bab ii kehidupan sosial budaya masyarakat di kota … · a. perkembangan kota ... baik fisik maupun...
TRANSCRIPT
15
BAB II
KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT
DI KOTA MAGELANG
A. Perkembangan Kota Magelang masa Kolonial
Sebuah kota tidak lahir dengan sendirinya, melainkan tumbuh melalui
proses sejarah yang relatif panjang. Sepanjang sejarah kota tersebut, kota
mengalami perkembangan dan perubahan, baik fisik maupun non fisik, yang pada
tingkat tertentu menunjukkan adanya kesinambungan hingga sekarang.1
Keberadaan sebuah kota selain tidak dapat dipisahkan dari masa lalunya, juga
ditentukan oleh sejarahnya. Oleh karena itu, untuk dapat memahami dinamika,
karakteristik, dan kecederungan sebuah kota perlu dikaji sejarahnya.2
Proses pertumbuhan kota memiliki dua cara yaitu endogen dan eksogen.
Proses ini diakibatkan karena adanya dorongan oleh kekuatan dari dalam
masyarakat dan masuknya sistem sosio budaya luar yang lebih maju. Proses
eksogen terdiri atas,
1. Imposisi kota, pertumbuhan pusat pemukiman kota yang terbentuk sebagai
akibat dari pendudukan langsung oleh sistem sosio budaya lain diatas
pusat pemukiman masyarakat yang ditaklukan.
2. Implantasi, munculnya pusat kehidupan kota sebagai akibat pendudukan
tidak langsung dari sistem sosio budaya lain.
1 R. Bintarto, Interaksi Desa-Kota dan Permasalahannya, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1983), hlm.8. 2 Sartono Kartodirdjo, Masyarakat Kuno dan Kelompok Sosial, (Jakarta:
Bharata Karya Aksara, 1977), hlm.1.
16
Seperti halnya perkembangan kota-kota kolonial lainnya, perkembangan
kota Magelang pada masa kolonial merupakan perpaduan tiga arus kebudayaan
pokok, yaitu: Eropa (Belanda), Pribumi (Jawa), dan Timur Asing (Cina). Ketiga
tradisi kebudayaan ini berkembang sendiri-sendiri dengan pengarahan pemerintah
kolonial dan diatur dengan pengaturan tata letak kota.3
Pemerintah Belanda dalam membangun kota kolonialnya tetap
mempertahankan bentuk dan struktur dari tradisi pembangunan kota jawa.4 Usaha
untuk mengadaptasi ke dalam sejarah bangunan dan lingkungan lokal secara nyata
ditemukan pada bentuk-bentuk arsitektur dan bangunan di kota Magelang yang
memiliki perpaduan antara kolonial dan lokal.
Menurut Prof. Kevin Lynch, ada lima elemen pokok atau dasar pembentuk
sebuah kota, yaitu:5
1. Pathways, merupakan jalur-jalur sirkulasi yang digunakan oleh orang
untuk melakukan pergerakan.
2. District, adalah kota yang terdiri dari lingkungan-lingkungan
bagiannya: pusat kota, uptown, midtown, daerah perumahan, daerah
industri, sub-urban, dan sebagainya.
3. Edges, adalah akhir dari sebuah district. Beberapa district tidak
mempunyai edge yang jelas, tetapi sedikit demi sedikit berbaur dengan
3 B.N. Marbun, Kota Masa Depan: Prospek dan Permasalahan, (Jakarta:
Penerbit Erlangga, 1979), hlm.9. 4 Ronald Gilbert Gill, Kota Hindia di Jawa dan Madura: Sebuah
Penelitian Morfologi Tentang Perkembangannya, (Disertasi. Delf University,
1995), hlm.4. 5 Kevin Lynch, The Image Of The City, (Cambridge: The M.I.T.Press,
1960), hlm.46.
17
district lain. Jika dihubungkan dalam sebuah edge maka akan
membentuk seam.
4. Landmarks, merupakan bentuk-bentuk visual yang menyolok dari
sebuah kota. Landmark adalah elemen-elemen penting dari bentuk
kota karena membantu untuk mengarahkan dan mengenal suatu kota.
5. Nodes, adalah pusat aktivitas yg merupakan sebuah tipe dari landmarks
tetapi berbeda fungsi. Landmarks adalah objek visual yang jelas
berbeda, sedangkan sebuah node adalah pusat aktivitas yang berbeda.
Pada awal abad ke-19, pada masa ini Magelang merupakan sebuah desa
yang dikuasai Inggris, dan kemudian Magelang dijadikan sebagai pusat
pemerintahan setingkat kabupaten dan mengangkat Mas Ngabehi Danoekromo
sebagai Bupati yang pertama. Mas Ngabehi Danoekromo inilah yang merintis
berdirinya kota Magelang dengan membuat alin-alun, membangun rumah Bupati,
dan membangun Masjid. Bupati ini bahkan diakui oleh pemerintah Belanda dan
mendapatkan gelar Tumenggung Danoeningrat.6
Pemerintah Inggris sangat sedikit memperhatikan perkembangan kota
sehingga masih banyak yang harus dibenahi. Setelah Jawa diambil alih lagi oleh
Belanda, perkembangan kota Magelang semakin diperhatikan. Bisa dikatakan
bahwa kota Magelang memulai perkembangannya dari desa ke kota pada tahun
1817 ketika pemerintah Hindia-Belanda menjadikan kedu sebagai Karesidenan
tersendiri dengan residen sendiri (sebelumnya wilayah ini digabungkan dengan
6 Staadsgemeente Magelang. Magelang : Bouwerordening Ordonantie
1936. Magelang : Het Bestuur der Staadsgemeente, 1937. hlm.17-18.
18
Karesidenan Pekalongan), melalui keputusan Komisaris Jenderal No. 24 tanggal
14 Maret 1817.7
Letak geografis kota Magelang yang sangat strategis membuat kota
Magelang dipilih menjadi Ibukota Karisidenan Kedu pada tahun 1818. Setelah itu
mulai banyak dibangun bangunan baru dengan model Eropa yang dibangun bagi
para pejabat Eropa. Bangunan-bangunan ini terletak di daerah utama yaitu di
sekitar alun-alun dan sepanjang jalan utama kota.
Setelah tahun 1830 kota Magelang mulai meningkatkan infrastruktur dan
sarana komunikasi antara lain berupa pembangunan jalan kereta api, jalan raya,
pembuatan saluran irigasi untuk kepentingan industri gula, pabrik, jembatan dan
sebagainya. Disamping itu juga dibangun lintasan trem yang menghubungkan
kota Magelang dengan kota-kota sekitarnya. Di dalam kota sendiri mulai
dibangun berbagai sarana dan prasarana pendidikan, pelayanan kesehatan,
perdagangan, perkantoran, hiburan dan rekreasi derta pemukiman yang sudah
tentu harus dilihat dari sudut kepentingan kolonial dimana Magelang merupakan
pusat pengumpulan hasil perkebunan yang harus dihubungkan dengan Semarang
sebagai kota pelabuhan yang berfungsi sebagai daerah distribusi hasil perkebunan
didaerah pedalaman.
Pada tahun1892 menurut laporan dari Dinas Pengukuran tanah, sebagian
besar bangunan yang ada berupa rumah papan dan bambu. Hanya terdapat
bangunan rumah yang terbuat dari batu yaitu kediaman Residen, rumah Bupati
Magelang, rumah Bupati Menoreh, rumah dokter ahli bedah, dan rumah mantri
7 Staadsgemeente Magelang, op.cit, hlm 19.
19
cacar. Rumah-rumah orang Eropa yang lain dan Cina umumnya terbuat dari
bambu atau papan.
Beberapa proyek besar yang penting bagi perkembangan wilayah Kedu
dan bagi kota Magelang, proyek tersebut adalah sebagai berikut:
1. Tahun 1833 jalan raya dari Yogyakarta ke Magelang diteruskan ke
Pringsurat. Pada saat itu hubungan ke Semarang masih melalui Grabag
dan Salatiga.
2. Tahun 1842 jalan raya lewat Pingit diteruskan ke Ambarawa sehingga
hubungan langsung Yogya-Magelang-Ambarawa-Semarang muncul.
3. Tahun 1842 jalan Magelang-Salaman dijadikan jalan raya pos.
4. Tahun 1843 dibangun berbagai jembatan besar dijalan raya Yogya-
Semarang dan jalan raya Magelang-Bagelen.
5. Tahun 1851 jalan Salaman-Purworejo dibuka.
6. Tahun 1857 saluran kota yang dikenal dengan nama kali Manggis dibuka.
Saluran ini merupakan cabang dari sungai Elo. Panjangnya 12 kilometer
dan mengairi 625 bau sawah.
7. Tahun 1862 jalan-jalan yang bisa melalui kedu dibuat.
8. Tahun 1870 jalan-jalan tersebut diperbaiki sehingga menjadi jalan utama.
Jalan raya Secang-Temanggung-Parakan-Wonosobo-ditingkatkan menjadi
jalan raya utama.
9. Tahun 1873 dibuka jalan kereta api yang menghubungkan Magelang
dengan Semarang dan Yogya. Dibangun pula lintasan trem yang
menghubungkan Magelang dengan kota-kota di sekitarnya. Pada akhir
abad ke-19 NIS masih membuka sambungan kereta api Yogya-Magelang-
20
Willem I (Ambarawa) dan Secan-Parakan, dimana posisi Magelang
semakin diperkuat.8
Pada tahun 1859 didirikan Nederlandsch Gereformerde
Zendingsvereninging dan pada tahun 1875, Sekolah Pendidikan Guru atau
Kweekschool yang ada di Surakarta dipindahkan ke Magelang. Pada tahun 1878
didirikan Sekolah Raja atau Hoofdenschool, sekolah ini pada tahun 1900 diberi
nama Opleiding School voor Inlandsch Ambtenaren atau OSVIA yang kemudian
ditingkatkan statusnya menjadi sekolah menengah dengan nama Middlebare
OSVIA (MOSVIA).
Hoofden School (cikal bakal OSVIA) tersebar di Jawa, masing-masing
berada di Bandung, Magelang, dan Probolinggo. Pada tahun 1900 sekolah-sekolah
ini mengalami reorganisasi dan diberi nama baru, yakni OSVIA. Di Bandung,
sebagian muridnya berasal dari Jawa Barat. OSVIA Magelang, menarik siswa-
siswa dari Jawa Tengah, sedangkan OSVIA Probolinggo bagi siswa dari Jawa
Timur.
Pada tahun 1900, OSVIA membuka cabang lagi di tiga tempat, yakni
Serang, Madiun, dan Blitar. Pembukaan cabang itu dilakukan karena jumlah
murid OSVIA meningkat dua kali lipat.
Pada tahun 1927 seluruh cabang OSVIA digabungkan menjadi MOSVIA
(Middelbare Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren) yang berpusat di
Magelang. Salah atu tokoh pergerakan nasional, KH. Ahmad Dahlan pernah
menjadi pengajar Agama Islam di OSVIA Magelang.
8 Staadsgemeente Magelang, op.cit., hlm.21-22.
21
Salah satu alumni MOSVIA Magelang adalah Bapak Sosiologi Indonesia Prof.
Dr. Selo Soemardjan, yang menempuh pendidikannya di MOSVIA Magelang
tahun 1931-1934.
B. Wilayah Kota Magelang
Pada tahun 1903 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Undang-
undang Desentralisasi (Decentralisatiewet) dengan tujuan memberikan hak
otonom dan membentuk daerah pada setiap Karesidenan (Gewest) dan kota-kota
besar (Gemeente). Maksud utama dari undang-undang ini adalah memberikan
pemerintahan sendiri pada wilayah Karesidenan dan Kabupaten (Afdeling).
Daerah-daerah ini akan di perintah oleh Dewan Wilayah yang di ketuai oleh
Residen dan Dewan Kota (Gemeenteraad) yang di ketuai oleh Asisiten Residen,
yang selanjutnya di jabat oleh seorang walikota/Burgemeester.
Pada tahun 1905 dikeluarkanlah Decentralisatie Besluit dengan Staatsblad
No. 137 tahun 1905 yang bertujuan membentuk kota-kota otonom di Indonesia9.
Pembentukan kota otonom tersebut di mulai dengan Batavia pada tanggal 1 April
1905, Bandung tahun 1906, Surabaya tahun 1906 dan Semarang tahun 1907.
Dewan Kota ini pada mulanya di bentuk di kota-kota besar yang berpenduduk
lebih dari 120.000 orang, namun kemudian di susul dengan kota-kota yang lebih
kecil. Magelang sendiri di tetapkan menjadi kota otonom pada tanggal 1 April
1906 berdasarkan Staatsblad nomor 125 tahun 1906.10
Adapun yang di tunjuk sebagai kota otonom adalah kota besar yang
mempunyai banyak penduduk Eropa dan di sekitar kota tersebut banyak
9 Staatsblad van Nederlansch Indie 1905 nomor 137
10 Staatsblad van Nederlansch Indie 1906 nomor 125
22
Onderneming perkebunan tebu, kopi dan sebagainya. Selain otonomi yang di
berikan masih terbatas untuk menangani pertumbuhan kota dan pemeliharaan
fasilitas umum. Untuk kota Magelang wewenang yang di berikan adalah sebagai
berikut : perbaikan dan perawatan jalan umum, jalan, lapangan dan taman,
jembatan, selokan, pelapisan pinggiran jalan, parit, pematang, trotoar, sumur dan
proyek lain; got-got, saluaran air dan saluran pembuangan umum, air minum dan
air untuk mencuci, air untuk mandi dan los-los pasar. Merawat dan memperbaiki
saluran pembuangan kota, jembatan di atas Sungai Progo dan Elo. Kebersihan dan
pembuangan sampah, pemadam kebakaran dan pembukaan area pemakaman.
Karena luasnya wewenang yang di berikan kepada Dewan Kota
(Gemeenteraad) tersebut maka pranata-pranata kota modern di terapkan di kota
Magelang. Dengan rencana pengembangan kota yang teratur dan pranata politik
pembentukan Dewan Kota, kota sebagai suatu pemukiman yang memiliki jalinan
sosial ekonomi kompleksa mulai di kelola secara professional. Sehingga dengan
demikian dapat di katakan sejak tahun 1906 kota Magelang mengalami
perkembangan yang sangat pesat.
Dengan keluarnya Surat Edaran Komisaris Pemerintah untuk
Desentralisasi tanggal 20 Mei 1904 No. 112 yang berisi rencana untuk
membentuk sebuah dewan Kotapraja di Ibukota Magelang, maka dipandang perlu
untuk merubah batas-batas yang ditetapkan dalam Lembaran Negara 1887 No. 8
dan sebanyak mungkin menerima batas-batas alami. Usulan tersebut diajukan
melalui surat tanggal 29 November 1904 No. 12074. Usulan tersebut disetujui dan
23
ditetapkan dengan surat keputusan tanggal 20 Januari 1905 No.22. dengan
keluarnya surat keputusan tersebut maka batas-batas kota Magelang yaitu:11
Utara : batasan antara Onderdistrict Magelang dan Secang dari Distrik
Magelang, aliran kanan Sungai Elo sampai aliran kiri Sungai Progo.
Barat : aliran kiri sungai Progo dari titik potongnya dengan batas
Onderdistrict Magelang dan Secang, ke selatan sampai titik potong dengan batas
antara Onderdistrict Magelang dan Mertoyudan.
Selatan : batas antara Onderdistrict Magelang dan Mertoyudan, aliran kiri
Sungai Progo sampai aliran kanan Sungai Elo.
Timur : aliran kanan Sungai Elo dari titik potong dengan batas antara
Onderdistrict Magelang dan Mertoyudan, ke utara sampai titik potong dengan
batas antara Onderdistrict Magelang Secang.
Dalam rapat umum Dewan Kotapraja Magelang yang diadakan pada hari
Selasa tanggal 17 Maret 1925, dibahas surat ketua dewan tanggal 5 Maret 1925
No.233/57 tentang perluasan bata-batas Kotapraja.12
Rapat ini menghasilkan
keputusan 6 suara setuju perluasan dan 2 suara menolak. Hasil dari rapat ini
diajukan kepada Gubernur Jenderal Hindia-Belanda oleh Ketua Dewan Kotapraja
Magelang melalui suratnya tanggal 5 Juni 1925 No. 772/57. Surat ini berisi
permintaan kepada Gubernur Jenderal untuk mengijinkan perubahan batas-batas
Kotapraja Magelang yang ditetapkan melalui Peraturan 20 Januari 1905 No.2213
bagi Ibukota Magelang dan dalam Staadsblad 1906 No. 125 dinyatakan berlaku
11
Besluit 20 Januari 1905 No. 22 12
Uittreksel uit de notulen van de Openbare Vorgadering van den
Gemeenterad van Magelang, gehouden op DINSDAG, 17 Maret 1925 des
namiddags ten 6,30 une in Raadhuis. 13
Staatsblad Van Nederelansch Indie 1905 No.70
24
bagi Kotapraja Magelang. Usulan ini disetujui oleh Residen Kedu yang
dinyatakan dalam suratnya tanggal 24 Juni 1925 No. 490/44 yang ditujukan
kepada Gubernur Jenderal Hindia-Belanda.
Setelah melalui usulan yang panjang, usulan perubahan batas wilayah
Kotapraja Magelang akhirnya disetujui dan ditetapkan melalui Surat Keputusan
No. 25 tanggal 3 Januari 1927. Dengan keputusan ini, maka wilayah Ibukota
Magelang menjadi14
:
Utara : batas antara desa Kramat dan Sambungrejo sejauh terletak antara Kali
Progo dan lahan milik lembaga rumah sakit jiwa Kramat. Kemudian ke arah utara
dan timur mengikuti batas tanah yang dipetakan dari lembaga tersebut sampai ssi
timur jalan raya dari Secang ke Magelang. Kemudian jalan ini ke selatan sampai
batas antara Onderdistrict Magelang dan Secang, mengikuuti batas samapi Kali
Elo.
Timur : dari titik potong batas utara dengan Kali Elo, aliran kanan sungai ini
mengikuti sampai titik potong dengan jalan desa yang membentang sepanjang
dusun Salahan dan Soka.
Selatan : jalan desa tersebut dari Kali Elo sampai titik silang dengan jalan raya
menuju Yogyakarta, selanjutnya sisi barat jalan raya ini ke arah selatan sampai
kali Soko, mengikuti aliran kali ini sampai saluran Tangsi selanjutnya aliran
kanan saluran ini sdan parit yang mengalir sepanjang batas utara dari Dusun
Senmeng sampai Kali Bening untuk kemudian mengikuti aliran kiri Kali Bening
sampai titik potong dengan batas antara desa Bulurejo dan Jurangombo,
mengikuti batas desa ini sampai Kali Progo.
14
Besluit 3 Januari 1927 No. 25
25
Barat : aliran kiri kali Progo dari titik potong dengan batas selatan sampai titik
dimana batas utara di mulai.
C. Kehidupan Sosial Masyarakat di Kota Magelang
Kehadiran bangsa Belanda sebagai penguasa di pulau jawa menyebabkan
pertemuan dua kebudayaan, yaitu Barat dan Timur. Kebudayaan Barat (Belanda)
dan Kebudayaan Timur (Jawa), yang masing-masing didukung oleh etnis berbeda
dan mempunyai struktur sosial yang berbeda pula. Akibat percampuran
kebudayaan tersebut, kebudayaan bangsa pribumi diperkaya dengan kebudayaan
Barat. Karena demikian besarnya pengaruh kebudayaan Eropa tersebut terhadap
kebudayaan Jawa, ketujuh universal budaya utama (seven cultural universals)15
yang dimiliki suku jawa sepenuhnya terpengaruhi olehnya.
Budaya Indis pada awalnya didukung oleh kebiasaan hidup membujang
para pejabat Belanda. Adanya larangan membawa istri (kecuali pejabat tinggi) dan
mendatangkan wanita Belanda ke Hindia-Belanda mengakibatkan terjadinya
percampuran darah yang melahirkan anak-anak campuran dan menumbuhkan
budaya dan gaya hidup Belanda-pribumi yang disebut gaya Indis.16
Pada awal abad ke-20 perkembangan masyarakat kolonial telah
mengalami perubahan yang signifikan. Hal ini merupakan dampak dari mobilitas
kaum pribumi yang digerakkan oleh perluasan pengajaran. Di masa ini terciptalah
15
Clyde Kluckhohn, Universal Categories of Culture, di dalam A,L.
Kroeber,Anthropology Today, (Chicago: The University of Chicago Press, 1952),
hlm 507. 16
Djoko Soekiman, Kebudayaan Indis Dan Gaya Hidup Masyarakat
Pendukungnya Di Jawa (Abad XVIII-Medio Abad XX). (Yogyakarta: Yayasan
Bentang Budaya, 2000), hlm 8.
26
golongan profesional sebagai golongan sosial baru. Mereka biasanya bekerja
sebagai seorang elit birokrat atau administrasi di pemerintahan.
Elit administrasi atau birokrasi di kota-kota kabupaten merupakan
golongan yang berprestise, berkedudukan ekonomi baik, serta memiliki kekuasaan.
Inti dari golongan ini ialah para pejabat pangreh praja (Binnenland Bestuur)
dengan bupati pada puncak hierarki birokrasi, disusul oleh patih, wedana, asisten
wedana, mantri-mantri, juru tulis. Sudah tentu tingat kepangkatan serta
pendapatan memungkinkan penghayatan kehidupan menurut gaya tertentu,
misalnya rumah dan halamannya, perabot, pakaian, makanan, rumah tangga dan
pembantu-pembantunya, serta lambang-lambang status lainnya.17
Inti dari perubahan pada awal abad 20 adalah pendidikan gaya barat,
semakin tinggi pendidikannya maka orang tersebut semakin dekat dengan pusat-
pusat kota dunia kolonial. Dengan demikian, kesempatan untuk mendapatkan
pekerjaan semakin terbuka, namun mereka akan semakin terhisap ke dalam dunia
kolonial Belanda, makin modern orang tersebut ia semakin jauh dari cara hidup
yang dijalani generasi orang tuanya.
Sejak awal abad ke 18 sampai awal abad 20 muncul golongan sosial baru
sebagai pendukung kuat kebudayaan campuran (Belanda-Jawa) di daerah jajahan
Hindia Belanda. Hal itu disebabkan oleh besarnya pengaruh kebudayaan Belanda
di Pulau Jawa. Burger menyebutkan ada lima golongan masyarakat baru18
yaitu,
a. Golongan Pamong Praja bangsa Belanda
b. Golongan Pegawai Indonesia baru
17
Sartono Kartodirjo, Sejarah Pergerakan Nasional. Jilid II, (Jakarta:
Gramedia), hlm 82. 18
D.H. Burger, Perubahan-perubahan Struktur dalam Masyarakat Jawa,
(Jakarta: Bharata, 1983), hlm 65.
27
c. Golongan Pengusaha Partikelir Eropa
d. Golongan yang terdiri dari akademisi Indonesia (sarjana hukum,
insinyur, dokter, guru, ahli pertanian, dan lain-lain).
e. Golongan menengah Indonesia (pengusaha Indonesia yang mempunyai
usaha di bidang perdagangan dan kerajinan).
Pada masa penjajahan Belanda, untuk menetapkan suatu daerah menjadi
Staadsgemeente, ada tiga macam pertimbangan yaitu:
1. Personen (penduduk)
2. Omstandigheden (keadaan setempat)
3. Geld (keuangan)
Personen atau penduduk yang dimaksud disini adalah penduduk kulit putih
(orang Eropa) dan paling tidak harus mencapai jumlah 10 persen dari jumlah
penduduk daerah tersebut.19
Berdasarkan dengan pengertian menurut peraturan perundang-undangan
Pemerintah Hindia-Belanda tanggal 31 Desember 1906, Staadsblad 1907 nomor
205 yang menyatakan bahwa semua orang yang bertempat tinggal di Indonesia
sebelum tanggal 1 Januari 1920 termasuk golongan Eropa atau yang
dipersamakan dengan Eropa, dan sesudah tanggal tersebut tetap tunduk pada
ketentuan-ketentuan untuk orang Eropa.20
19
Van Der Zee, Het Indische Gemeentewezen,(„s-Gravenhage: Martinus
Nijhoff, 1920), hlm. 20. 20
R. Supomo, Sistem Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Noordoff-KolffNV,
1960), hal.12.
28
Jumlah Penduduk Magelang pada tahun 1905 adalah 68.625 orang dengan
perincian sebagai berikut:21
Orang Eropa : 800
Vreemde-Oosterlingen (Timur Asing) : 2.825
Orang Indonesia (pribumi) : 65.000
Jumlah : 68.625
Data tersebut menunjukkan bahwa penduduk kulit putih yang tinggal di
Magelang berjumlah 3.625 orang atau 5,28% dari jumlah penduduk Magelang.
Hubungan sosial pada jaman Kolonial Belanda, kebanyakan didasarkan
pada sistem kelas yang disesuaikan dengan struktur sosial pada masa itu. Struktur
sosial masyarakat pada umumnya terbagi atas tiga golongan, yaitu golongan orang
Eropa (Belanda), golongan Timur Asing, dan golongan Pribumi. Pengaruh
diskriminasi ras ini dilihat dari struktur jabatan kepegawaian pemerintahan jelas
sekali perbedaan yang mencolok antara pegawai kebangsaan Eropa dengan
penduduk Bumiputera. Jabatan-jabatan tertentu di bidang pemerintahan diangkat
dari penduduk Bumiputera sampai pada jabatan tingkat menengah sedangkan
untuk jabatan kepegawaian yang lebih tinggi sebagian diisi oleh orang-orang
Eropa atau Indo-Eropa. Pembagian struktur ini dapat digambarkan sebagai
berikut :
21
Encyclopedie van Nederlandsch Indie, Tweede Deel H-M, s‟-
Gravenhage-Leiden : Martinus Nijhoff – NV, 1918
29
Berdasarkan diagram menunjukkan bahwa orang Belanda dan Eropa
mempunyai kedudukan sosial yang lebih tinggi dan mereka mendapat perlakuan
yang istimewa. Golongan Indo dan Timur Asing merupakan Golongan yang
menempati posisi kedua, dengan kedudukan dan hak yang hampir sama dengan
orang Belanda. Sedangkan golongan pribumi berada dalam strata sosial yang
paling rendah dengan kedudukan dan hak yang terbatas.
Sementara itu Sartono Kartodirdjo membagi masyarakat Hindia Belanda
berdasarkan pendidikannya. Perkembangan pendidikan dan pengajaran
menumbuhkan golongan sosial baru yang mempunyai fungsi dan status baru.
Stratifikasi tersebut yaitu,22
1. Elite birokrasi yang terdiri atas Pangreh Praja Eropa dan Pangreh
Praja Pribumi.
2. Priyayi birokrasi termasuk priyayi ningrat.
3. Priyayi profesional (priyayi gedhe dan priyayi cilik)
22
Sumijati Umosudiro dkk (editor), 2001, Jawa Tengah: Sebuah Potret
Warisan Budaya. Suaka Peninggalan Sejarah Dan Purbakala Propinsi Jawa
Tengah Dan Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya UGM, hlm 14
Orang Belanda dan Eropa
Golongan Indo dan Timur Asing
Golongan Pribumi
30
4. Golongan Belanda dan golongan Indo yang secara formal masuk
status Eropa dan mempunyai tendensi kuat untuk
mengidentifikasikan diri dengan pihak Eropa.
5. Orang kecil (wong cilik) yang tinggal di Kampung.
Adanya keanekaragaman penduduk yang ada di kota Magelang, maka
berdampak pada pola kehidupan dan budaya yang berkembang pada saat itu. Dari
keanekaragaman penduduk tersebut, maka untuk mengetahui budaya dari
masyarakat itu perlu diketahui karakteristik dari masing-masing penduduk.
1. Orang-orang Belanda
Orang-orang Eropa di Magelang adalah orang Belanda dan keturunan
Belanda-Indo yang menurut hukum termasuk kategori European. Kota Magelang
setelah dikuasai oleh pemerintah Belanda, masyarakat keturunan Belanda
menempati kedudukan paling penting dan tinggi dalam sistem pemerintahan.
Suatu daerah yang dikuasai oleh Belanda dikenal dengan adanya diskriminasi ras
yang ditanamkan oleh konsentrasi unsur-unsur Bumiputera pada jabatan-jabatan
rendah dan lapisan atas yang terdiri atas golongan Eropa dan penduduk
Bumiputera pada bagian yang paling bawah.23
Ciri sosial lainnya yaitu
pembatasan dalam pergaulan sosial antara ras-ras tersebut. Orang Jawa dilarang
memasuki perkumpulan-perkumpulan, lapangan olahraga, sekolah, tempat umum
dan daerah tempat kediaman bangsa Belanda.
Pada tahun 1900 kurang lebih ada 70.000 orang Eropa di Jawa. Mereka
sebagian kecil adalah Eropa totok lahir di negaranya dan datang ke Jawa yang
23
Sartono Kartodirjo, Lembaran Sejarah No. IV. hlm 47.
31
mata pencahariannya sebagai pedagang dan pengusaha. Penduduk Eropa di Jawa
kurang lebih berjumlah 75% yang terdiri dari masyarakat Indo-Eropa atau
Eurasian. Tidak mengherankan apabila orang-orang Eropa mempunyai taraf
pendidikan yang lebih baik karena ayah mereka memberi perhatian lebih sehingga
mendapat pendidikan. Mereka bekerja dan menjadi tenaga teknis pada kantor-
kantor pemerintah dan departemen-departemen atau menjadi tenaga ahli dan
tukang di pusat-pusat kota.
Pada dasarnya orang-orang Belanda itu adalah kelompok golongan Indo-
Eropa sebagai keturunan dari perkawinan campuran antara Belanda totok dengan
wanita pribumi yang biasanya berstatus Nyai atau Gundhik dalam hal ini tidak
sebagai istri resmi.24
Perkawinan ini terjadi dikarenakan jumlah wanita totok di
Indonesia tidak terlalu banyak. Di kalangan masyarakat Belanda ada diskriminasi
ras antara golongan totok dan Indo yang tidak hanya didasarkan pada daerahnya
tetapi juga karena perbedaan status sosialnya.
Golongan Indo secara formal masuk status Eropa yang mempunyai
tendensi kuat untuk mengidentifikasikan diri dengan pihak Eropa dengan
masyarakat pribumi padahal golongan totok sendiri tidak ingin disamakan dengan
golongan Indo. Menurut pandangan masyarakat pribumi, peradaban Barat tidak
pernah dipandang tinggi dan hanya beberapa unsur yang dihargai antara lain
pengajaran Barat, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Golongan Indo kurang berperan dalam memainkan peranan kepemimpinan
karena kekuasaan, kekayaan dan status tidak ada padanya. Minoritas golongan
24
Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah
Pergerakan Nasional. Jakarta: PT Gramedia, 1993, hlm 97.
32
Indo untuk mengatasi rasa kurang percaya diri adalah dengan menunjukkan
loyalitas kepada penguasa kolonial dan identitas ke-Eropaan, dengan dasar
tersebut golongan Indo berusaha berpegang pada establishment kolonial sehingga
menjauhkan mereka dari golongan pribumi.
Perkembangan penduduk Eropa yang begitu cepat di Magelang
menyebabkan pemukiman orang Eropa semakin menjauhi pusat kota (alun-alun).
Sepanjang jalan kereta api (groote weg), Bottonweg, Badaan, Karesidenanweg,
dan sepanjang Tidar Bajemanweg berkembang dengan cepat hal ini
mengakibatkan semakin terdesaknya kaum pribumi yang membuat kurangnya
permukiman dan memburuknya kondisi lingkungan. Sanitasi yang buruk
menyebabkan wabah penyakit yang menular dan kelaparan.
Sekitar tahun 1920 Pemerintah Kolonial Belanda memberikan perhatian
pada kasus ini dengan menjalankan program perbaikan kampung (Kampong
Verbetering) dengan memperbaiki jalan-jalan, gang-gang, selokan dan
membangun fasilitas mandi dan kakus umum. Serta membangun perumahan
murah.
Pemerintah Kotapraja sesuai dengan rencana tata kota yang dikembangkan
oleh Ir. Thomas Karsten membagi tata kota menjadi zona-zona yang berbeda
berdasarkan kelas ekonomi dan kepentingan tertentu, tidak lagi berdasarkan ras
atau golongan.
Salah satu pemukiman yang direncanakan oleh Karsten adalah kawasan
Kwarasan. Kawasan ini dibangun untuk mengatasi masalah kesehatan dan
pemukiman yang tidak teratur di daerah tersebut. Karsten merencanakan
pembangunan perumahan murah yang waktu itu dikenal dengan “Perumahan
33
Rakyat” dalam rangka penyediaan kebutuhan rumah yang layak dan sehat yang
terletak di bagian Selatan-Barat Kota Magelang yang kemudian dikenal sampai
saat ini dengan “Kwarasan”.
Nama Kwarasan ini berasal dari kata “waras” yang dalam bahasa Jawa
berarti “sehat”. Kata “sehat” tersebut bisa diartikan sebagai upaya untuk menuju
rumah yang sehat atau dengan kata lain kawasan yang sehat dan bisa juga kata
tersebut diambil dari adanya Rumah Sakit Paru-Paru yang didirikan tak lama
kemudian untuk kebutuhan kesehatan masyarakat kota dan sekitarnya.
Adanya ketinggian atau kontur tanah membuat permukiman tersebut pada
saat direncanakan sampai sekarang terbagi menjadi 3 tipe, yaitu :
1. tipe paling besar, terletak di sebelah Timur lapangan, pada tanah yang lebih
tinggi dan menghadap ke jalan besar
2. tipe sedang, terletak di sebelah Utara, pada ketinggian yang menghadap ke jalan
besar sekeliling lapangan dan sebelah Barat di sekeliling lapangan tapi tidak
memiliki ketinggian
3. tipe kecil, terletak di sekeliling tipe besar dan sedang dan tidak berhadapan
langsung dengan lapangan
Di dalam kawasan permukiman terdapat lapangan yang terletak di tengah
agak ke Utara yang lebih dikenal dengan “Alun-Alun Kecil” (alun-alun besar
adalah alun-alun kota Magelang yang terletak di pusat kota). Lapangan ini
berfungsi sebagai pusat kawasan dan ruang terbuka kawasan tersebut dilengkapi
dengan adanya pohon besar yang merupakan simbol alun-alun Jawa dan beberapa
pohon lainnya. Terdapat rumah milik seseorang yang dianggap tinggi dan sebagai
ketua di permukiman tersebut (replica dalem kadipaten) yang mempunyai
34
hubungan langsung dengan pihak Karesidenan (dibuktikan dengan adanya pintu
penghubung yang berbentuk gua yang menghubungkan rumah tersebut dengan
rumah Residen Karesidenan Kedu yang terletak tidak jauh dari lokasi tersebut).
2. Orang-orang Timur Asing
Golongan Timur Asing menempati urutan kedua setelah golongan
masyarakat Belanda, yang mempunyai daya dagang yang sangat besar
pengaruhnya terhadap perkembangan kota. Di dalam sistem hukum Belanda ada
perbedaan yang nyata antara penduduk Timur Asing dengan penduduk pribumi.
Perbedaan ini pada akhirnya menyebabkan semakin lebarnya jurang pemisah
antara kedua golongan sosial tersebut. Orang Timur Asing digolongkan dalam
Vreemde Oosterlingen dan orang Jawa termasuk dalam Inlanders atau pribumi.
Penduduk yang termasuk dalam masyarakat Timur Asing antara lain orang
Tionghoa, Arab, Cina dan bangsa lainnya. Pada dasarnya orang-orang Timur
Asing juga meliputi dua golongan yaitu orang peranakan, bukan hanya orang
Timur Asing yang lahir di Indonesia hasil perkawinan campuran dengan orang
Indonesia, sedangkan orang totok bukan hanya orang Timur Asing yang lahir di
negeri asalnya.25
Golongan Timur Asing (Cina, India dan Arab), mereka ini sangat sedikit
sekali yang bekerja di lembaga-lembaga pemerintahan kolonial. Mereka
umumnya sebagai pedagang dengan status dan hak istimewa, terutama
kemudahan-kemudahan dalam menjalankan profesi, misalnya, hak monopoli
untuk mendatangkan barang-barang yang dibutuhkan orang Belanda dan
25
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. (Jakarta:
Djambatan, 1971) hlm 347.
35
masyarakat, hak mendirikan sebuah badan usaha berupa pabrik, jasa dan
perdagangan. Bagi bumiputra atau pribumi hak istimewa tersebut tidak didapatkan,
karena Pemerintah Kolonial menginginkan anak jajahan berada dalam kemiskinan
dan kebodohan agar mereka tidak menyadari sebagai orang yang berada di
bawah penekanan dan penindasan bangsa lain.
Di sepanjang abad yang berikutnya kelompok-kelompok masyarakat Cina
terus memainkan peranan yang sangat penting artinya di dalam kehidupan
ekonomi dan sosial di negara-negara Jawa (kerajaan) yang terletak di daerah
pedalaman.26
Pemerintah kolonial pada umumnya menginginkan penduduk Timur
Asing (Tionghoa) untuk ditempatkan di suatu tempat tersendiri. Hal ini dilakukan
guna menghindari terjadinya percampuran penduduk antara golongan pribumi dan
masyarakat Tionghoa yang terjadi di kota Magelang. Masyarakat Tionghoa
bertempat tinggal di suatu daerah yang disebut sebagai daerah Pecinan.
Keberadaan masyarakat Tionghoa di Magelang tidak diketahui secara pasti
kapan pertama kali datang ke kota ini. tidak ada literatur atau catatan resmi yang
bisa mengungkapkan hal ini. Hanya sebuah tulisan yang tertempel pada pintu
masuk gerbang dari Kelenteng Liong Hok Bio yang ada di tenggara Alunn-alun
Kota Magelang yang barangkali bisa di jadikan acuan. Tulisan yang tertulis
tersebut menyebutkan bahwa Kelenteng Liong Hok Bio berdiri pada tanggal 8 Juli
1864. Bisa diartikan pula bahwa sebelum tahun tersebut mayarakat Tionghoa
sudah bertempat tinggal di Magelang.
Pada jaman kolonial Belanda, pemerintah saat itu menempatkan
masyarakat ini ke suatu kawasan tertentu. Dengan tujuan pemerintah Belanda
26
Peter Carey, Orang Jawa dan Masyarakat Cina 1755-1825. (Jakarta:
Pustaka Azet 1984) hlm 16.
36
lebih mudah mengawasi dan mengontrolnya. Kawasan tertentu tersebut biasa
dikenal dengan nama Pecinan. Pecinan yang ada di Kota Magelang ini berada di
Jalan Pemuda.
3. Orang-orang Pribumi
Dari jumlah penduduk yang semakin bertambah tersebut, penduduk
pribumi menempati jumlah yang paling besar. Golongan ini mempunyai struktur
masyarakat sendiri. Masyarakat pribumi terbagi dalam dua golongan sosial yang
besar yaitu golongan atas yang terdiri dari bangsawan dan priyayi, serta golongan
yang terdiri dari para petani, pedagang, tukang, pengrajin dan sebagainya.
Golongan bangsawan atau priyayi mempunyai etiket dan etika dalam
kehidupan sehari-hari.27
Golongan atas atau priyayi mempunyai gaya hidup yang
sangat berbeda dengan masyarakat golongan bawah (wong cilik). Golongan ini
menunjukkan gaya aristokrat dengan kebebasan, makanan dan pakaian, serta
simbol-simbol yang menunjukkan bahwa mereka adalah golongan elit. Di lain
pihak golongan bawah yang biasa disebut sebagai wong cilik menunjukkan sifat
yang sungguh berbeda karena golongan ini mempunyai kebiasaan polos, terbuka
dan kasar.28
Ada beberapa faktor yang menentukan kepriyayian seseorang, menurut
Palmier priyayi dibagi menjadi dua golongan, yaitu priyayi luhur dan priyayi kecil.
Priyayi luhur yaitu priyayi yang sebenarnya atau murni, dapat dilihat dari garis
27
Sartono Kartodirjo, Perkembangan Peradaban Priyayi. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press, 1987, hlm 76 28
Suhartono, Apanage Dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan
Surakarta 1830-1920. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991, hlm 32-35.
37
keturunan orang tua baik ayah maupun ibu. Priyayi kecil adalah priyayi yang
status sosialnya dikarenakan pendidikan, jabatan pada administrasi pemerintahan.
Kedudukan tinggi dalam hierarki kepegawaian Indonesia diberikan atas
dasar keturunan dan politik kolonial yang baru membuat pendidikan sebagai
supplement pada asal keturunan dan dalam ukuran waktu dan keadaan tertentu
pendidikan dijadikan sebagai ukuran utama. Hal ini didorong dengan munculnya
elit profesional. Pada awal abad ke-20, perluasan pola kepemimpinan masyarakat
Indonesia hampir merupakan suatu perkembangan khusus di kalangan kelompok
priyayi sendiri dan jarak sosial tetap merupakan suatu kekuatan yang ampuh di
kalangan elit.
Pendidikan gaya Barat yang modern telah membuat golongan pribumi
terserap dalam kehidupan orang Eropa, misalnya dengan penggunaan kata-kata
Belanda dalam pembicaraan bahasa daerah mereka, mengenakan pakaian dan
sepatu gaya Barat, kebiasaan mengunjungi restoran dan minum limun, menonton
film, dan hal-hal yang berbau Barat lainnya.29
Di dalam struktur lapisan
masyarakat, golongan tersebut tetap dianggap sebagai golongan pribumi
meskipun pendidikannya tinggi. Hal ini disebabkan oleh adanya stratifikasi rasial
yang diciptakan oleh pemerintah Belanda. Adanya golongan pribumi yang
mempunyai kedudukan dalam pemerintahan Belanda (ambtenaren), tetap saja
posisinya berada di bawah orang-orang Eropa.
Sementara itu situasi pemerintahan kolonial mengharuskan penguasa
bergaya hidup, berbudaya, serta membangun gedung dan rumah tempat
tinggalnya berbeda dengan rumah pribumi. Ciri khas ini dipergunkan untuk
29
Takhashi Shiraishi, op.cit, hlm 40.
38
menunjukkan jati diri mereka sebagai anggota kelompok golongan yang berkuasa
dan untuk membedakan dengan rakyat pribumi. Mereka tinggal berkelompok di
bagian wilayah kota yang dianggap terbaik.
Priyayi semula hanya mengacu pada golongan bangsawan yang turun
temurun, kemudian oleh penjajah Belanda mereka telah dilepas dari ikatan
kerajaan dan dijadikan pegawai pemerintah yang diangkat dan digaji. Golongan
ini tetap mempertahankan dan memelihara tradisi keraton yang halus, kesenian,
dan mistik Hindu-Budha. Priyayi ini dibedakan dari rakyat biasa karena memiliki
gelar-gelar kehormatan dan dalam arti tertentu gelar tersebut berlaku secara turun-
temurun.30
Golongan ini sebelum tahun 1900 masih kuat dalam mempertahankan
hubungan darah atau keturunan, namun menjelang tahun 1900 pembatasan ini
mulai luntur sehingga sebutan priyayi bukan lagi berdasarkan keturunan tetapi
dipandang dari fungsi sosial mereka.
Masyarakat yang berkerja dalam kegiatan negara seperti pegawai
administrasi Bumiputera telah mengembangkan golongan ini. Mereka semua
mempunyai satu kesamaan yang umum yaitu pendidikan yang bergaya barat.
Pendidikan tersebut membuka jalan bagi mereka pada dunia kolonial. Pada masa
politik etis, modernitas menunjukkan sebuah kemajuan. Hal-hal yang berbau
Barat sudah menjadi bagian dalam gaya hidup mereka. Percakapan mereka juga
menunjukkan bahwa budaya Belanda kedudukannya lebih dominan, hal ini
dikarenakan bangsa Belanda sebagai penguasa memiliki peranan yang sangat
30
Clifford Geertz, Abangan, santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa.
(Jakarta: Pustaka Jaya, 1984), hlm 307.
39
dominan sementara itu masyarakat pribumi hanya sebagai bangsa terjajah serta
menyesuaikan diri dengan aparat.31
Khususnya kaum muda yang telah mendapatkan pendidikan Barat
melakukan hal-hal yang berbau modern dan berbau Belanda. Mereka
menggunakan kata-kata Belanda dalam pembicaraan bahasa daerah mereka,
mengenakan pakaian dan sepatu gaya Barat, kebiasaan mengunjungi restoran dan
minum limun, menonton film dan hal-hal yang berbau Barat lainnya. Kegiatan ini
sering dilakukan oleh golongan priyayi termasuk mereka yang tinggal di kota-kota
kecil.32
Di awal abad ke-20 hal-hal yang berbau Eropa (Belanda) ternyata sudah
masuk dalam keseharian keluarga priyayi, salah satunya adalah kebiasaan makan
sehari-hari. Seperti layaknya orang-orang Belanda, para ambtenaren pribumi
banyak yang meniru kebiasaan makan orang-orang Belanda. Golongan
bangsawan lebih banyak lagi menyerap kebiasaan dan gaya hidup Belanda.
Di awal abad 20 ini mereka sering mengadakan pesta-pesta pernikahan
yang dikhususkan bagi mereka para pejabat Belanda bahkan ada yang
menyelenggarakan lebih dari satu kali pesta untuk mereka. Pada pesta perjamuan,
baik yang merupakan perjamuan makan malam biasa atau perjamuan yang lebih
besar seperti pesta pernikahan didahului dengan toast minuman anggur. Hal yang
tidak pernah ditemui dalam kebiasaan dan gaya hidup tradisional Jawa.
Adanya pesta perjamuan makan maupun pesta didorong oleh adanya
perkumpulan para priyayi atau warga keturunan yang sering berkumpul di satu
31
Djoko Soekiman, op.cit, hlm 39-40. 32
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa. (Jakarta: Balai pustaka, 1994),
hlm 286.
40
tempat pertemuan. Di kota-kota kecil tempat pertemuan ini terkenal dengan nama
soos, yang diambil dari bahasa Belanda societeit yaitu tempat pertemuan bangsa
Belanda yang eksekutif. Di samping untuk keperluan rapat, soos juga menjadi
tempat pertemuan publik yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan seperti
kegiatan rekreasi, pementasan sandiwara, pesta sekolah dan lain sebagainya.33
Pada awalnya kegiatan seperti tersebut dilakukan oleh orang-orang
Belanda, namun pada perkembangannya banyak masyarakat pribumi yang
melakukan kegiatan tersebut. Berawal dari sini, bisa dikatakan bahwa golongan
intelektual ini merupakan golongan pendukung kebudayaaan Indis yang baru.
Golongan pribumi yang diangkat menjadi pejabat pemerintahan
disarankan untuk memperkenalkan dan mendidik keluarganya dengan kebiasaan
dan gaya barat dalam kehidupan sehari-hari.
Kebudayaan Indis bila disamakan dengan budaya “priyayi baru” atau
priyayi bukan bangsawan memiliki ciri gaya hidup sebagai suatu golongan
masyarakat yaitu memiliki kompleksitas simbolis yang menunjukkan karakteristik
priyayi. Akibat pertemuan dan percampuran peradaban Jawa dan Eropa (Belanda)
melahirkan gaya budaya campuran (bazar cultuur) yang terasa aneh bagi bangsa
Eropa sendiri maupun masyarakat Jawa.34
Ekspansi kekuasaan kolonial yang dimulai pada abad ke-19, merupakan
gerakan kolonialisme yang membawa dampak perubahan bukan hanya pada
bidang politik dan sosial saja, namun juga memberi dampak pada kebudayaan di
negara koloni mereka. Pengusaha perkebunan di tanah jajahan melahirkan kondisi
33
Sartono Kartodirjo, A. Sudewa, Suhardjo Harmosuprobo, op.cit, hlm
109. 34
Djoko Soekiman, op.cit, hlm 37
41
lingkungan yang berbeda. Bentuk dan orientasi lingkungan perkebunan lebih
tertuju ke dunia luar menjadikan perkebunan seolah-olah terpisah sendiri dengan
lingkungan agraris setempat. Dari latar belakang inilah pada mulanya kebudayaan
Indis berkembang. Seiring dengan perkembangan abad 20, modernisasi dan hal-
hal yang berbau Eropa telah mulai masuk dan menyatu dalam kehidupan sehari-
hari masyarakat, bergesernya gaya hidup masyarakat serta kebudayaan Indis
berkembang dengan subur. Serta didukung oleh golongan priyayi dan pedagang.
Kota Magelang dalam kedudukan sebagai suatu Staadsgemeente
merupakan suatu daerah enclave, yaitu adanya suatu pemerintahan berdasarkan
hukum Barat yang diberlakukan di tengah suatu hukum adat. Artinya bahwa hak
istimewa yang dimiliki orang-orang Eropa itu berlangsung dan menempati di
sekitar pemerintahan bumi putera yang telah ada. Dengan latar belakang tersebut
kota Magelang dikenal sebagai Het Central Park van Java. Sebutan ini muncul
karena adanya perpaduan antara Kebudayaan Barat dengan kebudayaan dan
lingkungan kota yang memiliki fungsi yang penting dan kondisi lingkungan alam
kota yang sangat indah dan memiliki kelebihan-kelebihan tertentu.35
35
Soekimin Adwiratmoko, Magelang Indah Dulu dan Sekarang,
(Magelang: tanpa penerbit, tanpa tahun), hlm 9.