bab ii landasan teori - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/43478/3/bab ii.pdf · bahasa ialah...
TRANSCRIPT
8
BAB II
LANDASAN TEORI
Pada bab II kajian pustaka ini diuraikan mengenai: (1) gaya bahasa, (2) gaya
bahasa pertentangan (3) fungsi gaya bahasa (4) pranatacara (5) adat perkawinan
jawa. Berikut penjabaran yang berkaitan dengan kajian pustaka.
2.1 Gaya Bahasa
Setiap orang mempunyai modalitas dalam melakukan sebuah hal yang biasa
disebut dengan komunikasi. Komunikasi sendiri dapat diartikan sebagai
penyampaian pesan dari penutur atau pengirim pesan kepada mitra tutur atau
penerima pesan itu sendiri. Komunikasi bisa berjalan efektif saat mitra tutur atau
lawan bicara dapat memahami maksud atau tujuan yang hendak disampaikan. Oleh
karenanya seseorang bertutur kata sama halnya ia dengan memanifestasikan
luasnya kekayaan dalam samudera bahasa. Hal ini mempunyai keterkaitan dengan
pendapat Leech dan Short (1981: 13), mengemukakan gaya bahasa dapat diartikan
sebagai alat menggunakan bahasa dalam situasi tertentu, oleh seorang penutur,
dengan tujuan tertentu. Hal ini sejalan dengan pendapat Tarigan (2009: 4), gaya
bahasa merupakan bentuk dalam keterampilan memakai bahasa, baik itu dalam hal
berbicara maupun menulis untuk meyakinkan atau mempersuasif pembaca maupun
penyimak. Di dalam fungsi bahasa, dipergunakannya gaya bahasa dapat tergolong
dalam fungsi puitik, yaitu menyebabkan pesan yang ingin disampaikan menjadi
bermutu.
Gaya bahasa dapat diartikan sebuah upaya pengekspresian atau seni dalam
berbicara untuk menyampaikan pesan agar dapat diterima dengan baik kepada
9
pendengar. Berkaitan dengan hal ini Wellek & Waren (dalam Nurgiyantoro, 2010:
6), menuturkan untuk dapat membuat karya yang berguna dan dapat diterima luas
oleh masyarakat, sekelompok penulis ataupun kelompok pembuat lirik lagu
ataupun pengubah lagu banyak dari mereka menggunakan gaya bahasa yang
bermacam-macam, selain sebagai estetika dalam karya yang mereka perindah
karya juga dapat mengungkapkan isi gagasan jiwa penulis di dalamnya.
Adapun sesuai dengan yang dijelaskan oleh Keraf (2010:113), bahwa gaya
bahasa ialah pengungkapan bahasa secara khas melalui pemikiran, guna
menunjukkan kepribadian dan jiwa penulisnya. Dalam kaitannya dengan hal ini
gaya bahasa merupakan jembatan penghubung antara ide/gagasan ke dalam
kenyataan dalam bentuk teks atau lisan.
2.2 Gaya Bahasa Pertentangan
Gaya Bahasa menurut kelompoknya dapat dibedakan menjadi empat.
Adapun diantaranya ialah perbandingan, pertautan, perulangan, dan pertentangan.
Gaya bahasa pertentangan menjelaskan cara bertutur yang berlawanan dengan
maksud yang sebenarnya. Adapun tujuan dari gaya bahasa pertentangangan sendiri
adalah sebagai penguat. Dalam hal ini gaya bahasa pertentangan menurut Tarigan
(2009: 121), meliputi :
2.2.1 Hiperbola
Hiperbola dapat diartikan sebagai gaya bahasa yang di dalamnya
mengandung ungkapan yang dilebih-lebihkan, baik itu isi maupun muatannya.
Dalam kaitannya dengan hal ini menurut Peyroutet (1994: 74), bahwa: L’hyperbole
est un écart de style fondé sur la substitution d’un mot ou d’une expression B à un
10
mot ou une expression A normalement attendu, de façon à exagérer: B dit plus A.
“Hiperbol diibaratkan sebagai penggunaan gaya bahasa dengan cara mengubah
satu kata ataupun satu ungkapan B dengan ungkapan A. Biasanya terkesan
berlebihan: B dibilang lebih dari A”.
Dengan kata lain, Keraf (1994 : 135), mengungkapkan “Hiperbol gaya
bahasa dalam salah satu jenis yang tergolong berlebihan, dalam hal yang sederhana
dapat menjadi hal yang sengaja dibesarkan”. Sejalan dengan pendapat diatas,
Tarigan (2009 : 130), menyatakan “hiperbola adalah ungkapan berlebihan yang
tidak selaras dengan maksud yang sebenarnya: baik itu sifat, ukuran, ataupun
jumlahnya.”
2.2.2 Litotes
Litotes ialah bentuk gaya bahasa yang bertentangan dengan hiperbola,
mengungkapkan sesuatu yang cenderung dikecil-kecilkan dari kenyataan
sebenarnya. Tarigan (2009 : 131), mengungkapkan “litotes merupakan lawan dari
hiperbola, ialah sejenis gaya bahasa yang mengecilkan maksud dari suatu
pernyataan, mengurangi maksud dari pernyataan aslinya, misalkan untuk
merendahkan penutur atau diri sendiri”. Hal ini sejalan dengan pendapat Keraf
(1994: 132), “litotes dan hiperbola ialah gaya bahasa yang berlawanan arah tujuan,
isi dari muatan litotes ialah mengurangi, mengecilkan, atau merendahkan dari
kenyataan aslinya, seperti halnya pernyataan yang biasa digunakan untuk
merendahkan diri.
2.2.3 Klimaks
Klimaks dapat diartikan jenis gaya bahasa yang bertingkat dan beruntut,
sampai pada kalimat terakhirnya mengungkapkan keterangan yang sebenarnya.
11
Keraf (1994: 124), menjelaskan “klimaks ialah salah satu jenis gaya bahasa yang
mempunyai arti uraian pikiran penutur kepada orang lain dimana menurut sifatnya
semakin lama semakin bertambah tinggi kepentingan dari maksud yang ingin
diutarakannya”. Sedangkan menurut pendapat Tarigan (2009: 134), “klimaks
mengutarakan sesuatu yang mulai meninggi, sampai nanti berada pada titik
tertinggi tentang suatu hal.
Dalam artian yang sebenarnya, gaya bahasa klimaks memiliki hubungan
yang erat dari pernyataan satu dengan lainnya, diawali dengan pernyataan
sederhana terlebih dahulu menjadi pernyataan yang lebih lengkap atau kompleks.
Pernyaataan yang sederhana digunakan diawal penyusunan kalimat hingga terus
menerus bertingkat muatan isinya sampai pada puncak tertinggi ialah ciri khas dari
majas klimaks itu sendiri.
2.2.4 Apostrof
Apostrof mengacu pada sebuah pemindahan pesan dari para hadirin pada
sebuah acara kepada orang yang tidak ada dalam acara tersebut. Keraf (1994 : 131),
mendefinisikan bahwa “apostof adalah sejenis gaya bahasa yang bersifat
mengalihkan amanat pembicaraan dari yang hadir pada saat itu kepada yang tidak
hadir”.
Tarigan (2009 : 135), “Apostrof merupakan gaya bahasa berupa pergantian
amanat yang disampaikan orang lain kepada yang tidak hadir dari yang hadir pada
saat itu”.
Dengan kata lain gaya bahasa apostrof menjelaskan pada saat situasi acara
berlangsung seorang penutur atau pembicara tidak menyampaikan amanat atau
pesan yang ingin disampaikan kepada yang ada dalam acara pada saat itu, namun
12
kepada orang yang tidak hadir yang dianggap ada dan ikut memeriahkan acara pada
waktu itu.
2.3 Fungsi Gaya Bahasa
Fungsi ialah menjelaskan tentang bagaimana suatu hal dapat digunakan,
sedangkan gaya bahasa ialah cara berfikir seseorang menyatakan perasaannya
dengan bertutur kata atau melahirkan sesuatu dalam bentuk tulisan. Dengan kata
lain, fungsi gaya bahasa yaitu memahami suatu hal yang dapat dipergunakan
seseorang untuk menuangkan isi gagasannya baik itu melalui tulisan ataupun
bertutur kata. Menurut fungsinya gaya bahasa dapat dibedakan berdasarkan pada :
2.3.1 Fungsi Emotif
Emotif dapat diartikan sebagai emosi atau perasaan terkait dengan sebuah
pesan yang ingin disampaikan. Menurut Peyroutet (1991: 136), la fonction
expressive correspond aux émotions, sensations, sentiments, jugements exprimés.
“Fungsi emotif atau ekspresi mempunyai korelasi dengan emosi, kesan, perasaan,
ataupun gagasan yang ingin disampaikan”. Hal ini sejalan dengan pemikiran
Baylon (1994: 78), Par la fonctio dite emotive/expressive, celui qui parle veut
s’extérioriser, faire connaître ses idées, ses émotions, ses désirs, donc ce qui sans
l’acte de communication resterait dissimulé dans son esprit. “Fungsi
dikatogorikan emotif/ekspresif, saat seseorang menginginkn sebuah pembicaraan,
membuat lawan bicara dapat memahami apa yang ingin ia sampaikan, berkaitan
dengan emosi dan keinginannya, maka tanpa adanya komunikasi akan menutup
pribadinya.
13
Menurut Jakobson (dalam Suwito, 2013: 12-16), fungsi emotif mempunyai
keterkaitan dengan pembicara atau pengirim pesan. Pemilik pesan adalah yang
dapat mengirimkan pesan, melalui pesan yang ingin disampaikannya unsur emotif
biasanya lebih memberikan penekanan terhadap perasaan yang telah seseorang
alami. Dengan demikian, fungsi bahasa dapat diimplementasikan melalui suasana
hati dari sikap sang pengirim pesan. Hal ini dapat kita temukan dalam dialog tokoh
fiksi yang sering dijumpai kata-kata seruan, umpatan, rayuan, ataupun sebagainya.
2.3.2 Fungsi Referensial
Referensial adalah jenis pesan yang disampaikan dengan sebuah lambang
dan referen (bentuk bahasa) terhadap suatu hal tertentu. Menurut Peyroutet (1991:
136), la fonction référentielle correspond aux informations objectives transmises.
“Fungsi referensial berkolerasi dengan tujuan informasi yang akan dikirim”.
Sedangkan menurut Baylon (1994: 78): Il va de soi que quand on émet un message
linguistique, on vise à donner des indications sur un état de choses (localisé dans
le monde reel ou produit de l’imagination) qui se trouve ainsi plus ou moins décrit,
en tout cas évoqué, et c’est la fonction référentielle. “tidak berubah lagi ketika
mendefinisikan tentang sebuah pesan linguistik, pada saat tahap pemberian indikasi
acuan kita adalah tentang suatu keadaan (yang membatasi produk imajinasi atau
dalam dunia nyata) kurang lebih merupakan sebuah penggambaran, hal-hal yang
diujarkan, dan inilah yang biasa disebut sebagai referensial”.
Fungsi Referensial berkaitan dengan konteks, pada tataran komunikasi
konteks sendiri dapat memberikan, menentukan, dan mempengaruhi referensi
makna (pesan yang ingin disampaikan). Oleh karenanya, fungsi referensial lebih
mementingkan informasi sebenarnya mengenai sebuah komunikasi. Lain daripada
14
itu fungsi ini menitikberatkan konteks pesan yang ada di dalamnya. Tidak pula
menyatakan prasangka dan argumen. Fungsi informatif dan komunikasi merupakan
pengambaran dari fungsi ini. Menurut Ogden dan Richard (dalam Suhardi. 2015:
46), jika rujukan tersebut sesuai dengan fakta yang ada maka bisa dikatakan logikal
sesuai dengan referent yang ada. Karena disebut logis dan benar apabila referent
tersebut dapat konsisten, saling bersangkut paut, ataupun koresponden. Contoh
pada peristiwa bom bunuh diri tiga gereja di surabaya yang dilakukan oleh satu
keluarga terduga teroris.
2.3.3 Fungsi Puitik
Puitik ialah penyampaian pesan dengan merangkai kata-kata menjadi lebih
indah. Menurut Peyroutet (1991: 136), la fonction poétique correspond à la
transformation du texte en message esthétique. “fungsi puitis adalah korelasi dari
teks kedalam pesan yang lebih estetik”
Fungsi puitis bahasa berkaitan langsung dengan pesan yang ingin
dikomunikasikan. Pemfokusan perhatian pada pesan demi pesan itu sendiri. Dalam
puitik bahasa yang difokuskan pada pesan itu sendiri bahkan, paling dominan dan
paling menentukan. Selain itu, fungsi tersebut menitik beratkan pada aspek
keindahannya. Tidak dipungkiri lagi pilihan-pilihan kata, susunan kalimat dan
variasi bahasa menjadi patokan untuk mengetahui pesan yang disampaikannya.
Contoh penggunaan bahasa repetisi dan aliterasi (Nurgiyantoro, 2010: 419).
2.3.4 Fungsi Metalingual
Metalingual menjelaskan tentang sandi-sandi yang digunakan dalam
sebuah penyampaian pesan. Menurut Baylon (1994: 78): La fonction
métalinguistique, elle intervient chaque fois que le code utilisé, en l’espèce la
15
langue, fait lui- même l’objet du message échangé; (…) “Fungsi metalinguistik,
ialah tentang penggunaan pengkodean, dalam bahasa, menitik beratkan bahasa
sebagai objek pesan yang akan disampaikan ; (...)”. Fungsi metalinguistik adalah
kode atau sandi yang dapat diguankan. Perbincangan mengenai bahasa dalam
bahasa itu sendiri bisa dimungkinkan dalam fungsi ini. Kushartanti (2009: 54)
menjelaskan ungkapan yang berpusat pada makna/batasan istilah merupakan
metalinguistik. Contohnya “negara Indonesia mempunyai ibukota bernama
Jakarta”. sedangkan menurut Jakobson (dalam Suwito, 2013: 12-16) menuturkan
Fungsi metalingual bentuk fungsi bahasa menjelaskan bahasa itu sendiri. Misalnya
penjelasan tentang konsep ungkapan tertentu yang ada pada suatu bahasa. Maka
dari itu, fungsi metalingual suatu fungsi yang membicarakan mengenai kode, ciri,
sifat dalam suatu konteks. Adapun contoh fungsi metalingual yakni Talhah dalam
peperangan bergerak seperti petir.
2.3.5 Fungsi Konatif
Konatif ialah pesan yang disampaikan untuk mendapatkan hubungan timbal
balik Menurut Peyroutet (1991: 136), la fonction conative correspond à toutes les
implications du lecteur: questions, ordres, interpellations. “fungsi konatif ialah
korelasi pada keterlibatan pembaca (penerima pesan/penyimak): pertanyaan,
perintah, ataupun imbauan”.
Jakobson (dalam Suwito, 2013: 12-16) juga mengungkapkan Fungsi konatif
digunakan menyampaikan suatu permintaan bagi pendengarnya untuk memotivasi
bersikap dan bertindak sesuatu. Oleh sebab itu, fungsi ini tak lain untuk
mempengaruhi orang lain bertujuan untuk mengotrol sosial agar apa yang kasihkan
itu terkesampaikan.
16
2.3.6 Fungsi Fatik
Menurut Baylon (1994: 78): La fonction phatique intervient quand un
message << cherche à établir, prolonger ou interrompre la communication (…), à
vérifier si le circuit fonctionne, à attirer l’attention de l’interlocuteur ou à s’assurer
qu’elle ne se relâche pas >>. “fungsi fatis terjadi ketika pesan << mencari
penetapan, penghentian komunikasi, ataupun perpanjangan (...), meninjau kembali
saat jalannya bahasa dapat berfungsi sebagai hal yang dapat menarik perhatian
lawan tutur atau meyakinkan bahwa komunikasi tidak mengalami penurunan”,
Dalam kata lain menurut Jakobson (dalam Suwito, 2013: 12-16) Fungsi
fatik berfungsi untuk penggunaan bahasa untuk menjaga hubungan sosial yang
berlaku antara pembicara dan pendengar agar akrab. Selain itu, fungsi ini
mengimbau manusia saling bersilaturahmi yang bertujuan untuk mempersatukan
anggota masyarakat. Dengan itu, bahasa dapat menjadikan pembelajaran dan
pengalaman bagi manusia untuk berinteraksi terhadap masyarakat disekitarnya.
2.4 Pranatacara
Pranatacara atau MC (Master of Ceremony) adalah seorang pembawa acara,
pemimpin acara, penata pelaksana, atau bisa juga disebut instruktur pelaksana
acara. Informasi kegiatan, tata acara, maupun skenario jalannya acara dapat
diketahui dari seorang pranatacara. Adapun pranatacara kadang sebelumnya sudah
menyiapkan naskah untuk ia baca pada saat berlangsungnya acara, akan tetapi lebih
sering ia menyampaikan segala informasi tanpa menggunakan teks. Menurut
Murwatono dalam bukunya Sesorah (2007: 3-6) meliputi Swara (suara/vokal),
Busana/ageman (pakaian), subasita/trapsila (tata krama), bahasa lan sastra (tutur
17
bahasa dan sastra) yang merupakan syarat mulak yang harus dimiliki oleh seorang
pranatacara.
Menurut Rakhmat (2001: 17-19), Adapun metode yang dapat digunakan
seorang pranatacara gunakan pada saat menyampaikan pidato/MC, hal ini dapat
dikategorikan berdasarkan empat macam, diantaranya ialah :
a. Metode impromptu ialah penyampaian runtut dari seorang yang berorator
secara spontanitas namun dapat dipahami oleh pendengar, metode ini biasa
dilakukan oleh seorang yang ahli berpidato
b. Metode manuskrip atau biasa disebut membaca teks. Hal ini mencegah
pembicara supaya tidak melenceng dari pokok pembahasan yang telah
disusunnya.
c. Metode memoriter atau hafalan. Dalam metode memoriter seorrang
pembicara terlebih dahulu mempersiapkan susunan acara kemudian ia
hafalkan secara keseluruhan, metode semacam ini biasanya dipergunakan
oleh orang yang baru belajar dan lemahnya metode ini saat ketika pembicara
lupa sampai pada tahap mana ia berbicara, maka otomatis ia akan lupa isi
semuanya secara keseluruhan.
d. Metode ekstemporan adalah metode poin-poin, dimana pembicara akan
menuliskan pokok-pokok pembahasannya saja kemudian ia akan
mengembangkannya sendiri, metode ini adalah yang paling umu digunakan.
Dalam memahami struktur susunan acara seorang pranatacara, terlebih
dahulu peneliti harus tahu perbedaan penggunaan bahasa setiap rangkaian acara
pada setiap perkawinan dengan penggunaan gaya yang dipakainya. Antara tradisi
pernikahan yang dijalankan oleh kelompok masyarakat awam dengan kelompok
18
yang status sosial dan ekonominya cukup tinggi terjadi kesenjangan yang cukup
signifikan. Adapun pada kaitanya terlihat jelas pada masyarakat awam yang tidak
mau terlalu direpotkan dengan norma-norma dan tata aturan penggunaan bahasa
dan sastra yang dipandang merepotkan dirinya. bahasa Jawa campuran dengan
bahasa Indonesia dan Arab yang sudah menjadi kultur Jawa Timuran dipandang
sebagai bahasa rakyat yang mudah dimengerti dan dipahami walaupun muatan
bahasa dan sastranya rendah, bahasa yang dianggap merakyat adalah bahasa gado-
gado yang tidak mau terikat dengan aturan penggunaan tata bahasa dan sastra.
Adapun kalau orang awam mengikuti acara pernikahan kelompok status sosial
menengah keatas atau kelompok priyai komentar yang terucap adalah bahasanya
sulit dimengerti.
2.5 Adat Perkawinan Jawa
“Perkawinan yang dalam bahasa Arabnya disebut “nikah” adalah: Akad
antara calon suami isteri untuk memenuhi hajat (kebutuhan nafsu seksnya) yang
diatur menurut tatanan syari‟at (agama), sehingga keduanya diperbolehkan bergaul
sebagai suami isteri.” Tutur Rohman (dalam Anas : 2008).
Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman terhadap berbagai
macam suku yang ada. Hal ini berdampak pada munculnya tradisi yang bermacam-
macam. Salah satunya ialah adat istiadat perkawinan jawa. Menurut Hamidin (2012
: 11) dalam proses perkawinan ada tiga tahap yang harus dilalui, yaitu nontoni atau
proses mencarikan jodoh yang dilakukan orang tua untuk anaknya. Yang kedua
yaitu lamaran dari pihak laki-laki datang kerumah pihak perempuan dengan
membawa pakaian dan bahan-bahan makanan. Yang ketiga yaitu midodareni
19
(siraman), hal ini bertujuan untuk mempersiapkan diri baik secara lahir maupun
batin.
20