bab ii sejarah perkembangan perfilman iran dan … filesinematografi hanya dipertunjukkan pada...
TRANSCRIPT
BAB II
SEJARAH PERKEMBANGAN PERFILMAN IRAN
DAN FILM IRAN BERPERSPEKTIF PEREMPUAN
2.1 Perfilman Iran Prarevolusi
Jalan panjang perfilman Iran memang bukan tanpa rintangan, sejak
dijadikan alat dokumentasi pemerintahan kerajaan Qajar beserta kehidupan privasi
keluarganya, Iran terus memproduksi film-film baik fiksi maupun dokumenter
tentang kondisi sosial budaya masyarakatnya, atau mengisahkan pemimpin-
pemimpin negara mereka. Periode 1960an, di masa kepemimpinan Shah Reza
Pahlevi, ketika Amerika Serikat mulai mempropagandakan aksi menentang
komunis di negara-negara Islam dan Arab, Iran tidak ketinggalan memproduksi
film-film bertema liberal dan mengusung nilai-nilai Barat secara besar-besaran.
Kendali pemerintah atas industri perfilman makin memperkuat citra Iran yang
pro-Barat. Pada saat itu, pemerintahan Shah merupakan sekutu dekat Amerika
Serikat di Timur Tengah. Pemerintah mengontrol sepenuhnya industri film,
sehingga kemudian terjadi percampuran dua sektor film, swasta dan film yang
disubsidi pemerintah.1
Tidak seperti negara lain di dunia ketiga, film dijadikan sebagai komoditas
komersial yang dapat dipasarkan dan dipakai sebagai media hiburan massal,2
perfilman Iran hanya berputar pada lingkungan istana dan keluarga kerajaan.
Sinematografi hanya dipertunjukkan pada saat-saat tertentu seperti pernikahan
atau khitanan atau acara-acara kerajaan pada masa dinasti Qajar, yang biasanya
ditampilkan yaitu film komedi pendek yang diimport dari Prancis dan Russia.3
Shah Reza, penguasa pertama dari dinasti Pahlevi, mulai berkuasa di Iran
pada tahun 1920-an. Meskipun tertarik pada modernisasi dan teknologi, ia belum
mengerti bagaimana pentingnya industri film. Satu-satunya kontribusi Shah pada
perfilman ialah ketika menganugerahkan penghargaan kepada Mo’tazedi berupa
1 Hamid, Naficy, “Iranian Cinema Under Islamic Republic” dalam American Antropologist Vol. 97. No.3. 1995, (www.jstor.org/stable/683274. Diakses terakhir pada 28 Januari 2009 Pukul 15:01 BBWI) hal.548 2 Roy Armes, Third World Film Making and the West, (Berkeley: University of California Press. 1987) hal. 55 3 Hamid Reza Sadr, Iranian Cinema: A Political History, (London: I.B. Tauris. 2006) hal. 14
Universitas Indonesia
500 toman atas jasanya merekam dokumentasi pada saat Shah dinobatkan sebagai
raja. Pemahaman Shah Reza terhadap peradaban dan modernitas membawa
banyak nilai-nilai Barat ke dalam masyarakat Iran. Misalnya, ia melarang
penggunaan cadar di kalangan perempuan. Ia menerapkan cara berpakaian a la
Barat untuk pria-pria Iran.
Di tahun 1970 perfilman Iran memasuki tahap kedewasaannya. Institut
Seni Drama, yang didirikan pada tahun 1963, menghasilkan lulusan angkatan
pertamanya di awal dekade ini. Banyak film-film progresif yang dihasilkan oleh
mereka. Dekade 1970-an merupakan dekade istimewa bagi perfilman Iran.
Dekade ini juga memperlihatkan tingginya kepercayaan Shah dalam
keberhasilannya di bidang sosial dan politik. Karena kondisi yang mulai stabil
tidak dapat disangkal lagi, maka rezim Shah mengizinkan dibuatnya film-film
dengan tema kritik sosial.
Lingkungan budaya, politik, dan ekonomi yang baru dari pertengahan
1960-an hingga akhir 1970-an menciptakan perfilman nasional yang unik dan
khas yang menunjukkan akar perspektif orang Iran terhadap seni, sastra, dan
budaya. Film-film yang bertendensi komersial di 1970-an bertemu dengan bentuk-
bentuk inovatif dari pembuatan film. Film-film selanjutnya merupakan balasan
berupa film politik yang mengembangkan bahasa simboliknya dalam kaitannya
dengan sejarah panjang sensor film. Perfilman dunia ketiga ini berbeda dibanding
film-film dunia ketiga yang diproduksi di Amerika Latin, Afrika atau negara-
negara berkembang mana pun, karena konteks sosial-historis yang berbeda pula.
Beberapa pembuat film dari periode ini terpaksa meninggalkan Iran karena
keadaan politik dan budaya yang baru. Mereka yang bertahan harus berani
menantang gaya baru dalam seni dan budaya dengan pertimbangan-pertimbangan
agama dan moral penguasa baru setelah revolusi Islam meletus.
2.2 Perfilman Iran Pascarevolusi
Sistem politik dan hukum Iran yang selalu berubah dari waktu ke waktu
dan situasi ekonomi yang memburuk ditambah dengan ketidakpuasan masyarakat
terhadap kebijakan pemerintahan Shah Reza Pahlevi, bukan hanya mendesak
reformasi total pada birokrasi pemerintah namun juga mendorong terjadinya
Universitas Indonesia
revolusi. Akhirnya pada Februari 1979, meletuslah revolusi Islam yang digawangi
Khomeini yang secara total meruntuhkan kebijakan-kebijakan yang timpang dari
rezim Pahlevi. Iran tumbuh menjadi negara yang memadukan sistem demokrasi
sekaligus teokrasi pertama di dunia dan semakin memantapkannya sebagai negara
penganut Islam Syiah terbesar. Sistem politik di Iran dipengaruhi apa yang sedang
terjadi di dalam lingkungan-lingkungannya. Hal ini diperjelas di dalam undang-
undang Republik Islam Iran yang menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi dalam
struktur politik Republik Islam Iran, berada ditangan Imam sesuai dengan ajaran
mazhab Syiah yang menerapkan prinsip Imamah (keimaman) sebagai salah satu
ajaran utamanya.4 Regulasi yang dibuat pemerintah Republik Islam pun dengan
segera ditetapkan berlandaskan hukum syariah dan menghapus peraturan-
peraturan sekuler rezim Shah. Tidak terkecuali peraturan perfilman.
Ketika revolusi Islam yang terjadi pada tahun 1978-1979 melengserkan
rezim Shah Reza dan menggantikannya dengan rezim Republik Islam, hampir
terjadi penghentian industri film lokal. Semangat antisinema pun mulai menjalar
di Iran. Pemerintah Republik Islam menganggap film dapat merusak moral bangsa
karena berasal dari budaya Barat. Selain itu, film dianggap sebagai salah satu alat
ideologi Barat dengan rezim Pahlevi (1925-1979) yang dibuat dalam bentuk
media dan industri hiburan.5
Gaya hidup kapitalis ditandai dengan dibangunnya bioskop-bioskop
komersil. Hingga akhirnya revolusi Islam meletus di tahun 1979 yang di dua
tahun pertamanya pemerintah Republik Islam memerintahkan untuk membakar
gedung-gedung bioskop. Mullah mengangggap bioskop-bioskop sebagai tanda
kemusyrikan dan menyaingi keberadaan masjid. Kontrol lebih ketat diberlakukan
terhadap film-film yang diproduksi di dalam negeri. Film-film asing dilarang
didistribusikan di dalam negeri dan otomatis tidak ditayangkan. Sebenarnya,
Ayatollah Rohulla Khomeini pun mendukung keberadaan perfilman asal tidak
disalahgunakan. Menurutnya film adalah penemuan modern yang seharusnya
digunakan untuk mendidik masyarakat, bukan sebaliknya, merusak generasi muda
4 Bambang Cipto, Dinamika Politik Iran: Puritanisme Ulama, Proses Demokratisasi dan Fenomena Khatami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal. 77-81. 5 Sadr.Op.cit. hal.131
Universitas Indonesia
Iran.6 Film-film Iran diproduksi dengan tidak melupakan nilai-nilai tradisi dan
kental akan budaya Islam, bukan mengandung nilai-nilai yang diusung Barat.
Meskipun pembersihan dari pemerintah melibatkan perubahan ideologikal
dan kultural dalam film, namun tidak sepenuhnya menghapus produksi film anak
negeri. Kecuali berkaitan dengan sensor ketat pemerintah, yang setidaknya
membatasi jumlah film yang akan tayang. Menteri Budaya dan Pedoman Islam
pada tahun 1982 membuat satu regulasi yang disetujui oleh kabinet mengenai
pengawasan terhadap industri film nasional.7 Pemusatan kebijakan tersebut yaitu
semua film yang akan diputar harus melalui proses penyuntingan dari pemerintah
dengan tahap-tahap: tinjauan sinopsis oleh kementerian, pengeluaran izin
produksi, meninjau keseluruhan film, dan mengizinkan film untuk diputar.
Regulasi pemerintah seperti ini mulai diterapkan ketika film Bahram Baizai
Marg-e Yazdgerd (Death of Yazdgerd, 1980), dan Cherikeh-ye Tara (The Ballad
of Tara, 1981) dilarang diputar. Nasib sama dialami oleh Mohsen Makhmalbaf
dengan dua filmnya, Shabha-ye Zayandehrud (Zayandehrud’s Night, 1991) dan
Nowbat-e Asheqi (A Time to Love, 1991) ikut ditarik sebelum diputar di pasaran.8
Khomeini sendiri akhirnya memanfaatkan instrumen-instrumen seperti
film sebagai media propaganda melawan budaya Barat dan menjaga budaya
Islam. Semenjak periode transisi dan instabilitas sosial terjadi, tampaknya terjadi
suatu kecenderungan bagi para sineas nasional untuk menghasilkan sebuah gaya
perfilman baru. Arah baru sinematik ini sepertinya dalam beberapa waktu dinilai
oleh pemerhati film internasional, terutama Barat, sebagai bagian dari tradisi
Islam Syiah yang antimodern. Hasil reportase di media negara-negara Barat
mengatakan bahwa perlakuan pemerintah terhadap pekerja seni pertunjukan dan
hiburan di Iran tidaklah manusiawi dan teraniaya, serta sensor yang keras terhadap
kreatifitas anak negeri semakin memperkuat adanya intoleransi terhadap mereka.9
Meskipun demikian, perfilman baru yang perlahan muncul di Iran menciptakan
suatu industri dan sistem yang baru pula. Yaitu perfilman nasional yang kini
memiliki struktur finansial sendiri; nilai-nilai ideologikal, tematik, dan produksi
6 Ibid. 7 Ibid. hal.156 8 Naficy, Op.cit. hal. 548-558 9 Ibid.
Universitas Indonesia
yang khas. Yang harus ditekankan saat ini adalah bahwa film Iran kini bukanlah
sinema propagandistik yang didukung oleh ideologi yang sedang berkuasa.
Bahkan, kedua belah pihak, pemerintah dan sineas nasional saling bekerjasama.
Para sineas posrevolusioner menilai bahwa film Iran pascarevolusi lebih
menekankan pada plot, tema, karakterisasi, hubungan antar manusia, dan
pencitraan perempuan. Kualitas film, di sisi lain, memakai nilai-nilai tersebut dan
menciptakan kritik atas kondisi sosial selama pemerintah Republik Islam
berkuasa.
Pada awal masa revolusi, pemerintah memang berusaha keras untuk
membuat film yang Islami, yang bisa diarahkan lewat cara yang benar. Namun di
saat yang sama, gaya lain dalam ‘mengarahkan’ film juga dihasilkan. Beberapa
pembuat film mengatur cara untuk menciptakan bahasa yang dapat melewati batas
aman sensor pemerintah. Film-film yang diinspirasi dari kejadian sehari-hari atau
dari puisi-puisi Persia, diformulasikan baik melalui film dokumenter atau fiksi.
Walaupun terkesan bermain aman, namun kesegaran dan kemurnian film-film
tersebut dapat menyentuh perasaan masyarakat pemerhati film.
Perang Teluk dengan Irak yang terjadi selama delapan tahun, membuat 56
film yang diproduksi, hampir sepertiganya difokuskan pada tema-tema
perkelahian dan operasi militer, sementara sisanya mengkonsentrasikan diri pada
pengaruh perang dalam kondisi sosial dan psikologis masyarakat.10 Arusi-ye
Khuban (Marriage of the Blessed) dan Bashu: The Little Stranger merupakan
film-film dengan gayanya yang kompleks bukan hanya memasukkan unsur
ketegangan dari masyarakat di saat perang, tetapi juga memberi kritik tajam
terhadapnya.
Bersamaan dengan ideologi pemerintah yang berpihak pada kaum yang
tertekan, film-film Iran banyak berkonsentrasi pada tema masyarakat kelas bawah,
misalnya dalam film The Peddler, dan Off the Limit yang menunjukkan bahwa
kaum miskin dapat ditunjukkan memiliki moralcenter yang dapat membimbing
mereka mencari keadilan. Otoritarianisme dan kontrol kekuasaan yang dapat
melakukan segalanya menjadi isu utama dari banyaknya film-film
pascarevolusioner. Perempuan dan representasi mereka di dalam film menjadi
10 Sadr, Op.cit. hal.167
Universitas Indonesia
bahan perdebatan utama, menyebabkan para pembuat film seketika setelah
revolusi terjadi tidak mau melibatkan perempuan dalam film untuk menghindari
kontoversi. Bagaimanapun, sejak pertengahan 1980-an, representasi perempuan
dalam film perlahan menghilang baik dari belakang layar, maupun sebagai
karakter dominan di film.
Melodrama keluarga telah menjadi tema populer walaupun peraturan
pemakaian hijab tetap menciptakan ambiguitas dalam proses perfilman atas
perlakuan dan pencitraan perempuan. Untuk beberapa lama, para sineas memilih
untuk memakai sedikit pemeran perempuan dan menampilkannya tidak dalam
waktu lama. Ketika perempuan dimainkan, mereka kebingungan jika perempuan
disettingkan di dalam rumah, yang merupakan (menurut ideologi) domain aman
perempuan. Peraturan hijab mengharuskan aktris menutup rambutnya baik itu
dengan menggunakan selendang atau syal, rambut palsu, atau topi.
Ketidakleluasaan seperti ini, yang perlahan berkurang, membuat interaksi dengan
lawan main menjadi terbatas, dan akhirnya menghasilkan rekonfigurasi gender.11
Jika perempuan mendapat kesulitan dalam menampilkan diri di depan kamera,
tampaknya mereka tidak banyak mendapat masalah dengan belajar di sekolah film
atau bekerja di belakang kamera sebagai sutradara. Di sub bab berikutnya, penulis
menjelaskan film-film yang dihasilkan oleh sineas-sineas perempuan dan yang
terhitung film-film berperspektif perempuan.
2.3 Film-film Iran Berperspektif Perempuan
Pada masa rezim Shah Reza Pahlevi, yang menuntun Iran menuju
modernitas, kebijakan penggunaan hijab oleh penguasa Dinasti Qajar perlahan
dihapus. Di penghujung masa kepemimpinannya di tahun 1942, Shah Reza
membuat peraturan baru bagi perempuan-perempuan Iran untuk tidak memakai
hijab di lingkungan publik. Sebuah kebijakan liberalis yang sama sekali tidak
berjalan mulus bagi kaum konservatif dan tradisional yang merupakan mayoritas
di Iran.
11 Shahla Lahiji, “Chaste Dolls and Unchaste Dolls: Women in Iranian Cinema since 1979,” dalam R.Tapper (ed.) The New Iranian Cinema, (London: IB Tauris, 2002) hal. 215
Universitas Indonesia
Politik penggunaan hijab bagaimanapun telah menjadi bahan perdebatan
yang tak kunjung usai dari masa transisi rezim Shah Mohammad Reza Pahlevi ke
masa pemerintahan Republik Islam, atau di antara kaum sekuler dan agamis.
Maka ketika kebijakan pembebasan perempuan dari hijab diterapkan pada masa
rezim Pahlevi yang mengusung modernitas, muncul pergerakan baru yang
dimotori kaum perempuan, sebagaimana yang terjadi ketika kewajiban
penggunaan hijab bagi perempuan di masa pemerintahan Khomeini di bawah
hukum Islam terjadi.12 Sesungguhnya hak untuk berekspresi di ruang publik dan
berpartisipasi dalam proses berpolitik merupakan intisari perjuangan pergerakan
perempuan Iran yang sudah berlangsung lama. Di balik persoalan budaya dan
konstitusi yang selama ini dianggap membatasi kebebasan perempuan, perjuangan
hak-hak perempuan Iran sendiri bergantung pada kemampuan mereka
bernegosiasi pada penguasa, pembuat peraturan, termasuk hak-hak mereka dalam
berbusana.
Meskipun usungan hak-hak kesetaraan itu ditujukan baik untuk laki-laki
dan perempuan, namun hanya sedikit yang memilih menggunakannya. Di dalam
masyarakat pada kenyataannya arus westernisasi yang datang memberi alasan
bagi kaum patriarki13 tradisional dan relijius untuk ‘melindungi’ perempuan-
perempuan Iran atas ancaman moralitas dari kaum urban. Patriarki di negara Iran
sesungguhnya tidaklah berbeda secara fundamental dengan istilah yang sama yang
digunakan masyarakat non Islam, namun dogma relijius merupakan satu hal yang
menantang kaum perempuan Iran dalam rangka memperjuangkan hak-hak
kesetaraan mereka. Salah satu cara untuk melindungi para perempuan Iran bagi
kaum patriarki di Iran adalah dengan mewajibkan istri, anak perempuan, dan
saudara perempuan mereka untuk tidak berkeliaran di muka umum tanpa
menggunakan hijab.
12Sandra Mackey, The Iranians: Persia, Islam, and the Soul of the Nation, (New York: Penguin Books, 1998) hal. 180 13 Melani Budianta dalam tulisannya “Pendekatan Feminis terhadap Wacana” dalam Analisis Wacana, dari Linguistik sampai Dekonstruksi” (Yogyakarta: Penerbit Kanal, 2002), hal.207 menjelaskan bahwa: Patriarki adalah sebutan terhadap sistem yang sudah melalui tatanan sosial politik dan ekonominya memberikan prioritas dan kekuasaan terhadap laki-laki. Dengan demikian, secara langsung maupun tidak langsung, dengan kasat mata maupun tersamar, laki-laki melakukan penindasan atau subordinasi terhadap perempuan.
Universitas Indonesia
Tantangan untuk menempatkan kembali kesetaraan gender kini ada dalam
setiap aspek kehidupan di Iran, baik itu dalam kehidupan domestik atau publik;
pragmatis atau ideologis; akademik maupun estetik. Simbiosis antara identitas
tradisional dengan hal-hal yang baru diterjemahkan melalui representasi budaya
dan seni. Instrumen demikian telah dijadikan pembuktian eksistensi sosial dan
politik oleh para budayawan dan seniman. Model produksi budaya yang berupa
bentuk kreatifitas dialektikal, perpaduan antara kultur tradisional dengan rasa
modernisme, inilah yang memberikan definisi baru bagi identitas nasional,
kultural, bahkan gender.14 Dari sejumlah bentuk representasi budaya, penulis
memfokuskan penelitian pada film, karena film dianggap sebagai salah satu satu
wadah ‘advokasi’ perempuan Iran dan sebagai media yang menyuarakan aspirasi
pihak-pihak yang dianggap minoritas, terlepas dari batasan agama dan pemerintah
yang dipercaya dapat menghalangi gerakan hak-hak perempuan itu sendiri.
Dalam beberapa tahun terakhir, perfilman Iran telah menjadi simbol dari
perkembangan budaya, sosial dan politik di Iran. Para pembuat film Iran telah
mengembangkan gaya naratif yang bersifat non-konfrontasi untuk
mengekspresikan suara mereka, meskipun masih diawasi pemerintah melalui
lembaga sensor. Karya-karya sutradara kawakan seperti Kiarostami atau
Makhmalbaf, dapat dikatakan telah membantu perfilman Iran yang oleh dunia
internasional diklaim mewakili apa yang disebut sebagai sinema 90-an, film-film
yang diakui secara posisi artistik dapat merepresentasikan film yang berjaya di
periode tersebut. Tidak kalah kencangnya dengan suara para pembuat film pria,
perempuan-perempuan pembuat film Iran pun termasuk di antara mereka yang
aktif mengekspresikan pandangan mereka melalui dunia perfilman profesional.
Partisipasi dan karya-karya yang dibuahkan oleh sineas perempuan ini mendapat
antusiasme positif dari publik, bukan hanya karena mencitrakan perempuan-
perempuan Iran melainkan juga lelaki-lelakinya menjadi lebih realistis, bukan
artifisial.
Semenjak industri film Iran bergulir pada awal abad 20, masyarakat
menyambut positif sebuah seni pertunjukan baru yang bukan hanya menawarkan
unsur hiburan untuk masuk dalam kehidupan masyarakat, namun juga media baru
14 Naficy. Op.cit. hal. 548-558
Universitas Indonesia
yang mencerminkan kehidupan masyarakat Iran sendiri. Tentu saja berbagai
macam tema diusung oleh para pembuat film semata demi memanjakan
penikmatnya, namun seperti yang dijabarkan pada awal bab ini, keterlibatan
pemerintah Iran dari masa ke masa tetap menjadi syarat yang menentukan kemana
industri film Iran berjalan. Sejarah menunjukkan bahwa keberlangsungan
perfilman Iran baik sebelum maupun setelah revolusi Islam, adalah gambaran
nyata dinamika sosial dan politik yang terjadi di Iran.15
Berkaitan dengan pendekatan penulis dalam penelitian ini, yaitu yang
berhubungan dengan isu politik tentang representasi perempuan dalam film, latar
belakang produksi, serta bagaimana film tersebut diterima oleh penonton, dan
sebelum pembahasan lebih lanjut pada bab berikutnya tentang salah satu film
yang dapat merepresentasikan alasan diatas, penulis membagi secara kronologis
perjalanan panjang perfilman Iran, terutama yang berkaitan dengan perempuan
pada masa sebelum revolusi Islam bergulir dan pascarevolusi Islam.
2.3.1 Masa Prarevolusi
Dokhtar-e Lor (The Lor Girl) pada tahun 1933, karya sutradara
Abdolhossein Sepanta, merupakan film bicara Persia pertama yang dirilis.16 Film
ini bukan hanya menjadi obyek eksperimen untuk diproduksi sebagai film panjang
berbicara pertama dengan genre drama, tetapi juga menjadi film pertama yang
menampilkan tokoh utama perempuan dalam film Iran. Dokhtar-e Lor berkisah
seputar seorang gadis bernama Golonar, yang hidup sebatang kara dan mencari
nafkah dengan menjadi gipsy, menjadi penyanyi dan penari di kedai-kedai teh dan
penginapan-penginapan di jalan Lorestan-Khuzistan. Walaupun permasalahan
dalam produksi film masih banyak, seperti gaya penceritaan yang kurang dan
representasi yang lemah dari realita kehidupan masyarakat Iran pada masa itu,
namun kisah kepahlawanan seorang gadis Iran yang hidup independen rupanya
dapat menarik perhatian publik kala itu dilihat dari jangka waktu pemutaran di
bioskop hingga dua tahun.17
15 Sadr, Op.cit. hal. 169 16 Ibid. hal.35 17 Ibid.
Universitas Indonesia
Antara tahun 1933 hingga 1937, beberapa film Iran yang lain masih
diproduksi di India. Produksi film Iran relatif vakum selama sebelas tahun, setelah
akhirnya penggambilan gambar pertama di Iran diizinkan.18 Film-film yang
diproduksi pada sepuluh tahun pertama bergulirnya perfilman Iran, kebanyakan
menghadirkan kisah-kisah romantik yang dipadu dengan tendensi moralitas yang
kuat.19 Pada sebagian besar film-film tersebut, karakter-karakter perempuan
dimainkan sebagai korban dari amoralitas laki-laki. Perempuan-perempuan ini
tidak dihadirkan sebagai contoh dari superioritas moral, meskipun mereka
merupakan bentuk advokasi dari tipe sederhana tokoh yang tertindas. Dapat
dikatakan mereka hanya dijadikan pelengkap dan penghias kebanyakan film.
Tokoh-tokoh utama perempuan tidak banyak yang memiliki kecantikan fisik, dan
biasanya dipilih dari pemain-pemain teater maupun penyanyi-penyanyi terkemuka
Iran. Mereka biasanya memainkan peran yang jauh lebih muda dari usia mereka
sebenarnya. Pada akhirnya memang peran mereka terlihat palsu, miskin ekspresi
dan nilai artistik sekaligus artifisial. Pada sebagian film-film tersebut, kekerasan
terhadap perempuan juga sering menjadi bagian dari cerita, namun aksi para aktor
tetap ditunjukkan lewat cara yang simbolik.20
Ketika mendiskusikan peran perempuan dalam film-film di masa awal
perfilman Iran, yang perlu dicatat adalah karena masih terbatasnya penikmat film
pada masa itu, maka mereka, para pemeran perempuan, mengalami kesulitan
untuk menarik perhatian penuh masyarakat, dengan begitu peran mereka
tergolong netral.
Peran perempuan hanya ditampilkan beberapa adegan, itu pun hanya
berupa peran yang terpinggirkan, misalnya menjadi penari kabaret atau wanita
prostitusi yang kemudian ditolong oleh seorang lelaki jagoan, si pemeran utama.
Masa ini menjadi satu periode dalam perfilman Iran yang paling meminggirkan
citra perempuan dan jauh dari realitas kehidupan perempuan pada saat itu.
Kehidupan, kesengsaraan, dan kebahagiaan dari perempuan normal Iran, baik itu
sebagai ibu rumahtangga, petani, buruh pabrik, pelajar, karyawati, ilmuwan,
18 Ibid. hal. 48 19 Ibid. hal.96 20 Najmeh Khalili Mahani, Women of Iranian Popular Cinema: Projection of Progress, 2006. Offscreen Edisi. 10, (diakses terakhir 24 Maret 2009 pukul 17:20 pada www.offscreen.com)hal. 7
Universitas Indonesia
perawat, seniman, penulis, pengacara, hingga pendidik, yang menjadi contoh
nyata gambaran perempuan Iran saat itu, tidak memiliki tempat dalam peran-peran
yang ditunjukkan lewat film-film Iran. Film-film demikian kosong dari
penggambaran perempuan yang sebenarnya, bahkan lelaki yang sebenarnya. Apa
yang ditampilkan lewat layar perak sepenuhnya murni fantasi termurah tanpa nilai
artistik dan estetik yang seharusnya menjadi esensi sebuah film.
Memasuki awal 1960-an, industri film Iran perlahan memasuki babak baru
dengan lahirnya generasi baru kreator film. Sejumlah pemuda Iran yang menimba
ilmu perfilman di Eropa kembali ke Iran. Produksi film semakin membaik dengan
lahirnya film-film yang lebih berkualitas secara teknik maupun dari segi
konstruksi ceritanya. Film-film tersebut diikutkan dan diantaranya memenangkan
penghargaan di festival-festival film internasional. Sejumlah majalah film
nasional ikut berkontribusi dengan membuka diskusi-diskusi mengenai perfilman
nasional dan mengajak masyarakat penikmat film dalam negeri untuk terlibat dan
menerima perubahan ini.
Pada tahun 1968, kedatangan apa yang disebut sebagai produksi film avant
garde (gelombang perintis dalam seni) ditandai dengan dirilisnya Gheysar,21 yang
sedikit banyak membawa perubahan pencitraan perempuan ke dalam film.
Dengan harapan menarik generasi baru pecinta film Iran serta mendapat aklaimasi
dari lingkaran intelektual, sutradara film Gheysar mengarahkan peran perempuan
ke batas film yang berteks dominan lelaki. Jadi walaupun ia memiliki cara
pandang yang sama seperti sutradara film bertema perempuan yang sudah ada,
namun setidaknya ia berusaha untuk melihat dan melakukan pendekatan yang lain
dalam mencitrakan perempuan. Setelah dua dekade berjalannya industri film di
Iran, kategori film yang berhubungan dengan relasi manusia, yang sebelumnya
dipresentasikan secara murah dan komersil, kini menawarkan pada masyarakat
konteks manifestasi dari budaya tradisional yang melawan fenomena kultur asing
dari luar yang semakin merajarela.22
Di periode perfilman avant garde, terutama setelah Gheysar dirilis dan
film-film yang mengklaim sebagai film avant garde, penampilan-penampilan
21 Iranian movie database dalam http://www.iranactor.com (diakses pada tanggal 11 Maret 2009 pukul 17:33) 22 Sadr, Op.cit. 39
Universitas Indonesia
perempuan ditandai dengan peran yang menunjukkan ketidakberuntungan dan
musibah. Misalnya kisah seorang gadis yang lemah dan tidak dapat
mempertahankan kehormatan keluarganya. Kemudian peran perempuan separuh
baya dalam beberapa film biasanya digambarkan sebagai pedagang obat bius,
berasal dari daerah perbatasan, atau cerita tentang istri tuan tanah yang suka
menindas orang-orang miskin, atau paradoks antara perempuan inosen dan
materialis yang mendamba lelaki-lelaki berkantung tebal.
Gheysar dan film-film sejenis digandakan dalam jumlah banyak. Dari sisi
komersil, para pembuat film menambah unsur-unsur seks dan nuditas dalam film-
film mereka, untuk mendapat respon publik yang lebih besar. Kemudian film-film
penerus Gheysar yang berorientasi bisnis lebih jauh lagi menilai kapabilitas
perempuan hanya lewat tubuh mereka, yang mempresentasikan citra perempuan
yang kehilangan kendali dan jati diri.
Dalam kisaran waktu sepuluh tahun, lebih dari 400 film bergenre sama
diproduksi. Sementara masyarakat semakin kecanduan terhadap film-film absurd
dan penuh dengan definisi tidak realistis terhadap perempuan, penilaian
masyarakat sebagai penonton film, sepanjang periode ini menganggap perempuan
sebagai boneka tak bernilai, atau makhluk yang dilahirkan amoral. Sikap yang
juga amoral pada masyarakat bersamaan dengan berubahnya kondisi sosial di
Iran di periode berikutnya.
Chesme, karya Bahram Beizai, adalah film pertama yang diadaptasi dari
judul drama dalam teater. Namun nuansa yang kental teatrikal, tidak mampu
menarik minat konsumen film untuk menontonnya. Masih dari sutradara yang
sama, Ragbar (The Downpour), juga diangkat dari cerita drama yang menawarkan
representasi baru dari kisah klasik mengenai kehidupan dan percintaan orang
biasa dalam konteks yang tidak biasa. Ragbar membawa pesan paling realistis dan
penting sepanjang sejarah perfilman Iran dalam menilai perempuan, mengenai
kisah pertemanan perempuan-perempuan berbeda kelas dengan lelaki-lelaki
berpendidikan maupun yang tidak berpendidikan. Berkat kontribusi Ragbar dalam
menerjemahkan sisi lain perempuan sekaligus menciptakan estetika dalam sebuah
film sebenarnya, akhirnya membuahkan hasil maksimal berupa sukses box-office
dan memenangkan sejumlah penghargaan film.
Universitas Indonesia
Sukses Ragbar mengantar pada produksi film bertema sejenis. Gharibeh
va Meh (The Stranger and The Fog), Kalagh (The Crow), Cherikeh-ye Tara (The
Ballad of Tara), dan Marg-e Yazdgerd (Death of Yazdgerd), masih disutradarai
oleh Beizai, merupakan sejumlah film yang berdasarkan pada kehidupan
perempuan Iran dengan aspek kekuatan feminin dan maternalnya. Sayangnya,
film-film tersebut tidak sempat dirilis karena bersamaan dengan meletusnya
revolusi Islam sekaligus berbenturan dengan aturan tidak dibolehkannya
menampilkan sosok dan wajah perempuan ke dalam film.
2.3.2 Kondisi Perempuan Pada Masa Pemerintahan Shah
Kebijakan liberal Shah Reza berdampak besar bagi kelangsungan
kehidupan bermasyarakat dan bernegara di Iran. Shah melarang berdirinya
lembaga pendidikan agama. Untuk mencapai tujuan-tujuan nasionalisnya, ia
menyatakan perlunya pendidikan yang modern dan teknikal. Imbasnya, sekolah-
sekolah Islam, Kristen dan agama lainnya dibubarkan atas kebijakan Shah. Semua
rakyat Iran, baik pria dan wanita, diwajibkan belajar di sekolah-sekolah nasional.
Di akhir kepemimpinannya, hanya terdapat satu bentuk sekolah dasar dan sekolah
lanjutan yang tersisa, itupun sekolah sekuler yang menjadi milik negara.23
Kemudian dengan tetap dilanjutkannya oposisi terhadap kaum agamis,
Shah Reza melanjutkan perangnya terhadap cadar. Setelah tahun 1936, gedung-
gedung bioskop dan pemandian umum ditutup bagi setiap perempuan yang
bercadar. Peraturan juga melarang perempuan yang mengenakan hijab untuk
menaiki bus dan taksi. Polisi diperintahkan untuk menangkap para perempuan
yang tetap mengenakan hijab dan busana Muslim lainnya, jika perlu dilepas pada
saat itu juga. Sementara para perempuan elit kelas atas kegirangan dengan
diberlakukannya kebijakan liberal tersebut, mayoritas perempuan Iran yang
menolak pelarangan hijab lebih suka mengasingkan diri di rumah. Dengan tetap
mengabaikan apakah perempuan Iran menerima atau tidak ide modernisasinya
baik secara emosional maupun kultural, Shah mengeluarkan hak-hak
kewarganegaraan dan pendidikan tinggi untuk perempuan yang merupakan
setengah populasi penduduk Iran. Seperti biasa, maksud tersendiri Shah adalah
23 Mackey, Op.cit. hal. 179.
Universitas Indonesia
untuk membangun negara modern. Meskipun begitu, penduduk pria tetap
memiliki hak eksklusif untuk memilih dan terlibat dalam pemerintahan,
mengajukan cerai, dan memiliki hak pengasuhan anak, yang semuanya tidak
dimiliki perempuan.24
Baru pada tahun 1967, para perempuan Iran sedikit diuntungkan dengan
diberlakukannya Undang-Undang Perlindungan Keluarga dan Aksi perlindungan
Perempuan yang diusung para feminis Iran. Di bawah ketetapan ini, seorang
perempuan, dalam keadaan tertentu, dapat mengajukan cerai, menolak suaminya
berpoligami, menjamin kesetaraan hak waris, dan memenangkan hak asuh anak.
Undang-undang ini juga menghapus praktik-praktik Syiah terhadap perkawinan
Mut’ah dan melarang pernikahan perempuan di bawah umur, di usia 9 hingga 15.
Namun, usaha Shah atas kepentingan hak-hak perempuan ini tidak cukup besar
berhubungan dengan kebijakan modernisasi Shah, juga terhadap prinsip-prinsip
kesetaraan antara kaum perempuan dan laki-laki.25 Ironisnya, perempuan sendiri
terkadang melawan kebebasan mereka. Sebagai contoh, gaji yang diterima
perempuan pekerja di Iran tidak pernah mencapai level finansial yang cukup yang
dapat memerdekakan, memoderatkan, dan membuat mereka keluar dari desakan
keluarga patriarkal. Sebagai konsekuensinya, perempuan yang sebelumnya
dinyatakan sebagai tiang produksi dalam negeri yang sama seperti laki-laki, juga
dibutuhkan oleh keluarga sebagai fungsionaris tradisionil, yaitu ibu yang merawat
anak-anaknya dan ibu rumah tangga yang mengurusi hal-hal domestik pada
umumnya. Pada pertengahan tahun tujuh puluhan, ketika krisis ekonomi
bergejolak, para perempuan dari berbagai kelas mempertanyakan kegunaan
liberalisasi yang selama ini mereka kerahkan, yang kemudian mendorong mereka
untuk melirik usungan baru revolusi berbasis ideologi Islam yang dianggap dapat
lebih menjanjikan.26
2.3.3 Masa Pascarevolusi
Pada masa pemerintahan Shah Pahlevi, perempuan dalam film sering
digambarkan sebagai tokoh atau pemeran pendukung saja. Pada dasarnya, 24 Ibid. Hal. 182 25 Ibid. hal. 261 26 Ibid. Hal. 262
Universitas Indonesia
perempuan dimanfaatkan secara fisik sebagai penghias cerita. Maka aktris-aktris
yang bermain dalam film-film komersil secara tidak resmi diwajibkan untuk
berpenampilan menarik, menantang dan menyegarkan penonton, laiknya aktris-
aktris Hollywood atau Eropa. Setelah revolusi Islam bergulir, kendala untuk
merepresentasikan perempuan sesungguhnya terjadi lagi. Kali ini perempuan
dilarang mengumbar tubuhnya dengan mewajibkan penggunaan hijab bagi para
aktris yang terlibat dalam film. Di masa awal revolusi, keterlibatan perempuan
dalam produksi film malah pernah dilarang sepenuhnya.27
Periode perfilman Iran pada masa pascarevolusi Islam dibagi menjadi tiga
kategori: era pascarevolusi dan Perang Teluk (1979-1988), pasca-perang dan masa
rekonstruksi (1989-1996), dan era reformasi pada masa kepemimpinan Khatami
(1997-2005). Pertumbuhan partisipasi perempuan dalam perfilman Iran diukur
dari jumlah perempuan yang bekerja baik di belakang maupun di depan layar,
keragaman karakter dalam narasi, dan sukses secara box-office dari film-film yang
bertemakan atau diperanutamakan oleh perempuan. Perkembangan ini
menunjukkan bahwa perempuan Iran dapat melangkah lebih jauh dari area privasi
menuju lingkungan publik yang lebih besar. Bukan hanya dalam karakter film
yang bersifat fiksi, namun juga sebagai partisipasi mereka yang signifikan dalam
budaya perfilman praktis.28
Periode pascarevolusi yang terjadi pada tahun 1979 ditandai dengan masa
berakhirnya era monarki, kemudian setahun sesudahnya Perang Teluk meletus
yang berakhir di tahun 1988, dan kematian Ayatollah Khomeini di tahun 1989.
Pada tahun-tahun pertama revolusi dan selama perang berlangsung, bermunculan
sejumlah opini politis dari orang-orang yang dianggap sebagai perlawanan
terhadap penguasa Republik Islam. Mereka yang dianggap mengadakan
konspirasi anti-revolusi dihabisi dengan dieksekusi mati atau digulingkan ke
penjara.
Film, tidak luput dari pemberantasan ideologikal tersebut. Dari 2208 film
yang akan dirilis antara tahun 1979 hingga 1982, setelah dikaji ulang oleh
27 Sadr.Op.cit. hal.166 28 Naficy, Op.cit. hal. 28
Universitas Indonesia
pemerintah, hanya 252 film saja yang mendapat izin layak putar.29 Lebih lanjut,
bukan hanya telah dipolitisasi, alasan pembenaran moral dilakukan oleh
pemerintah atas representasi perempuan dalam film yang mereka anggap tidak
pantas. Di bawah peraturan hukum Islam yang berlaku, penampilan terbuka aktris
yang berakting dalam film sangat dilarang, berlaku sama seperti interaksi antara
perempuan dengan lelaki yang bukan mahramnya. Agar tetap berada dalam
koridor aman Islam, Menteri Budaya dan Pedoman Islam pada masa
kepemimpinan Khomeini hampir menyensor habis setiap penampilan perempuan
yang ada dalam film. Film-film karya Bahram Baizai dan Dariush Mehrju’i, yang
kebanyakan bertema perempuan atau kuat karakter perempuannya, sepenuhnya
dilarang beredar di seluruh negeri.30
Di akhir tahun 1982, sejumlah film yang mengetengahkan tema perang
bermunculan. Bersama dengan munculnya film-film dengan plot thriller ini
membuktikan bahwa produksi film-film bertema serupa tidak hanya
menguntungkan secara komersil, namun juga bermanfaat sebagai mesin
propaganda. Imbasnya, pemerintah mendukung produksi internal film dengan
menaikkan pajak penghasilan film-film import dan mengadakan pemotongan
pajak dan asuransi untuk produksi film dalam negeri. Produksi film yang secara
cepat naik di pertengahan tahun 1984 merupakan refleksi dukungan dan sokongan
pemerintah kepada industri film domestik.31
Gambar 2.1: Grafik Film yang Diproduksi
29 Ibid. hal. 33 30 Cherikeh-ye Tara (1979) dan Marg-e Yazdgerd (1980) dilarang beredar. Keduanya disutradarai oleh Bahram Baizai. Kemudian film-film Dariush Mehrjui sering menjadi representasi simbolik atas kekacauan yang terjadi dalam masyarakat Iran. 31 Naficy, Op.cit. hal. 39-40
Universitas Indonesia
Dalam masyarakat yang memisahkan perempuan dengan peran profesional
mereka di dalam mayarakat itu sendiri, tidaklah diperlukan sebuah proyeksi citra
dari seorang perempuan, kecuali jika peran perempuan itu hanya sebatas peran
kedua, sebagai pendukung cerita atau peran pembantu. Misalnya, perempuan yang
berperan sebagai ibu yang bijak dan tidak banyak dialog, peran sebagai istri
penurut, atau hanya penduduk biasa. Bahkan dalam memerankan karakter ibu,
saudara perempuan, atau istri, aktris-aktris tersebut tidak dibenarkan untuk
memerankan tokoh yang sebagaimana mestinya. Sama tidak realistisnya (antara
fiksi dengan kehidupan nyata) dengan peran aktor dalam memerankan karakter
suami, adik dan anak laki-laki, yang sejatinya bukan mahram mereka. Kemudian
karakter seorang istri, tubuh sang aktris harus sepenuhnya tertutup dari kepala
hingga kaki, walaupun dalam plot ada interaksi dengan karakter si suami.
Ironisnya, pemerintah pun melarang kontak apapun antara aktor dengan aktris.
Karena satu ‘pandangan’ saja antara aktor dan aktris dilarang, maka sebuah film
romantis yang pertama kali dibuat di masa revolusi, Golhaye Davoudi (1984)
karya Rasoul Sadr Ameli, menggambarkan kisah cinta antara dua orang buta.
Walaupun industri perfilman yang disokong oleh pemerintah sengaja
diproduksi sebagai media propaganda, prospek komersial film-film tersebut
mendorong dibukanya kembali lapangan akting untuk aktor perempuan.
Sebelumnya karena peran yang mereka mainkan bukanlah peran yang ‘Islamis’,
kebanyakan dari mereka meninggalkan Iran karena dilarang bekerja atau terlibat
dalam aktifitas perfilman apapun saat revolusi berlangsung. Bahkan proses
pembersihan lembaga pemerintahan (paksazi) dari karyawan, guru, dokter,
pengacara, insinyur, akuntan, dan manajer yang kebanyakan adalah perempuan,
yang dianggap tidak memenuhi syarat pembentukan pemerintah Islam yang ideal,
telah membuat republik baru ini kehilangan banyak ahli yang banyak berjasa bagi
negara. Bagi para aktris, mereka yang telah mendukung liberalisasi sinema pada
masa Shah, dianggap sebagai anti-revolusioner. Bagaimanapun, ketika mengingat
pengalaman para aktris tersebut dan jasanya pada negara dahulu, baik secara
komersial maupun secara ideologikal, industri baru perfliman di masa Republik
Islam ini tidak punya pilihan lain selain mengizinkan para aktris tersebut untuk
kembali berkontribusi didalamnya.
Universitas Indonesia
Ketika perang berakhir di tahun 1988, dan dengan meninggalnya
Ayatollah Khomeini di tahun 1989, serta dimulainya kepemimpinan presiden Ali-
Akbar Hashemi, perfilman Iran menjadi saksi bukan hanya atas meningkatnya
jumlah perempuan yang ditampilkan dalam layar perak, namun juga mencatat
pertumbuhan aktor perempuan yang menjadi pemeran utama dalam sejumlah film.
Berakhirnya perang bukan hanya menandakan meningkatnya representasi
perempuan dalam film, tetapi juga menjadi ladang baru bagi sutradara perempuan
untuk berkreasi di belakang kamera. Di akhir dasawarsa 1980-an, Pouran
Derakhshandeh, Rakhsan Bani-Etemaad, dan Tahimeh Milani, mencetak sukses,
baik secara komersial maupun kritikal, sebagai sutradara perempuan yang mampu
menciptakan film-film yang mengekspresikan pandangan feminisnya untuk
melawan kultur patriarki Iran. Secara umum, film-film dari sutradara-sutradara
perempuan ini adalah gambaran nyata adanya aktris-aktris berkualitas yang
menjanjikan, kritis sosial feminis, mencatat sukses komersial, dan mendobrak
dominasi pria dalam ladang perfilman yang selama ini identik dengan dunia
maskulin.
Kesuksesan para sutradara perempuan ini merupakan imbas dari
terbungkamnya suara feminin dari perfilman Iran. Dengan pandangannya sendiri
atas permasalahan perempuan, mereka adalah resonansi komunitas sosial yang
selama ini absen di negara mereka sendiri. Keberhasilan komersial sebuah film
biasanya ditunjukkan dengan unsur hiburan (entertainment) dari film tersebut,
tingkat kontroversi film, atau kombinasi antara keduanya. Meskipun banyak juga
film yang tidak lolos sensor dari Kementerian Budaya dan Pedoman Islam, yaitu
film-film yang mengandung teks politik yang kuat atau subteks dari kritik sosial,
atau film-film yang mendorong batas tabu antara cinta dan seksualitas, tetap saja
film-film tersebut dapat menarik penonton dalam jumlah besar. Survey statistik
dan kepopuleran film-film yang memiliki peran utama wanita mengindikasikan
bahwa dengan mengkombinasikan romantisme dengan kritik feminis, dapat
menghasilkan sukses box-office. Apalagi memadukannya dengan unsur komedi
atau suspense yang menjamin langgengnya film tersebut di puncak box-office.
Memasuki periode 1990-an, film-film yang mengeksplorasi kisah cinta
dan hubungan lelaki dan perempuan biasanya tetap bersih dari unsur seksualitas.
Universitas Indonesia
Pada film yang lebih berbobot, cinta dilibatkan dalam pernyataan-pernyataan yang
lebih abstrak maupun yang nyata, seperti yang diperlihatkan dalam film Wedding
of The Blessed (1990, Makhmalbaf), Hamoun (1991, Mehrjui), dan The Actor
(1992, Makhmalbaf). Tetap dengan referensi literatur dan budaya Persia, mereka
mendefinisikan cinta secara mistik. Cinta dalam ketiga film tersebut ditunjukkan
sebagai simbiosis antara identitas filosofis dan logika intuitif dari sang pemeran
pria protagonis kepada perempuan yang dicintainya. Maka, makna cinta di ketiga
film tersebut digenderkan. Untuk pria, ini menunjukkan hasrat alami yang dapat
membuat pasangan bersatu. Dan hasrat yang hanya mereka ketahui itu
disampaikan melalui suatu abstraksi. Baik itu lewat kreatifitas (seperti dalam The
Actor), kepercayaan (sebagaimana dalam The Wedding of the Blessed) atau
melalui arti penting kehidupan (seperti dalam Hamoun). Bagi perempuan, di sisi
lain, cinta diterjemahkan melalui sesuatu yang sedikit gamblang, namun tetap
sukar dipahami. Cinta berbicara kepada pengorbanan, pertahanan, kecemburuan,
dan perlindungan.
Dengan kesuksesan tak terduga lewat Aroos (The Bride) karya Behrooz
Afkahmi di tahun 1992, dan kemunculan bintang muda sekaligus aktris atraktif
Niki Karimi, perfilman Iran menjadi lebih membumi dan lebih mendalami arti
cinta. Karena diizinkannya representasi interaksi dan atraksi yang manusiawi,
antara lelaki dan perempuan. Aroos bercerita tentang seorang pria muda yang
terpaksa menjalankan bisnis gelap untuk mengumpulkan cukup uang agar dapat
menikahi kekasihnya. Dalam perjalanan bulan madu bersama istrinya, ia tanpa
sengaja menabrak seorang penduduk desa. Karena ia menolak untuk membantu
korban tersebut, dan setelah melalui perdebatan panjang, sang istri
meninggalkannya. Terpengaruh oleh kebaikan istrinya dan takut karena ia dapat
menghancurkan pernikahannya, ia kembali dengan penuh penyesalan untuk
menghadapi konsekuensi perbuatannya dan untuk membayar kesalahannya.
Dengan penjualan lebih dari 1,3 juta tiket, Aroos bukan hanya melahirkan standar
baru dalam kesuksesan komersial, namun juga memasukkan feminitas sebagai
agent for change dari tindakan dan adat sosial.
Kemunculan Nargess (1993, Rakhsan Bani-Etemad), dengan beraninya
dapat melepaskan perfilman Iran ke dalam gambaran yang sebenarnya akan
Universitas Indonesia
seksualitas. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Hamid Dehbashi, Bani-Etemaad
merekonstruksi disposisi dan kealamiahan seksualitas. Perselingkuhan antara
pencuri muda, Adel, dengan kekasihnya yang lebih tua, Afagh, dinarasikan
dengan intensitas gairah kelam yang tinggi. Dan dengan satu hentakan, Bani-
Etemad menjawab penikmat film kedua generasi, kepada deseksualisasi
perempuan dalam perfilman Iran.32 Afagh (Farimah Farjami) dan Narges (Atefeh
Razavi) digambarkan sebagai karekter yang kuat membongkar patriarkikal
dimana terdapat peran gender dan hubungannya dengan kekuasaan. Alih-alih
mendapat sukses box-office, Nargess sukses sebagai film bertaraf festival, karena
memang Bani-Etemaad tidak bermaksud membuat film komersial.
Bagaimanapun, Nargess mendorong batas wacana seksual dengan langkah-
langkah dan batas-batas dan membuka pintu untuk gelombang film-film
berperspektif perempuan berikutnya di Iran di penghujung 1990-an.
Film-film tentang perempuan di periode 1990-an ditampilkan secara fatal,
walaupun karakter-karakter di dalamnya diperankan dengan kuat. Gambaran
budaya dan ketidaksamaan hukum terhadap perempuan, membawa permasalahan
ketidaksetaraan gender dari wacana sastra intelektual ke dalam forum budaya
populer seperti film, yang lebih mudah diterima. Representasi tetap perempuan di
dalam film-film yang dibuat selama masa pascaperang di era Hashemi (1988-
1996) perlahan mulai meningkat pada platform Khatami yang dibuat berdasarkan
perbaikan-perbaikan kultural. Di awal periode kedua kepemimpinannya (2000-
2001), reperesentasi perempuan dalam film melangkah menuju puncak sejarah
perfilman Iran. 33
32 Hamid Dehbashi, Close Up: Iranian Cinema, Past, Present, and the Future, (London:Verso, 2001) hal.228. 33 Op.cit.,www.iranactor.com (diakses terakhir pada tanggal 11 Maret 2009, pukul 17:38)
Universitas Indonesia
Gambar 2.2: Jumlah aktris yang tampil dalam berbagai peran dalam film. Dihitung dari
jumlah pemain wanita pada tiap film di tiap tahun produksi.34
Gambar 2.3: Pertumbuhan representasi perempuan dalam film. Berdasarkan rasio kalkulasi jumlah
total pemeran perempuan di semua film di tiap tahun produksi.35
Walaupun keterlibatan regulasi pemerintah yang berbelit-belit dan adanya
batasan kultural dan sosial, namun karakter-karakter perempuan dalam film-film
yang dibuat di masa reformasi tetap menghasilkan perbedaan signifikan dibanding
film-film pendahulunya. Di dalamnya, mereka memperlihatkan perlawanan
pragmatis dan konsisten menolak untuk menerima kondisi pengorbanan mereka.
Pemberontakan demikian yang melawan identitas yang sudah dikenal, melawan
seksualitas yang disangkal, menentang gerakan yang terkungkung, dan menentang
kreatifitas yang termarjinalkan, adalah tema umum utama dari perfilman periode
ketiga di masa Republik Islam.36 Data statistik dari pemeran dan sukses komersial
memberikan kesan bahwa perfilman di masa ini telah berani mengetengahkan dan
mengutamakan isu-isu perempuan. Dari grafik 2.3 menunjukkan selama
pertengahan pertama kepemimpinan Khatami pada masa reformasi, kehadiran
perempuan dalam film tumbuh hampir tiga kali lipat.
Salah satu karya terbesar di masa ini adalah Red (2000, Fereydoun
Jeyrani), dibintangi Hediyeh Teherani yang berperan sebagai seorang wanita yang
telah habis kesabarannya karena suaminya yang posesif dan takut tidak
mencintainya lagi. Ia kemudian meminta untuk bercerai pada suaminya. Karena
hukum dan pengadilan menolak gugatan cerainya, dan karena ancaman
pembunuhan atas anak perempuannya, dengan pengorbanan secara fisik, 34 Iranian Actor Database, www.iranactor.com (diakses terakhir 11 Maret 2009, pukul 17:38) 35 Ibid. 36 Dehbashi, Op.cit. hal. 214
Universitas Indonesia
psikologis dan hukum, ia melawan balik. Dalam Tootia (2000, Iraj Ghaderi),
seorang perempuan yang aktif dan cerdas juga diceritakan hampir menggugat
cerai suaminya. Namun pilihannya untuk kembali pada pernikahannya tidak
diputuskan berdasarkan ekspektasi tradisionil akan perannya sebagai perempuan,
tetapi berdasarkan pilihan maternalnya, ketika datang ancaman yang dapat
membahayakan nyawa anaknya. Jika tokoh perempuan dalam Red dianggap
memberontak melawan tirani domestik patriarki, karakter Mozdeh Shamsai dalam
Sag Koshi (Dog Killing, 2002, Bahram Baizai), diceritakan mengambil
perlawanan terhadap korupsi sosial masyarakat patriarki.37
Bukan hanya karakter-karakter ibu dan istri yang bermain dalam
gelombang baru sinema feminis Iran, yang mengangkat suara mereka atas
ketidaksepakatan aturan patriarki, namun juga karakter-karakter perempuan muda
yang mempertanyakan pembatasan tradisionil atas ekspresi keidentitasan mereka.
Dalam Dokhtari Ba Kafhshaye Katani (A Girl in Sneakers, 2000, Rasoul Sadr-
Ameli), karakter gadis tomboy mulai dipertunjukkan. Tokoh Tadayee yang
dimainkan oleh Pegaah Ahangarani, dikisahkan tertangkap basah bersama
pacarnya di taman. Karena berpacaran dianggap ilegal dan menentang aturan
Islam, keluarganya memastikan keperawanannya lewat pemeriksaan medis. Ia
kemudian kabur dari rumah dan memulai perjalannya dan menyaksikan
kebrutalan dan terganggunya subkultur perkotaan dan pulang ke rumahnya dengan
perspektif baru tentang tempatnya di masyarakat dan relasinya dengan lelaki.
Dalam In Deep Breath (2003, Parviz Shahbazi), Aida (Maryam Palizban)
mempertanyakan identitasnya yang disikapi selama masa-masa terakhir
pelariannya sebagai seorang gadis yang di luar konvensional. Ia ikut serta pergi
mengembara bersama dua lelaki muda kaya untuk lari dari kebosanan. Karakter
Aida menjadi labuhan atas tujuan dan aspirasi hidup mereka.38
Kisah tabu lainnya tentang virginitas, misalnya kehamilan di luar ikatan
perkawinan, yang dapat menarik atensi publik terjadi dalam film Shukaran (2001,
Behrooz Afkhami), I’m Taraneh, 15 (2003, Rasoul Sadr-Ameli), dan Khakestari
(2003, Mehrad Mir-Fallah). Dalam Shukaran, Hedyeh Teherani berperan sebagai
37 www.offscreen.com/biblio/essay/women_of_iran/ (diakses terakhir pada 24 Maret 2009 pukul 17:44) 38 Ibid.
Universitas Indonesia
Sima, perawat yang menjalin affair dengan lelaki kaya yang sudah menikah.
Ketika ia mengandung, lelaki tersebut berusaha untuk mengakhiri hubungannya
dengan mencari alamat ayah Sima yang seorang pecandu. Ia menuduh Sima
sebagai pelacur, dan menolak untuk bertanggungjawab atas kehamilannya dan
menuduhnya berusaha untuk memerasnya demi mencarikan uang untuk ayahnya
yang pecandu. Meskipun ending film ini berakhir dengan kematian Sima akibat
kecelakaan mobil, Shukaran tidak memberikan pandangan negatif atas karakter
Sima yang eksentrik. Terlebih, ia dipresentasikan sebagai perempuan cerdas dan
karakter yang simpatik yang menjadi korban dari ambisinya. Secara kontras, I’m
Taraneh, 15 dan Khakestari berkisah tentang para gadis muda yang tergoda
rayuan teman lelaki sebayanya, yang menghamilinya kemudian melarikan diri.
Mereka adalah gadis-gadis yang harus menghadapi akibat dari perbuatan skandal
mereka, dan harus memikul banyak kesalahan, penghinaan, dan diskriminasi dari
keluarga dan masyarakat. Namun demikian, ketika diberikan kesempatan untuk
menikahi ayah yang akan menjadi anak-anaknya, mereka menolak untuk terlibat
dalam pernikahan tanpa cinta dan memilih untuk hidup independen dari lelaki-
lelaki yang telah meninggalkan mereka dalam situasi yang paling keras.39
Jika dipikirkan bahwa pernyataan kebebasan dari kelaliman suami seperti
dalam Red, kelaliman sosial dalam Sag Koshi dan tirani intelektual dalam Tootia,
memberikan film-film dramatik ini pada happy ending pada mereka.
Bagaimanapun, kejamnya kenyataan hidup dari perempuan pemberontak, ibu
muda yang single, atau gadis pengembara, adalah jauh berbeda dari gambaran
kuat dalam karakter Taraneh, Tadayee, dan Aida. Meskipun begitu, apakah ia
terlalu banyak bahasa gaya (seperti dalam Sag Koshi dan Red) atau terbentuk
senyata mungkin (seperti dalam I’m Taraneh, 15 dan Deep Breath), alur-alur
dalam cerita diatas membuat contoh intersubyektif atas identifikasi diri para
remaja yang mengamatinya dalam refleksi sebuah film. Dalam kata lain,
emansipasi yang dinarasikan dengan perbuatan-perbuatan para karakter di atas
dapat mengejutkan dan membawa penonton untuk mengklaim satu identitas baru
bagi perempuan.
39 Iran movie database www.iranactor.com (diakses terakhir pada tanggal 24 Maret 2009 pukul 17:46)
Universitas Indonesia
Seperti sudah dijelaskan sebelumnya bahwa pada dalam film-film yang
dibuat di tahun-tahun pertama revolusi, kebebasan dan pergerakan fisik
perempuan dalam film sesedikit mungkin ditampilkan. Ketika sutradara Bahram
Baizai mempertontonkan kemungkinan mobilitas perempuan yang lebih banyak
dalam film-filmnya, teritorialisasi feminitas belakangan ini mulai terfasilitasi
melalui properti yang nyata. Mobil, telah menjadi kendaraan penting untuk
memperlihatkan kehadiran perempuan dalam lingkungan publik. Dalam banyak
drama keluarga akhir-akhir ini, mobil menjadi unsur penting yang memberikan
gagasan romantis selayaknya cincin berlian dalam drama-drama Hollywood.
Misalnya dalam Red (Fereydon Jeyrani), suami yang posesif dan paranoid
(Mohamad Reza Forutan) dapat meyakinkan istrinya (Heydeh Teherani) untuk
mengakhiri keributan antara mereka dengan membelikan mobil baru yang mahal
untuk membuktikan bahwa ia tidak menentang partisipasi istrinya di kegiatan
sosial, meskipun ia tetap menentang istrinya untuk bekerja sebagai perawat.
Mobil juga dijadikan sebagai instrumen atas pemberontakan. Sebagai
contoh, Tahmineh Milani seringkali mempergunakan mobil dalam filmnya
sebagai simbol kebebasan perempuan. dalam Two Women (1999, Tahmineh
Milani) Fereshteh (Niki Karimi), yang berasal dari keluarga relijius dan
tradisionil, mengejutkan temannya Roya (Marila Zare’i) dengan kemampuannya
mengendarai mobil ketika mereka melarikan diri dari penguntit berbahaya. Dalam
Fifth Reaction (2003, Milani) Fareshteh (Niki Karimi), janda yang baru saja
bercerai, ‘mencuri’ kembali anak-anaknya dari rumah mertuanya, dan dengan
mobil sahabatnya Taraneh (Marila Zare’i), mereka melalui berbagai aksi bersama
membawa anak-anak Fareshteh kembali.
Selain menjadi media ekspresi perempuan secara fisik, mobil juga
dijadikan tempat pertemuan paling aman, sebuah lokasi yang privat untuk
berkenalan dengan dunia di luar batas rumah, kelas, tradisi, atau bahkan hukum
sekalipun. Melalui film 10 (2002) Abbas Kiarostami, menjadi pioneer
penggunaan adegan tetap dalam mobil sebagai sarana perbincangan dan
wawancara serta memanfaatkan pembangunan karakter melaluinya. Ia
menciptakan kasus terumit dari seorang perempuan Iran modern dan paling bebas
bergerak. Kiarostami menciptakan karakter pengemudi perempuan yang melewati
Universitas Indonesia
kompleksitas masyarakat dan menjadi akrab dengan paradoks-paradoks dari
lingkungannya. Hanya di dalam mobilnya lah, seorang supir taksi perempuan
mendapatkan kesempatan untuk berbagi cerita tentang cinta, kehilangan, seks,
hasrat, dan kepercayaan dengan karakter-karakter yang tidak biasa seperti pelacur
dan peziarah makam.
Sebuah ikhtisar dari perfilman populer Iran selama 10 tahun terakhir
menunjukkan bahwa representasi konflik berbasis gender dalam film telah
mendorong industri perfilman Iran selanjutnya kepada sebuah pernyataan besar
dari kehidupan perempuan Iran karena sikap pembuat film terhadap perempuan
telah menjadi satu kriteria mutakhir untuk mengevaluasi sebuah karya
sinematografi.40 Para sutradara film sendiri semakin sadar akan reaksi dan kritik
atas gambaran perempuan yang tidak realistis dan telah disimpangkan sebagai
karakter yang penuh belas kasihan, angkuh dan terobsesi. Jadi meskipun suatu
film hanya memfokuskan pada satu aspek, dapat penuh akan bias dan prasangka
yang dapat mengurangi nilai artistik kritisisme. Citra perempuan yang
digambarkan lewat proyeksi di masa kini dapat dibenarkan dengan banyaknya
catatan ketidakadilan yang telah diperlakukan terhadap perempuan di masa lalu.41
3.2.4 Kondisi Perempuan Iran di Bawah Pemerintahan Republik Islam
Pada masa awal revolusi (1979-1989), Iran hidup sebagai negara neo-
Syiah usungan Ayatollah Rohulla Khomeini, sebuah Republik Islam yang prinsip
bernegaranya diatur oleh konstitusi berbasis agama dan pemerintahannya terdiri
dari pimpinan ulama yang melaksanakan otoritas sebagai elit politik. Dalam terma
kultur Iran, teokrasi berusaha untuk membersihkan negara dan masyarakat dari
kebobrokan pemerintah terdahulu. Representasi Velayat-e Faqih oleh Khomeini
adalah percobaan paling tegas dalam sejarah Iran untuk mempersoalkan aspek-
aspek budaya, sosial, ekonomi, dan politik dalam masyarakat kepada gagasan
transendental “pemerintahan tuhan”. Dalam fungsinya, inilah pemerintahan
40 Shahla Lahiji, “Chaste Dolls and Unchaste Dolls: Women in Iranian Cinema since 1979,” dalam R.Tapper (ed.) The New Iranian Cinema, (London: IB Tauris, 2002) hal. 215 41 Ibid. hal. 216
Universitas Indonesia
dengan kader para ulama yang memanipulasi perintah-perintah atas hierarki dan
otoritas dalam sistem yang didominasi para penguasa.42
Dalam euforia revolusi 1979, Islam dianggap sebagai tema besar yang
dapat mempersatukan Iran pascarevolusi. Sementara Shah Pahlevi mengusahakan
berdirinya Iran sebagai negara yang mengusung nilai-nilai budaya Persia pra-
Islam, Khomeini beserta jajarannya mencoba untuk mengkarakterisasi Iran hanya
dalam budaya Islam. Dengan adanya nilai-nilai Islam dalam konstitusi negara
teokrasi, nilai-nilai tersebut meliputi seluruh kehidupan berkeluarga,
bermasyarakat dan bernegara di Iran. Melalui hukum dan intimidasi, peraturan
pemakaian hijab diwajibkan bagi semua perempuan, baik Muslim maupun non-
Muslim. Peraturan ketat tentang segregasi menurut jenis kelamin juga
diberlakukan di lingkungan sekolah, pantai, taman, kendaraan umum, dan tempat
publik lainnya. Untuk menjamin dilaksanakannya peraturan ini, sejumlah polisi
moral Iran yang bertugas menjaga nilai-nilai Islam di masyarakat diturunkan dan
diizinkan untuk berpatroli di lingkungan masyarakat.43
Khomeini juga melakukan penghapusan Aksi Perlindungan Perempuan
(FPA) yang tercantum dalam undang-undang perlindungan keluarga tahun 1967.
Khomeini menganggap undang-undang ini sebagai permainan pihak asing dan
pemerintah untuk mengubah firman Tuhan yang jelas. Salah satu program FPA
ditentang keras oleh para ulama pada waktu itu berkaitan dengan perceraian dan
pengasuhan anak. Walaupun mendapatkan dukungan dari Asosiasi Pengacara
Perempuan, FPA tidak menghapus bagian paling diskriminatif dari hukum Perdata
yang diambil langsung dari syariah, misalnya: pelarangan poligami dan nikah
mut’ah; tidak memberikan hak-hak setara bagi perempuan dalam perceraian,
pengasuhan dan perwalian anak; tidak juga ia menjamin kesetaraan hak bagi
perempuan dalam hak waris atau hak-hak mereka untuk bekerja di luar rumah,
tindakan-tindakan yang seolah-olah menentang syariah ada di seputar isu-isu
tentang status personal perempuan yang paling penting.44 Pembubaran FPA
berdampak negatif bagi perempuan, khususnya kelas bawah.
42 Mackey, Op.Cit.hal. 275-276 43 Ibid. hal. 335 44 Haideh Moghissi. Feminisme dan Fundamentalisme Islam. (Yogyakarta: LKiS. 2005) hal. 142
Universitas Indonesia
Di Iran, kebijakan-kebijakan dan praktik-praktik kelompok Islamis
dimaksudkan untuk mengkonter gagasan-gagasan feminis dan membungkam para
aktivis yang memperjuangkan demokrasi gender, melewati batasan-batasan
hukum Islam dan politik Islam. Maksud represifnya sangat jelas sekali. Tetapi,
bagi negara-negara lainnya di Timur Tengah dan Afrika Utara, Iran tampaknya
memberikan harapan bagi sebuah masyarakat yang didasarkan pada prinsip-
prinsip moral dan etis Semenanjung Arabia pada abad ke-7.45 Iran
memperkenalkan pemerintahan fundamentalis Islam pertama yang berkuasa
melalui sebuah gerakan revolusioner yang mendapatkan dukungan massa. Di
samping itu, dengan berkecamuknya perang sipil serta konflik politik dan militer
di Afghanistan dan Sudan, Iran sebaliknya telah menjadi model utama bagi
sebuah pemerintahan Islam ‘yang berhasil’.
Manipulasi para Islamis terhadap isu-isu gender dan konsep-konsep
feminis telah menyebabkan kebingungan bagi banyak para intelektual sekuler,
termasuk para feminis Islam sebagai agenda mereka, sebagian menerimanya
dengan antusias, tidak sedikit pula yang dengan tegas menolaknya. Ketika ini
terjadi, perdebatan tentang isu-isu ini di kalangan feminis sekuler Iran menjadi
lebih marak dan hidup dibandingkan di kalangan feminis Timur Tengah lainnya.
Tetapi, relevansi persoalan ini tidak hanya terbatas di Iran. Perdebatan ini
menempatkan perjuangan ideologis pada landasan di mana kerangka rujukan
dasarnya telah ditentukan oleh kelompok fundamentalis; sebuah wilayah yang
bertolak belakang dengan kebutuhan, kepentingan, dan ungkapan para akademisi,
peneliti dan aktivis feminis sekuler, baik di dalam atau di luar masyarakat Islam.46
Di Iran sendiri, emansipasi terhadap perempuan sering diasosiasikan
dengan Barat. Perempuan Iran modern yang telah terwesternisasi, biasanya
wanita-wanita kelas menengah atas, dianggap sudah teracuni oleh budaya Barat
(westoxificated), yang merusak identitas budaya bangsa Iran dan menyimpang
dari nilai-nilai Islam. Problematika seperti ini yang menyulitkan perempuan-
45 Ibid. hal.180 46 Ibid. hal.181
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
perempuan Iran untuk mengasumsikan identitas feminisnya atau bahkan untuk
mengkritisi budaya Islam secara praktis.47
Apakah itu feminis atau humanis, baik itu populer maupun repertoir, baik
itu sukses komersil atau sepenuhnya dilarang beredar, perfilman Iran telah
mencapai satu keberhasilan dalam menggunakan kesempatan dan mengambil
keuntungan dari pencarian paradoksikal Republik Islam menuju modernisme
Islam dan menjadi saluran berekspresi bagi generasi yang telah mengalami sebuah
revolusi, perang dan reformasi, yang terjadi di tiga dekade ini.48 Perfilman di Iran
ada di antara institusi yang terlelap yang dibangunkan oleh suara-suara dari
‘gender kedua’. Sekalipun begitu, di dalam kehampaan representasi keragaman
feminin, suara-suara sineas perempuan, baik itu yang bekerja di belakang maupun
di belakang kamera, telah menggemakan terus-menerus kepada publik yang
selama ini tertidur. Dari sini, kita melihat pada gambaran kemajuan yang telah
dibuat oleh perempuan perfilman Iran, dari kekalahan menuju kebangkitan
menuju revolusi. Perkembangan kemajuan ini memperlihatkan kesiapan para
penonton untuk sebuah perubahan. Kepada para sineas yang telah mengambil
resiko terus didorong untuk membuka imajinasi dan harapan penonton untuk
melewati tradisi-tradisi dan pantangan-pantangan.
Di bab selanjutnya, penelitian akan difokuskan kepada dua film Iran yang
paling merepresentasikan citra perempuan yang baru dalam perfilman Iran selama
ini. Perempuan yang sebelumnya digambarkan sebagai the second class person,
melalui film 10 dan Persepolis diharapkan mampu memperlihatkan keadaan
terbalik dengan memanfaatkan potensi dirinya di tengah keterkungkungan budaya
patriarki.
47 M. Tavakoli-Targhi ‘Women of the West Imagined: the Farangi Other and the emergence of the woman question in Iran’ dalam Nickie Charles dan Helen Hitjens (ed). Gender, Ethnicity, and Political Ideologies, (London: Routledge. 1998), hal. 96 48 Lahiji, Op.Cit. hal 217
BAB III
ANALISIS FILM 10 KARYA ABBAS KIAROSTAMI
DAN FILM PERSEPOLIS KARYA MARJANE SATRAPI
Untuk mengetahui citra perempuan yang terefleksikan dalam film 10 dan
film Persepolis, penulis merujuk pada pembangunan sebuah citra perempuan,
apakah tokoh perempuan dicitrakan sebagai obyek penderita atau perempuan
sebagai satu individu yang berkuasa yang dapat memanfaatkan potensi dirinya.
Dengan ini, penulis dapat mengetahui tokoh perempuan dalam kedua film
dikonstruksikan seperti apa.1 Terlepas dari kemampuan kedua sutradara
menerjemahkan citra perempuan dalam film-filmnya, penulis menggolongkan
sendiri gambaran yang penulis tangkap ketika menonton kedua film tersebut.
Naomi Wolf, seorang feminis yang mengemukakan bahwa perempuan
membutuhkan citra baru yang lebih kokoh untuk mengalahkan dominasi budaya
patriarki, menyatakan dua pendekatan feminisme, yaitu feminisme kekuasaan dan
feminisme korban. Pendapat Naomi Wolf tidak jauh berbeda dengan pandangan
feminisme Islam yang menginginkan semua perempuan berjuang untuk
menghentikan diskriminasi terhadap kaumnya. Namun feminisme Islam
memasukkan unsur agama dalam menentukan rambu-rambu bagi sikap dan
perilaku perempuan dan laki-laki. Bagi feminisme Islam, kesetaraan gender
tidaklah semata melihat dengan cara bahwa apa yang dilakukan pria juga bisa
dilakukan wanita, tetapi kesetaraan gender dikembalikan kepada nilai-nilai agama.
Pemikiran ini menganggap bahwa bila wanita dianggap berdosa, dianggap aib dan
tidak patut melakukan sesuatu, mengapa pria tidak dianggap berdosa dan boleh
melakukan hal yang berdosa bagi perempuan tersebut. Kalau perempuan tidak
boleh melakukan hal-hal tertentu, mengapa pria boleh melakukan atau sebaliknya.
1Kamla Bhasin dalam bukunya Menggugat Budaya Patriarki (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1996) hal.14, mengemukakan bahwa: “media adalah alat yang penting di tangan laki-laki untuk menyebarluaskan ideologi gender dan kelas. Dari film dan televisi sampai majalah, koran, radio, penggambaran perempuan sifatnya stereotipikal dan terdistorsi. Pesan-pesan mengenai superioritas laki-laki dan inferioritas perempuan sangat merajalela, khususnya dalam film. Bersama sektor-sektor lain, perempuan sangat ditonjolkan di media secara profesional dan bias-bias dalam pemberitaan, liputan, iklan, dan pesan-pesan masih sangat seksis.”
Universitas Indonesia
Jawaban yang kritis terhadap pertanyaan ini dikaitkan dengan ajaran agama dalam
kitab suci, bukan dari penafsiran patriarki terhadap kitab suci tersebut.
Berdasarkan pendapat Naomi Wolf, maka salah satu pendekatan
feminisme yang digunakan untuk menganalisis citra perempuan dalam penelitian
ini adalah pendekatan feminisme kekuasaan dan feminisme korban. Ia
menyatakan sebagai berikut:
Feminisme Korban melihat perempuan dalam peran sosial seksual yang murni dan mistis, dipandu oleh naluri untuk mengasuh dan memelihara, serta menekankan kejahatan-kejahatan yang telah terjadi atas perempuan-perempuan “mulia” ini, sebagai jalan menuntut hak-hak mereka. Yang kedua, Feminisme Kekuasaan, menganggap perempuan sebagai manusia biasa –yang seksual, individual, tak lebih baik dan tidak lebih buruk ketimbang laki-laki yang menjadi mitranya- dan mengklaim hak-haknya atas logika yang sederhana saja: Perempuan memang memiliki hak-hak itu.2
Wolf menyatakan perlunya membangun citra baru perempuan. Citra yang
akan mendorong perempuan ke arah aksi adalah citra yang agresif, keahlian dan
tantangan ketimbang pencitraan Feminis Korban. Pergeseran titik ini menuntut
perempuan agar memandang diri sebagai orang yang potensial bagi perubahan,
dengan banyak sumber daya, bukan lagi sebagai korban-korban. Dengan begitu
Wolf lebih menyarakankan pendekatan pada Feminisme Kekuasaan dengan
melakukan langkah-langkah praktis yang mempraktekkan toleransi, bukannya
pembenaran diri sendiri. Feminis Kekuasaan menurut Wolf:
“Menyemangati kita untuk mengidentifikasikan diri satu sama lain terutama melalui keperempuanan yang memiliki sisi kesenangan dan kekuatan yang digenggam bersama-sama, bukannya melalui kebersamaan menanggung derita serta kelemahan”.3
Dengan pendekatan Feminisme Kekuasaan yang digagas Wolf inilah
penelitian dilakukan atas kedua film. Karena kedua film dari Timur Tengah ini
bernuansa Islam dan berbudaya Muslim-Iran, maka pemikiran feminisme Islam
menjadi dasar pemikiran untuk memaknai film dalam penelitian ini.
Sebelumnya, selain karena ketiadaan subtitle dari bahasa Indonesia,
penulis mengutip dialog menggunakan bahasa Inggris, dan tidak
menerjemahkannya ke bahasa Indonesia, walaupun penulis menjelaskan kembali
2 Naomi Wolf, Gegar Gender (Yogyakarta: Pustaka Semesta Press. 1997) hal.xxv 3 Ibid. hal. 82
Universitas Indonesia
konteks dialog tersebut di dalam analisis. Bahasa Inggris lebih dipilih
dibandingkan dengan bahasa Indonesia, mengingat bahasa Inggris lebih jelas
mengungkapkan atau menunjuk kata orang ketiga tunggal. Pembicaraan mengenai
konteks sosial dan budaya dalam hal ini terbatas pada apa yang ditampilkan
melalui subtitle bahasa Inggris, sebagai teks terjemahan. Pengamatan atas teks-
teks terjemahan tidak akan berpengaruh pada teks asli. Pembahasan mengarah
kepada bagaimana gagasan feminisme Islam menghadapi dominasi budaya
patriarki yang muncul dalam film, terutama melalui peristiwa-peristiwa yang
ditampilkan dalam film dan dari dialog-dialog yang tercipta antara tokoh di
dalamnya.
3.1 Analisis Film 10
Sesuai judulnya, film karya Abbas Kiarostami 10 berisi sepuluh
perjalanan, sepuluh tujuan, sepuluh dialog, dan sepuluh situasi emosional yang
keseluruhan dilakukan di dalam mobil. Penggunaan mobil di dalam film
dilakukan untuk menghasilkan makna keintiman yang kuat dan diharapkan dapat
menampilkan realitas keseharian yang ditunjukkan tokoh-tokohnya. Demi
menghasilkan keintiman dan realitas tersebut maka Kiarostami menggunakan
teknik sinematografi yang sedikit ‘menyimpang’ dari film-film fiktif lain, ia
menggunakan digital-micro-cinema melalui kamera digital yang diletakkan di
dashboard mobil untuk menghasilkan efek dramatis. Secara otomatis, sutradara
tidak berperan serta dalam pengambilan gambar film, karena ketidakhadirannya di
belakang kamera tergantikan oleh teknik mise-en-scene atau pengambilan gambar
hanya dilakukan dua kali secara bergantian di waktu yang sama. Karena teknik
sinematografinya, film 10 sering disebut juga sebagai film dokumenter-drama.
3.1.1 Hijab, Tipikal Berbusana Perempuan Muslim-Iran
Ada kesamaan mendasar yang ditemui ketika membahas gambaran fisik
tokoh-tokoh perempuan baik di film 10 maupun Persepolis. Topik permasalahan
dalam kedua film ini adalah penggunaan hijab pada tiap tokoh perempuannya baik
pada pemeran utama maupun pemeran pendukung. Kecuali pada tokoh Amin,
yang merupakan satu-satunya tokoh pria, sutradara sengaja tidak memberikan
Universitas Indonesia
nama pada semua tokoh yang berperan dalam film 10. Dilihat dari tokoh
perempuan yang muncul secara berurutan, tokoh perempuan dalam film 10 yakni:
supir taksi (ST) yang merupakan tokoh utama; adik ST, selanjutnya akan diberi
keterangan sebagai Penumpang 1 (P1); peziarah tua atau Penumpang 2 (P2);
pelacur atau Penumpang 3 (P3); perempuan muda I atau Penumpang 4 (P4); dan
perempuan muda II atau Penumpang 5 (P5).
ST, tokoh protagonis dalam film ini, adalah seorang ibu berusia 30-an
yang bekerja sebagai supir taksi di Teheran. Kiarostami menggambarkan tokoh
ST sebagai perempuan urban kelas menengah yang atraktif. Penampilan fisiknya,
memberikan gambaran bahwa ia merupakan karakter yang bebas dengan
pemakaian kerudung yang tidak sepenuhnya menutupi rambut dan leher, pakaian
bermerek a la Eropa, serta kacamata hitam yang ia gunakan selagi menyusuri
jalanan Teheran. Dengan dalih kesopanan dan menaati peraturan tentang
penggunaan hijab, ST tetap menyematkan selembar selendang untuk menutupi
kepalanya. Cara berpakaiannya sedikit banyak menggambarkan kehidupan
perempuan Iran yang hidup dalam lingkungan masyarakat paradoksial antara
modernisasi dan teokrasi.
Tokoh perempuan lain adalah adik ST atau P1 yang muncul di menit ke-
18. Penampilannya memang tidak ‘seterbuka’ ST, dengan baju terusan lengan
panjangnya dan hijab yang menutupi dada. Namun selagi menunggu kakaknya
mengambil kue tart di toko, di mobil ia kerap kali membuka setengah
kerudungnya dan mengipas-ngipas sebagian lehernya sehingga dapat terlihat oleh
orang-orang yang berlalu lalang di sekitar jalan. Penampilan fisik ST dan P1 juga
dapat dibedakan menurut profesi dan aktivitas keseharian mereka berdua. P1
adalah seorang guru, yang diharuskan berpenampilan formal dan sopan sekaligus
juga seorang ibu beranak satu. Sedangkan ST adalah perempuan yang telah
bercerai dan dibebaskan oleh suami barunya untuk bekerja sebagai pengemudi
taksi. ST juga mempunyai seorang anak lelaki yang tinggal bersamanya. Cara
berpakaian ST terlihat lebih bebas dibandingkan P1 karena lingkungan keluarga
dan profesinya sendiri yang mengizinkan ia berekspresi lebih leluasa.
Tokoh perempuan selanjutnya adalah P2 yang merupakan peziarah
perempuan tua. Diceritakan peziarah tua ini menumpang mobil ST untuk
Universitas Indonesia
berziarah ke makam Imam Ali sekaligus menunjukkan kepadanya jalan pulang
saat ST tersesat setelah mengantarkan P1. P2 mengenakan hijab sebatas dada dan
membawa sejuntai tasbih, yang menurutnya merupakan hartanya yang paling
berharga. Walau hanya muncul dalam satu adegan, kesan yang ia timbulkan cukup
kuat sebagai perempuan tua yang relijius, rendah hati, dan bersahabat. Perlu
diketahui bahwa dalam adegan ini, angle kamera tidak mengambil penuh gambar
tokoh peziarah, kecuali saat pertama kali ia meminta tumpangan kepada ST dan
ketika ia turun dari mobil. Sehingga hanya suaranya saja yang terdengar, bukan
profil keseluruhan. Walaupun P2 hanya muncul pada awal dan akhir adegan,
namun penampilan fisiknya seketika berubah yang dapat dilihat dari pakaian yang
ia gunakan di awal dan akhir adegan. Di awal, ketika ia berbicara dengan ST
lewat jendela mobil, ia hanya menggunakan kerudung bermotif sebatas dada.
Namun ketika ia turun dari mobil, P2 sudah mengenakan cadar hitam panjang
beserta jubahnya sebatas mata kaki. Ia pun menawari ST untuk ikut berziarah,
namun ST menolak dengan dalih tidak membawa cadar, maka kita dapat
mengetahui bahwa pemakaian cadar diwajibkan bagi peziarah perempuan di Iran.
Gambar 3.1: Film 10, adegan 9 mnt. 00:12
Di adegan selanjutnya, ketika menyusuri Teheran di malam hari, ST
bertemu dengan tokoh perempuan lain yang bekerja sebagai seorang pelacur (P3).
Semula ia mengira ST adalah laki-laki, maka dengan segera ia menaiki mobil
setelah ST meminggirkan mobilnya untuk ia tumpangi. Hampir sama seperti P3,
di dalam film, P3 tidak digambarkan secara penuh fisiknya. Penonton tidak dapat
melihat wajahnya, profil pelacur ini ditampilkan belakangan di akhir adegan, itu
pun hanya melalui kaca spion mobil ST. Kecenderungan Kiarostami tidak
menampilkan profil utuh tokoh ini bisa jadi untuk menghindari penyuntingan dari
pemerintah Republik Islam. Namun ia pun menanggapi kebijakan pemerintah
melalui alur cerita yang menarik. Adegan terakhir menarik perhatian kita karena
Universitas Indonesia
tanpa diduga sepeninggalnya perempuan itu dari mobil ST, P3 pun berjalan
menuju persimpangan lampu merah dan menunggu ‘tumpangan’ dari mobil lain,
dan yang terlihat hanyalah profil P3 dari belakang dengan memakai kerudung,
pakaian dan celana panjang yang tergolong sopan dan rapih, serta memakai sepatu
berhak tinggi. Disini kita melihat bahwa di Teheran, seorang pelacur pun tetap
menggunakan hijab.
Pada adegan ke-7 (atau adegan ke-4 menurut hitungan mundur film 10),
ST bertemu dengan penumpang selanjutnya (P4). Peristiwa terjadi di mobil pada
malam yang sama ketika ST bertemu dengan P3, dan di hari yang sama saat ia
bertemu Amin, P1, dan P2. Tidak banyak yang dapat digambarkan lewat
perbincangan singkat mereka. P4 adalah seorang perempuan muda yang sedang
patah hati. Cara berpakaian P4 tidak tergambar karena peristiwa terjadi di malam
hari dengan tidak adanya efek pencahayaan yang cukup di film ini (yang sengaja
dilakukan oleh sutradara). Hanya cara P4 memakai hijab mencerminkan gaya
berpakaian remaja yang hanya mengikat kedua ujung kerudungnya ke bawah
dagu, namun hanya setengah bagian kepalanya saja yang terbungkus sehingga
sebagian rambut P4 terlihat.
Tokoh perempuan selanjutnya ialah seorang perempuan muda (P5) yang
baru pulang berziarah dari makam Imam dan menumpang mobil ST di hari
berikutnya. Jika pada adegan ke-3, tokoh P2 mengenakan cadar yang menutupi
kepala hingga kakinya, maka penumpang ST berikut ini hanya mengenakan
sehelai kerudung yang menempel di kepalanya. ST heran karena beberapa saat
sebelumnya ia tidak diperbolehkan masuk makam karena tidak menggunakan
cadar, namun P5 berkata bahwa ia berziarah dengan tetap menggunakan cadar
yang sekarang ia simpan di tasnya. ST pun paham dan berkata bahwa sebagian
situs makam meminjamkan cadar untuk perempuan yang tidak memakai cadar
atau yang tidak memakai hijab dengan sempurna.
Dari sini kita mengetahui sekali lagi seperti pada adegan P2 di awal film,
bahwa semua perempuan diwajibkan memakai cadar jika ingin berziarah dan
ternyata tidak semua perempuan di Iran menggunakan cadarnya setiap saat. Dua
tokoh perempuan dalam film ini hanya menggunakan cadarnya saat akan
memasuki makam dan sedang berziarah. Bahkan seorang perempuan tua yang
Universitas Indonesia
relijius sekalipun hanya mengenakannya sepanjang ia masih dalam area makam.
Di hari berikutnya, ST bertemu lagi dengan P5. Kali ini ia mengenakan
kerudungnya begitu ketat. Ketika ST menanyakan cara berkerudungnya, P5
kemudian melepaskan kerudungnya dan memperlihatkan kepalanya yang botak.
Ternyata ia mencukur habis rambutnya karena frustasi akibat ditinggal oleh
tunangannya. Di sisa adegan ini, ST terkesima dan menyuruhnya untuk
melepaskan saja kerudungnya karena menurutnya ia menjadi lebih cantik dengan
penampilan barunya.
Dari film 10, Kiarostami memperlihatkan kenyataan bahwa tidak semua
perempuan Iran merasa nyaman dengan mengenakan hijab. Apa yang mereka
kenakan seolah-olah semata hanya untuk menuruti kewajiban negara yang
mengatur mereka bagaimana cara berpakaian dan cara hidup yang beragama.
Seperti yang terjadi di belahan negara Muslim lainnya, kode berbusana
yang Islami dianjurkan bagi setiap perempuan, tak terkecuali Iran. Dalam kajian
yang mendalam, tampak bahwa justifikasi terhadap cadar atau praktik Islami
lainnya, selain wujud radikal mereka, secara faktual tidak benar dan secara politik
sengat konservatif. Bahkan, banyak tulisan-tulisan tentang perempuan dan Islam
membahas prakti-praktik tertentu tanpa sama sekali mengaitkannya dengan
fundamentalisme Islam, salah satu tantangan ideologis, politis dan filosofis terkuat
saat ini bagi feminisme dan konsep feminis adalah tentang otonomi individual dan
hak perempuan untuk memilih.4
Haideh Moghissi mengemukakan alasan perempuan memilih hijab (cadar).
Menurutnya, dalam tulisan-tulisan yang memandang cadar sebagai sarana
pemberdayaan, unsur pilihan itu diambil secara taken for granted, sementara
unsur paksaan, baik dalam bentuk kekerasan atau intimidasi, atau tekanan sosial,
kultural dan politik, seringkali diabaikan sama sekali. Unsur paksaan inilah yang
paling dominan.5
Di Aljazair, pilihan perempuan adalah antara menggunakan cadar atau
mati. Di Sudan, setelah kejatuhan Numeiri tahun 1989, penerapan undang-undang
pakaian Islami menjadi salah satu tindakan revolusioner pertama yang diambil
4 Haideh Moghissi. Feminisme dan Fundamentalisme Islam. (Yogyakarta: LKiS. 2005) hal.65 5 Ibid. hal.59
Universitas Indonesia
oleh junta militer fundamentalis. Perempuan-perempuan karir di Sudan diusik dan
dipersoalkan oleh rezim penguasa dan orang-orang yang mengangkat dirinya
sendiri sebagai ‘para penjaga moral’ berkenaan dengan keberadaan mereka di
muka umum serta hubungan mereka dengan rekan laki-laki di perusahaan mereka.
Sementara kelompok fundamentalis lain masih terus berjuang, kita melihat bentuk
kekerasan lain dalam penerapan cadar. Di Tepi Barat dan Jalur Gaza, usaha-usaha
yang dilakukan oleh Hamas untuk memaksa perempuan mengenakan kerudung
dilakukan melalui intimidasi dan ancaman, jika kedapatan perempuan tidak
memakai kerudung, lalu dianggap sebagai sekutu Israel. Di Irak merdeka, atau
Kurdistan, dua faksi suku Kurdi yang saling bermusuhan, untuk memenuhi
tuntutan Republik Islam Iran, keduanya berusaha mewajibkan cadar terhadap
perempuan Kurdi dengan undang-undang. Di Jordan, di mana praktik-praktik
Islami masih sedang diperdebatkan, kampanye untuk merubah penampilan
perempuan dilakukan melalui pendekatan penarik dan pemukul.6 Sejumlah
perempuan Jordan kemungkinan terpengaruh oleh argumen-argumen kelompok
fundamentalis dan telah mengadopsi cadar, baik karena alasan politis maupun
spiritual. Di Mesir, cadar yang telah diperbaharui dikaitkan dengan kegagalan
modernisasi kapitalis selama satu abad dalam mengupayakan perbaikan nyata
dalam kehidupan perempuan dan untuk mengubah nilai-nilai dan praktik-praktik
patriarkal relijius. Setelah seabad modernisasi yang dicanangkan oleh Barat,
orang-orang tetap hanya memiliki pilihan antara keamanan serta perlindungan
besar-besaran ekonomi pasar yang korup dan kacau. Dengan kata lain,
modernisasi gaya Dunia Ketigalah yang telah menentukan pilihan perempuan,
bukan daya tarik spiritual dan ideologis Islam dan cadar.7
Sebagaimana kita ketahui bahwa Iran merupakan negara penganut Islam
Syiah terbesar di dunia. Kebijakan penggunaan hijab bagi perempuan Iran telah
menjadi kewajiban semenjak pemerintahan Republik Islam mulai bergulir di
tahun 1979. Jika perempuan Iran diharuskan memakai cadar, maka ia harus
mengenakan pakaian yang panjang dan longgar untuk menutupi kepala dan ambin
yang memotong bagian tubuh atas, atau paling tidak selendang yang dipakai untuk
6 Ibid. hal.60 7 Ibid.hal.61
Universitas Indonesia
menutupi kepala.8 Kebijakan pemimpin spiritual Iran Ayatollah Rohullah
Khomeini sejak masa revolusi Islam dahulu memang mewajibkan perempuan Iran
menggunakan hijab walaupun tidak mengharuskan mereka memakai cadar.
Menurut Khomeini, perempuan berhak menentukan bagaimana cara berpakaian
selama itu sopan dan harus tetap mengenakan hijab.9 Semua itu berdasarkan
dengan prinsip hukum syariah yang berlaku di Iran. Penggunaan hijab, yang
masih berlangsung hingga kini, menurut Khomeini adalah peraturan yang telah
ditentukan oleh hukum Islam yang dimaksudkan untuk melindungi status
perempuan.10 Lebih jauh lagi, kebijakan ini dimaksudkan untuk menjaga nilai-
nilai perempuan Iran dari pihak imperialis yang merusak moral bangsa. Seperti
yang telah ditunjukkan pada masa Shah Reza dahulu.11 Menurutnya, penampilan
perempuan Iran dahulu adalah bentuk pemihakan pada budaya Barat
(gharbzadeh). Perempuan gharbzadeh yakni mereka yang diidentifikasikan
sebagai perempuan yang penuh make-up, memakai rok mini, memakai celana
terlalu ketat, memakai pakaian terlalu pendek, terlalu jauh dalam berhubungan
dengan pria, dan merokok di depan publik, atau dahulu lebih dikenal sebagai ‘the
painted dolls of the Pahlevi’.12 Pandangan menarik mengenai gharbzadeh
sebenarnya adalah bahwa pandangan ini merupakan kritik “tradisional” terhadap
modernitas yang kemudian menciptakan sebuah agenda untuk kembali kepada
tradisi-tradisi dan cara hidup yang Islami.13
Menurut Qasim Amin, pemakaian cadar tidak lebih dari sekedar tradisi.
Cadar merupakan suatu tradisi yang lahir dari interaksi pergaulan antar bangsa,
yang dinilai baik dan lalu dilabeli sebagai pakaian yang Islami. Ia berargumen
bahwa cadar sesungguhnya telah hadir dalam masyarakat Yunani Kuno, dan
8 Asghar Ali Engineer. Pembebasan Perempuan. (Yogyakarta: LKiS, 2003). hal. 83 9 Juliana Shaw dan Behrooz Arezoo. (trans.) The Position of Women from the Viewpoint of Imam Khomeini. (Teheran: The Institute for Compilation and Publication of Imam Khomeini’s Works. 2001) hal. 53-54 10 Ibid. 11 Shah Reza pernah melarang penggunaan hijab bagi perempuan-perempuan Iran. Menurutnya, jika ingin menjadikan Iran sebuah negara modern, maka diharuskan untuk mengeliminir segala hal yang dianggap sebagai citra keterbelakangan, seperti pemakaian hijab bagi perempuan. 12 Afsaneh Najmabadi, “Hazards of Modernity and Morality: Women, State and Ideologi in Contemporary Iran” dalam Daniz Kandiyoti (ed.). Women, Islam, & the State. (London: Macmillan Press Ltd. 1991) hal. 65 13 Ali Mirsepassi, Intellectual Discourse and the Politics of Modernization: Negotiating Modernity of Iran. (Cambridge Univ.Press. 2000) hal. 78
Universitas Indonesia
karenanya bukanlah suatu ciri khas Islami tetapi suatu tradisi yang dikenal luas di
setiap bangsa, bahkan di Spanyol dan Amerika sekalipun.14 Walaupun terdapat
perbedaan kerangka berpikir di antara Amin dan aktivis feminis kontemporer
karena kritik-kritik yang diusung Amin terdengar cukup konvensional di masa
sekarang, namun jasa Amin yang sangat besar memberikan pengaruh bagi gerakan
feminisme Islam dan memberikan resonansi di berbagai belahan dunia Islam,
keberaniannya melawan arus dan menggugat struktur dan sistem sosial yang
sudah mapan selama berabad-abad. Salah satunya, mengenai perempuan dan
tradisi hijab. Apa yang dimaksud Amin dengan tradisi hijab di Mesir saat itu
adalah pemakaian cadar dan pemingitan perempuan. Gagasan utama Amin
bukanlah bermaksud membongkar dan membuang norma hijab yang telah
digariskan ajaran agama, melainkan merestorasi bentuk hijab yang sebenarnya
(hijab syar’i), seperti yang dikehendaki oleh teks-teks suci ajaran agama. Menurut
Amin, dalam Quran dan Sunah sesungguhnya tak ada larangan eksplisit terhadap
tindakan penampakan wajah perempuan. Menurut Amin seorang perempuan yang
bercadar tidak dapat leluasa menangani urusan niaganya ataupun melakukan
berbagai aktivitas kehidupan sosial lainnya yang secara jelas berkaitan langsung
dengan penghidupannya.15
Pemerintah Republik Islam mewajibkan perempuan memakai hijab
dengan alasan teologi. Hijab dan cadar dianggap merupakan pola berpakaian
perempuan Muslim. Namun pejuang feminis Arab Muslim pada tahun 1920-an
ketika melakukan gerakan membuka hijab, menyatakan bahwa penggunaan hijab
adalah bentuk lain pengungkungan perempuan, bukan merupakan ajaran agama.
Menurut mereka cara berpakaian seperti ini adalah tradisi yang telah ada bahkan
sebelum Islam masuk. Pandangan seperti ini awalnya diterima perempuan Timur
Tengah yang melakukan gerakan membuka hijab pada awal abad 20 yang
diprakarsai Huda Sya’rawi dari Mesir. Namun pada tahun 1970-an, muncul
gerakan kembali menggunakan hijab. Tidak bisa dihindari bahwa permasalahan
politik dan ekonomi ikut mempengaruhi gerakan ini. Hijab menjadi trend lagi saat
itu, dipakai lebih karena alasan sosial ketimbang alasan teologis. Menggunakan
14 M.Arskal Salim GP. “Pembebasan Perempuan di Dunia Islam: Pemikiran Qasim Amin”. Jurnal Perempuan. Edisi 10, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, Februari-April 1999) hal.46 15 Ibid.
Universitas Indonesia
hijab merupakan bentuk perlawanan terhadap kapitalisme Barat. Bagi perempuan
Timur Tengah penggunaan hijab merupakan alat penolakan untuk menggunakan
produk-produk Barat.16
Menurut Fatima Mernissi dalam The Veil and the Male Elite: A Feminist
Interpretation of Women’s Rights In Islam, hijab berarti kain penutup atau tabir,
yang sesungguhnya ‘diturunkan’ bukan untuk meletakkan suatu pembatas antara
seorang laki-laki dan seorang perempuan, tetapi antara dua orang laki-laki.
Peristiwa hijab terjadi saat ditariknya tirai oleh Nabi antara dirinya dengan
seorang laki-laki yang berada di pintu masuk kamar pengantin beliau.
Terganggunya privasi beliaulah yang mengawali turunnya ayat tentang hijab,
Quran Surat 33 ayat 53.17
3.1.2. Keterbukaan dan Kebebasan Berekspresi Perempuan
Sifat dan sikap karakter perempuan dalam film merupakan salah satu
faktor yang membantu dalam meneliti citra perempuan di dalam film. Penelitian
ini diuntungkan dengan banyaknya dialog yang dilakukan oleh masing-masing
karakter dalam film 10 sehingga watak dan sikap mereka dapat langsung terlihat.
Seperti yang dilakukan di sub bab sebelumnya, penulis akan menganalisis sifat
dan sikap tokoh-tokoh perempuan mulai dari adegan pertama (di dalam film
dihitung mundur menjadi adegan 10). Secara umum, keterbukaan dan kebebasan
berekspresi perempuan menjadi pokok permasalahan dalam film 10, yang akan
dianalisis pada sub bab ini.
Sudah menjadi rutinitas keseharian bagi ST untuk menjemput anak
lelakinya, Amin dan mengantarnya ke tempat tujuan sebelum ia memulai
aktivitasnya sebagai supir taksi di Teheran. Sebagai adegan pembuka di film ini,
terjadi perdebatan antara ST dan Amin di dalam mobil. Konflik di adegan ini
dimulai ketika Amin mempertanyakan peran ibunya yang menjadi penyebab
perceraian dengan ayahnya. Ia pun tidak ingin tinggal dengan ayah tirinya. Ia
menilai ibunya egois dan tidak bertanggungjawab. Dengan nada tinggi, Amin 16 Margot Badran, “Competing Agenda: Feminists, Islam and the State in Nineteenth-and Twentieth- Century Egypt” dalam Women, Islam and the State oleh Deniz Kandiyoti (ed.), (London: Macmillan. 1991) hal. 226-227 17 Fatima Mernissi, The Veil and the Male Elie (translated by Mary Jo Lakeland). (New York: Basic Books. 1991) hal. 85
Universitas Indonesia
terus menerus menolak bujukan ibunya mengalih perhatian dengan mengajaknya
membeli es krim bersama sebelum mengantarnya ke kolam renang. Kemudian
ketika ibunya bercerita tentang teman perempuannya, Amin menanggapi dengan
kasar bahwa itu bukan urusannya. Ketika menjawab tuduhan Amin yang
menganggap ia menelantarkan anaknya sendiri, ST mengelaknya dan berkata
bahwa ia sudah tidak bisa hidup bersama ayah Amin karena ia mereka sudah tidak
saling mencintai. Amin pun menuduh ibunya berbohong, seraya mengibaskan
tangannya, karena ia mengatakan pada pengadilan bahwa ayahnya seorang
pecandu dan sering memukulnya. Dengan suara lantang ST menjawab jika ia
memang harus berbicara seperti itu jika ingin menggugat cerai suaminya. “…the
rotten laws in this society of ours give no rights to women!” ucap ST “to get a
divorce a woman has to say that she is beaten or her husband’s on drugs”
(adegan 1, 6:35)
Gambar 3.2: Film 10, adegan 1 mnt. 11:32
Peran ST sebagai seorang ibu yang tegas dan diplomatis ditunjukkan di
adegan ini. Ia menanggapi omongan cengeng dan kasar anaknya dengan
melarangnya berkata kasar karena bagaimanapun omongan ibunya lah yang harus
didengar. Bukan omongan orang lain seperti yang Amin lakukan selama ini. Amin
menolak untuk mendengarkan ibunya karena ia tidak mau terus menerus dikuliahi.
“…because you’re going to lecture me again,” keluhnya, “you always have to
talk.” (adegan 1, 2:25). Kemudian ST terdiam sebentar dan menanyakan apa
benar ia selalu menguliahinya. Sikap Amin semakin kasar ketika ia
mempersilahkan ibunya berbicara apapun, ia tetap tidak akan mempercayainya,
“…say what you like. I don’t believe it. I don’t believe it.”. “Don’t believe it then,”
kata ST “You only talk to fight. Like those children full of hate.” (adegan 1, 3:25).
Universitas Indonesia
Sementara situasi semakin memanas, ST pun mulai berubah dalam
menyikapi anaknya dengan mengajaknya bicara pelan-pelan dan selayaknya orang
dewasa, “You see, Amin. If we lived to 100, we’d still argue. Unless you listen to
me and start thinking. You must have your own experiences to understand life.”
(adegan 1, 4:04). Amin menanggapinya dengan menutup kedua telinganya dan
menggumam tidak jelas. Mengetahui anaknya sulit untuk diajak berdiskusi, maka
sikap ST kembali lagi seperti seorang ibu yang menyelesaikan masalah dengan
anak kecilnya dengan menenangkan dan melarangnya berbicara kasar.
Dialog antara ibu dan anak (berumur 10 tahun) dalam adegan ini memang
jarang terdengar dalam peristiwa keseharian di lingkungan kita. Namun dengan
tegas sutradara memberikan informasi yang bukan tidak mungkin dapat dialami
berkaitan dengan peran seorang ibu dalam keluarganya. Sikap ibu yang lunak
namun tetap rasional tampak ketika tokoh ST kembali beradu argumentasi dengan
Amin. Ketika anaknya dengan jelas menggumamkan kata tidak sopan, ST berkali-
kali melakukan tindakan yang terhitung aman dan berusaha tidak memancing
ledakan amarah anaknya muncul kembali.”…you stupid cow…” (adegan 1, 5:56)
gumam Amin, “Bravo…God bless you,” (adegan 1, 5:58) ST menanggapi. Atau
ketika dengan jelas Amin mencerca ibunya kembali “…you’ll never know how to
talk. And you’ll never be anything! (adegan 1, 10:36). Kemudian ST kembali
hanya menjawab “Bravo…Bravo...Thank you.” (adegan 1, 10:39). Dan sekali lagi
ketika Amin mengakhiri pembicaraan dengan berinisiatif keluar dari mobil, “I’ll
show you what I’ll do. You stupid. I’ve never seen anyone so stupid.” (adegan 1,
16:27). Sementara anaknya keluar dari mobil, ST mengucapkan kata terakhir
“Bravo, Amin!” (adegan 1, 16:30)
Dua sekuen berikutnya adalah adegan ST dan adik perempuannya (P1)
sebagai penumpang ST selanjutnya di hari yang sama. Setelah melalui perdebatan
emosional dengan anaknya, dialog antara ST dengan P1 berlangsung ringan. ST
dan P1 digambarkan sebagai dua perempuan yang saling menaruh simpati dan
berbagi cerita atas pengalaman mereka menghadapi berbagai kesulitan hidup
berumahtangga.
Pada adegan dengan P2, ST terlihat menghormati perempuan tua itu
dengan menawarkan tumpangan. Begitu mengetahui peziarah yang ia berikan
Universitas Indonesia
tumpangan adalah perempuan yang relijius dan rendah hati, dengan segera ST
membetulkan letak kerudungnya dan mengencangkannya. Sikap demikian
ditunjukkan untuk menghormati perempuan yang lebih tua. Sikap ST dalam
menghormati orang yang lebih tua juga ditunjukkan ketika ia dan P1 berpapasan
dengan seorang perempuan tua cacat dan miskin di pinggir jalan dengan
menawarkan tumpangan kepadanya. Sifat dermawan kembali ditunjukkan di
adegan ke-3 ini.
Dalam adegan ST bersama P3 di perjalanan berikutnya, pada awalnya ia
mengira ST adalah laki-laki. ST pun tidak segera mengusirnya atau langsung
menghindar, namun ia meminggirkan mobilnya dan meminta pelacur itu bercerita
tentang pekerjaan dan kehidupannya. “Pretend I’m a man. Just imagine I’m a
man,” (adegan 4, 1:37) ucap ST ramah “You’ve only had experience with men.
Talk to a woman for once. I’d like to know”. P3 pun lalu terkikik geli “I’m not
working in that field yet” (adegan 4, 1:51) Ia pun mengklaim jika ia mulai
menyukai pekerjaannya. Rasa penasaran ST semakin kelihatan ketika ia
menanyakan pada P3 alasan memilih pekerjaannya. Penumpangnya bilang ia
melakukannya untuk seks dan cinta. Kita dapat melihat raut muka ST berubah
“That’s all life is?” (adegan 4, 2:20). Dengan suara yang atraktif, P3 pun
mengatakan bahwa pernikahan pun sebenarnya adalah perdagangan yang
melibatkan seks18, “you’re (para istri) the wholesalers. We’re (pelacur) the
retailers.” (adegan 4, 11:33). Jika sebelumnya ketika ST beradu argumentasi
dengan anaknya ia dengan tegas mempertahankan prinsipnya tentang
kemerdekaan perempuan, maka seolah-olah lewat perbincangan singkatnya di
adegan ini ia mendengar perkataannya terlempar kembali dari kata-kata P3, bahwa
seorang perempuan memiliki hak untuk menentukan hidupnya sendiri. Jadi
walaupun ST terlihat sering menggeleng-gelengkan kepalanya sebagai bahasa
tubuh bahwa ia tidak sependapat dengan P3, namun ketika ia menilai perkataan P3
tentang hidup perempuan yang merdeka, ia menghargainya dan berkata bahwa ia
18 Nawaal el Saadawi menyamakan hubungan perkawinan dimana istri tidak bisa menikmati hubungan seks dengan suami sama seperti hubungan “pelacuran”, istri sama seperti perempuan yang dibayar paling murah. Dalam tulisan-tulisan Saadawi, ia banyak mengulas hal-hal seperti ini. Antara lain dalam Perempuan dalam Budaya Patriarki. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001) hal. 24-27
Universitas Indonesia
tidak mempunyai maksud untuk menghakimi siapapun terkait pekerjaan P3. Rasa
penasaran ST terjawab dan ia pun mendapat satu pelajaran lagi mengenai hidup.
Ketika ST bertemu dengan P4, seorang gadis yang sedang patah hati, sifat
ST yang dewasa dan sikapnya yang tenang mampu meredakan emosi P4 yang
labil. Begitu mengetahui P4 tidak mampu mengendalikan emosinya, ST langsung
bersikap layaknya seorang kakak kepada adiknya, atau bahkan seperti seorang ibu
kepada anak gadisnya. Dari dialognya dengan P4, sifat dan sikap ST yang rasional
dan selalu memberikan ketenangan muncul kembali. Sedangkan P4 lebih
digambarkan sebagai perempuan yang emosional dan rapuh.
Perbicangan ST dengan P3 sebelumnya merupakan salah satu adegan yang
paling menarik. Gambaran sifat ST yang selalu ingin belajar dan menghargai
pandangan hidup orang lain dapat terlihat. Juga ketika suatu hari ia bertemu
dengan penumpang selanjutnya (P5), seorang gadis lugu yang, sama seperti P4,
sedang mengalami patah hati, gambaran sifat dan sikap ST yang atraktif dan
ramah kembali muncul seperti pada adegan peziarah tua. ST meminggirkan
mobilnya di depan masjid ketika ia bertemu dengan P5 yang menjadi penumpang
pertamanya di hari itu. Sifat akrab ST muncul ketika selama beberapa saat tidak
ada perbincangan di dalam mobil. Begitu ia mengetahui penumpangnya tidak
banyak bicara, ST memulai percakapan dengan menanyakan apa ia juga sering
berziarah. Ketika percakapan berlangsung hangat, ST bercerita tentang
pengalamannya berziarah dan menanyakan apa yang dilakukan P5 ketika
berziarah. Perbincangan terus berlangsung hangat dan bersahabat, dari sini
diketahui bahwa ST pandai memancing P5 untuk dengan mudah bercerita tentang
kehidupannya, tentang tunangannya yang kontradiktif, yang tidak segera
menikahinya. Di hari berikutnya, ia bertemu kembali dengan P5, namun kali ini ia
mendapati P5 sudah putus hubungan dengan tunangannya. ST merasa simpati
karena P5 berani terang-terangan menunjukkan bahwa ia patah hati karena
ditinggal tunangannya dengan perempuan lain. Rasa simpati ST lebih terlihat lagi
ketika ia meminta P5 untuk membuka hijabnya yang terlalu ketat. Begitu ia
mendapati P5 telah mencukur habis rambutnya, ST tercengang dan menanyakan
apa yang terjadi. Gadis itu dengan lugu mengatakan bahwa ia frustasi dan merasa
lega jika ia melampiaskan masalahnya lewat caranya sendiri. Sikap ST berubah
Universitas Indonesia
dengan menanggapi cerita P5 menjadi lebih dekat, dengan bersikap layaknya
seorang kakak begitu tahu P5 menangis ST mengusap air matanya secara refleks.
Dengan maksud menghibur, ia memuji potongan baru P5, “…in any case, it really
suits you...” Sikap tegar begitu ditunjukkan di adegan ini, tidak seperti P4 yang
terlihat cengeng dan tidak mampu mengendalikan emosinya, P5 di sini bukan
hanya digambarkan sabar dalam menghadapi cobaan tetapi juga tidak takut salah
mengekspresikan perasaannya, “Yes, it’s hard…No. not that hard. The hardest
part for me is admitting that it’s hard. I’m ashamed of saying that it’s hard.”
(adegan 9, 1:56). Walaupun terdengar P5 meragukan sendiri perkataannya, ia pun
dengan segera mengutarakan perasaannya, lega karena meluapkannya dengan
menangis dan tertwa, pada ST begitu ia membuka hijabnya dan bercerita, “…I’m
laughing and crying…I felt great…I stopped crying. Now it much better.” (5:20).
Gambar 3.3: Film 10, adegan 9 mnt. 4:25
Empat interaksi dan dialog yang terjadi antara ST dengan para
penumpangnya memperlihatkan bahwa dalam film ini segala kemungkinan dalam
hidup yang melibatkan mereka sebagai perempuan dapat terjadi lewat peristiwa
keseharian. Dari masing-masing adegan dapat terlihat bagaimana sifat dan sikap
tokoh yang terlibat dalam film muncul lewat berbagai interaksi dan dialog
diantara mereka. ST yang berjiwa bebas, akrab, rasional, dan mau belajar lewat
orang lain; seorang peziarah tua yang relijius dan rendah hati; seorang pelacur
yang atraktif, terbuka dan berterus terang; seorang gadis remaja yang beremosi
labil; dan seorang perempuan muda yang lugu dan tegar. Persamaan diantara
mereka termanifestasi ketika muncul sikap ingin mengekspresikan diri sesuai
dengan apa yang mereka inginkan.
Kebebasan dan keterbukaan menjadi maksud terpenting yang
diinterpretasikan melalui semua pendapat yang mereka ajukan di dalam tiap
adegan di atas. Tentang pelepasan diri dari keterkungkungan segala aturan-aturan
Universitas Indonesia
masyarakat ataupun pemerintah, tentang izin berkehendak yang membatasi
perempuan untuk berekspresi, atau tentang permasalahan rumah tangga terwujud
dalam beberapa titik permasalahan yang diutarakan pada masing-masing tokoh
perempuan. Tokoh ST di awal film mengatakan kepada anaknya ia memang harus
berbohong jika ingin bercerai dengan suaminya, dengan mengatakan bahwa
suaminya seorang pecandu dan sering memukul dirinya. Alasan seperti ini yang
disahkan oleh pengadilan di Iran bagi istri yang ingin menggugat cerai suaminya.
Padahal suami ST tidak terbukti melakukannya, dan ia malah menggugat balik
ST, maka dengan begitu pengadilan mengabulkan permintaan cerai si suami.
Inisiatif ST untuk menuduh suaminya bersalah justru mampu membuat
permintaan cerainya terkabulkan, karena memang mereka sudah tidak saling
mencintai lagi. Namun hukum pemerintah Republik Islam telah memberi
keputusan yang jelas bahwa seorang istri tidak bisa menggugat cerai suaminya
begitu saja.
3.1.3 Pandangan Hidup Tokoh Perempuan
Dalam film 10, terbagi dua pandangan hidup yang diinterpretasikan oleh
tokoh-tokoh perempuan melalui dialog-dialognya. Kemandirian wanita (melalui
tokoh ST dan P3) dan kepasrahan (melalui tokoh P4 dan P5) adalah dua
pandangan hidup yang dapat penulis terjemahkan dari peristiwa yang terjadi di
tiap adegan. Sementara dari peristiwa di masing-masing adegan pula, penulis
dapat mengetahui kedudukan tokoh perempuan dalam keluarga dan masyarakat.
Seperti yang telah disebutkan melalui interpretasi gambaran fisik, sifat,
dan sikap tokoh perempuan, tokoh utama ST menggambarkan perempuan yang
berjiwa bebas dan mandiri. Selain itu dari dialog yang terjadi dalam film, ada
usaha dari sutradara untuk memperlihatkan bahwa ST adalah perempuan yang
berani memberontak karena ketimpangan sosial yang terjadi di masyarakat.
Seperti yang ia perlihatkan dalam adegan pertama (kesepuluh dalam hitungan
mundur), “…the rotten laws in this society of ours give no rights to women!” ucap
ST “to get a divorce a woman has to say that she is beaten or her husband’s on
drugs,”(adegan 1, 15:29). Kemudian ketika ia memberi pengertian kepada
anaknya, “(in here) A woman has no right to live! A woman has to die so as to be
Universitas Indonesia
able to live? I ran away..I was like a zombie!”,(adegan 1, 16:07). Kata-kata yang
terlampiaskan dari mulutnya memperlihatkan jiwa untuk memberontak dan
mengkritik ketimpangan sosial masyarakat dan hukum negara. Sekaligus juga
melalui perkataannya, ia menggugat adanya diskriminasi gender dan
memperlihatkan sekalipun ia adalah korban dari sistem negara, namun ia mampu
mengelola dan memanfaatkan potensi dirinya.
Pandangan hidup tokoh perempuan dalam film 10 seringkali menciptakan
sebuah citra baru bagi perempuan Iran dan juga perempuan muslim umumnya.
Seperti yang diutarakan melalui dialog antara ST dan P3, seorang pelacur yang
tidak sengaja menumpang dalam mobil ST. “The reason (why I do this) is for sex,
love, sex, love, sex…” (adegan 4, 2:12). Dari pembicaraan selanjutnya, P3 seolah
ingin memperlihatkan bahwa ia tidak dipaksa oleh pihak lain yang
memanfaatkannya atas motif ekonomi. Ia memulai pekerjaannya dengan
kesadaran kritis sebagai perempuan yang berhak menentukan sendiri atas dirinya,
dan sepenuhnya mengambil kemanfaatan tanpa adanya kekuasaan di luar dirinya.
Sementara P3 hanya menertawakan pertanyaan ST mengenai perasaan bersalah
dan ketakutannya akan dosa, ia pun mengklaim pernyataan ST bahwa ia hanya
melayani pelanggannya, menerima uang, kemudian selesai, tidak ada kisah yang
berlanjut dengan para lelaki itu. P3 kemudian menambahkan bahwa di dalam
hidup pun sesungguhnya ada interdependensi antara dirinya dengan ST, terkait
posisi ST dalam keluarga sebagai seorang istri dan posisi P3 dalam masyarakat
sebagai perempuan yang menjadikan pekerjaannya sebagai proses give and take,
yang juga melibatkan para istri. Kutipan you’re the wholesalers and we’re the
retailers seolah menjadi jargon P3 yang membangkitkan nurani ST. Dari dialog
antara P3 dan ST seolah tergambar bahwa P3 membanggakan profesinya sebagai
pelacur. Ia menganggap profesinya memberikan kebebasan dan ruang lebih luas
kepada perempuan. Menurut pandangan P3, menjadi istri yang patuh, melayani
suami dan menjadi budak di rumah tangga, tidak membuat perempuan diakui
keberadaannya. Cara P3 menyebut “istri” dengan nada sarkastis dan mengejek,
menunjukkan perasaan kecewanya terhadap laki-laki dan terhadap sikap
perempuan memandang diri mereka. Ia menggambarkan bahwa simbol materi
tertentu dapat mengangkat derajat manusia dan membuatnya dianggap terhormat.
Universitas Indonesia
Ketika ia mengatakan you’re the wholesalers untuk memposisikan peran istri
yang sakit, ST hanya terdiam namun cukup terusik dengan perkataan P3. Seolah
P3 ingin menyatakan ST sebagai istri yang tidak berguna bagi suaminya, padahal
P3 pun tidak lebih berharga darinya. Gagasan-gagasan feminisme yang
memberontak dan menolak nilai-nilai patriarki seketika bersinggungan dengan
perkataan P3 yang kental dengan budaya patriarki.
Jiwa perempuan yang independen terutarakan ketika ST berhadapan
dengan dua penumpangnya yang masih gadis, yang sama-sama mengalami patah
hati. “Life is so vast, why depend on just one person? It’s not love. It’s an illusion.
You’re wrong to cling to him. It’s an illusion. That’s all!” (adegan 7, 2:17) kata
ST ketika ia berusaha menenangkan P4 yang menangis terisak di dalam mobilnya.
Sindiran ST atas sifat para remaja yang terlalu posesif pada tiap pasangannya,
“you were hurting each other like psychopaths: why are you late? who’s on the
phone? where were you? why this, why that?” (2:25) semakin memperjelas
pandangan hidup ST yang tidak ingin bergantung pada orang lain atau
melampiaskannya hanya pada satu orang. Seolah bercerita tentang pengalamannya
sendiri, ST juga menjelaskan kepada P4 kenapa perempuan selalu bergantung
kepada pihak lain karena kultur yang tertanam dalam hidup sedari kecil
mengharuskan mereka berpegang teguh pada ibu dan ayah, kemudian pada
kekasih kita, kemudian pada anak kita, dan ketika anak kita diambil, kita pun
harus bergantung pada pekerjaan kita, “…Like idiots,” (adegan 7, 3:08) ucapnya.
Pandangan hidup ST yang mandiri dan rasional semakin tergambar ketika ia
menginginkan P4 kuat dan tegar, “you can’t live to the world without losing. We
came into the world for that. To win and to lose.” (5:07). Dengan perbincangan
yang berlangsung lebih tenang, ST dan P5, tokoh selanjutnya, berbicara tentang
takdir. Ketika P5 baru pertama kali bertemu dengan ST, ia menyatakan jodoh dan
pernikahan sudah digariskan oleh takdir. ST lebih suka menyatakan takdir sebagai
sesuatu yang berjalan apa adanya, come what may. Dari sini, pandangan hidup
tokoh perempuan tergambar lagi melalui kepasrahan, seperti yang ditunjukkan
oleh P5 dan P4 (pada akhir adegan).
Universitas Indonesia
3.2. Analisis Film Persepolis
Untuk menganalisis citra perempuan dalam film Persepolis, penulis akan
menganalisis makna film dari segi penampilan fisik, yang terlihat secara visual
dari tokoh perempuan yang terlibat dalam film; sifat dan sikap tokoh perempuan
dan pandangan hidup mereka.
Persepolis19 merupakan film drama yang dibungkus melalui proyek
animasi. Film ini adalah sebuah biografi kecil dari sutradara film Persepolis
sendiri, Marjane Satrapi, mengenai pengalamannya hidup di Teheran pada masa
revolusi Islam dari tahun 1979 hingga menghabiskan masa remajanya baik di Iran
maupun di Eropa di periode delapan puluhan hingga awal sembilan puluhan.
Salah satu alasan mengapa Satrapi lebih memilih teknik animasi dalam
menggambarkan pengalamannya adalah karena melalui animasi ia lebih mampu
menerjemahkan secara abstrak peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam
hidupnya. Selain itu, banyak adegan-adegan dalam film yang lebih
memungkinkan untuk diterjemahkan melalui gambar, dengan tetap tidak
meninggalkan esensi film dan (sama seperti Kiarostami pada mise-en-scene-nya)
ia hanya menjadikannya sebagai nilai estetik sebuah film saja.
3.2.1 Hijab, Konsep Publik dan Konsep Privat
Sama seperti dalam film 10, sutradara Persepolis Marjane Satrapi
mengetengahkan diskriminasi gender dan kekuasaan budaya patriarki dalam film
otobiografinya ini, terutama pada permasalahan kewajiban penggunaan hijab bagi
perempuan Iran di bawah pemerintahan Republik Islam. Tokoh perempuan dalam
film Persepolis adalah Marjane, sebagai tokoh utama dan pusat pembangun cerita
film yang juga bertindak sebagai narator; ibu Marjane dan nenek Marjane, yang
menjadi tokoh pendukung cerita.
19 Dalam The Iranians:Persia, Islam & the Soul of a Nation (NY:Penguin,1998), Sandra Mackey mengemukakan b ahwa Persepolis sebagai situs bersejarah Persia kuno, bukan hanya sebagai ibukota namun juga kota ritual suci. Persepolis adalah bukti kebesaran Kekaisaran Persia yang masih dihormati dan dipandang sebagai simbol identitas nasional hingga kini. Melalui upacara yang hanya diadakan di Persepolis dahulu (upacara No Ruz), bangsa Persia mengetahui apa dan siapa mereka sebenarnya, yaitu orang-orang istimewa yang duduk (ditempatkan) di pusat alam raya.
Universitas Indonesia
Secara keseluruhan, pesan film Persepolis yang ingin disampaikan
merujuk pada kemampuan campur tangan pemerintah untuk mengatur tubuh
perempuan dengan mengharuskan perempuan pada masa sesudah revolusi 197920
untuk mengenakan hijab selama mereka berada di ruang publik. Hijab
sesungguhnya adalah bagian dari sejarah, tradisi yang tidak dapat dirubah
sekaligus menjadi kewajiban bagi semua perempuan Iran untuk melaksanakannya.
Hijab menjadi bagian dari norma yang dikonstruksi dalam penjajaran dengan
bentuk tertentu atas politik, kultur, dan agama (misalnya Negara sekuler modern,
negara modernis Islam, negara teokrasi dan demokrasi Islam dan sebagainya).
Perempuan dan segala problematikanya menjadi bahan yang menarik
ketika kita ingin mempelajari kondisi sosial atau tindakan opresi tertentu yang
dialami perempuan beserta pergerakannya di ranah publik dan privat. Hal ini yang
menjadi pokok pembahasan feminisme Islam ketika mereka mempertanyakan
gagasan mengenai peran dan citra perempuan yang direpresentasikan sesuai
dengan kepentingan politik laki-laki.
Feminisme seringkali berkaitan dengan permasalahan pergerakan
perempuan di ranah publik dan privat. Ketika ingin mempelajari kondisi sosial
atau tindakan opresi tertentu yang dialami perempuan, dua kategori berbeda
tersebut tidak dapat dipisahkan. Feminis dunia ketiga sering menggarisbawahi
bahwa tidak semua perempuan mengalami perbedaan tersebut dengan cara yang
sama. Di Iran, politik penggunaan cadar atau hijab di bawah pemerintahan
Republik Islam, memberikan pengertian berbeda pula atas pembagian konsepsi
publik versus privat ini, dengan memberi penekanan pada kebebasan berekspresi
perempuan dan pengembangan potensi diri yang terabaikan. Legislasi dan
peraturan pemerintah mewajibkan penggunaan cadar. Perempuan yang
menggunakan cadar dengan tidak benar (bad hijab) dapat dikenai hukuman yang
keras.21
Menurut Fatima Mernissi dalam The Veil and the Male Elite: A Feminist
Interpretation of Women’s Rights In Islam, hijab secara harafiah berarti tirai, yang
menutup, bukan menjadi palang antara pria dan wanita, namun di antara dua pria. 20 Periode pascarevolusi Islam antara tahun 1979 hingga 1993 menjadi latar waktu film Persepolis dan latar tempat berlangsung di tiga kota: Paris, Teheran, dan Wina. 21 Ibid. Hal. 60
Universitas Indonesia
Hijab dapat mengekspresikan dimensi tempat, menandai ambang batas di antara
dua area yang berbeda, yang dapat menyembunyikan sesuatu dari pandangan.
Namun juga dapat menunjukkan gagasan sebaliknya yang membatasi
pengetahuan tentang ketuhanan, seperti dalam kasus mahjub (“the veiled”) dalam
terminologi sufistik, yaitu seseorang yang kesadarannya dideterminasikan oleh
keinginan sensual atau mental dan seseorang yang tidak merasa adanya cahaya
ketuhanan dalam jiwanya, seseorang yang terjebak pada realita keduniaan. Pada
kasus terkini, hijab lebih terbatas pada individualitas, yaitu sesuatu yang
menyelubungi tubuh si pemakai, yang bisa membatasi diri dari ruang publik,
namun tidak dapat menciptakan rintangan antara kita dengan Tuhan.22
Di masa kecil, Marjane hidup di masa transisi kekuasaan rezim Pahlevi
menuju revolusi Islam di tahun 1979, maka baik ibu, nenek Marjane, dan figur
perempuan lain masih mengenakan busana a la Barat. Kemudian di tahun 1982,
dimana pemerintahan Republik Islam sudah berkuasa, dan ketika Marjane
beranjak remaja, kewajiban penggunaan hijab sudah mulai diberlakukan. Di
tempat Marjane bersekolah, semua muridnya adalah perempuan. Sutradara
menggambarkan perempuan-perempuan Iran di masa ini seluruhnya memakai
hijab (berwarna hitam). Ketika Marjane duduk di bangku SMP, gurunya
menjustifikasi penggunaan hijab bagi murid-murid perempuannya, dengan
mengatakan bahwa hijab adalah simbol pembebasan perempuan. Hal ini
dipertegas oleh perkataan seorang guru ketika mengajar, “The veil stands for
freedom. A decent woman shelters herself from men’s eyes. A woman who shows
herself will be burn in hell.” (23:48). Pernyataan yang tidak digubris Marjane
yang malah asyik membincangkan poster grup musik idolanya dengan teman
sebangkunya ketika pelajaran berlangsung. Sikap Marjane bertolak belakang
dengan pandangan perempuan pada umumnya yang menyatakan bahwa
penggunaan hijab sebagai simbol resistensi kapitalisme Barat. Marjane, sama
seperti remaja di belahan dunia lain, tidak menutup diri pada perkembangan
budaya populer. Sebagai cerminan dari jiwa pemberontaknya, Marjane dengan
berani membeli barang-barang ‘haram’ dari jalanan dan merasa puas dengan apa
yang dilakukannya.
22 Mernissi, Op.cit. hal. 85, 95-96.
Universitas Indonesia
Gambar 3.4: Adegan film Persepolis, 23:50
Penguasa Republik Islam memiliki gagasan tersendiri mengenai kewajiban
penggunaan hijab bagi perempuan. Kebijakan ini dimaksudkan untuk menjaga
nilai-nilai perempuan Iran dari pihak imperialis yang merusak moral bangsa dan
juga sebagai bentuk perlawanan terhadap kapitalisme dan gaya hedonis Barat.
Padahal, Leila Ahmed dalam bukunya Women and Gender in Islam (1992:145)
menjelaskan bahwa dilihat dari perspektif Barat, hijab dianggap sebagai simbol
ketertindasan perempuan Muslim dan keterbelakangan masyarakat Islam.
pandangan serupa dikemukakan Qasim Amin, seperti dikutip Leila Ahmed
“changing customs regarding women and changing their costume, abolishing the
veil in particular, were key, in the author’s thesis, to bringing about the desired
general social transformation.”
Pemerintah Republik Islam Iran, tidak seperti pemerintah negara muslim
lain, mengadopsi interpretasi Islam Syiah ke dalam hukum negara. Karena Iran
telah menggunakan cara yang berbeda dibandingkan negara muslim lain yang
mayoritas sunni, maka interpretasi hukum syariahnya juga berbeda. Pemerintah
menjustifikasi penghilangan kebebasan dan kesetaraan perempuan yang menurut
pemerintah sesuai dengan kriteria Islam. Salah satunya dengan menetapkan kode
berpakaian yang berbeda sesuai dengan ketentuan hukum syariah. Perempuan
muslim Iran diwajibkan mengenakan hijab jika berada di ruang publik. Tidak
diperkenankan memakai kosmetik dan pakaian yang mengumbar bentuk tubuh.
Politisasi penggunaan hijab memunculkan sebuah wacana yang
menciptakan antitesis atas gagasan seksualitas perempuan dan standar praktis
agama dalam kehidupan sehari-hari. Ketika seseorang dapat mengalihkan norma-
norma sosial yang diberikan oleh masyarakat kepadanya, maka hak-hak istimewa
yang mereka miliki dapat hilang dari lingkungan privat mereka. Sebagai contoh,
di adegan pertama memperlihatkan tindakan Marjane yang ketika ia akan pulang
ke Iran maka ia harus mengenakan hijabnya kembali di ruang publik (di bandara)
Universitas Indonesia
sekalipun ia masih berada di negara lain. Tindakan Marjane ini meruntuhkan
pilihan pribadinya (untuk tidak mengenakan hijab) karena sesampainya di bandara
Teheran, polisi Iran akan memaksanya menegakkan hukum Islam, dalam hal ini
memaksanya untuk mengenakan hijab.
Contoh sederhana seperti ini mampu menciptakan satu klasifikasi bagi
Muslim itu sendiri yang memperlihatkan gagasan bahwa manifestasi atas agama
dari seorang Muslim (dalam konteks ini Muslim-Iran) adalah produk dari
pemikiran kelompok penguasa, bukan hasil dari individu seorang Muslim untuk
menentukan pilihannya sendiri.
Perbedaan antara konsepsi “publik” dan “privat” dengan jelas
direpresentasikan melalui Persepolis. Ada beberapa adegan kunci tertentu yang
dapat menggambarkan perbedaan ini. Seperti yang terlihat pada adegan dimana
Marjane melepas hijabnya, ketika ia sedang menyetir mobil, terbuka beberapa
aspek penegasan yang memposisikan diri Marjane pada batas ranah publik dan
privat. Pertama, sebagaimana kita lihat di awal film, Marjane berlatarbelakang
keluarga yang kaya keturunan bangsawan dinasti Qajar, ayahnya mampu
membiayai kehidupan Marjane, ia tumbuh dalam keluarga modern dan moderat.
Kedua, Marjane tidak digambarkan sebagai perempuan yang relijius atau anti
Barat, dengan demikian ‘pelepasan’ hijabnya merefleksikan penegasan
kebebasannya.
Perbedaan lebih lanjut mengenai masalah publik dan privat dalam film ini
adalah ketika seorang polisi, yang merepresentasikan publik, meminggirkan mobil
Marjane dan keluarganya sepulangnya dari pesta. Marjane dan neneknya dengan
segera berlari menuju rumah untuk membuang semua botol wine dan minuman
beralkohol, kemewahan yang sering mereka nikmati di rumah. Rumah mereka
seharusnya merepresentasikan kehidupan privat, yang tidak terselubung, the
unveiled. Segala yang berada di luar rumah merepresentasikan ruang publik, yang
terselubung, the veiled. Dalam adegan ini, baik yang tidak terselubung maupun
yang terselubung berhadapan. Namun, polisi sebagai representasi publik memiliki
kekuasaan yang lebih besar yang menekan aksi Marjane dan neneknya (ketika
membuang semua minuman beralkohol) sebagai representatif ruang privat.
Universitas Indonesia
Ketika ibu Marjane baru saja pulang dari pasar swalayan, dengan segera ia
melepaskan dan melempar hijabnya begitu ia berada dalam rumah. Sikap ibu
Marjane menunjukkan rasa frustasi karena penggunaan hijab ini
menyembunyikan kebebasannya dan ia merasa bahwa dengan memakai hijab
membuatnya terpencil dari ruang publik yang memaksa dirinya sebagai
perempuan menjadi orang yang lebih tertutup dan tersendiri. Bagaimanapun,
beberapa perempuan di dalam film tidak menantang norma-norma tersebut.
Misalnya, ketika ibu Marjane sedang duduk di meja makan bersama temannya.
Ketika kedua perempuan ini sedang berbincang, keduanya sedang tidak memakai
hijab karena sedang di dalam rumah dan kemudian ayah Marjane datang. Teman
ibu Marjane dengan segera mengambil hijabnya dan memakainya cepat-cepat.
Kedua tokoh perempuan dalam film ini memang telah diperintahkan untuk
menggunakan hijab di depan publik dan ketika berada dalam keadaan privat, di
dalam rumah, mereka melepaskannya. Kehadiran pria lah yang membuat teman
ibu Marjane mengenakan kembali hijabnya seketika, mengingat area privat
perempuan hanya bisa dikunjungi oleh pria yang menjadi muhrimnya saja
Meskipun tamu ibu Marjane berada pada ruang privat dan ketika ayah
Marjane datang ia memastikan hijabnya terpakai, ibu Marjane tidak keberatan jika
tamunya melepaskan hijabnya di depan suaminya. Maka ibu Marjane memiliki
pandangan berbeda mengenai penggunaan hijab, ia menganggap bahwa hijab
adalah sebuah pilihan, bukan keharusan atau sesuatu yang dimandatkan.
Persepolis dipenuhi oleh skenario dan situasi yang menjelaskan secara
lengkap pertimbangan sulit antara konsep publik dan privat yang secara konsisten
dialami oleh para perempuan Iran. Contoh paling nyata dari situasi ini adalah
tentang penggunaan hijab, yang secara harafiah, fisik, dan secara visual membagi
dan menggolongkan waktu dan pengalaman-pengalaman perempuan ke dalam
ruang publik dan privat, indoor dan outdoor. Di dalam film, ada sebuah adegan
ketika Marjane baru pulang kuliah dan menemui neneknya di taman, Neneknya
seketika mengomentari Marjane yang masih mengenakan hijab dan memintanya
untuk melepas hijabnya karena membuatnya risih pada ketertutupan, yang ia
istilahkan seperti seorang claustrophobic. Kemudian ia melanjutkan berbicara,
sebagai efek dari ketidaksengajaan Marjane yang tetap mengenakan hijabnya,
Universitas Indonesia
bahwa menjadi sangat krusial bagi Marjane, dan perempuan Iran lainnya, untuk
tidak menerima begitu saja usaha penguasa untuk mendominasi pikiran dan hidup
mereka. Adegan Marjane dengan neneknya menjadi salah satu yang terpenting
dan dapat dibaca dalam beberapa cara berbeda. Bisa saja sikap Marjane yang tidak
membuka hijabnya sepenuhnya karena kelalaiannya. Atau bisa juga seperti yang
dikatakan oleh nenek Marjane, sebagai rasa toleransi perempuan, sebuah
pemakluman, dan kesudian menerima dominasi budaya patriarki. Atau dapat juga
diartikan sebagai saat ketika Marjane tidak menganggap penting untuk
memisahkan ‘dunia’ luar dan dalam, hanya untuk membedakan satu waktu dengan
yang lain sebelum ia masih berada di luar rumah, tidaklah terlalu penting.
Adegan lain yang secara nyata dapat membedakan konsep publik dan
privat dalam film ini adalah ketika pada tahun 1992 saat Marjane sudah berkuliah
di fakultas seni rupa Universitas Teheran, Marjane tertangkap basah oleh polisi
moral Iran sedang berpegangan tangan dengan pacarnya di dalam mobil. Polisi
menghentikan mobil mereka dan meminta Marjane untuk diperiksa di kantor
polisi dan menelepon orangtuanya untuk membayar tebusan atau Marjane akan
dihukum cambuk. Sementara di sepanjang adegan, penonton tidak melihat sesuatu
terjadi pada pacar Marjane. Ketika dalam perjalanan pulang, ayah Marjane tidak
memarahinya, hanya menyesali perbuatan ceroboh Marjane. Orangtua Marjane
dahulu mendapat kebebasan untuk menumpahkan kasih sayang mereka di muka
umum, tetapi keadaan berubah ketika di generasi Marjane pada tahun 1983,
pemerintah memberlakukan pemisahan ruang bagi lawan jenis yang bukan
muhrim. Ayah Marjane mengatakan kepada Marjane bahwa ia harus tidak boleh
terlihat bersama teman lelakinya ketika berada di ruang publik, yang membuat
Marjane segera memutuskan untuk menikahi kekasihnya.
Pada dekade delapan puluhan hingga awal sembilan puluhan, Marjane dan
keluarganya hidup dalam masyarakat yang mengharuskan mereka untuk
mengenakan hijab, ia sadar peraturan ini sangat membatasi dan menghalangi
dirinya untuk berekspresi dengan bebas. Di dalam film diperlihatkan dengan jelas
bahwa bagi keluarga Marjane hijab telah menjadi simbol ancaman dan kekuatan
absolut pemerintah Iran. Hijab merepresentasikan terbatasnya kebebasan publik
yang seharusnya dimiliki perempuan. Sejatinya, mereka memiliki inner-selves
Universitas Indonesia
sebagai bagian dari cara mereka berfikir, merasakan, dan merespon basis
individualnya, namun kini dibatasi dan bahkan dilarang.
Ini yang mengizinkan hijab meliputi inti pribadi mereka, melebihi outer
image mereka yang dapat dirasakan oleh masyarakat umum. Memang, di ruang
publik Iran, hijab melambangkan kekuasaan hukum yang keras dan simbol opresif
terhadap perempuan. Namun keputusan seseorang untuk mengenakannya juga
mempunyai kepentingan pribadi yang lebih dalam. Jadi meskipun dalam
Persepolis sikap subversif Marjane terhadap stereotip perempuan Timur Tengah
ini secara jelas diperlihatkan, ia menuliskan kembali gagasannya dalam Persepolis
dengan memperkenalkan hijab sebagai cara berbusana yang tipikal. Seperti yang
didemonstrasikan dalam film, hijab bukan hanya menunjukkan adanya rintangan
dalam kehidupan privat dan publik, lingkungan inner dan outer, namun juga
memiliki dan memuat maksud inner dan outer orang yang memakainya sendiri.
Meskipun Marjane beserta keluarganya hanya menyatakan salah satu diantaranya,
yaitu memakai hijab karena desakan pihak luar, tetapi alam bawah sadar mereka
pun mengakui bahwa dorongan dari dalam tidak dapat dihindari.
Konflik internal juga terjadi ketika di kemudian hari Marjane pulang ke
Iran dan mengharuskan dirinya berhadapan dengan problematika berhijab. Di
Iran, hijab dapat merepresentasikan kesalehan atau kealiman, namun hijab juga
dapat menjadi simbol dominasi budaya patriarki dalam masyarakat. Dua
perbedaan ini bergema dalam sejarah Iran sendiri, hijab yang pernah dilarang di
masa kepemimpinan Shah dan hijab yang kini justru diperintahkan, diwajibkan
kepada setiap perempuan Iran oleh penguasa Republik Islam.
Pengunaan hijab merupakan alat politikal yang secara kuat dipakai untuk
memanipulasi perempuan untuk merefleksikan aspirasi-aspirasi tertentu oleh
negara. Pada tahun 1936, Shah Reza Pahlevi sebagai penguasa saat itu membuat
undang-undang mengenai pelarangan perempuan untuk memakai hijab di depan
publik. Beberapa perempuan Iran memprotes keputusan ini dan tetap memakainya
di muka umum. Jika ketahuan memakai hijab di muka umum, polisi diperintahkan
untuk memenjarakan mereka jika tidak ingin hijab mereka dilepas. Alih-alih
memerdekakan perempuan, peraturan ini justru membuat mereka kehilangan
kebebasan dalam menentukan pilihan untuk merepresentasikan dirinya di depan
Universitas Indonesia
publik. Dan seperti yang sudah diketahui, hal yang sama terjadi ketika revolusi
berlangsung dan pada tahun 1983 ketika hukum penggunaan hijab sudah
diberlakukan, perempuan Iran diwajibkan memakai hijab jika berada di ruang
publik. Dua peraturan opresif yang berbeda ini rupanya tidak berbeda mengingat
mereka sama-sama menggunakan perempuan sebagai alat politik kebijakan
pemerintah yang disaat bersamaan mengungkung kebebasan perempuan sendiri.
3.2.2. Jiwa Pemberontak dan Sikap Pengerahan Potensi Diri
Tokoh Marjane, yang juga berperan sebagai narator, digambarkan
menyorot konflik batin yang dialaminya. Ada perjuangan konkrit dari dalam
dirinya dengan pemberontakan perempuan yang ia munculkan dari pemikiran dan
diskusi Marjane dengan ibu dan neneknya yang sejalan dengan pemikirannya.
Tetapi peristiwa ini merupakan adat dan tradisi yang harus dilakukannya jika tidak
ingin tersisih dari lingkungan masyarakat, dan baik Marjane maupun keluarganya
tidak mampu menolak tradisi ini. Sikap dan pandangan tokoh Marjane yang
berontak terhadap penggunaan hijab merupakan penolakannya terhadap tradisi.
Marjane adalah wakil generasi baru yang berubah, ia menganggap hijab sebagai
bentuk pengungkungan perempuan.
Setelah kejatuhan Shah di tahun 1979 dan pemerintah Republik Islam
berkuasa, semua perempuan baik remaja maupun perempuan dewasa, diwajibkan
untuk menggunakan hijab ketika berada di ruang publik. Marjane, di usia
remajanya, sudah mengoleksi berbagai merchandise musik-musik metal dan punk,
membuatnya menjadi pemberontak yang tiada hentinya menantang norma-norma
aturan pemerintahnya. Seperti yang ditunjukkan ketika Marjane mendapat banyak
masalah karena mencoba berpakaian menurut gayanya sendiri, dengan jaket dan
jeans, membuatnya dimarahi oleh gurunya karena ia mencoba mengekspresikan
dirinya dengan cara lain yang tidak bisa dilakukannya. Jiwa pemberontak Marjane
sudah terlihat sejak kecil. Rasa ingin tahunya yang besar pada segala hal sering
membawanya pada banyak masalah. Seperti ketika ia membeli barang ‘gelap’
berupa album grup rock Iron Miden di sudut trotoar pinggir jalan Teheran.
Marjane berani mengambil resiko dengan membeli barang tersebut, yang pada
Universitas Indonesia
akhirnya membawa masalah ketika ia dimarahi dua orang wanita bercadar dan
berjubah hitam yang memergoki Marjane membeli barang ‘haram’.
Gambar 3.5: Adegan Film Persepolis, 28:32
Keadaan berlainan ketika Marjane yang berusia 13 tahun harus pindah ke
Austria. Karena lingkungan di Teheran yang menurut orangtuanya dapat
membahayakan Marjane, dan karena tindakan cerobohnya yang memberontak
gurunya sendiri saat pelajaran berlangsung, ia kemudian ‘diasingkan’ keluar
negeri. Di Wina, pada awalnya ia tinggal dengan kenalan ibunya, seorang
biarawati. Hingga tahun 1986, Marjane cepat beradaptasi dengan teman-teman
barunya. Lingkungan baru yang sangat berbeda dengan di Teheran membuat
perubahan pola dan tingkah laku Marjane. Secara fisik, ia tidak lagi terlihat
sebagai perempuan Iran, tetapi sebagai perempuan Eropa. Suatu ketika ia
berpakaian a la punk ketika bergaul dengan teman-teman nonchalance-nya, atau
bergaya hidup gembel ketika ia bergaul dengan rekan-rekan barunya yang
merupakan segerombolan hippie.
Gambar 3.6: Adegan Film Persepolis, 51:28
Ketika akhirnya ia kembali ke Iran, Marjane tidak melupakan ‘aturan
main’ di negaranya yang tetap mewajibkan pemakaian hijab bagi para wanitanya.
Gambar dari memoir Marjane ini memperlihatkan dua sisi wanita di Iran. Sisi
publik dan privat mereka berlawanan secara dikotomis. Topeng yang dikenakan
untuk publik adalah topeng perempuan muslim dengan pakaian muslim yang
menutup seluruh tubuh, sedangkan kepribadian asli muncul di pesta-pesta tertutup
Universitas Indonesia
dengan pakaian a la wanita Barat pada umumnya. Guna mencegah pelanggaran
moral, yang salah satunya adalah berpesta, pasukan penjaga moral Islam pun
mengerahkan banyak personil untuk berpatroli mencari para warga yang diam-
diam sedang mengadakan pesta semalam suntuk di rumahnya.
Ketika Marjane pulang dan berkuliah di Teheran, sifat pemberontak
Marjane tidak hilang, justru semakin bertambah. Ia sempat mengajukan protes
atas indoktrinasi yang dilakukan oleh para mullah. Yaitu aturan yang
menghendaki semua perempuan Iran untuk menggunakan pakaian yang lebih
panjang, tidak memakai kosmetik, dan menggunakan penutup kepala sehingga
tidak ada sehelai rambut pun yang terlihat. Marjane mempertanyakan hal tersebut,
“Since these trousers are the fashion right now, is religion defending our integrity
or is it opposed to fashion? You critizise us, yet our brothers here have different
hair and clothes. Why, as a woman, should their tight clothes have no effect on me
while a shorter headscarf arouses them?” (1:19:20). Karena kritikan pedasnya
yang mempertanyakan kebebasannya sebagai perempuan dibatasi oleh pihak
otoritas dan perlakuan berbeda antara perempuan dan laki-laki tersebut, Marjane
mendapat masalah dengan Komite Islam yang bertugas menjaga kesusilaan para
mahasiswa.
Gambar 3.7: Adegan Film Persepolis, 1:17:05 dan 1:19:20
Ketidakadilan yang dilihat oleh Marjane semakin tidak masuk akal ketika
ia dan rekan-rekannya sesama mahasiswi seni rupa berada di studio untuk melukis
sebuah objek manusia. Namun yang menjadi objek lukisan adalah seorang model
perempuan yang berpakaian rapat tertutup dari kepala hingga kaki. Menurut
Marjane apa yang ia dan rekan-rekannya kerjakan menjadi sangat bodoh, karena
tidak sejalan dengan mata kuliah yang mereka pelajari, kelas anatomi yang
seharusnya memperhatikan semua angle dari objek yang mereka lukis, malah
membuat lukisannya seperti tenda yang dipergunakan untuk berkemah. Suatu hari
Marjane terlambat menghadiri kelas karena kesiangan. Ketika ia berlari mengejar
Universitas Indonesia
bus, dua prajurit revolusi penjaga moral menegur Marjane supaya ia tidak berlari-
lari karena ketika bergerak bagian belakang Marjane dapat menimbulkan perasaan
cabul bagi yang melihatnya. Dengan kesal Marjane berteriak kepada dua prajurit
itu supaya dengan demikian tidak melihat bokongnya.
Sebagai sutradara, Satrapi memang banyak menyelipkan unsur komedi
dalam Persepolis. Dibandingkan film drama yang monoton dan serius, komedi
dalam Persepolis dipakai supaya pesan yang ingin Satrapi ungkapkan
tersampaikan dengan lebih mudah baik melalui dialog-dialog satir yang miris
namun menggelitik, hingga tingkah polah tokoh Marjane yang muncul dalam
adegan yang dapat mengundang tawa, khususnya ketika ia menceritakan
pengalaman-pengalaman masa remajanya di Teheran. Penonton pun boleh tertawa
dengan kegilaan yang Marjane hadapi seperti yang dikisahkan dalam film, namun
ketika seorang perempuan seperti Marjane berada dalam lingkungan tersebut
(masyarakat Iran) selama bertahun-tahun, tertawa pun telah menjadi kegetiran
dalam hidup. Pengalaman yang dikisahkan oleh Marjane seolah menunjukkan
bahwa masyarakat di sana pun telah dipaksa untuk berjiwa hipokrit. Seseorang
yang seharusnya lahir dan tumbuh dengan normal justru berkembang dalam
sistem yang menghalangi dirinya untuk mengenal kepribadiannya sendiri. Karena
apa yang tertanam di kepalanya adalah materi hafalan dari hasil indoktrinasi
pemerintah Republik Islam atas segala yang dinamakan penjagaan moral dan
kesusilaan masyarakat yang Islami.
Menurut Marjane, masyarakat seperti inilah yang dapat menghancurkan
integritas seseorang. Seseorang tidak lagi dapat menyuarakan pendapatnya, tidak
lagi dapat mengekspresikan dirinya. Pada dasarnya perilaku mereka berbeda
antara ranah publik dan privat. Dalam domain publik, perilaku yang muncul
sesuai dengan slogan-slogan fundamentalis. Namun tidak ada kesamaan dengan
apa yang sebenarnya dipikirkan dan diinginkan. Perilaku mereka di ruang publik
tidak sesuai dengan kepribadian mereka sesungguhnya, sehingga muncul jiwa
munafik yang terkesan dipaksakan, karena tidak memiliki pilihan lain.
Sebagai perempuan yang selalu ditanamkan oleh orangtuanya untuk hidup
berprinsip dan berbudaya, Marjane menyadari bahwa kecenderungan
berkepribadian bipolar seperti ini jika dipertahankan terus menerus dapat
Universitas Indonesia
membuat jiwanya terganggu. Karena itu, ia pergi dari Iran untuk mempertahankan
kewarasannya. Ia juga memperhatikan bahwa dalam masyarakat seperti itu,
perilaku perempuan tidak lagi bersifat normal. Ia menyaksikan teman-teman
perempuannya banyak yang menjalani dua hidup yang berbeda setiap harinya.
Boleh saja ketika siang mereka bersekolah dan menutupi tubuh mereka dengan
pakaian serba hitam dan panjang, namun ketika malam tiba mereka berpesta dan
mengganti hijabnya dengan pakaian perempuan-perempuan Barat pada umumnya.
Namun Marjane mengerti bahwa semua itu merupakan salah satu bentuk
resistensi emosional terhadap realitas yang terjadi di masyarakat kala itu.
Apa yang telah dilakukan Marjane memperlihatkan bahwa ketika ia
menuruti segala sesuatu yang bukan dari kehendaknya sendiri, Marjane
sepenuhnya gagal. Ia tumbuh bukan sebagai dirinya sendiri, prinsip hidupnya
kacau di tengah perlawanannya terhadap kehendak otoritas. Marjane merasa
dengan terus hidup seperti ini, bukan tidak mungkin ia menjadi budak kultur
patriarki yang terlanjur menyelubungi masyarakat di tanah airnya sendiri. Maka,
Marjane memutuskan untuk keluar dari Iran dan memilih untuk melanjutkan
hidupnya di Prancis. Bukan semata karena kemuakkannya terhadap hukum yang
tidak memihak kepadanya, namun juga karena kemampuan, talenta dan potensi
dirinya yang tertahankan dan tidak mampu ia manfaatkan semaksimal mungkin.
Qasim Amin mengatakan bahwa perempuan yang dilarang untuk mendidik
dirinya sendiri dan terjebak pada tugas-tugas domestik, atau perempuan yang
dibatasi untuk mengejar pendidikan, sesungguhnya adalah budak. Ini disebabkan
karena naluri alamiahnya dan talenta yang diberikan Tuhan kepadanya telah
tersubordinasi dengan jelas oleh kondisinya sendiri, yakni kondisi yang serupa
dengan moral perbudakan. Ia yang sepenuhnya terkungkung dan terselubung
(pada lengan, kaki, dan tubuhnya) yang membuatnya tidak leluasa bergerak,
berjalan, bernafas, melihat, dan berbicara, dapat digolongkan sebagai budak.23
23 Diakses pada www.nmhschool.org/tthornton/mehistorydatabase/qasim_amin.htm , pada tanggal 19 Juni 2009 pukul 20 :13, Qasim Amin, Al-Marat al Jadidah (Cairo, 1900), Translated by Ted Thornton, NMH Middle East Resource Center. pp. 30-34.
Universitas Indonesia
3.2.3 Pandangan Hidup dan Posisi Tokoh Perempuan
Lewat perspektif Marjane, peristiwa dan tokoh-tokoh digambarkan. Kisah
hidup dan keberanian Marjane diceritakan dari sudut pandang Marjane. Maka
kisah yang ditampilkan kepada penonton sesuai dengan pemahaman dan
penafsiran Marjane tentang apa yang ditemuinya. Dengan posisi seperti ini tidak
mungkin menghindari penilaian subjektif Marjane sebagai tokoh yang ikut terlibat
dalam cerita. Apalagi penonton tidak mendapatkan gambaran lebih jauh tentang
tokoh-tokoh lainnya.
Cerita Marjane dalam Persepolis lebih banyak didominasi oleh perjuangan
hidup dan penunjukkan potensi diri Marjane dari seorang gadis kecil menuju
seorang perempuan dewasa. Ia memainkan tokoh utama bukan sebagai objek
penderita laki-laki. Posisi Marjane sebagai narator membuatnya memiliki
kekuasaan membangun citra perempuan dan membentuk cerita tentang laki-laki
dan perempuan.
Tokoh Marjane sebagai tokoh utama dan peran keluarga yang selalu
mendukung keberaniannya, digambarkan sebagai karakter-karakter yang terjepit
budaya tradisi dan modernisasi. Untuk menggambarkan benturan budaya,
sutradara menyorot sistem, struktur dan kondisi budaya tertentu yang membentuk
pola-pola pikir dan perilaku seseorang. Sutradara menggambarkan Marjane pada
posisi terjerat tradisi dan tanpa disadari terseret dalam sikap memarjinalkan
perempuan. Namun begitu Marjane kembali bersikap rasional, ia tidak lagi
terjebak dalam masa transisi antara tradisi dan modernisasi. Sutradara
memunculkan gugatan Marjane dalam perjuangan perempuan yang menghendaki
perubahan. Hal ini bisa diamati dari caranya menggambarkan latar belakang serta
alasan yang dikemukakan tokoh perempuan.
Sebagian besar fokus film Persepolis terpusat pada perjuangan Marjane
untuk menegaskan identitas dirinya. Marjane dibesarkan di lingkungan keluarga
yang menyikapi dengan keras sikap opresi penguasa terhadap perempuan.
Keluarga Marjane memaklumi bahwa satu-satunya cara bagi Marjane untuk
mengembangkan dirinya secara penuh sebagai satu individu adalah memutuskan
baginya untuk keluar dari Iran demi penemuan identitas sejatinya. Perjalanan
Marjane kemudian membawanya untuk menerima dari mana dia berasal dan
Universitas Indonesia
untuk mengetahui siapa dia sebenarnya. Perjuangan yang Marjane hadapi dalam
film ini merepresentasikan perjuangan perempuan Iran yang menahan terlalu lama
untuk bebas menentukan dan mengembangkan potensi yang ada pada dirinya
sendiri.
Ketika menjadi seorang imigran, Marjane dihadapkan pada sifat alamiah
yang tidak dapat dipisahkan ketika ia berada di luar Iran. Suatu waktu ia bisa
bergantung dengan negara dimana ia tinggal, sementara ia juga dapat berkoneksi
dengan kampung halamannya. Bagi Marjane, sepeninggalnya dari Iran, Austria
adalah negerinya untuk sementara. Rasa nasionalisme Marjane pun sempat
dipertanyakan di salah satu adegan dalam film. Satu adegan yang memperlihatkan
konflik batin Marjane tentang identitas kebangsaannya adalah ketika suatu malam
ia berada di sebuah pesta di Wina bersama teman-teman sekolahnya, ia berbohong
kepada temannya dengan mengatakan bahwa ia orang Prancis dan mengaku
bahwa namanya adalah Marie-Jean laiknya nama perempuan Prancis.
Sepulangnya dari pesta, ia menemui bayangan neneknya di pinggir jalan raya dan
‘berbincang’ dengannya. Neneknya mempertanyakan dimana rasa nasionalis
Marjane sehingga bisa melupakan asal-usulnya. Marjane pun menebus pesimistik
nasionalismenya ketika di suatu adegan dimana teman-teman asingnya bergosip
karena mengetahui Marjane berbohong tentang nasionalismenya, Marjane
membentak mereka, “That’s right I’m Iranian! And I’m proud of it!.”(53:33)
Ketika Marjane menikah, ia sempat kesulitan dalam membina hubungan
keluarga. Lelaki yang selama ini ia cintai ternyata tidak seperti yang dikenalinya
selama ini. Suaminya pemalas dan pengangguran. Di dalam film ia digambarkan
sebagai laki-laki yang tidak jelas. Marjane menanggapi laki-laki seperti itu
sebagai makhluk yang mempunyai kebutuhan primitif karena suaminya
menikahinya atas desakan nafsu birahinya saja. Maka Marjane menggugat cerai
suaminya. Ibu Marjane sedari awal sudah berkeberatan dengan keputusan anaknya
yang ingin menikah dini. Ia menginginkan anaknya independen, berpendidikan,
dan berbudaya, bukan menikah di usia ke-21. Dialog antara Marjane dengan
ibunya memberikan informasi bahwa masyarakat Iran tidak mempermasalahkan
remaja menikah di usia dini, sementara ibu Marjane tidak ingin anaknya tumbuh
seperti gadis Iran kebanyakan yang memutuskan menikah muda. Keputusan
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Marjane untuk menikah adalah contoh nyata bagi perempuan Iran yang terpaksa
untuk membuat keputusan yang tidak praktis, hanya supaya ia diberikan sedikit
lagi kebebasan.
Pandangan hidup ibu Marjane yang tidak ingin anaknya bersikap pasif
karena mengikuti tradisi dan hukum pemerintahan Islam membuatnya menyuruh
Marjane untuk keluar dari Iran dan mendapatkan emansipasi. Kondisi sosial
politik di Iran menunjukkan ketidakpedulian masyarakat pada masalah
perempuan. Ibu Marjane menginginkan anaknya menjadi perempuan sejati, a real
woman.
A real woman, selain berarti perempuan sesungguhnya atau perempuan
nyata, kata ini bisa bermakna perempuan sejati atau benar-benar perempuan yang
digambarkan sebagai sosok yang berani, yang patut dihargai dan dihormati karena
apa yang telah diperbuatnya. Bukan perempuan sejati dalam perspektif patriarki,
yaitu perempuan yang lembut, tingkah lakunya sesuai dengan nilai-nilai yang
dibangun budaya patriarki: setia, patuh, mengabdi pada keluarga, dan tetap berada
di arena domestik. Citra ini membentuk perempuan yang tidak rasional, rapuh,
tidak mandiri, dan mudah terpengaruh. Citra seperti inilah yang lebih diinginkan.
Sedangkan pandangan hidup tokoh-tokoh perempuan di Persepolis
merepresentasikan kelompok perempuan yang menolak dan berontak terhadap
dominasi laki-laki yang mentradisi dan melalui Marjane, pemberontakan
perempuan terproyeksikan.
Marjane adalah satu dari sekian banyak perempuan muda Iran yang ingin
dibebaskan dari keterkungkungan, yang membutuhkan potensinya untuk
dikembangkan sebagai satu individu, yang tidak ingin direnggut kebebasannya
oleh penguasa. Marjane memang mendapatkan apa yang ia inginkan, namun
secara nyata ia tidak melupakan apa yang sesungguhnya terjadi di tanah airnya
sendiri.