bab ii landasan teori 2.1 geologi daerah penelitian
TRANSCRIPT
4
BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Geologi Daerah Penelitian
Adapun peta geologi daerah penelitian tugas akhir ini adalah sebagai berikut:
Gambar 2.1 Peta Geologi Daerah Penelitian (Mangga dkk., 1993).
Berdasarkan pada Gambar 2.1, bahwa di Peta Geologi di sekitar Daerah Penelitian
Lampung City terdapat beberapa formasi, yaitu Formasi Lampung (Qtl), Endapan
Gunungapi Muda (Qhv), formasi tarahan (Tpot), dan Batu Granit Tak Terpisahkan
(Tmgr). Pada Formasi Lampung (Qtl), terdapat beberapa batuan, seperti tuff berbatu
apung, tuff riolitik, tuff padu tufit, batulempung tuffan, dan batupasir tuffan. Untuk
Endapan Gunungapi Muda (Qhv), terdapat Lava (andesit-basalt), breksi dan tuff.
5
Sedangkan untuk daerah Batu Granit Tak Terpisahkan terdapat batu granit dan
granodiorit. Namun, sesuai dengan titik pengukuran, dapat dilihat bahwa masuk ke
dalam Formasi Lampung (Qtl).
Gambar 2.2 Korelasi Satuan Peta (Mangga dkk., 1993).
Dapat dilihat pada Gambar 2.2 bahwa Formasi Lampung (Qtl), Endapan Gunungapi
Muda (Qhv), Formasi Tarahan (Tpot), dan Batu Granit Tak Terpisahkan (Tmgr)
termasuk dalam korelasi satuan peta berupa Batuan Gunung Api. Pada formasi Qtl
termasuk dalam Kuarter Plistosen. Kemudian pada formasi Qhv termasuk dalam
Kuarter Holosen. Lalu pada formasi Tarahan (Tpot) termasuk dalam Tersier
Oligosen, Eosen, dan Paleosen. Sedangkan pada formasi Tmgr termasuk dalam
Tersier Miosen Awal.
2.2 Metode Geolistrik Resistivitas
Metode geolistrik pertama digunakan oleh Conrad Schlumberger sekitar tahun 1912.
Metode geolistrik resistivitas merupakan metode yang menentukan sifat arus di dalam
bumi dengan mendeteksi arus di permukaan bumi. Deteksi ini dicapai dengan
mengukur potensial, arus dan medan elektromagnetik yang dihasilkan oleh arus
(Hendrajaya & Arif, 1990).
6
Metode geolistrik didasarkan pada asumsi bahwa bumi bersifat homogen istotropis.
Dalam hipotesis, resistivitas yang diukur adalah resistivitas sebenarnya dan tidak
bergantung pada jarak elektroda. Namun, dikarenakan bumi sebenarnya terdiri dari
lapisan dengan nilai resis yang berbeda, potensi yang diukur adalah efek dari lapisan
ini.
2.2.1 Prinsip Metode Geolistrik Resistivitas
Prinsip dari metode geolistrik adalah melihat respon potensial listrik dari elektroda
potensial yang diakibatkan oleh arus yang diinjeksikan ke bumi lewat elektroda arus.
Maka dari itu, rumus dari teori metode geolistrik didasari oleh perhitungan potensial
listrik di media tertentu akibat dari arus di dalam bumi. Apabila arus I diinjeksikan ke
bidang yang homogen dan isotropis melewati elektroda tunggal, maka arus akan
menyebar ke segala arah ekuipotensial di bumi dalam bentuk setengah bola
(Wuryantoro, 2007).
Biasanya metode ini menggunakan prinsip Hukum Ohm yang menunjukkan bahwa
hubungan tegangan V dan arus I yang dapat ditulis dengan rumus sebagai berikut:
𝑉 = 𝐼𝑅 (2.1)
dengan R merupakan Resistansi (Ω), I merupakan arus (A), dan V adalah besar
potensial (volt).
Hukum Ohm menyatakan yaitu R tidak bergantung pada I dikarenakan R bersifat
konstan, namun tidak menutup kemungkinan bahwa terdapat kondisi resistansi yang
tidak konstan (Sudirham, 2012). Apabila ditinjau pada suatu silinder konduktor yang
ditujukan pada (Gambar 2.5) dengan panjang L, luas penampang A, dan resistivitas ρ,
maka mengacu dari Burger (1992), R dirumuskan sebagai berikut:
𝑅 = 𝜌𝐿
𝐴 (2.2)
7
Gambar 2.3 Silinder Konduktor (Nurhidayah, 2013).
Pada persamaan (2.1) dilakukan proses substitusi pada persamaan (2.2), sehingga
didapat persamaan resistivitas seperti berikut:
𝜌 =∆𝑉
𝐼
𝐴
𝐿 (2.3)
dimana ρ adalah resistivitas (Ω), ΔV merupakan besar potensial (V), I merupakan arus
(A), A merupakan luas penampang (m2) dan L adalah panjang (m). Persamaan (2.3)
diaplikasikan sebagai media yang sama pada sampel batuan yang akan terukur nilai
resistivitas yang sebenarnya (True Resistivity).
2.2.2 Aliran Listrik Dalam Bumi
Ketika memasukkan dua arus pada elektroda seperti Gambar 2.5 dan 2.6, potensial
yang dekat pada titik permukaan akan dipengaruhi oleh kedua arus elektroda tersebut.
A dan B merupakan elektroda arus yang akan menginjeksikan arus ke bawah
permukaan bumi. Perbedaan nilai potensial yang dihasilkan akan diterima oleh M dan
N yang merupakan elektroda potensial.
1. Titik Arus Tunggal di Permukaan
Secara teori, pendekatan untuk mempelajari aliran bumi dianggap isotropis. Ketika
elektroda diinjeksikan ke permukaan bumi, maka aliran arus tersebut mengalir ke
segala arah.
8
Apabila udara di atasnya memiliki konduktivitas nol, maka garis potensialnya akan
berbentuk setengah bola seperti pada Gambar 2.5.
Gambar 2.4 Titik Arus tunggal di permukaan (Telford dkk., 1990).
Arus dari sumber titik membentuk medan potensial dengan garis-garis ekuipotensial
yang menyerupai belahan bumi di bawah permukaan bumi. Maka dari itu, arus yang
mengalir akan lewat permukaan yang berjari-jari r (Telford dkk., 1990), yang ditulis
seperti berikut:
𝐼 = 2𝜋𝑟2𝐽 (2.4)
lalu,
𝐽 = −𝜎𝑑𝑉
𝑑𝑟 (2.5)
kemudian,
𝐼 = −2𝜋𝑟2𝜎𝑑𝑉
𝑑𝑟 (2.6)
dengan,
𝐴 = 𝑟2 𝑑𝑉
𝑑𝑟 (2.7)
jadi,
𝐼 = −2𝜋𝜎𝐴 (2.8)
kemudian anggap 𝐴 merupakan konstanta, dengan penyelesaian persamaan (2.7)
yaitu seperti rumus dibawah ini:
𝑑𝑉
𝑑𝑟=
𝐴
𝑟2
𝑑𝑉 =𝐴
𝑟2𝑑𝑟
9
∫ 𝑑𝑉0
𝑉= 𝐴 ∫
1
𝑟2 𝑑𝑟∞
𝑟
[𝑉]𝑉0 = 𝐴 [−
1
𝑟]
𝑟
∞
𝑉 = −𝐴
𝑟 (2.9)
Substitusikan persamaan (2.9) pada (2.10), didapat
𝑉 =𝐼
2πσr (2.10)
dilihat pada resistivitas adalah kebalikan konduktivitas seperti persamaan di bawah
ini
𝜎 =1
𝜌 (2.11)
lalu substitusikan persamaan (2.11) pada (2.10), diperoleh
𝑉 = (𝐼𝜌
2𝜋)
1
𝑟 (2.12)
V merupakan beda potensial, I kuat arus dialiri oleh medium, jadi nilai resistivitas
listrik mediumnya
𝜌 = 2𝜋𝑟𝑉
𝐼 (2.13)
Persamaan tersebut adalah persamaan resistivitas dengan permukaan setengah bola
menurut Telford dkk., (1990).
2. Titik Arus Ganda di Permukaan
Jika terdapat elektroda arus A yang terletak pada permukaan suatu medium homogen,
terangkai dengan elektroda arus B dan diantaranya ada dua elektroda potensial M dan
N yang dibuat dengan jarak tertentu diperlihatkan pada Gambar 2.6, potensial yang
ada di dekat titik elektroda tersebut dipengaruhi oleh kedua elektroda arus.
10
Gambar 2.5 Dua Elektroda Arus dan Dua Elektroda Potensial di Permukaan Tanah Homogen Isotropis
Pada Resistivitas (Alotaibi dkk., 2019).
Melihat dari persamaan (2.13), potensial total di titik M adalah seperti di bawah ini
𝑉𝑀 =𝐼𝜌
2𝜋(
1
𝑟1−
1
𝑟2) (2.14)
dengan 𝑟1 dan 𝑟2 adalah jarak dari elektroda potensial M ke elektroda arus. Untuk
potensial total di titik N yaitu
𝑉𝑁 =𝐼𝜌
2𝜋(
1
𝑟3−
1
𝑟4) (2.15)
dengan 𝑟3 dan 𝑟4 yaitu jarak potensial N terhadap elektroda arus. Jadi beda potensial
(V) di titik M dan N adalah
Δ𝑉 = 𝑉𝑀 − 𝑉𝑁
∆𝑉 =𝐼𝜌
2𝜋[(
1
𝑟1−
1
𝑟2) − (
1
𝑟3−
1
𝑟4)] (2.16)
Oleh karena itu, nilai resistivitas nya yaitu
𝜌 = 𝐾∆𝑉
𝐼 (2.17)
maka,
𝐾 = 2𝜋 [(1
𝑟1−
1
𝑟2) − (
1
𝑟3−
1
𝑟4)]
−1
(2.18)
Keterangan:
11
∆𝑉 = Beda potensial antara M dan N (V)
VM = Beda potensial M (V)
VN = Beda potensial N (V)
I = Kuat arus (A)
ρ = Resistivitas (Ωm)
r1 = Jarak A ke M (m)
r2 = Jarak B ke M (m)
r3 = Jarak A ke N (m)
r4 = Jarak B ke N (m)
2.2.3 Sifat Kelistrikan Batuan
Sifat kelistrikan batuan adalah sifat batuan yang dapat menghantarkan arus. Mineral
dianggap sebagai konduktor listrik, sehingga mereka memiliki hambatan listrik
tertentu (resistivitas). Aliran arus listrik dibedakan dalam tiga jenis, seperti konduksi
secara elektronik, konduksi secara dielektrik, dan konduksi secara elektrolitik
(Telford dkk., 1990).
1. Konduksi Secara Elektronik
Konduksi elektronik terjadi karena mineral mengandung elektron bebas, sehingga
arus mengaliri dari elektron bebas tersebut. dikarenakan banyakya elektron bebas,
pola konduksi ini menjadi dalam bentuk fluks normal pada batuan logam. Sifat
masing-masing batuan yang dilalui juga mempengaruhi arus. Salah satunya yaitu
resistivitas (Hurun, 2016).
2. Konduksi Secara Dielektrik
Konduksi dielektrik terjadi karena pengaruh medan listrik, sehingga elektron dalam
bahan pindah dan berkumpul terpisah dari inti yang menyebabkan polarisasi. Batuan
atau mineral mempunyai sedikit atau bahkan tidak ada elektron bebas, sehingga
konduksi listrik dari batuan mengalir (Hurun, 2016).
12
3. Konduksi secara Elektrolitik
Konduksi elektrolitik ditemukan pada batuan yang berporositas tinggi. Batuan
umumnya berpori dan memiliki rongga, seperti hal ini air. Batuan ini menjadi
konduktor listrik dan dilakukan oleh ion elektrolit di dalam air. Kebanyakan batuan
memiliki resistivitas yang tinggi dan konduktivitas listrik yang rendah (Hurun, 2016).
2.2.4 Resistivitas Batuan
Resistivitas adalah sifat fisik yang memperlihatkan kemampuan material untuk
mencegah arus yang dilewatinya (Marescot, 2009). Secara umum, batuan dapat
diklasifikasikan menjadi tiga jenis berdasarkan nilai tahanan listriknya, yaitu:
1. Konduktor baik: 10-8 Ωm < ρ < 1 Ωm;
2. Konduktor menengah: 1 Ωm < ρ < 107 Ωm; dan
3. Isolator: ρ > 107 Ωm.
Resistivitas ditentukan oleh resistivitas semu dengan mengukur beda potensial antara
elektroda di bawah permukaan. Besarnya nilai resistivitas semu dirumuskan pada
persamaan 2.17, yang dituliskan sebagai berikut
𝜌𝑎 = 𝐾∆𝑉
𝐼 (2.19)
dimana:
𝜌𝑎= Resistivitas semu (Ωm)
V = Tegangan yang diukur (V)
K = Faktor geometri (m)
I = Kuat arus (A)
Berikut merupakan Tabel nilai resistivitas batuan yang ditunjukkan pada Tabel 2.1.
13
Tabel 2.1 Nilai Resistvitas batuan (Telford dkk., 1990).
Batuan Resistivitas (Ωm)
Batu pasir (sandstones) 200 − 8000
Batu tulis (shales) 20 − 2000
Pasir (sand) 1 − 1000
Lempung (clay) 1 − 100
Air tanah (ground water) 0,5 − 300
Tuff 2 × 103
2.2.5 Konfigurasi Schlumberger
Konfigurasi elektroda merupakan suatu model penyusunan elektroda arus dan
potensial sesuai dengan tujuan yang kita inginkan.
Gambar 2.6 Model Penyusunan elektroda arus dan potensial (Modifikasi dari Reynolds, 2005).
Dimana elektroda AB merupakan elektroda arus dan elektroda MN merupakan
elektroda potensial. Dalam pengukuran di lapangan, keempat elektroda ditancapkan
ke dalam tanah. Arus listrik yang dialirkan dari Power Supply akan ke dalam bumi
melalui elektroda arus AB. Lalu ditangkap melalui elektroda potensial MN. Ada
beberapa macam konfigurasi yang digunakan dalam penyelidikan bawah tanah, salah
satunya yaitu Konfigurasi Schlumberger.
14
Gambar 2.7 Susunan Elektroda Konfigurasi Schlumberger (Tatas dkk., 2014).
Pada Konfigurasi Schlumberger, jarak elektroda arus lebih besar daripada elektroda
potensial. Dalam pengukuran vertikal, elektroda potensial tetap di tempatnya, tetapi
elektroda arus yang berpindah. Pada konfigurasi Schlumberger mempunyai
kekurangan, yakni nilai tegangan pada elektroda MN kecil pada saat elektroda AB
yang jauh. Namun, solusinya adalah diperlukan peralatan yang mempunyai tegangan
Direct Current (DC) yang tinggi. Untuk kelebihan konfigurasi ini yaitu dapat
mengidentifikasi keberadaan formasi batuan yang tidak merata di bawah permukaan.
Dengan kata lain, dimungkinkan untuk membuat perbandingan nilai resistivitas semu
ketika terjadi perubahan dalam jarak elekrroda MN/2 (Kirsch, 2006). Menurut
Telford dkk. (1990), Faktor geometri (K) pada konfigurasi Schlumberger adalah
sebagai berikut:
𝐾 = 𝜋(𝐿2−𝑙2)
2𝑙 (2.20)
Dimana:
K = Faktor Geometri (m);
= 3,14;
L = Jarak antara elektroda A dan B (m); dan
l = jarak antara elektroda M dan N (m).
15
2.2.6 Pengukuran Vertical Electrical Sounding (VES)
Metode Vertical Electrical Sounding (VES) yaitu metode pengukuran yang
mempelajari distribusi resistivitas bawah permukaan yang sensitif secara vertikal di
bawah permukaan. Kemudian biasanya konfigurasi Schlumberger digunakan sebagai
investigasi VES (Lowrie, 2007).
Gambar 2.8 Tipe Kurva Sounding (Telford dkk., 1990).
2.3 Air Tanah
2.3.1 Pengertian Air Tanah
Air tanah berasal dari air hujan yang berada di daerah pegunungan. Air kemudian
memasuki tanah sebagai konduktor di reservoir bawah permukaan, yang mengalir dan
menempati lapisan batuan tempat air mengalir (Kirsch, 2006). Sebagian besar air
16
tanah berasal dari air permukaan yang meresap masuk ke dalam tanah, yang
merupakan suatu proses peredaran atau dikenal dengan siklus hidrologi.
Gambar 2.9 Siklus Hidrologi (Suyono, 2006).
a. Evaporasi/transpirasi, dimana air di permukaan menguap dari energi matahari
dan menjadi awan. Selain itu, ketika keadaan awan bergerak dan jatuh di bawah
permukaan air, yang biasa disebut dengan hujan.
b. Infilitrasi/perkolasi, dimana air dari penguapan dari tanah akan mengalir
melalui celah-celah batu ke permukaan air dan muncul sebagai mata air di
permukaan.
c. Air permukaan, adalah air yang terdapat di atas permukaan tanah, seperti air
laut, sungai dan danau.
Menurut Khotimah (2008), Air tanah dibedakan menjadi dua bagian, antara lain:
1. Air Tanah Dangkal
17
Air tanah dangkal yaitu air tanah yang terletak di bawah permukaan dan di atas
lapisan batuan yang kedap air. Air tanah dangkal biasanya ditemukan di jarak 100
meter dari permukaan. Akuifer ini termasuk dalam jenis akuifer bebas yang sangat
peka terhadap kondisi lingkungan setempat. karena air tanah dari akuifer dan air
permukaan tidak dipisahkan oleh formasi batuan yang kedap air (Rejekiningrum,
2009).
2. Air Tanah Dalam
Air tanah dalam yaitu air tanah yang terletak di bawah air tanah dangkal dan di antara
dua formasi batuan yang bersifat kedap air. Air tanah ini biasanya ditemukan di
akuifer yang lebih dari 100 meter. Air tanah umumnya digunakan sebagai sumber air
domestik untuk kebutuhan air penduduk, hotel, perkantoran dan industri
(Rejekiningrum, 2009).
2.3.2 Klasifikasi Air Tanah
Berdasarkan sifatnya, klasifikasi air tanah dibagi menjadi beberapa bagian, di
antaranya:
1. Akuifer, merupakan formasi geologi yang bersifat permeable yang
memungkinkan air untuk melewatinya. Misal: batu gamping, batu pasir, dan
kerikil;
2. Akuiklud, merupakan formasi geologi yang bersifat impermeable. Formasi ini
tidak memungkinkan dilewati oleh air. Misal: lempung dan lanau;
3. Akuitar, merupakan formasi kedap air dalam jumlah tertentu dan bersifat semi-
permeable. Misal: lempung pasiran; dan
4. Akuifug, merupakan formasi kedap air yang tidak dapat mengalirkan air (kebal
air). Misal: granit.
2.3.3 Akuifer
Akuifer adalah lapisan tanah dengan porositas rendah di bawah permukaan yang
mengandung air. Lapisan permeable juga dapat dipahami sebagai lapisan yang
18
memungkinkan air melewati dan menyimpannya, seperti pasir, kerikil, dan batuan
vulkanik (Suharyadi, 1984).
Gambar 2.10 Diagram Penampang Akuifer (Asdak, 1995).
Berdasarkan sifatnya, akuifer dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis, seperti
Akuifer tertekan (Confined Aquifer), dan akuifer semi tertekan (Semi Confined
Aquifer), dan Akuifer bebas (unconfined Aquifer).
1. Akuifer Bebas (Unconfined Aquifer)
Akuifer bebas adalah akuifer yang terletak pada akuifer tertutup yang bersifat kedap
air, yaitu muka air tanah. Lapisan pembatasnya adalah akuitard, dengan lapisan
bawah dan tidak ada peghalang akuifer di lapisan atas (Effendi, 2003).
2. Akuifer Tertekan (Confined Aquifer)
Akuifer tertekan yaitu akuifer dengan tekanan di atas tekanan atmosfer, dimana air
tanah berada di bawah lapisan kedap air. Kemudian akuifer jenuh air dikelilingi oleh
lapisan atas dan lapisan bawah, sehingga air mengalir ke lapisan batas (Suyono,
1976).
3. Akuifer Semi Tertekan (Semi Confined Aquifer)
19
Akuifer semi tertekan yaitu akuifer yang jenuh air, yang bagian atasnya dibatasi oleh
lapisan semi-permeable dan bagian bawahnya dibatasi oleh lapisan yang kedap air
(Suyono, 1976).
2.4 Peta Cekungan Air Tanah (CAT)
Adapun peta Cekungan Air Tanah (CAT) pada daerah penelitian dapat dilihat pada
Gambar 2.13.
Gambar 2.11 Peta Cekungan Air Tanah Daerah Penelitian (Pamsimas).
Berdasarkan peta cekungan air tanah, daerah penelitian Lampung City masuk
kedalam daerah cekungan air tanah Bandar Lampung yang ditandai dengan warna
ungu muda. Sebagian besar wilayah Bandar Lampung menjadi zona kedap udara dan
menghasilkan aliran yang jauh lebih banyka daripada komponen infiltrasi. Cekungan
Bandar Lampung terdiri dari graben batuan dasar sepanjang 8 km dan tebal 200 m
pada lapisan sedimen. Struktur barat-timur akan menjadi penghubung antara rantai
resapan Gunung Betung dengan reservoir (Rustadi dkk., 2020).