bab ii landasan teori 2.1. penerimaan pajak 2.1.1 pengertian … · sanksi administrasi merupakan...
TRANSCRIPT
8
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Penerimaan Pajak
2.1.1 Pengertian Pajak
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007
(Pasal 1 ayat 1) “pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang
oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-
Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan
untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Menurut Waluyo (2011:48) “pajak adalah Iuran rakyat kepada kas Negara
berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa
timbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk
membayar pengeluaran umum”.
Menurut Andriani (2006:45) mendefinisikan pajak sebagai berikut: Pajak
adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang
wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat
prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah
untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas
negara yang menyelenggarakan pemerintahan.
Dari definisi-definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan tentang ciri-ciri yang
melekat pada pengertian pajak sebagai berikut:
1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksanaannya dan
sifatnya dapat dipaksakan.
2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjuk adanya kontraprestasi
individual oleh pemerintah.
3. Pajak dipungut oleh Negara baik pemerintah pusat maupun daerah.
9
4. Pajak diperuntukan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari
pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai public
investment.
5. Pajak dapat pula mempunyai tujuan selain budgeter, yaitu mengatur.
Untuk membiayai pembangunan tentunya membutuhkan dana yang tidak
sedikit jumlahnya. Untuk itu Negara harus memiliki pemasukan, sebagian besar
pendapatan Negara mengalir dari sektor pajak. Pajak digunakan untuk membiayai
pembangunan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat
sesuai dengan fungsi pajak yang akan dijabarkan dibawah ini.
2.1.2 Fungsi Pajak
Sebagaimana diketahui ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak dari
berbagai definisi diatas, sehingga terlihat adanya dua fungsi pajak. Menurut Ilyas dan
Suhartono (2011:2) menjelaskan dua fungsi pajak yang terdiri dari:
1. Fungsi Penerimaan (Budgeter)
Pajak berfungsi sebagai penerimaan negara dalam rangka membiayai
pengeluaran-pengeluaran negara yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
2. Fungsi Mengatur (Regulerend)
Pajak berfungsi sebagai suatu instrument untuk mencapai tujuan-tujuan
tertentu dibidang ekonomi, sosial, dan budaya. Dengan instrument pajak,
sektor ekonomi tertentu dapat digerakkan lebih cepat lagi dan daerah-daerah
10
tertentu dapat dikembangkan lebih cepat, sehingga diharapkan keseimbangan
antar sector ekonomi, daerah, dan keamanan dapat terjadi secara sehat.
3. Fungsi Demokrasi
Dengan terjadinya perubahan politik pasca reformasi, maka tuntutan
demokrasi semakin keras dan masyarakat menuntut keseimbangan antara
kewajiban sebagai pembayar pajak dengan hak mendapatkan pelayanan yang
baik dari pemerintah.
4. Fungsi Redistribusi
Fungsi ini menekankan pada pemerataan pendapatan. Hal ini dapat terjadi
dengan berlakunya tarif progresif yang mengenakan pajak lebih besar kepada
masyarakat yang berpenghasilan besar dan mengenakan pajak lebih kecil,
bahkan tidak mengenakan pajak sama sekali atas penghasilan dibawah
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
Dari uraian diatas, fungsi pajak adalah bertujuan untuk kebersamaan dalam
membangun bangsa sesuai asas pemungutan pajak yang akan dibahas dibawah ini.
2.1.3 Asas Pemungutan Pajak.
Untuk mencapai tujuan pemungutan pajak dalam memilih alternative
pemungutannya perlu berdasarkan pada azas-azas pemungutan pajak sehingga
terdapat keserasian antara pemungutan pajak dengan tujuan dan azasnya. Selain hal
tersebut yang masih diperlukan lagi pemahaman atas perlakuan pajak tertentu,
sehingga pajak diperlukaku sesuai dengan seharusnya tanpa menyalahi aturan yang
11
terdapat didalamnya. Azas-azas pemungutan pajak yang dikemukakan oleh Suandy
(2011:25) hendaknya pemungutan pajak didasarkan pada:
1. Azas Equality
Pemungutan pajak harus bersifat final adil dan merata, yaitu pembagian
pengenaan pajak diantara masing-masing subyek pajak hendaknya dilakukan
secara seimbang dengan kemampuannya. Adil dimaksudkan bahwa setiap
Wajib Pajak menyumbangkan uang untuk pengeluaran pemerintah sebanding
dengan kepentingan dan manfaat yang diminta.
2. Azas Certainty
Penetapan pajak itu tidak ditentukan sewenang-wenang dan harus ada
kepastian hukum mengenai subyeknya, obyeknya dan waktu pembayarannya.
3. Azas Convenience Of Payment
Pajak hendaknya dipungut pada saat yang tepat atau saat yang paling baik
bagi Wajib Pajak yaitu sedekat mungkin dengan saat diterimanya penghasilan.
4. Azas Economyc Of Collections
Pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat mungkin, dalam arti bahwa
biaya pemungutan pajak hendaknya lebih kecil dari hasil penerimaan
pajaknya.
2.1.4 Sistem Pemungutan Pajak
Di Negara Indonesia dikenal tiga sistem dalam pemungutan pajak yang
dikemukakan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (2006:9) adalah sebagai berikut:
12
1. Official Assesment System, adalah suatu sistem yang memberi kewenangan
pemerintah untuk menentukan besarnya pajak yang terutang. Ciri-cirinya:
Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus, Wajib
pajak bersifat pasif, Utang pajak timbul setelah dikeluarkan Surat Ketetapan
Pajak oleh fiskus.
2. Self Assessment System, adalah suatu sistem yang memberi wewenang,
kepercayaan, tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menghitung,
memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang
harus dibayar. Ciri-cirinya: Wewenang untuk menentukan besarnya pajak
terutang ada pada Wajib Pajak sendiri, Wajib Pajak aktif, mulai dari
menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang, fiskus tidak
ikut campur dan hanya mengawasi.
3. With Holding System, adalh suatu sistem pemungutan pajak yang memberi
wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang
bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib
pajak. Ciri-cirinya: wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang pada
pihak ketiga, pihak selain fiskus dan Wajib Pajak
2.1.5 Stelsel-stelsel Pemungutan Pajak
Di Indonesia dalam pemungutan pajak khususnya untuk pajak penghasilan
menggunakan ada 3 (tiga) stelsel yang umumnya digunakan dalam pemungutan
pajaknya seperti yang dikemukakan oleh Suandy (2005:33) seperti dijelaskan
dibawah ini:
13
1. Stelsel Nyata (riel stelsel)
Pengenaan pajak berdasarkan pada obyek (penghasilan yang nyata), sehingga
pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah
penghasilan yang sesungguhnya diketahui.
2. Stelsel Aggapan (fictieve stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh Undang-
Undang. Misalnya, penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun
sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah ditetapkan besarnya pajak
yang terutang untuk tahun pajak berjalan.
3. Stelsel Campuran
Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan.
Pada awal tahun. Besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan,
kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang
sebenarnya. Bila besarnya pajak menurut kenyataan lebih besar daripada
pajak menurut anggapan, maka Wajib Pajak harus menambah. Sebaliknya,
jika lebih kecil kelebihannya dapat diminta kembali.
2.1.6 Surat Pemberitahuan (SPT)
Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan
untuk melaporkan perhitungan dan pembayaran pajak yang terutang menurut
ketentuan perundang-undangan perpajakan.
Surat Pemberitahuan (SPT) secara garis besar dapat dibedakan atas 2 (dua)
macam yaitu:
14
1. SPT-Masa, adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan
perhitungan dan/atau pembayaran pajak yang terutang dalam suatu Masa
Pajak atau pada suatu saat. Batas waktu penyampaian SPT Masa paling
lambat 20 (dua puluh) hari setelah akhir masa pajak.
2. SPT-Tahunan, adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk
melaporkan perhitungan dan pembayaran pajak yang terutang dalam suatu
Tahun Pajak. Batas waktu penyampain SPT Tahunan paling lambat 3 (tiga)
bulan setelah akhir tahun pajak.
2.1.7 Sanksi Perpajakan
Sanksi perpajakan merupakan jaminan bahwa ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan perpajakan akan ditaati /dipatuhi atau sebagai alat pencegah
(preventif) agar Wajib Pajak tidak melanggar norma perpajakan.
Dalam KUP Tahun 2007, UU No. 28 Tahun 2007 (Pasal 7 ayat 1 dan 2)
dikenal dua macam sanksi,yaitu Sanksi Administrasi dan Sanksi Pidana. Ancaman
terhadap pelanggaran suatu norma ada yang diancam dengan sanksi administrasi saja,
ada yang hanya diancam sanksi pidana saja, dan ada pula yang diancam dengan
sanksi administrasi dan sanksi pidana.
Sanksi administrasi merupakan pembayaran kerugian kepada Negara. Ada 3
macam sanksi administrasi, yaitu: berupa denda, bunga, dan kenaikan. Sanksi berupa
denda dan bunga biasanya terbit setelah adanya pemeriksaan dan diakhiri dengan
terbitnya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang menyebabkan terjadinya hutang
15
pajak yang harus dibayar kemudian dilanjutkan dengan Surat Tagihan Pajak yang
merupakan bunga atas hutang pajak tersebut.
Sanksi pidana merupakan siksaan atau penderitaan dan digunakan fiskus
sebagai suatu alat hukum agar norma perpajakan dipatuhi. Ada 3 jenis sanksi pidana,
yaitu: denda pidana, kurungan, dan penjara.
2.1.8 Pengertian Pajak Penghasilan
Setiap tahun pajak dalam satu periode tahun berjalan, wajib pajak
berkewajiban membayar pajak dengan menyetorkan ke kas Negara dari penghasilan
yang mereka peroleh sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Definisi penghasilan berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
(pasal 4 ayat 1) tentang pajak penghasilan, yang dimaksud dengan
penghasilan adalah sebagai berikut: Penghasilan yaitu setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang
berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk
konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan,
dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Penghasilan dengan bertambahnya setiap kemampuan ekonomis dapat
berasal dari gaji, upah, honorarium,tunjangan atau pembayaran lain dengan nama atau
bentuk apapun yang diterima oleh orang pribadi atau wajib pajak. Dari pengertian
penghasilan diatas, maka yang dimaksud pajak penghasilan dapat diartikan yaitu
pungutan yang bersifat resmi yang ditarik oleh pemerintah berdasarkan ketentuan
perpajakan dan yang menjadi obyeknya adalah masyarakat yang berpenghasilan atas
penghasilan yang diterima dan diperoleh dalam tahun pajak sebagai suatu kewajiban
yang harus dilaksanakannya.
16
2.1.9 Subjek Pajak Penghasilan
Ketentuan mengenai Subjek Pajak atau pihak yang dituju untuk dikenakan
Pajak Penghasilan tercantum dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
yang menjadi Subyek Pajak Dalam Negeri adalah:
1. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia
lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan, atau yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan
mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
2. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, meliputi
Perseroan Terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha
Milik Negara atau daerah, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan,
perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik atau
organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap dan bentuk badan
lainnya termasuk reksadana.
3. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang
berhak.
Subjek Pajak Luar Negeri adalah:
1. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka
waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui BUT di Indonesia.
17
2. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka
waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh
penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui BUT di Indonesia.
2.1.10 Objek Pajak Penghasilan
Dalam unsur-unsur penghasilan yang menjadi objek pajak berdasarkan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, adalah meliputi:
1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorium, komisi, bonus,
gratifikasi, uang pensiun atau imbalan dalam bentuk lainnya kecuali
ditentukan lain dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan.
2. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan.
3. Laba usaha.
4. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
a. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan
badan lainnya sebagaai pengganti saham atau penyertaan modal.
b. Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya
karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu atau anggota.
18
c. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, atau pengambilalihan usaha.
d. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau
sumbangan.
5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya.
6. Bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang.
7. Dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha
koperasi.
8. Royalti.
9. Sewa dan penghasilan sehubungan dengan penggunaan harta.
10. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala.
11. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu
yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
12. Keuntungan Karena selisih kurs mata uang asing.
13. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.
14. Premi asuransi.
15. Iuran yang diterima atau diperoleh dari perkumpulan dari anggotanya yang
terdiri dari WP yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.
16. Tambahan kekayaan netto yang berasal dari penghasilan yang belum
dikenakan pajak.
19
Dari uraian unsur-unsur penghasilan yang menjadi objek pajak diatas, dapat
disimpulkan bahwa objek pajak penghasilan adalah suatu alat yang digunakan untuk
mengukur suatu objek yang akan dikenakanpajak sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
2.1.11 Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 21
Salah satu jenis pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak adalah pajak
penghasilan pasal 21. Sesuai dengan UU No.36 tahun2008 Pasal 21 yang
menjelaskan bahwa Pajak Penghasilan pasal 21 (PPh 21) adalah pajak atas
penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan
nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh wajib pajak
sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh
orang pribadi.
2.1.12 Besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
Dalam perhitungan utang pajak khusunya PPh 21 kita mengenal Penghasilan
Tidak Kena Pajak (PTKP) yang digunakan sebagai pengurang penghasilan kena
pajak. Penghasilan Tidak Kena Pajak disesuaikan dengan jumlah penerimaan yang
berlaku dimasa itu, sehingga dalam periode tertentu, Penghasilan Tidak Kena Pajak
akan terus mengalami perubahan. Secara fungsi Penghasilan Tidak Kena Pajak adalah
mencari penghasilan bersih wajib pajak setelah dikurangi biaya hidup wajar.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. PMK-162/PMK.011/2012, sejak
20
tanggal 1 Januari 2013 berlaku ketentuan besaran PTKP seperti tertera pada Tabel
II.1 berikut.
Tabel II.1
Besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
Status PTKP
TK/0 Rp 24.300.000
TK/1 Rp 26.325.000
TK/2 Rp 28.350.000
TK/3 Rp 30.375.000
K/0 Rp 26.325.000
K/1 Rp 28.350.000
K/2 Rp 30.375.000
K/3 Rp 32.400.000
K/I/0 Rp 50.625.000
K/I/1 Rp 52.650.000
K/I/2 Rp 54.675.000
K/I/3 Rp 56.700.000
Sumber : Peraturan Menteri Keuangan No. 252/PMK.03/2008
Keterangan :
/0-3 : Jumlah Tanggungan ( 0 -3 orang)
TK : Tidak Kawin
K : Kawin
K/I : Kawin, Istri mempunyai penghasilan yang digabung dengan penghasilan
suami.
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa semakin tinggi jumlah tanggungga maka
Penghasilan Kena Pajak juga akan berkurang. Akan tetapi maksimal tanggungan yang
diperbolehkan untuk saat ini adalah maksimal 3 (tiga) orang saja.
21
2.1.13 Tarif Pajak atas PKP
Untuk menghitung besarnya pajak yang harus dibayar oleh WP setelah
dikurangi dengan PTKP adalah dikalikan dengan tarif pajak berlapis Pasal 17 Ayat 1
(a) UU No. 36 tahun 2008, seperti pada tabel II.2 berikut ini:
Tabel II.2
Tarif Pajak atas PKP
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
s.d Rp 50.000.000,- 5%
Diatas Rp 50.000.000,- s.d Rp 250.000.000,- 15%
Diatas Rp 250.000.000,- s.d Rp 500.000.000,- 25%
Diatas Rp 500.000.000,- 30%
Sumber : Undang-Undang No.36 Tahun 2008
Untuk penerapan tarif pajak sebagaimana dimaksud pada tabel II.2 diatas,
jumlah PTKP dibulatkan ke bawah dalam ribuan rupiah penuh. Penerapan tarif ini
harus dilaksanakan dengan benar oleh setiap Wajib Pajak.
2.1.14 Penghitungan PPh 21
Berdasarkan Pasal 21 Undang-Undang PPh Nomor 252/PMK.03/2008 atas
status penerima penghasilan tersebut. Perbedaan itu disebabkan karena adanya PTKP
yang berbeda antar penerima.
Berikut adalah cara perhitungan PPh 21 sesuai dengan status penerimanya :
1. Penghitungan PPh Pasal 21 Pegawai Tetap
Yang dimaksud dengan pegawai tetap adalah pegawai yang menerima atau
memperoleh penghasilan dalam jumlah tertentu secara teratur, termasuk
22
anggota komisaris dan anggota pengawas yang secara teratur terus-menerus
ikut mengelola kegiatan perusahaan secara langsung, serta pegawai yang
bekerja berdasarkan kontrak untuk suatu jangka waktu tertentu sepanjang
pegawai yang bersangkutan bekerja penuh dalam pekerjaan tersebut.
Cara menghitung PPh 21 untuk karyawan tetap adalah dengan ketentuan
sebagai berikut :
a. Besarnya PPh Pasal 21 adalah tarif pasal 17 ayat 1 huruf a UU PPh x
Penghasilan Kena Pajak
b. Penghasilan kena pajak adalah penghasilan bruto - biaya jabatan dan iuran
pensiun yang dibayar pegawai dan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
c. Biaya jabatan adalah 5% dari penghasilan bruto dengan ketentuan jumlah
maksimal biaya jabatan sebesar Rp 6.000.000 (Enama Juta Rupiah ) per
tahun atau Rp 500.000 ( Lima Ratus Ribu) per bulan
d. PTKP untuk karyawati kawin hanya untuk diri sendiri karena PTKP atas
keluarga dan tanggungan diberikan kepada suami, kecuali ada surat
keterangan pemerintah daerah (minimal kecamatan) jika suaminya tidak
menerima penghasilan.
e. PTKP untuk karyawati tidak kawin sebesar diri sendiri + PTKP keluarga
yang menjadi tanggungannya.
f. PPh 21 Karyawan tetap dihitung oleh perusahaan tempatnya bekerja.
2. Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas
Pegawai hanya menerima atau memperoleh penghasilan apabila pegawai yang
bersangkutan bekerja berdasarkan jumlah hari bekerja, jumlah unit hasil
23
pekerjaan yang dihasilkan atau penyelesaian suatu jenis pekerjaan yang
diminta oleh pemberi kerja (termasuk upah harian, upah mingguan, dan upah
borongan).
a. Pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas yang dibayar bulanan adalah
tarif pasal 17 ayat 1 huruf a UU PPh x (penghasilan bruto – PTKP diri
sendiri)
b. Pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas yang tidak dibayar bulanan:
1) Pasal 17 ayat 1 huruf a UU PPh x (upah sehari – Rp 150.000).
2). Apabila jumlah penghasilan sebulan diatas PTKP untuk diri sendiri
adalah Pasal 17 ayat 1 huruf a UU PPh x (jumlah penghasilan bruto
sebulan – PTKP diri sendiri sebulan).
3. Penerima Bukan Pegawai
Orang pribadi selain pegawai tetap dan pegawai tidak tetap (tenaga lepas)
memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun dari
pemotong PPh Pasal 21 dan atau PPh Pasal 26 sebagai imbalan atas pekerjaan,
jasa atau kegiatan tertentu yang dilakukan berdasarkan perintah atau
permintaan dari pemberi penghasilan.
Penerima bukan pegawai, antara lain:
a. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas yang terdiri dari pengacara,
akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris.
b. Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang
sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan atau
peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya.
24
c. Olahragawan
d. Penasehat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator.
e. Pengarang, peneliti, dan penterjemah.
f. Pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, computer dan sistem
aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial,
serta pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan.
g. Agen Iklan
h. Pengawas atau pengelola proyek.
i. Pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi
perantara.
j. Petugas penjaja barang dagangan.
k. Petugas dinas luar asuransi.
l. Distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan
kegiatan sejenis lainnya.
Perhitungan PPh Pasal 21:
a. Berkesinambungan (menerima lebih dari 1 (satu) kali dalam setahun dari
pemberi kerja adalah tarif pasal 17 ayat 1 UU PPh dikalikan komulatif
penghasilan neto setahun. Penghasilan neto adalah 50% x penghasilan bruto
dan diberikan pengurangan PTKP diri sendiri apabila mempunyai NPWP dan
tidak mempunyai penghasilan lain. Tujuan dikenakan atas jumlah komulatif
penghasilan neto agar dapat diterapkan tarif progresif Pasal 17 UU PPh.
25
b. Tidak berkesinambungan adalah tarif Pasal 17 ayat 1 huruf a UU PPh x 50%
Penghasilan Bruto.
4. Peserta Kegiatan
Orang pribadi yang terlibat dalam suatu kegiatan tertentu, termasuk mengikuti
rapat, siding, seminar, lokakarya (workshop), pendidikan, pertunjukkan,
olahraga atau kegiatan lainnya, dan menerima atau memperoleh imbalan
sehubungan dengan keikutsertaannya dalam kegiatan tersebut. Peserta
kegiatan antara lain meliputi:
a. Peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olahraga
seni, ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi, dan perlombaan lainnya.
b. Peserta rapat, konferensi, siding, pertemuan atau kunjungan kerja.
c. Peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara
kegiatan tertentu.
d. Peserta pendidikan, pelatihan, dan magang.
e. Peserta kegiatan lainnya.
PPh Pasal 21 terutang adalah tarif Pasal 17 ayat 1 UU PPh dikalikan jumlah
pembayaran bruto.
5. Penerima Pensiun
Untuk menghitung PPh Pasal 21 penerima pensiun adalah tarif pasal 17 ayat 1
huruf a UU PPh dikalikan Penghasilan Kena Pajak. Jumlah Penghasilan Kena
Pajak adalah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya pensiun dan
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Biaya pensiun adalah 5% dari
26
penghasilan bruto dengan ketentuan jumlah maksimal Rp 2.400.000,00 per
tahun atau Rp 200.000,00 per bulan.
6. Anggota dewan komisaris atau pengawas bukan sebagai pegawai
Untuk menghitung jumlah PPh Pasal 21 untuk anggota dewan komisaris atau
pengawas bukan sebagai pegawai adalah tarif pasal 17 ayat 1 huruf a UU PPh
dikalikan jumlah komulatif Penghasilan bruto berupa pembayaran honorarium
atau imbalan yang bersifat tidak teratur.
7. Mantan pegawai
Jumlah PPh Pasal 21 adalah tarif Pasal 17 ayat 1 huruf a UU PPh dikalikan
jumlah kumulatif penghasilan berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus
atau imbalan lain yang bersifat tidak teratur.
8. Penarikan dana Pensiun oleh pegawai
Jumlah PPh Pasal 21 adalah tarif Pasal 17 ayat 1 hurud a UU PPh dikalikan
jumlah kumulatif Penghasilan bruto berupa penarikan dana pensiun oleh
peserta program pensiun yang masih berstatus sebagai pegawai dari dana
pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan.
9. Uang pesangon
Jumlah PPh Pasal 21 adalah:
a. Pesangon sampai dengan Rp 50.000.000,00 tidak terutang dan tidak
dipotong PPh Pasal 21.
b. Pesangon diatas Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan
Rp 100.000.000,00 sebesar (seratus puluh juta rupiah) sebesar 5% (lima
persen).
27
c. Pesangon diatas Rp 100.000.000,00 sampai dengan Rp 500.000.000,00
sebesar 15%.
d. Pesangon diatas Rp 500.000.000,00 sebesar 25%.
Besarnya PPh Pasal 21 tersebut bersifat final.
10. Uang manfaat pensiun, jaminan atau tabungan hari tua bersifat final
Jumlah PPh Pasal 21 adalah:
a. Sampai dengan Rp 50.000.000,00 tidak terutang dan tidak dipotong PPh
Pasal 21.
b. Diatas Rp 50.000.000,00 sebesar 5%.
Besarnya PPh Pasal 21 tersebut bersifat final.
11. Pejabat negara, PNS, TNI/POLRI, dan pensiunan berasal berasal dari
APBN/APBD
Perhitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan ini diatur sendiri oleh Peraturan
Pemerintah No. 80 Tahun 2010.
1. Penghasilan yang sifatnya rutin atau teratur diterima, antara lain berupa
gaji dan tunjangan yang terkait, sedangkan PPh Pasal 21 yang terutang
ditanggung negara.
2. Penghasilan lainnya terutang PPh Pasal 21 bersifat final:
a. Tarif 0% untuk golongan II ke bawah, tamtama, dan bintara beserta
pensiuannya.
b. Tarif 5% untuk golongan III, perwira pertama, dan pensiunannya.
c. Tarif 15% untuk golongan IV, perwira menengah dan tinggi, pejabat
negara, dan pensiunannya.
28
12 Wajib Pajak Luar Negeri
PPh Pasal 21 dihitung 20% dari jumlah penghasilan bruto. Apabila Wajib
Pajak luar negeri mempunyai Izin Kerja Tenaga Asing (IKTA) atau Kartu
Izin Tinggal Sementara (KITAS) atau tinggal di Indonesia lebih dari 183
hari, maka dianggap sebagai WPDN dan dihitung PPh Pasal 21 seperti
pegawai tetap.
Beban PPh Pasal 21 lebih tinggi 20% dikenakan kepada penerima
penghasilan yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan
berlaku untuk pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat tidak final.
2.1.15 Penerimaan Pajak
Penerimaan negara terdiri dari penerimaan dalam negeri dan hibah.
Penerimaan dalam negeri terdiri dari Penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan
pajak. Menurut Suandy (2011:2), sumber-sumber penerimaan negara dapat
dikelompokkan menjadi penerimaan dari beberapa sector, yaitu “sektor pajak,
kekayaan alam, bea dan cukai, retribusi, iuran, sumbangan, laba dari BUMN, dan
sumber-sumber lain”. Penerimaan dari sector pajak adalah yang paling utama.
Penerimaan Pajak adalah semua penerimaan negara yang terdiri atas pajak
dalam negeri dan pajak perdagangan internasional (Pasal 1 Angka 3 UU No.4 Tahun
2012 Tentang Perubahan Atas UU No. 22 Tahun 2011 Tentang Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara ( APBN) Tahun Anggaran 2012).
DJP sebagai bagian dari Kementerian Keuangan mengemban tugas untuk
mengamankan penerimaan pajak negara agar dapat selalu memenuhi target
29
penerimaan pajak yang senantiasa meningkat dari tahun ke tahun. Menurut Devano
dan Rahayu (2005:56) menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan
pajak adalah “kejelasan dan kepastian Perundang-undangan, perpajakan, tingkat
intelektual masyrakat, kualitas fiskus (intelektual, keterampilan, integritas dan moral
tinggi), dan sistem administrasi perpajakan”.
2.2 Tingkat KepatuhanWajib Pajak
2.2.1 Pengertian Wajib Pajak
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 mengenai
pembahasan tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan, terdapat pengertian-
pengertian atau istilah-istilah tersebut, antara lain adalah:
Pengertian Wajib Pajak menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
28 Tahun 2007 (Pasal 1 ayat 2) menyebutkan bahwa “Wajib Pajak adalah
orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan
pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan”.
Pengertian Badan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28
Tahun 2007 (pasal 1 ayat 3) menyebutkan bahwa Badan adalah sekumpulan
orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha
maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas,
perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau
badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma,
kongsi, koperasi, dan pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi
massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk
badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
Pengertian Wajib Pajak menurut Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan Nomor 16 Tahun 2009 “Wajib Pajak adalah orang pribadi atau
badan yang menurut ketentuan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk
30
melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak
tertentu”.
Dapat disimpulkan bahwa wajib pajak adalah orang atau badan yang
berkewajiban melaksanakan kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan yang
berlaku dalam hukum perpajakan di Negara Indonesia.
2.2.2 Kewajiban dan Hak Wajib Pajak
Dari pengertian wajib pajak yang telah dijabarkan diatas selain wajib pajak
memiliki kewajiban, wajib pajak juga diberi hak-hak dari pelaksanaan kewajibannya
tersebut. Melalui ketetapan yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak, KUP
Tahun 2007, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 (pasal 3
ayat 1), ada beberapa kewajiban dan hak yang dimiliki oleh wajib pajak.
Kewajiban Wajib Pajak adalah sebagai berikut:
1. Mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP
2. Menghitung dan membayar sendiri pajak dengan benar
3. Mengisi dengan benar SPT (SPT diambil sendiri), dan dimasukkan ke Kantor
Pelayanan Pajak dalam batas waktu yang ditentukan.
4. Menyelenggarakan pembukuan/pencatatan.
5. Jika diperiksa wajib:
a. Memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang
menjadi dasarnya dan dokumenlain yang berhubungan dengan penghasilan
yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek
yang terutang pajak.
31
b. Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang
dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan.
c. Memberi keterangan yang diperlukan.
6. Apabila dalam mengungkap pembukuan, pencatatan atau dokumen serta
keterangan yang diminta, Wajib Pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk
merahasiakan, maka kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan oleh
permintaan untuk keperluan pemeriksaan.
Adapun beberapa hak-hak Wajib Pajak diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Menerima tanda bukti SPT
2. Melakukan pembetulan SPT yang telah dimasukan.
3. Mengajukan permohonan penundaan atau pengangsuran pembayaran pajak.
4. Mengajukan permohonan perhitungan pajak yang dikenakan dalam surat
ketetapan pajak.
5. Mengajukan surat keberatan atau banding
6. Meminta pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
7. Mengajukan permohonan penghapusan dan pengurangan sanksi serta
pembetulan Surat Ketetapan Pajak yang salah.
8. Memberi kuasa kepada orang untuk melaksanakan kewajiban pajaknya.
9. Apabila Wajib Pajak dipotong oleh pemberi kerja, Wajib Pajak berhak
meminta bukti pemotongan PPh 21 kepada pemotong pajak, mengajukan surat
keberatan dan permohonan pajak.
32
2.2.3 Pengertian Kepatuhan Wajib Pajak
Ada beberapa pengertian kepatuhan wajib pajak yang dikemukakan oleh para
ahli antara lain:
Menurut Erard dan Feinstein yang dikutip oleh Chaizi Nasucha dan
dikemukakan kembali oleh Siti Kurnia (2006:111) pengertian kepatuhan
wajib pajak adalah rasa bersalah dan rasa malu, persepsi wajib pajak atas
kewajaran dan keadilan beban pajak yang mereka tanggung, dan pengaruh
kepuasan terhadap pelayanan pemerintah.
Menurut Safri Nurmanto dalam Siti Kurnia Rahayu (2010:138) mengatakan
bahwa kepatuhan perpajakan dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana
Wajib Pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak
perpajakannya.
Kepatuhan Wajib Pajak yang dikemukakan oleh Nowak (Zain, 2008:31)
diartikan sebagai suatu iklim kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban
perpajakan, tercermin dalam situasi Wajib Pajak paham atau berusaha untuk
memahami semua ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan,
mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas, menghitung jumlah pajak
yang terutang dengan benar dan membayar pajak yang terutang tepat pada
waktunya.
Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa kepatuhan wajib
pajak adalah suatu sifat taat dari wajib pajak untuk melaksanakan semua kewajiban
dan memenuhi hak perpajakannya sesuai dengan aturan yang berlaku.
Ada dua macam kepatuhan, yaitu kepatuhan formal dan kepatuhan material:
1. Kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi
kewajiban secara formal sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang
Perpajakan.
33
2. Kepatuhan material adalah suatu keadaan dimana wajib pajak secara subtantif
atau hakikatnya memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni sesuai
isi Undang-Undang Perpajakan.
Dapat disimpulkan juga kepatuhan formal adalah kepatuhan yang dapat dilih
dari penyampaian SPT dan pembayaran pajak yang terutang sudah sesuai jangka
waktu yang ditentukan. Sedangkan, kepatuhan material adalah kepatuhan yang dapat
dilihat dari pemenuhan kewajibannya sendiri (pajak penghasilan pasal 25 atau pajak
penghasilan pasal 29) maupun pajak yang dipotong atau dipungut dari pihak lain
(pajak penghasilan pasal 21,22,23).
2.2.4 Kriteria Wajib Pajak Patuh
Wajib pajak patuh adalah wajib pajak yditetapkan oleh Direktur JenderalPajak
sebagai wajib pajak yang memenuhi kriteria tertentu dimaksud dalam KMK No.
235/KMK.03/2003 tentang kriteria wajib pajak yang dapat diberikan pengembalian
pendahuluan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana diubah dengan KMK No.
192/KMK.03/2007, bahwa wajib pajak diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Tepat waktu dalam menyampaikan SPT Tahunan dalam 2 tahun terakhir.
2. Dalam tahun terakhir penyampaian SPT Masa yang terlambat tidak lebih dari
3 masa pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak berturut-turut.
3. SPT Masa yang terlambat itu disampaikan tidak lewat dari batas waktu
penyampaian SPT Masa masa pajak berikutnya.
4. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali telah
memperoleh izin untuk menunda pembayaran pajak.
34
5. Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana dibidang
perpajakan dalam waktu 10 tahun.
6. Dalam hal pelaporan keuangan diaudit oleh akuntan publik atau badan
pengawasan keuangan dan pembangunan harus dengan pendapat wajar
dengan pengecualian atau dengan pendapat wajar dengan pengecualian atau
dengan pendapat wajar dengan pengecualian tersebut tidak mempengaruhi
laba fiskal.
Dalam hal laporan keuangan wajib pajak tidak diaudit oleh akuntan, maka
wajib pajak harus mengajukan permohonan tertulis paling lambat 3 bulan sebelum
tahun buku berakhir, untuk dapat ditetapkan sebagai wajib pajak patuh ditambah
syarat menyelenggarakan pembukuan selama tahun terakhir dan wajib pajak pernah
dilakukan pemeriksaan pajak. Apabila dalam dua tahun terakhir terhadap wajib pajak
pernah dilakukan pemeriksaan pajak, maka koreksi untuk pajak yang terutang tidak
lebih dari 10%.
Jadi wajib pajak yang patuh adalah wajib pajak yang taat dan memenuhi serta
melaksanakan kewajiban perpajakan dan peraturan perundang-undangan perpajakan
dan peraturan pelaksanaan yang berlaku. Predikat wajib pajak patuh dalam arti
disiplin dan taat, tidak sama dengan wajib pajak yang berpredikat pembayar pajak
dalam jumlah besar, karena pembayar pajak terbesar sekalipun belum tentu
memenuhi kriteria sebagai wajib pajak patuh meskipun memberikan kontribusi besar
pada negara jika masih memiliki tunggakan maupun keterlambatan penyetoran dan
pelaporan pajaknya.