bab ii landasan teoretik a. pengertian...
TRANSCRIPT
20
BAB II
LANDASAN TEORETIK
A. Pengertian Umum
1. Pidana Mati
Pidana mati atau hukuman mati menurut KBBI
(Kamus Besar Bahasa Indonesia) merupakan pencabutan
nyawa terhadap terpidana1. Kemudian dalam Wikipedia
Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa hukuman mati adalah
suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan (atau
tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang
dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya.2 Hukuman
atau pidana mati adalah penjatuhan pidana dengan mencabut
hak hidup seseorang yang telah melakukan tindak pidana
yang diatur dalam undang-undang yang diancam dengan
hukuman mati. Hukuman mati berarti telah menghilangkan
nyawa seseorang.3
1 kbbi.web.id diakses 24 Juni 2016
2 https://id.wikipedia.org/wiki/Hukuman_mati, diakses 24 Juni 2016
3 Sejarah, Pengertian, Dasar Dan Tujuan Pidana Mati Di Indonesia,
http://www.wawasanpendidikan.com/2016/01/sejarah-pengertian-dasar-dan-tujuan-pidana-
mati-di-indonesia.html, diakses 19 Juli 2016
21
Amandemen kedua UUD 1945 Pasal 28A dengan
tegas menyebutkan bahwa : “Setiap orang berhak untuk hidup
serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”.
Lebih lanjut mengenai hak asasi manusia, diatur dalam Pasal
28I ayat (1) UUD 1945 menyatakan :
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama,
hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak
dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah
hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apa pun.”
Mengacu pada kedua ayat tersebut, maka dapat
dijelaskan bahwa pandangan tentang hak-hak individu yang
dianut oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia mengakui
apa yang dikenal oleh para filsuf dengan “Hukum Kodrat”,
sebagaimana dijelaskan di atas, yang menyatakan bahwa hak
untuk hidup adalah hak yang melekat pada setiap individu
yang tidak dapat dirampas dan dikurangi (non-derogable
rights) oleh siapapun, atas nama apapun dan dalam situasi
apapun termasuk oleh negara, atas nama hukum, agama atau
dalam situasi darurat.4
4 https://makaarim.wordpress.com/2007/10/22/beberapa-pandangan-tentang
hukuman-mati-death-penalty-dan-relevansinya-dengan-perdebatan-hukum-di-indonesia,
diakses 3 Agustus 2016
22
Dalam bukunya Sahetapy yang berjudul Ancaman
Pidana Mati dalam pembunuhan berencana, masih banyak
peraturan perundang-undangan yang masih mencantumkan
pidana mati dalam hukum positif Indonesia 5 antara lain:
1) Kejahatan terhadap keamanan negara (Pasal 104, Pasal
111 ayat (2), Pasal 124 ayat (3), Pasal 140 ayat (3)
KUHP;
2) Pembunuhan Berencana (Pasal 340) KUHP;
3) Pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan luka
berat atau mati (Pasal 365 ayat (4))
4) Pembajakan dilaut, dipantai, dipesisir atau disungai
dengan kekerasan (Pasal 444 ) KUHP;
5) Kejahatan penerbangan dan Kejahatan terhadap
sarana/prasarana penerbangan (Pasal 479k ayat (2) dan
Pasal 479o ayat (2) KUHP)
Sedangkan diluar Kitab Undang-undang Hukum
Pidana, maka kejahatan-kejahatan yang diancam dengan
pidana mati antara lain tercantum pada :
5 J.E. Sahetapy, Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana,
cet.ketiga, Setara Press Malang, Malang, 2009
23
1) Pasal 1 ayat (1) UU No. 12 Tahun 1951 tentang senjata
api, munisi atau sesuatu bahan peledak
2) Undang-undang Nomor 11 PNPS Tahun 1963 tentang
Pemberantasan Kegiatan Subversi, namun dalam
perkembangannya Undang-undang ini telah dicabut
dengan dikeluarkannya UU No. 26 Tahun 1999 tentang
Pencabutan UU No.11/PNPS/Tahun 1963.
3) Pasal 2 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
4) Pasal 36, Pasal 37 dan Pasal 41, UU No. 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM
5) UU No. 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme
6) Pasal 116 ayat (2), Pasal 118 ayat (2), Pasal 119 ayat (2),
Pasal 121 ayat (2), UU No. 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika.
7) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
8) Pasal 89 ayat (1), UU No. 35 Tahun 2014 tentang
Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak
24
Hingga saat ini tercatat 133 negara telah menghapus
hukuman mati dalam sistem hukum pidana masing-masing.
Tetapi masih ada negara lainnya termasuk Indonesia yang
masih mempertahankan hukuman mati. Penghapusan
hukuman mati sendiri sejak tahun 1985 trennya kian
menguat.6 Secara formal keberadaan hukuman mati telah
dilarang oleh instrumen hukum internasional, misalnya,
Second Optional Protocol to the ICCPR, aiming at The
Abolition of the The Death Penalty tahun 1990 dalam Pasal 1
ayat (2) yang menyatakan bahwa : “setiap negara pihak harus
mengambil semua langkah yang diperlukan untuk menghapus
hukuman mati dalam yurisdiksinya”.7
Lebih lanjut dalam Pasal 6 ayat (1) Internasional
Covenant on Civil and Politic Rights (ICCPR) menyebutkan
bahwa; “Setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang
melekat pada dirinya. Hak ini wajib dilindungi oleh hukum
dan tiada yang dapat mencabut hak itu”. Bagi negara-negara
yang belum menghapus hukuman mati, Pasal 6 ayat (2) masih
memperbolehkan diberlakukannya hukuman mati, namun
6 Hendarman Supandji., “ Eksistensi pidana mati dalam proses penegakan hukum
di Indonesia”, Jurnal Kajian Wilayah Eropa, Vol. IV , No.2 , 2008, hal 2. 7 Lihat ; Second Optional Protocol to the ICCPR, aiming at The Abolition of the
The Death Penalty tahun 1990
25
penerapannya dibatasi hanya untuk kejahatan yang sangat
serius (the most serious crimes).8
Secara faktual, keberadaan hukuman mati
bertentangan dengan hak hidup. Keberadaannya tidak dengan
sendirinya membuat efek jera bagi pelaku kejahatan dan
belum tentu menurunkan tingkat kejahatan. Uni Eropa (EU)
merupakan pihak yang paling gencar melakukan kampanye
penghapusan hukuman mati bahkan EU mewajibkan
anggotanya untuk menghapuskan hukuman mati. Sementara
Indonesia, penghapusan hukuman mati masih menjadi wacana
karena masih tingginya kejahatan berat, seperti terorisme,
korupsi dan narkoba.9
Perdebatan mengenai pidana mati tidak pernah surut.
Dalam membahas mengenai eksistensi pidana mati terdapat
dua arus pemikiran utama yaitu kelompok yang
menginginkan penghapusan pidana mati secara keseluruhan
dan kelompok yang ingin tetap mempertahankan keberadaan
pidana mati berdasarkan ketentuan hukum positif yang
8 Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, Kontroversi Hukuman Mati, kompas,
Jakarta, 2009, hal 47
9 Hendarman Supandji, Loc.cit
26
berlaku. Pendapat dari beberapa tokoh yang menentang
pidana mati antara lain :
a) Hans von Hentig (Jerman), berpendapat bahwa
sebenarnya pengaruh pidana mati sangat jelek, karena
tidak hanya berpengaruh terhadap keadaan fisik atas orang
yang terpidana tetapi fisik pada pikiran berjuta-juta orang
dengan perantaraan media massa dan seharusnya negara
wajib mempertahankan nyawa orang dalam keadaan yang
bagaimanapun. 10
b) Roeslan Saleh, berpendapat bahwa dengan tindakan
pidana mati itu, negara hanya memperlihatkan
ketidakmampuannya, kelemahannya untuk memberantas
kejahatan, jika negara masih dapat mencapai tujuannya
dengan melaksanakan penerapan pidana yang lain, maka
negara berkewajiban menghapuskan pidana mati. Alasan
lain yang harus diperhatikan adalah jika vonis hakim, dan
pidana mati itu telah dilaksanakan, maka kekeliruan itu
tidak dapat diperbaiki lagi.11
10
Ibid .Op. Cit, hal 6.
11 Ibid, hal 6
27
c) Rolling (1983), berpendapat bahwa pidana mati itu
mempunyai daya destruktif, yaitu apabila negara sudah
tidak meghormati nyawa manusia dan menganggap tepat
untuk dengan tenang melenyapkan nyawa seseorang,
maka ada kemungkinan besar akan berkurang pulalah
hormat orang pada nyawa manusia, dan perbuatan
membunuh oleh negara itu akan memancing suatu
penyusulan pula terhadapnya.12
Sedangkan pendapat beberapa tokoh yang mendukung
pidana mati, ialah:
a) Lambroso dan Gorofalo, berpendapat bahwa pidana mati
itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat
untuk melenyapkan individu yang tidak mungkin dapat
diperbaiki lagi.13
b) Oemar Seno Adjie, berpendapat bahwa selama negara kita
masih meneguhkan diri, masih bergulat dengan kehidupan
sendiri yang terancam oleh bahaya, selama tata tertib
masyarakat dikacaukan dan dibahayakan oleh anasir
12
Ibid.,
13 Ibid, hal 7
28
anasir yang tidak mengenal perikemanusiaa, ia masih
memerlukan pidana mati.14
c) Bambang Poernomo, berpendapat bahwa untuk
mengontrol kejahatan masih diperlukan ancaman keras
seperti halnya dengan hukuman mati, terutama terhadap
kejahatan yang bengis.15
J.E Sahetapy juga dianggap sebagai penentang pidana
mati, walaupun terbatas hanya mengenai pembunuhan
berencana. Dalam disertasinya yang berjudul Suatu Studi
Khusus mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap
Pembunuhan Berencana, beliau memberikan hipotesa bahwa:
a) Ancaman pidana mati dalam Pasal 340 KUHP pada
dewasa ini dalam praktik merupakan suatu ketentuan
abolisi de facto;
b) Ancaman pidana mati dalam Pasal 340 KUHP tidak akan
mengenai sasarannya selama ada beberapa faktor seperti
lembaga banding, lembaga kasasi, lembaga grasi,
kebebasan hakim, dan “shame culture”;
14
Ibid, hal 8
15 Ibid.
29
c) Dari segi kriminologi sangat diragukan manfaat pidana
mati.16
Saat ini Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana
(RUU KUHP) Tahun 2015 masih mencantumkan hukuman
mati sebagai salah satu bentuk pemidanaan. Dalam RUU
KUHP, hukuman mati masih termasuk pidana pokok namun
bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif.
Hukuman mati dalam RUU KUHP diatur dalam Pasal 66 ayat
(1), menyatakan bahwa “Pidana mati merupakan pidana
pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara
alternatif ”. Lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 66 RUU
KUHP menyatakan bahwa :
Pidana mati dicantumkan dalam pasal tersendiri untuk
menunjukkan bahwa jenis pidana ini benar-benar bersifat
khusus. Jika dibandingkan dengan jenis pidana yang lain,
pidana mati merupakan jenis pidana yang paling berat. Oleh
karena itu, harus selalu diancamkan secara alternatif dengan
jenis pidana lainnya yakni pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling lama 20 (tahun).
RUU KUHP menempatkan hukuman pokok dalam
rumusan sebagai pidana yang bersifat khusus dan diancamkan
secara alternatif. Pidana mati dicantumkan dalam pasal
tersendiri untuk menunjukkan bahwa jenis pidana ini benar-
16
J.E. . Sahetapy, Op. cit. hal. 18
30
benar bersifat khusus. Jika dibandingkan dengan jenis pidana
yang lain, pidana mati merupakan jenis pidana yang paling
berat. Pidana mati ini harus selalu diancamkan secara
alternatif dengan jenis pidana lainnya, yakni pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh)
tahun. Pidana mati dapat dijatuhkan pula secara bersyarat,
dengan memberikan masa percobaan, sehingga dalam
tenggang waktu masa percobaan tersebut terpidana
diharapkan dapat memperbaiki diri sehingga pidana mati
tidak perlu dilaksanakan. 17
2. Eksekusi Pidana Mati
Eksekusi pada dasarnya merupakan salah satu
kewenangan jaksa yang diatur undang-undang untuk
melaksanakan putusan hakim. Putusan hakim yang dapat
dilakukan eksekusi hanyalah putusan hakim yang sudah
memperoleh kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde).
Eksekusi adalah pelaksanaan terhadap putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.18
Menurut
teoretik dan praktik, suatu putusan pengadilan telah
17
http://reformasikuhp.org/data/wp-content/uploads/2015/11/Monograf-icjr-fgd-
29-Oktober-2015.pdf, diakses 25 Agustus 2016 18
RONI EFENDI, Kedudukan Masa Tunggu Eksekusi Bagi Terpidana Mati
Dalam Sistem Pemidanaan, http://scholar.unand.ac.id/10727/pdf, diakses 18 Agustus 2016
31
berkekuatan hukum tetap apabila terdakwa dan penuntut
umum telah menerima putusan sebagaimana dinyatakan
dalam “surat pernyataan menerima putusan”, jika upaya
hukum tidak dipergunakan sehingga tenggang waktunya
terlampaui, apabila diajukan permohonan banding dan
kemudian dicabut kembali dan adanya permohonan grasi
yang diajukan disertai permohonan penangguhan eksekusi.19
Lebih lanjut dalam Pasal 270 KUHAP juga
menyatakan bahwa: “Pelaksanaan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa,
yang untuk itu panitera mengirimkan salinan putusan
kepadanya”. Sehingga eksekusi putusan pengadilan baru
dapat dilakukan oleh jaksa setelah jaksa menerima salinan
surat putusan panitera. Mengenai "dalam jangka waktu
beberapa lama" Panitera harus sudah mengirimkan salinan
surat putusan itu kepada Jaksa, hal itu tidak diatur dalam
KUHAP. Akan tetapi Mahkamah Agung menganggap wajar
19
Lilik Mulyadi, Hukum Acara PidanaNormatif, Teoretis, Praktik dan
Permasalahannya, cet.ke-1, edisi Pertama, PT Alumni, Bandung, 2007, hal. 287
32
apabila jangka waktu pengiriman itu diberi batas, yakni
eksekusi putusan oleh Jaksa dapat segera dilaksanakan..20
Dikaji dari perspektif sejarahnya, hukuman mati telah
dikenal pada zaman Romawi yaitu dengan telah diterapkan
hukuman mati oleh Socrates tahun 399 SM dengan metode
minum racun. Selain racun, eksekusi hukuman mati dilakukan
dengan metode 21
:
Suntik mati dengan tiga kombinasi zat yang digunakan
terdiri dari sodium thiopental (sejenis obat tidur, shingga
si terhukum mati menjadi tidak sadar), pancuronium
bromide (berfungsi untuk melumpuhkan otot perut dan
paru-paru), dan potassium klorida (menyebabkan jantung
berhenti).
Setrum, terpidana ditempatkan pada kursi khusus dan
disetrum selama 4 (empat) menit menggunakan 2000V, 7
(tujuh) menit berikutnya 1000V dan 2 (dua) menit terakhir
208V.
Kamar Gas dengan diairi gas hydrocyanic yang berfungsi
menghancurkan kemampuan memproses hermaglobin
darah hingga meninggal
Digantung yang berdiri diatas lantai berlubang seperti
jendela dengan leher dijerat tali, lalu jendela lantai dibuka,
terpidana akan meluncur jatuh dan terjerat
Penggal/pancung, terpidana dipenggal lehernya. Metode
ini biasa dilakukan eksekutor manusia dan juga dengan
bantuan alat khusus seperti di Perancis disebut guillotine.
Metode ini banyak digunakan di Eropa dan negara-negara
islam sebelum abad ke-17.
20
Lihat SEMA NO. 21 TAHUN 1983 ttg Batas Waktu Pengiriman Salinan
Putusan Pada Jaksa
21 Lilik Mulyadi, Op.Cit, hal 288
33
Kemudian perkembangannya di Indonesia, dalam hal
pengadilan menjatuhkan putusan pidana mati maka
pelaksanaannya dilakukan menurut ketentuan undang-undang
tidak dimuka umum (Pasal 271 KUHAP). Sebelumnya
ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan eksekusi yang
diatur dalam Pasal 11 KUHP menyatakan bahwa; “ Hukuman
mati dijalankan oleh algojo ditempat penggantungan, dengan
menggunakan sebuah jerat dileher terhukum dan
mengikatkan jerat itu pada tiang penggantungan dan
menjatuhkan papan tempat orang itu berdiri”.
Ketentuan yang diatur dalam KUHP tersebut sejak
tanggal 27 April 1964 sudah tidak berlaku lagi22
karena
ketentuan tersebut tidak sesuai lagi dengan perkembangan
keadaan serta jiwa revolusi Indonesia, maka diganti dengan
Undang-undang No. 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan
Di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer, yakni
pelaksanaan pidana mati dilakukan dengan ditembak sampai
mati.23
Tata cara pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan
22
http://www.academia.edu/7612356/Eksekusi_pidana, diakses 3 Agustus 2016
23 Lihat Pasal 1 UU No.2/1964
34
oleh pengadilan di Lingkungan peradilan umum dan Militer,
yang dalam Pasal 2 s.d Pasal 16 UU No. 2/Pnps/1964,
ditentukan bahwa tata cara proseduralnya 24
sebagai berikut :
a. Dalam jangka waktu tiga kali dua puluh empat jam saat
pidana mati dilaksanakan Jaksa Tinggi/Jaksa yang
bersangkutan harus memberitahukan kepada terpidana
tentang akan dilaksanakan pidana mati tersebut dan
apabila terpidana hendak mengemukakan sesuatu,
keterangannya atau pesannya itu diterima oleh Jaksa
Tinggi atau Jaksa tersebut (Pasal 6 ayat (1), (2));
b. Apabila terpidana sedang hamil, pelaksanaan pidana mati
baru dapat dilaksanakan empat puluh hari setelah anaknya
dilahirkan (Pasal 7);
c. Tempat pelaksanaan pidana mati ditentukan oleh Menteri
Kehakiman yaitu di suatu tempat dalam daerah hukum
pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat
pertama (Pasal 2 ayat (1));
d. Kepala Kepolisian dari daerah yang bersangkutan
bertanggung jawab mengenai pelaksanaan pidana mati
tersebut setelah mendengar nasihat dari Jaksa
Tinggi/Jaksa yang telah melakukan penuntutan pidana
mati pada peradilan tingkat pertama (Pasal 3 dan Pasal 4);
e. Pelaksanaan pidana mati dilakukan oleh regu penembak
yang terdiri dari seorang Bintara, 10 orang Tamtama,
dibawah pimpinan seorang Perwira yang semuanya dari
Brigade Mobile (Pasal 10 ayat (1));
f. Kepala Polisi dari daerah yang bersangkutan (atau perwira
yang ditunjuk) dan Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggung
jawab harus menghadiri pelaksanaan pidana mati tersebut
(Pasal 4);
g. Sebelum pelaksanaan pidana mati, maka terpidana dapat
disertai rohaniawa (Pasal 11 ayat (1). Kemudian terpidana
dapat menjalani pidana mati secara berdiri, duduk atau
berlutut (Pasal 12 ayat(1)) dan pelaksanaan pidana mati
dilaksanakan tidak dimuka umum dan dengan cara
24
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoreti, Praktik dan
Permasalahannya, Cet ke-1, edisi pertama, PT Alumni, Bandung, 2007, hal.290
35
sesederhana mungkin kecuali ditetapkan lain oleh
Presiden (Pasal 9);
h. Penguburan jenazah terpidana diserahkan kepada
keluarganya atau sahabat terpidana kecuali berdasarkan
kepentingan umum Jaksa Tinggi/Jaksa yang bersangkutan
dapat menetukan lain (Pasal 15);
i. Kemudian setelah pelaksanaan pidana mati dilaksanakan,
Jaksa Tinggi/Jaksa yang bersangkutan harus membuat
berita acara mengenai pelaksanaan pidana mati dan isi
dari berita acara tersebut kemudian harus dicantumkan
didalam surat keputusan dari pengadilan yang
bersangkutan (Pasal 16 ayat (1) dan (2))
Pengaturan lebih lanjut mengenai eksekusi pidana
mati juga diatur dalam Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2010
tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati.25
Dalam Pasal 4
Perkapolri No. 12 tahun 2010 ditentukan tata cara
pelaksanaan pidana mati yang terdiri dari tahapan-tahapan
sebagai berikut:
a. persiapan;
b. pengorganisasian;
c. pelaksanaan; dan
d. pengakhiran.
Mengenai proses pelaksanaan pidana mati, lebih
spesifik diatur dalam Pasal 15 Perkapolri No. 12 Tahun 2010
sebagai berikut :
25
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl441/hukuman-mati, diakses 15
Agustus 2016
36
a) terpidana diberikan pakaian yang bersih, sederhana, dan
berwarna putih sebelum dibawa ke tempat atau lokasi
pelaksanaan pidana mati;
b) pada saat dibawa ke tempat atau lokasi pelaksanaan
pidana mati, terpidana dapat didampingi oleh seorang
rohaniawan;
c) regu pendukung telah siap di tempat yang telah
ditentukan, 2 (dua) jam sebelum waktu pelaksanaan
pidana mati;
d) regu penembak telah siap di lokasi pelaksanaan pidana
mati, 1 (satu) jam sebelum pelaksanaan dan berkumpul di
daerah persiapan;
e) regu penembak mengatur posisi dan meletakkan 12 (dua
belas) pucuk senjata api laras panjang di depan posisi
tiang pelaksanaan pidana mati pada jarak 5 (lima) meter
sampai dengan 10 (sepuluh) meter dan kembali ke daerah
persiapan;
f) Komandan Pelaksana melaporkan kesiapan regunya
kepada Jaksa Eksekutor dengan ucapan ”LAPOR,
PELAKSANAAN PIDANA MATI SIAP”;
g) Jaksa Eksekutor mengadakan pemeriksaan terakhir
terhadap terpidana mati dan persenjataan yang digunakan
untuk pelaksanaan pidana mati;
h) setelah pemeriksaan selesai, Jaksa Eksekutor kembali ke
tempat semula dan memerintahkan kepada Komandan
Pelaksana dengan ucapan ”LAKSANAKAN” kemudian
Komandan Pelaksana mengulangi dengan ucapan
”LAKSANAKAN”;
i) Komandan Pelaksana memerintahkan Komandan Regu
penembak untuk mengisi amunisi dan mengunci senjata
ke dalam 12 (dua belas) pucuk senjata api laras panjang
dengan 3 (tiga) butir peluru tajam dan 9 (sembilan) butir
peluru hampa yang masing-masing senjata api berisi 1
(satu) butir peluru, disaksikan oleh Jaksa Eksekutor;
j) Jaksa Eksekutor memerintahkan Komandan Regu 2
dengan anggota regunya untuk membawa terpidana ke
posisi penembakan dan melepaskan borgol lalu mengikat
kedua tangan dan kaki terpidana ke tiang penyangga
pelaksanaan pidana mati dengan posisi berdiri, duduk,
atau berlutut, kecuali ditentukan lain oleh Jaksa;
37
k) Terpidana diberi kesempatan terakhir untuk menenangkan
diri paling lama 3 (tiga) menit dengan didampingi seorang
rohaniawan;
l) Komandan Regu 2 menutup mata terpidana dengan kain
hitam, kecuali jika terpidana menolak;
m) Dokter memberi tanda berwarna hitam pada baju
terpidana tepat pada posisi jantung sebagai sasaran
penembakan, kemudian Dokter dan Regu 2 menjauhkan
diri dari terpidana;
n) Komandan Regu 2 melaporkan kepada Jaksa Eksekutor
bahwa terpidana telah siap untuk dilaksanakan pidana
mati;
o) Jaksa Eksekutor memberikan tanda/isyarat kepada
Komandan Pelaksana untuk segera dilaksanakan
penembakan terhadap terpidana;
p) Komandan Pelaksana memberikan tanda/isyarat kepada
Komandan Regu penembak untuk membawa regu
penembak mengambil posisi dan mengambil senjata
dengan posisi depan senjata dan menghadap ke arah
terpidana;
q) Komandan Pelaksana mengambil tempat di samping
kanan depan regu penembak dengan menghadap ke arah
serong kiri regu penembak; dan mengambil sikap istirahat
di tempat;
r) Pada saat Komandan Pelaksana mengambil sikap
sempurna, regu penembak mengambil sikap salvo ke atas;
s) Komandan Pelaksana menghunus pedang sebagai isyarat
bagi regu penembak untuk membidik sasaran ke arah
jantung terpidana;
t) Komandan Pelaksana mengacungkan pedang ke depan
setinggi dagu sebagai isyarat kepada Regu penembak
untuk membuka kunci senjata;
u) Komandan Pelaksana menghentakkan pedang ke bawah
pada posisi hormat pedang sebagai isyarat kepada regu
penembak untuk melakukan penembakan secara serentak;
v) Setelah penembakan selesai, Komandan Pelaksana
menyarungkan pedang sebagai isyarat kepada regu
penembak mengambil sikap depan senjata;
w) Komandan Pelaksana, Jaksa Eksekutor, dan Dokter
memeriksa kondisi terpidana dan apabila menurut Dokter
bahwa terpidana masih menunjukkan tanda-tanda
38
kehidupan, Jaksa Eksekutor memerintahkan Komandan
Pelaksana melakukan penembakan pengakhir;
x) Komandan Pelaksana memerintahkan komandan regu
penembak untuk melakukan penembakan pengakhir
dengan menempelkan ujung laras senjata genggam pada
pelipis terpidana tepat di atas telinga;
y) Penembakan pengakhir ini dapat diulangi, apabila
menurut keterangan Dokter masih ada tanda-tanda
kehidupan;
z) Pelaksanaan pidana mati dinyatakan selesai, apabila
dokter sudah menyatakan bahwa tidak ada lagi tanda-
tanda kehidupan pada terpidana;
aa) Selesai pelaksanaan penembakan, Komandan regu
penembak memerintahkan anggotanya untuk melepas
magasin dan mengosongkan senjatanya; dan
bb) Komandan Pelaksana melaporkan hasil penembakan
kepada Jaksa Eksekutor dengan ucapan
”PELAKSANAAN PIDANA MATI SELESAI”.
Eksekusi pidana mati tidak dapat dilaksanakan sebelum surat
Keputusan Presiden yang menyatakan tentang penolakan grasi
tersebut diterima oleh terpidana (pemohon grasi).
B. Tujuan Pemidanaan
Negara (pemerintahan) dalam menjalankan hukum pidana
senantiasa dihadapkan dengan suatu paradoxaliteit yang oleh
Hazewinkel-Suringa dilukiskan sebagai berikut:
Pemerintah negara harus menjalankan kemerdekaan individu,
menjaga supaya pribadi manusia tidak disinggung dan tetap
dihormati. Tetapi, kadang-kadang sebaliknya pemerintah Negara
menjatuhkan hukuman dan justu menjatuhkan hukuman itu, maka
pribadi tersebut oleh pemerintah Negara diserang misalnya, yang
bersangkutan dipenjarakan. Jadi, pada satu pihak, pemerintah Negara
membela dan melindungi pribadi manusia terhadap serangan siapa
39
pun juga, sedangkan dilain pihak pemerintah negara menyerang
pribadi manusia yang hendak dilindungi dan dibela itu.26
Tujuan pemidanaan yang merupakan pembenaran atas
penggunaan atau penjatuhan pidana mempunyai banyak variasi
dengan dasar-dasar pembenarannya (rechtvaardigingsgrond). Teori
yang dikenal dengan pembenaran tersebut dikenal dalam 3 golongan
utama, yaitu :
1) Teori Pembalasan atau Teori Absolute (Retributive/Vergeldings
Theorien)
Teori pembalasan membenarkan pemidanaan karena seseorang
telah melakukan suatu tindak pidana. Terhadap pelaku tindak
pidana mutlak harus diadakan pembalasan yang berupa pidana.
Tidak dipersoalkan akibat dari pemidanaan bagi terpidana. Bahan
pertimbangan untuk pemidanaan hanyalah masa lampau,
maksudnya memperbaiki penjahat tidak dipersoalkan. Jadi
seorang penjahat mutlak harus dipidana, ibarat pepatah yang
mengatakan : Darah bersabung darah, nyawa bersabung nyawa.27
2) Teori Tujuan atau Teori Relatif (Utilitarian/Doeltheorien)
26
Utrecht, hukum pidana 1, Bandung : universitas, 1967 , hal 158
27 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya, Alumni AHM-PTHM, Jakarta, 1982, hal.59
40
Teori-teori yang yang termasuk golongan teori tujuan
membenarkan pemidanaan berdasarkan atau tergantung pada
tujuan pemidanaan yaitu : untuk perlindungan masyarakat atau
pencegahan terjadinya kejahatan (ne peccetur). Perbedaan dari
beberapa teori yang termasuk teori tujuan, terletak pada caranya
untuk mencapai tujuan dan penilaian terhadap kegunaan pidana.
Diancamkannya suatu pidana dan dijatuhkannya suatu pidana,
dimaksudkan untuk menakut-nakuti calon penjahat atau penjahat
yang bersangkutan, untuk memperbaiki penjahat, untuk
menyingkirkan penjahat, atau prevensi umum. Teori tujuan lebih
mempersoalkan akibat-akibat dari pemidanaan kepada penjahat
atau kepada kepentingan masyarakat. 28
3) Teori Gabungan (Verenegings Theorien)
Kemudian timbul golongan ketiga yang berdasarkan pemidanaan
kepada perpaduan teori pembalasan dengan teori tujuan, yang
disebut sebagai teori gabungan. Dasar pemikiran teori gabungan
adalah pemidanaan bukan saja untuk masa lalu tetapi juga untuk
masa yang akan datang, karenanya pemidanaan harus dapat
member kepuasan bagi hakim, penjahat itu sendiri maupun
28
Ibid., hal. 61
41
kepada masyarakat.29
Gabungan kedua teori ini mengajarkan
bahwa penjatuhan hukuman adalah untuk mempertahankan tata
tertib hukum dalam masyarakat dan memperbaiki pribadi si
penjahat.30
Selanjutnya secara umum, legitimasi bagi pengenaan pidana
dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu legitimasi
teleologis (teleological legitimacy) dan legitimasi deontologist
(deontological legitimacy). Legitimasi teleologis mencakup alasan-
alasan yang difokuskan pada tujuan pemidanaan untuk kepentingan
masa depan, sedangkan legitimasi deontologis lebih dititikberatkan
pada pemidanaan sebagai konsekuensi dari pelanggaran hukum
pidana. Sekarang ini pembenaran terhadap pembinaan umumnya
disandarkan baik pada legitimasi teleologis maupun legitimasi
deontologis, sebagaimana terlihat dari teori tentang pemidanaan yang
mencakup aspek pembalasan (retribution), pencegahan (deterrence),
pelumpuhan (incapacitation), perbaikan diri pelaku (rehabilitation),
dan penegasan kesalahan (denunciation). 31
29
Erdianto Effendi, Suatu Pengantar Hukum Pidana Internasional, Refika aditama,
Bandung, 2011 30
Leden Merpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta,
2005, hal.107 31
Arie Siswanto, Buku 1 : HUKUM PIDANA INTERNASIONAL SEBUAH
PEMAHAMAN AWAL, 2014, hal 12-16
42
1) Pembalasan (retribution)
Pembalasan barangkali merupakan legitimasi yang tertua bagi
pengenaan pidana. Menurut gagasan deontologis yang
dipengaruhi oleh pandangan-pandangan Immanuel Kant ini,
sudah merupakan hal yang layak apabila seseorang
mendapatkan pembalasan setimpal atas pelanggaran hukum
pidana yang sudah mereka lakukan. Pengenaan pidana
sekaligus dianggap sebagai pengakuan bahwa pelaku
pelanggaran adalah pribadi yang memiliki kemanusiaan
secara utuh (full personhood) yang mampu menjadi moral
agent, mampu menilai mana yang baik dan mana yang buruk,
mampu bertanggungjawab, serta pada akhirnya layak
mewujudkan tanggungjawabnya melalui pemidanaan. Terkait
dengan hal tersebut, dalam wujudnya yang ekstrem, gagasan
ini beranggapan bahwa pengenaan pidana untuk tujuan lain,
semisal tujuan untuk merehabilitasi pelaku, justru merupakan
penyangkalan terhadap pelaku yang pada hakikatnya adalah
manusia utuh yang mampu bertanggungjawab serta
menanggung konsekuensi hukum untuk apa yang
dilakukannya.
2) Pencegahan (deterrence)
43
Legitimasi penjatuhan pidana sebagai sarana untuk
melakukan pencegahan kejahatan banyak dipengaruhi oleh
gagasan utilitarianistik dari Jeremy Bentham. Berbeda dari
alasan retribusi yang lebih bersifat ontologis, alasan
pencegahan kejahatan lebih bernuansa teleologis. Menurut
alasan ini, penjatuhan pidana difokuskan pada manfaat
pemidanaan dalam upaya untuk mewujudkan kondisi yang
lebih baik di masa mendatang, yakni pencegahan kejahatan.
Melalui penjatuhan pidana diharapkan bahwa masyarakat
akan berpikir ulang sebelum memutuskan untuk melakukan
kejahatan seperti kejahatan yang dijatuhi pidana. Dalam
kalimat sederhana, penjatuhan pidana kepada seorang pelaku
kejahatan dilakukan supaya orang lain takut meniru perbuatan
salah yang dilakukan pelaku kejahatan itu.
3) Pelumpuhan (incapacitation)
Melucuti kemampuan pelaku kejahatan melalui pemidanaan
merupakan rationale yang ada dibalik tujuan incapacitation
ini. Ketika seorang pelaku kejahatan dijatuhi pidana,
khususnya berupa pidana pembatasan kebebasan fisik
(penjara), terdapat kehendak agar si pelaku tidak bisa
melakukan lagi kejahatan.
44
4) Perbaikan diri pelaku (rehabilitation)
Dalam teori tentang pemidanaan (sentencing theory),tujuan
rehabilitasi mewakili pandangan yang kontemporer.
Berdasarkan sudut pandang ini, seorang pelaku kejahatan
dijatuhi pidana sebagai bagian dari sebuah proses yang secara
teleologis diharapkan bermuara pada perubahan pada diri
pelaku kejahatan sedemikian rupa sehingga ia dapat menjadi
warga masyarakat yang baik. Oleh karena itu, dari perspektif
ini pembinaan terhadap seorang terpidana menjadi factor yang
amat penting. Secara implisit, sudut pandang ini juga tidak
kompatibel dengan eksistensi pidana mati (capital
punishment), karena secara hakiki pidana mati menghilangkan
peluang bagi terpidana untuk direhabilitasi.
5) Penegasan kesalahan (denunciation)
Perspektif pemidanaan ini termasuk sebagai perspektif yang
relative baru didalam member dasar pembenaran bagi
pengenaan pidana. Pemidanaan sebagai bentuk penegasan
kesalahan juga diadopsi didalam hukum pidana internasional.
Berdasarkan sisi pandang ini, keseluruhan sistem hukum
pidana internasional procedural dan juga pemidanaan
dipandang sebagai kesempatan untuk mengkomunikasikan
45
kepada pelaku, korban dan masyarakat luas perihal sifat salah
dari perbuatan pidana yang dilakukan. Dengan demikian,
dapat pula dikatakan bahwa pemidanaan memiliki aspek
didaktik bagi masyarakat luas. Selain menegaskan norma-
norma yang tidak dapat diterima oleh masyarakat,
pemidanaan juga dianggap sebagai penghormatan terhadap
prinsip rule of law yang harus ditaati.
Dalam Rancangan KUHP Nasional telah menetapkan tujuan
pemidanaan pada Buku Kesatu Ketentuan Umum dalam Bab III
dengan judul : Pemidanaan, Pidana dan Tindakan. Rancangan KUHP
Tahun 2015 dalam Pasal 54 ayat (1) menetapkan ada 4 (empat)
tujuan pemidanaan 32
, antara lain :
a. Pemidanaan bertujuan :
i. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan
menegakkan norma hukum demi pengayoman
masyarakat;
ii. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan
pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan
berguna;
32
Rancangan KUHP Nasional Tahun 2015 Pasal 54
46
iii. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak
pidana, memulihkan keseimbangan, dan
mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;dan
iv. Membebaskan rasa bermasalah pada terpidana.
Menurut Barda Nawawi Arief, perumusan tujuan pemidanaan
didalam Konsep Rancangan KUHP Nasional bertolak dari pokok-
pokok pemikiran antara lain :
a) Pada hakikatnya undang-undang merupakan sistem
hukum yang bertujuan (purposive system) sehingga
dirumuskannya pidana dan aturan pemidanaan dalam
undang-undang, pada hakikatnya hanya merupakan sarana
untuk mencapai tujuan.33
b) Dilihat secara fungsional operasional, pemidanaan
merupakan suatu rangkaian proses dan kebijakan yang
konkretisasinya sengaja direncanakan melalui tiga tahap.
Agar ada keterjalinan dan keterpaduan antara ketiga tahap
itu sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan, maka
diperlukan perumusan tujuan pemidanaan.34
33
M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada,
Jakarta , 2007, hal. 127 34
Ibid, h.128
47
c) Perumusan tujuan pemidanaan dimaksudkan sebagai
„fungsi pengendali/control‟ dan sekaligus memberikan
dasar filosofis, dasar rasionalitas dan motivasi
pemidanaan yang jelas dan terarah.35
Pernyataan ini juga terlihat dalam pendapat Romli
Atmasasmita, yang menegaskan bahwa perumusan empat tujuan
pemidanaan dalam Rancangan KUHP Nasional tersimpul pandangan
social defence, pandangan rehabilitasi dan resosialisasi terpidana,
pandangan hukum adat dan tujuan yang bersifat spiritual
berlandaskan pancasila.36
Tujuan pemidanaan tersebut dipertegas
kembali dengan mencantumkannya pada Pasal 54 ayat (2) RUU
KUHP yang menyebutkan bahwa: “pemidanaan tidak dimaksudkan
untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.
C. Hambatan-Hambatan Dalam Eksekusi Pidana Mati
Dalam eksekusi pidana mati tidak selalu berjalan sesuai
aturan. Hal ini juga disebabkan karena masih adanya hak-hak
terpidana berupa pengajuan upaya hukum luar biasa berupa
Peninjauan kembali dan Grasi. Namun dalam penggunaan upaya
hukum ini juga tidak selalu berjalan konsisten karena terdapat juga
35
Ibid. 36
Ibid.
48
hambatan-hanbatan didalamnya. Adapun hambatan yang terkait
dengan eksekusi pidana mati diantaranya :
a) Grasi
Grasi merupakan upaya hukum istimewa, yang dapat
dilakukan atas sesuatu putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap, termasuk putusan Mahkamah Agung.37
Dasar hukum pemberian grasi oleh presiden dapat dilihat dalam
Pasal 14 ayat (1) UUD 1945 bahwa: “Presiden memberikan grasi
dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah
Agung”. Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 22
Tahun 2002 Jo UU Nomor 5 Tahun 2010 tentang Grasi,
dikatakan bahwa ; Grasi adalah “Pengampunan berupa
perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan
pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh
Presiden”. 38
Hak mengajukan grasi diberitahukan kepada terpidana
oleh hakim atau hakim ketua sidang yang memutus perkara pada
tingkat pertama. Jika pada waktu putusan pengadilan dijatuhkan
terpidana tidak hadir, maka panitera yang mendampingi hakim
37
Muhammad Yasin dan Herlambang Perdana, ed, Panduan Bantuan Hukum
Indonesia : Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta, 2014, hal.246 38
Lihat UU Grasi
49
ketua sidang dalam memutus perkara pada tingkat pertama harus
memberitahukan secara tertulis kepada terpidana.39
Permohonan
grasi terhadap terpidana yang dijatuhi hukum pidana mati
sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 6 UU No. 5 Tahun 2010
tentang Grasi, yang berhak mengajukan grasi adalah :
1) Terpidana atau kuasa hukumnya;
2) Keluarga terpidana, dengan persetujuan terpidana;
3) Dalam hal terpidana dijatuhi pidana mati, permohonan
grasi dapat diajukan oleh keluarga terpidana tanpa
persetujuan terpidana.40
Lebih lanjut dalam Pasal 4 ayat (2), Pemberian grasi
oleh Presiden dapat berupa:
a) Peringanan atau perubahan jenis pidana;
b) Pengurangan jumlah pidana; atau
c) Penghapusan pelaksanaan pidana.
Sebelumnya pengaturan tentang batas waktu
permohonan grasi tidak diatur secara jelas dalam peraturan
perundang-undangan sampai dikeluarkannya UU No. 5 Tahun
2010 tentang Grasi. Dimana dalam Pasal 2 ayat (3)
39
Muhammad Yasin dan Herlambang Perdana, Loc. Cit 40
Lihat Pasal 6 UU Grasi
50
menyebutkan : “Permohonan Grasi hanya dapat diajukan 1
(satu) kali”. Lebih lanjut dalam Pasal 2 ayat (2) disebutkan
bahwa: “Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pidana mati,
pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling
rendah 2 (dua) tahun”.
Kemudian mengenai batas waktu maksimal pengajuan
Grasi sebelumnya diatur dalam Pasal 7 ayat (2) bahwa:
“Permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diajukan paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak
putusan memperoleh kekuatan hukum tetap”, namun dalam
perkembangannya pasal tersebut sudah dihapus dengan
putusan MK No 107/PUU-XIII/2015. Bagi terpidana mati,
kuasa hukum atau keluarga terpidana yang mengajukan
permohonan grasi, pidana mati tidak dapat dilaksanakan
sebelum Keputusan Presiden tentang Penolakan Pemohonan
grasi diterima oleh terpidana.41
b) Peninjaun Kembali
Peninjauan Kembali (PK) yang dalam Bahasa Belanda
dikenal dengan istilah Herziening adalah suatu upaya hukum luar
41
Muhammad Yasin dan Herlambang Perdana, Op.Cit., hal. 247
51
biasa dalam hukum pidana, terhadap suatu putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van
gewjisde).42
Peninjauan Kembali (PK) merupakan salah satu
tugas dari Mahkamah Agung yang tertuang dalam Pasal 28 ayat
(1) huruf c UU No. 14 Tahun 1985 Jo UU No. 3 Tahun 2009
tentang Mahkamah Agung, yang berbunyi: “MA bertugas dan
berwenang memeriksa dan memutus permohonan peninjauan
kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap” ketentuan diatas juga diatur dalam Pasal 24 ayat (2)
UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman,
menyebutkan bahwa: “Terhadap putusan peninjauan kembali
tidak dapat dilakukan peninjauan kembali”. Terhadap putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali
putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana
atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan
kembali kepada Mahkamah Agung (Pasal 263 ayat (1) KUHAP).
Mengenai alasan mengajukan peninjauan kembali
sebagaimana ketentuan Pasal 263 ayat (2) KUHAP, dilakukan
atas dasar:
42
Referensi Hukum dan Politik;
www.gresnews.com/berita/tips/1731208...peninjauan-kembali-pk-perkara-pidana,
diakses 2 Agustus 2016
52
a) Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan
kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu
sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan
bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau
tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau
terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang
lebih ringan;
b) Apabila dalam berbagai putusan terdapat pernyataan
bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan
sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah
terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang
lain;
c) Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu
kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Terkait upaya hukum luar biasa, pengajuan peninjauan
kembali, Pasal 268 ayat (3) membatasi bahwa “Permintaan
peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat
dilakukan satu kali saja”. Dalam hal ini, telah dilakukan
judicial review oleh Mahkamah Konstitusi yang diajukan oleh
Antazari Azhar (Mantan Ketua KPK). Dalam Putusan MK
No. 34/PUU-XI/2013, Majelis Hakim Konstitusi menyatakan,
53
bahwa Pasal 268 ayat (3) KUHAP bertentangan dengan UUD
1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.43
Peninjauan Kembali diajukan oleh terpidana Antasari
Azhar, yang didakwa turut serta menganjurkan orang lain
supaya melakukan perbuatan dengan sengaja dan
direncanakan terlebih dahulu. Terhadap Putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan tanggal 11 Februari 2010, No perkara
1532/Pid.B/2009/PN.Jkt.Sel, Antasari Azhar merasa tidak
pernah melakukan pembunuhan berencana terhadap
Nasruddin Zulkarnaen dan mengajukan Banding, Kasasi
hingga PK pada tanggal 13 Februari 2011 dengan Putusan
Nomor 117 PK/PID/2011 namun ditolak. Antasari Azhar
merasa hak konstitusionalnya dibatasi karena tidak bisa
mengajukan upaya hukum lain sebagaimana Pasal 268 ayat
(3) KUHAP yang menyatakan bahwa “Permintaan peninjauan
kembali atas suatu putusan hanya dapat diajukan satu kali
saja”. Oleh karena itu Antasari dan keluarga mengajukan uji
materiil ke MK dengan Putusan Nomor 34/PUU-XI/2013
yang mengabulkan permohonan44
.
43
Muhammad Yasin dan Herlambang Perdana, Op.Cit., hal. 245
44 ejournal.unesa.ac.id/article/15109/43/article.pdf , diaskes 7 Juni 2016
54
Adapun yang menjadi alasan bagi Mahkamah
Konstitusi untuk membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP)
45 antara lain yaitu :
1. Dengan dalih keadilan, MK membatalkan Pasal 268 ayat
(3) KUHAP yang membatasi pengajuan PK hanya satu
kali;
2. MK berpendapat upaya hukum luar biasa PK secara
historis-filosofis merupakan upaya hukum yang lahir demi
melindungi kepentingan terpidana;
3. Upaya hukum luar biasa bertujuan untuk menemukan
keadilan dan kebenaran materiil. Keadilan tidak dapat
dibatasi oleh waktu atau ketentuan formalitas yang
membatasi upaya hukum luar biasa (PK) hanya dapat
diajukan satu kali. Mungkin saja setelah diajukannya PK
dan diputus, ada keadaan baru (novum) yang substansial
baru ditemukan saat PK sebelumnya belum ditemukan;
4. Syarat dapat ditempuhnya upaya hukum luar biasa adalah
sangat materiil atau syarat yang sangat mendasar terkait
45
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt55281d1ec53ee/alasan-peninjauan-
kembali-boleh-berkali-kali, diakses 18 Agustus 2016
55
kebenaran dan keadilan dalam proses peradilan pidana
seperti ditentukan Pasal 263 ayat (2) KUHAP;
5. Peninjauan Kembali sebagai upaya hukum luar biasa yang
diatur dalam KUHAP haruslah dalam kerangka yang
demikian, yakni untuk menegakkan hukum dan keadilan.
MK menegaskan upaya pencapaian kepastian hukum
sangat layak dibatasi. Namun, tak demikian upaya
pencapaian keadilan. Sebab, keadilan kebutuhan manusia
yang sangat mendasar lebih mendasar daripada kepastian
hukum.
Putusan Judicial Review oleh Mahkamah Konstitusi
dengan Nomor 34/PUU-XI/2013, dalam Pasal 268 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sudah tentu
menimbulkan dampak dalam sistem peradilan pidana di
Indonesia yakni khususnya pada upaya hukum luar biasa
Peninjauan Kembali yang dalam putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut dinyatakan bahwa Pasal 268 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tidak mengikat dan
berkekuatan hukum, artinya bahwa peninjauan kembali dapat
56
dilakukan berkali-kali.46
Dalam perkembangannya di
penghujung Tahun 2014, Mahkamah Agung (MA) membuat
terobosan baru terkait dengan Permohonon Pengajuan
Kembali dalam Perkara Pidana. Terobosan tersebut dibuat
dalam bentuk Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA)
Nomor 7 Tahun 2014.47
Diterbitkannya SEMA ini, telah menegaskan sikap
dan pendirian Mahkamah Agung beserta jajaran pengadilan
(pidana) dibawahnya, yaitu bahwa permohonan peninjauan
kembali (PK) dalam perkara pidana dibatasi hanya satu kali
saja. Nampaknya Mahkamah Agung berpegangan pada asas
kepastian hukum (rechtzakerheid) dan asas bahwa setiap
perkara harus ada akhirnya (litis finiri oportet). Lahirnya
SEMA No. 7 Tahun 2014 ini kemudian menuai pro dan
kontra baik didalam (sebagian) internal MA maupun dari
kalangan di luar MA. Diluar MA, beberapa ahli hukum tata
Negara berpedoman pada putusan Mahkamah Konstitusi
(MK) Nomor 34/PUU-XI/2013, yang telah menyatakan Pasal
268 ayat (3) KUHAP tentang aturan PK atas perkara pidana
46
Lilik Mulyadi, Hukum acara pidana normatif, teoritis, praktik dan
permasalahannya, Bandung:Alumni, 2007, hal. 277 47
http://nartocalonlegislator.blogspot.co.id/2015/01/pro-kontra-sema-nomor-7-
tahun-2014_7.html, diakses 17 Agustus 2016
57
hanya satu kali saja tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat.48
Selain itu permasalahan mengenai pihak yang
berhak mengajukan Peninjaun kembali juga menjadi
permasalahan. Seperti yang sudah tertuang dalam Pasal 263
ayat (1) disebutkan baha pihak yang berhak mengajukan
Peninjauan Kembali adalah Terpidana atau ahli warisnya.
Namun dalam perkembangannya Jaksa pun dapat mengajukan
Peninjauan kembali.
Pengajuan peninjauan kembali oleh Jaksa dan
kemudian diterima oleh Mahkamah Agung, diyakini telah
merusak tatanan hukum Indonesia hingga kini. Rumusan dan
latar belakang historis KUHAP sudah jelas bahwa Peninjauan
Kembali mestinya merupakan hak terpidana atau ahli
warisnya. Putusan Mahkamah Agung yang telah menerima
PK oleh jaksa dalam kasus Muchtar Pakpahan dan beberapa
perkara sesudahnya. Mantan Hakim Agung Laica Marzuki
berpendapat bahwa putusan PK dalam kasus Muchtar
termasuk kasus lain seperti Djoko Tjandra dan Syahril Sabirin
dimana PK diajukan oleh jaksa, bisa saja merupakan
kekeliruan peradilan (rechtelijke dwaling). Langkah jaksa
48
Albert Aries,Menguji Efektivitas SEMA Nomor 7 Tahun 2014 ,
http://www.hukumonline.com, diakses 17 Agustus 2016
58
semacam itu tak ubahnya menerobos aturan KUHAP.
Menurut dia, langkah jaksa itu merupakan kesewenang-
wenangan hukum.49
Sehingga jika Mahkamah Agung
mengabulkan PK oleh jaksa, maka terpidana atau ahli
warisnya pun berhak untuk mengajukan PK. Alhasil,
muncullah PK di atas PK atau PK kedua. Solusinya adalah
PK atas PK.50
D. Fenomena Deret Kematian (Death Row Phenomenon)
Penundaan eksekusi yang berlarut-larut oleh Negara terhadap
para narapindana mati sering disebut sebagai Fenomena Deret
Kematian. Fenomena ini seringkali terjadi di negara yang masih
mempraktekkan hukuman mati dan dipandang sebagai pelanggaran
konstitusi di berbagai Negara.51
Dalam praktiknya kemudian setiap
kasus dimana eksekusi dilaksanakan setelah 5 (lima) tahun
penjatuhan pidana dan belum dilakukan eksekusi, dimungkinkan
adanya dasar yang kuat dan meyakinkan bahwa penundaan tersebut
merupakan tindakan tidak manusiawi atau perlakuan merendahkan
49
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol22482/pk-oleh-jaksa-rusak-tatanan-
hukum-indonesia, diaskes 3 Agustus 2016 50
ibid 51
Penghapusan Hukuman Mati dalam Praktik Pengadilan Internasional dan
Nasional, Lihat; http://referensi.elsam.or.id/wp-content/uploads/2014/12/Penghapusan-
Hukuman-Mati-dalam-Praktik-Pengadilan-Internasional-dan-Nasional.pdf, diakses 13
Agustus 2016
59
martabat manusia atau perlakuan lainnya (inhuman or degrading
punishment or other treatment).52
Fenomena penungguan eksekusi pidana mati dalam literatur
Barat ditulis sebagai wujud penderitaan para terpidana mati yang
disebabkan masa penantian yang panjang serta praktik isolasi yang
dikenakan terhadap mereka sejak hakim menjatuhkan hukuman mati
hingga hari eksekusi. Kalangan yang anti hukuman mati menganggap
fenomena tersebut sebagai penzaliman ganda oleh negara. Pasalnya,
setelah hakim memutuskan terdakwa diganjar hukuman mati,
penghukuman terhadap terpidana justru sudah berlangsung akibat
kepastian nasib bahwa dia akan dimatikan, namun tanpa kepastian
kapan eksekusi dilaksanakan. Prosesi kematian seakan bukan lagi
misteri dan masa tunggu menjelang prosesi itu diselenggarakan bisa
mencapai bilangan puluhan tahun.53
Fenomena deret kematian (Death Row Phenomenon)
merupakan kombinasi dari keadaan yang ditemukan pada saat
terpidana menunggu eksekusi mati yang menghasilkan trauma mental
yang berat dan kemunduran kondisi fisik dalam tahanan. Fenomena
ini didapat dari kondisi menunggu hukuman mati yang lama dan
kecemasan menunggu eksekusi itu sendiri ditambah dengan
52
ibid 53
www.jawapos.com/baca/opinidetail/13892/tembak_ diakses 8 Juni 2016
60
lingkungan yang terbatas, aturan sewenang-wenang, pelecehan, dan
terisolasi dari orang lain.54
Dalam konteks itu, korban eksekusi
pidana mati sesungguhnya tidak hanya mengalami satu bentuk
hukuman berupa hukuman mati, tetapi juga menjalani hukuman lain
berupa hukuman penjara. Disini, para korban sesungguhnya
mendapatkan hukuman ganda dan berlipat, yakni hukuman mati plus
hukuman penjara. Tak hanya itu, para terpidana mati juga mengalami
penyiksaan sebagai akibat dari fenomena deret kematian. Persoalan
ini memberikan tekanan psikologis tersendiri bagi mereka. Setiap
waktu mereka dihadapkan pada penantian kematian yang tidak pasti.
Setiap pagi dan setiap malam para terpidana mati membayangkan
peristiwa kematian dan hal itu tentunya jadi bentuk penyiksaan
tersendiri. Kondisi ini mereka alami bertahun-tahun. Meski sejumlah
terpidana mati telah menyesali kesalahannya pada masa lalu dan
menunjukkan perbaikan diri, hal itu tidak dijadikan dasar
pertimbangan untuk mengubah hukumannya.55
Dalam kasus Soering v. United Kingdom, European Court of
Human Rights juga menemukan fakta bahwa applicant akan
menghadapi praktik apa yang disebut sebagai fenomena deret
54
http://icjr.or.id/hukuman-mati-dalam-r-kuhp-jalan-tengah-yang-meragukan,
diakses 18 april 2016 55
Todung Mulya Lubis, Rumah Opini : Deret Kematian, Kompas, 21 Juni 2013
https://lautanopini.com/2013/06/21/deret-kematian/ , diakses 25 Juli 2016
61
kematian (death row phenomenon). Di Negara Bagian Virginia para
terpidana kasus hukuman mati harus menunggu tujuh hingga delapan
tahun setelah jatuhnya putusan pengadilan untuk kemudian
dieksekusi. Berangkat dari hal itu, European Court of Human Rights
kemudian mempertimbangkan pula soal keadaan penjara (prison
condition), usia (age) dan keadaan mental (mental status) dari
applicant. Sehingga hal itu melanggar Pasal 3 Convention for the
Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms (Konvensi
bagi Perlindungan Hak-hak Asasi Manusia dan Kebebasan
Fundamental) yang berbunyi: “Tidak seorang pun boleh dijadikan
sasaran penyiksaan atau perlakuan yang tidak manusiawi atau
hukuman yang merendahkan martabat”.
E. Pandangan Hukum Tentang Waktu Tunggu Eksekusi
Pidana Mati.
Berbicara mengenai waktu tunggu eksekusi pidana mati tentu tidak
terlepas dari pandangan-pandangan hukum di dunia, khususnya di
Indonesia dan beberapa negara Eropa, antara lain :
1. Indonesia
Problematika di Indonesia saat ini mengenai eksekusi
pidana mati yang berlarut-larut sedang mendapat perhatian
khusus. Hal ini terjadi karena tidak adanya aturan yang
62
menentukan mengenai kapan waktu eksekusi pidana mati setelah
adanya keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Beberapa faktor atau alasan mengapa terpidana mati
belum dieksekusi mati meskipun putusannya sudah berkekuatan
hukum tetap, menurut Heri Aryanto, dalam artikel Apakah
Polisi Bisa Menembak Mati Orang yang Diduga
Perampok/Teroris 56
antara lain;
a) Bahwa dalam sistem peradilan pidana yang menjalankan
putusan pengadilan adalah jaksa penuntut umum. Apabila
belum ada keputusan eksekusi dari jaksa penuntut umum,
dalam hal ini Kejaksaan Agung, maka eksekusi tersebut
belum bisa dilaksanakan;
b) Bahwa terhadap putusan yang berkekuatan hukum tetap,
terpidana berhak mengajukan upaya hukum grasi
(pengampunan) kepada presiden berupa permohonan
perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan
pelaksanaan pidana terhadap dirinya, sebagaimana diatur
dalam UU No. 22 Tahun 2002 Jo UU No.5 Tahun 2010
tentang Grasi. Oleh karenanya, terhadap putusan pidana mati,
pelaksanaan pidana mati tidak bisa dilaksanakan atau ditunda
56
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt53df2c50e4980/Alasan-Penundaan-
Eksekusi-Hukuman-mati diakses 9 Juni 2016
63
sampai ada keputusan dari presiden mengenai permohonan
grasi dari terpidana tersebut.
Serupa dengan penjelasan Heri Aryanto, Mantan Hakim
Agung Djoko Sarwoko dalam artikel Penundaan Eksekusi
Hukuman Mati Diduga Disengaja yang mengakui adanya kendala
untuk mengeksekusi para terpidana mati tersebut. Menurut
Agung, hal itu berhubungan dengan kesempatan yang diberikan
terkait upaya-upaya hukum lanjutan dari para terpidana. Seorang
terpidana mati yang menjelang eksekusinya tiba-tiba mengajukan
PK (Peninjauan Kembali) itu mau tidak mau harus diakomodir
sehingga mengakibatkan mundurnya proses eksekusi.57
Bagi
beberapa pihak, penundaan eksekusi mati sampai waktu yang
tidak dapat ditentukan akibat tidak jelasnya dasar hukum
mengenai waktu eksekusi mati justru dipandang sebagai
pelanggaran HAM.
Menurut Sahetapy, Pelaksanaan pidana mati yang
ditunda-tunda tanpa alasan jelas batas waktu yang tegas
sesungguhnya suatu bentuk pemidanaan pula meskipun tidak
dalam arti yuridis. Dalam jargon dewasa ini, hal tersebut
merupakan semacam pelanggaran hak asasi manusia, yaitu
57
Ibid,.
64
membiarkan yang bersangkutan menderita tanpa mengetahui
batas akhir waktu penderitaan. 58
Hal serupa juga dikatakan oleh
Al Araf mewakili Koalisi Hapuskan Hukuman Mati (HATI)
yang mengatakan bahwa Penundaan eksekusi tersebut
mengakibatkan terpidana menerima 3 (tiga) hukuman sekaligus
yaitu hukuman penjara, penyiksaan psikis lantaran ketidakpastian
kapan akan dieksekusi dan eksekusi mati itu sendiri dimana
proses eksekusi mati ini merupakan tindakan yang jauh dari rasa
keadilan dan rasa kemanusiaan. Al Araf juga mendesak agar
mereka yang sudah menjalani tahanan lebih dari 5 (lima) tahun
tidak usah dieksekusi dan diubah menjadi seumur hidup.59
Menunda adalah menghukum orang dua kali setelah divonis,
diberi harapan tetapi tetap dihukum mati, itu lebih kejam.
2. Beberapa Negara Eropa
Fenomena deret kematian (Death Row Phenomenon) telah
menjadi salah satu dari isu yang mengkhawatirkan bagi badan-
badan adjudikatif hak asasi manusia internasional. Dalam hal ini,
European Court of Human Right telah mengambil sikap yang
cepat untuk mengkritiknya. Tetapi disisi lain, UN Human Right
58
J.E.Sahetapy, Op. Cit., hal. 77 59 Pendapat direktur program imparsial Al.Araf mewakili koalisi Hapuskan
hukuman mati dalam jumpa pers bersama LBH masyarakat, YLBHI dan Elsam tgl
17/5/2013,dilihat:http://nasional.kompas.com/read/2013/05/18/04405360/Eksekusi.Mati.Tid
ak.Berperikemanusiaan, diakses 3 Agustus 2016
65
Committee mengambil sikap yang berbeda. Terhadap hukuman
mati sendri, Committee memegang pandangan yang sama dengan
European Court bahwa hukuman mati tidak dapat disebut
“kejam” dan melanggar Pasal 7 dari ICCPR, tepatnya karena itu
diperbolehkan sebagai pengecualian terhadap hak untuk hidup
dalam Pasal 6 ayat (1) ICCPR yang berbunyi : “Setiap manusia
berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak ini
wajib dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun dapat dirampas
hak hidupnya secara sewenang-wenang”.
Sedangkan mengenai death row phenomenon, menurut
UN Human right committee, penundaan dalam pelaksanaan
hukuman mati tidak dapat dianggap sebagai hukuman yang
kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia.
Sebab itu lebih baik bagi terpidana hukuman mati untuk sebisa
mungkin memperoleh lebih banyak waktu sebelum dieksekusi.
Pendapat serupa juga dapat dilihat dari sikap special Rapporteur
yang selalu ragu untuk menyatakan bahwa “death row
phenomenon” bertentangan dengan norma internasional, karena
ini dapat mendorong pemerintah untuk melaksanakan eksekusi
lebih cepat.60
60
http://repository.usu.ac.id/bitstream/.../Chapter%20III-V.pdf, diakses 18 Apr 2016
66
Dalam kasus Pratt v. Attorney General for Jamaica, the
Lordships of Privy Council yang merupakan pengadilan tertinggi
bagi negara- negara Persemakmuran Inggris, menginterpretasikan
section 17 (1) dari Konstitusi Jamaika. The Lordships
menemukan bahwa penundaan selama 14 tahun dalam deret
kematian merupakan pelanggaran terhadap konstitusi. Didalam
keputusan tersebut, the Lordships juga menyatakan bahwa setiap
kasus dimana eksekusi dilaksanakan 5 (lima) tahun setelah
penjatuhan hukuman, dimungkinkan adanya dasar yang kuat
(strong grounds) dan meyakinkan bahwa penundaan tersebut
merupakan tindakan tidak manusiawi atau perlakuan
merendahkan martabat manusia atau perlakuan lainnya (inhuman
or degrading punishment or other treatment). Terlebih, dalam
kasus Catholic Commission for Justice and Peace in Zimbabwe v.
Attorney General, Mahkamah Agung Zimbabwe
mengiterpretasikan section 15 (1) dari Zimbabwe Constitution
perihal penundaan yang lama (prolonged delay) selama 72 bulan
dan hidup dalam kondisi buruk (harsh conditions). Oleh karena
itu, Mahkamah Agung Zimbabwe menjatuhkan putusan bahwa
penundaan yang lama (prolonged delay ) lebih dari 72 bulan dan
hidup dalam keadaan kondisi buruk adalah tindakan tidak
67
manusiawi sebagaimana diatur dalam section 15 (1) Konstitusi
Zimbabwe. 61
Hukuman mati narapidana di AS biasanya akan
menghabiskan setidaknya 10 tahun menunggu eksekusi, dengan
beberapa terpidana menunggu lebih dari 20 tahun. sementara itu
dikatakan membuat mereka sendiri mengalami banyak
penundaan yang disebabkan oleh upaya banding yang melelahkan
mereka sendiri. Mahkamah Agung California menyatakan bahwa:
Kekejaman hukuman mati tidak hanya terletak pada eksekusi dan
rasa sakit dari insiden tersebut, tetapi juga dalam efek manusiawi
dari lamanya hukuman penjara sebelum eksekusi selama prosedur
peradilan dan administrasi penting untuk proses hukum
dilakukan. Penologists dan ahli medis setuju bahwa proses
melaksanakan vonis kematian sering begitu merendahkan dan
brutal terhadap jiwa manusia yang membentuk penyiksaan
psikologis.62
Sebuah doktrin hukum baru yang muncul untuk orang
yang menentang legitimasi model hukuman. Alih-alih serangan
langsung, yang sebagian besar tidak berhasil dinegara-negara
yang mempertahankan hukuman mati, tahanan menggunakan
serangan argumen berdasarkan doktrin fenomena hukuman mati.
Argumen dasarnya adalah bahwa eksekusi setelah penundaan
61
www .elsam.or.id/downloads/710098 Analisis_Dokumentasi _Hak
_ASASI_Manusia_ Edisi_Nov-Des_2014.pdf diakses 2 Juni 2016
62 death row phenomenon, death Row syndrome and their affect on Capital
cases in the us, http://www.internetjournalofcriminology.com/Harrison_Tamony_
Death_Row_Syndrome _IJC_Nov_2010.pdf diakses 8 Juni 2016
68
yang panjang dibawah kondisi hukuman mati yang keras
merupakan hukuman yang kejam dan tidak manusiawi. Ini bukan
hukuman mati yang sedang ditantang, tetapi pelaksanaan
hukuman mati setelah menyiksa dalam jangka waktu penundaan
yang begitu lama yang dipermasalahkan63
.
Secara perlahan para tahanan meyakinkan diberbagai
pengadilan bahwa hukuman mati harus dilaksanakan tanpa
penderitaan yang tidak semestinya dan penundaan yang
berkepanjangan. Fenomena hukuman mati telah secara eksplisit
telah diakui sebagai pelanggaran manusia hak di beberapa
pengadilan internasional dan domestik. Pengadilan yang menolak
untuk mengadopsi doktrin, khususnya Amerika Serikat,
menunjukkan fakta bahwa tahanan sendiri biasanya menjalani
penundaan dengan mengejar banding 64
.
F. Konsep Hak Asasi Manusia dan Pelanggaran HAM
1. Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia (HAM) adalah hak yang melekat
didalam diri pribadi individu, dan hak ini merupakan yang paling
mendasar bagi setiap individu untuk berdiri dan hidup secara
63
Does the death row phenomenon violate a prisoner‟s human right under
international law http://www.ejil.org/pdfs/11/4/556.pdf diakses 8 Juni 2016 64
ibid
69
merdeka dalam komunitas masyarakat.65
Sifat hakiki dan kodrati
HAM yang melekat pada diri setiap orang tidak dapat dicabut
atau dihapuskan oleh siapapun termasuk negara. Menghapus dan
mencabut HAM sama artinya menghilangkan eksistensi manusia
sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.66
Secara umum HAM adalah hak-hak yang secara inheren
melekat dalam diri manusia.67
Dalam UU No.39 Tahun 1999
Pasal 1 angka 1 tentang HAM dan UU No.26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM menyatakan bahwa :
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada
hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan yang
maha kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah
dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia. 68
Secara spesifik, dalam pasal-pasal DUHAM termuat
beberapa kategori hak: pertama, hak yang secara langsung
memberikan gambaran kondisi minimum yang diperlukan bagi
individu agar bisa mewujudkan watak kemanusiaannya, yakni
hak pribadi dan individu. Hak yang dimaksud antara lain:
Pengakuan atas martabat (Pasal 1); perlindungan dari tindakan
65
Ruslan Renggong, HukumAcara PIDANA; Memahami perlindungan HAM dalam
proses penahanan di Indonesia, cet.ke-1, Edisi Revisi, Kencana,Jakarta, 2014, hal.1 66
ibid 67
Yahya Ahmad Zein, Op.Cit ,hal 165 68
Ibid, hal. 166.
70
diskriminasi, atas dasar apapun (Pasal 2); jaminan atas kebutuhan
(Pasal 3); terhindar dari perbudakan (Pasal 4); perlindungan atas
tindakan sewenang-wenang dan penganiayaan (Pasal 5);
kesempatan menjadi warga Negara dan berpindah warga negara
(Pasal 15). Hak-hak ini bersifat sangat umum tentang apa yang
seharusnya diperoleh manusia. Kedua, hak tentang perlakuan
yang seharusnya diperoleh manusia dari system hukum yang ada.
Hak ini memberikan ketentuan mengenai standar perlakuan
sistem hukum pada manusia. Hak yang dimaksud antara lain :
persamaan di hadapan hukum (Pasal 6); tidak diperlakukan
secara sewenang-wenang (Pasal 9); memperoleh pengadilan yang
adil (Pasal 10), dilindungi sebelum dinyatakan bersalah (Pasal
11); tidak diintervensi kehidupan pribadinya oleh negara (Pasal
12). Ketiga, Hak yang memungkinkan individu untuk turut
ambil bagian dalam jalannya pemerintahan, yang biasa dikenal
dengan hak-hak sipil dan politik. Hak dimaksud antara lain : hak
kebebasan berpikir dan beragama (Pasal 18); hak menyatakan
pikiran secara bebas (Pasal 20); dan keikutsertaan aktif dalam
pemerintahan. Keempat, Hak yang menjamin taraf minimal
kehidupan seseorang dan memungkinkan proses pengembangan
kebudayaan, yakni hak ekonomi, social dan budaya. Hak yang
71
dimaksud antara lain : mendapatkan makanan, pekerjaan dan
pelayanan kesehatan serta syarat social lainnya (Pasal 22-25);
hak untuk pendidikan dan pengembangan pribadi serta
kebudayaan (Pasal 26-29).69
Menurut Darji Darmodiharjo, dalam buku A. Masyur
Effendi menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak
dasar atau hak-hak pokok yang dibawa manusia sejak lahir
sebagai Anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya menurut
Teaching Human Right yang diterbitkan oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB), Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak-
hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia
mustahil dapat hidup sebagai manusia. Hak hidup, misalnya,
adalah klaim untuk memperoleh dan melakukan segala sesuatu
yang dapat membuat seseorang tetap hidup. Tanpa hak tersebut
eksistensinya sebagai manusia akan hilang.70
Senada dengan
pengertian diatas adalah pernyataan awal Hak Asasi Manusia
(HAM) yang dikemukakan oleh John Locke, bahwa :
Hak asasi manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung
oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai sesuatu yang
bersikap kodrati. Karena sifatnya yang demikian, maka tidak
ada kekuasaan apapun didunia yang dapat mencabut hak asasi
69
M. Afif Hasbullah, Politik Hukum Ratifikasi Konvensi HAM di Indonesia,
Jatim:UNISDAL, 2005, hal.,34-35 70
A. Ubaedillah & Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat
Madani, Jakarta: ICCE UIN, 2010
72
setiap manusia. HAM adalah hak dasar setiap manusia yang
dibawa sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa;
bukan pemberian manusia atau lembaga kekuasaan.71
Oleh karena itu, menelaah HAM, menurut Todung Mulya
Lubis sesungguhnya adalah menelaah totalitas kehidupan; sejauh
mana kehidupan kita memberi tempat yang wajar kepada
kemanusiaan72
. Siapapun manusianya berhak memiliki hak
tersebut. Artinya, disamping keabsahannya terjaga dalam
eksistensi kemanusiaan manusia, juga terdapat kewajiban yang
sungguh-sungguh untuk dimengerti, dipahami, dan bertanggung
jawab untuk memeliharanya. Adanya hak pada seseorang berarti
bahwa ia mempunyai suatu “keistimewaan” yang membuka
kemungkinan baginya untuk diperlakukan sesuai dengan
“keistimewaan” yang dimilikinya. Juga, adanya suatu kewajiban
pada seseorang berarti bahwa diminta daripadanya suatu sikap
yang sesuai dengan “keistimewaan” yang ada pada orang lain.73
Lebih lanjut Howard juga mengatakan bahwa : “Hak asasi
manusia mutlak diperlukan dunia modern, dimana pun orang
tinggal, dan apa pun nilai-nilai pribadinya. Hak asasi manusia,
pertama-tama dimaksudkan untuk melindungi individu terhadap
71
Ibid.,hal 148 72
Majda El-Muhtai, HAM dalam Konstitusi Indonesia, Jakarta : Prenada Media,
2002 73
Ibid,hal 46
73
Negara dan semua kekuatan kursifnya yang menyelinap kemana-
mana, yang biasa dilakukan banyak Negara modern”. 74
Membicarakan HAM berarti berpatokan pada
konteksnya, dalam arti objek pembicaraan harus diletakkan pada
kerangka filosofis dan historis kemunculan HAM itu sendiri.
Secara Filosofis, HAM dimaksudkan untuk melindungi individu
sebagai manusia dari tindakan sewenang-wenang pihak
penguasa. Kemudian, secara historis kemunculan HAM
merupakan akibat dari tindakan sewenang-wenang dari pihak
yang berkuasa terhadap individu. Dua factor tersebut dapat
dikatakan sebagai “benang merah” HAM dan tanpa
memperhatikan kedua faktor tersebut maka tidak akan ditemukan
hakikat yang sebenarnya dari HAM. 75
Dalam perkembangannya, konsepsi HAM dipengaruhi
oleh beberapa factor lainnya yang kemudian terbukti “mewarnai”
HAM. Namun demikan, secara substansial ide HAM lahir
dengan tujuan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan
kekuasaan (abuse of power) dari penguasa, sehingga hakikat
HAM dapat dikatakan sebagai perlindungan terhadap harkat dan
74
Titon Slamet Kurnia, Reparasi terhadap korban pelanggaran HAM di Indonesia,
Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2005, hal 8 75
Andrey Sujatmoko, Hukum HAM dan Hukum Humaniter,Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 2015.
74
martabat manusia.76
Hak asasi manusia dipercaya memiliki nilai
universal; nilai universal berarti tidak mengenal batasan ruang
dan waktu, nilai universal ini yang kemudian diterjemahkan
dalam berbagai produk hukum nasional diberbagai negara untuk
dapat melindungi dan menegakkan nilai-nilai kemanusiaan.
2. Pelanggaran HAM
Pada prinsipnya negara memiliki tanggung jawab dan
kewajiban dalam hal memberikan perlindungan terhadap warga
negaranya, apabila negara tidak melakukan hal tersebut maka
negara dapat dikatakan telah melakukan pelanggaran hak asasi
warganya.77
Secara normatif sebagaimana diatur dalam Pasal 1
angka 6 UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM, disebutkan bahwa:
Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau
sekelompok atau sekelompok orang termasuk aparat Negara baik
sengaja maupun tidak sengaja atau kelalaian yang secara
melawan hukum, mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau
mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang
dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau
dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang
adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Dengan demikian pelanggaran hak asasi manusia
merupakan tindakan pelanggaran kemanusian baik dilakukan
oleh individu maupun oleh instansi negara atau institusi lainnya
76
Ibid.,hal 29 77
Yahya Ahmad Sein , Op.cit , hal 172
75
terhadap hak asasi individu lain tanpa ada dasar atau alasan
yuridis dan alasan rasional yang menjadi pijakannya.78
Berdasarkan Pasal 7 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM, pelanggaran HAM yang berat meliputi kejahatan genoside
dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Mengenai waktu tunggu
eksekusi mati juga dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak
asasi manusia yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan
terhadap kemanusiaan yang dimaksud lebih mengarah ke
perlakuan sewenang-wenang. Lebih lenjut tertuang dalam Pasal 5
DUHAM, menyatakan bahwa “Tidak seorangpun boleh disiksa
atau diperlakukan atau dihukum secara keji, tidak manusiawi
atau merendahkan martabat”.
Mengenai definisi kejahatan kemanusian, Piagam
Nuremberg yang membentuk Mahkamah Militer Internasional
Nuremberg, dalam Pasal 6c mendefinisikan kejahatan
kemanusiaan sebagai :
“Pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, deportasi, dan
perbuatanperbuatan tidak manusiawi lainnya yang dilakukan
terhadap populasi sipil, sebelum atau selama perang, atau
persekusi-persekusi atas dasar-dasar politik, rasa atau agama
sebagai pelaksanaan dari atau berhubungan dengan setiap
kejahatan yang berada di dalam yurisdiksi pengadilan tersebut
baik yang melanggar ataupun tidak hukum Negara setempat di
mana ia dilakukan…”
78
A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Op. Cit, hal. 163
76
Rumusan pasal inilah yang merupakan preseden pertama
kalinya dalam hukum pidana internasional positif di mana istilah
khusus “kejahatan terhadap kemanusiaan” diperkenalkan dan
didefenisikan, namun, sebagaimana yang telah dikatakan di
dalam pasal 2, konsep ini bukanlah merupakan suatu hal yang
baru, begitu pula dengan gagasan atau ide tentang melindungi
orang-orang sipil di masa perang. Dan yang paling penting
diketahui, Piagam ini muncul pertama kalinya dan dipergunakan
sebagai contoh (model) dan dasar hukum bagi perkembangan-
perkembangan lain selanjutnya,79
Kemudian pada tahun 1951,
Komisi Hukum Internasional merumuskan kejahatan
kemanusiaan 80
sebagai:
Tindakan-tindakan yang tidak manusiawi yang dilakukan oleh
para penguasa suatu Negara atau oleh individu-individu
perseorangan terhadap suatu populasi sipil seperti pembunuhan,
atau pemusnahan, atau perbudakan, atau deportasi, atau
persekusi-persekusi atas dasar-dasar politik, ras, agama, atau
budaya, bilamana tindakan-tindakan demikian dengan kejahatan-
kejahatan lain yang didefenisikan dalam pasal ini
Era selanjutnya adalah pembentukan Statuta Roma pada
1998. Dalam Pasal 7 Statuta Roma disebutkan bahwa kejahatan
kemanusiaan adalah kejahatan-kejahatan yang dilakukan sebagai
79
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/29691/3/Chapter%20II.pdf, diakses 25 Agustus 2016
80 ibid
77
bagian dari serangan meluas dan sistematik yang ditujukan
kepada suatu kelompok sipil dengan mengetahui adanya
serangan itu. Adapun yang termasuk dalam lingkup kejahatan
kemanusiaan menurut Pasal 7 Statuta Roma adalah:
a) Pembunuhan
b) Pemusnahan
c) Perbudakan
d) Deportasi atau pemindahan paksa penduduk
e) Pemenjaraan atau perampasan berat atas kebebasan fisik
dengan melanggar aturan-aturan dasar hukum internasional
f) Penyiksaan
g) Perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi,
penghamilan paksa, pemaksaan sterilisasi, atau suatu bentuk
kekerasan seksual lain yang cukup berat
h) Persekusi (Penganiayaan) terhadap suatu kelompok yang
dapat diidentifikasi atau kolektivitas atas dasar politik, ras,
nasional, etnis, budaya, agama, gender, sebagai didefenisikan
dalam ayat 3, atau atas dasar lain yang secara universal
diakui sebagai tidak diijinkan berdasarkan hukum
internasional, yang berhubungan dalam setiap perbuatan yang
dimaksud dalam ayat ini atau setiap kejahatan yang berada
dalam jurisdiksi mahkamah
i) Penghilangan paksa
j) Kejahatan apartheid
k) Perbuatan tidak manusiawi lain dengan sifat sama yang
secara sengaja menyebabkan penderitaan berat, atau luka
serius terhadap badan atau mental atau kesehatan fisik
Sedangkan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
Hak Asasi Manusia dalam pasal 9 merujuk pengertian kejahatan
terhadap kemanusiaan yang sama dengan isi pasal 7 Statuta
Roma, kecuali poin (k) yang tidak disertakan dalam Pasal 9.