bab ii rkpd 2012
TRANSCRIPT
BAB II EVALUASI HASIL PELAKSANAAN RKPD TAHUN LALU DAN CAPAIAN
KINERJAPENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN
2.1 Gambaran Umum Kondisi Daerah
2.1.1 Aspek Geografis dan Demografi
2.1.1.1 Karakteristik Lokasi Dan Wilayah
1. Luas dan Batas Administrasi
Jawa Timur dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu Jawa
Timur daratan dan Kepulauan Madura. Luas wilayah Jawa Timur
daratan hampir mencakup 90% dari seluruh luas wilayah, sedangkan
luas Kepulauan Madura hanya sekitar 10%. Luas wilayah Provinsi Jawa
Timur mencapai 4.713.014,67 Ha dan terbagi atas 29 wilayah
kabupaten dan 9 kota, wilayah pesisir dan laut sejauh 12 mil dari garis
pantai, ruang di dalam bumi serta wilayah udara. Batas-batas wilayah
Provinsi Jawa Timur sebagai berikut :
• Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa - Pulau Kalimantan
(Provinsi Kalimantan Selatan)
• Sebelah Timur berbatasan dengan Selat Bali - Pulau Bali
• Sebelah Selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia
• Sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah
2. Letak dan Kondisi Geografis
Provinsi Jawa Timur secara geografis terletak pada 111o 0’
hingga 114o4’ Bujur Timur dan 7o12’ hingga 8o48’ Lintang Selatan.
Panjang bentangan barat-timur sekitar 400 kilometer. Lebar
bentangan utara-selatan di bagian barat sekitar 200 kilometer,
sedangkan di bagian timur lebih sempit, hanya sekitar 60 kilometer.
Madura adalah pulau terbesar di Jawa Timur, dipisahkan dengan
daratan Jawa oleh Selat Madura. Pulau Bawean berada sekitar 150
kilometer sebelah utara Jawa. Di sebelah timur Madura terdapat
gugusan pulau, paling timur adalah Kepulauan Kangean, dan paling
utara adalah Kepulauan Masalembu. Di bagian selatan terdapat dua
pulau kecil, Nusa Barung dan Pulau Sempu.
−10−
Kondisi kawasan pada Provinsi Jawa timur terbagi menjadi 4
aspek antara lain : kondisi kawasan tertinggal, kondisi kawasan pesisir,
kondisi kawasan pegunungan dan kondisi kawasan kepulauan.
a. Kondisi Kawasan Tertinggal
Pada dasarnya kawasan tertinggal adalah suatu kawasan yang
tidak mampu memenuhi kebutuhan dirinya sendiri sesuai dengan
standart taraf hidup, disebabkan kemiskinan secara struktural dan
natural. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan karena struktur
sosial sedangkan kemiskinan natural karena faktor alam yang tidak
seimbang antara rasio jumlah penduduk dengan daya dukung alam.
Penetapan kawasan tertinggal ditentukan melalui perhitungan
tingkat kemiskinan relative antarkabupaten/kota. Kabupaten/kota
dengan tingkat kemiskinan tertinggi dikategorikan sebagai kawasan
tertinggal. Wilayah yang termasuk kategori kawasan tertinggal
dengan tingkat kemiskinan tertinggi adalah Kabupaten Tuban,
Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten Jombang, Kabupaten Pacitan,
Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Bondowoso, Kabupaten
Bangkalan, Kabupaten Sampang, Kabupaten Pamekasan, Kabupaten
Sumenep dan pulau-pulau kecil di sekitarnya.
b. Kondisi Kawasan Pesisir
Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan
laut. Ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik
kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat
laut, seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin.
Sedangkan ke arah laut, wilayah pesisir mencakup bagian laut yang
masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat, seperti
sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan karena
kegiatan manusia di darat, seperti penggundulan hutan dan
pencemaran.
Pesisir bagian utara, selatan dan laut di wilayah Provinsi Jawa
Timur mempunyai hamparan hutan mangrove, padang lamun dan
ekosistem terumbu karang yang mengelilinginya yang harus
dilestarikan. Ketiga ekosistem tersebut memiliki ciri, sifat dan
karakter yang berbeda – beda akan tetapi saling terkait satu sama
lainnya. Hubungan ketiga ekosistem tersebut adalah mutualistik yaitu
−11−
di antaranya: mangrove menyediakan makanan/hara bagi padang
lamun sedangkan padang lamun memecah/meredam gelombang dari
lautan sehingga mangrove tumbuh dengan baik karena mangrove
tidak tahan terhadap gelombang yang cukup besar.
Berdasarkan kondisi geografis, wilayah pesisir dan laut Jawa
Timur ke arah daratan sebagian besar merupakan pegunungan dan
perbukitan sehingga kemiringan wilayah pesisirnya relatif tinggi.
Kemiringan rendah (datar) dijumpai pada sebagian kecil wilayah teluk
dan lembah. Ke arah laut wilayah pesisir tersusun oleh pasir, tanah
padas, batu dan karang dengan kemiringan yang relatif tajam.
c. Kondisi Kawasan Pegunungan
Secara umum wilayah Provinsi Jawa Timur merupakan
kawasan subur dengan berbagai jenis tanah seperti Halosen,
Pleistosen, Pliosen, Miosen, dan Kwarter yang dipengaruhi adanya
gunung berapi dan salah satunya adalah gunung tertinggi di Pulau
Jawa yaitu Gunung Semeru. Jajaran pegunungan di Provinsi Jawa
Timur tersebar mulai dari perbatasan di timur dengan adanya
Gunung Lawu, Gunung Kelud, Gunung Semeru, Gunung Bromo,
Gunung Argopuro, Gunung Ijen.
d. Kondisi kawasan Kepulauan
Pulau-pulau kecil di Jawa Timur berada dalam wilayah
administratif Kabupaten Pacitan, Trenggalek, Malang, Jember,
Probolinggo, Banyuwangi, Gresik, Sampang, dan Sumenep. Dari
beberapa wilayah tersebut kawasan yang memiliki pulau terbanyak
adalah Kabupaten Sumenep, berjumlah 69 pulau dan 19 pulau
lainnya yang belum ternamai.
3. Kondisi Topografi
Kondisi topografi Provinsi Jawa Timur terbagi menjadi 2 aspek
antara lain :
a. Kemiringan Lahan
Tingkat kemiringan lahan didapatkan dari perbandingan
ketinggian dari tiap dataran yang ada pada Provinsi Jawa timur yang
disajikan pada gambar 2.1.
−12−
Gambar 2. 1 Peta Kemiringan Lahan
Sumber : RTRW Provinsi Jawa Timur
b. Ketinggian Lahan
Secara topografi wilayah daratan Jawa Timur dibedakan
menjadi beberapa wilayah ketinggian, yaitu :
• Ketinggian 0 – 100 meter dpl : meliputi 41,39 % dari seluruh
luas wilayah dengan topografi delatif datar dan bergelombang.
• Ketiggian 100 – 500 meter dpl : meliputi 36,58 % dari luas
wilayah dengan topografi bergelombang dan bergunung.
• Ketinggian 500 – 1000 meter dpl : meliputi 9,49 % dari luas
wilayah dengan kondisi berbukit.
• Ketinggian 1000 – 2000 meter dpl : meliputi 12,55 % dari
seluruh luas wilayah dengan topografi bergunung dan terjal.
4. Kondisi Geologi
secara umum wilayah Provinsi Jawa Timur merupakan kawasan
subur dengan berbagai jenis tanah seperti Halosen, Pleistosen, Pliosen,
Miosen, dan Kwarter yang dipengaruhi adanya gunung berapi, sekitar 20,60
% luas wilayah yaitu wilayah puncak gunung api dan perbukitan gamping
yang mempunyai sifat erosif, sehingga tidak baik untuk dibudidayakan
sebagai lahan pertanian. Sebagian besar wilayah Jawa Timur mempunyai
−13−
kemiringan tanah 0-15 %, sekitar 65,49 % dari luas wilayah yaitu wilayah
dataran aluvial antar gunung api sampai delta sungai dan wilayah pesisir
yang mempunyai tingkat kesuburan tinggi dan dataran aluvial di lajur
Kendeng yang subur, sedang dataran aluvial di daerah gamping lajur
Rembang dan lajur Pegunungan Selatan cukup subur.
Kondisi geologi Jawa Timur yang cukup kaya akan potensi
sumberdaya mineral, memiliki sekitar 20 jenis bahan galian yang
mendukung sektor industri maupun konstruksi, yang secara umum
dapat dikelompokkan menjadi empat lajur, yaitu: pertama lajur
Rembang terbentuk oleh batu lempung napalan dan batu gamping
merupakan cekungan tempat terakumulasinya minyak dan gas bumi;
kedua lajur Kendeng terbentuk batu lempung dan batupasir, potensi
lempung, bentonit, gamping; ketiga lajur Gunung Api Tengah terbentuk
oleh endapan material gunung api kuarter, potensi bahan galian
konstruksi berupa batu pecah (bom), krakal, krikil, pasir, tuf; keempat
lajur Pegunungan Selatan terbentuk oleh batu gamping dengan intrusi
batuan beku dan aliran lava yang mengalami tekanan, potensi mineral
logam, marmer, onyx, batu gamping, bentonit, pospat.
5. Kondisi Hidrologi
Kondisi hidrologi Provinsi Jawa Timur terbagi menjadi 3 aspek
antara lain : Daerah aliran sungai, sungai danau dan rawa, debit air.
a. Satuan Wilayah Sungai
Wilayah Jawa Timur memiliki sumber daya air yang cukup
besar yang terdiri dari air permukaan, air tanah dan mata air. Secara
luas wilayah jawa timur terbagi dalam empat satuan wilayah sungai
(SWS) yakni SWS Brantas, SWS Bengawan Solo, SWS Pekalen
Sampean, SWS Maduran dan kepulauan.
Wilayah Sungai Brantas merupakan sungai terpanjang di Jawa
Timur yaitu sepanjang 290,5 km dengan total catchment area
sebesar 12000 Km2 yang memiliki pola percabangan jaringan sungai
Dendritic dengan jumlah sungai 485 sungai. Wilayah Brantas
memiliki kapasitas tampung 505,70 juta m3, di wilayah ini dapat
dialiri baku sawah seluas 306,793 Ha
−14−
Wilayah Sungai Bengawan Solo di Jawa Timur memiliki luas
wilayah 1.2842 km2 yang meliputi Kabupaten Trenggalek,
Tulungagung, Kediri, Nganjuk, Jombang, Pacitan, Ponorogo, Madiun,
Magetan, Bojonegoro, Lamongan, Tuban, dan Gresik. Bengawan
Solo memiliki pola percabangan aliran dengan kapasitas tampung
142,45 juta m3 dan luas baku sawah yang dialiri sebesar 258.179 Ha.
Wilayah Sungai Pekalen Sampean memiliki karakteristik
berbeda dengan wilayah sungai yang disebutkan terdahulu yakni
Brantas dan Bengawan Solo. Wilayah ini tidak dihubungkan dengan
sungai panjang yang melintasi seluruh wilayah seperti pada Brantas
maupun Bengawan Solo. Wilayah ini terdiri dari banyak DPS (Daerah
Pengaliran Sungai) kecil yang tersebar di seluruh wilayah. Total
kapasitas tampung yang ada 21,85 juta m2 dengan luas wilayah
16.323 km2. Luas baku sawah yang dialiri di Wilayah Sungai ini
sebesar 3.232.015 Ha.
Wilayah SungaiMadura dan kepulauan, seperti halnya WS
Pekalen Sampean terdiri dari beberapa wilayah sungai-wilayah
sungai yang kecil-kecil yang kebanyakan tersebar di bagian selatan
Madura, sedikitnya 245 sungai. Wilayah Sungai ini secara
keseluruhan memiliki kapasitas tampung 1.000 juta m3, dengan total
luas wilayah 4.887 km2 dan baku sawah yang dialiri mencapai
24.263 Ha.
b. Danau dan Rawa
Danau dan rawa yang terdapat di Jawa Timur seluas 9483,90
Ha dan tersebar di seluruh wilayah sungai, wilayah sungai Brantas
lebih tertata dalam pemanfaatan sumber air dibandungkan wilayah
sungai lainnya. Waduk-waduk tersebut digunakan multi fungsi yakni
sebagai sumber air irigasi, pembangkit listrik (PLTA) maupun
pengelak banjir
6. Kondisi Klimatologi
Apabila dilihat dari iklim/curah hujan pola musim penghujan
berjalan dari bulan november (33,4oC) dan keadaan terendah di bulan
agustus (13.6oC) dengan kelembaban 31 sampai 98 %. Curah hujan di
Jawa Timur dikaitkan dengan tinggi tempat memperlihatkan bahwa
semakin tinggi tempat cenderung semakin tinggi pula curah hujannya,
−15−
terutama pada ketinggian lebih dari 500 meter dpl dan kondisi
ketinggian tersebut banyak lokasi dataran tinggi dengan kelerengan
40% maka dengan curah hujan yang tinggi (januari – april) tersebut
diperlukan pelestarian kawasan lindung dan peresapan air tanah untuk
menghindari adanya bencana.
7. Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan pada Provinsi Jawa Timur terdiri dari
penggunaan kawasan lindung dan kawasan budidaya. Kawasan lindung
terdiri dari kawasan hutan lindung, kawasan perlindungan setempat,
kawasan cagar alam, suaka alam dan cagar budaya, kawasan rawan
bencana, kawasan lindung geologi. Kawasan budidaya terdiri dari
kawasan hutan produksi, kawasan hutan rakyat, kawasan pertanian,
kawasan perikanan, kawasan industri, kawasan permukiman, kawasan
pariwisata, kawasan pertambangan, kawasan perkebunan, kawasan
peternakan. Yang disajikan luasannya pada tabel 2.1
Tabel 2.1
Tabel Penggunaan Lahan Provinsi Jawa Timur
No. Penggunaan Lahan Eksisting (Ha)
No. Penggunaan Lahan Eksisting (Ha)
A. KAWASAN LINDUNG B. KAWASAN BUDIDAYA
1 Hutan Lindung 314.720 1 Kawasan Hutan Produksi 815.851
2 Rawa/ Danau/Waduk 10.447 2 Kawasan Hutan Rakyat 361.570
3 Kawasan Suaka Alam, Pelestarian Alam
3 Kawasan Pertanian
1) Suaka Margasatwa 18.009 1) Pertanian Lahan Basah 911.863
2) Cagar Alam 10.958 2) Pertanian lahan kering/ tegalan/kebun campur
1.108.627
3) Taman Nasional 176.696 4 Kawasan Perkebunan 359.481
4) Taman Hutan Raya 27.868 5 Kawasan Perikanan 60.928
5) Taman Wisata Alam 298 6 Kawasan Industri 7.404
7 Kawasan Pemukiman 595.255
T O T A L 4.779.975
Sumber : RTRW Provinsi Jawa Timur 2011
−16−
Gambar 2.2 Peta Penggunaan Lahan
−17−
2.1.1.2 Potensi Pengembangan Wilayah
1. Pertanian
Potensi pengembangan Provinsi Jawa Timur untuk lahan
pertanian di Jawa Timur meliputi pertanian lahan basah, pertanian
lahan kering, dan hortikultura. Perbedaan mendasar dari pertanian
lahan basah dan pertanian lahan kering adalah pertanian lahan basah
sepanjang tahun dapat ditanami padi karena adanya cukup air, baik dari
sawah beririgasi teknis, sawah beririgasi semi teknis, sawah beririgasi
sederhana, sawah pedesaan dan termasuk di dalamnya lahan reklamasi
rawa pasang surut dan non pasang surut. Sedangkan pertanian lahan
kering biasanya tanamannya beragam, saat musim hujan ditanami padi
dan saat kemarau ditanami padi gogo atau palawija, misal : kacang
hijau, kedelai, kacang tanah, ubi kayu. Yang termasuk dalam pertanian
lahan kering adalah tegalan, kebun campur, dan lahan pertanian yang
tidak mendapat layanan irigasi.
Lokasi dari potensi pengembangan wilayah untuk pertanian di
Provinsi Jawa Timur disesuaikan dengan wilayah kondisi geografis dari
masing-masing Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Timur.
2. Perikanan
Potensi pengembangan wilayah untuk kawasan perikanan lebih
dititik beratkan pada perikanan tangkap dan budidaya perikanan. Dalam
menunjang pengembangan ekspor komoditi, pengembangan perikanan
perlu didukung dengan pengembangan pengelolaan pasca panennya
berserta fasilitas penunjangnya yang menunjang kualitas.
Potensi dari pengembangan untuk kawasan perikanan tangkap
dapat dikembangkan dengan pengembangan minapolitan,
pengembangan komoditi perikanan, pengembangan pelabuhan
perikanan nusantara (PPN), pengembangan pelabuhan perikanan
pantai (PPP), dan pengembangan pangkalan pendaratan ikan (PPI).
Lokasi dari pengembangan kawasan perikanan tangkap terdapat pada
seluruh perairan yang berada di Provinsi Jawa Timur.
Sedangkan potensi pengembangan budidaya perikanan di Jawa
Timur dibedakan menjadi perikanan budidaya air payau, budidaya air
tawar, dan budidaya air laut. Sektor perikanan budidaya air payau di
Provinsi Jawa Timur sudah berkembang di kawasan Ujung Pangkah,
Panceng Kabupaten Gresik, dan Sedati di Kabupaten Sidoarjo yang
−18−
didominasi oleh budidaya ikan bandeng. Sedangkan wilayah lain yang
memiliki budidaya perikanan tambak benur/udang di Situbondo. Untuk
perikanan air tawar di Provinsi Jawa Timur tersebar di berbagai wilayah
dengan potensi sumber daya air cukup. Pengembangan perikanan darat
dibagi menjadi perikanan kolam, mina padi dan perairan umum.
Perikanan budidaya air laut merupakan potensi dasar provinsi Jawa
Timur yang dapat dikembangkan sebagai penunjang perikanan tangkap,
prospek tersebut dapat memberikan motivasi terhadap nelayan untuk
memberdayakan potensi kelautan di Jawa Timur.
3. Pertambangan
Kawasan pertambangan di wilayah Provinsi Jawa Timur dibagi
menjadi pertambangan mineral, pertambangan minyak dan gas bumi
serta potensi panas bumi. Pertambangan mineral meliputi
pertambangan mineral logam, pertambangan mineral non logam dan
pertambangan batuan, dengan penyebaran pertambangan mineral
logam di wilayah Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Blitar; Kabupaten
Jember; Kabupaten Lumajang; Kabupaten Malang; Kabupaten Pacitan;
Kabupaten Trenggalek; dan Kabupaten Tulungagung. Sedangkan
pertambangan mineral non logam dan pertambangan batuan tersebar
di seluruh wilayah kabupaten di Jawa Timur. Adapun potensi
pengembangan kawasan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi berlokasi
pada Wilayah Kerja Minyak dan Gas, sedangkan untuk potensi panas
bumi terdapat pada lokasi-lokasi yang berada didaerah pegunungan di
Jawa Timur, sebagaimana terlihat pada peta berikut.
−19−
−20−
4. Industri
Kawasan peruntukan industri di Provinsi Jawa Timur meliputi:(1)
kawasan peruntukan industri, yang terdiri dari kawasan industri
kecil/rumah tangga, kawasan industri agro; dan (2) kawasan industri
yang terdiri dari kawasan industri ringan, kawasan industri berat dan
kawasan industri petrokimia. Pengembangan kawasan peruntukan
industri di Provinsi Jawa Timur seluas kurang lebih 19.742 Ha atau
0,41% dari luas Jawa Timur. Lokasi dari potensi pengembangan dari
industri terdapat pada masing-masing Kabupaten/Kota di Jawa Timur.
5. Pariwisata
Kawasan pengembangan pariwisata di Provinsi Jawa Timur dibagi
dalam: kawasan wisata alam, kawasan wisata budaya, kawasan wisata
buatan/taman rekreasi dan kawasan wisata lainnya. Pengembangan
potensi untuk Kawasan Pariwisata di Jawa Timur dikembangkan melalui
empat koridor pengembangan, yakni pengembangan koridor A dengan
pusat pelayanan wisata di Kota Surabaya, koridor B dengan pusat
pelayanan wisata di Kabupaten Magetan, koridor C dengan pusat
pelayanan wisata di Kabupaten Pacitan dan Kota Malang, serta koridor
D dengan pusat pelayanan wisata di Kabupaten Banyuwangi, Situbondo
dan Probolinggo.
2.1.1.3 Wilayah Rawan Bencana
Kawasan rawan bencana alam merupakan kawasan yang
diindikasikan sebagai kawasan yang sering terjadi bencana. Di wilayah
Provinsi Jawa Timur, kawasan rawan bencana dikelompokkan dalam
kawasan rawan bencana tanah longsor, kawasan rawan bencana
gelombang pasang, kawasan rawan bencana banjir dan kawasan rawan
bencana kebakaran hutan dan angin kencang.
1. Kawasan Rawan Bencana Longsor
Tanah longsor merupakan salah satu jenis gerakan massa tanah
atau batuan, ataupun percampuran keduanya, menuruni atau keluar
lereng akibat dari terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun
lereng tersebut. Kriteria penetapan kawasan rawan tanah longsor
menurut PP No 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional adalah kawasan berbentuk lereng yang rawan terhadap
−21−
perpindahan material pembentuk lereng berupa batuan, bahan
rombakan, tanah, atau material campuran.
Ada 6 jenis tanah longsor, yakni: longsoran translasi, longsoran
rotasi, pergerakan blok, runtuhan batu, rayapan tanah, dan aliran
bahan rombakan. Jenis longsoran translasi dan rotasi paling banyak
terjadi di Indonesia. Sedangkan longsoran yang paling banyak
memakan korban jiwa manusia adalah aliran bahan rombakan.
Kawasan rawan bencana longsor pada Provinsi Jawa Timur adalah
kawasan sekitar lereng pegunungan dengan kemiringan 25%-40%.
2. KawasanRawan Gelombang Pasang
Menurut PP No 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional kriteria kawasan rawan gelombang pasang adalah
kawasan sekitar pantai yang rawan terhadap gelombang pasang
dengan kecepatan antara 10 sampai dengan 100 kilometer per jam
yang timbul akibat angin kencang atau gravitasi bulan atau matahari.
Kawasan rawan gelombang pasang di Provinsi Jawa Timur
berada di kawasan sepanjang pantai di wilayah Jawa Timur baik yang
berbatasan dengan Laut Jawa, Selat Bali, Selat Madura, Samudera
Hindia dan di kawasan kepulauan.
3. Kawasan Rawan Banjir
Banjir adalah suatu keadaan sungai, dimana aliran sungai tidak
tertampung oleh palung sungai, sehingga terjadi limpasan dan atau
genangan pada lahan yang semestinya kering. Menurut PP No 26 Tahun
2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, kriteria kawasan
rawan banjir adalah kawasan yang diidentifikasikan sering dan/atau
berpotensi tinggi mengalami bencana alam banjir. Lokasi dengan potensi
banjir yang paling tinggi terdapat pada Kabupaten Gresik dan Kabupaten
Lamongan terutama pada wilayah yang dilewati oleh sungai Bengawan
Solo.
4. Kawasan Rawan Kebakaran Hutan dan Angin Kencang
Kawasan rawan bencana kebakaran hutan dan angin kencang di
Jawa Timur meliputi kawasan di Gunung Arjuno, Gunung Kawi, Gunung
Welirang dan Gunung Kelud dan kawasan-kawasan dengan potensi
angin puting beliung.
−22−
5. Kawasan Rawan Bencana Alam Geologi
Kawasan rawan bencana alam geologi di Provinsi Jawa Timur
meliputi kawasan rawan bencana letusan gunung berapi, kawasan
rawan gempa bumi, kawasan rawan bencana tsunami dan kawasan
rawan luapan lumpur.
6. Kawasan Rawan Bencana Gunung Berapi
Menurut PP No 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional, kriteria penetapan kawasan rawan letusan gunung
berapi meliputi:
• wilayah di sekitar kawah atau kaldera; dan/atau
• wilayah yang sering terlanda awan panas, aliran lava, aliran lahar
lontaran atau guguran batu pijar dan/atau aliran gas beracun.
Kawasan rawan letusan gunung berapi merupakan kawasan yang
sering dan atau mempunyai potensi terancam bahaya letusan gunung
api baik secara langsung maupun tidak langsung yang meliputi daerah
terlarang, daerah bahaya I, dan daerah bahaya II. Kawasan rawan
letusan gunung berapi di Jawa Timur berada pada lereng gunung berapi
yang masih aktif.
7. Kawasan Rawan Gempa Bumi
Gempa bumi berlaku setiap hari di bumi, tetapi umumnya
berskala kecil, sehingga tidak menyebabkan kerusakan. Gempa bumi
yang kuat mampu menyebabkan kerusakan dan kehilangan nyawa yang
besar melalui beberapa cara termasuk retakkan pecah (fault rupture),
getaran bumi (gegaran) banjir disebabkan oleh tsunami, lempengan
pecah, berbagai jenis kerusakan muka bumi kekal seperti tanah runtuh,
tanah lembik, dan kebakaran atau perlepasan bahan beracun. Kriteria
kawasan rawan gempa menurut PP No 26 Tahun 2008 Tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional adalah kawasan yang berpotensi
dan/atau pernah mengalami gempa bumi dengan skala VII sampai
dengan XII Modified Mercally Intensity (MMI).
Di Provinsi Jawa Timur Lokasi Gempa berdasarkan Skala Modified
Mercalli Intensity (MMI adalah wilayah bagian Selatan yakni Kabupaten
Tulungagung, KabupatenTrenggalek, Kabupaten Blitar, Kabupaten
Malang, Kabupaten Jember dan Kabupaten Banyuwangi bagi selatan.
−23−
8. Kawasan Rawan Tsunami
Penetapan wilayah rawan tsunami didasarkan pada angka
kejadian di masa lalu serta keberadaan lempeng tektonik. Berdasarkan
kondisi geologi, selain kaya akan sumberdaya alam wilayah selatan
Jawa juga merupakan daerah dengan tingkat kerawanan yang tinggi
terhadap bencana alam, seperti rawan gempa tektonik dan vulkanik
disepanjang “ring of fire” dari Sumatra – Jawa – Bali – Nusa Tenggara –
Banda – Maluku yang berdampak terhadap adanya bencana tsunami.
• Di wilayah Jawa Timur wilayah rawan gempa utamanya pada pantai
selatan Jawa Timur,Resiko besar tsunami, meliputi:Kabupaten
Banyuwangi, Kabupaten Jember, Kabupaten Pacitan, Kabupaten
Trenggalek.
• Resiko sedang tsunami, meliputi:Kabupaten Malang bagian selatan,
Kabupaten Blitar selatan, Kabupaten Lumajang, Kabupaten
Tulungagung.
Untuk daerah rawan tsunami , ditetapkan daerah bahaya 1
dengan jarak 3.500 meter dari garis pasang tertinggi. Permukiman
dikembangkan berada di belakang daerah bahaya 1 dan penataan
daerah bahaya 1.
9. Kawasan Luapan Lumpur
Kawasan luapan lumpur meliputi area terdampak dari bahaya
luapan lumpur, polusi gas beracun, dan penurunan permukaan tanah
(land subsidence) di wilayah Kabupaten Sidoarjo.
2.1.1.4 Kondisi Demografi
Berdasarkan Hasil Sensus Penduduk 2010 (SP 2010) di Jawa Timur
menunjukkan bahwa jumlah penduduk Jawa Timur sebesar 37.476.011
jiwa, terdiri dari penduduk laki-laki sebesar 18.488.290 jiwa dan penduduk
perempuan 18.987.721 jiwa. Dibandingkan dengan Provinsi lainnya, Jawa
Timur merupakan provinsi dengan penduduk terbesar ke dua di Indonesia
setelah Jawa Barat yang sebesar 43.1170.260 jiwa. Jumlah penduduk
disetiap Kabupaten/Kota pada tahun 2010 sangat bervariasi, dari yang
tertinggi Kota Surabaya dengan jumlah penduduk 2.765.908 jiwa dan
terendah yaitu Kota Mojokerto dengan jumlah penduduk sebesar 120.132
jiwa.
−24−
Sejak tahun 2000 – 2010/selama sepuluh tahun terakhir laju
pertumbuhan penduduk Jawa Timur per tahun sebesar 0,75 persen.
Seluruh Kabupaten/Kota, kecuali Kabupaten Lamongan, laju pertumbuhan
penduduknya mengalami peningkatan. Laju pertumbuhan penduduk
tertinggi sebesar 2,21 persen dimiliki oleh Kabupaten Sidoarjo, sementara
Kabupaten/Kota yang memiliki tingkat laju pertumbuhan penduduk
terendah adalah Kabupaten Ngawi sebesar 0,05 persen, bahkan Kabupaten
Lamongan tumbuh minus 0,02 persen
2.1.1.5 Posisi RTRW Provinsi Jawa Timur dan RTRW Kabupaten/Kota
RTRW Provinsi Jawa Timur sudah mendapatkan persetujuan
substansi dari Kementerian Pekerjaan Umum pada tanggal 20 Desember
2010. Pada saat ini posisi RTRW Provinsi Jawa Timur berada pada proses
pembahasan Raperda dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa
Timur sebelum disampaikan laporan kepada Menteri Dalam Negeri untuk
dilakukan evaluasi.
Untuk RTRW Kabupaten/Kota statusnya masih didalam proses untuk
pengajuan Raperda yang nantinya akan diperdakan. Dari 38
Kabupaten/Kota yang sudah mendapatkan Nomor Rekomendasi dari
Gubernur sudah 35 Kabupaten/Kota, tanpa Kota Surabaya, Kabupaten
Sumenep, dan Kabupaten Jember. Sedangkan sampai saat ini posisi dari
RTRW Kabupaten/Kota yang statusnya sudah perda baru 8 (delapan)
Kabupaten dan 2 (dua) kota yaitu Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Blitar,
Kabupaten Jombang, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Malang, Kabupaten
Pacitan, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Sidoarjo, Kota Malang dan Kota
Probolinggo.
2.1.2 Aspek Kesejahteraan Masyarakat
2.1.2.1 Fokus Kesejahteraan dan Pemerataan Ekonomi
1. Pertumbuhan PDRB
Pada tahun 2006 perekonomian Jawa Timur sebesar 5,80 persen,
sedikit melambat dibandingkan tahun 2005 sebagai dampak terjadinya
kenaikan harga BBM. Sektor perdagangan, hotel dan restoran tumbuh
paling cepat dibandingkan sektor lainnya, yaitu sebesar 9,63 persen, diikuti
oleh sektor pertambangan dan penggalian, sektor keuangan, sewa dan jasa
perusahaan, serta sektor pengangkutan dan komunikasi yang masing-
−25−
masing sebesar 8,41 persen, 7,49 persen, dan 7,37 persen. Sementara itu
sektor pertanian dan sektor industri pengolahan sebagai sektor yang
dominan di Jawa Timur, hanya tumbuh sebesar 3,96 persen dan 3,09
persen.
Tabel 2.2
Pertumbuhan PDRB Sektoral Atas Dasar Harga Konstan 2000
Tahun 2006-2010 (persen)
Sektor 2006 2007 2008 2009) 2010*)
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1 Pertanian 3,96 3,14 3,12 3,92 2,23 2. Pertambangan & Penggalian 8,41 10,35 9,31 6,92 9,18 3. Industri Pengolahan 3,09 4,77 4,36 2,80 4,32 4. Listrik,Gas & Air Bersih 4,09 13,70 3,00 2,72 6,43
5. Konstruksi 1,43 1,21 2,71 4,25 6,64
6. Perdagangan, Hotel & Restoran 9,63 8,39 8,07 5,58 10,67 7. Pengangkutan & Komunikasi 7,37 7,83 8,98 12,98 10,07
8. Keuangan, Sewa, & Jasa Perusahaan
7,49 8,40 8,05 5,30 7,27
9. Jasa-jasa 5,37 5,77 6,32 5,76 4,34
PDRB 5,80 6,11 5,94 5,01 6,68
Sumber : BPS Provinsi Jawa Timur Keterangan : * ) Angka Diperbaiki
Pengaruh kenaikan harga BBM pada tahun 2005-2006 mulai berkurang
pada tahun 2007, sehingga tahun 2007 perekonomian Jawa Timur nampak
meningkat dengan tumbuh sebesar 6,11 persen. Sektor listrik, gas, dan air
bersih tercatat mengalami pertumbuhan paling tinggi, yaitu sebesar 13,70
persen, diikuti sektor pertambangan dan penggalian, sektor keuangan, sewa,
dan jasa perusahaan serta sektor perdagangan, hotel, dan restoran masing-
masing sebesar 10,35 persen, 8,40 persen dan 8,39 persen. Sedangkan sektor
industri pengolahan dan sektor pertanian yang masih menjadi penyumbang
terbesar kedua dan ketiga dalam perekonomian Jawa Timur hanya mampu
tumbuh 4,77 persen dan 3,14 persen.
Krisis keuangan global yang terjadi pada semester II tahun 2008
berpengaruh pada melambatnya perekonomian Jawa Timur tahun 2008,
sebesar 5,94 persen. Tercatat tiga sektorbesaryaitu sektor perdagangan, hotel
dan restoran, sektor industri pengolahan dan sektor pertanian mengalami
perlambatan pertumbuhan. Sektor-sektor yang masih mengalami pertumbuhan
tinggi adalah sektor pertambangan dan penggalian, sektor pengangkutan dan
komunikasi, sektor perdagangan, hotel dan restoran, dan sektor keuangan,
−26−
Gambar 2.5 Laju Inflasi Jawa Timur dan Nasional
Tahun 2006-2010
Sumber : BPS Provinsi Jawa Timur
6.76 6.48
9.66
3.62
6.966.60 6.59
11.06
2.78
6.96
2006 2007 2008 2009 2010
Jatim Nasional
sewa, dan jasa perusahaan masing-masing tumbuh sebesar 9,31 persen, 8,98
persen, 8,07 persen, dan 8,05 persen.
Dampak krisis keuangan global yang terjadi pada tahun 2008 berlanjut
hingga tahun 2009, ekspor komoditas unggulan Jawa Timur ke luar negeri
menurun tajam, sehingga pertumbuhan ekonomi melambat. Pada tahun 2009
perekonomian Jawa Timur hanya mampu tumbuh sebesar 5,01 persen, dimana
sebagian besar sektor ekonomi juga tumbuh melambat. Beberapa sektor yang
masih mengalami pertumbuhan tinggi adalah sektor pengangkutan dan
komunikasi, sektor pertambangan dan penggalian, sektor jasa-jasa masing-
masing tumbuh sebesar 12,98 persen, 6,92 persen, dan 5,76 persen. Sektor-
sektor andalan Jawa Timur seperti sektor perdagangan, hotel dan restoran,
sektor industri pengolahan dan sektor pertanian masing-masing hanya tumbuh
sebesar 5,58 persen, 2,80 persen dan 3,92 persen. Sementara sektor lainnya
rata-rata masih tumbuh pada level 2 sampai 4 persen.
Memasuki tahun 2010, perekonomian Jawa Timur membaik seiring
dengan membaiknya kondisi perekonomian global, sehingga pertumbuhan
ekonomi Jawa Timur mencapai 6,68 persen, pertumbuhan tertinggi selama
lima tahun terakhir. Tingginya pertumbuhan ekonomi Jawa Timur ini terutama
didukung oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran yang tumbuh sebesar
10,67 persen. Membaiknya kondisi perekonomian global memberi dampak
terhadap membaiknya daya beli masyarakat yang mendorong sektor
perdagangan, baik perdagangan luar negeri maupun perdagangan antar
wilayah. Sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor pertambangan dan
penggalian, serta sektor keuangan, sewa dan jasa perusahaan tercatat
mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi, masing-masing sebesar 10,07
persen; 9,18 persen, dan 7,27 persen. Sementara itu, sektor industri
pengolahan dan sektor pertanian tumbuh masing-masing sebesar 4,32 persen
dan 2,23 persen.
2. Laju Inflasi Jawa Timur Tahun 2006 – 2010
Laju inflasiJawa Timur
dalam lima tahun terakhir masih
tergolong dalam kategori rendah,
masih dibawah 2 digit. Kondisi
yang cukup rawan hanya terjadi
pada tahun 2008 dengan laju
−27−
Gambar 2.6 Inflasi Bulanan Jawa Timur
Tahun 2006-2010
Sumber : BPS Provinsi Jawa Timur
-1
-1
0
1
1
2
2
3
Jan Peb Mar Apr Mei Juni Juli Agt Sept Okt Nop Des
2006 2007 2008
2009 2010
Gambar 2.7 Kumulatif Inflasi Ibukota Provinsi
di Pulau Jawa dan Jawa Timur Tahun 2010
Sumber : BPS Provinsi Jawa Timur
6.21 6.18
4.53
7.11 7.38 7.336.96
6.96
Jakarta Serang Bandung
Semarang Yogyakarta Surabaya
Jawa Timur Nasional
inflasi cukup tinggi yaitu 9,66 persen akibat naiknya harga BBM seiring dengan
tidak terkendalinya harga minyak dunia. Walaupun kenaikan BBM di tahun
2008 tersebut sempat dikoreksi di penghujung tahun, namun multiplier effects
akibat kenaikan tersebut sudah terlanjur terjadi sehingga inflasi hampir
menembus dua digit.
Memasuki tahun 2009
sebenarnya sudah terlihat
tanda-tanda akan rendahnya
inflasi. Sisa andil akibat
penurunan BBM pada bulan
Desember 2008 masih berlanjut
di bulan Januari 2009 sehingga
inflasi Januari 2009 yang
biasanya cukup tinggi karena
naiknya harga bahan makanan
terdorong deflasi 0,05 persen.
Pada tahun 2010, Jawa Timur hanya mengalami sekali inflasi,
yaitu pada bulan Maret sebesar 0,21. Bayang-bayang tingginya inflasi
terlihat setelah Pemerintah
mengumumkan naiknya biaya
Jasa Perpanjangan STNK dan
naiknya Tarif Dasar Listrik
khusus bagi pelangga 1200
VA keatas pada bulan Juli dan
Agustus. Inflasi mencapai
antiklimaks setelah pada
bulan Desember laju kenaikan
harga beras dan cabe
menjadi tidak terbendung
akibat faktor cuaca sehingga
mengakibatkan inflasi 1,02
persen. Komulatif inflasi
Tahun 2010 ditutup sebesar 6,96 persen, angka yang sama dengan
inflasi nasional.
Dibandingkan dengan inflasi ibukota provinsi di Pulau Jawa,
inflasi Jawa Timur masih lebih rendah dari inflasi Semarang, Yogyakarta
dan Surabaya, namun lebih tinggi dari inflasi Jakarta, Serang dan
Bandung. Hal serupa terjadi pula dengan inflasi nasional yang
besarannya tidak berbeda dengan inflasi Jawa Timur.Diantara ibukota
−28−
Tabel 2.3 10 Komoditas Pendorong Utama Inflasi Jawa Timur
Tahun 2006-2010 (%)
Sumber : BPS Provinsi Jawa Timur
provinsi di pulau Jawa, inflasi tertinggi terjadi Yogyakarta sebesar 7,38
persen dan terendah terjadi di Bandung sebesar 4,53 persen.
Dilihat dari penyebabnya, dalam kurun waktu lima tahun
terakhir, laju inflasi Jawa Timur lebih banyak dipengaruhi oleh adanya
kebijakan pemerintah yang terkait dengan harga seperti naiknya harga
cukai rokok, naiknya harga premium dan solar, konversi energi yang
berdampak naiknya harga minyak tanah, naiknya tarif air minum,
naiknya harga gas elpiji dan yang terakhir adalah naiknya biaya jasa
perpanjangan STNK dan tarif dasar listrik.
Disamping itu, laju inflasi lima tahun terakhir juga dipengaruhi
oleh naiknya harga beberapa komoditas utama seperti beras, cabe
rawit, minyak goreng, gula pasir dan emas perhiasan yang belum dapat
dikendalikan harganya oleh pemerintah serta terus meningkatnya biaya
sekolah-sekolah swasta.
Khusus di tahun 2010, lonjakan harga beras, cabe rawit, minyak
goreng dan emasperhiasan serta naiknya biaya jasa perpanjangan STNK
dan naiknya tarif dasar listrik merupakan pendorong utama terjadinya
inflasi disamping naiknya harga bumbu-bumbuan seperti bawang merah
dan bawang putih dan naiknya biaya SLTA sebagaimana terlihat pada
Tabel 2.3
3.
4. PDRB Per Kapita Jawa Timur Tahun 2006 – 2010
PDRB sebagai salah satu indikator makro ekonomi di Jawa
Timur, dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini selalu menunjukkan
peningkatan. Selanjutnya jika besaran PDRB tersebut diberi penimbang
−29−
dengan jumlah penduduk, karena penduduk merupakan pelaku
pembangunan yang menghasilkan output (PDRB), akan diperoleh angka
PDRB perkapita.
Di dalam Tabel 2.4 dapat dilihat perkembangan PDRB per kapita
Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) berturut-turut menunjukkan
peningkatan. Peningkatan PDRB per kapita disebabkan karena
pertumbuhan PDRB ADHB yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
pertumbuhan penduduk. Pada tahun 2006 PDRB perkapita Jawa Timur
mencapai Rp. 12,87 juta, kemudian meningkat menjadiRp. 14,55 juta
pada tahun 2007. Selanjutnya meskipun pada tahun 2008 gaung Krisis
Keuangan Global sudah mulai mendunia, PDRB perkapita Jawa Timur
masih terus meningkat yaitu sebesar Rp. 16,75 juta (2008) dan tahun
2009 meningkat lagi menjadi Rp. 18,42 juta. Kondisi perekonomian
yang membaik pada tahun 2010, memberikan dampak meningkatnya
PDRB perkapita menjadi Rp 20,77 juta.
Tabel 2.4 PDRB Per Kapita Jawa Timur Atas Dasar Harga Berlaku
Tahun 2006 - 2010
Uraian 2006 2007 2008 2009*) 2010**)
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1. PDRB Atas Dasar Harga Berlaku (Miliar Rupiah)
472.287 536.982 621.392 686.848 778.456
2. Jumlah Penduduk Pertengahan Tahun (Ribu jiwa)
36.691 36.896 37.095 37.286 37.476
3. PDRB Per Kapita (Ribu Rupiah) 12.872 14.554 16.751 18.421 20.772
Sumber : BPS Provinsi Jawa Timur Keterangan : * ) Angka Diperbaiki **) Angka Sementara
5. INDEKS GINI RATIO TAHUN 2009 – 2010
Berdasarkan nilai gini rasio, tingkat ketimpangan rata-rata
konsumsi per kapita di Jawa Timur 2009-2010 masuk dalam kategori
rendah (kurang dari 0,36). Nilai gini rasio tahun 2010 sebesar 0,31,
meningkat dibandingkan tahun 2009 yang nilainya 0,29, naik 0,02 poin.
Kondisi ini seperti terlihat pada kurva Lorenz (Gambar 4.5.) tahun 2009-
2010, kurva tahun 2009 memiliki luas area lebih kecil dibanding luas
area tahun 2010 (kurva terhadap garis diagonal). Menunjukkan bahwa
kurva bergerak semakin menjauhi garis kemerataan sempurna. Dengan
−30−
demikian, kenaikan rata-rata konsumsi per kapita selama 2009-2010,
walaupun berada di bawah tingkat kenaikan harga (Inflasi), justru
menyebabkan meningkatnya ketimpangan dalam distribusi konsumsi.
Pergeseran tersebut terjadi karena berkurangnya share di kuintil 5,
sedangkan kuintil 3 dan 4 mengalami peningkatan. Sedangkan pada
kuintil bawah, kuintil 1 mengalami peningkatan, sedangkan kuintil 2
mengalami penurunan share.
Tabel 2.5
Persentase Total Rata-rata Konsumsi per Kapita Sebulan menurut
Status Wilayah dan Kuintil Penduduk
di Jawa Timur 2009-2010 Tahun/
Wilayah (Kota/Desa)
Kuintil Penduduk berdasarkan Konsumsi Gini
Rasio 1 2 3 4 5
2009
Kota 7,98 12,13 15,76 21,46 42,68 0,31
Desa 9,38 14,20 17,99 21,65 36,78 0,25
Kota+Desa 8,18 12,73 15,94 21,04 42,13 0,29
2010
Kota 8,78 12,44 15,99 21,24 41,55 0,30
Desa 10,88 14,42 17,38 21,45 35,87 0,23
Sumber : BPS Provinsi Jawa Timur
−31−
Terjadinya penurunan ketimpangan selama 2009-2010 ini
terutama terjadi di wilayah pedesaan, yang turun sebesar 0,02 poin,
sedangkan penurunan di wilayah perkotaan hanya sebesar 0,01 poin.
Walaupun nilai gini rasio pada wilayah perkotaan dan perdesaan, masuk
dalam ketimpangan rendah, namun terdapat perbedaan sebesar 0,07
poin antara wilayah perkotaan dan perdesaan di tahun 2010. Perbedaan
ini semakin meningkat dibandingkan tahun 2009, yang memiliki
perbedaan sebesar 0,06 poin. Ini menjadi indikasi bahwa wilayah
perdesaan memiliki kecenderungan lebih cepat menuju tingkat
pemerataan sempurna.
Pola perubahan share konsumsi antar kuintil, berbeda antara
wilayah perkotaan dan perdesaan. Pada wilayah perkotaan terjadi
pergeseran kuintil 4 dan 5, menuju kuintil di bawahnya. Sedangkan di
Gambar 2.8
Kurva Lorenz Kumulatif Penduduk dan Pengeluaran (Persen) di
Jawa Timur 2009-2010
Sumber : BPS Provinsi Jawa Timur
0,00
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
70,00
80,00
90,00
100,00
0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00 80,00 90,00 100,00
Ku
mu
latif
Pe
ng
elu
ara
n (P
erse
n)
Kumulatif Penduduk (Persen)
2010
2009
−32−
Tabel 2.6 Persentase Distribusi Pengeluaran Penduduk
Jawa Timur Tahun 2007 – 2010
Tahun 40 % bawah
40 % menengah
20 % atas
(1) (2) (3) (4)
2007 19,83 36,70 43,47 2008 19,92 36,86 43,22 2009 19,86 37,59 42,55 2010 19,73 38,46 41,81
Keterangan: Data tahun 2006 tidak tersedia Sumber: BPS Provinsi Jawa Timur
wilayah perdesaan terdapat kecenderungan kuintil 1 dan 2 semakin
mendekati share kuintil 3, dan juga terjadi penurunan share pada kuintil
4 dan 5. Situasi ini yang mengindikasikan kemerataan di perdesaan
akan lebih cepat dibandingkan perkotaan.
Tidak semua wilayah dengan tingkat rata-rata konsumsi per kapita sebulan yang tinggi memiliki tingkat ketimpangan yang tinggi juga. Seperti dalam gambar 3.7, Kabupaten/Kota yang berada dalam wilayah area hijau walaupun memiliki rata-rata konsumsi per kapita sebulan tinggi, namun memiliki tingkat ketimpangan yang relatif rendah, jika dibandingkan situasi Provinsi Jawa Timur, terutama untuk Kota Probolinggo dan Batu.
6. Pemerataan Pendapatan Versi Bank Dunia Tahun 2007 – 2010
Pada periode 2007 –
2010, ketimpangan pemerataan
pendapatan versi Bank Dunia di
Jawa Timur, cenderung
mengalami perbaikan. Artinya
ketimpangan pendapatan
0,00
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
70,00
80,00
90,00
100,00
0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00 80,00 90,00 100,00
Ku
mu
lati
f P
en
ge
lua
ran
(P
ers
en
)
Kumulatif Penduduk (Persen)
PerkotaanPerdesaan���� Perkotaan+Pedesaan
Gambar 2.9
Kurva Lorenz Kumulatif Penduduk dan Pengeluaran (Persen) menurut
Wilayah di Jawa Timur 2010
Sumber : BPS Provinsi Jawa Timur
−33−
lambat laun mengecil seiring pertumbuhan ekonomi yang semakin
membaik. Penduduk yang mempunyai pendapatan berkategori 20
persen ke atas pada tahun 2007 dapat menikmati kue ekonomi
sebanyak 43,47 persen bergerak mengecil masing-masing 43,22 persen
(2008); 42,55 persen (2009) dan 41,81 persen (2010). Sedangkan
untuk yang berpendapatan 40 persen menengah dan 40 persen ke
bawah semakin banyak yang dapat menikmati kue pembangunan.
Dengan demikian kesenjangan semakin menurun, dan semakin
dirasakannya kue ekonomi di tingkat pendapatan yang lebih bawah.
Pada tahun 2007, penduduk yang berpendapatan 40 persen ke
bawah semakin dapat menikmati hasil geliatekonomi dari 19,83 persen
menjadi 19,92 persen (2008); 19,86 persen (2009) dan 19,73 persen
(2010). Berdasarkan skala kesenjangan yang telah ditetapkan, karena
penduduk yang berpendapatan 40 persen ke bawah menikmati hasil
kegiatan ekonomi di atas nilai 17 persen, maka ketimpangan
pendapatan yang terjadi selama kurun waktu 2006 – 2010 itu termasuk
kategori ketimpangan pendapatan rendah.
7. Perbandingan Relatif Antar Daerah
Untuk mengetahui tingkat kesejahteraan masyarakat dalam
lingkup provinsi dapat dilihat dari keterbandingan angka PDRB per
kapita kabupaten/kota dengan rata-rata provinsi. Pemerintah daerah
dalam mendorong tingkat kesejahteraan masyarakat dapat
menggunakan acuan perbandingan relatif untuk memacu daerahnya
berada minimal pada level rata-rata provinsi atau bahkan lebih baik lagi
di atas level rata-rata provinsi.
Tabel 2.6 menunjukkan pengelompokan daerah yang dibagi
berdasarkan 3 kategori :
(i) Kabupaten/kota dengan PDRB per kapita nomor urut 1 sampai 7
adalah kabupaten/kota berkategori PDRB per kapita tinggi;
(ii) Kabupaten/kota dengan PDRB per kapita nomor urut 8 sampai 27
adalah kabupaten/kota berkategori PDRB per kapita sedang;
(iii) Kabupaten/kota dengan PDRB per kapita nomor urut 28 sampai 38
adalah kabupaten/kota berkategori PDRB per kapita rendah.
Output daerah yang terus diupayakan peningkatannya melalui
optimalisasi sumberdaya atau potensi daerah dalam kurun waktu lima
−34−
tahun yaitu tahun 2006-2010 sedikit demi sedikit mulai nampak hasilnya
walaupun tidak signifikan.
Tampak dari tabel tersebut bahwa posisi kabupaten/kota pada
masing-masing kategori dari tahun ke tahun mengalami perubahan
tetapi posisi the biggest three masih ditempati kab/kota yang sama,
yaitu Kota Kediri, Kota Surabaya dan Kota Malang.
Kabupaten/kota dengan PDRB yang sebagian besar ditopang oleh
sektor industri, sektor perdagangan, hotel dan restoran serta Sektor
Jasa-jasa cenderung menempati posisi di atas rata-rata Jawa Timur
seperti yang terjadi di Kota Kediri, Kota Surabaya, Kota Malang,
Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Gresik, Kota Mojokerto dan Kota
Probolinggo. Tujuh daerah yang masuk kategori ber PDRB per kapita
tinggi ini sulit digeser oleh daerah-daerah lain di Jawa Timur.
Kabupaten Tulungagung, Kota Batu, Kabupaten Banyuwangi, dan Kota
Madiun walaupun posisinya selama 5 tahun tetap namun masih berada
di bawah posisi rata-rata Jawa Timur.
−35−
Tabel 2.7
Urutan Keterbandingan Relatif PDRB per Kapita Kabupaten/Kota
terhadap PDRB per Kapita di Jawa Timur (Juta Rp.)
Tahun 2006 – 2010
No.
2006
2007
2008
2009*)
2010**)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
01.
Kot
a K
ediri
15
1,20
K
ota
Ked
iri
165,
69
Kot
a K
ediri
18
8.06
K
ota
Ked
iri
209,
30
Kot
a K
ediri
24
2,26
02.
Kot
a S
urab
aya
46,9
2
Kot
a S
urab
aya
53,7
2
Kot
a S
urab
aya
62.3
1
Kot
a S
urab
aya
68,7
6
Kot
a S
urab
aya
74,7
8
03.
Kot
a M
alan
g 24
,49
K
ota
Mal
ang
27,7
1
Kot
a M
alan
g 32
.17
K
ota
Mal
ang
34,7
8
Kot
a M
alan
g 39
,29
04.
Kab
. Sid
oarjo
23
,02
K
ab.S
idoa
rjo
25,6
2
Kab
.Sid
oarjo
28
.90
K
ab. S
idoa
rjo
31,2
7
Kab
. Gre
sik
34,4
3
05.
Kab
. Gre
sik
20,5
7
Kab
.Gre
sik
23,2
7
Kab
.Gre
sik
26.6
7
Kab
. Gre
sik
29,4
5
Kab
. Sid
oarjo
32
,53
06.
Kot
a M
ojok
erto
16
,28
K
ota
Moj
oker
to
18,3
7
Kot
a M
ojok
erto
21
.14
K
ota
Moj
oker
to
23,4
4
Kot
a M
ojok
erto
25
,13
07.
Kot
a P
robo
lingg
o 14
,05
K
ota
Pro
bolin
ggo
15,7
3
Kot
a P
robo
lingg
o 17
.77
K
ota
Pro
bolin
ggo
19,1
0
Kot
a P
robo
lingg
o 22
,58
Provinsi Jaw
a Tim
ur
12,8
7 14
,55
16,7
5
18,4
2
20,7
7
08.
Kab
. Tul
unga
gung
11
,23
K
ab. T
ulun
gagu
ng
12,6
5
Kot
a M
adiu
n 14
,67
K
ota
Mad
iun
16,1
7
Kot
a M
adiu
n 19
,38
09.
Kot
a M
adiu
n 11
,17
K
ota
Mad
iun
12,6
5
Kab
.Tul
unga
gung
14
,60
K
ab. T
ulun
gagu
ng
16,0
9
Kab
. Tul
unga
gung
18
,18
10.
Kot
a P
asur
uan
10,5
5
Kot
a P
asur
uan
11,8
4
Kot
aPas
urua
n 13
,47
K
ota
Bat
u 14
,89
K
ota
Bat
u 16
,90
11.
Kot
a B
atu
10,1
7
Kot
a B
atu
11,6
1
Kot
a B
atu
13,4
4
Kot
a P
asur
uan
14,8
8
Kab
. Ban
yuw
angi
16
,71
12.
Kab
. Ban
yuw
angi
10
,08
K
ab. B
anyu
wan
gi
11,4
1
Kab
. Ban
yuw
angi
13
,30
K
ab. B
anyu
wan
gi
14,8
2
Kot
a P
asur
uan
15,7
6
13.
Kab
. Moj
oker
to
9,55
K
ab. M
ojok
erto
10
,77
K
ab.T
uban
12
,48
K
ab. T
uban
13
,85
K
ab. B
ojon
egor
o 15
,66
14.
Kab
. Pro
bolin
ggo
9,44
K
ab. P
robo
lingg
o 10
,77
K
ab.P
robo
lingg
o 12
,37
K
ab. P
robo
lingg
o 13
,65
K
ab. T
uban
15
,15
15.
Kab
. Tub
an
9,31
K
ab. T
uban
10
,69
K
ab.M
ojok
erto
12
,29
K
ab. M
ojok
erto
13
,45
K
ab. M
ojok
erto
15
,09
16.
Kab
. Lum
ajan
g 8,
86
Kab
. Lum
ajan
g 9,
96
Kab
.Situ
bond
o 11
,41
K
ab. S
itubo
ndo
12,5
5
Kab
. Pro
bolin
ggo
14,8
2
17.
Kab
. Situ
bond
o 8,
80
Kab
. Situ
bond
o 9,
93
Kab
.Lum
ajan
g 11
,39
K
ab. L
umaj
ang
12,5
2
Kab
. Lum
ajan
g 14
,36
18.
Kab
. Mal
ang
8,61
K
ab. M
alan
g 9,
77
Kab
.Mal
ang
11,2
4
Kab
. Boj
oneg
oro
12,3
9
Kab
. Mal
ang
13,7
2
19. Kab. Blitar
−36−
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
19.
Kab
. Blit
ar
8,10
K
ab. B
ojon
egor
o 9,
20
Kab
.Boj
oneg
oro
11,2
0
Kab
. Mal
ang
12,3
4
Kab
. Situ
bond
o 13
,58
20.
Kot
a B
litar
8,
03
Kab
. Blit
ar
9,19
K
ab.B
litar
10
,50
K
ab. B
litar
11
,58
K
ota
Blit
ar
13,1
4
21.
Kab
. Sum
enep
7,
68
Kot
a B
litar
9,
02
Kot
a B
litar
10
,27
K
ota
Blit
ar
11,4
0
Kab
. Blit
ar
12,4
9
22.
Kab
. Boj
oneg
oro
7,59
K
ab. S
umen
ep
8,60
K
ab.S
umen
ep
9,92
K
ab. M
aget
an
10,8
8
Kab
. Jom
bang
12
,41
23.
Kab
. Mag
etan
7,
58
Kab
. Mag
etan
8,
53
Kab
.Mag
etan
9,
79
Kab
. Sum
enep
10
,71
K
ab. M
aget
an
12,2
4
24.
Kab
. Jom
bang
7,
36
Kab
. Jom
bang
8,
29
Kab
.Jom
bang
9,
45
Kab
. Pas
urua
n 10
,38
K
ab. S
umen
ep
11,7
7
25.
Kab
. Pas
urua
n 7,
16
Kab
. Pas
urua
n 8,
18
Kab
.Pas
urua
n 9,
43
Kab
. Jom
bang
10
,20
K
ab. P
asur
uan
11,2
8
26.
Kab
. Ked
iri
6,91
K
ab. N
ganj
uk
7,71
K
ab.J
embe
r 8,
85
Kab
. Jem
ber
9,74
K
ab. J
embe
r 10
,83
27.
Kab
. Nga
njuk
6,
75
Kab
. Ked
iri
7,65
K
ab.N
ganj
uk
8,84
K
ab. N
ganj
uk
9,72
K
ab. N
ganj
uk
10,8
0
28.
Kab
. Jem
ber
6,63
K
ab. J
embe
r 7,
52
Kab
.Ked
iri
8,74
K
ab. K
ediri
9,
54
Kab
. Ked
iri
10,3
6
29.
Kab
. Mad
iun
6,26
K
ab. M
adiu
n 7,
07
Kab
.Mad
iun
8,09
K
ab. M
adiu
n 8,
85
Kab
. Mad
iun
9,62
30.
Kab
. Lam
onga
n 5,
69
Kab
. Lam
onga
n 6,
45
Kab
.Lam
onga
n 7,
41
Kab
. Lam
onga
n 8,
23
Kab
. Lam
onga
n 9,
39
31.
Kab
. Nga
wi
5,66
K
ab. N
gaw
i 6,
33
Kab
.Nga
wi
7,24
K
ab. N
gaw
i 7,
99
Kab
. Pon
orog
o 9,
27
32.
Kab
. Ban
gkal
an
5,47
K
ab. B
angk
alan
6,
02
Kab
.Pon
orog
o 6,
91
Kab
. Pon
orog
o 7,
74
Kab
. Nga
wi
9,22
33.
Kab
. Pon
orog
o 5,
28
Kab
. Pon
orog
o 6,
00
Kab
.Ban
gkal
an
6,76
K
ab. B
angk
alan
7,
25
Kab
. Ban
gkal
an
8,68
34.
Kab
. Bon
dow
oso
4,72
K
ab. B
ondo
wos
o 5,
34
Kab
.Bon
dow
oso
6,13
K
ab. B
ondo
wos
o 6,
75
Kab
. Bon
dow
oso
7,27
35.
Kab
. Sam
pang
4,
60
Kab
. Sam
pang
4,
99
Kab
.Tre
ngga
lek
5,68
K
ab. T
reng
gale
k 6,
34
Kab
. Tre
ngga
lek
7,17
36.
Kab
. Tre
ngga
lek
4,34
K
ab. T
reng
gale
k 4,
89
Kab
.Sam
pang
5,
57
Kab
. Sam
pang
5,
97
Kab
. Sam
pang
6,
93
37.
Kab
. Pam
ekas
an
4,13
K
ab. P
amek
asan
4,
52
Kab
.Pam
ekas
an
5,08
K
ab. P
acita
n 5,
54
Kab
. Pam
ekas
an
6,59
38.
Kab
. Pac
itan
3,92
K
ab. P
acita
n 4,
39
Kab
.Pac
itan
5,03
K
ab. P
amek
asan
5,
49
Kab
. Pac
itan
6,43
Sumber: BPS Provinsi Jawa Timur
−37−
Tabel 2.8 Indeks Williamson Jawa Timur
Tahun 2006-2010
Tahun Indeks
Williamson Perubahan
(1) (2) (3)
2006 115,87 -0,60050
2007 115,34 -0,45741
2008 115,26 -0,06936
2009*) 115,85 0,51189
2010**) 115,14 -0,61286
Sumber : BPS Provinsi Jawa Timur Keterangan : * ) Angka Diperbaiki **) Angka Sementara
Keempat kabupaten/kota itu masuk kategori ber PDRB per Kapita
sedang bersama 16 kabupaten/kota lainnya : Kota Pasuruan, Kabupaten
Bojonegoro, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Tuban, Kabupaten
Mojokerto, Kabupaten Situbondo, Kabupaten Lumajang, Kabupaten
Malang, Kabupaten Blitar, Kota Blitar, Kabupaten Magetan, Kabupaten
Sumenep, Kabupaten Jombang, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten
Jember, Kabupaten Nganjuk. Sedangkan yang berkategori PDRB
perkapita rendah adalah Kabupaten Kediri, Kabupaten Madiun,
Kabupaten Ngawi, Kabupaten Lamongan, Kabupaten Ponorogo,
Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Bondowoso, Kabupaten Trenggalek,
Kabupaten Sampang, Kabupaten Pamekasan dan Kabupaten Pacitan.
8. Indeks Disparitas Wilayah Jawa Timur Tahun 2006 - 2010
Output daerah yang merupakan representasi dari kekayaan
daerah dan kesejahteraan masyarakat adalah dua hal yang berbeda,
pertanyaanya apakah ada kaitan antara kekayaan daerah (regional
prosperity) dan kesejahteraan masyarakat (community welfare) di suatu
daerah. Asumsi bahwa tingkat kekayaan daerah yang tinggi juga akan
berdampak terhadap tingginya kesejahteraan masyarakat di daerah
tersebut memerlukan gambaran kondisi disparitas regional. Rendahnya
ketimpangan regional dalam hal kesejahteraan masyarakat merupakan
hasil dari kebijakan pemerataan pembangunan antar daerah
(equalization policy) yang dijalankan pemerintah, terutama melalui
instrumen fiskal (fiscal policy) seperti transfer dari pusat, transfer antar
daerah dan kebijakan lain.
Tingkatkesenjangan ekonomi antar wilayah di suatu wilayah
umumnya berfluktuasi seiring dengan tingkat perubahan PDRB per
kapitanya. Melebar atau
menyempitnya kesenjangan itu
dipengaruhi oleh kondisi sosial
ekonomi masyarakat. Selain itu, juga
sangat dipengaruhi oleh kreatifitas
Pemerintah Daerah dalam
memanfaatkan segala potensi yang
ada untuk meningkatkan output
daerah. Kondisi tersebut
tergambarkan pada indeks
Williamson (baca : Indeks
−38−
Kesenjangan) dengan PDRB per kapita sebagai tolak ukur penghitungan.
Kesenjangan ekonomi antar kabupaten/kota di Jawa Timur yang
ditunjukkan dengan Indeks Disparitas Williamson dalam periode tahun
2006 – 2010 mengalami kemajuan yang signifikan dengan indeks yang
cenderung menurun. Pada tahun 2006 indeks kesenjangan bernilai
115,87 atau terjadi penurunan sebesar -0,60 persen, indeks pada tahun
2007 sebesar 115,34 atau mengalami penurunan sebesar -0,46 persen.
Adanya kenaikan harga BBM mulai 24 Mei 2008 serta terjadi
krisis global menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi
dibandingkan tahun 2007. Tetapi perlambatan ekonomi pada tahun 2008
itu belum begitu terasa, karena tingkat kesenjangan di Jawa Timur yang
ditunjukkan dengan nilai indeks Disparitas Williamson mengalami
penurunan sebesar -0,07 persen atau mempunyai indeks 115,26.
Kenaikan BBM dan krisis finansial khususnya di negara-negara Eropa dan
Amerika yang dikenal sebagai subprime mortgage sangat terasa pada
tahun 2009. Pertumbuhan ekonomi melambat dari 5,94 pada tahun 2008
menjadi 5,01 persen pada tahun 2009, dan indeks Williamsonpun juga
melebar dari 115,26 pada tahun 2008 menjadi 115,85 atau mengalami
pelebaran sebesar 0,51 persen. Beruntungnya, dampak dari krisis
finansial tersebut tidak berlanjut pada tahun 2010. Selain karena sudah
berpengalaman dalam menghadapi situasi krisis sebagaimana yang
terjadi pada tahun 1998, fundamental ekonomi dalam negeri jauh lebih
baik dibanding tahun 1998, maka Jawa Timur kembali mengalami
pertumbuhan ekonomi yang siginifikan. Apalagi Jawa Timur sangat
mengandalkan sektor riil, dan berbeda struktur perekonomiannya
dibanding Jakarta yang sangat mengandalkan sektor perbankan yang
notabene sangat rentan terhadap krisis finansial. Pada tahun 2010
pertumbuhan ekonomi Jawa Timur mampu mencapai 6,67 persen,
merupakan tertinggi selama lima tahun terakhir. Pertumbuhan pada
tahun 2010 ini cukup berkualitas karena indeks kesenjangan wilayahnya
menurun menjadi 115,14 atau terjadi penurunan -0,61 persen dibanding
tahun sebelumnya.
9. Persentase Penduduk Di Atas Garis Kemiskinan Di Jawa Timur
Tahun 2006 – 2010
Pembangunan yang telah dilakukan selama ini telah memberikan
andil yang cukup besar dalam proses terciptanya kesejahteraan
masyarakat. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena lebih dari 78 persen
−39−
Gambar 2.10
Persentase Penduduk Diatas Garis Kemiskinan
Di Jawa Timur Tahun 2006-2010
Sumber : BPS, Susenas dan PPLS
78.9180.02
81.49
83.32
84.74
2006 2007 2008 2009 2010
penduduk selama kurun waktu
lima tahun terakhir, telah
dapat memenuhi kebutuhan
minimumnya. Pada tahun
2006 persentase penduduk di
atas garis kemiskinan di Jawa
Timur mencapai 78,91 persen
dan naik terus menjadi 84,74
persen pada tahun
2010.Perkembangan
persentase penduduk di atas garis kemiskinan dalam kurun waktu 5
tahun tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.10.
10. Angka Kriminalitas Yang Tertangani
Data dari Kepolisian Daerah (Polda) Jatim selama tahun 2009,
angka tindak kriminalitas di Jawa Timur mengalami penurunan yang
sangat signifikan daripada Tahun 2008. Dari data kepolisian mulai kurun
waktu Januari s/d Desember 2009 mengalami penurunan dari crime
sedang tahun 2008 mencapai 48,129.
Jadi pada Tahun 2009 angka kriminalitas secara umum
mengalami penurunan dari 48,129 pada tahun 2008 dan 2009 mencapi
41,166 kasus. Sehingga pada tahun 2009 mengalami penurunan sebesar
6.958 kasus (40 %), dibandingkan 2008.
Data kriminal untuk Surabaya sebanyak 2.105 kasus, Besuki
sebanyak 1.970 kasus, Malang 1.243 kasus, Madiun sebanyak 500 kasus,
Kediri sebanyak 646 kasus. Sedangkan yang mengalami kasus tindak
kriminalitas sedikit yaitu Polwil Madura mencapi 106 kasus dan Polwil
Bojonegoro sebanyak 24 kasus.
Sedangkan pada Tahun 2010 ini tercatat angka kriminalitas di
Jawa Timur mengalami penurunan dari 45.270 kasus pada Tahun 2009
menjadi 11.507 kasus. Dengan data bulan Januari sampai Desember
tersebut berarti jumlah kriminalitas pada Tahun 2010 mengalami
penurunan 25,4 %. Hal ini tidak terlepas dari langkah-langkah yang
dilakukan oleh pihak kepolisian yang rutin melakukan operasi dan
menempatkan personil di jalan-jalan raya maupun daerah permukiman.
Berdasarkan data, penurunan terjadi di Kesatuan Polresta Surabaya pada
Tahun 2010 sebanyak 5.925 kasus yaitu terdiri dari Kediri 1.740 kasus,
Besuki 1.497 kasus, Bojonegoro 1.245 kasus, Madiun 863 kasus, Polda
Jatim 388 kasus.
−40−
Tabel 2.9 Data kriminalitas bulan Januari s/d Juni 2010
Jajaran polda jatim NO URAIAN JAN PEB MAR APRIL MEI JUNI
1 Crime total 3.463 3.122 3.168 3.116 3.175 3.044
2 Crime clearance 2.675 2.257 2.271 2.678 2.749 2.589
3 Clearance rate 77,25% 72,29% 77,23% 85,94% 86,58% 85,05%
4 Crime clock 0:12'53" 0:14'18" 0:12'50" 0:14'20" 0:14'4" 0:14'40"
5 Crime rate 9 8 9 8 9 9
Jumlah Penduduk 38.696.100 38.696.100 38.696.100 38.696.100 38.696.100 38.696.100
Sumber Data : Polda Jatim
Data crime indeks Tahun 2010,pencurian dengan pemberatan
(Curat) sebanyak 3.484, pencurian dengan kekerasan (Curas) sebanyak
872, ranmor sebanyak 1.252 serta judi sebanyak 3.764.
Sementara itu kasus korupsi yang masuk pada tahun 2010
sebanyak 19 kasus, sedangkan yang sudah selesai sebanyak 37 kasus
dimana yang di P-21 sebanyak 23 kasus, surat pemberhentian
penyidikan (SP-3) 10 kasus.
Untuk premanisme sebanyak 153 kasus yang diungkap street
crime sebanyak 201 kasus, perjudian 525 kasus traffiking sebanyak 4
kasus, narkotika sebanyak 125 kasus, lelang loging 45 kasus, ilegal masy
4 kasus dan korupsi 1 kasus.
Tabel 2.10 Data : Crime Indeks 11 Kasus (Pengamat Khusus)
Tahun 2008 S/D Bulan September 2010
NO LOKASI TAHUN 2008 TAHUN 2009 TAHUN 2010
1 TABES 12.230 10.778 7.152
2 MALANG 4.286 5.672 6.469
3 BESUKI 4.599 4.236 2.861
4 KEDIRI 4.805 3.258 2.753
5 MADIUN 1.840 1.454 2.092
6 BOJONEGORO 3.409 2.744 2.632
7 MADURA 321 950 1.112
JUMLAH 29.511 29.293 25.056 Sumber data : Polda Jatim
Angka kriminalitas berdasarkan data kepolisian Surabaya
mengalami penurunan. Pada semester pertama tahun 2010 tercatat
sebanyak 927 kasus. Angka ini lebih kecil jika dibandingkan dengan tindak
pidana kriminal pada tahun 2009 lalu yang tercatat hingga 2.246 kasus.
11. PerkembanganKinerja Perbankan Umum Di Jawa Timur
Pelaksanaan fungsi intermediasi bank umum di Jatim pada awal
tahun 2011 secara umum berjalan dengan lancar dan menunjukkan
perkembangan positif. Dibandingkan triwulan sebelumnya, kinerja
−41−
pertumbuhan (qtq) total aset dan penyaluran kredit masih mampu
tumbuh stabil dengan pencapaian kinerja pertumbuhan yang cukup
tinggi, sedangkan kinerja penghimpunan DPK cenderung melambat.
Sementara itu, jika dianalisa secara tahunan ketiga indikator utama bank
umum tercatat tumbuh lebih tinggi dibandingkan triwulan IV-2010
maupun periode yang sama di tahun 2010.
Pertumbuhan kredit secara triwulanan yang lebih tinggi
dibandingkan pertumbuhan DPK menyebabkan peningkatan Loan to
Deposit Ratio (LDR) pada periode laporan, dari 71,96% menjadi 74,61%.
Berdasarkan kelompok bank, rasio LDR tertinggi masih didominasi oleh
kelompok Bank Pemerintah (100,42%), sementara kelompok bank
swasta dan bank asing cenderung memiliki rasio lebih rendah, yaitu
56,03% dan 64,82%.
Tabel 2.11
Gambar 2.11
Gambar 2.12
−42−
Gambar 2.13Gambar 2.14
Dalam rangka mendorong fungsi intermediasi perbankan, Bank
Indonesia melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.12/19/PBI/2010
tanggal 4 Oktober 2010 menetapkan ketentuan mengenai perhitungan
besaran Giro Wajib Minimum (GWM) yang dikaitkan dengan rasio LDR
suatu Bank, kebijakan ini berlaku per 1 Maret 2011. Dalam ketentuan ini,
besaran GWM Rupiah bank umum terdiri atas GWM primer (8%), GWM
sekunder (2,5%) dan GWM LDR yang merupakan tambahan GWM yang
harus dialokasikan bank pada saat nilai LDR bank berada diluar range
(batas atas dan batas bawah) yang telah ditetapkan (78%-100%).
Secara makro LDR target adalah cerminan kebutuhan kredit yang
diperlukan untuk menopang pertumbuhan ekonomi, sedangkan secara
mikro; LDR target ditetapkan dengan mempertimbangkan kondisi
likuiditas dan LDR Perbankan. Sehingga secara umum, penerapan GWM
LDR bertujuan agar bank mengoptimalkan penyaluran kreditnya pada
sektor riil, namun dengan tetap mengacu pada prinsip kehati-hatian.
12. DanaPihak Ketiga (DPK)
Setelah mencatat pertumbuhan yang cukup baik di akhir tahun
2010, kinerja pertumbuhan DPK yang dihimpun oleh industri bank umum
di Jatim pada periode Tw I-2011 cenderung melambat. Sepanjang
periode laporan, DPK meningkat Rp.1,9 triliun atau tumbuh 0,89% (qtq)
dan 12,24% (yoy) menjadi Rp.217,01 triliun. Berdasarkan jenisnya,
perlambatan ini didorong oleh minimnya pertumbuhan simpanan
tabungan dan deposito pada triwulan laporan. Simpanan deposito hanya
tumbuh 0,41% (qtq), bahkan simpanan tabungan mencatat kontraksi
sebesar -0,71%(qtq). Namun demikian kedua jenis simpanan ini masih
−43−
mendominasi DPK dengan proporsi yang cukup tinggi, yaitu masing-
masing sebesar 41,56% dan 40,92%.
Di sisi lain, simpanan giro yang mempunya proporsi lebih rendah
(17,52%) menunjukkan pertumbuhan yang cukup tinggi, baik secara
triwulanan maupun tahunan. Hal ini khususnya seiring dengan
peningkatan transaksi dunia usaha serta tidak lepas dari siklus tahunan
peningkatan dana rekening giro untuk belanja pemerintah di bank umum
yang masih cukup tinggi dan belum terealisir di awal tahun.
Sementara itu, terbatasnya pertumbuhan DPK yang berlangsung
pada beberapa periode terakhir selain diyakini terkait dengan faktor
tingkat suku bunga simpanan yang relatif rendah, juga dipengaruhi oleh
cukup banyaknya pilihan instrumen simpanan sekaligus investasi diluar
perbankan yang menawarkan return menarik, sehingga masyarakat
mendapatkan banyak pilihan dalam penempatan dananya. Namun di sisi
lain, rendahnya suku bunga ini diharapkan mampu menjadi salah satu
pendorong penyaluran kredit kepada masyarakat, mengingat suku bunga
DPK merupakan salah satu variable pembentuk suku bunga kredit.
Gambar 2.15
Gambar 2.16
Gambar 2.17
Gambar 2.18
−44−
Rendahnya suku bunga DPK diharapkan dapat mendorong efisiensi biaya
bunga kredit, sehingga pada akhirnya akan meningkatkan penyaluran
kredit kepada masyarakat.
13. Kredit
Pertumbuhan penyaluran kredit oleh bank umum di Jatim pada
triwulan laporan mencapai 22,17% (yoy), ini merupakan angka
pertumbuhan tertinggi setelah terjadinya krisis perekonomian global di
tahun 2008. Dengan angka pertumbuhan tersebut, maka
outstanding/baki debet kredit yang disalurkan oleh bank umum di Jatim
kepada masyarakat dan dunia usaha sampai dengan akhir Tw I-2011
mencapai Rp.161,92 triliun. Kondisi perekonomian yang cukup stabil dan
kondusif menjadi salah satu pendorong peningkatan permintaan kredit di
Jatim, sehingga dari sisi perbankan kondisi ini dimanfaatkan sebagai
momentum yang tepat untuk melakukan ekspansi kredit.
Gambar 2.19
Gambar 2.20
Gambar 2.21
−45−
Berdasarkan jenisnya, kredit di Jatim masih di dominasi oleh
kredit produktif yaitu kredit modal kerja yang mencapai Rp.95,80 triliun
atau sebesar 59,16% dari total kredit secara keseluruhan, disusul oleh
kredit konsumsi (27,39%) dan kredit investasi (13,44%). Pertumbuhan
kredit paling tinggi pada periode ini terjadi pada kredit investasi yang
tercatat sebesar 14,70% (qtq) atau 28,92% (yoy), sementara kredit
modal kerja dan konsumsi cenderung tumbuh stabil. Cukup besarnya
alokasi penyaluran kredit untuk kegiatan produktif menjadi salah satu
cerminan peran perbankan di Jatim dalam melaksanakan fungsi
intermediasinya guna mendorong aktivitas dunia usaha, yang diharapkan
dapat semakin memperbesar multiplier effect pada pertumbuhan
perekonomian di Jatim.
Berdasarkan sektor ekonomi, penyaluran kredit bank umum
paling besar disalurkan kepada sektor-sektor yang mendominasi struktur
perekonomian di Jatim, yaitu sektor Industri serta sektor Perdagangan
Hotel dan restoran (PHR) dengan proporsi masing-masing sebesar
27,32% dan 24,64%. Sementara itu, dilihat dari angka pertumbuhannya,
penyaluran kredit kepada sektor angkutan dan komunikasi, sektor PHR,
Gambar 2.22
Gambar 2.23
Gambar 2.24Gambar 2.25
−46−
sektor industri pengolahan mencatat pertumbuhan tertinggi, masing-
masing sebesar 24,48%, 22,36%, dan 18,14% (yoy). Tingginya
penyaluran kredit pada ketiga sektor ini turut mengkonfirmasi tingginya
pertumbuhan masing-masing sektor tersebut pada perhitungan
pertumbuhan ekonomi Jatim di Tw I-2011.
Tingginya pertumbuhan kredit pada periode ini juga diiringi
dengan peningkatan jumlah kredit yang tidak terserap (undisbursed
loans) dibandingkan dengan periode yang sama di tahun 2010. Tercatat
nilai undisbursed loan pada posisi akhir Tw.I-2011 sebesar 7,86% dari
total plafon kredit yang disediakan, atau sebesar Rp.17,51 triliun, kondisi
ini cenderung meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya dan periode
yang sama tahun 2010, dimana pada saat itu rasio undisbursed loans
terhadap total kredit mesing-masing sebesar 7,34% dan 5,02%.
Berdasarkan jenisnya, undisbursed loan tertinggi terdapat pada kredit
modal kerja yang mencapai 11,89% dari plafon kredit yang telah
disetujui oleh bank umum, sedangkan penyaluran kredit konsumsi dan
Gambar 2.26Gambar 2.27
Gambar 2.28Gambar 2.29
−47−
investasi cenderung terserap lebih baik, sesuai dengan plafon yang telah
disetujui. Sementara itu, kenaikan suku bunga acuan BI rate sebesar
0,25 bps (basis points) pada bulan Februari 2011 direspon perbankan
dengan menaikkan suku bunga kredit dengan kisaran yang beragam.
Kenaikan suku bunga kredit tertinggi terjadi pada kredit konsumi, disusul
oleh kredit modal kerja dengan tingkat kenaikan yang relatif lebih
rendah, sedangkan suku bunga kredit investasi pada periode ini cukup
stabil.
Dalam rangka meningkatkan transparansi mengenai karakteristik
produk perbankan (manfaat, biaya dan risiko), meningkatkan good
governance dan mendorong persaingan yang sehat dalam industri
perbankan melaluiterciptanya disiplin pasar (market discipline) yang
lebih baik, Bank Indonesia telah menerbitkan Surat Edaran
No.13/5/DPNP tanggal 8 Februari 2011 guna mewajibkan bank-bank
umum untuk melakukan transparansi informasi mengenai aspek
perhitungan dan penetapan suku bunga untuk kredit, khususnya Suku
Bunga Dasar Kredit/SBDK (prime lending rate). Ketentuan ini mulai
diberlakukan kepada bank umum konvensional yang beraset diatas
Rp.10 triliun per 31 Maret 2011.
SBDK merupakan hasil perhitungan dari 3 (tiga) komponen yaitu
(1) harga pokok dana untuk kredit (HPDK), (2) biaya overhead yang
dikeluarkan Bank dalam proses pemberian kredit, dan (3) marjin
keuntungan (profit margin) yang ditetapkan untuk aktivitas perkreditan,
namun didalamnya belum memperhitungkan komponen premi risiko
individual nasabah Bank. SBDK tersebut dihitung secara per tahun dalam
bentuk persentase (%), dan merupakan suku bunga terendah yang
digunakan sebagai dasar bagi bank dalam penentuan suku bunga kredit
yang dikenakan kepada debitur. Perhitungan SBDK yang wajib
dilaporkan kepada Bank Indonesia dan dipublikasikan kepada
masyarakat mencakup 3 (tiga) jenis kredit yaitu kredit korporasi, kredit
ritel, dan kredit konsumsi (KPR dan Non KPR), tidak termasuk
penyediaan dana melalui kartu kredit dan kredit tanpa agunan.
14. Kredit Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM)
Sebagai upaya pemberdayaan perekonomian masyarakat yang
bergerak di sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), penyaluran
kredit perbankan pada kelompok usaha ini menjadi hal penting yang
perlu ditingkatkan guna memperkuat kemampuan ekspansi sektor usaha
−48−
mikro kecil menengah, sehingga menjadi pendorong perekonomian Jawa
Timur serta memperluas lapangan kerja. Terkait dengan hal ini, Bank
Indonesia di wilayah Jawa Timur (Surabaya, Malang, Kediri, Jember)
bersama Pemerintah Daerah berupaya untuk memfasilitasi serta
menyusun kebijakan – kebijakan yang mendorong peningkatan
penyaluran kredit UMKM, seperti pendirian lembaga penjaminan kredit
daerah (PT. Jamkrida Jatim), Pendirian APEX BPR, serta optimalisasi
keberadaan Konsultan Keuangan Mitra Bank (KKMB) guna melakukan
pendampingan kepada usaha mikro yang feasible untuk memperoleh
pembiayaan dari perbankan.
Upaya lain yang dilakukan oleh Bank Indonesia Surabaya dalam
mendorong perkembangan UMKM adalah melalui pengengembangan
beberapa klaster komoditas potensial melalui pola kemitraan. Beberapa
klaster yang telah dikembangkan antara lain klaster alas kaki di Kab.
Mojokerto, klaster rumput laut di Kab. Sumenep Madura, dan yang saat
ini sedang dikembangkan adalah klaster Sapi Potong di wilayah Kab.
Bojonegoro.
Sampai dengan akhir periode laporan, penyaluran total kredit
UMKM1 di Jawa Timur mencapai Rp.59,19 triliun atau sebesar 36,56%
dari total kredit secara keseluruhan. Berdasarkan jenisnya, realisasi
penyaluran kredit UMKM secara nominal didominasi oleh kelompok
usaha kecil dan usaha menengah dengan baki debet masing-masing
mencapai Rp.25,31 triliun (42,76%) dan Rp.24,86 triliun (42%),
sementara itu terkait dengan plafon kredit usaha mikro yang relatif lebih
rendah dibandingkan plafon kredit usaha kecil dan menengah, maka
secara nominal baki debet kredit kepada kelompok usaha mikro
cenderung lebih rendah, yaitu sebesar Rp.9,01 triliun atau 15,23% dari
total kredit UMKM yang disalurkan. Namun demikian, jika dianalisa dari
Gambar 2.30Gambar 2.31
−49−
jumlah rekening/debiturnya, penyaluran kredit mikro masih
mendominasi, dengan proporsi mencapai 72% dari total debitur kredit
UMKM sebanayak 1.145.949 debitur yang memperoleh kredit UMKM dari
perbankan.
15. Kredit Usaha Rakyat (KUR)
Keberadaan KUR yang bertujuan untuk memberikan akses
pembiayaan bagi UMKM, khususnya usaha mikro yang feasible namun
belum bankable dalam pelaksanaannya di Jawa Timur menunjukkan
perkembangan yang menggembirakan. Berdasarkan data Kementerian
Koordinator Perekonomian RI, realisasi penyaluran KUR oleh 7 bank
umum penyalur KUR di Jawa Timur (BRI, BNI, Mandiri, Mandiri Syariah,
BTN dan Bukopin, Bank Jatim) sejak program ini diluncurkan di tahun
2008 hingga Tw I-2011 mencapai Rp.6,05 triliun dengan 734.030
nasabah atau sebesar 15% dari realisasi KUR nasional. Kondisi ini
membawa provinsi Jatim pada urutan pertama daerah penyaluran KUR
secara nasional. Sampai dengan akhir periode laporan, outstanding/ baki
debet KUR di Jatim tercatat sebesar Rp.3 triliun, dengan didominasi oleh
penyaluran kredit kepada kelompok usaha mikro/ KUR Mikro (plafon s/d
Rp. 20 juta) yang mencapai 97%, sementara selebihnya merupakan
nasabah kategori KUR retail (Plafon diatas Rp. 20 juta).
Penyaluran KUR yang merupakan koordinasi antara pemerintah
dengan perbankan diharapkan menjadi salah satu langkah efektif
pemberdayaan UMKM di Indonesia. Untuk itu, dalam rangka lebih
mengoptimalkan kinerja penyaluran KUR yang sudah berlangsung
dengan cukup baik di Jatim, Bank Indonesia Surabaya, Pemerintah
Provinsi Jawa Timur bersama dengan 7 Bank penyalur KUR di Jatim
Gambar 2.32
Gambar 2.33
−50−
berupaya untuk terus melakukukaan sinergi guna merumuskan strategi
peningkatan penyaluran KUR di Jatim. Disamping mengupayakan
intensifikasi penyaluran KUR dengan melakukan pemasaran yang intens,
KBI Surabaya bersama bank penyalur KUR di Jatim melakukan beberapa
kegiatan sosialisasi kepada masyarakat mengenai alternatif keberadaan
pembiayaan kepada UMKM, seperti berbagai kredit program, KUR serta
informasi lain mengenai produk kredit perbankan sehingga masyarakat
dapat memperoleh gambaran mengenai akses pembiayaan untuk
usahanya.
2.1.2.2 Fokus Kesejahteraan Sosial
Pembangunan daerah bidang kesejahteraan sosial terkait dengan
upayameningkatkan kualitas manusia dan masyarakat Jawa Timur yang
tercermin pada angkamelek huruf, angka rata-rata lama sekolah, angka
partisipasi kasar, angka pendidikanyang ditamatkan, angka partisipasi murni,
angka kelangsungan hidup bayi, angka usiaharapan hidup, persentase
penduduk yang memiliki lahan, dan rasio penduduk yangbekerja.
1. Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Angka IPM yang dihasilkan dalam analisis ini bertujuan untuk
melihat perbandingan/posisi pembangunan manusia antar
kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Penghitungan IPM Jawa Timur
dalam analisis ini memakai standar harga Jakarta Selatan. Oleh karena
itu angka IPM menurut kabupaten/kota yang dihasilkan dari penyusunan
laporan IPM ini dapat dibandingkan dengan kabupaten/kota dan provinsi
lain.
Secara umum angka IPM di Jawa Timur selama periode 2009 -
2010 menunjukan kenaikan. Pada tahun 2009 nilainya 71,06, dan
selanjutnya meningkat menjadi 71,55 pada tahun 2010. Dari hasil
penghitungan IPM tahun 2010, diperoleh gambaran bahwa 19
Kabupaten/Kota mempunyai IPM lebih baik daripada IPM Jawa Timur,
sedangkan 19 kabupaten lainnya memiliki nilai IPM di bawah angka IPM
Jawa Timur. Nilai IPM tertinggi dicapai oleh Kota Blitar sebesar 77,28
sedangkan urutan kedua ditempati Kota Surabaya dengan nilai IPM
71.18 dan urutan ketiga adalah Kota Malang sebesar 77,10. Urutan
terendah IPM adalah Kabupaten Sampang dengan nilai 59,58, angka ini
−51−
lebih baik jika dibandingkan dengan angka tahun sebelumnya yang
hanya sebesar 58,68.
Secara garis besar, nilai IPM di tiap kabupaten/kota mengalami
kenaikan dari angka tahun 2009 hingga 2010 walaupun tidak
menunjukkan kenaikan yang drastis. Hal ini dikarenakan adanya
berbagai program pemerintah baik provinsi maupun Kabupaten/kota
untuk meningkatkan angka IPM, seperti program di bidang kesehatan,
pendidikan maupun ekonomi dan peningkatan kualitas sarana prasarana
masyarakat lainnya. Keberhasilan program tersebut juga tergantung
pada pola pikir masyarakat setempat dalam pemanfaatan sarana
tersebut.
Tabel 2.12
Perkembangan Angka IPMTahun 2009-2010 di Jawa Timur
No. Kabupaten/Kota IPM
Naik (+)/Turun (-) 2009 2010
Kabupaten
1 Pacitan 71,45 71,91 0,46
2 Ponorogo 69,75 70,34 0,59
3 Trenggalek 72,72 73,21 0,49
4 Tulungagung 72,93 73,29 0,36
5 Blitar 73,22 73,62 0,4
6 Kediri 71,33 71,72 0,39
7 Malang 70,09 70,55 0,46
8 Lumajang 67,26 67,79 0,53
9 Jember 64,33 64,87 0,54
10 Banyuwangi 68,36 68,81 0,45
11 Bondowoso 62,11 62,79 0,68
12 Situbondo 63,69 64,23 0,54
13 Probolinggo 62,13 62,79 0,66
14 Pasuruan 66,84 67,57 0,73
15 Sidoarjo 75,88 76,33 0,45
16 Mojokerto 72,93 73,3 0,37
17 Jombang 72,33 72,73 0,4
18 Nganjuk 70,27 70,74 0,47
19 Madiun 69,28 69,83 0,55
20 Magetan 72,32 72,72 0,4
21 Ngawi 68,41 68,82 0,41
22 Bojonegoro 66,38 66,84 0,46
23 Tuban 67,68 68,25 0,57
24 Lamongan 69,03 69,63 0,6
25 Gresik 73,98 74,37 0,39
−52−
No. Kabupaten/Kota IPM
Naik (+)/Turun (-) 2009 2010
26 Bangkalan 64 64,52 0,52
27 Sampang 58,68 59,58 0,9
28 Pamekasan 63,81 64,41 0,6
29 Sumenep 64,82 65,3 0,48
Kota
71 Kediri 75,68 76,17 0,49
72 Blitar 76,98 77,28 0,3
73 Malang 76,69 77,1 0,41
74 Probolinggo 73,73 74,09 0,36
75 Pasuruan 73,01 73,35 0,34
76 Mojokerto 76,43 76,67 0,24
77 Madiun 76,23 76,48 0,25
78 Surabaya 76,82 77,18 0,36
79 Batu 73,88 74,35 0,47
Jawa Timur 71,06 71,55 0,49
Gambar 2.34
Indeks Pembangunan Manusia 2010
2.1.2.3 Fokus Seni Budaya Dan Olah Raga
1. Seni Budaya Daerah
Pelestarian seni budaya tradisi merupakan milik masyarakat dan
sepenuhnya menjadi tanggungjawab masyarakat. Pemerintah harus
mampu memfasilitasi serta mengakomodasi kebutuhan masyarakat
dalam upaya melestarikan seni budaya tradisi yang tumbuh,
berkembang dan menjadi bagian dari masyarakat. Dalam hal ini
pemerintah daerah dan masyarakat harus menyediakan ruang, tempat
dan waktu bukan hanya untuk seniman dan budayawan dalam
Ngawi
Magetan
Madiun
Ponorogo
Blitar
Malang
Pasuruan
Mojokerto Nganjuk
Jombang
Kediri
−53−
melestarikan dan mengembangkan seni budaya tetapi juga
pemberdayaan seniman dan budayawan serta masyarakat secara luas.
Permasalahan yang dihadapi dalam pelestarian dan
pengembangan seni budaya daerah adalah lemahnya partisipasi
masyarakat dalam mengenal dan mengapresiasi budayanya sendiri.
Secara filosofis sebenarnya kebudayaan adalah identitas utama suatu
kelompok masyarakat. Kebudayaan timbul dengan tujuan membedakan
ciri khas suatu kelompok dengan kelompok lain. Namun, esensi ini
sering dilupakan oleh banyak kelompok karena beberapa faktor. Salah
satu faktor utamanya adalah kehadiran budaya populer.
Tak bisa dipungkiri bahwa pemikiran masyarakat tergerus oleh
lahirnya budaya populer (popular culture). Kehadiran budaya populer
biasanya melalui iklan atau media yang menargetkan masyarakat biasa.
Ada benarnya jika budaya populer bersifat politis dan berorientasi
ekonomi. Kondisi sebagian masyarakat Indonesia pada umumnya dan
masyarakat Jawa Timur khususnya adalah mengikuti trend yang ada
dan sering melupakan sesuatu yang sudah lama terbangun dalam
kehidupannya. Hal ini ditambah pula dengan alasan menyamai atau
“ingin berbudaya seperti” Negara lain. Sehingga timbulah kesamaan
diantara beberapa Negara, misalnya kehadiran fashion-fashion Paris
yang tersebar dipusat perbelanjaan mewah di Indonesia. Ada juga
musik-musik modern luar negeri yang merambah Indonesia sebagai
target pemasaran. Hal ini mengakibatkan Budaya asli suatu kelompok
akan terpinggirkan karena tidak memiliki kekuatan untuk tawar
menawar (bargaining power) dengan aliran utama yang lebih dianggap
modern. Bahkan pada kasus yang lebih ektrim, karena kurang
diperhatikannya budaya sendiri bisa terjadi pengakuan suatu benda
budaya oleh Negara lain. Contoh kasus nyata terpinggirnya budaya
daerah di Indonesia adalah hampir punahnya pementasan wayang
orang ludruk. Hanya segelintir orang yang mau menyaksikan
pertunjukan budaya itu. Ini menjadi bukti lemahnya kekuatan
masyarakat daerah untuk bangga pada budayanya sendiri.
Kehadiran budaya populer tidaklah salah, namun kita harus bisa
memegang budaya tanpa meninggalkan identitas budaya daerahnya.
Alasannya adalah budaya secara filosofis merupakan jembatanan
targenerasi dan budaya daerah juga merupakan warisan yang harus
−54−
tetap dilestarikan dan sebarannya dapat disisasati sebagai alat
pembangun daerah. Dua konsep inilah yang harus tersosialisasi dan
harus dilekatkan pada masyarakat terlebih dahulu, sehingga pada
akhirnya masyarakat memilki loyalitas terhadap budayanya sendiri.
Di Jawa Timur secara umum, di beberapa daerah masih banyak
masyarakat yang setia memelihara seni budaya daerah meskipun kita
akui bersama, di kabupaten/kota besar kehidupan seni budaya daerah
semakin berkurang, berikut adalah data-data tentang gorup kesenian
yang ada di Jawa Timur :
Tabel 2.13
Jumlah Group Kesenian Di Jawa Timur
NO JENIS GROUP JUMLAH
1 2 3
1 Paguyuban Peminat Seni Tradisi di Sekolah 62 Group
2 Seni Musik Tradisi 801 Group
3 Seni Musik Non Tradisi 2074 Group
4 Seni Musik Islami 1133 Group
5 Jumlah Seniman Tari Musik Teater 1836 Orang
6 Organisasi/Group Teater 557 Group Sumber Data : ** Masih sangat sementara (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur) Th 2010
Pelestarian dan pengembangan budaya daerah tidak hanya
dilakukan oleh masyarakat umum, namun dilakukan juga melalui
sekolah-sekolah dengan tujuan agar generasi muda sejak kecil dibina
untuk mencintai seni budaya daerahnya sendiri. Di Jawa Timur sudah
banyak sekolah-sekolah yang ikut tergabung dalam Paguyuban Peminat
Seni Tradisi di Sekolah (PPST) yang pada tahun 2010 berjumlah 58
group, dan pada tahun 2011 ini meningkat menjadi 62 group.
Diharapkan setiap tahun akan terus meningkat sehingga upaya kita
untuk melestarikan dan mengembangkan seni budaya daerah semakin
meningkat pula.
2. Olahraga
Pembangunan Olah raga ditujukan kepada peningkatan prestasi
olah raga di sekolah-sekolah dan perguruan-perguruan tinggi maupun di
lingkungan masyarakat luas. Selain itu pembangunan olahraga juga
ditujukan untuk meningkatkan kondisi fisik dan mental masyarakat,
memajukan olah raga dengan meningkatkan mutu prestasi keolah
−55−
ragaan di Jawa Timur, memasyarakatkan olah raga dan
mengolahragakan masyarakat.
Disamping pembangunan olahraga, pemerintah memandang
penting pada pendidikan jasmani dan olah raga yang diarahkan pada
usaha membina kesehatan jasmani dan rohani bagi setiap anggota
masyarakat serta usaha memasyarakatkan olah raga, mengolahragakan
masyarakat dan meningkatkan prestasi.
Permasalahan yang dihadapi saat ini adalah masih kurangnya
fasilitas olahraga yang memenuhi standard sehingga perlu peningkatan.
Kekurangan fasilitas olahraga tersebut sangat mempengaruhi prestasi
olahraga di Jawa Timur, artinya belum semua daerah terfasilitasi
dengan baik sehingga sangat sulit untuk mengembangkan prestasi.
Pemerintah Provinsi Jawa Timur sejak tahun 2008 telah mencoba
memfasilitasi olahraga di daerah guna pembibitan atlit dengan
mendirikan Pusat Pendidikan dan Latihan Olahraga Pelajar Daerah
(PPLPD) yang terdiri dari 7 cabang olahraga bekerjasama dengan 10
kabupaten/kota. PPLPD tersebut diharapkan tiap tahun akan meningkat
sehingga pembibitan atlit di daerah akan lebih merata.
Adapun daftar PPLPD saat ini adalah sebagai berikut :
Tabel 2.14
DaftarPusat Pendidikan Dan Latihan Olahraga PelajarDaerah (PPLPD)Jawa Timur
NO KABUPATEN / KOTA CABANG OLAHRAGA
1. JOMBANG Atletik
2. BANYUWANGI Bola Voli
3. JEMBER Bola Voli
4. PROBOLINGGO Senam
5. NGANJUK Atletik
6. KEDIRI Tenis Meja
7. LAMONGAN Panahan
8. MAGETAN Tenis Meja
9. BLITAR Sepak Takraw
10. MALANG Gulat
Selain pembibitan atlit, pemerintah provinsi Jawa Timur juga
melaksanakan pembinaan atlit prestasi melalui KONI. KONI pada saat
−56−
ini adalah melakukan persiapan menghadapi PON 2012 di Riau guna
mempertahankan gelar Juara Umum, melalui :
1. Konsolidasi tentang evaluasi kegiatan dan target medali kepada
cabang-cabang olahraga prestasi;
2. Melakukan komparasi terhadap hasil yang dicapai dalam kejurnas
sepanjang tiga tahun terakhir;
3. Meningkatkan kegiatan guna mendukung Program Jatim 100 yaitu
target Jawa Timur untuk mencapai 100 medali;
4. Melaksanakan Pemusatan Latihan Daerah (PUSLATDA) secara
berkelanjutan dengan menerapkan promosi dan degradasi serta
penentuan langkah strategis, cerdas, realistis, keseriusan,
kesungguhan dan dukungan bagi penyiapan Kontingen Jawa Timur
dalam mempertahankan prestasi pada PON XVIII Tahun 2012 di
Riau.
5. Memfasilitasi atlet Jawa Timur ke berbagai kejuaraan baik regional.
Nasional maupun internasional.
Selain kegiatan guna persiapan PON 2012 di Riau, KONI juga
membina atlet-atlet muda yang berkualitas. Fokus kegiatan didasarkan
pada kondisi yang dimiliki utamanya yang berhubungan dengan :
a. Atlet eks PON XVII/2008 yang masih berpotensi meraih medali
dengan usia maksimum sesuai ketentuan pada PON XVIII/2012
Riau;
b. Atlet-atlet yang memperoleh medali emas dalam PORPROV II/2009
serta atlet junior yang berpotensi pada Kejuaraan Nasional dan
mampu bersaing dengan prestasi senior yang masuk dalam Puslatda
Jatim 100/II Tahun 2011;
c. Keterlibatan instansi lain yang terkait dalam kegiatan pembinaan
prestasi olahraga;
d. Tekad Jawa Timur untuk tetap mempertahankan Juara Umum
Adapun Atlet dan pelatih yang dibina adalah 583 atlet serta 110
pelatih;
Jumlah Organisasi Olahraga Jawa Timur Tahun 2010
Pada tahun 2009 induk organisasi olahraga yaitu KONI mempunyai
cabang organisasi olahraga sebanyak 43 di Jawa Timur. Keberadaan
cabang organisasi tersebut disetiap kabupaten/kota tidak sama, karena
−57−
sangat tergantung pada eksistensi olahraga tersebut pada tiap daerah.
Berdasarkan data yang dihimpun dari instansi terkait di Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota Se Jawa Timur, jumlah organisasi olahraga pada tahun
2009 organisasi olahraga sebanyak 605 dan tahun 2010 sebanyak 607
organisasi olahraga.
Jumlah Gedung Olahraga Jawa Timur
Prasarana dan sarana olahraga yang semakin beragam sangat
diperlukan, seiring dengan meningkatnya kemampuan dan ketrampilan
sumber daya manusia. Oleh karena melalui kegiatan olahraga diyakini
bahwa social capital bisa meningkat.
Berdasarkan data dari Dinas Kepemudaan dan Olah Raga Jawa
Timur sampai dengantahun 2010 terdapat sebanyak 90 gedung olah raga
milik pemerintah. Untuk gedung olah raga milik swasta masih belum
terdata.
Jumlah Klub Olah Raga Jawa Timur Tahun 2008 - 2010
Berdasarkan data dari Dinas Kepemudaan dan Olah Raga Jawa
Timur terdapat 57 klub olahraga di tahun 2007dan cenderung konstan pada
tahun 2008 dengan jumlah yang sama. Sementara itu, berdasarkan data
yang tersedia di Bakesbangpol Kabupaten/Kota se Jawa Timur, pada tahun
2009 terdapat 1.402 klub olah raga, yang terdiri dari klub olah raga sepak
bola, bulu tangkis, bola volley, bola basket, dan lainnya. Keberadaan klub
olah raga ini meningkat menjadi 1.420 klub pada tahun 2010, dengan
jumlah klub terbanyak pada olah raga bola volley (44,01 persen), kemudian
diikuti klub olah raga sepak bola dan bulu tangkis (23,31 persen dan 20,28
persen).
2.1.3 Aspek Pelayanan Umum
1. Bidang Urusan Pendidikan
Dalam rangka peningkatan akses dan mutu pelayanan pendidikan
melalui jalur formal maupun non formal, Provinsi Jawa Timur telah
melakukan berbagai macam program dan kegiatan pendidikan guna
pencapaian pemerataan pendidikan yang bermutu dan terjangkau.
Adapun indikator yang menunjukkan hasil kinerja bidang pendidikan
adalah Angka Partisipasi Sekolah untuk jenjang SD/MI pada tahun 2010
sebesar 113,53 meningkat dibandingkan tahun 2009 sebesar 113,3%,
−58−
untuk SMP/MTS tahun 2010 sebesar 103,81% meningkat dibanding
tahun 2009 sebesar 102,69%, dan untuk SMA/MA pada tahun 2010 juga
mengalami peningkatan yaitu sebesar 75,07% dibanding tahun 2009
sebesar 71,43%.
Tabel 2.15
Angka Partisipasi Kasar (APK) Menurut Kelompok Umur
NO. Angka Partisipasi Kasar (APK)
Menurut Kelompok Umur (%)
Tahun
2008 2009* 2010**
1 SD – MI (Usia 7-12th) 113,73 113,30 113,53
2 SMP – MTs (Usia 13-15th) 99,74 102,69 103,81
3 SMA – MA (Usia 16-18th) 67,53 71,43 75,07
Sumber: BPS (*= angka sementara; **=angka sngt sementara)
Sedangkan rasio ketersediaan sekolah dibandingkan dengan
penduduk usia sekolah menurut data Dinas Pendidikan Provinsi Jawa
Timur adalah untuk jenjang SD/MI pada tahun 2010 68,75% turun
dibandingkan tahun 2009 72,20%, jenjang SMP/MTs tahun 2010
34,11% turun dibandingkan tahun 2009 34,83%, jenjang SMA/SMK/MA
20,68% tahun 2010 turun dibanding tahun 2009 21,12% (Terjadi
penurunan karena data sifatnya masih sangat sementara dan terdapat 7
kabupaten belum memasukkan data ke Diknas Prov. Jatim).
Tabel 2.16 Rasio Ketersediaan Sekolah Dibandingkan dengan Penduduk Usia Sekolah
NO. Rasio Ketersediaan Sekolah Dibandingkan
dengan Penduduk Usia Sekolah (%)
Tahun
2009 2010**
1 SD – MI (Usia 7-12th) 72,20 68,75
2 SMP – MTs (Usia 13-15th) 34,83 34,11
3 SMA – MA (Usia 16-18th) 21,12 20,68
Sumber: Dinas Pendidikan ( **=angka sngt sementara)
Adapun untuk rasio guru dengan murid pada jenjang SD/MI tahun
2010 sebesar 0,072% meningkat dibanding tahun 2009 sebesar 0,071%,
jenjang SMP/MTs tahun 2010 sebesar 0,076% turun dibandingkan tahun
2009 sebesar 0,088%, dan jenjang SMA/SMK/MA pada tahun 2010
sebesar 0,086% turun dibandingkan tahun 2009 sebesar 0,091%.
−59−
Tabel 2.17 Rasio Guru dengan Murid Menurut Kelompok Umur
NO. Rasio Guru Dengan Murid
Menurut Kelompok Umur (%)
TAHUN
2009 2010**
1 SD – MI (Usia 7-12th) 0,071 0,072
2 SMP – MTs (Usia 13-15th) 0,088 0,076
3 SMA – MA (Usia 16-18th) 00,86 0,091
Sumber: BPS ( **=angka sngt sementara)
Kondisi ini menunjukan bahwa pelayanan pendidikanberupa
penyediaan sekolah dan guru masih belum memadai sehingga
perluditingkatkan. Selain itu, meskipun telah terjadi berbagai
peningkatan yang cukup berarti,pembangunan pendidikan belum
sepenuhnya mampu memberi pelayanan merata,berkualitas dan
terjangkau. Sebagian masyarakat berpendapat bahwa biaya
pendidikanmasih relatif mahal dan pendidikan belum sepenuhnya
mampu memberikan nilai tambahbagi masyarakat sehingga belum dinilai
sebagai bentuk investasi.
2. Bidang Urusan Kesehatan
Pada tahun 2010 jumlah rumah sakit di Jawa Timur sebanyak 300
unit, puskesmas inti sebanyak 948 unit, puskesmas pembantu 2.274
unit, puskesmas keliling 1063 unit dan balai pengobatan sebanyak 804
unit. Pemberi layanan kesehatan, terdiri dari dokter 3.747 orang dokter
gigi sebanyak 1.414 orang, bidan puskesmas 13.516 orang, dan perawat
sebanyak 21.092 orang.
Upaya pelayanan kesehatan kepada masyarakat dilakukan secara
rawat jalan bagi masyarakat yang mendapat gangguan kesehatan ringan
dan pelayanan rawat inap bagi masyarakat yang mendapatkan
gangguan kesehatan hingga berat. Sebagian besar sarana pelayanan
Puskesmas dipersiapkan untuk pelayanan kesehatan dasar terutama
pelayanan rawat jalan, sedangkan RS disamping memberikan pelayanan
pada kasus rujukan untuk rawat inap juga melayani kunjungan rawat
jalan.
Jumlah dokter mencapai 3747 orang dengan rasio 14,18 per
100.000 penduduk, angka rasio tersebut masih perlu ditingkatkan per
100.000 penduduk.
−60−
3. Bidang Urusan Perumahan
Fasilitas Infrastruktur lingkup perumahan dan permukiman antara
lain meliputi infrastruktur Perumahan, Air Minum, Sanitasi yang terdiri
dari Air Limbah, Persampahan dan Drainase. Sampai dengan tahun
2010 back log rumah di Jawa Timur di perkotaan adalah sebanyak
344.300 unit (2,36 %) dan di perdesaan adalah sebanyak 281.783 unit
atau (1,23 %). Di sisi lain masih terdapat kondisi rumah tidak layak huni
diperkirakan sebanyak 259.000 rumah tersebar di Kabupaten/Kota di
Jawa Timur.
Dalam rangka mendukung pengentasan kemiskinan dan
pemenuhan rumah yang layak huni utamanya bagi Masyarakat
berpenghasilan rendah, Pemerintah Provinsi bekerja sama dengan
KODAM V Brawijaya telah melaksanakan program Renovasi Rumah Tidak
Layak Huni dan sampai dengan Tahun 2010 telah dilaksanakan di 29
kabupaten dan 1 kota untuk 35.000 unit rumah. Dalam rangka
mengoptimalkan program ini maka perlu dilakukan pemutakhiran data
rumah tidak layak huni yang tersebar di kabupaten/ kota di Jawa Timur.
Sedangkan infrastruktur air limbah perkotaan cakupan
pelayanannya mencapai 76,30% dan di perdesaan mencapai 46,96 %.
Untuk infrastruktur persampahan khususnya di perkotaan kondisi rasio
pelayanan mencapai 49,6 % dan drainase perkotaan yang berfungsi
dengan baik mencapai 13%.
Adapun infrastruktur air minum sampai dengan tahun 2010 rasio
pelayanannya untuk perkotaan mencapai 51,7 % dan perdesaan
mencapai 46,5 %. Berbagai upaya telah dan sedang dilakukan untuk
meningkatkan pemenuhan kebutuhan masyarakat akan air minum
antara lain dengan pengembangan pengelolaan air minum lintas wilayah,
antara lain melalui pemanfaatan mata air umbulan. Pemanfaatan dan
pengelolaan mata air Umbulan ini akan dilaksanakan melalui mekanisme
Kerjasama Pemerintah dan Swasta. Pemerintah Provinsi telah
melakukan beberapa fasilitasi dalam rangka implementasi pemanfaatan
dan pengelolaan Umbulan yang nantinya akan didistribusikan antara lain
untuk pemenuhan kebutuan air minum domestik maupun industri yang
terdapat di Kab. Pasuruan, Sidoarjo dan Kota Surabaya.
Dalam hal pengelolaan persampahan saat ini Pemerintah Provinsi
sedang menginisiasi dan memfasilitasi pengelolaan sampah terpadu
untuk Surabaya Metropolitan Area yang terdiri dari Kota Surabaya,
Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Gresik dengan lokasi TPA di
−61−
Kabupaten Gresik dan pengelolaan sampah terpadu untuk wilayah
Malang Raya. Dalam pengelolaan sampah terpadu ini diperlukan
kerjasama dengan pihak swasta/investor yang diharapkan dapat
mengelola sampah dan memberikan nilai manfaat.
Angkutan jalan raya mempunyai peranan besar untuk angkutan
dalam Propinsi dan dalam kota, baik dengan kendaraan umum maupun
kendaraan pribadi. Kondisi Jalan di Jawa Timur pada umumnya cukup
baik,tetapi peningkatan jumlah pelanggaran kelebihan muatan,
kepadatan lalu lintas serta umur jalan merupakan faktor terhadap
kondisi kerusakan jalan.
Perkembangan pelayanan angkutan umum yang didukung oleh
armada bus kota, Mobil Penumpang Umum (MPU) Mikro Bus antar kota
dan Angkutan Pemadu Moda seperti ditunjukkan tabel berikut :
Tabel 2.18
Perkembangan Pelayanan Angkutan Umum di Jawa Timur
NO JENIS ARMADA /
ANGKUTAN SATUAN 2008 2009 2010
1 Bus kota
- Jumlah Perusahaan Buah 12 12 12
- Jumlah Armada Buah 46 46 46
2 Mobil Penumpang Umum (MPU)
- Jumlah Perusahaan Buah - - Kepemilikan Perorangan
- Jumlah Armada Buah 10.368 10.368 6.698
3 Angkutan Pemadu Moda
- Jumlah Armada Buah - - 17 Sumber: Dishub
Sedangkan perkembangan Jumlah Bus AKDP dan AKAP di Jawa
Timur mengalami peningkatan dari tahun 2008 sampai dengan akhir
tahun 2010 sebagaimana tabel berikut :
−62−
Tabel 2.19 Perkembangan Jumlah Bus AKDP dan AKAP
NO URAIAN SATUAN 2008 2009 2010
1 2 3 4 5 6
1 Bus AKDP
- Jumlah Perusahaan Buah 147 149 151
- Jumlah Armada Reguler
Buah 4.005 4.021 4.032
- Jumlah Armada Cadangan
Buah 529 523 513
2 Bus AKAP
- Jumlah Perusahaan Buah 64 64 63
- Jumlah Armada Reguler
Buah 1.654 1.629 1.632
- Jumlah Armada Cadangan
Buah 204 204 194
Adapun perkembangan Angkutan Tidak Dalam Trayek juga
menunjukkan peningkatan sebagai berikut :
Tabel 2.20
Perkembangan Angkutan Tidak Dalam Trayek
No Tahun
Jenis Pelayanan
Ank. Pariwisata Ank. Antar Jemput
AKDP Ank. Sewa Taksi
Jml
Pers
Jml
Ken
d
Pros
(%)
Jml
Pers
Jml
Ken
d
Pros
(%)
Jml
Pers
Jml
Ken
d
Pros
(%)
Jml
Per
s
Jml
Ken
d
Pros
(%)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
1 2008 120 749 30 118 11 44 8 1005
19.8 3.4 18.18 0.50
2 2009 142 897 32 122 12 36 8 1010
17.7 -100 33.33 0.30
3 2010 162 105
6
35 149 13 48 8 1013
Dalam rangka meningkatkan kontrol Perkembangan Jumlah
Sarana Kontrol Kelayakan Angkutan Barang/Penumpang, telah dilakukan
pengembangan dan peningkatan sarana – prasarana jembatan timbang
untuk mendukung program nasional Zero Over Loading. Selain itu juga
dikembangkan Unit pelayanan Teknis LLAJ dan Balai Pengujian
Kendaraan Bermotor kabupaten/kota.
−63−
Tabel 2.21 UPT Pelayanan Teknis LLAJ dan Balai Pengujian
Kendaraan bermotor Kab/Kota
NO URAIAN SATUAN 2008 2009 2010
1 Jumlah Jembatan timbang
Unit 19 19 20
2 Jumlah Unit Pelayanan Teknis LLAJ
Unit 8 11 11
3 Jumlah Balai Pengujian Kendaraan Bermotor Kab/Kota
Unit 39 39
Mendukung pelayanan angkutan penumpang sampai dengan saat
ini telah dikembangkan Terminal Type A dan Terminal type B yang
tersebar di seluruh kabupaten/kota di Jawa Timur :
Tabel 2.22
Jumlah Terminal Type A dan Terminal Type B
NO URAIAN SATUAN 2008 2009 2010
1 Terminal tipe A Unit 17 16 16
2 Terminal tipe B Unit 31 32 32
Perkembangan pelayanan terhadap arus Penumpang Melalui 4
(Empat) Pelabuhan Laut Utama Di Jatim yaitu Pelabuhan Tanjung Perak,
Tanjungwangi, Gresik, dan Probolinggo menunjukkan kondisi
sebagaimana berikut :
Tabel 2.23
Perkembangan Jumlah arus penumpang Pelabuhan Laut Utama di Jatim
NO URAIAN 2008 2009 2010
1 2 3 4 5
1 Arus Kapal Penumpang (unit)
1.950 1.634 1.340
- Tanjung Perak 1.446 1.346 1.340 - Gresik 457 288 - - Tanjung wangi 47 - -
- Probolinggo - - - 2 Arus Penumpang
Orang
a. Debarkasi / Turun 648.503 520.493 409.267 - Tanjung Perak 569.690 476.957 405.473 - Gresik 74.100 39.756 - - Tanjung wangi 4.713 3.780 3.794
−64−
NO URAIAN 2008 2009 2010
1 2 3 4 5 - Probolinggo - - - b. Embarkasi / Naik 662.629 564.783 447.590 - Tanjung Perak 585.090 510.795 442.338 - Gresik 72.440 49.755 - - Tanjung wangi 5.099 4.233 5.252 - Probolinggo - - -
Jumlah Arus Penumpang
1.313.082 1.086.910 856.857
Disisi lain perkembangan pelayanan pada pelabuhan
penyeberangan yang melayani penyeberangan antar Pulau menunjukkan
bahwa penurunan pada penyeberangan Ujung – kamal, mengingat telah
beroperasinya jembatan Suramadu yang menghubungkan Surabaya
dengan Madura. Sedangkan pelayanan penyeberangan di pelabuhan
penyeberangan Ketapang Gilimanuk menunjukkan peningkatan yang
cukup signifikan.
Tabel 2.24 Perkembangan Pelayanan Pelabuhan Penyeberangan
di Jawa Timur
A. Lintas Ujung – Kamal (PP)
NO URAIAN SATUAN 2008 2009 2010
1 Kapal Unit 18 8 8 2 Trip Kali 124.828 89.055 37.005
3 Penumpang Orang 10.599.148 7.874.859 3.938.535
4 Barang Ton 2.031.709 978.689 26.204
5 Kendaraan
- Roda dua Buah 3.604.013 2.784.004 1.630.743
- Roda empat buah 1.620.368 796.966 140.894
6 Hewan Ekor - -
B. Lintas Ketapang – Gilimanuk (PP)
NO URAIAN SATUAN 2008 2009 2010
1 Kapal Unit 24 28 28
2 Trip Kali 112.759 119.806 125.964
3 Penumpang Orang 936.263 7.347.201 9.585.682
4 Barang Ton - - -
5 Kendaraan
- Roda dua Buah 530.015 854.114 1.005.321 - Roda empat buah 1.315.524 1.676.277 1.699.225
−65−
C. Lintas Jangkar – Kalianget (naik – turun) NO URAIAN SATUAN 2008 2009 2010
1 Kapal Unit 2 * 1
2 Trip Kali 1.004
3 Penumpang Orang 60.198 28.578
4 Barang Ton 2.203 441
5 Roda dua Buah 18.041 9.934
6 Roda empat buah 1.490 273
Keterangan : * Untuk 2009 Lintas Jangkar - Kalianget dihentikan
D. Lintas Kalianget – Kangean (naik) NO URAIAN SATUAN 2008 2009* 2010
1 Kapal Unit 1 - 2
2 Trip Kali 322 -
3 Penumpang Orang 51.470 - 31.381
4 Barang Ton 28.843 - 1.514
5 Roda dua Buah 4.414 - 1.764
6 Roda empat Buah 81 - 90
7 Hewan Ekor
- 100
Keterangan : * Untuk 2009 Lintas Jangkar - Kangean dihentikan
Adapun pelayanan terhadap arus Penumpang Melalui 2 (Dua)
Bandara Di Jawa Timur yaitu Bandara Juanda dan Bandara Abdul
Rahman Saleh menunjukkan peningkatan yang cukup siginifikan
sebagaimana tabel berikut :
Tabel 2.25
Jumlah Arus Penumpang Transportasi Udara
NO URAIAN 2008 2009 2010
1 2 3 4 5
1 Arus Pesawat Penumpang (unit)
44.307 48.501 51.540
- Bandara Juanda - Internasional 4.520 4.928 4.492 - domestik 38.870 42.266 45.417
- domestik 917 1.307 1.631
2 Arus Penumpang Orang a. Debarkasi / Turun 4.341.632 5.134.484 5.750.990 - Bandara Juanda - Internasional 544.397 568.531 647.685 - domestik 3.797.235 4.565.953 5.103.305
- domestik 116.018 132.457 184.473
b. Embarkasi / Naik 4.119.141 4.913.118 - - Bandara Juanda - Internasional 462.969 537.101 569.994 - domestik 3.559.224 4.257.754 4.877.541
- Bandara Abd.
Rahman Saleh
- domestik 96.948 118.263 178.586
JUMLAH ARUS PENUMPANG
8..460.773 10.047.602 11.377.111
−66−
Secara umum sampai dengan Tahun 2010 kinerja masing-masing
moda transportasi menunjukkan capaian sebagai berikut :
1. Transportasi Darat :
No. Sub Kinerja Target Pencapaian
1. Pengawasan angkutan jalan 7 juta kendaraan/thn
2. Angkutan penumpang kereta api regional
4,7 pnp/tahun
3. Angkutan penumpang penyeberangan
10 juta pnp/tahun
4. Angkutan kendaraan penyeberangan 6 juta kendaraan/thn
2. Transportasi Laut :
No. Sub Kinerja Target Pencapaian
1. Angkutan penumpang 1 juta penumpang
2. Angkutan barang 160 juta ton
3. Transportasi Udara :
No. Sub Kinerja Target Pencapaian
1. Angkutan penumpang internasional 1 juta pnp/tahun
2. Angkutan penumpang domestik 9,7 juta pnp/tahun
Ketersediaan prasarana transportasi merupakan kebutuhan vital
masyarakat, antar daerah Kabupaten/Kota maupun antar Daerah
Provinsi. Transportasi merupakan urat nadi perekonomian, sehingga
usaha-usaha untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui
pembangunan sangat tergantung pada infrastruktur transportasi. Dalam
konteks pembangunan ekonomi, transportasi memiliki tiga fungsi utama.
Pertama, fasilitator pengangkutan, yakni memfasilitasi bagi pencapaian
setiap aspek pertumbuhan ekonomi. Kedua, generator pengangkutan,
yakni untuk merangsang pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Dan,
ketiga, distributor pengangkutan, yaitu sarana untuk menyebarkan atau
meratakan pertumbuhan ekonomi.
Sebagai dasar penanganan jalan di Provinsi Jawa Timur telah
ditetapkan Keputusan Gubernur Jawa Timur No.
188/103/KPTS/013/2011 tentang Penetapan Ruas – Ruas Jalan Primer
menurut fungsinya sebagai jalan kolektor 2 dan kolektor 3 serta
Keputusan Gubernur Jawa Timur No. 188/104/KPTS/013/2011 tentang
−67−
Penetapan Ruas-ruas Jalan Menurut Statusnya sebagai Jalan Provinsi,
dengan total jalan Provinsi adalah 1.760,91 Km.
Kondisi jalan provinsi di Jawa Timur menunjukkan bahwa jalan
provinsi dengan kondisi baik sepanjang 312 km, sedang 1.236,35 km,
rusak ringan 392 km dan rusak berat 60 km. Adapun jalan provinsi
dengan kondisi mantap adalah sepanjang 1.548,35 km (77,38 %) dan
tidak mantap sepanjang 452,63 km (22,62 %).
Dalam rangka mengurangi disparitas wilayah serta membuka
keterisolasian dan memacu perekonomian wilayah selatan Jawa Timur
telah dilaksanakan pembangunan Jalan Lintas Selatan di Jawa Timur
yang dimulai sejak tahun 2002, dengan panjang jalan yang direncanakan
sepanjang 618,80 Km, jembatan sepanjang 6.236 M dengan biaya ±
Rp. 7,7 Trilyun. Sampai dengan Tahun 2010 telah terealisasi jalan aspal
15,08%, jembatan 32,89 %, pembiayaan dengan 13,31%. Untuk
pembangunan fisik / konstruksi juga antara lain melalui APBD Provinsi
Jawa Timur dan APBN, sedangkan pengadaan tanah oleh Kabupaten.
Dengan keberadaan Jalan Lintas Selatan diharapkan akan
membuka akses dan membuka peluang pengembangan potensi di
wilayah Selatan Jawa Timur yang selama ini belum dapat dikembangkan
secaraoptimal karena keterbatasan akses.
Arus Perdagangan Melalui 4 (Empat) Pelabuhan Laut Utama Di
Jatim menujukkan perkembangan yang cukup menggembirakan :
Tabel 2.26
Arus Perdagangan Melalui 4 (Empat) Pelabuhan Laut Utama Di Jatim
NO URAIAN 2008 2009 2010
1 2 3 4 5
1 Perdagangan Luar Negeri
a. Impor 3.735.230 5.836.151 7.593.099
- Tanjung Perak 3.615.516 3.302.189 3.939.262
- Gresik 111.712 2.533.962 2.563.423
- tanjung Wangi 8.002 - 1.090.414
- Probolinggo - - -
b. Ekspor 973.690 1.054.096 1.312.733
- Tanjung Perak 973.690 863.967 811.003
- Gresik - 190.129 483.150
- Tanjung Wangi - - 18.580
- Probolinggo - - -
Jumlah Perdagangan Luar Negeri
4.708.920 6.890.247 8.905.832
−68−
NO URAIAN 2008 2009 2010
1 2 3 4 5
2 Perdagangan Dalam Negeri
a. Bongkar 7.019.965 144.749.783 14.431.667
- Tanjung Perak 2.896.719 4.310.566 4.021.324
- Gresik 3.156.690 5.770.172 6.620.078
- tanjung Wangi 916.340 1.306.271 3.665.245
- Probolinggo 50.216 133.362.774 125.020
b. Muat 3.867.216 5.573.350 7.443.882
- Tanjung Perak 1.719.349 1.837.025 1.602.470
- Gresik 2.014.358 3.430.905 3.621.245
- Tanjung Wangi 128.653 241.869 2.133.374
- Probolinggo 4.856 63.551 86.793
Jumlah Perdagangan Dalam Negeri
10.887.181 150.323.133 21.875.549
JUMLAH ARUS PERDAGANGAN
15.596.101 157.213.380 30.781.381
Adapun pelayanan terhadap arus Perdagangan Melalui Bandara
Juanda dan Bandara Abdul Rahman Saleh menunjukkan perkembangan
yang semakin meningkat sebagaimana berikut :
Tabel 2.27
Arus Perdagangan Melalui Bandara Juanda dan Bandara Abdul Rahman Saleh
NO URAIAN 2008 2009 2010
1 2 3 4 5
1 Perdagangan Luar Negeri
a. Impor 6.969.211 8.496.193 10.098.489
- Bandara Juanda 6.969.211 8.496.193 10.098.489
- Bandara Abd. Rahman Saleh - - -
b. Ekspor 8.017.079 8.593.806 9.632.158
- Bandara Juanda 8.017.079 8.593.806 9.632.158
- Bandara Abd. Rahman Saleh - - -
Jumlah Perdagangan Luar Negeri
14.986.290 17.089.999 19.730.647
2 Perdagangan Dalam Negeri
a. bongkar 20.368.747 22.595.192 27.123.005
- Bandara Juanda 20.094.504 22.112.574 26.460.270
- Bandara Abd. Rahman Saleh 274.243 482.618 662.735
b. muat 22.898.283 25.839.746 30.315.010
- Bandara Juanda 22.787.952 25.687.688 30.230.231
- Bandara Abd. Rahman Saleh 110.331 152.058 84.779
Jumlah Perdagangan Luar Negeri
43.267.030 48.434.938 57.438.015
JUMLAH ARUS PERDAGANGAN 58.253.320 65.524.937 62.372.461
−69−
4. Bidang Urusan Kesatuan Bangsa dan Politik Dalam Negeri
Pelayanan terhadap penyelenggaraan keamanan dan ketertiban
masyarakat dilaksanakan pemerintah bersama masyarakat melalui
penyediaan polisi pamong praja,linmas dan pos siskamling. Jumlah
anggota satuan Polisi Pamong Praja Provinsi Jawa Timur pada tahun
2010 adalah 163 orang.
Penyelenggaraan pembangunan Bidang Ketertiban umum dan
Ketentraman Masyarakat selama periode 2003-2009 difokuskan pada
terwujudnya kesadaran masyarakat untuk menjaga keamanan
masyarakat lingkungan masing-masing dan terwujudnya perlindungan
masyarakat dari bencana.
Pelanggaran atau gangguan ketentraman ketertiban umum pada
Tahun 2010 sebanyak 83.945 kasus, dengan rincian : triwulan pertama
sebanyak 19.672 kasus, triwulan kedua sebanyak 22.261 kasus, triwulan
tiga 22.230 kasus dan triwulan empat sebanyak 19.782 kasus.
Permasalahan yang dihadapi dalam pencegahan setiap kegiatan
masyarakat paling menonjol adalah kecenderungan pada masyarakat
yang semakin individualistis dan kurang memiliki rasa kepekaan sosial
serta wawasan kurang kebangsaan yang menurun. Disamping itu
kurangnya regulasi atau aturan yang dapat digunakan sebagai dasar
hukum untuk tindakan preventif sebagai upaya pencegahan setiap
kegiatan masyarakat atau kelompok yang mengarah kepada tindakan
anarkis, baik secara non fisik (provokatif, brain washing) maupun secara
fisik (destruktif).
5. Bidang Urusan Otonomi Daerah, Pemerintahan umum
Administrasi Keuangan Daerah, Perangkat Daerah,
Kepegawaian dan Persandian
P2T (Pelayanan Perizinan Terpadu)
Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) lingkup Provinsi Jawa
Timur yang sistem dan prosedur pelayanan perizinannya menjadi satu
atap di P2T Provinsi Jawa Timur berjumlah 17 SKPD dengan rincian
cakupan pelayanan Perizinan dan Non Perizinan, meliputi :
1. Bappeda Provinsi Jawa Timur = 1 izin,
2. Badan Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Timur = 4 izin,
3. Badan Penanaman Modal Provinsi Jawa Timur = 7 izin,
4. Dinas PU Bina Marga Provinsi Jawa Timur = 1 izin,
−70−
5. Dinas PU Pengairan Provinsi Jawa Timur = 2 izin,
6. Dinas Perhubungan dan LLAJ Provinsi Jawa Timur = 56 izin,
7. Dinas Koperasi dan UMKM Provinsi Jawa Timur = 6 izin,
8. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur = 53 izin,
9. Disnakertrans dan Kependudukan Provinsi Jawa Timur = 2 izin,
10. Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur = 4 izin,
11. Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Timur = 7 izin,
12. Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur = 7 izin,
13. Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur = 14 izin,
14. Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur = 3 izin,
15. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Timur = 10 izin,
16. Dinas ESDM Provinsi Jawa Timur = 8 izin,
17. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur = 5 izin,
TOTAL =190 izin
Adapun kinerja P2T Provinsi Jawa Timur didalam melakukan
proses penerbitan Perizinan dan Non Perizinan sejak terbentuk awal
Maret 2010 hingga akhir Desember 2010, adalah :
• Jumlah Perizinan dan Non Perizinan = 25.231 izin,
• Jumlah Investasi yang tercatat = Rp 5.448.930.901.112
• Penyerapan Tenaga Kerja = 34.515 orang
Sedangkan kinerja P2T Provinsi Jawa Timur, periode Januari s/d
21 April 2011, adalah sebagai berikut :
• Jumlah Perizinan dan Non Perizinan = 9.236 izin,
• Jumlah Investasi yang tercatat = Rp 8.463.627.952.894
• Penyerapan Tenaga Kerja = 15.037 orang
Untruk Sarana dan Prasarana kerja pada Kantor Pelayanan
Perizinan Terpadu Provinsi Jawa Timur serta Penghargaan yang telah
didapat, meliputi tersedianya :
• Ruang tunggu bagi pemohon,
• CCTV dan Klinik Kesehatan,
• Wifi dan akses Internet,
• (tiga) unit kendaraan operasional Roda 4 untuk Tim Unit Reaksi
Cepat (URC)
−71−
• Media Informasi, mencakup :
− ruang dan perlengkapan informasi
− bentuk informasi : booklet, leaflet, touch screen
− sedang dibangun “Cafe Investasi”
• Telah diperolehnya Sertifikat ISO 9001 : 2008 untuk Sistem
PelayananP2T yang sudah menerapkan proses 1 (satu) hari selesai,
bilamana semua persyaratan dinyatakan secara lengkap dan benar
Untuk lebih meningkatkan pelayanan publik, maka saat ini mulai
Awal Mei 2011 s/d Akhir September 2011 sedang dilakukan Sosialisasi
dan Pelatihan bagi Tim Unit Reaksi Cepat (URC) dalam rangka
persiapan penerapan SMM ISO 9001 : 2008 bagi Tim URC yang ada
di masing-masing SKPD (17 SKPD) dan penyerahan Sertifikat ISO 9001 :
2008 bagi Tim URC untuk SKPD oleh Bapak Gubernur Jawa Timur
direncanakan pada saat HUT Provinsi Jawa Timur tanggal 12 Oktober
2011.
6. Bidang Urusan Perpustakaan
Minat baca masyarakat adalah suatu cermin sikap dari masyarakat
terhadap kemauan untuk mengetahui segala sesuatu informasi melalui
media baca. Ditinjau dari segi pengamatan global tentang minat baca
masyarakat, secara kasar sebenarnya masyarakat Jawa Timur minat
bacanya cukup tinggi, Hal ini bisa dilihat dari antusias masyarakat
terhadap pemanfaatan perpustakaan, taman bacaan, sudut baca, rumah
baca dan sejenisnya selalu ramai dikunjungi masyarakat, akan tetapi
kalau kita amati lebih seksama ternyata masyarakat tersebut
memanfaatkan jasa perpustakaan hanyalah untuk mengisi waktu luang
dan bacaanya isinya tentang info-info yang ringan saja, belum
menyentuh kepada bacaan-bacaan yang membuat masyarakat menjadi
kreatif dan inovatif, hanya kalangan masyarakat tertentu seperti
akademisi, peneliti, pelajar dan mahasiswa yang mengkomsumsi bacaan-
bacaan ilmiah. Oleh karena itu perlunya adanya upaya dalam
Pengembangan Budaya Baca dan Pembinaan Perpustakaan yang
bertujuan untuk mengembangkan, mempublikasikan dan
mensosialisasikan minat dan budaya baca, dengan menyediakan bahan
pustaka, pembinaan SDM Perpustakaan.
−72−
Tabel 2.29
Rata-rata Konsumsi per Kapita menurut Kelompok
Konsumsi dan Status Wilayah di Jawa Timur 2009-
2010 (Rupiah per Bulan)
Tahun/
Status Wilayah Makanan
Bukan
Makanan Total
2009
Kota 219.238 217.742 436.980
Desa 169.502 116.847 286.349
Kota+Desa 200.478 179.685 380.163
2010
Kota 244.457 224.564 469.021
Desa 189.000 118.345 307.345
Kota+Desa 223.539 184.499 408.038 Sumber : BPS Provinsi Jawa Timur
Tabel 2.28 Jumlah dan Jenis Perpustakaan di Jawa Timur Tahun 2010
No. Perpustakaan Jumlah
1 Perpustakaan Desa 1.301
2 Perpustakaan Sekolah Dasar (SD) 11.104
3 Perpustakaan Sekolah Menengah Pertama (SLTP) 2.751
4 Perpustakaan Sekolah Menengah Atas (SLTA) 1.862
5 Perpustakaan Perguruan Tinggi (PT) 282 Sumber : Badan Perpus dan kearsipan Prov Jatim
2.1.4 Aspek Daya Saing
2.1.4.1 Fokus Kemampuan Ekonomi Daerah
1. Angka Konsumsi RT Per Kapita Jawa Timur Tahun 2009 – 2010
Berdasarkan
hasil Survei Sosial
Ekonomi Nasional
(Susenas) 2009-2010
di Jawa Timur, terjadi
peningkatan rata-rata
konsumsi per kapita,
dari Rp. 380.163 per
kapita sebulan,
menjadi Rp. 408.038
per kapita sebulan, atau terjadi peningkatan sebesar 7,33 persen selama
setahun. Namun demikian, perlu hati-hati dalam menafsirkan
peningkatan rata-rata pengeluaran per kapita ini, karena belum tentu
menjadi gambaran peningkatan kesejahteraan. Karena peningkatan
konsumsi bisa dipengaruhi oleh terjadinya peningkatan harga yang
terukur melalui inflasi, bukan karena pendapatan yang meningkat. Selain
dengan membandingkan dengan tingkat inflasi, perilaku konsumsi terkait
dengan pendapatan dijelaskan dalam Hukum Engel1.
Karena periode pencacahan Susenas baik 2009 maupun 2010
adalah bulan Juli, maka tingkat inflasi yang digunakan adalah year on
year Juli 2010 yang sebesar adalah 6,47 persen2. Bila dibandingkan
dengan kenaikan konsumsi, ternyata tingkat inflasi ini sedikit lebih
1 Dalam Hukum Engel (Engel, Ernst; 1857, 1895) menyebutkan bahwa persentase pengeluaran untuk makanan
akan menurun seiring dengan meningkatnya pendapatan.
2 Inflasi dapat digunakan dalam pembahasan ini, namun dengan asumsi kuantitas dan kualitas dari yang
dikonsumsi selama 2009 dan 2010 relatif sama,
−73−
rendah dibandingkan peningkatan rata-rata konsumsi 2009-2010.
Sementara itu, terjadi kenaikan persentase konsumsi pada kelompok
makanan dari 52,73 persen persen tahun 2009, menjadi 54,78 persen
tahun 2010. Dengan demikian, dapat disimpulkan berdasarkan tingkat
inflasi dan perilaku konsumsi dalam Hukum Engel bahwa peningkatan
rata-rata konsumsi per kapita 2009-2010 lebih dikarenakan peningkatan
harga dan bukan menjadi cerminan peningkatan tingkat pendapatan
atau kesejahteraan.
Pada wilayah dengan situasi tingkat kesejahteraan yang menurun,
maka pengamatan dilakukan menurut wilayah (desa atau kota). Karena
dalam penghitungan inflasi hanya terbatas pada cerminan harga
konsumen dan tidak dapat dipecah dalam wilayah perdesaan atau
perkotaan, maka digunakan Hukum Engel untuk menjelaskan situasi ini.
Selama 2009-2010 di Jawa Timur, persentase konsumsi makanan di
wilayah perkotaan, meningkat dari 50,17 persen menjadi 52,12 persen
atau naik 3,88 poin. Untuk wilayah perdesaan juga mengalami
peningkatan, dari 59,19 persen menjadi 61,49 persen, atau naik 3,8 poin.
Berdasarkan besaran rata-rata konsumsi per kapita penduduk
selama sebulan menurut kabupaten/kota di Jawa Timur tahun 2010,
Kota Malang merupakan wilayah yang tertinggi, diikuti oleh seluruh Kota
di Jawa Timur, dan hanya Kabupaten Sidoarjo (urutan kesembilan),
satu-satunya kabupaten yang berada di antara sepuluh besar tertinggi.
Untuk rata-rata konsumsi per kapita terendah di Jawa Timur tahun 2010,
adalah Kabupaten Sampang, diikuti Ngawi, dan Lumajang (tiga wilayah
terendah). Namun demikian, bukan berarti rata-rata konsumsi per kapita
sebulan yang lebih tinggi atau rendah, cerminan secara umum kondisi
tingkat kesejahteraan. Karena tingkat kemahalan antar wilayah sangat
bervariasi, maka perlu kehati-hatian dalam menerjemahkan situasi ini.
Cerminan perbedaan kemahalan wilayah ini tercermin dari keberadannya
wilayah-wilayah kota pada tingkat yang lebih tinggi dibandingkan
wilayah Kabupaten. Padahal secara umum memang di wilayah kota
memiliki tingkat kemahalan yang lebih tinggi dibandingkan kabupaten,
terkecuali Kabupaten Sidoarjo. Selain itu, deviasi yang ada antar wilayah
di Provinsi Jawa Timur diindikasikan cukup lebar, karena rata-rata
konsumsi provinsi yang berada pada posisi moderat, memisahkan 11
wilayah di atas dan 27 wilayah di bawah rata-rata konsumsi per kapita
provinsi.
−74−
2. Persentase Konsumsi RT Non Pangan Jawa Timur
Tahun 2006 – 2010
Pada dasarnya kebutuhan manusia dibagi dalam dua kelompok,
yaitu kebutuhan makanan dan non makanan. Kebutuhan makanan pada
Gambar 2.35
Sebaran Rata-rata Konsumsi per Kapita Sebulan (Rupiah) menurut Kabupaten/Kota di Jawa Timur 2010
Sumber : BPS Provinsi Jawa Timur
785.352
781.291615.984
586.502576.309
562.036561.626
549.901
503.790472.121
415.634408.037
407.454388.548
387.394386.749
384.258
382.286373.575
367.731363.144
353.821350.497
345.500342.593
342.285
340.813339.825
336.675333.935
324.376323.528
323.370317.021
314.469
310.917297.629
282.112281.234
73. Malang78. Surabaya
77. Madiun74. Probolinggo
79. Batu
72. Blitar76. Mojokerto
71. Kediri15. Sidoarjo
75. Pasuruan25. Gresik
JAWA TIMUR04. Tulungagung
18. Nganjuk
16. Mojokerto07. Malang
17. Jombang14. Pasuruan
10. Banyuwangi13. Probolinggo
20. Magetan26. Bangkalan
05. Blitar
24. Lamongan22. Bojonegoro
06. Kediri03. Trenggalek
19. Madiun09. Jember
11. Bondowoso02. Ponorogo
12. Situbondo
23. Tuban28. Pamekasan
29. Sumenep01. Pacitan
08. Lumajang21. Ngawi
27. Sampang
−75−
batas tertentu akan mencapai titik maksimal, sementara itu kebutuhan
non makanan bisa dikatakan hampir tidak terbatas.
Dalam hukum Engel (Engel law) disebutkan bahwa semakin tinggi
pendapatan/kesejahteraan seseorang, maka proporsi pengeluaran untuk
makanan semakin menurun, sedangkan pengeluaran untuk non
makanan akan terjadi sebaliknya yaitu proporsinya akan semakin
meningkat.
Tabel 2.30
Persentase Pengeluaran Rumahtangga Dirinci Menurut Pengeluaran Makanan & Non Makanan
Jawa Timur Tahun 2006 – 2010
Sumber : Hasil Susenas 2004-2009 (diolah)
Pada Tabel 2.20 terlihat pada tahun 2010 proporsi pengeluaran
untuk kebutuhan non makanan sebesar 45,22 persen, lebih rendah 2,05
persen dibanding tahun sebelumnya. Namun secara umum dalam kurun
waktu 5 tahun terakhir dapat dikatakan bahwa pengeluaran penduduk
Jawa Timur untuk kebutuhan non makanan dari tahun ke tahun
proporsinya relatif statis yaitu sekitar 45 persen, sedangkan proporsi
kebutuhan makanan sekitar 55 persen. Hal ini merupakan salah satu
indikasi bahwa meskipun secara umum tingkat pendapatan semakin
meningkat, namun pada kenyataannya belum mampu meningkatkan
derajat kesejahteraan penduduk. Hal ini mungkin dikarenakan makin
tingginya perubahan harga yang tidak sebanding dengan perkembangan
pendapatan. Kondisi ini tercermin dari pola konsumsi penduduk yaitu
lebih besarnya proporsi pengeluaran untuk kebutuhan makanan
dibandingkan pengeluaran untuk kebutuhan non makanan.
Tahun Persentase
Makanan Non Makanan Total
(1) (2) (3) (4)
2006 54,03 45,97 100,00
2007 56,17 43,83 100,00 2008 48,36 51,64 100,00 2009 52,73 47,27 100,00 2010 54,78 45,22 100,00
−76−
3. Produktivitas Daerah Setiap Sektor Tahun 2006 – 2010
Masyarakat Jawa Timur harus siap menghadapi era globalisasi
yang ditandai dengan kemajuan teknologi, keterbukaan informasi, serta
perdagangan bebas antar negara. Pada era globalisasi ini masyarakat
harus mampu untuk memanfaatkan berbagai peluang dan meraih
berbagai kesempatan. Geliat perekonomian Jawa Timur hampir
sebanding dengan Provinsi DKI, namun kelebihannya adalah Provinsi
Jawa Timur memiliki potensi sumber daya alam yang lebih baik. Dari
sektor pertanian telah memberikan kontribusi PDRB sebesar 15,75
persen, atau sebesar Rp. 122,62triliun (tahun 2010) dan menempati
posisi ke 3 (tiga) dalam perekonomian Jawa Timur. Disisi lain tenaga
kerja yang terserap juga sangat besar yaitu 7,94 juta orang (Tahun
2010), atau sebesar 42 persen dari jumlah tenaga kerja yang ada di
Jawa Timur.
Perbandingan antara nilai PDRB sektor pertanian dan jumlah
tenaga kerja yang terserap di sektor pertanian terlihat sangat timpang
dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya. Artinya tingkat produktivitas
sektor pertanian dari tahun ke tahun masih sangat rendah jika
dibandingkan dengan produktivitas sektor lainnya. Kondisi inilah yang
sering menimbulkan kesenjangan pendapatan antara tenaga kerja di
sektor pertanian dengan tenaga kerja di sektor lainnya. Sementara itu
sebagian besar penduduk miskin adalah mereka yang bekerja di sektor
pertanian. Untuk itu dibutuhkan dukungan teknologi pertanian yang lebih
canggih dalam meningkatkan besaran PDRB, yang akan berujung pada
peningkatan kesejahteraan petani di Jawa Timur.
Pada tahun 2006 produktivitas sektor pertanian mencapai
Rp. 10,14 juta. sektor listrik, gas dan air masih tercatat memiliki
produktivitas tertinggi yaitu sebesar Rp. 207,78 juta, diikuti sektor
lembaga keuangan sebesar 119,42 juta, sektor pertambangan dan
penggalian sebesar Rp. 83,54 juta, sektor industri sebesar Rp. 57,38
juta, sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar Rp. 36,79 juta,
sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar Rp.31,50 juta, sektor jasa-
jasa sebesar Rp. 20,26 juta dan sektor konstruksi sebesar Rp. 21,37
juta.
Mencermati kondisi yang demikian itu, dapat dijelaskan bahwa
produktivitas sektor tertinggi adalah sektor listrik, gas dan air. Meskipun
−77−
nilai PDRB yang dihasilkan jauh lebih rendah dibandingkan dengan
sektor pertanian, tetapi tenaga kerja yang dibutuhkan relatif sangat
kecil, karena sebagian besar sudah menggunakan teknologi yang cukup
canggih. Sebaliknya sektor pertanian meskipun nilai PDRB yang
dihasilkan cukup besar tetapi tenaga kerja yang diserap juga besar.
Karena proses produksi umumnya masih dengan cara tradisional
sehingga PDRB yang dihasilkan juga masih belum maksimal.
Pada tahun 2007 sektor pertanian mengalami peningkatan
produktivitas sebesar 5,32 persen, atau menjadi Rp. 10,68 juta,
sedangkan sektor lainnya rata-rata meningkat di atas 8 persen, kecuali
sektor konstruksi dan sektor pengangkutan dan komunikasi hanya
mengalami peningkatan sebesar 3,37 persen dan 4,82 persen. Sektor
listrik, gas dan air memiliki peringkat produktivitas tertinggi yang
meningkat cukup besar yaitu 80,53 persen
Sejalan dengan meningkatnya nilai tambah sektor pertanian,
tahun 2008 produktivitas sektor pertanian meningkat sebesar 16,79
persen, atau menjadi sebesar Rp. 12,47 juta. Namun demikian posisi
produktivitas sektor pertanian masih yang terendah karena sektor lain
juga mengalami peningkatan cukup tinggi. Sektor listrik, gas dan air,
dengan jumlah tenaga kerja yang sedikit mempunyai produktivitas yang
cukup tinggi sebesar Rp. 457,38 juta. Sektor lainnya seperti sektor
industri, sektor konstruksi, dan sektor perdagangan, hotel dan restoran
rata-rata juga masih tumbuh sebesar 16,81 persen, 13,15 persen, dan
15,65 persen. Sedangkan sektor pertambangan dan penggalian, sektor
pengangkutan dan komunikasi, sektor lembaga keuangan dan sektor
jasa-jasa rata-rata produktivitasnya meningkat dibawah 8 persen.
Pada tahun 2009 produktivitas sektor listrik, gas dan air mulai
terkontraksi hingga sebesar -5,61 persen, diperkirakan penurunan ini
terjadi karena produksi dan harga per kwh listrik selama tahun 2009
berjalan stagnan, sementara jumlah tenaga kerja yang terserap masih
terus bertambah. Namun demikian produktivitas sektor listrik, gas dan
air masih yang tertinggi yaitu sebesar Rp. 431,72 juta. Sektor lainnya
rata-rata masih mengalami peningkatan produktivitas, seperti sektor
pertambangan dan penggalian meningkat sebesar 24,44 persen, sektor
industri pengolahan meningkat sebesar 10,45 persen, sektor konstruksi
13,16 persen, sektor keuangan 10,28 persen dan sektor pertanian masih
−78−
meningkat sebesar 8,56 persen. Sedangkan sektor pengangkutan dan
komunikasi hanya mengalami peningkatan sebesar 7,47 persen dan
sektor jasa-jasa hanya meningkat sebesar 4,75 persen.
Pada tahun 2010, sektor pengangkutan dan komunikasi
mengalami peningkatan produktivitas terbesar, yaitu 49,52 persen atau
menjadi Rp. 56,84 juta, diikuti oleh sektor konstruksi sebesar 38,28
persen. Sementara itu, produktivitas sektor listrik, gas dan air bersih
yang sempat terkontraksi pada tahun 2009, kembali meningkat pada
tahun 2010 yaitu sebesar 6,56 persen. Sedangkan sektor pertanian,
sektor pertambangan dan penggalian, sektor industri pengolahan, sektor
perdagangan, hotel dan restoran, serta sektor lembaga keuangan
produktivitasnya masing-masing meningkat sebesar 14,05 persen; 7,26;
6,42 persen; 22,04 persen; dan 10,46 persen.
Tabel 2.31
Produktivitas Daerah Setiap SektorTahun 2006 – 2010 (Juta Rupiah)
Uraian 2006 2007 2008 2009*) 2010**)
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1. Pertanian 10,14 10,68 12,47 13,54 15,44
2. Pertambangan dan Penggalian 83,54 93,37 93,46 116,30 124,74
3. Industri Pengolahan 57,38 62,79 73,34 81,01 86,21 4. Listrik, Gas, dan Air 207,78 375,10 457,38 431,72 460,03 5. Konstruksi 21,37 22,09 25,00 28,29 39,11
6. Perdagangan dan Akomodasi 36,79 40,54 46,88 49,63 60,56
7. Transportasi dan Komunikasi 31,50 33,01 35,37 38,02 56,84
8. Lembaga Keuangan 119,42 132,20 132,42 146,03 161,30 9. Jasa-Jasa 20,26 23,29 25,13 26,32 27,71
Sumber : BPS Provinsi Jawa Timur Keterangan : * ) Angka Diperbaiki **) Angka Sementara
Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa rendahnya
produktivitas sektoral adalah ketimpangan output yang dihasilkan
dibandingkan dengan impornya. Hal ini dapat disebabkan karena
minimnya penggunaan teknologi, sumber daya manusia, serta pasar.
Oleh karena itu output yang dihasilkan tidak berimbang dengan
penggunaan tenaga kerjanya, khususnya di sektor pertanian.
−79−
Gambar 2.36 Nilai Tukar Petani (NTP) Jawa Timur Periode Tahun 2009 - 2010(2007 = 100)
Sumber : BPS Provinsi Jawa Timur
96.72 96.5296.13
97.8998.17 98.20
98.46
98.43
99.7499.37 99.46
99.2498.82
98.54
98.31
98.6 98.58 98.6598.57
98.26
99.0999.25 99.31
98.87
95.00
100.00
105.00
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des
2009
2010
4. Nilai Tukar Petani (NTP) Jawa Timur Tahun 2010
Rata-rata NTP Jawa Timur tahun 2010 mengalami kenaikan sebesar
0,56 persen dibanding data tahun 2009 yaitu dari 98,19 menjadi 98,74.
Kenaikan tersebut disebabkan kenaikan indeks harga yang diterima petani
(7,49 persen) lebih besar dari kenaikan indeks harga yang dibayar petani (6,90
persen). Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata nilai tukar produk pertanian
terhadap barang konsumsi rumah tangga petani dan biaya produksi tahun
2010, secara umum masih lebih tinggi dibanding kondisi tahun 2009.
Gambar 2.36 menunjukkan bahwa selama tahun 2010, NTP Jawa Timur
bulan Januari sampai dengan Juli lebih tinggi dibanding dengan bulan yang
sama tahun 2009,
sedangkan Bulan Agustus
sampai dengan Desember
lebih rendah. Jika dilihat
besarnya perubahan,
kenaikan NTP terbesar
terjadi pada bulan
September sebesar 0,84
persen karena indeks
harga yang diterima petani
mengalami kenaikan
sebesar 0,97 persen sedangkan indeks harga yang dibayar petani hanya naik
sebesar 0,13 persen. Penurunan NTP terbesar terjadi pada bulan Desember
sebesar 0,44 persen karena indeks yang diterima petani naik sebesar 0,92
persen sedangkan indeks yang dibayar petani naik 1,36 persen.
Tabel 2.32
Rata-rata Indeks Harga Yang Diterima Petani (It), Indeks Harga Yang DibayarPetani (Ib)dan Nilai Tukar Petani (NTP)
Jawa Timur Tahun 2007 – 2010 (2007 = 100)
No. Uraian Tahun
2007 2008 2009 2010
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1 Indeks harga yang diterima petani (It)
100,00 113,08 118,88 127,78
2 Indeks harga yang dibayar petani (Ib)
100,00 112,57 121,04 129,40
3 Nilai Tukar Petani (NTP) 100,00 100,47 98,19 98,74
Sumber : BPS Provinsi Jawa Timur
−80−
Jika dilihat NTP masing-masing subsektor pada tahun 2010, NTP
tertinggi terjadi pada sub sektor hortikulturasebesar 110,60, sedangkan
NTP terendah terjadi pada sub sektor tanaman perkebunan rakyat
sebesar 92,51. Kenaikan NTP terbesar terjadi pada sub sektor
hortikutura sebesar 3,89 persen, yaitu dari 106,46 menjadi 110,60
sedangkan penurunan terbesar terjadi pada sub sektor tanaman
perkebunan rakyat sebesar 7,78 persen, yaitu dari 100,31 menjadi
92,51.
Tabel 2.33 Nilai Tukar Petani (NTP) Jawa Timur Tahun 2007 – 2010
(2007 = 100)
No. Uraian Tahun
2007 2008 2009 2010
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1 NTP Jawa Timur 100,00 100,47 98,19 98,74 2 NTP Tanaman Pangan 100,00 98,98 92,56 94,60 3 NTP Tanaman Perkebunan Rakyat 100,00 110,42 100,31 92,51 4 NTP Peternakan 100,00 101,22 106,90 103,43 5 NTP Perikanan 100,00 101,96 101,07 101,75 6 NTP Tanaman Hortikultura 100,00 98,68 106,46 110,60
Sumber :BPS Provinsi Jawa Timur
a. Indeks Diterima Petani
Rata-rata indeks harga yang diterima petani pada tahun 2010
mengalami kenaikan sebesar 7,49 persen dari 118,88 menjadi
127,78. Kenaikan indeks ini disebabkan oleh naiknya indeks harga
yang diterima petani pada empat sub Sektor yaitu sub
Sektorhortikultura naik 2,20 persen dari 128,77 menjadi 131,60,
tanaman pangan naik 9,58 persen dari 112,37 menjadi 123,14,
perikanan naik 6,41 persen dari 118,85 menjadi 126,47, peternakan
naik 2,72 persen dari 129,83 menjadi 133,36.Semetara itu sub sektor
tanaman perkebunan rakyat turun 1,99 persen dari 121,62 menjadi
119,20.
−81−
Gambar 2.37 Indeks Harga Yang Diterima Petani Jawa Timur
Periode Tahun 2010(2007 = 100)
Sumber : BPS Provinsi Jawa Timur
100
110
120
130
140
150
160
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des
It TBM TPR
Peternakan Perikanan Hortikultura
Tabel 2.34 Rata-rata Indeks Harga Yang Diterima Petani Jawa Timur
Menurut Sub Sektor Pertanian Tahun 2007 – 2010 (2007 = 100)
No. Uraian Tahun
2007 2008 2009 2010
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1 Indeks harga diterima petani (It)
100,00 113,08 118,88 127,78
2 Tanaman Bahan Makanan 100,00 111,72 112,37 123,14
3 Tanaman Perkebunan Rakyat
100,00 112,93 121,62 119,20
4 Peternakan 100,00 113,39 129,83 133,36 5 Perikanan 100,00 113,25 118,85 126,47 6 Tanaman Hortikultura 100,00 110,89 128,77 131,60
Sumber : BPS Provinsi Jawa Timur
Gambar2.37 menunjukkan selama bulan Januari sampai
dengan Desember 2010 indeks harga yang diterima petani sub sektor
hortikultura dan
peternakan lebih
tinggi dibanding
sub sektor lainnya
maupun indeks
kompositnya.Indeks
harga yang diterima
petani sub sektor
tanaman
perkebunan rakyat
cenderung turun
terus dan paling rendah. Indeks harga yang diterima petani sub
Sektor hortikultura mengalami fluktuasi harga yang lebih tajam
dibanding sektor lainnya karena pengaruh faktor musiman dan iklim
yang cukup dominan.
b. Indeks Dibayar Petani
Rata-rata Indeks harga yang dibayar petani tahun 2010
mengalami kenaikan sebesar 6,90 persen dibanding indeks tahun
2009 yaitu dari 121,04 menjadi 129,40. Kenaikan tersebut
−82−
disebabkan naiknya indeks harga kelompok konsumsi rumahtangga
serta indeks biaya produksi dan pembentukan modal.
Rata-rata indeks harga kelompok konsumsi rumahtangga
mengalami kenaikan sebesar 7,85 persen dari 121,67 pada tahun
2009 menjadi 131,22 pada tahun 2010. Kenaikan indeks kelompok ini
disebabkan naiknya indeks harga sub kelompok makanan sebesar
9,50 persen, makanan jadi naik 8,83 persen, perumahan naik 7,77
persen, sandang naik 6,40 persen, kesehatan naik 3,63 persen,
pendidikan, rekreasi dan olahraga naik 3,11 persen, serta
transportasi dan komunikasi naik 0,36 persen.
Indeks biaya produksi mengalami kenaikan sebesar 3,70
persen dari 118,72 pada tahun 2009 menjadi 123,11 pada tahun
2010. Kenaikan indeks ini disebabkan oleh naiknya indeks harga bibit
sebesar 4,20 persen, upah buruh tani naik 4,03 persen, sewa lahan,
pajak dan lainnya naik 3,96 persen, obat-obatan dan pupuk naik 3,64
persen, penambahan barang modal naik 3,52 persen dan transportasi
naik 2,59 persen.
Tabel 2.35 Rata-rata Indeks Dibayar Petani Jawa Timur
Menurut Kelompok/Jenis Komoditi Tahun 2007 – 2010 (2007 = 100)
No. Uraian Tahun
2007 2008 2009 2010
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Indeks harga dibayar petani (Ib) 100,00 112,57 121,04 129,40
1 Konsumsi Rumahtangga 100,00 112,90 121,67 131,22 - Bahan Makanan 100,00 116,53 125,60 137,53 - Makanan Jadi 100,00 106,78 118,84 129,33 - Perumahan 100,00 112,06 121,84 131,31 - Pakaian 100,00 109,82 120,39 128,09 - Kesehatan 100,00 108,87 116,32 120,54 - Pendidikan 100,00 106,78 117,60 121,26 - Transportasi 100,00 113,89 110,72 111,12
2 Biaya Produksi 100,00 111,15 118,72 123,11 - Bibit 100,00 117,46 130,57 136,05
- Obat-obatan dan Pupuk 100,00 107,25 113,75 117,90
- Sewa, Pajak dan lainnya 100,00 110,07 118,08 122,76
- Transportasi 100,00 116,02 118,20 121,27
- Penanaman Barang Modal 100,00 112,10 121,04 125,31
- Upah Buruh Tani 100,00 111,05 117,78 122,52
Sumber : BPS Provinsi Jawa Timur
−83−
Gambar 2.38
Indeks Dibayar Petani Jawa Timur Tahun2010 (2007 = 100)
115
120
125
130
135
140
Ib Konsumsi Biaya Produksi
Gambar2.38
menunjukkan Indeks
yang dibayar petani
selama periode bulan
Januari sampai dengan
Desember tahun 2010.
Indeks biaya konsumsi
rumahtangga selalu
lebih tinggi dibanding indeks biaya produksi dan pembentukan
barang modal. Indeks konsumsi rumahtangga berfluktuasi sepanjang
tahun sedangkan indeks biaya produksi dan pembentukan barang
modal mengalami kenaikan sepanjang tahun.
5. MP3EI (Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia)
MP3EI merupakan langkah awal untuk mendorong Indonesia
menjadi negara maju dan termasuk 10 negara besar di dunia pada tahun
2025 dan 6 negara besar dunia pada tahun 2050 melalui pertumbuhan
ekonomi tinggi yang inklusif, berkeadilan dan berkelanjutan. Untuk
mencapai hal tersebut, diharapkan pertumbuhan ekonomi riil rata-rata
7%-8% per tahun secara berkelanjutan.
Tujuan dari pelaksanaan MP3EI adalah untuk mempercepat dan
memperluas pembangunan ekonomi melalui pengembangan 8 program
utama yang meliputi sektor industri manufaktur, pertambangan,
pertanian, kelautan, pariwisata, telekomunikasi, energi, dan
pengembangan kawasan strategis nasional. Program percepatan dan
perluasan pembangunan ekonomi Indonesia diperkirakan membutuhkan
banyak modal. Salah satu sumber pendanaan yang diharapkan
pemerintah adalah berasal dari luar negeri.
Visi Nasional tahun 2025 ialah “Mengangkat Indonesia Menjadi
Negara Maju dan Merupakan Kekuatan 12 Besar Dunia di Tahun 2025
dan 8 Besar Dunia Pada Tahun 2045 Melalui Pertumbuhan Ekonomi
Tinggi Yang Inklusif dan Berkelanjutan”. Jawa Timur dengan visi tahun
2025 “Pusat Agrobisnis (Industri) Terkemuka di Asia, Berdaya Saing
Global dan Berkelanjutan Menuju Jawa Timur Makmur dan Berakhlak”
masuk dalam Koridor Jawa dengan Tema “Pendorong Industri dan Jasa
Nasional”.
−84−
Jawa Timur sangat berpotensi besar untuk mengakselerasi
pertumbuhan ekonominya, hal ini didukung oleh 70 BUMN yang berada
di Jawa Timur, yang terdiri dari : Sektor Agro Kimia berjumlah 14 BUMN,
Sektor Jasa dan Infrastruktur berjumlah 26 BUMN, Sektor Perbankan dan
Keuangan berjumlah 17 BUMN dan Sektor Pertambangan dan Energi
berjumlah 3 BUMN.
Koridor EkonomiJawa sebagai Pendorong Industri dan Jasa
Nasional, mampu memberikan sumbangan yang besar bagi nasional
untuk mencapai Visi Negara Indonesia menjadi negara terkuat ke 12
dunia pada tahun 2025.
Gambar 2.39 Koridor Ekonomi Jawa Timur Sebagai Pendorong Industri dan Jasa Nasional
−85−
Tabel 2.36 Program Prioritas MP3EI Jawa Timur
No. PROGRAM PRIORITAS MP3EI JAWA TIMUR BUMN/Swasta UPAYA SOLUTIF
1. Pengembangan Cluster IndustriBerbasis Tebu / Gula
� Produksi tebu sebesar 15.506.586 Ton
� Produktivitas tebu mencapai 6,32 ton/ hektar -
Rendemen rata-rata 6,76 %
� Produksi gula sebanyak 1.048.735 ton
� Produksi gula Jawa Timur memberikan kontribusi 47 %
terhadap produksi gula nasional
� Kebutuhan kosumsi gula masyarakat Jawa Timur sebesar
537.810 ton atau Jawa Timur surplus sebesar 510.925 ton
� Industri Gula di Jawa Timur
Estimasi Biaya : 4 Trilyun
PTPN X dan PTPN XI
BUMN PERBANKAN
DUNIA USAHA /
SWASTA
BUMN LAINNYA
Revitalisasi Pabrik Gula melalui Peremajaan
Mesin Produksi
2. Pengembangan Cluster IndustriPerkapalan
� Mendirikan Perusahaan IndustriGalangan Kapal
di Kabupaten Tuban dan Lamongan
Estimasi Biaya : 1,5 Trilyun
PT. PELINDO III
KLASTER INDUSTRI
PERKAPALAN
SURABAYA (KIKAS)
NATIONAL SHIP
DESIGN &
ENGINEERING
CENTER (NASDEC)
BUMN PERBANKAN
DUNIA
USAHA/SWASTA
BUMN LAINNYA
Pembangunan Perusahaan Galangan Kapal
No. PROGRAM PRIORITAS MP3EI JAWA TIMUR BUMN/Swasta RENCANA TINDAK
3. Pengembangan Cluster IndustriPerhiasan
� Pertumbuhan industriperhiasan di Jawa Timur sebanyak 1.519
IKM
� Pembangunan Perusahaan Perhiasan
EstimasiBiaya : 1, 5 Trilyun
- PERUSAHAAN
INDUSTRI
PERHIASAN
- DEWAN EMAS
DUNIA
- ASOSIASI
PERHIASAN EMAS
DAN PERMATA
INDONESIA (APEPI)
- BUMN
PERBANKAN
- DUNIA
USAHA/SWAST
- BUMN LAINNYA
Pembangunan Cluster Industri Perhiasan
4. Pengembangan Cluster IndustriOtomotif • PT. INKA MADIUN
• BUMN PERBANKAN
• DUNIA
USAHA/SWAST
• BUMN LAINNYA
Pendirian Perusahaan Produk Produk Supprting
Industries Yang Terstandard
−86−
a. Master Plan Klaster Industri Migas dan Kondensat
Jawa Timur memiliki 126 industri berbasis petrokimia yang
berada di 10 Kabupaten/kota, yang terdiri dari 7 Industri Hulu, 26
Industri Antara dan 96 Industri Hilir. Dengan jumlah industry berbasis
petrokimia yang relatif besar, dibutuhkan Pasokan Gas dan Refinery
dengan rincian pasokan gas sebesar 488 MMSCFD, sedangkan
kebutuhan gas sebesar 893 MMSCFD, sehingga masih kekurangan
405 MMSCFD.
Wilayah Potensi Permasalahan UpayaSolutif
Lamongan, Tuban, Bojonegoro dan Ngawi
Pupuk, Holcin, Semen Gresik,
Etanol dan turunanya, industri
perikanan, industri baja,
Docking kapal, dan Migas
� TerjadiLack Investasi
� UU Investasi, Sering
Kontra Produktif Dengan
Keinginan Daerah (
Golden Share, PI )
� Pola Hubungan Yang
Semula B to B, menjadi B
to G
� RevisiKerangka Regulasi
Investasi;
� Membangun Industri Hilir
( Baja, Dock Kapal, Migas,
Dll ) Untuk Mencukupi
Kebutuhan Intenal
maupun Ekspor
Mojokerto dan Jombang Panas Bumi, Industri Kertas,
Industri Asam Amino, Industri
Tebu, Pabrik Gula
� Industri Tabu “ Peralatan
Kuno “
� Revitalisasi Pabrik Gula
dan Bidang Budidaya Tebu
( On Farm )
Nganjuk, Madiun, Ponorogo ,Trenggalek dan Pacitan
Panas Bumi, IndustriBerbasis
Perikanan, Perkebunan dan
Pertanian
� Ketergantungan Bahan
Baku Import Casseva, dan
Jagung,
�Membanggun Industri
Casava dan Pabrik Jagung
Surabaya, Sidoarjo, Bangkalan
dan Gresik
Kawasan Industi Sedayu,,
Industrik Perinakan dan
Kelautan
� SDM dan Peralatan
Masih Tradisional
� Alih Teknoligi Sangat
Mahan
� Pembangunan Alih
Teknlogi dan Infrastruktur
Penunjang
� Perlu Kebijakan Strategis
Dalam Fasilitasi Daerah
Pesisir
−87−
Gambar 2.40 Master Plan Kluster Industri
b. Master Plan Klaster Industri Makanan dan Minuman
Industri Gula dengan total pabrik gula yang berdiri di Jawa
Timur sebanyak 31 pabrik atau 43,66 % dari total 71 pabrik gula di
Indonesia.Ketersediaan gula sampai dengan Agustus 2010 adalah
sebesar 296.536 ton dan tambahan produksi bulan September 2010
sebesar 217.070 ton, sedangkan konsumsi gula sebesar 28.317 ton,
sehingga terdapat surplus sebesar 485.289 ton
c. Master Plan Klaster Industri Perkapalan
Jumlah industri menengah-besar perkapalan di Jawa Timur
berjumlah 27 unit usaha dengan kapasitas terpasang 170.000 GT
atau setara 255.000 DWT (±30% dari kapasitas terpasang nasional).
Adapun industry perbaikan kapal berjumlah 2 unit folating dock, 15
unit dry dock dan 3 unit slipway. Jumlah industry kecil menengah
kapal rakyat berjumlah 52 perusahaan yang tersebar di 11 kabupaten
(meningkat 33% dari tahun 2009 yang berjumlah 39 perusahaan).
2.1.4.2 Fokus Iklim Berinvestasi
1. Perkembangan Jumlah Investor Berskala Nasional
(PMDN/PMA) Jawa Timur Tahun 2006-2010
Jumlah investor yang menanamkan modalnya di Jawa Timur dari
tahun ke tahun semakin meningkat baik dari penanam modal dalam
−88−
negeri maupun penanam modal asing. Jumlah investor diukur
berdasarkan jumlah proyek yang disetujui oleh pemerintah Jawa Timur.
Selama tahun 2006 proyek yang disetujui pemerintah Jawa Timur
sebanyak 112 yang terdiri dari PMDN 31 perusahaan dan PMA 81
perusahaan. Dari jumlah PMA tersebut terbanyak bergerak di bidang
usaha Perdagangan dan Reparasi, sementara untuk PMDN terbanyak di
bidang usaha industri Kimia dan Farmasi. Tahun 2007 jumlahnya
menurun menjadi 106 perusahaan yang terdiri dari PMDN 22 perusahaan
dan PMA 84 perusahaan. Tidak berbeda jauh dengan tahun sebelumnya
sebanyak 27 perusahaan PMA menanamkan modalnya di bidang usaha
Perdagangan dan Reparasi, sementara untuk PMDN lebih memilih di
bidang usaha industri Kimia dan Farmasi dengan jumlah 7 perusahaan.
Tabel 2.37
Perkembangan Jumlah Investor (Perusahaan) Berskala Nasional (PMDN/PMA)Tahun 2006-2010
Sumber: Badan Penanaman Modal Provinsi Jawa Timur
Jumlah investor pada tahun 2008 yang berminat menanamkan
modalnya di Jawa Timur semakin meningkat dengan capaian sebesar
127 perusahaan dengan komposisi PMDN 34 perusahaan dan PMA 93
perusahaan. Untuk perusahaan PMA sebesar 36 perusahaan masih
bergerak di bidang usaha yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya,
namun PMDN sebanyak 7 perusahaan justru lebih tertarik bergerakdalam
bidang usaha industri Logam, Mesin dan Elektronik. Sementara pada
tahun 2009 ada peningkatan 5 perusahaan dibanding tahun sebelumnya
yaitu menjadi sebesar 132 perusahaan, masing-masing ada sebanyak
36 perusahaan PMDN dan PMA 96 perusahaan. Di tahun ini PMA tetap
mempercayakan modalnya pada bidang usaha Perdagangan dan
Reparasi, sementara PMDN lebih cenderung bergerak di bidang usaha
Tahun
Sumber Modal
PMDN PMA TOTAL
Jumlah (%) Jumlah (%) Jumlah (%)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
2006 31 34,78 81 5,19 112 12,00 2007 22 -29,03 84 3,70 106 -5,36 2008 34 54,55 93 10,71 127 19,81 2009 36 5,88 96 3,23 132 3,94 2010 88 144,44 114 18,75 202 53,03
−89−
industri Kimia dan Farmasi. Pada tahun 2010 kegiatan investasi
mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Kenaikan jumlah investor
tahun ini hingga mencapai lebih dari 50 persen bila dibanding tahun
sebelumnya (2009) yang mengalami kenaikan hanya sebesar 3,94
persen. Banyaknya proyek yang disetujui oleh pemerintah Jawa Timur di
tahun 2010 sebesar 202 perusahaan yang tetap di dominasi oleh
penanam modal asing (PMA) sebesar 114 perusahaan, penanam modal
dalam negeri (PMDN) 88 perusahaan. Kenaikan ini dipicudengan adanya
kemudahan-kemudahan di dalam proses perijinan dan sebagainya dari
pemerintah Jawa Timur sehingga membuat investor menjadi tertarik
untuk menanamkan modalnya.
2. Perkembangan Nilai Investasi Berskala Nasional (PMDN/PMA)
Jawa Timur Tahun 2006-2010
Realisasi nilai investasi yang berasal dari modal asing maupun
modal dalam negeri menunjukkan angka yang variatif. Pada tahun 2006
nilai investasi PMDN maupun PMA mengalami kenaikan masing-masing
sebesar 2.935,09 persen (Rp. 167,44 trilyun) dan 161,29 persen
(1.447,09 juta US $). Sedangkan tahun 2007 baik modal dalam negeri
maupun modal asing mengalami penurunan yaitu sebesar -90,02 persen
(Rp. 16,71 trilyun) dan -41,17 persen (851,29 juta US $). Tahun 2008
nilai investasi naik lagi sebesar 19,20 persen untuk PMDN sedangkan
PMA naik sekitar 203,76 persen, setahun kemudian (2009) investor
dalam negeri (PMDN) mengalami kenaikan lagi sehingga nilai
investasinya menjadi Rp. 25,41 trilyun atau naik 27,58 persen dibanding
tahun sebelumnya. Sementara PMA nilai investasinya justru terjadi
sebaliknya yaitu mengalami penurunan sekitar 39,60 persen (1.561,79
juta US $). Kemudian tahun 2010 PMDN mengalami peningkatan yang
cukup berarti yaitu sebesar 61,42 persen. Sementara PMA naik sebesar
31,50 persen. Rendahnya angka realisasi penanaman modal dalam
negeri maupun modal asing menggambarkan pelemahan aktivitas
investasi di Jawa Timur. Berbagai upaya telah dilakukan Pemerintah
Provinsi Jawa Timur guna meningkatkan investasi, yaitu jaminan
permasalahan tanah, buruh, energi listrik dan kemudahan perijinan.
Selain itu, Gubernur Jawa Timur telah menetapkan percepatan
infrastruktur yang difokuskan pada peningkatan kapasitas Pelabuhan
−90−
Tanjung Perak, penambahan runway Bandara Internasional Juanda dan
mempercepat pembangunan jalan tol pengganti di wilayah Porong
Sidoarjo. Bagi investor dalam negeri, Pemerintah Provinsi Jawa Timur
berusaha memfasilitasi kerjasama perdagangan, investasi dan pariwisata
dengan pengembangan sisters-province dalam dan luar negeri, yang
ditunjang dengan penyediaan layanan informasi online di website dan
melakukan pelayanan perijinan investasi antara pemerintah pusat,
provinsi dan kabupaten/kota.
Tabel 2.38
Perkembangan Nilai Investasi Berskala Nasional (PMDN/PMA) Tahun 2006-2010
Tahun
Sumber Modal
PMDN (000 000 Rp) PMA (000 US $)
Abs % Abs %
(1) (2) (3) (4) (5)
2006 167.441.529 2.935,09 1.447.088 161,29 2007 16.705.091 -90,02 851.292 -41,17 2008 19.912.810 19,20 2.585.906 203,76 2009 25.405.226 27,58 1.561.787 -39,60 2010 41.009.463 61,42 2.053.716 31,50
Sumber : Badan Penanaman Modal Provinsi Jawa Timur
2.1.4.3 Fokus Sumber Daya Manusia
1. Rasio Lulusan S1/S2/S3 Jawa Timur Tahun 2009 – 2010.
Selama tahun 2009-2010 di Jawa Timur terjadi peningkatan rasio
lulusan S1/S2/S3, dari 341 menjadi 424 lulusan S1/S2/S3 per sepuluh
ribu penduduk, dengan pertambahan sebanyak 83 lulusan S1/S2/S3 tiap
sepuluh ribu penduduk dalam setahun. Peningkatan lebih rendah/kecil
terjadi pada penduduk perempuan, dari 318 menjadi 399 lulusan
S1/S2/S3 tiap sepuluh ribu penduduk, dengan pertambahan sebanyak 81
lulusan S1/S2/S3 tiap sepuluh ribu penduduk selama setahun.
Sementara pada penduduk laki-laki terjadi peningkatan dari 363 menjadi
448 lulusan S1/S2/S3 per sepuluh ribu penduduk, dengan pertambahan
sebanyak 85 lulusan tiap sepuluh ribu penduduk selama setahun.
−91−
Gambar 2.41
Rasio Lulusan S1/S2/S3 menurut Jenis Kelamin (per 10.000)
dan Sex Ratio Lulusan S1/S2/S3 (Persen) di Jawa Timur 2009-2010
Sumber : BPS Provinsi Jawa Timur
363
448
318
399
341
424
120 116
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
500
2009 2010
Laki-laki
Perempuan
Total
Sex Ratio
Peningkatan lulusan S1/S2/S3 penduduk perempuan, juga terlihat
dari turunnya
sex ratio lulusan
S1/S2/S3 dari
120 persen pada
tahun 2009
menjadi 116
persen di tahun
2010. Bila situasi
ini terus terjadi,
maka dalam
beberapa tahun
rasio lulusan
S1/S2/S3 penduduk perempuan akan sama bahkan lebih tinggi dari
penduduk laki-laki. Jika situasi ini terjadi, maka sangat mungkin dari sisi
jumlah juga akan sebanding atau bahkan lebih tinggi, yang tercermin
dari semakin turunnya sex ratio lulusan S1/S2/S3. Jika ini terwujud maka
kondisi ini menjadi indikasi bahwa akibat positif pembangunan gender di
Jawa Timur adalah terbukanya peluang yang besar pada pendidikan
tinggi bagi perempuan di Jawa Timur. Selain itu dapat juga menjadi
indikasi bahwa penduduk perempuan di Jawa Timur, memiliki cara
pandang tentang nilai positif dari pendidikan yang lebih baik
dibandingkan penduduk laki-laki.
−92−
Harapan bahwa semakin tinggi kualitas penduduk yang tercermin
dari rasio lulusan S1/S2/S3, maka akan semakin baik kualitas tenaga
kerja. Output dari kondisi ini akan menguatkan kemampuan ekonomi
penduduk di suatu wilayah, yang tercermin oleh tingginya indeks paritas
daya beli (PPP) penduduknya.
Berdasarkan kondisi kabupaten/kota di Jawa Timur tahun 2010
menunjukkan bahwa tidak semua wilayah dengan rasio lulusan S1/S2/S3
yang relatif baik, penduduknya memiliki capaian indeks daya beli yang
relatif baik juga. Situasi ini hanya terjadi di Kota Surabaya, Kota Madiun,
Kota Mojokerto, Kota Pasuruan, dan Kota Blitar serta Kabupaten
Magetan dan Kabupaten Sidoarjo. Namun tidak demikian untuk Kota
Kediri, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Malang, dan Kabupaten Batu,
serta Kabupaten Bangkalan dan Kabupaten Jember, dengan rasio lulusan
S1/S2/S3 yang tinggi namun memiliki indeks daya beli yang relatif
rendah.
Gambar 2.42 Sebaran Capaian Rasio Lulusan S1/S2/S3 (per 10.000 penduduk) dan Indeks Paritas Daya
Beli/PPP (Persen) menurut Kabupaten/Kota di Jawa Timur 2010
Sumber : BPS Provi nsi Jawa Timur Catatan : Garis warna merah mewakili capaian Rasio Lulusan S1/S2/S3 per 10.000 penduduk dan Indeks Paritas Daya
Beli/PPP (Persen) Jawa Timur 2010
01. Pacitan
02. Ponorogo
03. Trenggalek
04. Tulungagung
05. Blitar
06. Kediri07. Malang
08. Lumajang
09. Jember
10. Banyuwangi
11. Bondowoso
12. Situbondo
13. Probolinggo
14. Pasuruan
15. Sidoarjo
16. Mojokerto
17. Jombang
18. Nganjuk
19. Madiun
20. Magetan
21. Ngawi
22. Bojonegoro
23. Tuban
24. Lamongan
25. Gresik
26. Bangkalan
27. Sampang
28. Pamekasan
29. Sumenep
71. Kediri
72. Blitar
73. Malang
74. Probolinggo
75. Pasuruan
76. Mojokerto 77. Madiun
78. Surabaya
79. Batu
JAWA TIMUR
Ind
eks
Par
itas
Day
a B
eli/
PP
P (
Pe
rse
n)
Rasio Lulusan S1/S2/S3 (Per 10.000)
−93−
2.2 Capaian Indikator Kinerja Tahun 2009-2010, Evaluasi Pencapaian
Kinerja Pembangunan Daerah
2.2.1 Evaluasi Indikator Kinerja Utama Pembangunan Daerah
Sebagaimana amanat Peraturan Gubernur Nomor 38 Tahun 2009
tentang RPJMD 2009-2014, kinerja pembangunan Jawa Timur tahun 2010
diukur berdasarkan pada 5 (lima) indikator kinerja utama yaitu : Tingkat
Pengangguran Terbuka, Persentase Penduduk Miskin terhadap Jumlah
Penduduk, Pertumbuhan Ekonomi, Indeks Disparitas Wilayah, serta Indeks
Pembangunan Manusia.
Tabel 2.39
Matrik Penetapan Indikator Utama
Kelima indikator tersebut merupakan representasi dari kinerja 9
(sembilan) agenda pembangunan yang akan dicapai secara bertahap dan
berkelanjutan. Evaluasi terhadap Indikator Kinerja Utama tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut:
Tingkat Pengangguran Terbuka ( Tpt ) Jawa Timur Tahun 2006-2010
Secara umum terjadinya pengangguran dapat disebabkan beberapa
faktor antara lain : terbatasnya jumlah lapangan kerja yang tersedia,
pertumbuhan penduduk yang relatif cepat, iklim usaha yang kurang kondusif,
terjadinya pemulangan tenaga kerja dari luar negeri (TKI), kualitas SDM yang
tidak linier dengan tingkat pendidikan yang dicapai, dan lebih urban oriented
dibanding rural oriented. Sementara akibat dari tingginya tingkat pengangguran
adalah ketidakstabilan sosial-ekonomi.
Dari hasil pelaksanaan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) bulan
Agustus 2009 melalui Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), hampir tidak
terlihat adanya dampak krisis ekonomi global. Pengangguran justru mengalami
−94−
penurunan ketika terjadi krisis ekonomi. Namun demikian berkurangnya jumlah
penganggur seperti yang disajikan pada Tabel 2.31, harus dipahami secara
hati-hati, agar tidak menimbulkan persepsi yang salah terhadap kondisi yang
ada, khususnya jika dikaitkan dengan kondisi kesejahteraan penduduk secara
luas.
Tabel 2.40 Indikator Ketenagakerjaan Agustus 2006- Agustus 2010
Kegiatan Utama 2006 2007 2008 2009 2010
1. Bekerja (jutaan) 17,67 18,751 18,882 19,305 18,698 2. Penganggur (jutaan)
1,575 1,366 1,296 1,033 0,829
3. TPAK (%) 67,36 68,99 69,32 69,25 69,08 4. TPT (%) 8,19 6,79 6,42 5,08 4,25
Sumber :Hasil Sakenas 2007 – 2009, BPS Jawa Timur
Diperkirakan pada kondisi krisis, tenaga kerja Jawa Timur melakukan
mekanisme penyesuaian dengan cara mencari pekerjaan sampingan dan
mempekerjakan anggota rumahtangga usia produktif. Salah satu indikasi yang
bisa ditunjukkan dari hasil Sakernas adalah banyak ibu rumah tangga yang
masuk ke pasar kerja baik sebagai pekerja tidak dibayar/pekerja keluarga
maupun tenaga kerja usia lanjut yang sebenarnya sudah berada di luar
angkatan kerja karena pensiun, dan kembali masuk dalam pasar kerja sebagai
pekerja yang berstatus pengusaha mandiri. Kondisi ini mengklarifikasikan
peranan signifikan sektor informal sebagai penyangga (buffer) perekonomian.
Oleh karena itu sebaiknya berhati-hati dalam membuat proyeksi
ketenagakerjaan yang mengkaitkan angka pengangguran dengan pertumbuhan
ekonomi.
Tabel 2.41 Jumlah Penduduk Usia Kerja
yang Termasuk Bukan Angkatan Kerja di Jawa Timur Tahun 2008 – 2009
Bukan Angkatan Kerja 2009 2010
1. Sekolah 1.864.810 1.949.264 2. Mengurus Rumahtangga 5.500.513 5.624.245 3. Lainnya 1.567.651 1.459.055
Jumlah 8.932.974 9.032.564 Sumber : Hasil Sakenas 2008 – 2009, BPS Jawa Timur
−95−
Gambar 2.43
Perkembangan Persentase Penduduk Miskin
di Jawa TimurTahun 2002 – 2010
Sumber :BPS, PSE 2005, PPLS 2008 dan Susenas
20.34
19.52
19.10
19.95
21.09
19.98
18.51
16.68
15.26
13
15
17
19
21
23
25
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Hal lain yang juga perlu diperhatikan oleh pengambil kebijakan terkait
dengan masalah ketenagakerjaan adalah dampak krisis ekonomi di pasar
tenaga kerja. Dampak yang paling nyata adalah turunnya pendapatan riil, baik
bagi pekerja informal (pendatang baru dalam pasar kerja) maupun bagi mereka
yang berstatus karyawan. Penurunan pendapatan riil dapat disebabkan karena
dampak langsung kenaikan harga barang dan jasa, atau bukan akibat
penurunan pendapatan nominal. Hal ini mengkonfirmasikan bahwa persoalan
ketenagakerjaan tidak selesai ketika seseorang sudah bekerja. Status sebagai
pekerja tidak memberikan jaminan bahwa dia sejahtera, dan status sebagai
penganggur tidak selalu berarti bahwa dia miskin. Implikasinya, menjadikan
penganggur sebagai kelompok sasaran utama dalam program penanggulangan
krisis merupakan langkah yang menyesatkan. Oleh karena itu kelompok yang
paling memerlukan perhatian adalah yang sudah bekerja tetapi tidak mampu
keluar dari lingkaran kemiskinan.
Persentase Penduduk Miskin Terhadap Jumlah Penduduk Di Jawa Timur Tahun 2006 – 2010
Jumlah dan persentase
penduduk miskin di Jawa
Timur pada periode 2002-
2010 berfluktuasi dari tahun
ke tahun. Jumlah penduduk
miskin nampak terjadi
penurunan dari 20,34 persen
pada tahun 2002 menjadi
19,10 persen pada tahun
2004. Selanjutnya pada tahun
2005 dan 2006 (Hasil SSN
Panel Maret 2005 - 2006), terjadi kenaikan jumlah penduduk miskin yang cukup
drastis, yaitu menjadi 7,14 juta orang atau 19,95 persen (tahun 2005) dan 7,68
juta orang atau 21,09 persen (tahun 2006). Selanjutnya dengan adanya
program aksi mengatasi dampak kenaikan harga BBM (PAMDKB) pada tahun
2006 yang dilakukan secara berturut-turut diduga memberikan andil penurunan
persentase jumlah penduduk miskin. Pada tahun 2007 persentase penduduk
miskin menjadi sebesar 19,98 persen, tahun 2008 menjadi sebesar 18,51
−96−
persen dan tahun 2009 menjadi sebesar 16,68 persen, dan selanjutnya
menurun kembali menjadi 15,26 persen pada tahun 2010.
Pertumbuhan Ekonomi Adhk Tahun 2000 Jawa Timur Tahun 2006-
2010
PDRB Jawa Timur atas dasar harga berlaku selama kurun waktu lima
tahun terakhir masing - masing Rp. 470,63 trilyun (2006), Rp. 534,92 trilyun
(2007), Rp. 621,39 trilyun (2008), Rp. 686,85 trilyun (2009), dan Rp. 778,46
trilyun (2010). Nilai PDRB yang dihasilkan tersebut masih mengandung
pengaruh perubahan harga, sehingga belum bisa digunakan untuk menghitung
pertumbuhan ekonomi Jawa Timur. Untuk melihat pertumbuhan ekonomi Jawa
Timur dapat dilihat dari PDRB atas dasar harga konstan 2000, karena
pertumbuhan ekonomi ini benar-benar diakibatkan oleh perubahan jumlah nilai
produk barang dan jasa yang sudah bebas dari pengaruh harga (pertumbuhan
riil).
Berdasarkan Tabel 2.33 dapat dilihat bahwa pada tahun 2006
perekonomian Jawa Timur mampu tumbuh 5,80 persen, kemudian meningkat
pertumbuhannya menjadi 6,11 persen pada tahun 2007, menurun pada tahun
2008 menjadi 5,94 persen, 5,01 persen (2009), dan 6,76 persen (2010).
Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2006 mencapai 5,80 persen, sedikit
melambat dari tahun sebelumnya akibat dampak dari keanikan harga BBM.
Namun seiring berjalannya waktu, perekonomian Jawa Timur mampu bangkit
pada tahun 2007 sehingga mencapai pertumbuhan sebesar 6,11 persen.
Tabel 2.42 Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur
Tahun 2006 – 2010
Keterangan 2006 2007 2008 2009*) 2010**)
1. PDRB ADHB (Miliar
Rupiah) 470.627 534.919 621.392 686.848 778.455
2. PDRB ADHK 2000 (Miliar Rupiah)
271.249 287.814 305.539 320.861 342.254
3. Pertumbuhan Ekonomi (%)
5,80 6,11 5,94 5,01 6,68
Sumber : BPS Provinsi Jawa Timur Keterangan : * ) Angka Diperbaiki **) Angka Sementara
Membaiknya kondisi ekonomi Jawa Timur tidak bertahan lama, karena
pada akhir tahun 2007 hingga kuartal kedua tahun 2008, kenaikan harga
−97−
minyak dunia meningkat hingga mencapai 147 dollar AS per barrel. Secara
perlahan, kenaikan itu juga berdampak pada kenaikan harga BBM di dalam
negeri yang pada akhirnya mendorong naiknya harga barang dan jasa. Kondisi
ini terus berlanjut dengan terjadinya krisis finansial yang dimulai dari kasus
subprime mortgage di Amerika Serikat, hingga meluas di berbagai negara di
dunia termasuk Indonesia. Bagai efek domino, Jawa Timur juga terkena imbas,
sehingga pertumbuhan ekonomi pada tahun 2008 melambat kembali dan hanya
mencapai 5,94 persen.
Dampak Krisis Keuangan Global yang terjadi pada akhir tahun 2008 terus
berlanjut hingga tahun 2009, ekspor beberapa komoditi unggulan Jawa Timur
khususnya ke negara-negara Amerika dan Eropa ikut merosot, dan berakibat
pertumbuhan ekonomi Jawa Timur pada tahun 2009 terus melambat dengan
hanya tumbuh sebesar 5,01 persen.
Memasuki tahun 2010, perekonomian Jawa Timur mulai menunjukkan
pertumbuhan yang menggembirakan, sebagai dampak dari membaiknya
perekonomian global yang mendorong naiknya ekspor Jawa Timur, baik ke luar
negeri atau ke luar daerah. Dengan kondisi yang kondusif tersebut,
pertumbuhan ekonomi Jawa Timur selama tahun 2010 mampu mencapai level
6,68 persen.
Pertumbuhan Sektoral Tahun 2006 – 2010
Pada tahun 2006 perekonomian Jawa Timur sebesar 5,80 persen,
sedikit melambat dibandingkan tahun 2005 sebagai dampak terjadinya
kenaikan harga BBM. Sektor perdagangan, hotel dan restoran tumbuh paling
cepat dibandingkan sektor lainnya, yaitu sebesar 9,63 persen, diikuti oleh
sektor pertambangan dan penggalian, sektor keuangan, sewa dan jasa
perusahaan, serta sektor pengangkutan dan komunikasi yang masing-masing
sebesar 8,41 persen, 7,49 persen, dan 7,37 persen. Sementara itu sektor
pertanian dan sektor industri pengolahan sebagai sektor yang dominan di Jawa
Timur, hanya tumbuh sebesar 3,96 persen dan 3,09 persen.
−98−
Tabel 2.43 Pertumbuhan PDRB Sektoral Atas Dasar Harga Konstan 2000
Tahun 2006-2010 (persen)
Sektor 2006 2007 2008 2009) 2010*)
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1 Pertanian 3,96 3,14 3,12 3,92 2,23 2. Pertambangan & Penggalian 8,41 10,35 9,31 6,92 9,18 3. Industri Pengolahan 3,09 4,77 4,36 2,80 4,32 4. Listrik,Gas & Air Bersih 4,09 13,70 3,00 2,72 6,43
5. Konstruksi 1,43 1,21 2,71 4,25 6,64
6. Perdagangan, Hotel & Restoran 9,63 8,39 8,07 5,58 10,67 7. Pengangkutan & Komunikasi 7,37 7,83 8,98 12,98 10,07
8. Keuangan, Sewa, & Jasa Perusahaan
7,49 8,40 8,05 5,30 7,27
9. Jasa-jasa 5,37 5,77 6,32 5,76 4,34
PDRB 5,80 6,11 5,94 5,01 6,68
Sumber : BPS Provinsi Jawa Timur Keterangan : * ) Angka Diperbaiki
Pengaruh kenaikan harga BBM pada tahun 2005-2006 mulai berkurang
pada tahun 2007, sehingga tahun 2007 perekonomian Jawa Timur nampak
meningkat dengan tumbuh sebesar 6,11 persen. Sektor listrik, gas, dan air
bersih tercatat mengalami pertumbuhan paling tinggi, yaitu sebesar 13,70
persen, diikuti sektor pertambangan dan penggalian, sektor keuangan, sewa,
dan jasa perusahaan serta sektor perdagangan, hotel, dan restoran masing-
masing sebesar 10,35 persen, 8,40 persen dan 8,39 persen. Sedangkan sektor
industri pengolahan dan sektor pertanian yang masih menjadi penyumbang
terbesar kedua dan ketiga dalam perekonomian Jawa Timur hanya mampu
tumbuh 4,77 persen dan 3,14 persen.
Krisis keuangan global yang terjadi pada semester II tahun 2008
berpengaruh pada melambatnya perekonomian Jawa Timur tahun 2008,
sebesar 5,94 persen. Tercatat tiga sektorbesaryaitu sektor perdagangan, hotel
dan restoran, sektor industri pengolahan dan sektor pertanian mengalami
perlambatan pertumbuhan. Sektor-sektor yang masih mengalami pertumbuhan
tinggi adalah sektor pertambangan dan penggalian, sektor pengangkutan dan
komunikasi, sektor perdagangan, hotel dan restoran, dan sektor keuangan,
sewa, dan jasa perusahaan masing-masing tumbuh sebesar 9,31 persen, 8,98
persen, 8,07 persen, dan 8,05 persen.
−99−
Tabel 2.44 Indeks Williamson Jawa Timur
Tahun 2005-2009
Tahun Indeks
Williamson Perubahan
(1) (2) (3)
2005 116,57 1,50644
2006 116,31 -0,22304
2007 115,71 -0,51586
2008 115,26 0,21606
2009*) 115,86 0,52056
2010**) 115,14 -0,62144
Sumber : BPS Provinsi Jawa Timur Keterangan : * ) Angka Diperbaiki **) Angka Sementara
Dampak krisis keuangan global yang terjadi pada tahun 2008 berlanjut
hingga tahun 2009, ekspor komoditas unggulan Jawa Timur ke luar negeri
menurun tajam, sehingga pertumbuhan ekonomi melambat. Pada tahun 2009
perekonomian Jawa Timur hanya mampu tumbuh sebesar 5,01 persen, dimana
sebagian besar sektor ekonomi juga tumbuh melambat. Beberapa sektor yang
masih mengalami pertumbuhan tinggi adalah sektor pengangkutan dan
komunikasi, sektor pertambangan dan penggalian, sektor jasa-jasa masing-
masing tumbuh sebesar 12,98 persen, 6,92 persen, dan 5,76 persen. Sektor-
sektor andalan Jawa Timur seperti sektor perdagangan, hotel dan restoran,
sektor industri pengolahan dan sektor pertanian masing-masing hanya tumbuh
sebesar 5,58 persen, 2,80 persen dan 3,92 persen. Sementara sektor lainnya
rata-rata masih tumbuh pada level 2 sampai 4 persen.
Memasuki tahun 2010, perekonomian Jawa Timur membaik seiring dengan
membaiknya kondisi perekonomian global, sehingga pertumbuhan ekonomi Jawa
Timur mencapai 6,68 persen, pertumbuhan tertinggi selama lima tahun terakhir.
Tingginya pertumbuhan ekonomi Jawa Timur ini terutama didukung oleh sektor
perdagangan, hotel dan restoran yang tumbuh sebesar 10,67 persen. Membaiknya
kondisi perekonomian global memberi dampak terhadap membaiknya daya beli
masyarakat yang mendorong sektor perdagangan, baik perdagangan luar negeri
maupun perdagangan antar wilayah. Sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor
pertambangan dan penggalian, serta sektor keuangan, sewa dan jasa perusahaan
tercatat mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi, masing-masing sebesar 10,07
persen; 9,18 persen, dan 7,27 persen. Sementara itu, sektor industri pengolahan
dan sektor pertanian tumbuh masing-masing sebesar 4,32 persen dan 2,23
persen.
Indeks Disparitas Wilayah Jawa Timur
Tingkat kesenjangan ekonomi antar wilayah di suatu wilayah umumnya
berfluktuasi seiring dengan tingkat
perubahan PDRB per kapitanya. Melebar
atau menyempitnya kesenjangan itu juga
dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi
masyarakat, selain itu juga sangat
dipengaruhi oleh kreatifitas Pemerintah
Daerah dalam memanfaatkan segala
potensi yang ada untuk meningkatkan
output daerah. Kondisi tersebut
−100−
tergambarkan pada indeks Williamson (baca : Indeks Kesenjangan) dengan
PDRB per kapita sebagai tolok ukur penghitungan.
Kesenjangan ekonomi antar kabupaten/kota di Jawa Timur yang
ditunjukkan dengan Indeks Disparitas Williamson dalam periode tahun 2005 –
2009 mengalami kemajuan yang signifikan dengan indeks yang cenderung
menurun. Tercatat bahwa indeks pada tahun 2005 sebesar 116,57. Dari
kolom(3) Tabel di atas diketahui bahwa indeks kesenjangan tersebut
mengalami peningkatan sebesar 1,51 persen dibanding dengan tahun 2004.
Diduga karena semakin melebarnya kesenjangan pada tahun 2005 karena
dampak kenaikan harga BBM yang menyebabkan perubahan struktur ekonomi
secara nasional maupun Jawa Timur. Sebagai akibat tingginya laju inflasi yang
terjadi selama tahun 2005 berdampak semakin menurunnya kemampuan daya
beli masyarakat secara umum, yang pada akhirnya semakin melebarnya
kesenjangan antar wilayah. Namun kondisi tersebut tidak berlanjut di tahun-
tahun berikutnya, dan kesenjangan semakin menyempit. Pada tahun 2006
indeks kesenjangan bernilai 116,31 atau terjadi penurunan sebesar 0,22
persen, indeks pada tahun 2007 sebesar 115,71 atau mengalami penurunan
sebesar -0,52 persen.
Adanya kenaikan harga BBM mulai 24 Mei 2008 serta terjadi krisis global
menyebabkan melebarnya tingkat kesenjangan di Jawa Timur, yaitu
ditunjukkan dengan naiknya nilai indeks Disparitas Williamson sebesar 115,26
atau mengalami kenaikan sebesar 0,22 persen dibanding tahun 2007. Kenaikan
harga BBM 2008 tidak berlangsung lama, karena pada akhir tahun 2008 harga
BBM kembali menurun secara bertahap sehingga belum berdampak
menyempitnya kesenjangan di Jawa Timur pada tahun 2009. Pada tahun 2009
indeks sebesar 115,86, masih terjadi sedikit kenaikan sebesar 0,52 persen
dibanding dengan data tahun 2008. Tetapi perekonomian semakin membaik
pada tahun 2010, dengan ditunjukkan indeks ini yang menurun menjadi 115,14
atau terjadi penurunan -0,62 persen.
Indeks Pembangunan Manusia Jawa Timur Tahun 2006 – 2010.
Status pembangunan manusia
Secara umum angka IPM di Jawa Timur selama periode 2006 - 2010
menunjukkan kenaikan. Pada tahun 2006 nilainya 69,18, dan selanjutnya
meningkat 69,78 (2007); 70,38 (2008); 71,06 (2009) dan 71,55 (2010). Dari
hasil penghitungan IPM (lihat di Lampiran) tahun 2010, diperoleh gambaran
−101−
Tabel 2.45 Perkembangan Angka IPM Selama di Jawa Timur, Tahun 2006-2010
No. Tahun IPM Angka IPM
Tertinggi
Angka IPM
Terendah
Jml. Kab dengan IPM di bawah rata-rata Jatim
Jml. Kab dengan IPM
di atas rata-rata Jatim
1. 2006 69,18 75,58 56,27 19 19
2. 2007 69,78 75,88 56,99 19 19
3. 2008 70,38 76,60 57,66 19 19
4. 2009* 71,06 76,98 58,68 19 19
5. 2010** 71,55 77,28 59,58 19 19
Sumber : BPS RI Keterangan : *) Angka Diperbaiki **) Angka Sementara
***) Angka Sangat Sementara
bahwa 19 Kabupaten/Kota mempunyai IPM lebih tinggi daripada IPM Jawa
Timur, sedangkan 19 kabupaten lainnya memiliki nilai IPM di bawah angka IPM
Jawa Timur. Nilai IPM tertinggi dicapai oleh Kota Blitar sebesar 77,28
sedangkan urutan kedua ditempati Kota Surabaya dengan nilai IPM 77,18 dan
urutan ketiga adalah Kota Malang sebesar 77,10. Urutan terendah IPM adalah
Kabupaten Sampang dengan nilai 59,58 dimana angka ini lebih baik jika
dibandingkan dengan angka tahun sebelumnya yang hanya sebesar 58,68.
Secara garis besar, nilai IPM di tiap kabupaten/kota mengalami kenaikan
dari tahun 2006 hingga 2009 walaupun tidak menunjukkan kenaikan yang
drastis. Kenaikan IPM ini dikarenakan adanya berbagai program pemerintah
baik provinsi maupun kabupaten/kota untuk meningkatkan angka IPM, seperti
program di bidang kesehatan, pendidikan maupun ekonomi dan peningkatan
kualitas sarana prasarana masyarakat lainnya. Keberhasilan program tersebut
juga tergantung pada pola pikir masyarakat setempat dalam pemanfaatan
sarana tersebut. Perlu disadari bahwa investasi pembangunan dalam rangka
pembangunan manusia yang dalam hal ini dipotret dalam angka IPM, hasilnya
tidak langsung berdampak di tahun berikutnya. Sebagai contoh usaha
peningkatan rata-rata lama sekolah (MYS) yang dimanifestasikan dalam
program wajar dikdas 9 tahun (pendidikan dasar), maka hasilnya akan terasa
pada beberapa tahun kemudian.
−102−
Kecepatan Pencapaian Pembangunan Manusia
Kemajuan atau kemunduran pencapaian pembangunan manusia diukur
dengan reduksi shortfall (ketertinggalan) per tahun, dimana besaran shortfall
periode 2006-2009 adalah 1,67. Posisi masing-masing kabupaten/kota yang
berkaitan dengan pencapaian pembangunan manusia dicerminkan oleh besaran
IPM dan reduksi shortfall per tahun yang dibandingkan dengan reduksi shortfall
Provinsi Jawa Timur sebagaimana terlihat.
Pada gambar di bawah ini terdapat 9 kabupaten/kota yang memiliki
reduksi shortfall lebih tinggi dan angka IPM yang juga lebih tinggi dari angka
IPM Jawa Timur. Kemudian pada kuadran II hanya terdapat 2 kabupaten/kota
yang memiliki shortfall lebih tinggi dari shortfall Jawa Timur tetapi mempunyai
IPM yang lebih rendah daripada Jawa Timur yaitu Kabupaten Ponorogo dan
Kabupaten Ngawi. Sedangkan kabupaten/kota yang memiliki reduksi shortfall
dan IPM keduanya lebih rendah dari pada Jawa Timur (berada di kuadran III)
sebanyak 17 daerah. Kabupaten/kota yang berada di kuadran IV atau memiliki
IPM lebih tinggi dari Jawa Timur tetapi mempunyai reduksi shortfall rendah
sebanyak 10 daerah. Daerah yang memiliki shortfall terendah adalah Kabupaten
Bangkalan (1,48), sedangkan yang mempunyai shortfall paling bagus adalah
Kota Batu (1,79).
Berdasarkan indeks kesehatan, angka tertinggi berhasil dicapai Kota
Blitar yaitu sebesar 78,65 dan angka terendah sebesar 60,10 dicapai oleh
Kabupaten Probolinggo.
−103−
Gambar 2.44 Pengelompokkan Kabupaten/Kota di Jawa Timur
Berdasarkan IPM Tahun 2009 dan Reduksi Shortfall Tahun 2006-2010
Kabupaten Kota
01 Pacitan 11 Bondowoso 21 Ngawi 71 Kediri
02 Ponorogo 12 Situbondo 22 Bojonegoro 72 Blitar
03 Trenggalek 13 Probolinggo 23 Tuban 73 Malang
04 Tulungagung 14 Pasuruan 24 Lamongan 74 Probolinggo
05 Blitar 15 Sidoarjo 25 Gresik 75 Pasuruan
06 Kediri 16 Mojokerto 26 Bangkalan 76 Mojokerto
07 Malang 17 Jombang 27 Sampang 77 Madiun
08 Lumajang 18 Nganjuk 28 Pamekasan 78 Surabaya
09 Jember 19 Madiun 29 Sumenep 79 Batu
10 Banyuwangi 20 Magetan
Sumber : BPS RI
01
02
03
04
05
06
07
08
09
1011 12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
2223
2425
26
27
28
29
71
7273
74
75
76
7778
79
IPM
Shortfall
6080
1,4
1,5
III
III IV
1,6
1,7
1,8
70
Pada Gambar berikut dapat dilihat bahwa sebanyak 18 kabupaten/kota
berada pada kuadran I yang memiliki nilai IPM dan indeks kesehatan yang lebih
tinggi dari angka Jawa Timur. Hanya 2 kabupaten yang menempati kuadran II
yaitu Kabupaten Ponorogo dan Kabupaten Ngawi. Sedangkan pada kuadran III
terdapat 17 kabupaten yang memiliki nilai IPM dan indeks kesehatan yang lebih
rendah daripada angka Jawa Timur, termasuk di dalamnya sebagian daerah
tapal kuda. Kuadran IV ditempati oleh Kota Pasuruan dan Kota Batu.
−104−
Gambar 2.45 Pengelompokkan Kabupaten/Kota di Jawa Timur
Berdasarkan IPM dan Indeks Kesehatan Tahun 2010
Kabupaten Kota
01 Pacitan 11 Bondowoso 21 Ngawi 71 Kediri
02 Ponorogo 12 Situbondo 22 Bojonegoro 72 Blitar
03 Trenggalek 13 Probolinggo 23 Tuban 73 Malang
04 Tulungagung 14 Pasuruan 24 Lamongan 74 Probolinggo
05 Blitar 15 Sidoarjo 25 Gresik 75 Pasuruan
06 Kediri 16 Mojokerto 26 Bangkalan 76 Mojokerto
07 Malang 17 Jombang 27 Sampang 77 Madiun
08 Lumajang 18 Nganjuk 28 Pamekasan 78 Surabaya
09 Jember 19 Madiun 29 Sumenep 79 Batu
10 Banyuwangi 20 Magetan
Sumber : BPS RI
01
02
03
0405
06
07
08
09
10
1112
13
14
15
16
171819
20
21
22
2324
25
26
27
28
29
71
72
7374
7677
78
79
75
IPM
Indeks Kesehatan
60 8075
65
55
II
IVIII
I
Dalam usaha meningkatkan nilai indeks kesehatan sebagai penunjang
naiknya angka IPM, maka pemerintah harus mengarahkan perhatian pada
daerah yang masih memiliki indeks kesehatan rendah, yaitu dengan
pembangunan sarana kesehatan yang memadai. Selain itu masyarakat yang
berada di daerah tersebut sangat membutuhkan adanya pembinaan terhadap
pola pikir mereka tentang pentingnya pemanfaatan sarana kesehatan secara
optimal.
−105−
Gambar 2.46 Pengelompokkan Kabupaten/Kota di Jawa Timur
Berdasarkan IPM dan Indeks Pendidikan Tahun 2010
Kabupaten Kota
01 Pacitan 11 Bondowoso 21 Ngawi 71 Kediri
02 Ponorogo 12 Situbondo 22 Bojonegoro 72 Blitar
03 Trenggalek 13 Probolinggo 23 Tuban 73 Malang
04 Tulungagung 14 Pasuruan 24 Lamongan 74 Probolinggo
05 Blitar 15 Sidoarjo 25 Gresik 75 Pasuruan
06 Kediri 16 Mojokerto 26 Bangkalan 76 Mojokerto
07 Malang 17 Jombang 27 Sampang 77 Madiun
08 Lumajang 18 Nganjuk 28 Pamekasan 78 Surabaya
09 Jember 19 Madiun 29 Sumenep 79 Batu
10 Banyuwangi 20 Magetan
Sumber : BPS RI
01
02
0304
05
06
07
0809
10
11
1213
14
15
16
1718
1920
2122 23
24
25
26
27
28
29
71
72
73
74
7576
7778
79
IPM
Indeks Pendidikan
60
70
80
80
60
III
III
IV50
90
Dalam penghitungan IPM pada tingkat kesehatan penduduk dicerminkan
oleh besaran angka harapan hidup. Peningkatan angka harapan hidup akan
bisa dicapai apabila ada upaya untuk meminimalkan angka kematian bayi
maupun kematian ibu melahirkan. Beberapa faktor yang cukup sensitif
terhadap perubahan angka kematian bayi dan ibu adalah pola makanan yang
bergizi dan penolong kelahiran/persalinan. Variabel lainnya yaitu indeks
pendidikan pada tahun 2010 tertinggi dicapai Kota Malang (89,59) sedangkan
nilai terendah dicapai Kabupaten Sampang (52,31). Dari Gambar 4.9, kuadran I
ditempati sebanyak 19 kabupaten/kota yang mencakup seluruh wilayah kota.
Pada kuadran II terdapat 3 kabupaten/kota yang memiliki nilai IPM yang
−106−
lebih rendah dari Jawa Timur dengan indeks pendidikan yang lebih tinggi dari
indeks Jawa Timur yaitu Kabupaten Malang, Kabupaten Nganjuk dan
Kabupaten Madiun, sebanyak 16 Kabupaten berada di kuadran III dan tidak
ada yang menempati kuadran IV. Dari hasil penghitungan indeks kesehatan
dan indeks pendidikan, dapat dikatakan bahwa sebagian besar wilayah dengan
indeks kesehatan rendah juga merupakan daerah yang memiliki indeks
pendidikan rendah. Hal ini sesuai dengan teori yang ada yaitu semakin rendah
tingkat pendidikan yang dimiliki di suatu wilayah maka tingkat kesehatan
masyarakatpun juga semakin rendah.
Dari kedua gambar di atas terlihat bahwa kondisi kesehatan dan
pendidikan penduduk yang tinggal di sebagian besar wilayah tapal kuda relatif
rendah dibandingkan rata-rata kabupaten/kota di Jawa Timur, sehingga
komponen tersebut memberikan kontribusi yang signifikan terhadap rendahnya
angka status pembangunan manusia di wilayah tapal kuda. Rendahnya kedua
variabel tersebut, diduga karena pengaruh kultur yang cukup melekat pada
masyarakat di wilayah tersebut serta pengaruh akses terhadap fasilitas
pendidikan dan kesehatan yang relatif masih sulit bagi masyarakat tapal kuda.
Hal ini dapat diartikan bahwa usaha dalam meningkatkan IPM akan mengalami
kesulitan jika dilihat dari segi kesehatan maupun pendidikan, karena kedua
komponen tersebut berkaitan dengan kondisi sosial dan budaya masyarakat
yang tidak mudah mengalami perubahan.
Komponen ketiga yaitu PPP (Purchasing Power Parity / daya beli), juga
perlu dilihat seberapa jauh mempengaruhi angka IPM. Variabel ini cukup
berpengaruh, karena identik dengan capaian kesejahteraan masyarakat secara
ekonomi. Gambar berikut ini menunjukkan daerah yang berada di kuadran I
sebanyak 8 kabupaten/kota dengan 2 daerah di antaranya adalah Kabupaten
Blitar dan Kabupaten Sidoarjo, sedangkan sisanya adalah daerah perkotaan.
Tidak satupun kabupaten/kota menempati kuadran II. Pada kuadran III
ditempati oleh 19 kabupaten yang sebagian besar wilayahnya juga merupakan
daerah tapal kuda, sedangkan pada kuadran IV terdapat 11 kabupaten.
Sebaran nilai IPM dan PPP yang ditunjukkan pada Gambar tersebut
memperlihatkan bahwa nilai PPP tertinggi pada tahun 2009 dicapai oleh Kota
Surabaya (67,14) sedangkan untuk PPP terendah adalah Kabupaten Bojonegoro
(59,08).
Secara umum, nilai PPP di Jawa Timur lima tahun terakhir mengalami
perbaikan meskipun mengalami beberapa kendala akibat faktor internal dan
−107−
Gambar 2.47 Pengelompokkan Kabupaten/Kota di Jawa Timur Berdasarkan IPM dan Indeks PPP Tahun 2010
Kabupaten Kota
01 Pacitan 11 Bondowoso 21 Ngawi 71 Kediri
02 Ponorogo 12 Situbondo 22 Bojonegoro 72 Blitar
03 Trenggalek 13 Probolinggo 23 Tuban 73 Malang
04 Tulungagung 14 Pasuruan 24 Lamongan 74 Probolinggo
05 Blitar 15 Sidoarjo 25 Gresik 75 Pasuruan
06 Kediri 16 Mojokerto 26 Bangkalan 76 Mojokerto
07 Malang 17 Jombang 27 Sampang 77 Madiun
08 Lumajang 18 Nganjuk 28 Pamekasan 78 Surabaya
09 Jember 19 Madiun 29 Sumenep 79 Batu
10 Banyuwangi 20 Magetan
Sumber : BPS RI
01
02
03
04
05
06
07
08
09
1011
12
13
14
15
16
1718
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29 71
727374
75
76
77
78
79
IPM
Indeks PPP
60 70 80
60
II
IV
I
III
70
eksternal. Tetapi dari pengalaman menghadapi krisis ekonomi, kabupaten/kota
dapat menggeliatkan ekonominya dan daya beli masyarakat pada tahun 2010
seluruh kabupaten/kota mengalami peningkatan sehingga mampu
mendongkrak IPM. Secara visual kondisi kabupaten/kota menurut IPM dan
Indeks PPPnya sebagaimana gambar berikut:
−108−
2.3 Permasalahan Pembangunan Daerah
Dari hasil evaluasi terhadap kinerja pembangunan, masih ditemukan
berbagai permasalahan yang menjadi hambatan dalam mewujudkan target-
target yang telah direncanakan. Oleh karena itu rumusan isu strategis dan
permasalahan pembangunan di Jawa Timur sampai dengan tahun 2011 ini
adalah sebagai berikut:
1. Indeks Pembangunan Manusia
Komponen utama yang menunjang IPM adalah Indeks Kesehatan yang
dicerminkan oleh besaran angka harapan hidup dan Indeks Pendidikanyang
dihasilkan dari nilai rata-rata dari variabel Angka Melek Huruf (AMH) dan
Rata-rata Lama Sekolah (RLS).
Adapun permasalahan yang dihadapi dalam upaya peningkatan angka IPM
adalah :
1) Menurunnya kemampuan orang tua dalam membiayai pendidikan;
2) Meningkatnya biaya operasional pendidikan ;
3) Tingginya angka Buta Huruf terutama masyarakat berusia diatas 65
tahun (±3,4 jt org) ;
4) Rendahnya Angka Partisipasi Sekolah terutama tingkat SLTA ;
5) Rendahnya Daya saing Siswa paska lulus sekolah ;
6) Belum optimal dan meratanya peningkatan kualitas akses Yankes ;
7) Rendahnya Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) ;
8) Terjadinya beban ganda penyakit dan rawan bencana serta kasus gizi
buruk ;
9) Rendahnya dukungan Kualitas lingkungan ;
10) Belum meratanya Distribusi dan kompetensi Nakes ;
11) Kurang optimalnya sistem manajemen dan regulasi kesehatan.
12) Rendahnya IPM Pendidikan Jawa Timur, khususnya daerah Tapal
Kuda (Kab. Probolinggo : 63,03 -- Bondowoso : 62,07 – Situbondo :
65,86 --Sumenep : 64,07 – Sampang : 52,01 – Bangkalan : 666,38 --
Pamekasan : 66,67 – Lamongan : 73,29 – Bojonegoro : 71,20 –
Tuban : 70,27).
2. Permasalahan Kemiskinan dan Pengangguran
1) Masih tingginya jumlah penduduk miskin (5,52 juta orang) (BPS
2010);
−109−
2) Belum optimalnya peran dan fungsi Tim Koordinasi Penanggulangan
Kemiskinan di setiap jenjang ;
3) Kurangnya kesadaran masyarakat dalam pengelolaan asset-asset dan
hasil-hasil pembangunan program kemiskinan di perdesaan;
4) Rendahnya kualitas SDM tenaga kerja ;
5) Masih belum siapnya Kabupaten/kota membangun jaringan online
untuk kegiatan SIAK.
3. Isue Strategis Kesenjangan Wilayah
Kesenjangan pembangunan yang terjadi di Provinsi Jawa Timur
dapat didasarkan pada tiga tinjuan, yaitu dari tinjuan ekonomi, infrastruktur
dan SDM.
• Tinjauan ekonomi: kesenjangan yang terjadi dapat diukur
berdasarkan angka pendapatan perkapita masing-masing kabupaten/kota.
Pengembangan kegiatan perekonomian pada masing-masing
kabupaten/kota akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi
kabupaten/kota. Angka pendapatan perkapita dan pertumbuhan ekonomi
kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur menunjukan bahwa adanya
ketimpangan ekonomi antar kabupaten/kota. Kabupaten/kota (Kota
Surabaya, Kabupaten Gresik, Kabupaten sidoarjo, Kota Malang, Kota
Mojokerto) yang berada pada kawasan utara memiliki kecenderungan
memiliki pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita yang besar bila
dibandingakan dengan kabupaten/kota pada kawasan selatan.
• Tinjauan infrastruktur: dapat dinilai dari peran dan fungsi Kota
Surabaya dan sekitarnya sebagai pusat pengembangan di provinsi Jawa
Timur yang memiliki daya tarik kegiatan yang sangat besar sehingga
sebagian besar kegiatan pembangunan yang ada berpusat pada Kota
Surabaya dan sekitarnya (primacy Kota Surabaya). Fungsi kota surabaya
sebagai pusat pengembangan wilayah juga menyebabkan terpusatnya
pengembangan infrastruktur pada wilayah utara dibandingkan dengan
wilayah selatan. Berdasarkan kondisi tersebut, menyebabkan terjadinya
kecenderungan ketimpangan pembangunan antara wialayah utara (Kota
Surabaya dan sekitarnya) dan wilayah selatan. Data yang menunjukan
adanya ketimpangan antara kawasan Utara dan Selatan serta kepulauan
adalah terkonsentrasinya infrastruktur strategis pendukung kegiatan
ekonomi seperti infrastruktur transportasi dan infrastruktur penunjang
−110−
kegiatan perkotaan. Persebaran infrastruktur Kota Surabaya sekitar 8% dari
kepadatan infrastruktur Jawa Timur, Kabupaten Malang, Banyuwangi,
Gresik dan Sumenep memiliki proporsi sekitar 4-5%, Kabupaten/kota
lainnya memiliki proporsi rata-rata antara 1-3%. Konsentrasi perkembangan
kawasan perkotaan telah menimbulkan kesenjangan antar wilayah yang
cukup signifikan serta inefisiensi pelayanan prasarana dan sarana. Sekitar
67,08% fasilitas dan pembangunan Jawa Timur terkonsentrasi di koridor
Surabaya-Malang.
• Tinjauan SDM: dapat dilihat dari nilai IPM masing-masing
kabupaten/kota. Besaran angka IPM menurut wilayah kabupaten/kota
sangat bervariasi. Ini tercermin dari makin besarnya range antara angka
IPM atau HDI tertinggi dan terendah. Boleh jadi ini disebabkan prioritas
sasaran program maupun kebijakan yang diambil masing-masing daerah
tidak sama. Terdapat 7 kabupaten/kota dengan kategori sangat tinggi, di
antaranya Kota Blitar, Kota Surabaya, Kota Malang, Kota Mojokerto, Kota
Madiun, Kabupaten Kediri dan Sidoarjo. Kota Blitar menempati urutan
tertinggi dengan IPM sebesar 77,28 pada tahun 2010. Adapun
kabupaten/kota yang tertinggal dalam aspek IPM adalah dengan nilai
indeks di bawah rata-rata Jatim tersebar pada 19 kabupaten/kota.
Kabupaten/kota dengan kategori nilai IPM rendah dan sangat rendah
adalah kabupaten/kota di Kepulauan Madura, dan di daerah Probolinggo
serta Bondowoso.
Berdasarkan kondisi umum dan perkembangan pembangunan
inftastruktur yang terkait dengan upaya mengatasi permasalahan
kesenjangan antar wilayah adalah :
1. Penurunan kondisi dan kinerja Jaringan Jalan Menurun Akibat Beban
Muatan Lebih;
2. Masih belum optimalnya perkembangan pembangunan jalan lintas
selatan;
3. Masih tingginya pelanggaran muatan lebih di jalan akibat belum
optimalnya pengawasan melalui jembatan timbang karena
keterbatasan fisik/peralatan, SDM dan sistem manajemen;
4. Kondisi sarana dan prasarana keselamatan Lalu Lintas Angkutan Jalan
yang belum memadai;
5. Kondisi kualitas dan kuantitas sarana dan pelayanan angkutan umum
yang masih terbatas;
−111−
6. Masih banyaknya kondisi prasarana (rel, jembatan KA dan sistem
persinyalan dan telekomunikasi KA) yang telah melampui batas umur
teknis;
7. Masih kurangnya keterpaduan pembangunan jaringan transportasi
SDP dengan rencana pengembangan wilayah, pengembangan
prasarana dan sarana ASDP;
8. Belum oprimalnya pelayanan pelabuhan dalam rangka mendukung
pelayanan arus barang dan penumpang;
9. Masih adanya biaya ekonomi tinggi, dan kurangnya fasilitas prasarana
bongkar muat di pelabuhan, menambah beban bagi pengguna jasa
yang pada akhirnya menambah biaya bagi masyarakat secara umum;
10. Masih terbatasnya cakupan pelayanan air minum dan air limbah di
perkotaan dan perdesaan;
4. Bidang Lingkungan Hidup
1) Meningkatnya Pencemaran Air; Berdasarkan hasil pemantauan kualitas
air pada tahun 2010 dari 15 titik pantau oleh Perum Jasa Tirta yang
telah dianalisa oleh BLH Provinsi Jawa Timur dengan metode STORET
(Sistem Nilai dari United Stated – Environment Protection Agency)
diperoleh skor antara -29 s/d -79. Sesuai dengan Klasifikasi Mutu Air,
mutu air di DAS Brantas termasuk dalam kategori kelas C dan kelas D
dengan status cemar sedang – berat. Adapun parameter yang diukur
meliputi parameter fisika (temperatur dan zat tersuspensi), kimia (pH,
oksigen terlarut, BOD dan COD, dan lain-lain), serta biologi (fecal coli
dan total coli).
2) Menurunnya Kualitas Udara di Perkotaan; Kualitas udara di kota besar
cukup mengkhawatirkan, terutama Surabaya. Senyawa yang perlu
mendapat perhatian serius adalah partikulat (PM10), karbon monoksida
(CO), dan nitrogen oksida (NOx). Semakin meningkatnya perindustrian
dan penggunaan kendaraan bermotor sangat mempengaruhi kualitas
udara, khususnya di wilayah perkotaan, serta kejadian kebakaran hutan,
dan kurangnya tutupan hijau di perkotaan. Selain itu, limbah B3 (bahan
berbahaya dan beracun) yang berasal dari rumah sakit, industri,
pertambangan, dan permukiman juga belum dikelola secara optimal.
Tingginya biaya, rumitnya pengelolaan B3, serta rendahnya pemahaman
−112−
masyarakat menjadi kendala tersendiri dalam upaya mengurangi
dampak negatif limbah terutama limbah B3 terhadap lingkungan.
3) Tingginya Ancaman terhadap Keanekaragaman Hayati; Banyak jenis
flora fauna terancam punah. Pelestarian plasma nutfah asli Indonesia
belum berjalan baik. Kerusakan ekosistem dan perburuan liar, yang
dilatarbelakangi rendahnya kesadaran masyarakat, menjadi ancaman
utama bagi keanekaragaman hayati (biodiversity).
4) Meningkatnya Kerusakan Daerah Aliran Sungai; penebangan liar dan
konversi lahan menimbulkan dampak luas, yaitu kerusakan ekosistem
dalam tatanan daerah aliran sungai (DAS) yang mengakibatkan DAS
berkondisi kritis semakin meningkat. Kerusakan DAS juga dipacu oleh
pengelolaan DAS yang kurang terkoordinasi antara hulu dan hilir serta
kelembagaan yang masih lemah. Hal ini akan mengancam
keseimbangan ekosistem secara luas, khususnya cadangan dan pasokan
air yang sangat dibutuhkan untuk irigasi, pertanian, industri, dan
konsumsi rumah tangga
5) Menurunnya Kondisi Hutan;
• Luas kawasan hutan eksisting di Provinsi Jawa Timur adalah seluas
kurang lebih 1.364.400 Ha (28,54 % dari luas wilayah Jawa Timur),
atau menurut fungsinya terdiri dari hutan konservasi seluas kurang
lebih 233.829 Ha (4,89 %), hutan lindung seluas kurang lebih
314.720 Ha (6,58 %) dan hutan produksi seluas kurang lebih
815.851 Ha (17,07 %). Apabila ditambahkan dengan kawasan hutan
rakyat eksisting, luasan hutan eksisting di Provinsi Jawa Timur
kurang lebih 1.725.970 Ha (36,11% dari luas Provinsi Jawa Timur).
Jumlah ini mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Salah satu
penyebabnya adalah karena fenomena alih fungsi dari kawasan
lindung menjadi budidaya
• Taman Hutan Raya (Tahura) R. Soerjo yang mencakup areal seluas
27.868,30 hektare, keberadaannya ditujukan untuk menjaga
pelestarian alam, mengembangkan pendidikan dan wisata, dan juga
berperan dalam pemeliharaan kelangsungan fungsi hidrologis Daerah
Aliran Sungai (DAS) Brantas, DAS Konto, dan DAS Kromong.
Mengingat daerah ini merupakan kawasan lindung sebagai daerah
resapan air, maka keberadaannya menjadi sangat penting bagi
kelangsungan lingkungan hidup dan air tanah untuk wilayah
−113−
sekitarnya.
• Belum Berkembangnya Pemanfaatan Hasil Hutan Non-Kayu dan Jasa
Lingkungan; Hasil hutan non-kayu dan jasa lingkungan dari
ekosistem belum berkembang seperti yang diharapkan mengingat
nilai jasa ekosistem hutan jauh lebih besar daripada nilai produk
kayunya dengan perkiraan nilai hasil hutan kayu hanya sekitar 7%
dari total nilai ekonomi hutan, sisanya adalah hasil hutan non-kayu
dan jasa lingkungan. Dewasa ini permintaan terhadap jasa
lingkungan mulai meningkat, khususnya untuk air minum kemasan,
objek penelitian, wisata alam, dan sebagainya. Permasalahannya,
sampai saat ini sistem pemanfaatannya belum berkembang maksimal
5. Bencana Alam
1) Belum Berkembangnya Sistem Mitigasi Bencana Alam; Banyak wilayah
Jawa Timur yang rentan terhadap bencana alam. Apabila tidak disikapi
dengan pengembangan sistem kewaspadaan dini (early warning
system), maka bencana alam tersebut akan mengancam kehidupan
manusia, flora, fauna, dan infrastruktur prasarana publik yang telah
dibangun. Pengembangan kebijakan sistem mitigasi bencana alam
menjadi sangat penting dan dukungan pemahaman akan “kawasan
rawan bencana geologi” (Geological Hazards Mapping) perlu dipetakan
secara baik sehingga rencana tata ruang yang disusun dan pola
pembangunan kota disesuaikan daya dukung lingkungan lokal;
2) Banyaknya desa rawan bencana yang masih belum dibentuk sebagai
Desa Tangguh, karena pihak Kab/Kota belum peduli;
3) Masih rendahnya pengetahuan di sekolahan akan Penanggulangan
bencana, karena masih banyak sekolah yg belum dilatih dan
keterbatasan pendanaan.