bab ii landasan teorilibrary.binus.ac.id/ecolls/ethesisdoc/bab2/bab 2_09-240.pdfesensi manajemen...
TRANSCRIPT
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Manajemen Kinerja
Manajemen adalah suatu proses merencanakan, mengorganisasikan,
memimpin, mengendalikan kegiatan anggota serta sumber daya yang lain untuk
mencapai sasaran yang telah ditentukan. Proses tersebut terdapat dalam fungsi
kegiatan operasional, keuangan, sumber daya manusia maupun sarana prasarana.
Menurut Veithzal istilah manajemen mempunyai arti sebagai kumpulan pengetahuan
tentang bagaimana seharusnya mengelola sumber daya manusia.
Manajemen adalah proses pendayagunaan peningkatan kinerja terhadap
sumber daya manusia untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Proses ini melibatkan
organisasi, arahan, koordinasi dan evaluasi orang-orang guna mencapai tujuan-tujuan
tersebut. Esensi manajemen adalah aktivitas bekerja dengan orang lain agar mencapai
berbagai hasil. Melalui manajemen dilakukan proses pengintegrasian berbagai
sumber daya dan tugas untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditentukan
(Simamora 2002).
Kinerja pada dasarnya merupakan hasil kerja secara kualitas dan kuantitas
yang dicapai seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai tanggung jawab
yang diberikan kepadanya. Dalam hal ini, pegawai bisa belajar seberapa besar kinerja
mereka melalui sarana informasi seperti komentar baik dari mitra kerja. Namun
demikian penilaian kinerja yang mengacu kepada suatu sistem formal dan terstruktur
yang mengukur, menilai dan mempengaruhi sifat-sifat yang berkaitan dengan
pekerjaan perilaku dan hasil termasuk tingkat ketidakhadiran. Fokus penilaian kinerja
adalah untuk mengetahui seberapa produktif seorang pegawai dan apakah ia bisa
berkinerja sama atau lebih efektif di masa yang akan datang.
Begitu pentingnya masalah kinerja pegawai ini, sehingga tidak salah bila inti
pengelolaan sumber daya manusia adalah bagaimana mengelola kinerja SDM.
Mengelola manusia dalam konteks organisasi berarti mengelola manusia agar dapat
menghasilkan kinerja yang optimal bagi organisasi. Oleh karenanya kinerja pegawai
ini perlu dikelola secara baik untuk mencapai tujuan organisasi, sehingga menjadi
suatu konsep manajemen kinerja (performance management).
Menurut definisinya, manajemen kinerja adalah suatu proses strategis dan
terpadu yang menunjang keberhasilan organisasi melalui pengembangan performansi
SDM. Dalam manajemen kinerja kemampuan SDM sebagai kontributor individu dan
bagian dari kelompok dikembangkan melalui proses bersama antara manajer dan
individu yang lebih berdasarkan kesepakatan daripada instruksi. Kesepakatan ini
meliputi tujuan (objectives), persyaratan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan,
serta pengembangan kinerja dan perencanaan pengembangan pribadi. Manajemen
kinerja bertujuan untuk dapat memperkuat budaya yang berorientasi pada kinerja
melalui pengembangan keterampilan, kemampuan dan potensi-potensi yang dimiliki
oleh SDM. Sifatnya yang interaktif ini akan meningkatkan motivasi dan
memberdayakan SDM dan membentuk suatu kerangka kerja dalam pengembangan
kinerja. Manajemen kinerja juga dapat menggalang partisipasi aktif setiap anggota
organisasi untuk mencapai sasaran organisasi melalui penjabaran sasaran individu
maupun kelompok sekaligus mengembangkan protensinya agar dapat mencapai
sasarannya. Berdasarkan tugasnya, manajemen kinerja dapat dijadikan landasan bagi
promosi, mutasi dan evaluasi, sekaligus penentuan kompensasi dan penyusunan
program pelatihan. Manajemen kinerja juga dapat dijadikan umpan balik untuk
pengembangan karier dan pengembangan pribadi SDM.
Tujuan dari sistem manajemen kinerja yang efisien dan efektif adalah untuk :
1. Menerjemahkan visi dan misi organisasi ke dalam tujuan dan hasil yang
jelas dan dapat diukur yang menentukan keberhasilan dan dipahami
bersama oleh tiap orang dalam organisasi dan pelanggan dan stakeholder.
2. Menyediakan alat untuk menilai, mengelola dan meningkatkan kesehatan
dan keberhasilan keseluruhan organisasi.
3. Melanjutkan pergeseran dari orientasi pengendalian dan ketaatan menjadi
pendekatan stratejik yang berkelanjutan kepada manajemen.
4. Menyediakan sebuah sistem manajemen kinerja yang mendalam dan dapat
diduga hasilnya dengan memasukkan ukuran-ukuran kualitas, biaya,
ketepatan waktu, layanan pelanggan serta kepuasan, motivasi dan keahlian
pegawai.
5. Mengganti sistem penilaian kinerja yang ada dengan sebuah pendekatan
yang sesuai dengan manajemen kinerja.
Keunggulan manajemen kinerja adalah penentuan sasaran yang jelas dan
terarah. Didalamnya terdapat dukungan, bimbingan, dan umpan balik agar tercipta
peluang terbaik untuk meraih sasaran yang menyertai peningkatan komunikasi antara
atasan dan bawahan. Hal ini karena pada dasarnya manajemen kinerja merupakan
proses komunikasi berkelanjutan antara atasan dan bawahan dengan tujuan untuk
memperjelas dan menyepakati hal-hal :
1. Fungsi pokok pekerjaan bawahan.
2. Bagaimana pekerjaan bawahan berkontribusi pada pencapaian tujuan
organisasi.
3. Pengertian “efektif” dan “berhasil” dalam pelaksanaan pekerjaan
bawahan.
4. Bagaimana bawahan dapat bekerja sama dengan atasan dalam rangka
efektivitas pelaksanaan pekerjaan bawahan.
5. Bagaimana mengukur efektivitas (baca : kinerja) pelaksanaan pekerjaan
bawahan.
6. Berbagai hambatan efektivitas dan alternatif cara untuk menyingkirkan
hambatan-hambatan tersebut.
Manajemen kinerja sangat bermanfaat bagi pihak atasan, bawahan dan
organisasi. Bagi atasan, manajemen kinerja mempermudah penyelesaian pekerjaan
bawahan sehingga atasan tidak perlu lagi repot mengarahkan dalam kegiatan sehari-
hari karena bawahan sudah tahu apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dicapai
serta mengantisipasi kemungkinan hambatan yang muncul. Bagi bawahan,
manajemen kinerja membuka kesempatan diskusi dan dialog dengan atasan berkaitan
dengan kemajuan pekerjaannya. Adanya diskusi dan dialog memberikan umpan balik
untuk memperbaiki kinerja sekaligus meningkatkan keahliannya dalam
menyelesaikan pekerjaan. Selain itu manajemen kinerja juga memberdayakan
bawahan karena ia tidak perlu sedikit-sedikit “mohon petunjuk” kepada atasan karena
telah diberikan arahan yang jelas sejak awal. Bagi organisasi, manajemen kinerja
memungkinkan keterkaitan antara tujuan organisasi dan tujuan pekerjaan masing-
masing bawahan. Selain itu, manajemen kinerja mampu untuk memberikan
argumentasi yang relatif kuat untuk setiap keputusan yang menyangkut SDM.
Untuk dapat menerapkan manajemen kinerja dalam suatu organisasi,
diperlukan adanya prasyarat dasar yang harus dipenuhi dalam suatu organisasi, yaitu :
1. Adanya suatu indikator kinerja (key performance indicator) yang terukur
secara kuantitatif dan jelas batas waktunya. Ukuran ini harus dapat
menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi oleh organisasi tersebut.
Pada organisasi nirlaba seperti organisasi pemerintahan maka ukuran
kinerjanya adalah berbagai bentuk pelayanan kepada masyarakat. Semua
harus terukur secara kuantitatif dan dapat dimengerti oleh berbagai pihak
yang terkait, sehingga bila nanti dievaluasi dapat diketahui apakah kinerja
sudah dapat mencapai target atau belum. Michael Porter, profesor dari
Harvard Business of School menyatakan bahwa kita tidak bisa
memanajemeni sesuatu yang tidak dapat kita ukur. Organisasi yang tidak
memiliki indikator kinerja biasanya tidak bisa diharapkan untuk mampu
mencapai kinerja yang memuaskan pihak yang berkepentingan
(stakeholders).
2. Semua ukuran kinerja tersebut biasanya dituangkan dalam suatu bentuk
kesepakatan antara atasan dan bawahan yang sering disebut sebagai suatu
kontrak kinerja (performance contract). Dengan adanya kontrak kinerja,
maka atasan bisa menilai apakah si bawahan sudah mencapai kinerja yang
diinginkan atau belum. Kontrak kinerja ini berisikan suatu kesepakatan
antara atasan dan bawahan mengenai indikator kinerja yang ingin dicapai,
baik mengenai sasaran pencapaiannya maupun jangka waktu
pencapaiannya. Ada dua hal yang perlu dicantumkan dalam kontrak
kinerja yaitu sasaran akhir yang ingin dicapai (lag) serta program kerja
untuk mencapainya (lead). Keduanya perlu dicantumkan supaya pada saat
evaluasi nanti berbagai pihak bersikap secara fair, dan tidak melihat hasil
akhir semata, namun juga proses kerjanya. Bisa saja seorang bawahan
belum mencapai semua hasil kerja yang ditargetkan, tetapi dia sudah
melaksanakan semua program kerja yang sudah digariskan. Tentu saja
atasan tetap harus memberikan reward untuk dedikasinya, walaupun
sasaran akhir belum tercapai. Hal ini juga bisa menjadi dasar untuk
perbaikan di masa mendatang (continuous improvement).
3. Terdapat suatu proses siklus manajemen kinerja yang baku dan dipatuhi
untuk dikerjakan bersama, yaitu :
a. Perencanaan kinerja, berupa penetapan indikator kinerja lengkap
dengan berbagai strategi dan program kerja yang diperlukan untuk
mencapai kinerja yang diinginkan.
b. Pelaksanaan, di mana organisasi bergerak sesuai dengan rencana yang
telah dibuat, jika ada perubahan akibat adanya perkembangan baru
maka lakukan perubahan tersebut.
c. Evaluasi kinerja, yaitu menganalisis apakah realisasi kinerja sesuai
dengan rencana yang sudah ditetapkan sebelumnya. Semuanya ini
harus serba kuantitatif.
4. Adanya suatu sistem reward and punishment yang bersifat konstruktif dan
konsisten dijalankan. Konsep reward ini tidak selalu harus bersifat
finansial, tetapi bisa juga berupa bentuk lain seperti promosi, kesempatan
pendidikan dan lain-lain. Reward and punishment diberikan setelah
melihat hasil realisasi kinerja, apakah sesuai dengan indikator kinerja yang
telah direncanakan atau belum. Tentu saja harus ada suatu performance
appraisal atau penilaian kinerja lebih dahulu sebelum reward and
punishment. Penerapan punishment ini harus hati-hati, karena dalam
banyak hal pembinaan jauh lebih bermanfaat.
5. Terdapat suatu mekanisme performance appraisal atau penilaian kinerja
yang relatif obyektif yaitu dengan melibatkan berbagai pihak. Konsep
yang sangat terkenal adalah penilaian 360 derajat, di mana penilaian
kinerja dilakukan oleh atasan, bawahan, rekan sekerja, dan pengguna jasa,
karena pada prinsipnya manusia itu berpikir secara subyektif, namun
dengan berpikir bersama mampu untuk mengubah sikap subyektif itu
menjadi mendekati obyektif, atau berpikir bersama jauh lebih obyektif
daripada berpikir sendiri-sendiri. Ini adalah semangat dalam konsep
penilaian 360 derajat.
6. Terdapat suatu gaya kepemimpinan (leadership style) yang mengarah
kepada pembentukan organisasi berkinerja tinggi. Inti dari kepemimpinan
seperti ini adalah adanya suatu proses coaching, counseling, dan
empowerment kepada para bawahan atau sumber daya manusia di dalam
manusia. Suatu aspek lain yang sangat penting dalam gaya kepemimpinan
adalah sikap followership atau menjadi pengikut. Bagaimana jadinya bila
semua orang menjadi komandan dalam organisasi? Bukan kinerja tinggi
yang tercapai, namun kekacauan yang ada. Pada dasarnya seseorang itu
harus memiliki jiwa kepemimpinan, tetapi dalam situasi yang lain dia juga
harus memahami bahwa dia merupakan bagian dari sebuah sistem
organisasi yang lebih besar yang harus diikuti.
7. Menerapkan konsep manajemen SDM berbasis kompetensi. Umumnya
organisasi yang berkinerja tinggi memiliki kamus kompetensi dan
menerapkan kompetensi itu tersebut kepada hal-hal yang penting, seperti
manajemen kinerja, rekruitmen, seleksi, pendidikan, pengembangan
pegawai, dan promosi. Kompetensi ini meliputi kompetensi inti
organisasi, kompetensi perilaku, dan kompetensi teknis yang spesifik
dalam pekerjaan. Jika kompetensi ini sudah dibakukan dalam organisasi,
maka kegiatan manajemen SDM akan menjadi lebih transparan, dan
pimpinan organisasi juga dengan mudah mengetahui kompetensi apa saja
yang perlu diperbaiki untuk membawa organisasi menjadi berkinerja
tinggi.
Tahap-tahap dalam manajemen kinerja meliputi tahap penentuan objektif,
penentuan sasaran yang berorientasi pada perilaku, menyiapkan dukungan yang
diperlukan, evaluasi dan pengembangan serta memberi penghargaan. Proses
manajemen kinerja melibatkan perencanaan, coaching dan review. Dalam
perencanaan diidentifikasi dan ditentukan tingkat kinerja, apa sasarannya serta
bagaimana perilaku untuk mencapai sasaran, Dalam coaching dilakukan evaluasi,
dukungan dan pengarahan secara berkesinambungan melalui diskusi dua arah. Dalam
proses review dilakukan evaluasi terhadap pencapaian dan terhadap sasaran yang
ditentukan dan hasilnya dijadikan sebagai umpan balik.
Pengukuran kinerja merupakan salah satu hal yang mendasar dalam
manajemen kinerja. manfaatnya sebagai landasan untuk memberikan umpan balik,
mengidentifikasi butir-butir kekuatan untuk mengembangkan kinerja di masa
mendatang, serta mengidentifikasi butir-butir kelemahan sebagai sarana koreksi dan
pengembangan. Langkah ini sebagai jawaban terhadap dua persoalan utama yaitu
apakah kita sudah mengerjakan hal yang benar dan apakah sudah mengerjakannya
dengan baik.
Persoalan utama dalam pengukuran kinerja adalah kita telah mengukur hal
yang strategis dan memberi nilai tambah terhadap strategi organisasi secara
keseluruhan. Masalah lain yang perlu diwaspadai adalah terlalu berorientasi pada
hasil dan mengabaikan proses, sistem remunerasi yang tidak mendukung kinerja, dan
pengukuran yang tidak berdasarkan pada team business structure.
Dalam pelaksanaan manajemen kinerja terdapat lima komponen pokok, yaitu :
1. Perencanaan kinerja, di mana atasan dana bawahan berupaya merumuskan
memahami dan menyepakati target kinerja bawahan dalam rangka
mengoptimalkan kontribusinya terhadap pencapaian tujuan-tujuan
organisasi. Pada saat perencanaan kinerja ini atasan membantu bawahan
dan menterjemahkan tujuan-tujuan organisasi ke dalam target kinerja
individual dalam batasan anggaran yang tersedia.
2. Komunikasi berkelanjutan antara atasan dan bawahan guna memastikan
bahwa apa yang telah, sedang dan akan dilakukan bawahan mengarah
pada target kinerjanya sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak, hal
ini juga berguna untuk mengantisipasi segala persoalan yang timbul.
3. Pengumpulan data dan informasi oleh masing-masing pihak sebagai bukti
pendukung realisasi kinerja bawahan. Pengumpulan dapat dilakukan
melalui formulir penilaian kinerja, observasi langsung maupun tanya
jawab dengan pihak-pihak terkait.
4. Pertemuan tatap muka antara atasan dan bawahan selama periode berjalan.
Pada saat inilah bukti-bukti otentik kinerja bawahan diklarifikasi,
didiskusikan, dan disimpulkan bersama sebagai kinerja bawahan pada
periode tersebut.
5. Diagnosis berbagai hambatan efektivitas kinerja bawahan dan tindak
lanjut bimbingan yang dapat dilakukan atasan guna menyingkirkan
hambatan-hambatan tersebut guna meningkatkan kinerja bawahan.
Dengan adanya diagnosis dan bimbingan ini, bawahan tidak merasa
“dipersalahkan” atas kegagalan mencapai target kinerja yang telah
disepakati dan sekaligus menunjukkan niatan bahwa persoalan kinerja
bawahan adalah persoalan atasan juga.
Begitu bermanfaat dan kuatnya peranan manajemen kinerja, namun dalam
pelaksanaannya seringkali terdapat persoalan, baik dari sisi atasan maupun sisi
bawahan. Dari sisi atasan sebagai pejabat penilai ada keengganan menerapkannya
karena faktor-faktor sebagai berikut :
1. Formulir dan tata cara penilaian seringkali sulit untuk dimengerti di mana
kriteria-kriteria yang digunakan tidak jelas pengertiannya atau memiliki
pengertian yang kabur, sehingga menimbulkan multi interpretasi, dan tata
caranya berbelit-belit.
2. Atasan tidak memiliki cukup waktu untuk menerapkan manajemen
kinerja, karena persoalan pertama tadi.
3. Tidak ingin berkonfrontasi dengan bawahan, terutama mereka yang dinilai
kinerjanya kurang baik. Sebab keengganan ini yaitu atasan tidak punya
argumentasi yang kuat akibat tidak jelasnya kriteria penilaian yang
digunakan. Selain itu atasan tidak ingin merusak hubungan baik dengan
bawahan, misalnya karena satu nilai buruk, padahal hubungan baik sangat
penting untuk bekerja sama dengan bawahan.
4. Atasan kurang mengetahui rincian pekerjaan, sehingga tidak mengerti
aspek-aspek apa yang harus diperhatikan ketika melakukan penilaian
dengan menggunakan kriteria yang telah ditetapkan. Hal ini berpengaruh
pada kemampuan atasan memberikan umpan balik secara efektif guna
perbaikan kinerja bawahan. Logikanya, bagaimana ia bisa memberikan
masukan bila ia tidak mengerti betul liku-liku pekerjaan bawahan.
Sedangkan keengganan dari sisi bawahan sebagai pihak yang dinilai adalah :
1. Pengalaman buruk di masa lalu, di mana atasan memperlakukan kinerja
bawahan yang kurang baik dengan sinis atau acuh sehingga bawahan tidak
mendapatkan umpan balik yang bermanfaat bagi perbaikan kinerjanya.
2. Bawahan tidak suka dikritik, terutama bila dikaitkan dengan kinerjanya.
Hal ini mungkin karena poin pertama, di mana atasan hanya bisa
mengkritik tanpa memberikan jalan keluar yang jelas.
3. Ada rasa takut karena ketidakjelasan kriteria dan standar penilaian
sehingga baik buruknya kinerja bawahan menjadi sangat subyektif (unsur
suka atau tidak suka atasan terhadap bawahan amat dominan terhadap
nilai kinerja bawahan), padahal hasil penilaian kinerja menentukan banyak
hal penting bagi bawahan, di antaranya kenaikan pangkat, gaji dan
perolehan bonus/insentif.
4. Bawahan tidak mengerti betul manfaat diterapkannya manajemen kinerja
seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Hal ini karena kurang sosialisasi
peran penting manajemen kinerja bagi keberhasilan organisasi.
Pengukuran kinerja adalah suatu proses penilaian kemajuan pekerjaan
terhadap tujuan dan sasaran yang telah ditentukan sebelumnya yang dalam penulisan
ini termasuk informasi atas :
1. Hasil kegiatan dibandingkan dengan maksud yang diinginkan
2. Efektifitas tindakan dalam mencapai tujuan dan lebih spesifik lagi,
pelayanan terhadap kelayan sesuai tujuan.
Pengukuran kinerja tidak dapat dilepaskan dari manajemen kinerja. Agar efektif,
sistem pengukuran kinerja harus merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
manajemen kinerja. Pengukuran kinerja diperlukan karena kegiatan/proses yang dapat
diukur berarti dapat dikerjakan. Jika target ditetapkan tetapi tidak mengukur hasil
sebenarnya, maka tidak ada jaminan bahwa apa yang diharapkan untuk dicapai telah
benar-benar dicapai.
Orang adalah komponen utama organisasi. Interaksi diantara orang-orang
dalam organisasi merupakan penentu pencapaian tujuan organisasi. Dari waktu
kewaktu kompetensi SDM semakin meningkat, sehingga arah pengorganisasian
cenderung menuju sistem otonomi dan desentralisasi. Hirarki organisasi yang lebih
rendah dapat dibebani suatu tanggung jawab, bahkan dengan derajad pengawasan
langsung yang semakin berkurang.
Dalam banyak literatur, konsep kinerja disejajarkan denga konsep efektifitas.
Oleh karena itu disini konsep kinerja akan ditelaah dengan menganalisis konsep
efektifitas. Efektifitas berasal dari kata efektif, di dalam Ensiklopedi Administrasi
efektif diberi arti sebagai berikut :
“Efektifitas adalah suatu keadaan yang mengandung pengertian mengenai
terjadinya suatu efek atau akibat yang dikehendaki. Kalau seseorang
melakukan suatu perbuatan dengan maksud tertentu yang memang
dikehendaki maka orang itu dikatakan efektif kalau menimbulkan akibat atau
mempunyai maksud sebagaimana yang dikehendaki. Kata efektif berarti
terjadinya suatu efek atau akibat yang dikehendaki dalam suatu perbuatan”.
(Eksiklopedi Administrasi, 1980).
Pada dasarnya pengertian efektifitas yang umum menunjukkan pada taraf
tercapainya hasil, sering atau senantiasa dikaitkan dengan pengertian efisien,
meskipun sebenarnya ada perbedaan diantara keduanya. Efektifitas menekankan pada
hasil yang dicapai, sedangkan efisiensi lebih melihat pada bagaimana cara mencapai
hasil yang dicapai itu dengan membandingkan antara input dan outputnya. Efektivitas
merupakan konsep yang sangat penting dalam teori organisasi, karena mampu
memberikan gambaran mengenai keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuannya.
Menurut Drucker dan Stoner dalam Mansur (2004 : 34) yang dimaksud
efektivitas adalah “kemampuan untuk menentukan tujuan yang memadai atau
melakukan yang tepat”. Efektivitas merupakan kunci keberhasilan suatu organisasi,
sebelum kita dapat melakukan kegiatan secara efisien, kita harus yakin telah
menemukan hal yang tepat.
Menurut Peter Drucker (1964 : 5) pengertian efektivitas adalah melakukan
pekerjaan yang benar (doing the right things).
Menurut T. Hani Handoko (2003 : 7) “Efektivitas merupakan kemampuan
untuk memilih tujuan yang tepat atau peralatan yang tepat untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan. Dengan kata lain manajer efektif apabila dapat memilih
pekerjaan yang harus dilakukan, dengan menggunakan metode atau cara yang tepat
dalam mencapai tujuan.
Istilah efektif (effective) dan efisien (efficient) merupakan dua istilah yang
saling berkaitan dan patut dihayati dalam upaya untuk mencapai tujuan suatu
organisasi. Tentang arti dari efektif maupun efisien terdapat beberapa pendapat.
Menurut Chester Barnard dalam Kebijakan Kinerja Karyawan
(Prawirosentono, 1999 : 27), bahwa arti efektif dan efisien adalah sebagai berikut:
“When a specific desired end is attained we shall say that the action is
effective. When the unsought consequences of the action are more important
than the attainment of the desired end and are dissatisfactory, effective action,
we shall say, it is inefficient. When the unsought consequences are
unimportant or trivial, the action is efficient. Accordingly, we shall say that
an action is effective if it specific objective aim. It is efficient if it satisfies the
motives of the aim, whatever it is effective or not”.
(Bila suatu tujuan tertentu akhirnya dapat dicapai, kita boleh mengatakan
bahwa kegiatan tersebut adalah efektif. Tetapi bila akibat-akibat yang tidak
dicari dari kegiatan mempunyai nilai yang lebih penting dibandingkan dengan
hasil yang dicapai, sehingga mengakibatkan ketidakpuasan walaupun efektif,
hal ini disebut tidak efisien. Sebaliknya bila akibat yang tidak dicari-cari,
tidak penting atau remeh, maka kegiatan tersebut efisien. Sehubungan dengan
itu, kita dapat mengatakan sesuatu efektif bila mencapai tujuan tertentu.
Dikatakan efisien bila hal itu memuaskan sebagai pendorong mencapai tujuan,
terlepas apakah efektif atau tidak).
Disamping itu, menurut Chester Barnard, dalam Kebijakan Kinerja Karyawan
(Prawirosentono, 1999 : 28), pengertian efektif dan efisien dikaitkan dengan sistem
kerjasama seperti dalam organisasi perusahaan atau lembaga pemerintahan, sebagai
berikut :
“Effectiveness of cooperative effort relates to accomplishment of an objective
of the system and it is determined with a view to the system’s requirement.
The efficiency of a cooperative system is the resultant of the efficiency of the
individuals furnishing the constituent effort, that is, as viewed by them”.
(Efektifitas dari usaha kerjasama - antar individu, berhubungan dengan
pelaksanaan yang dapat mencapai suatu tujuan dalam suatu sistem, dan hal itu
ditentukan dengan suatu pandangan dapat memenuhi kebutuhan sistem itu
sendiri. Sedangkan efisiensi dari suatu kerjasama dalam suatu system - antar
individu, adalah hasil gabungan efisiensi dari upaya yang dipilih masing-
masing individu).
Dalam bahasa dan kalimat yang mudah hal tersebut dapat dijelaskan bahwa :
pengukuran efisiensi selalu menyandingkan jumlah input dan output dalam suatu
rasio. Efisien adalah perolehan suatu output sejumlah tertentu dengan menggunakan
sedikit mungkin input, atau dipandang dari sisi input adalah penggunaan input
sejumlah tertentu untuk mendapatkan output yang lebih banyak. Sering terjadi bahwa,
pengukuran efisiensi membutuhkan pembanding kinerja yang sejenis.
Efisien tetapi tidak efektif berarti baik dalam memanfaatkan sumberdaya
(input), tetapi tidak mencapai sasaran. Sebaliknya, efektif tetapi tidak efisien berarti
dalam mencapai sasaran menggunakan sumber daya berlebihan atau lazim dikatakan
ekonomi biaya tinggi. Tetapi yang paling parah adalah tidak efisien dan juga tidak
efektif, artinya ada pemborosan sumber daya tanpa mencapai sasaran atau
penghambur-hamburan sumber daya. Efisien harus selalu bersifat kuantitatif dan
dapat diukur, sedangkan efektif mengandung pula pengertian kualitatif. Efektif lebih
mengarah ke pencapaian sasaran. Efisien dalam menggunakan masukan (input) akan
menghasilkan produktifitas yang tinggi, yang merupakan tujuan dari setiap organisasi
apapun bidang kegiatannya.
Hal yang paling rawan adalah apabila efisiensi selalu diartikan sebagai
penghematan, karena bisa mengganggu operasi, sehingga pada gilirannya akan
mempengaruhi hasil akhir, karena sasarannya tidak tercapai dan produktifitasnya
akan juga tidak setinggi yang diharapkan. Penghematan sebenarnya hanya sebagian
dari efisiensi. Persepsi yang tidak tepat mengenai efisiensi dengan menganggap
semata-mata sebagai penghematan sama halnya dengan penghayatan yang tidak tepat
mengenai Program Pengurangan Biaya (Cost Reduction Program), yang sebaliknya
dipandang sebagai Program Perbaikan Biaya (Cost Improvement Program) yang
berarti mengefektifkan biaya. Efektif dikaitkan dengan kepemimpinan (leadership)
yang menentukan hal-hal apa yang harus dilakukan (what are the things to be
accomplished), sedangkan efisien dikaitkan dengan manajemen, yang mengukur
bagaimana sesuatu dapat dilakukan sebaik-baiknya (how can certain things be best
accomplished).
Berangkat dari pengertian tersebut, dapat dikemukakan bahwa dalam
efektivitas kerja yang diutamakan adalah semata-mata hasil atau tujuan yang
dikehendaki tanpa mempertimbangkan biaya, tenaga, dan waktu yang dikeluarkan.
Jadi dapat dipahami bahwa sesuatu yang dianggap efektif belum tentu efisien, karena
hanya mengejar hasil yang diinginkan tanpa memperhitungkan berapa besar dana,
daya, sarana yang telah dikeluarkan, serta lama waktu yang dibutuhkan dalam
penyelesaian pekerjaan tersebut. Dapat dikatakan juga bahwa efektivitas adalah suatu
kesesuaian atas kemampuan dalam mencapai tujuan yang sesuai dengan harapan.
Selanjutnya agar tujuan organisasi dapat tercapai, menurut Sarwoto (1994: 73)
pelaksanaan kegiatan harus didasarkan pada prinsip-prinsip efektivitas, yaitu
meliputi:
1. Berhasil guna, yaitu kegiatan telah dilaksanakan dengan tepat (target
tercapai) sesuai waktu yang ditetapkan dan hasil yang dicapai berkualitas.
2. Ekonomis, yaitu dalam pencapaian efektif biaya, tenaga kerja, material,
peralatan, waktu, ruang dan lain-lain telah digunakan setepat-tepatnya
sesuai rencana.
3. Pelaksanaan kerja yang dapat dipertanggunjawabkan, yaitu bahwa dalam
pelaksanaan kerja sumber-sumber telah dimanfaatkan dengan setepat-
tepatnya.
4. Pembagian kerja yang nyata, yakni berdasarkan logika bahwa tidak
mungkin manusia seorang diri mengerjakan segala macam pekerjaan
dengan baik, perlu pembagian kerja.
5. Rasionalitas wewenang dan tanggung jawab, artinya jangan sampai
seseorang mempunyai wewenang yang lebih besar dari tanggung
jawabnya.
6. Prosedur kerja yang praktis, artinya pelaksanaan kerja harus merupakan
kegiatan yang praktis yaitu dapat dikerjakan dan dapat dilaksanakan
secara efektif dan efisien sesuai prosedur yang jelas.
Setiap organisasi mempunyai satu atau beberapa tujuan yang memberikan
arah dan menyatukan unsur-unsur yang terdapat didalam organisasi tersebut. Dimana
tujuan yang akan dicapai di masa yang akan datang tersebut adalah suatu keadaan
yang lebih baik daripada keadaan sebelumnya. Dalam rangka pencapaian tujuan-
tujuan inilah diperlukan serangkaian kegiatan, yang dikenal dengan proses
manajeman (Veitzhal, 2004), yaitu :
1. Perencanaan (Planning).
Berupa tindakan pengambilan keputusan yang mengandung
data/informasi, asumsi maupun fakta kegiatan yang akan dipilih dan akan
dilakukan pada masa mendatang.
2. Pengorganisasian (Organizing).
Bentuk tindakan-tindakan yang dapat mempersatukan kumpulan kegiatan-
kegiatan manusia, yang mempunyai pekerjaan masing-masing, saling
berhubungan satu dengan lainnya dengan tata cara tertentu dan
berinteraksi dengan lingkungannya dalam rangka mendukung tercapainya
tujuan penggunaan sumber daya secara optimal.
3. Penggerakan (Actuating) atau Manajemen Staf.
4. Kepemimpinan (Leadership).
Pimpinan organisasi dapat menggunakan memimpin dalam bentuk
organisasi dan integrasi.
5. Pengendalian (Controlling).
Berupa tindakan pengukuran kualitas penampilan dan penganalisaan serta
pengevaluasian penampilan yang diikuti denga tindakan perbaikan yang
harus diambil terhadap penyimpangan yang terjadi, tindakan tersebut
antara lain :
- Menetapkan standar pencapaian hasil kerja.
- Standar mutu pelayanan.
- Melakukan reviu atas hasil kerja.
- Melakukan tindakan perbaikan.
6. Pengawasan (Supervision).
Melakukan audit terhadap kemungkinan adanya ketidakcocokan dalam
pelaksanaan ataupun system prosedur yang berlaku, sehingga tidak
menimbulkan risiko yang tidak baik bagi organisasi.
B. Kinerja Pengawasan
Audit kinerja adalah audit yang dilakukan secara obyektif dan sistematis
terhadap berbagai macam bukti untuk menilai kinerja entitas yang diaudit dalam hal
ekonomi, efisien dan efektif (value for money audit) dengan tujuan untuk
memperbaiki kinerja dan entitas yang diaudit dan meningkatkan akuntabilitas publik.
Bahwa untuk menjamin tercapainya tertib pelaksanaan program dan kegiatan
pembangunan Kesejahteraan Sosial sesuai dengan tingkat perkembangannya, perlu
meningkatkan serta memantapkan kegiatan pengawasan fungsional di lingkungan
Departemen Sosial. Peningkatan program secara manajerial harus diimbangi dengan
peningkatan pengawasan, khususnya pengawasan terhadap kinerja para pegawai
dalam pelaksanaan pelayanan di panti dengan didasarkan pada aspek ekonomi, efisien
dan efektifitas antara pengelolaan dan penggunaan keuangan serta ketaatan terhadap
peraturan perundang-undangan.
Untuk itu dalam menjaga dan mendorong agar pelaksanaan tugas (khususnya
tugas pelayanan di PSKW “Mulya Jaya” Pasar Rebo) dilakukan sesuai dengan
rencana, program, pedoman, kebijaksanaan dan ketaatan peraturan perundang-
undangan yang berlaku maka diperlukan audit yang dilaksanakan Inspektorat
Jenderal sebagai aparat pengawasan fungsional intern.
Pelaksanaan audit yang dilaksanakan oleh Inspektorat Jenderal adalah
Pemeriksaan Komprehensif, yaitu suatu pengujian obyektif dan konstrutif yang
dilakukan secara menyeluruh untuk semua aspek kegiatan instansi/unit organisasi
obyek yang diperiksa dengan tujuan untuk :
1. mengetahui apakah pelaksanaan aspek-aspek operasional, pengelolaan
keuangan, sumber daya manusia serta sarana dan prasarana telah
dilakukan secara ekonomis, efisien dan efektif dalam menunjang
tercapainya pelaksanaan tugas.
2. mengetahui apakah pertanggungjawaban atau akuntabilitas instansi/unit
organisasi telah dibuat secara memadai.
Pemeriksaan komprehansif mencakup penilaian atas pengendalian keuangan
maupun manajemen, termasuk sistem informasi dan pelaporan serta pemberian saran
yang konstruktif mencakup :
1. Aspek operasional :
Mempunyai tujuan untuk memperoleh keyakinan yang memadai bahwa
kegiatan dilaksanakan sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan
dan merupakan cara yang paling ekonomis, efisien dan efektif.
2. Aspek Keuangan
Mempunyai tujuan untuk memperoleh keyakinan yang memadai bahwa
pengelolaan keuangan yang telah dilakukan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku dan penggunaan dana dilaksanakan secara efisien dan efektif.
3. Aspek Sumber Daya Manusia
Mempunyai tujuan untuk memperoleh keyakinan yang memadai bahwa
sumber daya manusia telah digunakan secara optimal dalam mendukung
pelaksanaan kegiatan opersional dan fungsi Satker secara efisien dan
efektif.
4. Mempunyai tujuan untuk memperoleh keyakinan yang memadai bahwa
sarana dan prasarana telah digunakan secara ekonomis, efisien dan efektif.
Audit komprehensif merupakan istilah yang berkaitan dengan mandat audit yang
diperlukan untuk memungkinkan pelaksanaan jenis-jenis audit secara simultan guna
mencakup area yang luas dan mencegah pelaksanaan audit yang berulang-ulang atau
tumpang tindih atas suatu auditan.