bab ii kajian teori dan hipotesis 2.1 tanaman bunga...
TRANSCRIPT
1
BAB II KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS
2.1 Tanaman Bunga Pagoda (Clerodendrum squamatum Vahl) 2.1.1 Deskripsi Morfologi
Tanaman Bunga Pagoda Clerodendrum squamatum Vahl temasuk dalam
ordo Lamiales dan famili Lamiaceae. Umumnya bunga pagoda ditanam di taman,
pekarangan rumah, atau di tepi jalan daerah luar kota sebagai tanaman hias. Di
Indonesia, jenis ini tumbuh di tanah yang kaya humus dan cukup air. Sinar
matahari yang cukup sangat membantu pertumbuhan yang optimal dari perdu
tahunan ini (Yuzammi dkk., 2009).
Gambar 1. Morfologi tanaman bunga pagoda (Clerodendrum squamatum Vahl)
Habitus semak, tahunan 1-2 m. Batangnya tegak, bulat, sedikit
bercabang, putih kehitaman dan batangnya dipenuhi rambut halus. Daun tunggal,
berseling, bentuk jantung, tepi beringgit, ujung runcing, pangkal bertoreh dalam,
panjang 15-30 cm, lebar 10-25 cm, pertulangan melengkung permukaan kasar,
2
hijau. Bunganya bunga majemuk, berwarna merah, bentuk payung, di ujung
batang atau cabang, tangkai silindris, kelopak bentuk corong bercangap, lima
helai, benang sari dan putik memanjang keluar dari tabung mahkota, mahkota
bentuk tabung ujung bercangap lima, panjang 5-10 mm, orange. Akar tunggang
dan putih kotor (Widyaningrum, 2011).
2.1.2 Kandungan Zat Kimia Daun Tanaman Bunga Pagoda yang Berpotensi Terhadap Mortalitas Larva Aedes eagypti
Widyaningrum (2011), menyebutkan daun, bunga dan batang
Clerodendrum squamatum Vahl mengandung saponin dan polifenol, di samping
itu daun dan batangnya mengandung alkaloida dan flavonoida. Hasil uji fitokimia
terhadap ekstrak metanol, heksana, etil asetat dan air daun pagoda positif terhadap
uji steroid, titerpenoid dan flavonoid (Musa,2010). Efek antifeedant dan
penghambat pertumbuhan berasal dari berbagai neo-clerodane diterpenoid yang
diisolasi dari genus Clerodendrum. Senyawa clerodendrin B, 3-epicaryoptin, 15-
hydroxyepicaryoptin, dan clerodin efektif sebagai antifeedant dan clerodendrin B,
3-epicaryoptin, clerodendrin C, 15-hydroxyepicaryoptin, clerodendrin B asetat,
dan clerodin, menunjukkan aktivitas penghambatan pertumbuhan serangga yang
baik meski pada konsentrasi rendah (Kumari et al., 2003).
Senyawa yang terkandung dalam Clerodendrum serratum Spreng, pada
penelitain lainnya ternyata dapat berpengaruh terhadap mortalitas dan
penghambatan perkembangan pada larva dan pupa Aedes eagypti (Puspita, 2010).
Selain itu kandungan senyawa alkaloid, saponin, flavonoid, polifenol, steroid dan
terpenoid yang ada dalam daun tanaman bunga pagoda (Widyaningrum, 2011 dan
3
Shrivastava dan Tejas, 2007), pada penelitian Yunita dkk., 2009 berpengaruh
terhadap mortalitas dan perkembangan larva Aedes aegypti.
2.2 Nyamuk Aedes aegypti 2.2.1 Deskripsi umum nyamuk Aedes aegypti
Nyamuk Aedes aegypti mempunyai bintik-bintik putih ditubuh dan
kakinya sehingga mudah dikenali. Nyamuk ini berkembang biak di air yang jernih
dan hanya mampu terbang sejauh 100-200 meter. Kebanyakan nyamuk Aedes
aegypti hidup di dalam rumah, kloset, dan tempat-tempat yang gelap. Di luar
rumah, nyamuk tersebut hidup di tempat yang dingin dan terlindung matahari
(Suharmiati dan Lestari, 2007).
Nyamuk demam berdarah Aedes aegypti termasuk dalam ordo Diptera,
familly Culicidae. Nyamuk ini mengalami metamorfosis sempurna
(Holometabola), dari telur, larva (jentik), pupa, hingga imago (dewasa). Selama
masa bertelur, seekor nyamuk betina mampu meletakkan 100-400 butir telur.
Biasanya, telur-telur tersebut diletakkan dibagian yang berdekatan dengan
permukaan air, seperti di bak yang airnya jernih dan tidak berhubungan langsung
dengan tanah (Kardinan, 2003).
Gambar 2. Morfologi nyamuk Aedes aegypti dewasa
Sumber : (Francis, 2007)
4
2.2.2 Morfologi a. Telur
Untuk bertelur, nyamuk betina akan mencari tempat seperti genangan air
atau daun pepohonan yang lembab. Nyamuk betina meletakkan telurnya di
dinding tempat penampuangan air atau barang-barang yang memungkinkan
tergenang di bawah permukaan air. Telur akan diletakan berpencar yang bisa
mencapai 100-300 telur. Telur berwarna hitam dengan ukuran 0,8 mm, berbentuk
oval yang mengapung satu persatu pada permukaan air yang jernih, atau
menempel pada dinding tempat penampungan air. Pada umumnya telur akan
menetas menjadi jentik dalam waktu 2 hari setelah terendam air (Purnama, 2010).
Keadaan dari air perindukan nyamuk merupakan faktor yang sangat
mempengaruhi penetasan telur. Jika air perindukan nyamuk berisi senyawa toksik
yang dapat mempengaruhi ketersediaan makanan bahan organik dan anorganik,
warna air perindukan, suhu dan pH dari perindukan, maka perkembangan telur
yang terdapat didalam perindukan tersebut akan terganggu (Kesumawati, 2006
dalam Ulfa dkk., 2009).
Gambar 3. Telur Aedes aegypti Sumber : (Malar, 2006)
5
b. Larva
Larva adalah mahluk yang hidup di air, meskipun demikian untuk
bernafas larva harus menghirup udara secara langsung. Untuk itu, bagian belakang
tubuhnya dilengkapi dengan semacam pipa panjang hingga menembus permukaan
air. Ukuran larva umumnya 0,5 sampai 1 cm, gerakannya berulang-ulang dari
bawah keatas permukaan air untuk bernafas kemudian turun kebawah dan
seterusnya serta pada waktu istirahat posisinya hampir tegak lurus dengan
permukaan air.
Gambar 4. Larva Aedes aegypti Sumber : (Malar, 2006)
Ciri khas dari larva Aedes aegypti adalah adanya corong udara pada
segmen terakhir, pada corong udara terdapat pecten dan sepasang rambut serta
jumbae akan dijumpai pada corong udara. Pertumbuhan dan perkembangan larva
dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya yang penting adalah temperatur,
cukup atau tidaknya bahan makanan dan ada tidaknya binatang lain yang
merupakan predator.
Mikroorganisme merupakan makanan larva dengan mengerakan
mulutnya yang menyerupai sikat, air dapat dibuat berpusar, sehingga mikro
6
organisme dapat masuk ke dalam mulutnya. Pada waktu bahaya, larva dapat
menyelam dan berenang di dalam air. Stadium larva tergantung dari jenis
nyamuk, temperatur air dan makanan yang didapatkan. Temperatur optimal untuk
perkembangan larva ini adalah 25 °C – 30 °C (Purnama, 2010).
Menurut Supartha, 2008 larva nyamuk hidup di air dan stadium instarnya
terdiri atas 4 tahap. Setelah melewati tahap stadium instar keempat, larva berubah
menjadi pupa. Adapun tingkatan larva menurut Ditjen PPM dan PL, 2002 dalam
Wahyuni adalah sebagai berikut :
1. Larva instar I berukuran paling kecil, yaitu 1-2 mm atau 1-2 hari setelah
telur menetas, duri-duri (spinae) pada dada belum jelas dan corong
pernafasan pada siphon belum jelas.
2. Larva instar II berukuran 2,5 – 3,5 mm atau 2-3 hari setelah telur menetas,
duri-duri belum jelas, corong kepala mulai menghitam.
3. Larva instar III berukuran 4-5 mm atau 3-4 hari setelah telur menetas, duri-
duri dada mulai jelas dan corong pernafasan berwarna coklat kehitaman.
4. Larva instar IV berukuran paling besar yaitu 5-6 mm atau 4-6 hari setelah
telur menetas, dengan warna kepala gelap. (Ditjen PPM dan PL, 2002 dalam
Wahyuni, 2005).
c. Pupa
Pupa nyamuk berbentuk seperti koma. Kepala dan dadanya bersatu dan
dilengkapi dengan sepasang terompet pernapasan (Sigit et al., 2006 dalam Puspita
2010). Pupa tidak lagi mensuplai makanan ke dalam tubuhnya (fase istirahat).
Pada stadium ini, pupa bernafas pada permukaan air dengan menggunakan dua
7
tanduk kecil yang berada pada prothorax. Pupa juga sewaktu bahaya dapat
menyelam di dalam air. Stadium ini umumnya berlangsung hingga 5-10 hari,
setelah itu akan keluar dari kepompongnya menjadi nyamuk (Purnama, 2010).
Gambar 5. Pupa Aedes aegypit Sumber: (Malar, 2006)
d. Nyamuk Dewasa
Setelah lahir (keluar dari pupa), nyamuk istirahat untuk sementara waktu.
Beberapa saat setelah itu sayap meregang menjadi kaku, sehingga nyamuk
mampu terbang mencari mangsa atau darah. Nyamuk Aedes aegypti jantan
mengisap cairan tumbuhan atau sari bunga untuk keperluan hidupnya, sedangkan
yang betina mengisap darah. Nyamuk betina ini lebih menyukai darah manusia
dari pada binatang (bersifat antropofilik). Darah (proteinnya) diperlukan untuk
mematangkan telur agar jika dibuahi oleh sperma nyamuk jantan, dapat menetas
(Purnama, 2010).
Aktivitas nyamuk pada saat menghisap darah telah diketahui sebelumnya
adalah pada pagi hari dan sore hari, namun pada penelitian yang dilakukan oleh
Hadi dkk., 2012 pada beberapa daerah di Indonesia ditemukan bahwah ternyata
nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus menghisap darah juga pada malam
hari (nokturnal) yaitu dari jam 18:00–05:50 (Hadi dkk., 2012).
8
Gambar 6. Morfologi nyamuk Aedes aegypti (a) Male, Aedes jantan; (b) Female, Aedes betina
Sumber: (Francis, 2007) Jenis kelamin kebanyakan nyamuk dapat ditentukan dengan mudah oleh
bentuk sungut-sungut. Sungut-sungut dari yang jantan sangat plumosa, sedangkan
pada yang betina hanya mempunyai beberapa rambut yang pendek (Sigit et al.,
2006, dalam puspita 2010).
2.3 Siklus hidup nyamuk Aedes aegypti
Gambar 7. Siklus hidup Aedes aegypti
Sumber: (Sigit et al., 2006, dalam puspita 2010)
9
Nyamuk Aedes aegypti mengalami metamorfosis sempurna
(Holometabola), dimana nyamuk pradewasa (larva dan pupa) biasanya memiliki
bentuk yang sangat berbeda dengan serangga dewasa (imago). Telur nyamuk
Aedes aegypti berbentuk lonjong dan mempunyai dinding yang bergaris-garis dan
membentuk bangunan menyerupai gambaran kain kasa (Jumar, 2000).
Telur yang baru diletakkan berwarna putih, tetapi sesudah 1-2 jam berubah
menjadi hitam. Pada Aedes telur-telur ini diletakkan satu persatu terpisah tetapi
telur ditemukan tampak teratur di pinggiran kaleng, drum, ban, ember, vas bunga
yang berisi air bersih dan lain sebagainya. Setelah 2-4 hari telur menetas menjadi
larva yang selalu hidup di dalam air. Larva terdiri atas 4 substadium (instar) dan
mengambil makanan dari tempat perindukannya. Pertumbuhan larva stadium I
sampai dengan stadium IV berlangsung 6-8. Kemudian tumbuh menjadi pupa
yang tidak makan tetapi masih memerlukan oksigen yang diambilnya melalui
tabung pernapasan (breathing trumpet). Untuk tumbuh menjadi dewasa
diperlukan waktu 1-3 hari sampai beberapa minggu. Pupa jantan menetas terlebih
dahulu, nyamuk jantan ini biasanya tidak pergi jauh dari perindukan, menunggu
nyamuk betina untuk berkopulasi. Nyamuk betina kemudian mengisap darah yang
diperlukannya untuk pembentukan telur (Gandahusada dkk., 2000).
2.4 Usaha Pengendalian Vektor
Usaha pengendalian vektor menurut Purnama (2010), bertujuan pertama,
mengurangi populasi vektor serendah-rendahnya sehingga tidak berarti lagi
sebagai penular penyakit. Kedua, menghindarkan terjadi kontak antara vektor dan
manusia. Tindakan untuk pengendalian larva dapat mencakup menyingkirkan atau
10
memodifikasi habitat-habitat larva (misalnya drainase) atau dapat mencakup
pemberantasan habitat larva dengan insektisida-insektisida. Tindakan untuk
nyamuk dewasa dapat dengan cara pencegahan (penggunaan pakaian
pelindung, kelambu, dan pemakaian zat-zat penolak) atau insektisida-
insektisida (Purnama, 2010).
2.5 Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah
1. Filtrat daun tanaman Bunga pagoda (Clerodendrum squamatum Vahl)
berpengaruh terhadap mortalitas larva nyamuk Aedes aegypti.
2. Terdapat konsentrasi filtrat daun tanaman Bunga pagoda (Clerodendrum
squamatum Vahl) yang efektif terhadap mortalitas larva nyamuk Aedes
aegypti.