesuai dengan kebutuhan di masa lampau dimana membuat tenun bukanlah
pekerjaan dalam arti ekonomi saja melainkan juga berhubungan dengan cita rasa
44
dan sakral. Jadi alat ini sederhana bentuknya, lamban produksinya tetapi sangat
intensif dalam menghasilkan karya.
Dalam perkembangan alat tenun gedokan tersebut disebut ATBM. ATBM ini
masih tetap menggunakan tenaga manusia tetapi ditambah dengan prinsip-prinsip
mekanik pengungkit, maka alat ini lebih maju dan lebih cepat dalam
menghasilkan tenunan. ATBM ini kebanyakan digunakan untuk menenun kain
Gebeng maupun kain songket.
Alat tenun terdiri dari beberapa bagian yang saling berhubungan. Artinya bila satu
saja bagian dari gedokan tersebut hilang maka gedokan tersebut tidak akan
berfungsi sebagai alat tenun. Adapun nama-nama bagian dari alat tenun gedokan
adalah sebagai berikut:
1. Cacak,
Merupakan tumpuan untuk meletakkan dayan, terdiri dari dua buah tiang ada
yang berukir dan ada yang polos.
2. Dayan,
Berupa sekeping papan tempat menggulung benang lungsi.
3. Apit,
Tempat menggulung benang yang sudah ditenun menjadi kain.
45
4. Lempaut/Por,
Penahan yang diletakkan di punggung penenun berfungsi untuk menahan
benang lungsi. Bila alat ini terlepas maka benang pakan yang telah disusun
menjadi kendur. Di bagian kanan dan kiri lempaut/por diletakkan seutas tali
yang dihubungkan dengan apit.
5. Tumpuan,
Merupakan penahan kaki penenun.
6. Beliro,
Berfungsi sebagai penekan supaya benang pakan menjadi rapat, bentuknya
berupa kayu pipih dengan panjang kurang lebih 1 meter.
7. Suri,
Untuk menyisir benang pakan supaya benang pakan menjadi rapat sehingga
hasil tenunan juga rapat.
8. Gulungan,
Untuk menahan keluar masuknya benang pakan.
46
9. Cucuk karap/Nyincing,
Berfungsi untuk membuka benang agar benang lungsi tetap kencang dan
teratur letaknya.
10. Pelipiran,
Berfungsi untuk membantu membuat motif dengan cara membuka benang
lungsi sebelum dimasuki benang pakan.
11. Lidi/Gun,
Berfungsi untuk membuat motif kain tenun. Semakin banyak motif kain tenun
semakin banyak lidi yang diperlukan.
Alat tenun ATBM Gedokan
Gambar 2.5 Alat tenun bukan mesin atau ATBM Gedokan.
( sumber, dok 2007)
47
b. Pengolahan Material Benang
Sebelum proses menenun dimulai sebelumnya benang lebih dahulu diolah. Bahan
baku yang digunakan untuk tenun ikat, adapun proses pengolahan benang adalah
sebagai berikut:
1. Mencelup benang.
Masukan air panas ke dalam baskom sebanyak yang diperlukan. Selanjutnya
masukkan bahan pewarna aduk sampai larut setelah bahan larut masukan
benang. Obat pewarna yang digunakan adalah naftol atau basis atau jenis lain
seperti costik, BS, BO. Untuk menggunakan obat pewarna ini diperlukan
keahlian khusus serta pengalaman. Komposisi obat pewarna sangat
menentukan warna benang. Untuk mendapatkan warna gelap misalnya,
diperlukan obat pewarna BO lebih banyak dari lainnya sedangkan untuk
mendapatkan warna terang BO tidak diperlukan. Untuk mendapat warna cerah
diperlukan obat pewarna lain lagi sedangkan untuk memunculkan warna perlu
ditambahkan lagi obat merah B.
48
2. Menjemur benang
Setelah benang dicelup kemudian diangkat dan dijemur sampai kering.
3. Meriring
Benang tersebut diriring (dikelos) dengan berpuluh-puluh riringan / kelosan
untuk mengetahui jumlah yang diperlukan.
4. Mengani
49
Mengani yaitu menyusun jumlah benang sesuai dengan bentuk dan kebutuhan
seperti untuk membuat selendang dan kain.
5. Mencolet / melimar / nyecep
Yaitu memberi warna lain pada benang yang telah diberi warna dasar untuk
membuat bentuk atau warna lain.
6. Setelah dicolet dijemur lagi sampai kering.
7. Memasukan benang ke dalam sisir
8. Menggulung benang di dayan
9. Membuat motif, yaitu memasang gun kembang sesuai dengan rencana tenun
yang dikehendaki.
10. Setelah benang diberi ragam hias / motif kemudian dipindahkan ke alat yang
disebut pleting untuk kemudian menjadi benang pakan. Begitu juga dengan
benang emas dipindahkan dari gulungan besar ke pleting. Pemindahan ini
dilakukan dengan menggunakan alat yang disebut lilingan yaitu meriring /
mengelos.
b. Proses Menenun
50
Langkah-langkah untuk menenun adalah sebagai berikut :
1. Setelah semua peralatan dan ATBM gedokan siap, penenun mulai menenun.
Posisi tubuh duduk dengan kedua kaki diselonjorkan ke depan, sambil
menekan penahan kaki.
2. Setelah benang digulungkan ke dayan dan sebagai benang lungsi ke apit,
selanjutnya dimulai menenun. Menenun tenun ikat songket dimulai dengan
matok / patuk. Patuk tidak memiliki ragam hias. Cara patuk adalah dengan
memasukkan benang pakan diantara benang lungsi ke arah kanan, kemudian
dengan menggunakan suri dan beliro benang pakan dirapatkan. Selanjutnya
kembali benang pakan dimasukkan ke arah kiri dan dirapatkan dengan suri
dan beliro. Begitu seterusnya sampai leher patuk kira-kira 10-15 cm.
3. Benang pakan disiapkan, digulung di pleting dan diletakan dikiri dan kanan
penenun. Gulungan benang pakan tambahan ini digunakan untuk membuat
motif pinggiran kanan dan kiri tenun ikat. Sama seperti menggerjakan patuk
benang pakan disisipkan diantara benang lungsi kiri dan kanan, kemudian
benang pakan polos. Baru kemudian disusun dan dirapatkan dengan beliro,
begitu seterusnya.
4. Setelah matok, selanjutnya membuat motif tumpal kurang lebih 30 cm, baru
selanjutnya ngembang yaitu membuat motif ragam hias ditengah kain.
5. Untuk membuat motif/ragam hias ini dipergunakan benang emas tambahan
dan sisipkan diantara benang lungsi yang sudah memiliki motif. Selanjutnya
digunakan sisir dan beliro untuk merapatkan benang pakan.
Secara lebih terurai langkah-langkah dari menenun motif yaitu: pertama,
masukkan lidi kembang (di tarik), angkat/tegakan pelipiran, masukkan
incing/karap satu, sisir dengan suri masukkan baliro, masukkan benang pakan
tambahan, tarik beliro, angkat incing/karap, sambil geser suri, masukkan beliro
lagi dan pantak/tekan. Masukkan benang limar, pantak, masukkan benang
tambahan (emas) pantak. Angkat incing/karap masukkan bambu, masukkan
beliro, pantak masukkan benang limar pantak, begitu seterusnya.
51
Setelah ditinjau di lapangan bahwa proses pembuatan kain songket membutuhkan
waktu 4 minggu ditambah dengan pembuatan selendang songket membutuhkan
waktu 4 minggu. Jadi setiap satu set produk songket bisa mencapai 1 hingga 2
bulan. Songket sangat dipengaruhi oleh tingkat kerumitan berbagai jenis ragam
hias yang dibutuhkan. Bila produk songket tersebut menerapkan corak ragam hias
lebih sederhana maka waktu yang dibutuhkan dalam memproses bahan baku
benang hingga menenun, bisa mencapai waktu 2-3 minggu dalam setiap satu set
produk songket.
Gambar 2.7 Proses menenun kain songket tawur di wilayah Ki Gede Ing Suro
kota Palembang (Dokumen, Netty Juliana:2004)
2.6 Tinjauan Umum Ragam hias
Ragam hias berasal dari kata ‘ragam’ dan ‘hias’. Ragam berarti macam, jenis,
modelnya beragam agar memenuhi selera pembeli; warna, corak.(Kamus
Indonesia, 2006:638). Sedangkan hias berarti mempercantik diri, memperelok
diri, memperindah diri, berdandan. (kamus Indonesia, 2006:322). Maka ragam
hias dapat dikatakan sebagai model dari berbagai macam bentuk yang berfungsi
sebagai keindahan dari suatu objek itu sendiri.
52
Ragam hias dalam bahasa Inggris disebut dengan kata ‘ornament’. Ornamen
diartikan sebagai hasil dari kerajinan tangan, hiasan dalam arsitektur: hiasan yang
dibuat dengan pahatan-pahatan (misalnya pada candi, rumah tradisional, dan
sebagainya). Ornamental: bersifat sebagai hiasan, bersifat sebagai lukisan.
(Kamus Indonesia, 2006:264).
Pendapat lain mengatakan ragam hias merupakan tiruan dari bentuk atau
mengembangkan bentuk alam yang dipergunakan sebagai elemen dekorasi yang
diaplikasikan pada permukaan benda. Ia mempersolek suatu bentuk benda secara
lahiriah, bahkan satu atau sebagian darinya memiliki nilai simbolik atau
mengandung makna tertentu. Dalam penciptaan ragam hias tidak dapat dilepaskan
unsur- unsur apa yang menjadi pendukung terjadinya bentuk-bentuk visual
tersebut, di antaranya peranan garis, bidang, tekstur dan warna. (Toekio, 1987:2)
Ragam hias adalah pangkal atau pokok dari suatu pola yang disusun dan
dikomposisikan secara berulang-ulang, maka akan diperoleh suatu pola, kemudian
setelah pola tersebut diterapkan pada benda maka akan terjadilah suatu ragam
hias. Ragam hias yang diterapkan pada suatu benda digunakan dalam dua aspek,
yaitu sebagai dekorasi dan sebagai lambang dalam konsepsi filosofi pada
kehidupan manusia. Sebagai dekorasi ragam hias tampil dalam berbagai bentuk
pada berbagai produk seperti cenderamata, barang-barang hiasan rumah tangga,
busana, dan lain-lain. Sebagai lambang ragam hias selain berfungsi praktis
sebagai penghias suatu benda juga diperuntukkan pula untuk tujuan lain seperti
keselamatan, kemakmuran tanda-tanda khusus, lambang kebesaran, ajaran tentang
adat dan sebagainya. Pada kesenian trdisional Indonesia, keberadaan ragam hias
tidaklah semata-mata sebagai media artistik, banyak diantaranya mempunyai
makna simbolik sebagai ungkapan atau cerminan budaya suku bangsa yang
membuatnya. Ragam hias menjadi simbol dari media tutur untuk menyampaikan
pesan tertentu yang berkaitan dengan sistem kepercayaan dan filosofi hidup
masyarakat.(Gustami, 1990:7)
53
Ciri utama ragam hias Indonesia adalah keberagaman bentuk dan warnanya yang
sangat kompleks. Kompleksitas tersebut karena latar belakang budaya masyarakat
dan lingkungan alamnya yang sangat beragam. Secara umum ragam hias di
Indonesia mempunyai banyak kemiripan, terutama ragam hias pada kerajinan
tekstil seperti kain songket. Hal ini disebabkan karena adanya kesamaan konsep
estetik yang berdasarkan pada kosmologi asli yang mengutamakan keselarasan,
serta faktor akulturasi dari hubungan dagang dengan budaya asing seperti India,
Cina, dan bangsa Eropa. Kalaupun terdapat perbedaan warna dan bentuk serta
bahan yang digunakan, semua itu mendukung terbentuknya ciri dan kekuatan
warna lokal masing-masing. Keberagaman ragam hias sangat dipengaruhi oleh
faktor adat, situasi dan kondisi lingkungan dan senimannya. Tetapi kebutuhan
terhadap ragam hias termotivasi oleh kebutuhan artistik. Daya artistik yang besar
terungkap dalam segala rupa ciptaan artistik dan kerajinan yang sangat indah.
(M.Lubis, 2006:16).
Ornamen ataupun ragam hias sering dijumpai pada arsitektur bangunan, tembikar,
kain tenun, ukiran mebel, hingga peralatan rumah tangga. Namun ragam hias
dipengaruhi oleh sifat alami material yang dibuat, demikian juga halnya gaya atau
cara dimana objek alami dibuat untuk ornamentasi oleh orang yang berbeda pada
waktu yang berbeda. Oleh sebab itu seni ragam hias berkaitan erat dengan
material, tujuan, bentuk dan gaya. Bentuk ragam hias yang paling tua terdiri
gambar geometris, lingkaran-lingkaran kecil, garis lurus dan lengkung dan
sebagainya, semua digambar dengan bentuk keteraturan pasti dan menurut irama
tertentu. Dengan kemajuan intelektual umat manusia, seniman memperoleh lebih
banyak kecakapan teknis, dan mencoba bahkan mengunakan ornamen binatang,
tumbuhan dan figur manusia sebagai seni ragam hias.
54
2.6.1 Ragam Hias Cina pada Tekstil
Kecenderungan kain tenun songket, tenun ikat pakan, ikat lungsi, maupun batik
di masa prasejarah mencermikan pandangan hidup yang menekankan
keseimbangan, keselarasan, keserasian dan kelestarian. Ragam hias tekstil
Nusantara dibentuk bukan hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan teknis,
estetis dan fungsi saja, tetapi selalu dihubungkan dengan kekuatan gaib, yang
dilambangkan dalam bentuk ragam hias dekoratif dan simbolis.
Bangsa Indonesia memiliki tradisi yang bersifat ‘dualisme dwitunggal’ ada dunia
atas: dewa, angkasa, gunung, lelaki, baik, kanan, dan sebagainya. Sebagai
pasangannya, ada dunia bawah: manusia, laut, wanita, jahat, kiri, dan sebagainya.
Dualisme ini bukan untuk dipertentangkan tapi untuk diintergarasikan. Selain itu,
berkembang pula pandangan dualisme: lama-baru, kenal-asing, dalam-luar.
Dualisme itu bukan untuk dipertentangkan. Melainkan perlu kerjasama untuk
menciptakan paduan yang seimbang, selaras, serasi, dan lestari. Kepada sesuatu
yang baru, asing, luar, bangsa Indonesia tidak langsung menolaknya, tetapi
menjalin hubungan dengannya kemudian mengintergrasikannya untuk menjadi
“milik barunya” tanpa meninggalkan jati dirinya. (Primadi Tabrani,1995).
Menurut catatan sejarah bangsa Indonesia, budaya Cina masuk ke Indonesia
melalui jalur perdagangan hingga kawasan Hindia dan pasifik. Masyarakat Cina
melalukan transaksi jual beli dengan masyarakat pribumi diantaranya kain sutera,
porselin yang berbentuk guci, kain katun, rempah-rempah, dan lain sebagainya.
Dan masa kebudayaan perunggu, bangsa Indonesia telah biasa melakukan
perdagangan antar pulau di Nusantara. Mereka bahkan mengadakan kontak
dagang dengan penduduk di Vietnam. Kemungkinan besar mereka telah
melakukan perdagangan dengan cina dan menyaksikan kebudayaan Cina seperti
yang digambarkan dalam nekara, benda-benda perunggu seperti kapak perunggu,
porselin, barang-barang logam dan kayu tekstil. Pada barang-barang tersebut
terdapat ragam hias yang indah sehingga menjadi daya tarik bagi pembelinya.
55
Orang Cina mengenal filsafat kesinambungan yang melambangkan dinamika
alam. Menurut shu Ching, ada lima elemen wujud yang berinteraksi: air, api,
kayu, logam, dan tanah. Kelima elemen tersebut dapat saling bersahabat, tapi juga
bisa saling bermusuhan satu dengan lainnya. William 1976 menulis:
Water produces wood, but destroys fire;
Fire produces Earth, but destroys Metal;
Metal produces Water, but destroys Wood;
Wood produces Fire, but destroys earth;
Earth produces Metal, but destroys Water.
Dari analogi dengan lima elemen tersebut berkembang lima susunan lainnya
seperti lima atmosfer, lima jenis padi-padian, lima planet, lima logam, lima warna,
dan sebagainya. Hubungan antara lima logam dan lima warna digambarkan
sebagai berikut: emas = kuning, perak = putih, tembaga = merah, timah = biru,
dan besi = hitam.
Filsafat kesinambungan dinamis dijadikan titik tolak pemikiran bahwa elemen-
elemen di alam ini merupakan suatu siklus yang terus-menerus aktif sepenjang
masa. Elemen-elemen yang menunjang kehidupan selalu aktif berinteraksi
membawa manfaat. Menghayati kedinamisan alam ini, seniman cina
mengekspresikan bentuk-bentuk yang ada di alam ini dengan garis dan susunan
yang dinamis, berirama, berubah, hidup dan tidak membosankan. Alam penuh
gejolak, waktu selalu berubah, alam memiliki daya untuk mengubah lingkungan.
Angin menyebabkan gelombang, gulungan awan, lidah api, goyang daun, dan
getaran rasa. Dengan demikian bentuk ragam hias Cina cenderung digambarkan
dinamis, seperti meander yang tersusun ritmis, bentuk lidah api, bentuk awan,
swastika yang memutar ke kanan, dan bentuk spiral yang melilit. Pemandangan,
tumbuhan, binatang, dan manusia digambarkan dengan komposisi dinamis.
Gambar pada porselin dan tekstil Cina, disusun secara dinamis, seperti burung
terbang dengan sayap mengepak, kupu-kupu riang bercumbu, dan bunga
bergoyang seolah tersenyum. Semua itu merupakan ungkapan kecintaan terhadap
alam. Ragam hias Cina yang masih sangat berpengaruh terhadap kain tradisional,
56
baik itu kain batik maupun kain tenun Nusantara. Corak lakcon ini terdiri atas
ragam hias burung funiks dengan ekor berjumbai. Burung funiks adalah mitologi
Cina yang dianggap sebagai maharaja semua burung, yang melambangkan
kegagahan dan keperkasaan. (Hasanudin,2001: 43).
Pengaruh kebudayaan cina pada kain songket Palembang tergambar pada berbagai
corak seperti bungo cino, nago besaung, dan meander. Warna pada songket
Palembang juga dipengaruhi oleh kebudayaan Cina seperti warna emas dan warna
merah anggur. Pada awal abad 20 kain songket mulai bergeser menjadi kain
tradisional yang tidak tergantung lagi pada makna simbol pemakainya, tetapi
dapat dipakai oleh siapa saja yang ingin mengenakannya, sesuai dengan selera
konsumen maupun permintaan pasar.
2.6.2 Ragam Hias India pada Tekstil
Dalam buku Perpolus dan Hyphegesis adalah catatan sejarah yang membuka mata
para pedagang Barat untuk mengenal lebih jauh jalur pelayaran Samudaera Hindia
ke Indonesia. Dengan jalur laut ini terbuka kemungkinan meningkatkan kontak
dagang antar kota dagang di Romawi, Arab, Persia, India dan Indonesia bahkan
Cina. Menurut Van Leur, barang dagangan yang beredar di pasar pada waktu itu
adalah emas, perhiasan, berbagai barang tenunan, barang pecah belah, bahan
kerajinan, ramuan untuk wewangian dan obat-obatan. (Marwati,1992).
Perdagangan antara Indonesia dan India merupakan salah satu faktor yang
memberi peluang masuknya pengaruh kebudayaan India. Proses penyerapan nilai-
nilai kebudayaan India banyak dipengaruhi oleh sikap bangsa Indonesia yang
telah dimiliki sejak masa prasejarah sebagai bangsa bahari yang terbuka dan
ramah. India tidak hanya melakukan hubungan dagang saja melainkan
menyebarkan agama Budha dan Hindu. Hal ini dapat dilihat dari peninggalan
masa kejayaan kerajaan Hindu dan Budha yang sampai sekarang masih bisa
disaksikan seperti candi, arca yang melambangkan dewa-dewa dalam ajaran
Hindu, arca raja, dan prasasti yang mengungkapkan latar belakang sejarah. Bukti
57
sejarah tentang perkembangan kerajaan Hindu dan Budha banyak diperoleh dari
catatan orang Cina.
Perdagangan antara kerajaan-kerajaan Indonesia dengan Cina dan India
berkembang pesat. Hal ini disebabkan oleh kemajuan transportasi, baik laut
maupun darat, sehingga mempercepat hubungan dengan sumber penghasilan.
Jalur-jalur pendalaman dibuka dengan menggunakan angkutan darat berupa kereta
berkuda. Pengaruh kebudayaan India pada bangsa Indonesia adalah membentuk
kedinamisan dalam berpikir, terutama setelah mengenal cara membaca dan
menulis, sehingga bangsa Indonesia dapat membaca perkembangan budaya.
Hubungan dagang antara India dan Indonesia mendorong terbukanya hubungan
dagang lebih luas, yang melibatkan Cina Parsi dan Arab. Indonesia terletak
dipersilangan lalu lintas dagang Arab dan Cina, adalah wilayah yang strategis
yang banyak dikunjungi oleh bangsa lain. Karena itu, Indonesia dapat langsung
menawarkan hasil bumi atau hasil usaha lainnya secara langsung kepada
mancanegara yang datang. Karena itu, para pedagang Indonesia dapat secara tepat
dan cepat mengetahui kebutuhan pasar. (Hasanudin, 2001)
Pengaruh kebudayaan India mendorong perkembangan agama Hindu dan Budha
di Indonesia. Perkembangan ini banyak melahirkan tempat peribadatan yang
dibangun secara artistik, dan upacara, yang menumbuhkan kesenian, seperti seni
patung, seni ukir, seni tari, wayang, gamelan, tenunan, batik, dan seni sastra.
Dalam seni rupa, seni yang banyak mengungkap bentuk ragam hias adalah seni
ukir, tenun, dan batik. Ragam hias pada seni tersebut banyak diilhami oleh
gambar-gambar mitologi Hindu dan Budha. Ragam hias banyak terdapat pada
dinding candi, seperti ceplok, jlamprang, banji, dan bentuk-bentuk geometris
lainnya. Selain itu, terdapat pula ragam hias manusia, wayang, kedok, bermacam-
macam binatang, termasuk binatang mitologi dan ragam hias tanaman, dengan
langgam sulur-suluran yang tesusun ritmis. Ragam hias tersebut berpengaruh pada
corak batik dan corak tenun songket Palembang.
58
2.6.3 Ragam Hias Pada Kain Songket
Ragam hias pada tekstil Indonesia pada umumnya dapat dikelompokan menjadi
dua yaitu ragam hias geometris dan non geometris/organik. Ragam hias geometris
mengambil bentuk-bentuk terukur seperti segi empat, segitiga, lingkaran dan lain-
lain. Ragam hias geometris terdiri dari berbagai jenis di Indonesia yang terkenal
adalah jenis ragam hias meander, jenis ragam hias tumpal, jenis ragam hias banji,
jenis ragam hias spiral atau pilin, dan jenis ragam hias kawung. Ragam hias
organik adalah ragam hias yang pola hiasnya tersusun dari bentuk-bentuk yang
lebih bebas, tidak terikat pada pola-pola tertentu yang dikategorikan sebagai pola
geometris. Ragam hias ini bentuknya lebih kompleks dan dinamis, susunan
bentuknya terdiri dari berbagai jenis stilasi bentuk bersumber dari lingkungan
alam (flora, fauna, dan alam/benda mati).
Pengembangan bentuk-bentuk mahluk hidup atau objek tumbuhan sebagai objek
ragam hias dapat dilakukan dengan dua cara, pertama; dibentuk dengan wujud
alami objek itu, inilah yang disebut dengan ragam hias naturalistik. Dan yang
kedua dalam suatu bentuk yang mencerminkan spirit waktu, religius atau gagasan
politis dari suatu masyarakat tertentu disebut dengan Sylistic Ornament. Masing-
masing mempunyai bentuk-bentuk ragam hias yang lebih disukai oleh masyarakat
dimana ragam hias itu tumbuh. (N.S.Djumena, 1986:8) menjelaskan faktor-faktor
yang mempengaruhi munculnya rancangan dari ragam hias yang begitu
banyaknya, juga untuk membedakan macam ragam hias setiap daerah yaitu letak
geografis suatu daerah, sifat dan tata kehidupan daerah, kepercayaan, serta adat
istiadat, keadaan alam sekitar termasuk flora fauna dan kontak atau hubungan
antar daerah penghasil kerajinan.
Terjadinya akulturasi, khususnya akulturasi kebudayaan Indonesia itu sendiri,
merupakan hal yang rumit. Hal ini dikarenakan letak wilayah Indonesia, yang
berada pada titik-titik pengaruh kebudayaan dari tiga benua. Dari hasil pengaruh-
pengaruh tersebut, memang memberikan kekayaan corak atau gaya dalam
kebudayaan Indonesia. Akan tetapi, bila dilihat dari suatu nilai dan fungsi setiap
59
hasil kreatifitas menunjukkan adanya dua sifat yaitu sebagai hiasan dan sebagai
lambang. Hal ini hampir dialami oleh setiap kelompok masyarakat di muka bumi
ini. Sebagai misal, bentuk (ciptaan) karya seni gaya dekoratif dengan berbagai fi-
gur ragam hias yang hanya untuk dekorasi saja, atau sebagai suatu perlambangan,
untuk suatu upacara. Dari gaya yang ditampilkan oleh masing-masing etnis di
kepulauan Indonesia ini, tampak jelas perbedaan-perbedaan motifnya. Namun dari
bentuk dasar sebagai motif memiliki beberapa unsur yang sama. Hal ini
merupakan bukti adanya sumber pengaruh yang searah. Unsur-unsur geometrik,
bentuk-bentuk pilin, meander serta figur-figur binatang, tumbuh-tumbuhan dan
manusia semua orang di kepulauan Indonesia ini menggunakannya sebagai
gambar ornamen. Di dalam bentuk ornamen yang diterapkan pada bentuk-bentuk
tertentu, selain sebagai dekorasi, mempunyai arti lain, yaitu sebagai
lambang/simbol. (Hasanudin, 2001)
Seni ragam (ornamen), memang cocok/tepat, bila digunakan dalam dunia
perlambangan. Banyak tanda-tanda yang digunakan oleh manusia sebagai
lambang untuk kepentingan-kepentingan tertentu di dalam kehidupan manusia.
Contohnya bentuk binatang, misalnya seekor burung dalam seni ornamen,
dikaitkan sebagai lambang dewa atas. Demikian juga seekor ular atau biawak,
sebagai lambang dewa bawah. Di dalam seni ragam hias sebatang pohon
ditampilkan dalam bentuk gambar stilasi yang dikaitkan dengan lambang pohon
hayat, atau pohon kehidupan atau Hyang Maha Esa. Gambar pohon ini hampir
menyebar di seluruh kepulauan Indonesia. Demikian pula bentuk-bentuk ornamen
dengan figur-figur tertentu sebagai motif dapat mempunyai arti tertentu pula,
sesuai dengan manfaatnya. Hal ini dapat dilihat pada penjelasan-penjelasan
sebagai berikut.
Ragam hias yang terdapat pada seni songket Palembang dibentuk melalui proses
ditenun dengan menggunakan benang pakan emas. Ragam hias songket
dipengaruhi oleh budaya Cina-Hindu dan.India, misalnya motif ular naga (naga
besaung). Sedangkan kepandaian bertenun songket Palembang dipengaruhi oleh
60
budaya India. dengan ragam hias gunungan. Lambang/simbol gunungan pada
songket Palembang merupakan simbol tempat pembelajaran para pemuka agama
Budha dalam mensucikan diri terhadap kehidupan dunia (bertapa). Sedangkan
ragam hias pucuk rebung merupakan simbol dari kesuburan terhadap kondisi
lingkungan alam sekitar. Ragam hias yang utama, pada songket umumnya
berbentuk geometrik yang bersifat abstrak, seperti ragam hias naga besaung,
pucuk rebung, gunungan, kembang mawar, bunga melati, bunga tanjung, bunga,
sulur-sulur dedaunan, apit (garis horizontal), kotak-kotak, pilin dan sebagainya.
Maka motif songket sebagai salah satu kebudayaan Indonesia diciptakan oleh
lingkungan masyarakat dengan latar budaya dan adat istiadat yang beragam.
Keberagaman terlihat pada bentuk ragam hias sebagai ungkapan estetik etnis
dengan ciri kedaerahan masing-masing. Walaupun terdapat perbedaan juga
terdapat banyak persamaan dan kemiripan, terutama oleh daerah-daerah penghasil
kerajinan songket yang berdekatan, atau daerah yang mendapat pengaruh dari
budaya yang sama. Seperti motif pucuk rebung atau tumpal hampir ditemui pada
semua songket Melayu (Aceh, Riau, Minang, Bengkulu, Jambi, Palembang,
bahkan Malaysia), bahkan motif pucuk rebung juga ditemui dalam songket dan
kain-kain tradisional di Jawa, Bali, Sulawesi, dan Kalimantan. Dengan demikian
songket dari setiap daerah lebih mempunyai arti apabila kita dapat meghayati dari
sikap dan pandangan masyarakatnya yang menciptakan songket tersebut. Karena
perbedaan yang timbul juga disebabkan oleh fungsi dan cara penggunaan dalam
adat dan budaya masyarakat setempat.