bab ii landasan teori a. anak usia pra sekolah 1. pengertian
TRANSCRIPT
10
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Anak usia pra sekolah
1. Pengertian
Anak merupakan individu yang unik, dimana mereka mempunyai
kebutuhan yang berbeda-beda sesuai dengan tahapan usianya. Anak
bukan miniatur orang dewasa atau orang dewasa dalam tubuh yang
kecil. Hal ini yang perlu dipahami dalam memfasilitasi anak untuk
mencapai tugas pertumbuhan dan perkembangannya (Cahyaningsih,
2011).
Anak usia pra sekolah adalah anak yang berusia 3 tahun hingga 6 tahun.
Usia pra sekolah terjadi peningkatan kebebasan pada anak, kemampuan
motorik, pengembangan sosial dan kematangan emosional (Hockenberry
& Wilson, 2010). Pada tahap usia pra sekolah hal paling penting adalah
mempersiapkan anak untuk perubahan gaya hidup yang paling bermakna
yaitu masuk sekolah.
2. Perkembangan anak usia pra sekolah
Noorlaila (2010) menyebutkan bahwa perkembangan anak terdapat
beberapa tahapan yaitu: 1) sejak lahir sampai usia 3 tahun, anak memiliki
kepekaan sensoris dan daya pikir yang sudah mulai dapat “menyerap”
11
pengalaman-pengalaman melalui sensorinya, usia setengah tahun sampai
kira-kira tiga tahun, mulai memiliki kepekaan bahasa dan sangat tepat
untuk mengembangkan bahasanya, 2) masa usia 2-4 tahun, gerakan-
gerakan otot mulai dapat dikoordinasikan dengan baik, untuk berjalan
maupun untuk banyak bergerak yang semi rutin dan yang rutin, berminat
pada benda-benda kecil, dan mulai menyadari adanya urutan waktu (pagi,
siang, sore, malam).
Pada anak usia pra sekolah juga terjadi perkembangan kognitif yaitu fase
praoperasional. Perkembangan kognitif yang terjadi dimana anak berpikir
secara abstrak dan mempunyai pemikiran yang magic dan animisme
terhadap setiap kejadian yang dialaminya. Anak masih berpikir bahwa
sesuatu yang terjadi pada dirinya adalah suatu hukuman dari Tuhan
akibat perbuatannya. Ketika dipindahkan ke ruang operasi, anak akan
beranggapan bahwa hal tersebut merupakan sebuah hukuman baginya
sehingga timbul perasaan malu dan bersalah, merasa dipisahkan, merasa
tidak aman dan kemandiriannya terhambat (Hockenberry & Wilson,
2010). Anak juga memiliki fantasi terhadap semua tindakan yang
dialaminya, misalnya ketakutan akan kehilangan bagian tubuhnya setelah
dilakukan operasi. Hal ini disebabkan karena konsep integritas belum
berkembang dengan baik (Noorlaila, 2010).
12
B. Konsep pre operasi
1. Definisi pre operasi
Pembedahan adalah bagian dari tatalaksana medis untuk menangani
kondisi sulit atau tidak mungkin dipulihkan hanya dengan pemberian
obat-obatan. Australian College of Operating Room Nurses Standards
(2006) dalam Shields (2010) mendefinisikan bahwa perioperatif adalah
periode sebelum operasi (pra operasi), selama (intraoperasi), dan setelah
(pasca) anastesi, pembedahan dan prosedur lain. Lingkungan perioperatif
merupakan area dimana berlangsungnya pemberian anestesi,
pembedahan, atau prosedur lain yang diperlukan dan perawat operatif
merupakan perawat yang memberikan asuhan kepada pasien selama
periode perioperatif. Keperawatan perioperatif berlandaskan proses
keperawatan dan perawatan perlu menetapkan strategi yang sesuai
dengan kebutuhan individu selama periode perioperatif sehingga pasien
mendapatkan kemudahan sejak datang sampai sehat kembali. Perawat
harus melakukan teknik aseptik dengan baik, membuat dokumentasi
lengkap dan menyeluruh, serta mengutamakan keselamatan pasien
selama fase perioperatif (Potter & Perry, 2012).
Pembedahan pada anak dapat dilakukan secara terencana (elective)
maupun bersifat darurat (emergency) sebagai akibat adanya trauma
(Berman & Snyder, 2012). Persiapan fisik dan psikologis yang diterima
anak akan mempengaruhi respon anak terhadap pengalaman yang mereka
13
jalani. Setiap anak yang akan menjalani pembedahan memerlukan
persiapan psikologis dan fisik yang optimal (Hockenberry & Wilson,
2010).
2. Persiapan pre operasi
Keperawatan pre operasi merupakan tahapan awal dari keperawatan
perioperatif. Perawatan pre operasi merupakan tahap pertama dari
perawatan perioperatif yang dimulai sejak pasien diterima masuk di
ruang terima pasien dan berakhir ketika pasien dipindahkan ke meja
operasi untuk dilakukan tindakan pembedahan (Wijayanti, 2011).
Persiapan pasien di ruang perawatan, diantaranya (Sjamsuhidajat & De
Jong, 2010):
a. Persiapan fisik
Berbagai persiapan fisik yang harus dilakukan terhadap pasien anak
sebelum operasi antara lain:
1) Status kesehatan fisik secara umum
Sebelum dilakukan pembedahan, penting dilakukan pemeriksaan
status kesehatan secara umum, meliputi identitas anak, riwayat
penyakit dan operasi anak, riwayat kesehatan keluarga,
pemeriksaan fisik, antara lain status hemodinamika, status
kardiovaskuler, status pernafasan, fungsi ginjal dan hepatik, fungsi
endokrin, fungsi imunologi, dan lain-lain. Anak harus istirahat
14
yang cukup karena dengan istirahat yang cukup anak tidak akan
mengalami stres fisik menjelang operasi dan tubuhnya akan
menjadi lebih rileks.
2) Status nutrisi
Kebutuhan nutrisi ditentukan dengan mengukur tinggi badan dan
berat badan, lingkar lengan atas, kadar protein darah (albumin dan
globulin) dan keseimbangan nitrogen. Segala bentuk defisiensi
nutrisi harus dikoreksi sebelum pembedahan untuk memberikan
protein yang cukup untuk perbaikan jaringan. Kondisi gizi buruk
dapat mengakibatkan anak mengalami berbagai komplikasi pasca
operasi dan mengakibatkan anak menjadi lebih lama dirawat di
rumah sakit.
3) Keseimbangan cairan dan elektrolit
Balance cairan anak perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan
input dan output cairan. Keseimbangan cairan dan elektrolit terkait
erat dengan fungsi ginjal, dimana ginjal berfungsi mengatur
mekanisme asam basa dan ekskresi metabolik obat- obatan
anastesi. Jika fungsi ginjal baik maka operasi dapat dilakukan
dengan baik.
4) Personal hygiene
Kebersihan tubuh anak sangat penting untuk persiapan operasi
karena tubuh yang kotor dapat merupakan sumber kuman dan dapat
mengakibatkan infeksi pada daerah yang dioperasi.
15
b. Persiapan penunjang
Persiapan penunjang merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan
dari tindakan pembedahan. Hasil pemeriksaan penunjang merupakan
penentuan tindakan operasi yang harus dilakukan pada pasien.
Pemeriksaan penunjang yang dimaksud adalah berbagai pemeriksaan
radiologi, laboratorium maupun pemeriksaan lain seperti EKG, dan
lain-lain. Sebelum dokter mengambil keputusan untuk melakukan
operasi pada anak, dokter melakukan berbagai pemeriksaan terkait
dengan keluhan penyakit anak sehingga dokter bisa menyimpulkan
penyakit yang diderita anak. Setelah dokter bedah memutuskan untuk
dilakukan operasi maka dokter anastesi berperan untuk menentukan
apakah kondisi anak layak menjalani operasi.
c. Pemeriksaan status anestesia
Pemeriksaan status fisik untuk pembiusan perlu dilakukan untuk
keselamatan selama pembedahan. Sebelum dilakukan anastesi demi
kepentingan pembedahan, anak akan menjalani pemeriksaan status
fisik yang diperlukan untuk menilai sejauh mana resiko pembiusan
terhadap dirinya.
d. Informed consent
Informed consent sebagai wujud dari upaya rumah sakit menjunjung
tinggi aspek etik hukum, maka orang tua atau keluarga wajib untuk
16
menandatangani surat pernyataan persetujuan operasi yang akan
dilakukan kepada anak.
e. Persiapan mental/psikis
Persiapan mental/psikis merupakan hal yang tidak kalah pentingnya
dalam persiapan operasi karena mental anak yang tidak siap atau labil
dapat berpengaruh terhadap kondisi fisiknya dan kelancaran proses
operasi. Persiapan psikologis yang belum optimal dapat meningkatkan
reaksi stres fisiologis, masalah psikologis, emosi dan kecemasan
(Kholfiyah, 2014).
Persiapan psikologis sebagai hak dasar anak-anak yang menjalani
operasi tidak boleh dilupakan dan diabaikan karena proses persiapan
ini merupakan tugas dan tanggung jawab perawat (Majzoobi, et al,
2013). Persiapan psikologis berbasis caring yang dilakukan oleh
perawat diharapkan dapat menurunkan kecemasan pre operasi pada
anak usia pra sekolah. Perawat perlu mengkaji hal-hal yang bisa
digunakan untuk membantu anak dalam menghadapi kecemasannya,
seperti adanya orang tua/keluarga di dekatnya, tingkat perkembangan
anak dan faktor pendukung/support system (Sjamsuhidajat & De Jong,
2010).
17
Terdapat beberapa macam persiapan psikologis guna mengurangi
kecemasan pre operasi pada anak pra sekolah. Berdasarkan bentuknya
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu teknik farmakologi, contohnya
obat penenang dan yang kedua ialah teknik non-farmakologi,
contohnya kehadiran orang tua, musik, akupunktur, terapi bermain,
bermain dengan mainan yang sudah dikenal, dan menonton kartun.
Penggunaan intervensi non-farmakologis lebih banyak disukai karena
memiliki efek samping lebih sedikit daripada intervensi farmakologi
(Potter & Perry, 2012).
C. Kecemasan
1. Definisi kecemasan
Kecemasan merupakan respon individu terhadap suatu keadaan yang
tidak menyenangkan dan dialami oleh semua makhluk hidup sehingga
individu merasakan perasaan khawatir seolah-olah ada sesuatu buruk
akan terjadi dan pada umumnya disertai gejala-gejala otonomik yang
berlangsung beberapa waktu (Pieter & Lubis, 2010). Kecemasan adalah
kebingungan atau kekhawatiran pada sesuatu yang akan terjadi dengan
penyebab yang tidak jelas dan dapat dihubungkan dengan perasaan tidak
menentu dan tidak berdaya. Reaksi tersebut bersifat individual dan sangat
bergantung pada tahap usia perkembangan anak, pengalaman
sebelumnya terhadap sakit, sistem dukungan yang tersedia, dan
18
kemampuan koping yang dimiliknya (Sugihartiningsih & Hafiduddin,
2016).
Kecemasan pada tindakan operasi merupakan hal yang wajar. Berbagai
perasaan yang sering muncul pada anak, yaitu cemas, marah, sedih, takut
dan rasa bersalah. Perasaan tersebut muncul karena menghadapi sesuatu
yang baru dan belum pernah dialami sebelumnya, rasa tidak nyaman,
perasaan kehilangan sesuatu yang dirasakan menyakitkan (Wong, 2001
dalam Warastuti & Astuti, 2015). Pernyataan tersebut juga didukung oleh
Townsend (2009) dalam Suprobo (2017) yang menyatakan kecemasan
pada anak timbul karena menghadapi sesuatu/lingkungan yang baru dan
belum pernah ditemui sebelumnya, serta ketidaknyamanan/ketakutan
terhadap sesuatu karena merasa bahaya dan menyakitkan.
Beberapa pernyataan yang biasa anak ungkapkan ialah ketakutan adanya
nyeri setelah tindakan operasi, ketakutan adanya perubahan fisik (tidak
berfungsinya secara normal), takut keganasan (bila diagnosis belum
ditegakkan), takut mengalami kondisi yang sama dengan orang lain yang
mempunyai penyakit yang sama, takut memasuki ruang operasi,
sekaligus menghadapi peralatan bedah dan petugas kamar operasi, takut
akan mati setelah dianestesi, serta takut bila operasi akan mengalami
kegagalan (Effendy, 2005 dalam Farada, 2011).
19
2. Klasifikasi tingkat kecemasan
Stuart& Laraia (2013) mengatakan bahwa semakin tinggi tingkat
kecemasan individu maka akan mempengaruhi kondisi fisik dan psikis.
Hal ini juga sejalan dengan Suliswati (2014) yang menyebutkan bahwa
terdapat 4 tingkatan kecemasan, yaitu:
a. Kecemasan ringan
Berhubungan dengan ketegangan yang dialami dalam kehidupan
sehari-hari. Individu menjadi waspada, meningkatkan lapang
persepsi, menajamkan indera, dapat memotivasi individu untuk
belajar dan mampu memecahkan masalah secara efektif dan
menghasilkan pertumbuhan dan kreatifitas.
b. Kecemasan sedang
Individu terfokus hanya pada pikiran yang menjadi perhatiannya,
terjadi penyempitan lapang persepsi, masih dapat melakukan sesuatu
dengan arahan orang lain. Kecemasan sedang ditandai dengan
peningkatan denyut nadi, berkeringat dan gejala somatik ringan.
c. Kecemasan berat
Lapang persepsi individu menjadi sangat sempit. Individu cenderung
memusatkan perhatian pada detil yang kecil, spesifik dan tidak
berpikir tentang hal lain. Seluruh perilaku dimaksudkan untuk
20
mengurangi kecemasan dan perlu banyak perintah/arahan untuk
terfokus pada hal lain.
d. Panik
Individu kehilangan kendali diri dan detail perhatian sehingga tidak
mampu melakukan apapun meskipun dengan perintah. Terjadi
peningkatan aktivitas motorik, berkurangnya kemampuan
berhubungan dengan orang lain, penyimpangan persepsi, hilangnya
pikiran rasional, tidak mampu berfungsi secara efektif, dan biasanya
disertai dengan disorganisasi kepribadian.
Gambar 2.1. Rentang respon kecemasan (Stuart, 2013)
Kemampuan satu individu dengan individu lainnya dalam menghadapi
suatu hal-hal berbeda. Hal ini tentu berpengaruh terhadap reaksi
emosional kecemasan pada tiap individu. Tiap tingkatan memiliki
karakteristik atau manifestasi yang berbeda satu sama lain. Karakteristik
kecemasan bergantung pada kematangan individu, pemahaman
mengatasi masalah, harga diri, mekanisme koping yang digunakannya
(Asmadi, 2008).
21
Keluhan yang sering dikemukakan oleh individu yang mengalami
kecemasan menurut Hawari (2011) yaitu: cemas, khawatir, firasat buruk,
takut akan pikirannya sendiri, mudah tersinggung, merasa tegang, tidak
tenang, gelisah, mudah terkejut, takut sendirian, takut pada
keramaian/banyak orang, gangguan pola tidur, mengalami mimpi-mimpi
yang menegangkan, gangguan konsentrasi dan daya ingat, keluhan-
keluhan somatik, misalnya rasa sakit pada otot tulang, pendengaran
berdenging, berdebar-debar, sesak nafas, gangguan pencernaan,
gangguan perkemihan, sakit kepala dan lain sebagainya.
3. Gejala
Menurut Suliswati (2014) keluhan dan gejala umum yang berkaitan
dengan kecemasan dapat dibagi menjadi gejala somatik dan gejala
psikologis.
a. Gejala somatik
1) Keringat berlebih
2) Ketegangan pada otot skelet: sakit kepala, kontraksi pada bagian
belakang leher atau dada, suara bergetar dan nyeri punggung.
3) Sidrom hiperventilasi: sesak nafas, pusing, parestesi.
4) Gangguan fungsi gastrointestinal: nyeri abdomen, tidak nafsu
makan, mual, diare, konstipasi.
5) Irritabilitas kardiovaskuler: hipertensi, takikardi.
22
6) Disfungsi genitourinaria: sering buang air kecil, sakit saat
berkemih.
b. Gejala Psikologis
1) Gangguan mood: mudah marah, mudah sedih.
2) Kesulitan tidur: insomnia, mimpi buruk.
3) Kelelahan, mudah capek.
4) Kehilangan motivasi dan minat.
5) Perasaan-perasaan yang tidak nyata
6) Sangat sensitif terhadap suara: merasa tidak tahan terhadap suara-
suara yang sebelumnya biasa saja.
7) Berpikiran kosong, tidak mampu berkonsentrasi, mudah lupa.
8) Canggung, koordinasi buruk.
9) Tidak bisa membuat keputusan: tidak bisa menentukan pilihan
bahkan untuk hal-hal kecil.
10) Gelisah, resah, tidak bisa diam.
11) Kecenderungan untuk melakukan sesuatu berulang-ulang.
12) Keraguan dan ketakutan yang mengganggu.
13) Terus-menerus memeriksa segala sesuatu yang telah dilakukan.
4. Respon kecemasan
Kecemasan dapat mempengaruhi kondisi tubuh seseorang, respon
kecemasan menurut Suliswati (2014), antara lain:
23
a. Respon fisiologis terhadap kecemasan
Secara fisiologis respon tubuh terhadap kecemasan adalah dengan
mengaktifkan sistem saraf otonom (simpatis maupun parasimpatis).
Respon sistem syaraf otonom terhadap rasa takut dan kecemasan
menimbulkan aktivitas involunter pada tubuh termasuk dalam
pertahanan diri. Serabut syaraf simpatis mengaktifkan tanda-tanda
vital pada setiap tanda bahaya untuk mempersiapkan pertahanan
tubuh.
Keadaan anak yang cemas dalam menghadapi operasi akan
menghambat jalannya operasi. Karena respon tubuh akan mengalami
penurunan dalam mekanisme sistem tubuh anak. Akibat dari
kecemasan yang sangat hebat maka ada kemungkinan operasi tidak
bisa dilaksanakan karena pada anak yang mengalami kecemasan
sebelum operasi muncul kelainan, seperti peningkatan tekanan darah
cukup tinggi serta irama jantung tidak normal sehingga kalau tetap
dioperasi dapat mengakibatkan penyulit dalam menghentikan
perdarahan bahkan setelah operasipun sangat mengganggu proses
penyembuhan.
b. Respon psikologis terhadap kecemasan
Respon perilaku akibat kecemasan adalah tampak gelisah, terdapat
ketegangan fisik, tremor, reaksi terkejut, bicara cepat, kurang
24
koordinasi, menarik diri, menghindar, dan sangat waspada (Pieter &
Lubis, 2010). Respon psikologis anak usia pra sekolah terhadap
kecemasan pre operasi dapat dilihat dari anak yang tampak gelisah,
tremor dan anak menangis saat perawat mendekatakepadanya.
c. Respon kognitif terhadap kecemasan
Kecemasan dapat mempengaruhi kemampuan berpikir, baik proses
pikir maupun isi pikir. Pada anak usia pra sekolah, respon kognitif
terhadap kecemasan pre operasi dapat ditunjukkan dengan anak
melakukan penolakan terhadap tindakan keperawatan yang akan
dilakukan kepadanya (Pieter & Lubis, 2010).
d. Respon afektif terhadap kecemasan
Secara afektif anak akan mengekspresikan dalam bentuk kebingungan
dan curiga berlebihan sebagai reaksi emosi terhadap kecemasan. Pada
anak usia pra sekolah, respon afektif terhadap kecemasan pre operasi
dapat ditunjukkan dengan anak tampak bingung dan curiga berlebihan
saat perawat mendekat kepadanya (Pieter & Lubis, 2010).
5. Faktor-faktor yang mempengaruhi respon kecemasan
Potter & Perry (2012) menyebutkan bahwa faktor yang mempengaruhi
kecemasan adalah sebagai berikut:
25
a. Jenis kelamin
Anak pada usia 3-6 tahun, kecemasan lebih sering terjadi pada anak
perempuan dibandingkan anak laki-laki. Hal ini karena laki-laki lebih
aktif dan eksploratif sedangkan perempuan lebih sensitif dan banyak
menggunakan perasaan. Pada perempuan juga lebih mudah
dipengaruhi oleh tekanan-tekanan lingkungan daripada laki-laki,
kurang sabar dan mudah menggunakan air mata. Contohnya pasien
anak perempuan lebih lama menangis daripada pada pasien anak laki-
laki dalam menghadapi kecemasan pre operasinya.
Monks (2006) dalam Suprobo (2017) menyebutkan bahwa anak
perempuan mengalami kecemasan dan kecakapan verbal lebih banyak,
sedangkan agresi, aktivitas, dominasi, impulsifitas, kecakapan
pengamatan ruang dan kecakapan kuantitatif lebih banyak pada laki-
laki. Potter & Perry (2012) juga menyebutkan bahwa salah satu faktor
yang mempengaruhi kecemasan ialah jenis kelamin. Kecemasan lebih
sering terjadi pada anak perempuan dibandingkan anak laki-laki. Hal
ini karena laki-laki lebih aktif dan eksploratif sedangkan perempuan
lebih sensitif dan banyak menggunakan perasaan. Pada perempuan
juga lebih mudah dipengaruhi oleh tekanan-tekanan lingkungan
daripada laki-laki, kurang sabar dan mudah menggunakan air mata.
26
b. Usia
Pada usia yang semakin tua maka seseorang semakin banyak
pengalamannya sehingga pengetahuannya semakin bertambah.
Pengetahuan tersebut dapat mengurangi kecemasan, seperti contoh:
kemampuan anak usia pra sekolah dalam menghadapi kecemasan
hospitalisasi akan berbeda dengan anak usia remaja. Anak usia pra
sekolah cenderung rewel dan melakukan penolakan terhadap perawat,
sedangkan anak usia remaja lebih mampu menghadapi kecemasannya.
c. Lama hari rawat
Kecemasan anak yang dirawat di rumah sakit akan sangat terlihat pada
hari pertama sampai kedua bahkan sampai hari ketiga dan biasanya
memasuki hari keempat atau kelima kecemasan yang dirasakan anak
akan mulai berkurang. Kecemasan yang terjadi pada pasien dan orang
tua juga bisa dipengaruhi oleh lamanya seseorang dirawat. Kecemasan
pada anak yang sedang dirawat bisa berkurang karena adanya
dukungan orang tua yang selalu menemani anak selama dirawat,
teman-teman anak yang datang berkunjung ke rumah sakit atau anak
sudah membina hubungan yang baik dengan petugas kesehatan
(perawat dan dokter) sehingga dapat menurunkan tingkat kecemasan
anak.
27
d. Pengalaman
Sumber ancaman yang dapat menimbulkan kecemasan tersebut
bersifat lebih umum. Penyebab kecemasan dapat berasal dari
berbagai kejadian di dalam kehidupannya, seperti contoh: tingkat
kecemasan anak yang akan menjalani operasi pertama kali akan
berbeda dengan anak yang sudah pernah menjalani operasi (Kaplan &
Sadock, 2010).
Hal ini juga sejalan dengan pernyataan Supartini (2013) yang
menyebutkan bahwa anak yang baru mengalami perawatan di rumah
sakit akan berisiko menimbulkan perasaan cemas yang ditimbulkan
baik oleh anak maupun orang tua. Berbagai kejadian di rumah sakit
dapat menimbulkan dampak trauma terutama pada anak yang baru
pertama kali mengalami perawatan di rumah sakit, salah satunya
karena adanya pengalaman interaksi yang tidak baik dengan petugas
kesehatan.
Bagi anak yang mempunyai pengalaman dirawat di rumah sakit,
termasuk pengalaman operasi sebelumnya akan mulai membentuk
respon koping dibandingkan dengan anak yang belum mempunyai
pengalaman. Hal ini disebabkan karena anak yang pernah dirawat
sebelumnya di rumah sakit yang sama akan merasa lebih terbiasa
dibandingkan dengan yang baru pertama kali dirawat serta anak akan
28
merespon sakitnya dengan lebih positif (Hockberry & Wilson, 2010).
Hal ini juga didukung oleh Pelander & Leino-Kilpi (2010) yang
mengatakan bahwa semakin sering anak berhubungan dengan rumah
sakit maka semakin kecil bentuk kecemasan atau sebaliknya.
e. Respon terhadap stimulus
Kemampuan seseorang menelaah rangsangan atau besarnya
rangsangan yang diterima akan mempengaruhi kecemasan yang
timbul, seperti contoh: setiap anak memiliki kemampuan yang
berbeda dalam menghadapi kecemasan pre operasinya (Kaplan &
Sadock, 2010).
f. Lingkungan rumah sakit
Lingkungan rumah sakit merupakan lingkungan yang baru bagi anak,
sehingga anak sering merasa takut dan terancam tersakiti oleh
tindakan yang akan dilakukan kepada dirinya. Lingkungan rumah
sakit juga akan memberikan kesan tersendiri bagi anak, baik dari
petugas kesehatan, alat kesehatan dan teman seruangan dengan anak
juga mempengaruhi kecemasan anak karena anak merasa berpisah
dengan orang tuanya.
29
Moersintowarti, et al (2008) menyebutkan bahwa faktor yang
mempengaruhi kecemasan pada anak yang dirawat di rumah sakit antara
lain:
a. Lingkungan rumah sakit
b. Bangunan rumah sakit
c. Bau khas rumah sakit
d. Obat-obatan
e. Alat medis
f. Tindakan medis
g. Petugas kesehatan
6. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi kecemasan
Wong (2012) menyatakan bahwa intervensi yang penting dilakukan
perawat terhadap anak yang mengalami kecemasan, yaitu memberikan
dukungan psikologis pada anggota keluarga, mempersiapkan anak
sebelum masuk ke ruang operasi. Upaya untuk mengatasi kecemasan
pada anak, antara lain:
a. Melibatkan orang tua anak, agar orang tua berperan aktif dalam
perawatan anak dengan cara memperbolehkan mereka untuk
menemani sang anak selama 24 jam. Jika tidak memungkinkan, beri
kesempatan orang tua untuk melihat anak setiap saat dengan maksud
untuk mempertahankan kontak antara mereka.
30
b. Memodifikasi lingkungan rumah sakit, agar anak tetap merasa
nyaman dan tidak asing dengan lingkungan baru.
c. Peran dan petugas kesehatan rumah sakit, dimana diharapkan petugas
kesehatan, khususnya perawat harus menghargai sikap anak karena
perawat merupakan orang yang paling dekat dengan anak selama
perawatan di rumah sakit. Sekalipun anak mengajak bermain sesuai
dengan tahap perkembangan anak untuk kepentingan terapi.
Wong (2012) menyatakan bahwa penatalaksanaan kecemasan pada
anak dapat dilakukan dengan cara mengajak anak menonton video.
Kegiatan ini merupakan salah satu terapi yang masuk pada kategori
atraumatic care, dimana pada video kartun dan video animasi
terdapat unsur gambar, warna, dan cerita sehingga anak-anak
menyukainya dan mengalihkan perhatian anak.
Amerika Academy of Pediatrics juga merekomendasikan beberapa
cara untuk mengurangi kecemasan hospitalisasi dan tindakan operasi,
yaitu dengan pemberian informasi, pendidikan kesehatan, dan
membina hubungan saling percaya dengan anak-anak dan orang tua
mereka menggunakan beberapa alat, seperti gambar, diagram, boneka,
orientasi tour area operasi atau perawatan (Brown, 2012). Namun,
dalam kenyataannya beberapa rumah sakit memiliki aturan bahwa
31
ruang operasi merupakan ruang steril yang tidak dapat semua orang
masuk ruang tersebut. Hal ini dapat dimodifikasi dengan menonton
video animasi yang menggambarkan tentang situasi dan kondisi ruang
operasi atau ruang perawatan.
7. HARS (Hamilton Anxiety Rating Scale)
Hidayat (2008) menyebutkan bahwa kecemasan dapat diukur dengan
pengukuran tingkat kecemasan menurut alat ukur kecemasan yang
disebut HARS (Hamilton Anxiety Rating Scale). Skala HARS merupakan
pengukuran kecemasan yang didasarkan pada munculnya symptom pada
individu yang mengalami kecemasan. Skala HARS terdapat 14 syptoms
yang nampak pada individu yang mengalami kecemasan. Setiap item
yang diobservasi diberi 5 tingkatan skor antara 0 (Nol Present) sampai
dengan 4 (severe).
Skala HARS pertama kali digunakan pada tahun 1959, yang
diperkenalkan oleh Max Hamilton dan sekarang telah menjadi standar
dalam pengukuran kecemasan terutama pada penelitian trial clinic. Skala
HARS telah dibuktikan memiliki validitas dan reliabilitas cukup tinggi
untuk melakukan pengukuran kecemasan pada penelitian trial clinic,
yaitu 0,93 dan 0,97. Kondisi ini menunjukkan bahwa pengukuran
kecemasan dengan menggunakan skala HARS akan diperoleh hasil yang
valid dan reliable (Hidayat, 2008).
32
Skala HARS merupakan pengukuran kecemasan yang didasarkan pada
munculnya symptom pada individu yang mengalami kecemasan.
Nursalam (2011) menyebutkan bahwa penilaian kecemasan dalam skala
HARS terdiri dari 14 item, meliputi:
a. Perasaan cemas: memiliki firasat buruk, takut akan pikiran sendiri
dan mudah tersinggung.
b. Ketegangan: merasa gelisah, gemetar, mudah terganggu dan lesu.
c. Ketakutan: takut terhadap gelap, orang asing dan binatang besar, serta
takut bila ditinggal sendiri.
d. Gangguan tidur: sukar memulai tidur, terbangun pada malam hari,
tidur tidak pulas dan mimpi buruk.
e. Gangguan kecerdasan: penurunan daya ingat, mudah lupa dan sulit
konsentrasi.
f. Perasaan depresi: hilangnya minat, berkurangnya kesenangan pada
hobi, merasa sedih, dan perasaan tidak menyenangkan sepanjang hari.
g. Gejala somatik: nyeri pada otot-otot dan kaku, gertakan gigi, suara
tidak stabil dan kedutan otot.
h. Gejala sensorik: perasaan ditusuk-tusuk, penglihatan kabur, muka
merah dan pucat serta merasa lemah.
i. Gejala kardiovaskuler: takikardi, nyeri di dada, denyut nadi mengeras,
dan detak jantung hilang sekejap.
j. Gejala pernapasan: rasa tertekan di dada, perasaan tercekik, napas
33
pendek, dan sering menarik napas panjang.
k. Gejala gastrointestinal: sulit menelan, obstipasi, berat badan menurun,
mual dan muntah, nyeri lambung sebelum dan sesudah makan, serta
merasa panas di perut.
l. Gejala urogenital: sering kencing dan tidak dapat menahan kencing.
m. Gejala vegetatif: mulut kering, mudah berkeringat, dan bulu roma
berdiri.
n. Perilaku sewaktu wawancara: gelisah, jari-jari gemetar, mengkerutkan
dahi, dan wajah tegang.
Cara penilaian kecemasan adalah memberikan nilai dengan kategori:
0 : Tidak ada gejala sama sekali (tidak ada gejala)
1 : Satu dari gejala yang ada (gejala ringan)
2 : Separuh dari gejala yang ada (gejala sedang)
3 : Lebih dari ½ gejala yang ada (gejala berat)
4 : Semua gejala ada (gejala berat sekali)
Penentuan derajat kecemasan dengan cara menjumlah nilai skor dan item
1-14 dengan hasil:
Skor kurang dari 14 : tidak ada kecemasan.
Skor 14 -20 : kecemasan ringan.
Skor 21-27 : kecemasan sedang.
Skor 28-41 : kecemasan berat.
34
Skor 42-56 : kecemasan berat sekali/panik
D. Hospitalisasi
1. Pengertian
Hospitalisasi adalah suatu proses karena alasan tertentu yang
mengharuskan anak dirawat di rumah sakit untuk mendapatkan
perawatan yang menyebabkan perubahan psikis pada anak (Astarani,
2017). Hospitalisasi, baik itu hospitalisasi jangka pendek, pembedahan,
ataupun hospitalisasi jangka panjang dari suatu penyakit yang kronik
sering kali menjadi krisis pertama yang harus dihadapi anak, terutama
selama tahun-tahun awal.
Hal ini sering menimbulkan stres karena anak akan mengalami ketakutan
terhadap orang asing yang tidak dikenalnya dan pekerja rumah sakit,
perpisahan dengan orang terdekat, kehilangan kendali, ketakutan tentang
tubuh yang disakiti, dan nyeri (Potter & Perry, 2012). Hal ini juga
didukung oleh Wong (2012) yang menyatakan bahwa kecemasan anak
yang timbul saat hospitalisasi disebabkan karena anak mengalami
perubahan, baik perubahan status kesehatan maupun perubahan
lingkungan dari kebiasaan sehari-hari serta anak memiliki keterbatasan
mekanisme koping untuk menyelesaikan kecemasan (Hockenbery &
Wilson, 2010).
35
2. Stresor hospitalisasi
Cemas akibat perpisahan atau yang biasa disebut depresi analitik,
merupakan stres utama pada bayi usia pertengahan sampai usia pra
sekolah. Pada rentang usia tersebut kecemasan dimanifestasikan dalam
tiga fase, yaitu fase protes, putus asa, dan pelepasan. Hockenberry &
Wilson (2010) menjelaskan bahwa ada 3 tahap manifestasi cemas yang
muncul akibat hospitalisasi pada anak, yaitu:
a. Fase protes
Pada fase protes, anak bereaksi secara agresif terhadap perpisahan
dengan orang tua. Anak akan menangis dan berteriak memanggil
orang tua, menolak perhatian dari orang lain dan kedukaan anak tidak
dapat ditenangkan. Pada anak usia pra sekolah, perilaku yang dapat
diobservasi adalah menyerang orang asing secara verbal (misalnya
dengan kata pergi), menyerang orang lain secara fisik (misalnya
menendang, menggigit, memukul dan mencubit), memecahkan atau
membanting mainan, dan menolak bekerja sama selama aktivitas
perawatan diri yang biasa dilakukan.
b. Fase putus asa
Pada fase putus asa, tangisan sudah mulai berhenti dan mulai muncul
depresi. Pada anak usia pra sekolah dapat ditunjukkan dengan anak
menjadi kurang aktif, tidak tertarik untuk bermain maupun terhadap
makanan, dan menarik diri dari orang lain.
36
c. Fase pelepasan
Fase pelepasan disebut juga penyangkalan. Pada tahap ini, anak
akhirnya dapat menyesuaikan diri terhadap kehilangan, lebih tertarik
pada lingkungan sekitar, mulai bermain dengan orang lain, dan mulai
tampak membangun hubungan baru. Perubahan perilaku tersebut
merupakan hasil dari kepasrahan dan bukan merupakan tanda-tanda
kesenangan.
Hal yang menjadi stresor pada anak usia pra sekolah adalah kehilangan
kendali. Kurangnya kendali akan meningkatkan persepsi ancaman dan
dapat mempengaruhi keterampilan koping anak. Anak usia pra sekolah
akan menderita akibat kehilangan kendali yang disebabkan oleh retriksi
fisik, perubahan rutinitas, dan ketergantungan yang harus dipatuhi.
Kemampuan kognitif anak membuat anak merasa berkuasa sehingga
membuat anak kehilangan kendali. Kehilangan kendali dalam konteks
kekuasaan diri merupakan faktor yang mempengaruhi secara krisis
persepsi dan reaksi anak terhadap perpisahan, nyeri, sakit dan
hospitalisasi. Pada anak usia pra sekolah, fantasi khas untuk menjelaskan
alasan sakit atau hospitalisasi adalah bahwa peristiwa tersebut merupakan
hukuman bagi kesalahannya, baik yang nyata ataupun khayalan. Respon
yang ditunjukkan anak terhadap pemikiran ini adalah merasa malu,
bersalah dan takut (Hockenberry & Wilson, 2010).
37
James & Sharma (2012) menjelaskan bahwa dampak dari hospitalisasi
pada anak usia pra sekolah ada dua yaitu distress psikis, seperti: cemas,
takut, marah, kecewa, sedih, malu, rasa bersalah, dan distres fisik,
seperti: imobilisasi, kurang tidur karena nyeri, bising, silau karena
pencahayaan yang terlalu terang, sehingga anak akan mengalami rasa
traumatik yang berlebihan dan tidak mau lagi dirawat di rumah sakit bila
tenaga kesehatan tidak mendengarkan dan mengidentifikasi persepsi
perasaan anak tersebut ketika dalam masa perawatannya. Kecemasan
pada anak usia pra sekolah ditunjukkan dengan reaksi anak yang
ketakutan akibat kurangnya pengetahuan dari anak akan penyakit, cemas
karena pemisahan, takut akan rasa sakit, kurang kontrol, marah, dan
menjadi regresi.
Hal ini menunjukkan bahwa perawat maupun orang tua sebaiknya
memberikan dukungan agar anak mampu membentuk strategi koping
yang positif sehingga anak akan lebih kooperatif dalam setiap tindakan
selama hospitalisasi. Anak usia pra sekolah membutuhkan pendampingan
dan informasi ringan yang disampaikan dengan media yang
menyenangkan dan dapat menarik perhatian mereka untuk mengarahkan
mereka agar mampu bersikap tenang dan mengendalikan emosi serta
kecemasannya, terutama kecemasan menjelang operasi (Wong, 2012).
38
E. Video kartun
1. Pengertian
Video kartun mengandung unsur gambar, warna, dan cerita sehingga
anak-anak menyukai menonton video kartun (Windura, 2008 dalam
Padila, et al, 2019). Video kartun merupakan salah satu bentuk
komunikasi grafis, yakni suatu gambar yang interpretatif yang
menggunakan simbol-simbol untuk menyampaikan suatu pesan secara
cepat dan ringkas atau sesuatu sikap terhadap orang, situasi, atau
kejadian-kejadian tertentu.
Video kartun merupakan video dengan grafis yang menarik bagi anak
usia pra sekolah. Unsur grafis pada sajian anak usia pra sekolah adalah
unsur yang paling penting karena pada anak usia pra sekolah unsur lisan
dan audio hanya mendapatkan perhatian sebesar 2% dan 98% sisanya
diporsikan pada unsur visual statis (Alire & Evans, 2010). Video kartun
cocok digunakan untuk mendistraksi/mengalihkan rasa cemas anak
menjelang operasi (Noorlaila, 2010). Teknik distraksi yang dapat
dilakukan untuk mengatasi kecemasan anak yaitu melibatkan anak dalam
permainan, karena bermain merupakan salah satu alat komunikasi yang
natural bagi anak-anak (Suryanti & Yulistiani, 2011).
39
2. Jenis kartun
Kartun memiliki beberapa jenis (Sadiman, et al, 1996 dalam Ashari,
2018), yaitu:
a. Kartun tag
Merupakan gambar kartun yang dimaksudkan hanya sekadar sebagai
gambar lucu atau olok-olok tanpa bermaksud mengulas suatu
permasalahan atau peristiwa aktual.
b. Kartun editorial
Merupakan kolom gambar sindiran di surat kabar yang mengomentari
berita dan isu yang sedang ramai dibahas di masyarakat. Sebagai
editorial visual, kartun tersebut mencerminkan kebijakan dan garis
politik media yang memuatnya, sekaligus mencerminkan pula budaya
komunikasi masyarakat pada masanya.
c. Kartun karikatur
Kartun karikatur sebenarnya kartun yang telah dilukis dengan
melakukan perubahan pada wajah atau bentuk seseorang. Contohnya
hidung menjadi besar atau mata menjadi kecil dan sebagainya.
d. Kartun animasi
Kartun animasi ialah kartun yang dapat bergerak atau hidup secara
visual dan bersuara. Kartun ini terdiri dari susunan gambar yang
dilukis dan direkam kemudian ditayangkan di televisi atau film.
Kartun jenis ini merupakan bagian penting dalam industri perfilman
pada masa kini.
40
e. Komik kartun
Merupakan perpaduan antara seni gambar dan seni sastra. Komik
terbentuk dari rangkaian gambar yang keseluruhannya merupakan
rentetan satu cerita yang pada tiap gambar terdapat balon ucapan
sebagai narasi cerita dengan tokoh/karakter yang mudah dikenal.
3. Kelebihan video kartun
Waluyanto (2006) dalam Putri (2013) menyebutkan bahwa keunggulan
dari media film kartun yaitu:
a. lebih mudah diingat penggambaran karakter yang unik;
b. efektif langsung pada sasaran yang dituju;
c. efisien sehingga memungkinkan frekuensi yang tinggi;
d. lebih fleksibel mewujudkan hal-hal khayal;
e. dapat diproduksi setiap waktu;
f. dapat dikombinasikan dengan live action;
g. kaya akan ekspresi warna.
Penelitian terdahulu yang pernah menggunakan media kartun ialah
penelitian oleh Lee, et al (2012) menunjukkan bahwa menonton video
kartun oleh pasien bedah anak adalah metode yang sangat efektif untuk
mengurangi kecemasan pra operasi. Penelitian ini menunjukkan bahwa
intervensi ini merupakan metode yang murah, mudah dikelola, dan
komprehensif untuk mengurangi kecemasan dalam populasi bedah
41
pediatrik. Hal ini sesuai dengan penelitian Hapsari (2016) yang
menunjukkan adanya perbedaan hasil nilai rerata yang signifikan pada
skala kecemasan antara kelompok eksperimen yang diberi perlakuan
distraksi menonton kartun dengan kelompok yang tidak diberikan
perlakuan. Anak lebih fokus pada kegiatan menonton film kartun
sehingga kecemasan anak teralihkan.
4. Kelemahan video kartun
a. menampilkan beberapa adegan yang tidak baik untuk anak-anak,
seperti berkelahi dan lainnya;
b. menurunkan minat anak untuk bermain dengan lingkungan sekitar.
F. Video animasi
1. Definisi video animasi
Animasi diambil dari bahasa latin, “anima” yang artinya jiwa, hidup,
nyawa, dan semangat. Animasi adalah gambar 2 dimensi yang seolah-
olah bergerak, karena kemampuan otak untuk selalu menyimpan atau
mengingat gambar sebelumnya. Animasi merupakan serangkaian gambar
gerak cepat yang terus-menerus dan memiliki hubungan satu dengan
lainnya. Animasi yang awalnya hanya berupa rangkaian dari potongan-
potongan gambar yang digerakkan sehingga terlihat hidup (Adinda &
Adjie, 2011).
42
Media animasi termasuk dalam media audio visual yang merupakan
media perantara penggunaan materi dan penyerapannya melalui
pandangan dan pendengaran yang menyenangkan sehingga mampu
mengalihkan perhatian anak ke hal yang lain dan menciptakan kondisi
yang mampu memperoleh pengetahuan, keterampilan dan menurunkan
kewaspadaan terhadap cemas, bahkan meningkatkan toleransi terhadap
cemas (Gustomi, 2017). Video animasi mengandalkan indera
pendengaran dan indera penglihatan sehingga memudahkan anak usia pra
sekolah yang memiliki daya imajinasi tinggi untuk mendapatkan
informasi ringan berbasis menyenangkan, sekaligus menurunkan
kecemasan pre operasinya (Suprobo, 2017).
2. Jenis animasi
Menurut Purnomo (2015) animasi yang dulunya mempunyai prinsip yang
sederhana, sekarang telah berkembang menjadi beberapa jenis, yaitu:
a. Animasi 2D
Animasi ini yang paling akrab dengan keseharian kita. Biasanya juga
disebut dengan film kartun. Contohnya banyak sekali, baik yang dari
televisi maupun di bioskop, misalnya Looney Tones, Tom and Jerry,
Lion King, dan banyak lagi.
43
b. Animasi 3D
Perkembangan teknologi dan komputer membuat teknik pembuatan
animasi 3D semakin berkembang dan maju pesat. Animasi 3D adalah
pengembangan dari animasi 2D dengan animasi 3D, karakter yang
diperlihatkan semakin hidup dan nyata, mendekati wujud manusia
aslinya.
c. Animasi tanah liat
Film animasi jenis ini paling jarang dibuat. Animasi ini menggunakan
plasticin, bahan lentur seperti permen karet yang ditemukan pada
tahun 1897. Tokoh-tokoh dalam animasi clay dibuat memakai rangka
khusus untuk kerangka tubuhnya, lalu kerangka tersebut ditutupi
dengan plasticin sesuai dengan tokoh yang ingin dibuat.
d. Animasi Jepang (anime)
Jepang sudah banyak memproduksi anime (sebutan film animasi
buatan Jepang).
3. Teknik animasi
Animasi memiliki beberapa teknik yang dapat digunakan, yaitu:
a. Teknik animasi hand drawn
Teknik animasi klasik yang mengandalkan kemampuan tangan dalam
membuat gambar secara manual, baik gambar karakter maupun
44
gambar background. Gambar karakter dan background akan ditumpuk
secara layering dalam satu scene, setelah itu dipotret satu-persatu
untuk mendapatkan animasi yang utuh.
b. Teknik animasi stop motion
Animasi dibuat dengan menggerakkan model dari bahan elastis yang
terbuat dari clay atau tanah liat sintetis. Obyek digerakkan sedikit
demi sedikit dan kemudian dipotret dengan kamera satu-persatu.
Setelah diedit dan disusun, maka apabila rol film dijalankan akan
memberikan efek seolah model tersebut bergerak.
c. Teknik animasi hand drawn dan komputer
Pada teknik ini, gambar sketsa kasar dibuat dengan tangan lalu di-scan
kemudian diberi warna dan finishing dengan menggunakan komputer.
Penggabungan gambar foreground dan background frame per frame
juga memanfaatkan kemampuan grafis komputer. Animasi lebih
murah jika dibandingkan dengan teknik klasik hand drawn.
d. Teknik animasi komputer (3 dimensi)
Teknik ini sedang mengalami kemajuan pesat, hal ini disebabkan
perkembangan teknologi komputer memungkinkan untuk membuat
model 3D dari komputer secara mudah. Komputer juga mampu
menerapkan tekstur dan material pada model 3D. Teknik ini, proses
45
pembuatan animasi dari awal menggunakan komputer, baik
pembuatan karakter, pengolahan gerak karakter, pembuatan 3D
background sampai penggunaan efek-efek khusus. Teknik animasi
dapat disimpulkan bahwa film animasi 2D klasik yaitu animasi yang
menggunakan metode tangan manual. Komputer digunakan dalam
pewarnaan dan penggabungan gambar. Teknik hand draws dan
komputer merupakan perpaduan dalam menghasilakan film animasi.
4. Kelebihan video animasi
Kelebihan media animasi adalah penggabungan unsur media lain seperti
audio, teks, video, image, grafik, dan sound menjadi satu kesatuan
penyajian, sehingga mengakomodasi sesuai dengan modalitas belajar
siswa. Selain itu, dapat mengakomodasi anak yang memiliki tipe visual,
auditif, maupun kinestetik. (Sudrajat, 2010).
Media animasi termasuk dalam media audio visual yang merupakan
media perantara penggunaan materi dan penyerapannya melalui
pandangan dan pendengaran yang menyenangkan sehingga mampu
mengalihkan perhatian anak ke hal yang lain dan menciptakan kondisi
yang mampu memperoleh pengetahuan, keterampilan dan menurunkan
kewaspadaan terhadap cemas, bahkan meningkatkan toleransi terhadap
cemas (Gustomi, 2017). Tour area operasi yang dimodifikasi dengan
menggunakan media video animasi dapat memudahkan anak usia pra
46
sekolah yang memiliki daya imajinasi tinggi untuk mendapatkan
informasi ringan berbasis menyenangkan, sekaligus menurunkan
kecemasan pre operasinya.
5. Kelemahan video animasi
Artawan (2010) menyebutkan bahwa kelemahan dari media animasi
diantaranya:
a. Memerlukan kreatifitas dan ketrampilan yang cukup memadai untuk
mendesain animasi yang dapat secara efektif digunakan untuk
menyampaikan informasi kepada anak.
b. Memerlukan software khusus untuk membukanya.
G. Proses fisiologis dari video kartun dan video animasi dapat
menurunkan kecemasan
Kecemasan muncul disebabkan otak menstimulasi saraf otonom sehingga
terjadi pelepasan epinefrin oleh kelenjar adrenal. Adanya stimulus sensori
yang menyenangkan menyebabkan pelepasan endorfin yang bisa
menghambat stimulus cemas sehingga stimulus cemas yang ditransmisikan
ke otak berkurang serta meningkatkan rasa rileks dan nyaman (Potter &
Perry, 2012). Ketika anak mendapatkan rangsangan video yang mereka lihat
dan dengar akan menstimulasi hipotalamus, mensekresi CRF dan
menginduksi pitiutari serta menghasilkan ACTH dan meningkatkan kelenjar
adrenal. Akibat ACTH menghasilkan cortisol dalam jumlah banyak dan
mampu mensupresi limfosit T yang mengakibatkan ketahanan tubuh
47
menurun. Hipotalamus, amigdala dan septum semuanya terlibat dalam
proses ini dengan cara memberi masukan pada hipotalamus. Hubungan
semacam ini memungkinkan hipotalamus melakukan respon penyesuaian
dengan cara mengubah pelepasan hormon dan melakukan reaksi
autodinamik sebagi respon terhadap bahaya mengancam. Neurohormonal
yang stabil akan mempengaruhi daya tahan tubuh sehingga kecemasan
berkurang (Putra, 2011).
H. Konsep teori caring menurut Kristen Swanson
Leininger (1997 dalam Potter & Perry, 2012) mengungkapkan bahwa caring
merupakan kegiatan langsung untuk memberikan dukungan dan fasilitas
kepada seseorang dengan mengantisipasi kebutuhan pasien untuk
meningkatkan kondisi kehidupan manusia tanpa pamrih dan saling
ketergantungan. Sobel (1989 dalam Dwiyanti, 2010) menjelaskan bahwa
caring sebagai suatu moral imperative (bentuk moral) sehingga perawat
harus terdiri dari orang-orang yang bermoral baik dan memiliki kepedulian
terhadap kesehatan pasien yang mempertahankan martabat dan menghargai
pasien sebagai seorang manusia, termasuk pada pasien anak.
Swanson (1991 dalam Potter & Perry 2012) amendefinisikan caring sebagai
suatu cara pemeliharaan hubungan dengan saling menghargai orang lain,
disertai perasaan memiliki dan tanggung jawab. Caring merupakan proses
yang terus ada dalam dinamika hubungan pasien-perawat. Ada yang melihat
48
proses ini sebagai hubungan yang linear, namun juga harus dianggap
sebagai hubungan siklik. Proses yang terjadi harus selalu diperbarui karena
peran perawat untuk membantu pasien mencapai kesehatan dan
kesejahteraan.
Benner (2004 dalam Potter & Perry, 2012) mengatakan bahwa hubungan
pemberi layanan dapat bersifat terbuka dan tertutup. Peran sebagai perawat
dalam pemberi layanan kepada pasien bukan hanya sekedar untuk
melakukan tugasnya. Ada hubungan antara pemberi dan penerima
pelayanan (asuhan keperawatan) yang terbentuk sejak awal mulai dari saling
mengenal sampai timbulnya rasa kepedulian antara perawat dan anak.
Empati dan rasa kasihan perawat merupakan bagian alami dari proses setiap
pertemuan dengan pasien. Akan tetapi hal ini tidak akan terjadi jika tidak
ada caring dalam proses tersebut.
Caring merupakan proses bagaimana perawat mengerti kejadian yang
berarti di dalam hidup seseorang, hadir secara emosional, melakukan suatu
hal kepada orang lain sama seperti melakukan terhadap diri sendiri,
memberi informasi dan memudahkan jalan seseorang dalam menjalani
transisi kehidupan serta menaruh kepercayaan seseorang dalam menjalani
hidup (Swanson, 1991 dalam Potter & Perry, 2012). Sikap pelayanan yang
dinilai pasien terdiri dari bagaimana perawat menjadikan pertemuan yang
49
bermakna bagi pasien, menjaga kebersamaan, dan bagaimana memberikan
perhatian.
Gambar 2.2 Struktur teori caring. Sumber: Swanson (1993) dalam Alligood & Tomey (2014).
Swanson sebelumnya telah banyak mempelajari keperawatan psikososial
yang menitikberatkan pada konsep kehilangan, stress, koping, hubungan
interpersonal, manusia dan kemanusiaan, lingkungan serta caring (Alligood
& Tomey, 2014). Caring harus dimiliki oleh setiap perawat dalam
memberikan asuhan keperawatan kepada pasien terutama pada pasien anak
yang mengalami kecemasan pra operasi. Aspek caring tersebut dapat berupa
tindakan atraumatik (Hockenberry & Wilson, 2010). Swanson menyebutkan
ada lima dimensi yang mendasari konsep caring (1991 dalam Potter &
Perry, 2012), yaitu:
a. Maintaining Belief
Maintaining belief merupakan menumbuhkan keyakinan seseorang
dalam melalui setiap peristiwa hidup dan masa-masa transisi dalam
hidupnya serta menghadapi masa depan dengan penuh keyakinan,
meyakini kemampuan orang lain, menumbuhkan sikap optimis,
50
membantu menemukan arti atau mengambil hikmah dari setiap peristiwa,
dan selalu ada untuk orang lain dalam situasi apa pun.
Adapun subdimensi yang terdapat dalam maintaining belief, yaitu:
1) Believing in
Perawat mendengarkan keluhan-keluhan anak dan mempercayai
semua yang dirasakan anak yang mungkin terjadi pada semua orang
yang mengalami masa transisi.
2) Offering a hope-filled attitude
Memberikan dorongan dengan berperilaku sebagai perawat yang
perhatian dan peduli terhadap masalah yang dialami anak.
3) Maintaining realistic optimism
Menunjukkan dan memelihara sikap optimisme perawat dan harapan
terhadap masalah yang menimpa anak secara realistis serta
mendorong dan meningkatkan sikap optimisme dan harapan yang
dimiliki anak.
4) Helping to find meaning
Membantu anak memaknai hal yang sedang dialami sehingga secara
perlahan anak dapat memahami dan menerima bahwa setiap orang
dapat mengalami masalah seperti yang dialami olehnya sekarang.
5) Going the distance
Mempererat hubungan dengan anak dan tetap mempertahankan peran
sebagai perawat sehingga menumbuhkan rasa percaya anak terhadap
perawat.
51
b. Knowing
Merupakan memahami makna pengalaman hidup anak dengan
menghindari asumsi. Mempertahankan kepercayaan adalah dasar dari
caring keperawatan, knowing dianggap suatu pembelajaran terhadap
pengalaman hidup anak dengan mengesampingkan asumsi perawat yang
mengetahui kebutuhan anak, menggali atau mencari informasi anak
secara detail, peka terhadap bahasa verbal dan non verbal anak, serta
melibatkan orang tua dalam tindakan keperawatan. Pada tahap ini
perawat menggali dan memahami perasaan anak terkait kecemasan yang
dialami.
Subdimensi yang terdapat dalam knowing, yaitu:
1) Avoiding assumptions (menghindari asumsi)
Menghindari adanya perbedaan asumsi-asumsi dengan menyamakan
persepsi antara pasien dan anak.
2) Assessing thoroughly (penilaian menyeluruh)
Melakukan pengkajian secara holistic yaitu berdasarkan aspek
biologis, psikologis, sosial, spiritual dan kultural.
3) Seeking clues (mencari petunjuk)
Upaya untuk menemukan informasi-informasi yang mendalam dan
menyeluruh tentang anak.
4) Centering on the one cared for (fokus pada pelayanan satu orang)
Perawat memberikan asuhan keperawatan fokus kepada anak.
52
5) Engaging the self of both (mengikat diri atau keduanya)
Menjalankan fungsi sebagai perawat secara utuh dan saling bekerja
sama dalam melaksanakan asuhan keperawatan yang efektif.
c. Being with
Pada tahap ini, anak berbagi perasaan tanpa beban dan secara emosional.
Perawat menawarkan dukungan, kenyamanan, pemantauan dan
mengurangi intensitas perasaan yang tidak nyaman bagi anak. Perawat
bersama anak dan keluarga bekerjasama untuk melakukan tindakan
keperawatan yang membantu menurunkan kecemasan anak sebelum
menjalani operasi. Pada tahap ini perawat tidak memaksakan kehendak
anak dan keluarga.
Subdimensi yang terdapat dalam being with, yaitu:
1) Non burdening (tidak membebankan)
Perawat bekerjasama dengan anak tanpa memaksa kehendak anak
dan keluarga untuk menerima tindakan keperawatan.
2) Convering availability (menunjukkan kesediaan)
Menunjukan kesediaan perawat dalam membantu anak dan
memberikan fasilitas kepada anak untuk mencapai tahap
kesejahteraan atau well being.
3) Enduring with (menunjukkan kemampuan)
Saling berkomitmen antara perawat dan anak dalam upaya
meningkatkan kesehatan anak.
53
4) Sharing feelings (berbagi perasaan)
Saling berbagi pengalaman hidup yang bertujuan untuk
meningkatkan kesehatan anak.
Kunci utama dalam penerapan “being with” perawat menunjukkan
dengan cara kontak mata, bahasa tubuh, nada suara, mendengarkan serta
memiliki sikap positif dan bersemangat. Hal tersebut akan membentuk
sesuatu suasana keterbukaan dan saling mengerti.
d. Doing for
Perawat bersama anak melakukan sesuatu tindakan yang bisa dilakukan,
mengantisipasi kebutuhan yang diperlukan, kenyamanan, menjaga
privasi dan martabat anak. Pada tahap ini, perawat memberikan
intervensi yang atraumatik berbasis caring yaitu menonton video kartun
dan video animasi untuk menurunkan kecemasan pada anak sebelum
menjalani operasi.
Subdimensi yang terdapat dalam doing for, yaitu:
1) Comforting (memberikan kenyamanan)
Setiap memberikan asuhan keperawatan, perawat harus
memperhatikan kenyamanan anak dan menjaga privasi anak.
54
2) Performing competently (menunjukkan ketrampilan)
Tidak hanya berkomunikasi dan memberikan kenyamanan dalam
tindakannya, perawat juga perlu menunjukkan kompetensi atau skill
sebagai perawat profesional.
3) Preserving dignity (menjaga martabat anak)
Dalam melaksanakan tugas perawat harus tetap menjaga martabat
anak sebagai individu atau memanusiakan manusia.
4) Anticipating (mengatisipasi)
Perawat dalam melakukan tindakan selalu meminta persetujuan anak
dan keluarga.
5) Protecting (melindungi)
Memberikan perlindungan terhadap hak-hak anak dalam
memberikan asuhan keperawatan dan tindakan medis.
e. Enablings
Merupakan memampukan atau memberdayakan anak, memfasilitasi anak
untuk melewati masa transisi dalam hidupnya dan melewati setiap
peristiwa dalam hidupnya yang belum pernah dialami dengan
memberikan informasi, menjelaskan, dan mendukung dengan fokus
masalah yang relevan, serta menghasilkan alternatif pemecahan masalah
terhadap permasalahan anak. Pada tahap ini, perawat juga melibatkan
keluarga untuk membantu anak melewati proses persiapan sebelum
operasi.
55
Subdimensi yang terdapat dalam enablings, yaitu:
1) Validating (memvalidasi)
Memvalidasi semua tindakan yang telah dilakukan kepada anak.
2) Informing (memberikan informasi)
Menjelaskan informasi yang berkaitan dengan peningkatan
kesehatan anak.
3) Supporting (mendukung)
Mendukung pasien dalam upaya pencapaian kesejahteraan atau well
being sesuai kemampuan perawat.
4) Feedback (memberikan umpan balik)
Memberikan umpan balik atau reward terhadap apa yang dilakukan
oleh anak dalam usahanya mencapai kesembuhan atau well being.
5) Helping patients to focus generate alternatives (membantu anak
untuk fokus dan membuat alternatif)
Membantu anak untuk selalu fokus dan terlibat dalam program
peningkatan kesehatannya, baik tindakan keperawatan maupun
tindakan medis (Potter & Perry, 2012).
56
I. Kerangka Teori
Skema 2.3 Kerangka Teori
Sumber: Swanson (1993) dalam Alligood & Tomey (2014)
perawat menggali
dan memahami perasaan anak
terkait dengan
kecemasan yang
dialaminya.
Perawat
memaparkan kepada anak dan
keluarga mengenai
tindakan persiapan
menjelang operasi
memberikan
intervensi berbasis caring untuk
menurunkan
kecemasan pada anak menjalani
operasi
Perawat juga
melibatkan
keluarga untuk
membantu anak
dalam melewati
proses
persiapan sebelum
operasi.
Kecemasan
anak
berkurang
believing in (perawat
mendengarkan keluhan yang
anak rasakan menjelang
operasi) offering a hope-filled attitude
(perawat memberikan
dukungan) maintaining realistic
optimism (perawat
menunjukkan optimisme
terhadap penurunan kecemasan anak),
helping to find meaning
(perawat membantu menemukan makna akan
kecemasan yang dialami
anak) going the distance (perawat
membina hubungan saling
percaya dengan anak dan
keluarga
menonton video animasi dan video
kartun
Operasi berjalan
lancar
Perilaku yang
ditunjukkan anak:
1.Anak terlihat
tenang dan
nyaman
2.Anak kooperatif
saat dilakukan
intervensi keperawatan