bab ii kajian teori 2.1. wacana dengan...

32
10 BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Wacana dengan Kekuasaan Sejarah politik Orde Baru merupakan sejarah yang juga mampu membuktikan bagaimana politik kekuasaan selalu harus ditopang dengan politik pengetahuan beserta aparatus pendidikan yang menanamkan nilai- nilai ideologi negara secara hegemonik. Fondasi kekuasaan yang dibangun pertama-tama adalah melakukan pembangunan tiang-tiang legitimasi baik secara politik maupun secara moral. Salah satunya tentu saja membangun pengetahuan masyarakat bahwa memang rezim ini dibangun dengan kaki fondasi yang sah dan legitimit. Pengetahuan-pengetahuan seperti sejarah, ekonomi, politik, kebudayaan dan nilai-nilai sosial lainnya tentu saja dibangun atas kepentingan kekuasaan saat itu. Bagi kekuatan yang kalah, tentu saja akan bernasib buruk karena rezim orde baru sangat lihai untuk menangkis kekuatan-kekuatan lawan dengan segala peraturan dan kebijakan yang tidak memberi peluang lahirnya perubahan. Wacana ideologi sangat efektif jika dibawa dan ditransmisikan oleh seperangkat pengetahuan yang membentuk perangkat disiplin kesadaran masyarakat. Pengetahuan ini dibentuk dan dikonstruksi oleh negara terutama oleh lembaga pendidikan. Di dalam seperangkat pengetahuan ini mengandung manifestasi kekuasaan. Bentuk kekuasaan ini tidak harus terbentuk dalam kerja mekanis ataupun linier, melainkan diproduksi dan direproduksi secara interaksional dalam wacana masyarakat. Ketika wacana atau pengetahuan tersebut diyakini, dan mengatur pola-pola hidup interaksi masyarakat, maka disana kekuasaan bekerja. Cara kerja kekuasaan ini membentuk “disiplin” masyarakat. Model kekuasaan disiplin ini tidak harus melalui kekuasaan represif fisik melainkan bentuk kontrol pengawasan yang

Upload: lethien

Post on 02-Mar-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Wacana dengan Kekuasaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2340/3/T1_362008017_BAB II.pdf · itu. Walaupun demikian, sering citra itu muncul dalam tulisan

10

BAB II

KAJIAN TEORI

2.1. Wacana dengan Kekuasaan

Sejarah politik Orde Baru merupakan sejarah yang juga mampu

membuktikan bagaimana politik kekuasaan selalu harus ditopang dengan

politik pengetahuan beserta aparatus pendidikan yang menanamkan nilai-

nilai ideologi negara secara hegemonik.

Fondasi kekuasaan yang dibangun pertama-tama adalah melakukan

pembangunan tiang-tiang legitimasi baik secara politik maupun secara

moral. Salah satunya tentu saja membangun pengetahuan masyarakat bahwa

memang rezim ini dibangun dengan kaki fondasi yang sah dan legitimit.

Pengetahuan-pengetahuan seperti sejarah, ekonomi, politik, kebudayaan dan

nilai-nilai sosial lainnya tentu saja dibangun atas kepentingan kekuasaan

saat itu. Bagi kekuatan yang kalah, tentu saja akan bernasib buruk karena

rezim orde baru sangat lihai untuk menangkis kekuatan-kekuatan lawan

dengan segala peraturan dan kebijakan yang tidak memberi peluang lahirnya

perubahan.

Wacana ideologi sangat efektif jika dibawa dan ditransmisikan oleh

seperangkat pengetahuan yang membentuk perangkat disiplin kesadaran

masyarakat. Pengetahuan ini dibentuk dan dikonstruksi oleh negara

terutama oleh lembaga pendidikan. Di dalam seperangkat pengetahuan ini

mengandung manifestasi kekuasaan. Bentuk kekuasaan ini tidak harus

terbentuk dalam kerja mekanis ataupun linier, melainkan diproduksi dan

direproduksi secara interaksional dalam wacana masyarakat. Ketika wacana

atau pengetahuan tersebut diyakini, dan mengatur pola-pola hidup interaksi

masyarakat, maka disana kekuasaan bekerja. Cara kerja kekuasaan ini

membentuk “disiplin” masyarakat. Model kekuasaan disiplin ini tidak harus

melalui kekuasaan represif fisik melainkan bentuk kontrol pengawasan yang

Page 2: BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Wacana dengan Kekuasaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2340/3/T1_362008017_BAB II.pdf · itu. Walaupun demikian, sering citra itu muncul dalam tulisan

11

dibentuk oleh pengetahuan atau wacana. Kontrol kesadaran ini meletakkan

masyarakat selalu ada dibawah kontrol yang dibentuk oleh kekuasaan.

Perangkat pengetahuan ini dapat dipakai untuk menentukan seluruh

tingkah laku dan mengurangi wilayah “illegalitas” yaitu pelanggaran

hukum. Hukuman menjadi efektif karena memberi gagasan kepada setiap

orang bahwa dengan melakukan “kejahatan” orang akan menerima kerugian

yang lebih besar daripada kalau orang menaati hukum. Hukuman yang

berupa sistem tanda-tanda ini mengenai bukan lagi tubuh, melainkan

menjadi tanda representasi yang mengenai pikiran. Tanda-tanda itu bisa

dibentuk oleh pendidikan, penjara, agama, institusi-institusi negara atau

wacana yang sengaja dikembangkan dalam masyarakat.

Berakhirnya orde baru juga membuka kesempatan bagi pers dan

media massa untuk lebih bebas dalam berpendapat, berkreasi serta bersikap

kritis. Kebebasan di Indonesia dalam era reformasi ditandai dengan

lahirnya UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers. Dengan adanya UU Pers

tersebut, setiap orang boleh menerbitkan media massa tanpa harus

meminta ijin kepada pemerintah seperti sebelumnya. Pers dalam era

reformasi tidak perlu takut kehilangan ijin penerbitan jika mengkritik

pejabat, baik sipil maupun militer.

Dengan UU Pers diharapkan media massa di Indonesia dapat menjadi

salah satu di antara empat pilar demokrasi selain eksekutif, legislatif dan

yudikatif. Hal ini mengisyaratkan pentingnya keikutsertaan pers dalam

melakukan kontrol atas tiga pilar kekuasaan tersebut. Media dihajatkan

(lahir) sebagai penyangga demokrasi. Media menjadi penyangga penting

demokrasi, sebab media menyajikan informasi hiruk-pikuk bernegara,

namun di lain pihak, media modern turut serta menyumbangkan sejumlah

solusi atas berbagai problemantika bangsa melalui wacana yang

dibangun.(St. Tri Guntur Narwaya,2006: 67)

Page 3: BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Wacana dengan Kekuasaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2340/3/T1_362008017_BAB II.pdf · itu. Walaupun demikian, sering citra itu muncul dalam tulisan

12

2.2. Perjalanan Etnis Tionghoa di Indonesia

“...banyak orang Indonesia kini masih menganggap orang Tionghoa secara

politis, kultural dan sosial sebagai asing sebagaimana orang asing lain

yang sesungguhnya, sekalipun mereka itu mungkin mempunyai kartu

kewarganegaraan Indonesia di dalam kantong mereka”.1

Orang Tionghoa selalu merupakan minoritas kecil di Indonesia.

Dalam tahun 1961, mereka diperkirakan berjumlah sekitar 2,45 juta orang,

mungkin saja mereka itu tidak pernah dianggap mewakili lebih dari 2,5

persen dari seluruh jumlah penduduk pada waktu itu.

Dalam tahun-tahun pertumbuhan nasionalisme Indonesia pada

bagian awal abad ini, kata bangsa (ras) digunakan untuk menunjukkan

pengertian nasion. Kebanyakan kaum nasionalis Indonesia berpikir bahwa

bangsa Indonesia itu meliputi anggota-anggota dari berbagai suku bangsa

atau suku pribumi (asli). Dengan begitu, sama luasnya dengan suatu bagian

dari penduduk Hindia yang menurut pemerintah Belanda digolongkan

sebagai pribumi (inlander). Etnis Tionghoa, yang dengan sedikit

perkecualian digolongkan sebagai “Timur Asing” (Vreemde Oosterlingen),

dipandang oleh orang Indonesia sebagai suatu bangsa tersendiri, bangsa

Tionghoa. (Wibisono,Christianto,2004:42-43)

2.2.1 Stereotip Orang Tionghoa

Orang Indonesia pribumi tidak saja menganggap orang

Tionghoa itu sebagai bangsa lain, tetapi banyak dari mereka juga

percaya bahwa sebagai kelompok, orang Tionghoa itu memiliki

berbagai sifat negatif, sebagai berikut :

Orang Tionghoa itu suka berkelompok-kelompok, mereka

menjauhkan diri dari pergaulan sosial dan lebih suka tinggal di

kawasan tersendiri. Mereka selalu berpegang teguh kepada 1 Suryadinata ,Leo (2002) dalam Wibisono,Christianto (2004)

Page 4: BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Wacana dengan Kekuasaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2340/3/T1_362008017_BAB II.pdf · itu. Walaupun demikian, sering citra itu muncul dalam tulisan

13

kebudayaan negara leluhur mereka. Kesetiaan mereka kepada

Indonesia, dalam keadaan paling baik meragukan, dalam keadaan

paling buruk, bersikap bermusuhan terhadap Indonesia. Orang

Tionghoa yang tampaknya memihak kepada Indonesia tidak

bersungguh-sungguh hati, mereka hanya berpura-pura melakukan itu

demi alasan-alasan oportunistis, ketimbang perasaan yang sebenarnya

untuk memihak kepada negara dan rakyat mereka. Oportunisme

semacam ini adalah ciri-ciri khas dari orang yang hanya

mementingkan uang, perdagangan dan bisnis. Mereka itu, tidak seperti

orang Indonesia yang memiliki rasa pengabdian kepada cita-cita.

Setelah diberi kedudukan yang menguntungkan oleh Belanda, orang

Tionghoa mendominasi ekonomi Indonesia, melakukan penindasan

terhadap massa Indonesia dan menghalangi-halangi kebangkitan

golongan pengusaha nasional atau pribumi. Masih tidak puas dengan

kedudukan mereka yang dominan itu, mereka pun terlibat dalam

subversi ekonomi, karena mereka ahli dalam bidang penyogokan dan

penyelundupan.

Mengumpulkan citra semacam ini dari sumber-sumber tertulis

adalah satu hal, sebaliknya sampai di mana gabungan stereotip yang

mewakili orang Tionghoa itu dalam pemikiran orang Indonesia dapat

dibentuk merupakan hal lain. Tidak pernah diusahakan di sini untuk

mengunakan cara-cara penelitian untuk mengetahui pandangan yang

dianut orang Indonesia, atau sebagian dari mereka yang menjadi

gambaran yang sebenarnya mengenai orang Tionghoa sebagai suatu

kelompok. Tidak diragukan bahwa banyak yang berpendapat, paling

tidak sebagian dari orang Tionghoa dikecualikan dari gambaran umum

itu. Walaupun demikian, sering citra itu muncul dalam tulisan dan

ucapan orang Indonesia tentang orang Tionghoa, termasuk

pernyataan-pernyataan pemerintah tentang “masalah Tionghoa”, dan

terutama dalam percakapan diantara orang Tionghoa sendiri mengenai

cara terbaik untuk menetralkan mereka, memberi kesan bahwa mereka

Page 5: BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Wacana dengan Kekuasaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2340/3/T1_362008017_BAB II.pdf · itu. Walaupun demikian, sering citra itu muncul dalam tulisan

14

itu bukannya tidak penting. Karena itu, rupanya diperlukan sekali

untuk meneliti bagaimana citra ini sampai terbentuk dan sampai

dimana mereka itu mempunyai setitik kebenaran, sebelum mencoba

membatasi bagian-bagian tertentu dari masyarakat Indonesia yang

dalam hal ini paling berurat akar. (Mellaz, August,2002:43-44)

2.2.2 Sifat Eksklusif dan Superioritas

Proses ini (yakni asimilasi) akan terjadi dengan sendirinya

di kalangan penduduk Tionghoa di Indonesia kalau tidak ada faktor-

faktor penghalang itu, yang orang Tionghoa sendiri secara sadar atau

tidak sadar telah membantu menciptakannya.

Selama zaman penjajahan, orang Tionghoa dengan jelas

sekali lebih unggul dibandingkan dengan rakyat jelata Indonesia, baik

dalam status hukum maupun dalam kekuatan ekonomi, dan hampir

dalam semua hubungan antar etnis kedudukan orang Tionghoa

ternyata lebih tinggi dari orang Indonesia. Dalam hubungan inilah

maka kesadaran tentang keunggulan orang Tionghoa dalam situasi

yang menguntungkannya itu adalah bukti satu-satunya yang

seringkali menyakitkan hati. (Coppel,Charles A.1994:57)

Sekalipun kebudayaan orang Tionghoa yang berakar sering

dipengaruhi sekali oleh kebudayaan berbagai kelompok etnis

Indonesia (khususnya, seperti terlihat dalam kasus Tionghoa

peranakan) ini tidaklah berarti bahwa mereka itu telah terasimilasikan

ke dalam masyarakat pribumi itu. Memang tidak diragukan bahwa

ada sebagian yang mengalami hal demikian selama beberapa abad ini.

Keadaan yang memungkinkan perkembangan itu telah dijelaskan oleh

The Siauw Giap.2 Misalnya, ia menjumpai kasus-kasus tentang

berubahnya keyakinan orang Tionghoa peranakan di Makasar

2 The Siauw Giap, 1980. “The Chinese in Indonesia” dalam Coppel, Charles A. (1994)

Page 6: BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Wacana dengan Kekuasaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2340/3/T1_362008017_BAB II.pdf · itu. Walaupun demikian, sering citra itu muncul dalam tulisan

15

(Ujungpandang) dan menjadi orang Islam lalu lenyap melalui

penyatuan ke dalam penduduk setempat; kasus-kasus lainnya di

daerah pedesaan Jawa yang “telah meleburkan diri sepenuhnya

dengan kaum pribumi”, kasus-kasus lainnya lagi yang telah berhasil

memperoleh tanda jasa dalam pengabdiannya kepada para penguasa

setempat pada masa-masa sebelum para penguasa itu berada di bawah

pengaruh atau kekuasaan Belanda. Meskipun ada sejumlah besar

orang Tionghoa yang berakulturasi secara mendalam tetapi tetap

merupakan masyarakat Tionghoa yang menyendiri, asimilasi ke dalam

masyarakat pribumi merupakan suatu perkecualian ketimbang

kelaziman. Skinner melihat bahwa di Jawa “terdapat ribuan orang

Tionghoa yang menyusut kembali leluhur mereka di Indonesia sampai

sebanyak dua belas generasi”. Suatu keadaan yang sangat berbeda

dengan keadaan di Thailand dimana kebanyakan orang Tionghoa telah

bergabung dengan penduduk Thailand sampai empat generasi.3

Ada suatu hal yang menunjukkan kegigihan masyarakat

Tionghoa yang tersendiri itu selama beberapa generasi di Indonesia,

tetapi ada hal lain yang dikesankan oleh Muaja, bahwa kegagalan

mereka untuk berasimilasi justru disebabkan karena adanya “faktor-

faktor penghalang itu yang orang Tionghoa itu sendiri secara sadar

dan tidak sadar ikut membantu menciptakannya”.4 Memang benar

bahwa dalam abad ke-20 telah berkembang proses-proses tertentu di

dalam masyarakat Tionghoa yang menghalangi asimilasi itu, tetapi

sebenarnya perintang utama pada masa-masa awal adalah kekuasaan

kolonial Belanda dan politik yang mereka pilih. Karena kekuasan

Belanda semakin meluas, prestise mereka meningkat dan karena itulah

prestise elite pribumi merosot, maka akibatnya orang Tionghoa yang

mobil ke atas itu mungkin semakin tidak tertarik kepada pihak

3 Skinner,G. William,1960. “Change and Persistence in Chinese Cultural Overseas: A Comparison of Thailand and Java.” Dalam Coppel, Charles A. (1994) 4 Muaja,A.J.,1958. “The Chinese problem in Indonesia.” Dalam Coppel, Charles A. (1994)

Page 7: BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Wacana dengan Kekuasaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2340/3/T1_362008017_BAB II.pdf · itu. Walaupun demikian, sering citra itu muncul dalam tulisan

16

masyarakat pribumi. Di daerah-daerah seperti di Jawa di mana

akulturasi di kalangan orang Tionghoa adalah terhebat sehingga

karena itu dapat dianggap bahwa asimilasi mungkin sekali terjadi

antara kelas dan kelompok etnis dengan orang Tionghoa membentuk

suatu kelas menengah dagang antara sebagian besar kelas penguasa

Belanda dan lapisan bawah kaum pribumi. Masyarakat majemuk ini,

seperti dikatakan Furnivall, pada waktunya diperkukuh oleh hukum

sehingga seluruh penduduk ini terbagi ke dalam tiga golongan yang

berbeda-beda, yakni golongan Eropa, golongan Timur Asia, dan

Golongan pribumi. Tiga golongan ini memiliki hak-hak hukum dan

hak-hak istimewa yang juga berbeda-beda, dan pada umumnya, orang

Tionghoa sebagai golongan Timur Asing mempunyai kedudukan yang

lebih menguntungkan dibandingkan dengan penduduk pribumi.5 Maka

dari itu, asimilasi dengan penduduk pribumi akan menurunkan status

sosial mereka dan menyebabkan mereka kehilangan beberapa hak

istimewa dalam hukum. Bahkan sekaligus ada keinginan untuk

berasimilasi, politik pemerintah Belanda (terutama pada abad ke-19)

semakin mempersulitnya. Sistem perkampungan (wijkenstelsel), yang

mengharuskan orang Tionghoa bermukim di ghetto kota tertentu telah

diperhebat, dan kini pun mereka diharuskan memperoleh surat jalan

apabila mereka hendak melakukan perjalanan keluar. Paling tidak,

dalam satu hal, orang Tionghoa yang telah berasimilasi secara

menyeluruh dengan penduduk Sunda di suatu desa di Keresidenan

Cirebon sehingga “satu-satunya hal yang mengingatkan bahwa

mareka itu keturunan Tionghoa adalah kuncirnya saja”, telah dipaksa

pindah ke suatu perkampungan Tionghoa dan membuat mereka itu

mengenali dirinya kembali sebagai orang Tionghoa. Contoh ini

memberi gambaran umum bagaimana pemerintah kolonial Belanda

dengan giat menghalang-halangi penyeberangan perbatasan etnis itu.

5 Furnival, J.S., 1944. “Netherlands India; A Study of Plural Economy.” dalam Coppel, Charles A. (1994)

Page 8: BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Wacana dengan Kekuasaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2340/3/T1_362008017_BAB II.pdf · itu. Walaupun demikian, sering citra itu muncul dalam tulisan

17

Orang Tionghoa diharapkan berpakaian sebagaimana biasa (termasuk

mengenakan kuncir) dan merupakan pelanggaran kriminal “apabila

tampil di depan umum dengan tersamar pakaian lain daripada pakaian

nasional itu, terkecuali dalam arak-arakan bertopeng atau kesenangan

belaka”. Lain dari pada di Thailand, di Indonesia tidak ada prosedur

yang dilembagakan yang memungkinkan seorang penduduk Tionghoa

dapat melepaskan diri dari golongan Tionghoa dan menjadi warga

penduduk pribumi. Ini tidak berarti bahwa hal semacam itu tidak

pernah terjadi, karena jelas ada kasus-kasus serupa itu yang terjadi

tanpa diketahui pihak penguasa, dan rupanya terdapat satu kasus yang

disetujui pula oleh pemerintah kolonial mengenai asimilasi peranakn

Tionghoa di Madura ke dalam status pribumi. Namun, pada umumnya

politik Belanda barangkali memainkan peranan penting sekali dalam

memastikan bahwa suatu masyarakat peranakan yang mantap

terbentuk dari keturunan imigran Tionghoa dan bahwa keturunan

imigran ini tidak terserap oleh penduduk pribumi. (Coppel, Charles A,

1994:57-64)

2.2.3 Kebijakan dan peraturan Pemerintah terhadap Minoritas

Tionghoa selepas Kemerdekaan Indonesia.

a. Pembatasan dan Penekanan Secara Budaya

Dilihat dari sudut pandang kebudayaan bangsa Indonesia

dapat diklasifikasikan sebagai bangsa yang mempunyai

pluralisme budaya. Menurut Horton dan Hunt (1984)6, pluralisme

budaya adalah suatu bentuk penyesuaian diri di mana suku

bangsa-suku adat-istiadat mereka yang berbeda, sementara itu

turut bekerjasama secara damai dalam kehidupan politik,

ekonomi, dan sosial-kultural berdasarkan hak-hak yang secara

nisbih sama. Hal ini berarti masing-masing suku bangsa tanpa 6 Horton,P.B. Dan Hunt, C.L. (1984) dalam Kasmun Saparaus (2003)

Page 9: BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Wacana dengan Kekuasaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2340/3/T1_362008017_BAB II.pdf · itu. Walaupun demikian, sering citra itu muncul dalam tulisan

18

dipandang sebagai kelompok mayoritas ataupun minoritas

mempunyai kedudukan sederajad dalam hal mengembangkan

dimensi-dimensi kebudayaannya. Diantara suku bangsa-suku

bangsa yang ada dalam batas-batas tidak mengganggu atau tidak

merugikan suku bangsa lain dapat mengembangkan agama atau

kepercayaannya, bahasa, adat istiadat dan pendidikannya.

Akan tetapi, perlu disadari bahwa masing-masing suku

bangsa yang ada tidak mempunyai kesamaan status ekonomi dan

politik, serta konsep kebudayaan. Realitas semacam ini sering

menjadi kendala utama dalam bidang pengembangan interaksi

sosial antara suku bangsa, terutama yang dirasakan oleh suku

bangsa atau minoritas Tionghoa. Kendati belum ada bukti secara

empirik mengenai perbedaan persepsi terhadap masalah ekonomi,

politik dan sosial-budaya tersebut, telah melahirkan kebijakan-

kebijakan yang bersifat diskriminatif, untuk membatasi atau

menekan perkembangan kebudayaan suku bangsa Tionghoa.

Munculnya, political will bangsa Indonesia, sebagaimana

dinyatakan melalui resolusi No. II/Res/MPR/1966, yang

menyatakan bahwa dengan kenyataan adanya dalam masyarakat

warga negara keturunan asing yang mengarah kepada

exclusivisme, sehingga perlu dibuat pembinaan kesatuan bangsa.

Eksklusivitas sebagaimana yang dituduhkan sebenarnya, masih

berupa steriotipe yang belum teruji. Berangkat dari kecurigaan

yang belum terbukti secara empirik tersebut, elite birokrasi

melakukan usaha-usaha untuk membatasi perkembangan dimensi

kultural suku bangsa Tionghoa.

Pembatasan terhadap perkembangan kebudayaan minoritas

Tionghoa ini tampak jelas dengan dikeluarkannya Instruksi

Presiden No. 14 Tahun 1967, yang berkaitan dengan penetapan

kebijakan pokok tentang agama, kepercayaan, adat istiadat suku

Page 10: BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Wacana dengan Kekuasaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2340/3/T1_362008017_BAB II.pdf · itu. Walaupun demikian, sering citra itu muncul dalam tulisan

19

bangsa Tionghoa. Dalam konsideran dari instruksi Presiden

tersebut disebut :

“... bahwa agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina

(Tionghoa) di Indonesia yang berpusat pada negeri

leluhurnya, yang dalam manifestasinya dapat

menimbulkan pengaruh psychologis, mental, dan moral

yang kurang wajar terhadap warga negara Indonesia

sehingga merupakan hambatan terhadap proses asimilasi,.

Perlu diatur serta ditempatkan fungsinya pada proporsi

yang wajar....”

Bertolak dari kutipan tersebut, secara eksplisit

menunjukkan ada kekawatiran pemerintah dalam rangka

melindungi kelompok mayoritas terhadap meluasnya kebudayaan

Tionghoa. Keperpihakan, untuk melindungi kelompok mayoritas

ini diambil agar kemapanan (establisment) kekuasaan yang

dimiliki dapat dilanggengkan, karena didukung mayoritas. Elite

membutuhkan dukungan mayoritas, sehingga cenderung untuk

mengabaikan minoritas. Konsekuensinya, pemerintah terpaksa

melakukan usaha-usaha untuk melarang berkembangnya

kebudayaan Tionghoa, sebagai salah satu cara untuk mendapatkan

simpati mayoritas.

Bentuk tekanan kebudayaan tersebut dapat mencakup

pembatasan perkembangan agama dan kepercayaan, tekanan adat-

istiadat, tekanan bahasa, serta kesempatan untuk memperoleh

pendidikan.(Saparaus, Kasmun, 2003:48)

b. Pembatasan dan Tekanan Kehidupan Agama-Kepercayaan

Page 11: BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Wacana dengan Kekuasaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2340/3/T1_362008017_BAB II.pdf · itu. Walaupun demikian, sering citra itu muncul dalam tulisan

20

Secara umum, minoritas Tionghoa di Indonesia menganut

agama atau kepercayaan yang berbeda-beda. Sebagian ada yang

memeluk agama dan atau kepercayaan Khonghucu, Budha,

Hindu, Islam, kristen dan Katolik. Dari keenam agama dan

kepercayaan tersebut, ajaran Kong Hu Chu merupakan ajaran

tertua dan kuat melekat dalam kehidupan minoritas Tionghoa di

Indonesia, terutama menyangkut soal-soal kekeluargaan misalnya

berbakti kepada leluhur dan orang tua. Beberapa tata cara dan

kebiasaan seperti pemberian korban, penghormatan dan

sembahyangan masih bertahan dan dirayakan di kalangan

minoritas Tionghoa.

Ketika itu pemerintah menerapkan kebijakan pluralisme

agama yang menimbulkan kecenderungan bagi minoritas

Tionghoa untuk mempertahankan identitas mereka dibalik

identitas agama (Suryadinata, 1999: 182). Namun demikian pada

awal Orde Baru, secara kualitas dan kuantitas dari waktu ke

waktu perkembangannya penganut Khonghucu cenderung

mengalami kemunduran. Salah satu faktor yang ditengarai

sebagai penyebabnya adalah munculnya peraturan pada

pemerintah Orde Baru, yang membatasi perkembangan ritus-ritus

keagamaan yang bersumber dari negeri leluhur.

Salah satu bentuk peraturan pemerintah yang membatasi

kegiatan keagamaan minoritas Tionghoa yaitu, Instruksi Presiden,

No. 14 Tahun 1967 yang menyatakan:

“... Pertama: Tanpa mengurangi jaminan keleluasaan

memeluk agama dan menunaikan ibadatnya, tata-cara

ibadat Cina yang memiliki aspek affinitas kultural yang

berpusat pada negeri leluhurnya, pelaksanaannya harus

dilakukan secara intern dalam hubungan keluarga atau

perorangan. Kedua: Perayaan-perayaan pesta agama dan

Page 12: BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Wacana dengan Kekuasaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2340/3/T1_362008017_BAB II.pdf · itu. Walaupun demikian, sering citra itu muncul dalam tulisan

21

adat istiadat Cina dilakukan secara tidak mencolok di

depan umum, melainkan dilakukan dalam lingkungan

keluarga. Ketiga, penentuan kategori agama dan

kepercayaan, dan adat-istiadat Cina diatur oleh Menteri

Agama setelah mendengar pertimbangan Jaksa Agung

(PAKEM)....”

Bertolak dari isi Instruksi Presiden tersebut, secara formal

ada larangan untuk mengembangkan agama atau kepercayaan

yang secara natural telah dimiliki sebagai warisan leluhurnya.

Misalnya, penempatan agama Khonghucu, diluar agama resmi

yang ada di Indonesia, dan hanya sekedar sebuah kepercayaan.

Hal ini berarti Pemerintah mengadakan usaha-usaha untuk

menghambat berkembangnya agama dan atau kepercayaan,

minoritas Tionghoa berasal dari tanah leluhur mereka. Pemerintah

secara terencana dan sistematis juga ingin membatasi bahkan

meniadakan segala macam bentuk agama, kepercayaan dan adat

istiadat yang berasal dari Cina. Larangan itu dilakukan semata-

mata karena alasan dapat menimbulkan pengaruh yang tidak

wajar atau negatif sehingga dikhawatirkan dapat menghambat

proses asimilasi secara wajar. Di samping itu, munculnya

Instruksi Presiden 1967, menunjukkan bahwa ada kekhawatiran

dari pihak elite birokrasi, agar agama leluhur minoritas Tionghoa

ini tidak secara vulgar diajarkan di Indonesia, dengan alasan dapat

mengundang kerawanan sosial dan konflik. Hal ini,

mengindikasikan bahwa elite pemerintahan berpihak pada pihak

mayoritas, katimbang berpihak pada perkembangan kebudayaan

dan agama minoritas Tionghoa.

Di samping itu pemerintah menyarankan agar praktek-

praktek keagamaan hanya dilakukan di lingkungan keluarga.

Page 13: BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Wacana dengan Kekuasaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2340/3/T1_362008017_BAB II.pdf · itu. Walaupun demikian, sering citra itu muncul dalam tulisan

22

Akibat praktis dari instruksi itu, pertunjukan-pertunjukan

barongsay, arakan-arakan toapekong, perayaan Imlek hanya

dirayakan dalam lingkungan intern atau keluarga (Greif,

1991:xix) dan tempat ibadah. Dianggap tidak terlalu istimewa

adanya perayaan tersebut bagi bangsa Indonesia, dalam

penanggalan nasional sering tidak diklasifikasikan sebagai hari

besar.

Kebijakan Pemerintah atas keberadaan kehidupan agama

minoritas Tionghoa dapat diartikan bahwa pada satu sisi dapat

mengurangi kesenjangan sosial budaya antara minoritas Tionghoa

dengan mayoritas, dan pada pihak lain terdapat usaha-usaha untuk

menekan dan membatasi kekeluasaan atau kebebasan beragama

yang bersumber dari tanah leluhur bagi minoritas Tionghoa.

Bahkan, kebijakkan untuk membatasi kebebasan beragama secara

formal terus dilakukan. Melalui UU No.5/1969, pemerintah

menyatakan dua agama minoritas, agama Budha dan Konghucu,

sebagai agama yang diakui secara resmi. Hal ini berarti bahwa

pemerintah tidak sekedar mengakui kedua agama itu sebagai

agama yang secara resmi diakui oleh pemerintah Indonesia, tetapi

didalamnya juga mempunyai makna untuk memberikan

kebebasan melaksanakan ritual-ritual yang menjadi kewajiban

agamanya.

Pengakuan agama-agama minoritas tidak sejalan dengan

kebijaksanaan umum pemerintah Orde Baru (Soeharto) terhadap

Tionghoa warga negara Indonesia, yaitu kebijakan asimilasi

(Suryadinata, 1984:203). Dengan adanya pengakuan itu berarti

pemerintah ingin untuk melebur minoritas Tionghoa ke dalam

masyarakat mayoritas, dengan harapan konflik etnis tidak akan

pernah terjadi. Hal ini justru menjadi ancaman bagi

Page 14: BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Wacana dengan Kekuasaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2340/3/T1_362008017_BAB II.pdf · itu. Walaupun demikian, sering citra itu muncul dalam tulisan

23

perkembangan agama Khonghucu atau Budha, yang dianut

minoritas Tionghoa.

Pendekatan yang asimilatif tersebut, justru melahirkan

tekanan-tekanan secara langsung maupun tidak langsung terhadap

praktek keagamaan. Tampaknya pemerintah masih setengah hati

menerima keberadaan agama Tionghua. Oleh karena itu, ketika

Matakin atau Majelis Tertinggi Agama Khonghucu Indonesia

meminta Departemen Agama mengakui Khonghucuisme sebagai

agama, tetapi sidang kabinet pada tanggal, 27 Januari 1979 secara

tegas menyatakan bahwa Khonghucuisme bukanlah agama

(Suryadinata, 1978: 33; 1999: 182).

Disadari atau tidak, agama Khonghucu telah menjadi

identitas Tionghoa di Indonesia dan sulit untuk dimusnahkan.

Oleh karena itu dapat diasumsikan bahwa tekanan dan

pembatasan yang dilakukan bukan semakin melemahkan

identitas, tetapi sebaliknya dapat semakin mempererat jalinan

etnis, untuk secara kompak mempertahankan identitas tersebut,

sekalipun secara sembunyi-sembunyi. Suryadinata, (1999: 184)

menyimpulkan bahwa “identitas etnis sering digunakan untuk

meningkatkan solidaritas etnis dan kepentingan ekonomi sebuah

kelompok etnis”. Akibat, penekanan dan pembatasan tersebut

melahirkan perasaan senasib, sehingga terjadi kebiasaan untuk

tolong-menolong inter-anggota minoritas Tionghoa, terutama

dalam bidang kewirausahaan.

c. Pembatasan dan Tekanan Adat Istiadat

Page 15: BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Wacana dengan Kekuasaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2340/3/T1_362008017_BAB II.pdf · itu. Walaupun demikian, sering citra itu muncul dalam tulisan

24

Ternyata bukan agama saja yang dinilai “membahayakan”,

establisment penguasa dan kelompok mayoritas. Adat istiadat

minoritas Tionghoa yang berkembang secara turun menurun juga

dianggap dapat mengganggu integritas dan dianggap sebagai

sumber konflik. Oleh sebab itu muncul pembatasan terhadap

perkembangan adat-istiadat Tionghoa.

Regulasi yang secara tegas membatasi perkembangan adat

istiadat minoritas Tionghoa, tertuang dalam Instruksi Presiden,

No. 14 Tahun 1967, yang menyatakan bahwa :

“tata cara ibadat Cina yang memiliki aspek affinita kultural

yang berpusat pada negeri leluhurnya, pelaksanaannya harus

dilakukan secara intern dalam hubungan keluarga atau

perorangan. Di samping itu, adat istiadat Cina harus

dilakukan secara tidak mencolok di depan umum, melainkan

dilakukan dalam lingkungan keluarga”.

Secara formal Peraturan Presiden yang dikeluarkan pada

bulan Desember 1967, untuk melakukan pembatasan hidup dan

berkembangnya adat istiadat Tionghoa dirasakan oleh minoritas

sebagai suatu perlakuan yang kurang menghargai keberadaan

suku bangsa lain. Misalnya perayaan Tahun Baru Imlek, adat

perkawinan, adat pemakanan jenazah dan lain sebagainya, hanya

boleh dilakukan di lingkungan keluarga saja.

Berpijak pada kebijakan di atas, tampak bahwa Pemerintah

menggunakan model asimilasi yang mengharuskan minoritas

Tionghoa meninggalkan identitas Cina mereka dan mengubahnya

menjadi pribumi Indonesia. Stereotipe yang muncul adalah

kecinaan dianggap membahayakan pembentukan kebudayaan

nasional. Sebaliknya, minoritas Tionghoa yang tidak mematuhi

adat istiadat Tionghoa, dianggap lebih “asimilatif-nasionalis”

Page 16: BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Wacana dengan Kekuasaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2340/3/T1_362008017_BAB II.pdf · itu. Walaupun demikian, sering citra itu muncul dalam tulisan

25

daripada etnis Tionghoa lainnya. Namun demikian bukan berarti

seluruh adat istiadat Tionghoa telah terserap ke dalam

kebudayaan nasional. Sampai saat ini sebagian besar minoritas

Tionghoa masih tetap kental karakteristik ke-Tionghoa-annya.

Kebijakan Pemerintah, untuk melakukan pembatasan,

ternyata tidak dapat mematikan adat istiadat Tionghoa, tetapi

sebaliknya semakin mengukuhkan identitas Tionghoa. Identitas

ini dapat menjadi perekat yang kuat, sehingga secara emosional

diantara mereka mennjadi komunitas yang kohesif. Kohesifitas

tersebut dapat menunjang aktivitas jaringan kerjasama di bidang

kewirausahaan. (Saparaus, Kasmun, 2003:56)

d. Pembatasan dan Tekanan Perkembangan Bahasa Tionghoa

Kebijakan paling menonjol yang dipraktekkan selama

rezim Order Baru terhadap suku bangsa Tiongha bersifat

asimilatif. Akibatnya, terjadi kecenderungan untuk melakukan

segala pembatasan yang dianggap kurang mendukung

terwujudnya proses asimilasi. Konsep yang dijadikan payung

asimilasi adalah terciptanya persatuan dan kesatuan masyarakat

dalam sebuah negara dan bangsa yang bersifat multietnik. Oleh

karena itu, kebijakan asimilatif bertujuan untuk menyerap suku

bangsa Tionghoa ke dalam kelompok mayoritas atau pribumi

(Suryadinata, 1999: 84).

Usaha penyerapan atau peleburan berbagai aspek kehidupan,

termasuk unsur bahasa Tionghoa merupakan salah satu bentuk

asimilasi yang harus diperjuangkan.

Lenyapnya bahasa Tionghoa merupakan indikator terkikisnya

identitas Tionghoa, yang sekaligus sebagai salah satu simbol

keberhasilan kebijakan asimilasi total di bidang kebudayaan. Oleh

karena itu, pengakuan terhadap perkembangan bahasa Tionghoa,

Page 17: BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Wacana dengan Kekuasaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2340/3/T1_362008017_BAB II.pdf · itu. Walaupun demikian, sering citra itu muncul dalam tulisan

26

dianggap tidak sesuai dengan semangat nasionalisme Indonesia,

serta merupakan bentuk pengingkaran terhadap prinsip: “Satu

Nusa, Satu bangsa dan Satu Bahasa”. Dengan kata lain,

menghidupkan keberadaan bahasa Tionghoa dianggap

bertentangan dengan prinsip persatuan dan kesatuan bangsa.

Tentu saja stereotipe, semacam ini menunjukkan penilaian yang

berlebihan dan dipolitisir. Sebab, pada kenyataannya, tidak ada

larangan yang ditujukan kepada bahasa daerah dari etnis tertentu.

Sebaliknya bahasa daerah dianggap salah satu asset kebudayaan

nasional, sehingga perlu dikembangkan.

Masing-masing suku bangsa memiliki bahasa daerah.

Pembatasan terhadap penggunaan bahasa secara bebas atas suku

bangsa tertentu menunjukkan adanya perlakuan kurang

demokratis dan tidak adil. Ironisnya, elite penguasa justru

membuat kebijakan untuk membatasi penggunaan bahasa

Tionghoa. Sejak tahun 1960, pemerintah melarang penggunaan

bahasa Cina7 Esensi kebijakan pemerintah tersebut untuk melebur

bahasa Tionghoa dan menghidupkan bahasa Indonesia di

kalangan mereka. Penggunaan bahasa Tionghoa selain dianggap

menentang kebijakan pemerintah juga dimaknai sebagai dosa

besar. Mengutip pernyataan Siswono Yudohusado, yang

dieleminir sebagai salah satu dosa besar adalah:

“... Diantara mereka masih ada yang menggunakan bahasa ibu

(Cina) dalam percakapan sehari-hari. Demikian pula, masih ada

diantara mereka yang memegang erat adat-istiadat dan tradisi

nenek moyang mereka. Dalam konteks itu, sangat disayangkan

bahwa sebagian dari mereka kurang atau tidak mengenal adat-

istiadat Indonesia. Yang lebih memprihatinkan adalah bahwa di

7 Pemerintah menginstruksikan kepada orang Tionghoa untuk menggunakan Bahasa Indonesia terhadap nama-nama toko, melarang semua surat kabar berbahasa Cina dan melarang untuk mengimpor semua bentuk penerbitan dalam bahasa Cina. (Taher, 1997:133)

Page 18: BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Wacana dengan Kekuasaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2340/3/T1_362008017_BAB II.pdf · itu. Walaupun demikian, sering citra itu muncul dalam tulisan

27

antara mereka ada yang tidak mau berusaha untuk meningkatkan

kemampuan mereka dalam berbicara dengan menggunakan

bahasa Indonesia dengan baik...” (Taher, 1997:133)

Penilaian semacam itu dapat dimaklumi mengingat

pemerintah telah melakukan pelarangan terhadap penggunaan

bahasa Tionghoa digunakan secara terbuka. Di bidang jurnalistik

misalnya, pemerintah melakukan pembatasan penerbitan dengan

menggunakan bahasa asing, terutama bahasa Tionghoa.8

Lahirnya, kebijaksanaan semacam ini menunjukkan bahwa

penggunaan bahasa Tionghoa secara terbuka dibatasi dan ditekan.

Di samping itu, tampak bahwa ada tuntutan atau keharusan bagi

minoritas Tionghoa untuk menanggalkan adat-istiadat dan bahasa

yang berasal dari negeri Cina. Hal ini mengindikasikan adanya

bentuk-bentuk larangan untuk mengembangkan kebudayaan dari

kelompok masyarakat Tionghoa. Bahkan dalam perkembangnya

minoritas harus banyak mengadakan akulturasi dan asimilasi

dengan kebudayaan setempat.

Adanya pembatasan dan tekanan tersebut minoritas

Tionghoa mencari bentuk kebudayaan yang dirasakan cocok dan

aman. Artinya, mereka lebih banyak bersikap “mengalah” dan

menyembunyikan kebudayaan dan bahasa yang telah mereka

miliki. Bahasa Tionghoa, hanya ditujukan diantara mereka saja.

Pemanfaatan bahasa yang terbatas di lingkungan minoritas

Tionghoa tersebut, justru dapat mempererat solidaritas mereka

yang mempunyai dampak sangat luas dalam bidang-bidang

kehidupan lain, termasuk di bidang kewirausahaan.

e. Pembatasan dan Penekanan Dibidang Pendidikan

8 Penerbitan pers dalam bahasa asing bukan huruf latin (misalnya TIonghoa) hanya dimungkinkan atu penerbitan oleh Pemerintah (Ketetapan MPRS No. XXXII/1966, Pasal 4)

Page 19: BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Wacana dengan Kekuasaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2340/3/T1_362008017_BAB II.pdf · itu. Walaupun demikian, sering citra itu muncul dalam tulisan

28

Sejak jaman kolonial Belanda minoritas Tionghoa di

Indonesia, telah mempunyai kesadaran yang tinggi mengenai

pendidikan bagi generasi muda. Tercatat sejak tahun 1901, telah

didirikan sekolah Tionghoa yang dikelola oleh Tiong Hoa Hwee

Koan (THHK), di Jakarta. Tidak lama kemudian penguasa

Belanda mendirikan HCS atau Sekolah Tionghoa dengan bahasa

pengantar Belanda. Sekolah-sekolah Tionghoa diberikan

kebebasan secara luas9. Dalam perkembangannya seolah-sekolah

untuk peranakan Tionghoa berkembang pesat. Tercatat hingga

tahun 1934 telah terdapat 450 sekolah berbahasa Cina di Hindia

Belanda dan 117 sekolah rakyat berbahasa Belanda untuk orang

Tionghoa (Suryadinata, 1984:158).

Sekolah-sekolah bagi minoritas Tionghoa itu terus

berkembang hingga Indonesia merdeka. Perkembangan itu

terhenti ketika hubungan Republik Rakyat Cina dengan Indonesia

mengalami ketegangan. Mulai tahun 1957, pemerintah Indonesia

mulai mengadakan pengawasan secara ketat. Kondisi politik

Indonsia pada waktu sedang memanas, dengan adanya

pemberontakan anti integrasi di Sumatera dan Sulawesi. Dalam

kondisi semacam ini pemerintah membuat pernyataan, bahwa

sekolah-sekolah Tionghoa harus diawasi secara ketat demi

keamanan dan kepentingan nasional (Suryadinata, 1984:159).

Guru-guru yang menggunakan bahasa pengantar Tionghoa

diwajibkan meminta ijin kepada pemerintah, mereka harus

menempuh tes, termasuk tes kelancaran Indonesia, serta melarang

Warga Negara Indonesia untuk masuk ke sekolah Tionghoa. Di

samping itu mengharuskan sekolah-sekolah Tionghoa untuk

mengajarkan bahasa Indonesia. Semua buku pegangan harus

mendapat persetujuan pemerintah. Kurikulum sekolah diadakan

9 Sekolah-sekolah itu benar-benar diberi kebebasan menentukan kurikulum dan buku pegangannya, dan bahkan boleh mengundang guru dari Cina (Suryadinata, 1984:154).

Page 20: BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Wacana dengan Kekuasaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2340/3/T1_362008017_BAB II.pdf · itu. Walaupun demikian, sering citra itu muncul dalam tulisan

29

perubahan dengan lebih banyak memasukkan mata pelajaran

mengenai Indonesia, yaitu; Bahasa Indonesia, Sejarah, dan Ilmu

Bumi Indonesia menjadi mata pelajaran wajib.

Di samping itu pemerintah juga mengeluarkan larangan

supaya tidak lagi didirikan sekolah-sekolah baru bagi minoritas

Tionghoa. Bahkan semua sekolah berbahasa Tionghoa ditutup.

Merujuk pada Keputusan Menteri Pendidikan mengenai kebijakan

pembatasan dan penutupan bagi sekolah berbahasa Tionghoa,

pada tanggal 6 Juli 1966, menetapkan bahwa:

“... mereka yang menjadi murid di bekas sekolah-sekolah

asing tidak akan ditampung di sekolah-sekolah nasional

swasta. Mereka berhak untuk diterima di sekolah-sekolah

negara jika mereka bisa memenuhi syarat-syarat masuk yang

berupa seperti murid-murid lain dan mereka akan dibagi-

bagi agar mereka tidak merupakan pengelompokan di salah

satu sekolah ...” (Coppel, 1994:136).

Dalam praktek ternyata tidak secara serta merta suku

Tionghoa untuk memasuki sekolah-sekolah negeri. Kebijakan

pemerintah ini berubah setelah orde baru. Pada tahun 1968,

pemerintah Indonesia mengeluarkan peraturan yang terkenal

dengan Peraturan Presiden No. B12/Pres./1/1968 yang

memberikan ijin untuk mendirikan sekolah yang disponsori oleh

golongan swasta dalam masyarakat Tionghoa. Sekolah itu, yang

dinamakan Sekolah Nasional Proyek Chusus atau SNPC yang

didirikan pada tahun 1969. Sekolah-sekolah itu dinyatakan

terbuka untuk asing dan warga negara Indonesia, tetapi siswa

asing tidak boleh melebihi 40% dari jumlah seluruh siswa yang

terdaftar. (Suryadinata, 1984:163). Jadi proporsi jumlah siswa

diprioritas kepada Warga Negara Indonesia. Kendati menurut

peraturan jumlah warga Negara Indonesia harus melebihi jumlah

Page 21: BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Wacana dengan Kekuasaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2340/3/T1_362008017_BAB II.pdf · itu. Walaupun demikian, sering citra itu muncul dalam tulisan

30

minoritas Tionghoa, tetapi pada kenyataannya sebagian besar

siswanya adalah minoritas Tionghoa.

Hingga tahun 1971 terdapat delapan sekolah SNPC, akan

tetapi makin lama jumlah makin besar karena hanya di sekolah-

sekolah itulah Tionghoa dapat masuk dengan mudah.

(Suryadinata, 1984:120). Perkembangan cepat dari sekolah-

sekolah ini mengkawatirkan pemerintah, sehingga perlu

diwaspadai. Kecurigaan pemerintah terhadap keberadaan SNPC

semakin tinggi. Faktor penting yang melatar-belakangi sikap

pemerintah adalah adanya anggapan bahwa pertumbuhan SNPC

dapat memunculkan sikap eksklusif, yang tidak sesuai dengan

harapan pemerintah, yaitu berbentuk sebuah lembaga pendidikan

yang dapat mempersubur proses asimilasi antara siswa warga

negara Indonesia dengan siswa asing – Tionghoa. Tidak lama

kemudian pada tahun 1974 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan

mengumumkan penghapusan SNPC. Sekolah-sekolah itu diubah

menjadi sekolah-sekolah biasa atau menjadi Sekolah Nasional

Swasta.

Dewasa ini, siswa-siswa sekolah Tionghoa banyak yang

masuk pada sekolah swasta. Di samping itu pemerintah juga

memberikan peluang bagi minoritas Tionghoa untuk meneruskan

sekolah pada sekolah-sekolah negeri. Akan tetapi pemerintah

membatasi jumlah kira-kira hanya 10% jumlah dari seluruh siswa

golongan mayoritas. Bahkan jumlah murid Tionghoa maksimum

yang diijinkan belakangan dikatakan lima persen (Coppel, 1994:

136). Di samping itu, mereka harus memiliki surat ijin belajar dari

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan menyertakan surat

kewarganegaraan.

Pengawasan ketat dan penghapusan sekolah-sekoloah

khusus suku Tionghoa dapat dimengerti sebagai tindakan agar

Page 22: BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Wacana dengan Kekuasaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2340/3/T1_362008017_BAB II.pdf · itu. Walaupun demikian, sering citra itu muncul dalam tulisan

31

tidak terjadi eklusivisme suku Tionghoa. Namun peraturan tidak

tertulis yang terus berkembang hingga sekarang yang membatasi

suku Tionghoa untuk dapat masuk ke sekolah negeri apalagi pada

Universitas Negeri merupakan politik isolasi suku Tionghoa di

bidang pendidikan.

Untuk itu produk peraturan-peraturan pemerintah di bidang

pendidikan menunjukkan bentuk pembatasan pendidikan dalam

penyelenggaraan pendidikan dan kesempatan sekolah bagi

minoritas Tionghoa ini. Secara sistematis, pemerintah berusaha

untuk mengendalikan jumlah masyarakat Tionghoa yang sekolah

di sekolah-sekolah negeri. Perlakuan diskriminatif dan

mendiskreditkan suku bangsa Tionghoa, merupakan manifestasi

untuk mengisolasi suku bangsa Tionghoa.

Usaha pemerintah untuk mengisolasi suku Tionghoa di

bidang pendidikan tidak membuat suku tersebut terjepit, tetapi

sebaliknya. Sikap diskriminatif tersebut dapat disiasati oleh

minoritas Tionghoa, dengan cara masuk di sekolah swasta.

Bahkan pada kenyataannya, sekolah swasta tersebut banyak yang

disponsori oleh pengusaha Tionghoa sehingga berkembang pesat.

Oleh karena itu sekolah-sekolah semacam itu mempunyai kualitas

yang memadai. Di samping itu, banyak siswa Tionghoa yang

masuk pada sekolah-sekolah dan atau universitas di luar negeri.

f. Pembatasan dan Tekanan Berupa Gerakan Rasisme

Ras adalah suatu kelompok manusia yang agak berbeda

dengan kelompok-kelompok lainnya dalam segi ciri-ciri fisik-

bawaan; di samping itu banyak juga ditentukan oleh pengertian

yang digunakan oleh masyarakat. Dalam perkembangan

berikutnya ada gejala saling mengagungkan rasnya sehingga

memunculkan anti dengan ras yang lain. Akibatnya, sering

Page 23: BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Wacana dengan Kekuasaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2340/3/T1_362008017_BAB II.pdf · itu. Walaupun demikian, sering citra itu muncul dalam tulisan

32

muncul tindakan-tindakan bersifat destruktif yang dilakukan oleh

kelompok ras dominan terhadap kelompok ras minoritas.

Perlakuan semacam itu juga dapat ditemukan pada masyarakat

Tionghoa di Indonesia. Gelombang anti ras Tionghoa terjadi

secara laten, dan muncul konflik sepihak. Artinya, hampir tidak

pernah terjadi perlawanan balik yang dilakukan oleh minoritas

Tionghoa.

Segi hubungan antar kelompok suku bangsa, rasisme

tersebut diwujudkan dalam sikap diskriminasi. Jadi rasisme secara

lebih longgar merupakan cara memperlakukan orang berdasarkan

pada klasifikasi kelompok, bukannya berdasarkan ciri-ciri

individu. Hal ini berarti pula bahwa kelompok mayoritas

bertindak secara sewenang-wenang terhadap hak, harga diri

kelompok minoritas. Akibatnya, yang tampak adalah perlakuan-

perlakuan yang diskriminatif dan kurang adil.

Bagi minoritas Tionghoa Indonesia, perlakuan semacam ini

dapat dilihat dari berbagai bidang kehidupan sosial. Diskriminasi

tidak hanya dilakukan oleh individu-individu, tetapi secara

kolektif tidak diberikan kesempatan yang sama sebagai warga

negara Indonesia. Dalam kegiatan sehari-hari, lembaga-lembaga

masyarakat secara sistematis mendiskriminasikan anggota

kelompok-kelompok tertentu, dalam kegiatan bisnis, sekolah atau

pendidikan, rumah sakit, partai politik, instansi pemerintahan.

g. Tekanan Sosial Berupa Genocide

Page 24: BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Wacana dengan Kekuasaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2340/3/T1_362008017_BAB II.pdf · itu. Walaupun demikian, sering citra itu muncul dalam tulisan

33

Bentuk tekanan sosial psikologis yang lain adalah berupa ancaman terjadinya konflik secara terbuka, yang terjadi sebagai akibat masalah ras atau suku bangsa, yang bersumbu pada pembantaian Tionghoa. Tragedi pembantian Tionghoa pernah terjadi, pada tahun 1740, ketika Jawa dalam kekuasaan Pemerintahan Belanda, yang dikenal dengan peristiwa “Geger Cina”. Catatan sejarah Indonesia menunjukkan bahwa pembantaian orang-orang Tionghoa di Indonesia telah berlangsung lama. Penyebabnya adalah untuk menunjukkan luapan kemarahan kepada penguasa dan orang Tionghoa, dengan menciderai dan membunuhnya secara fisik (Kwik Kian Gie dan Nurcholish Madjid, 1999: 58). Usaha untuk memusnahkan minoritas Tionghoa, sudah pernah muncul pada masa Kolonialisme Belanda. Banyak orang Tionghoa yang dibunuh secara massal.

Konflik semacam ini ditandai dengan adanya pengrusakan atau penghancuran secara fisik dari suatu kelompok tertentu terhadap kelompok lain yang menjadi target. Dalam hal ini terdapat usaha-usaha suatu kelompok mayoritas untuk memusnahkan kelompok minoritas. Dengan cara semacam ini mereka dapat menghilangkan atau memusnahkan yang lain, terutama suku Tionghoa. Ancaman, pembantaian Tionghoa tersebut, pada satu sisi proses asmilasi menjadi sulit dan pada sisi lain sebagian besar minoritas Tionghoa semakin lekat karakteristik ke Tionghoa-annya. Berbagai kejadian yang menjepit keberadaannya telah melahirkan penilaian negatif terhadap kelompok mayoritas. Orang Tionghoa telah mengalami krisis kepercayaan terhadap kebijakan asimilisi. Kendati demikian, atas peristiwa-peristiwa tragis yang ditujukan kepadanya telah membangkitan kembali solidaritas kebersamaan diantara mereka.

h. Pembatasan dan Tekanan Berupa Kerusuhan dan Kekerasan

Page 25: BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Wacana dengan Kekuasaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2340/3/T1_362008017_BAB II.pdf · itu. Walaupun demikian, sering citra itu muncul dalam tulisan

34

Pembatasan dan tekanan sosial psikologis berupa kerusuhan

dan kekerasan ini lebih berkaitan dengan sikap masyarakat

mayoritas dan kebijakan pemerintah yang dapat menyebabkan

gangguan mentalitas minoritas Tionghoa, misalnya ketakutan

secara mendalam atau traumatis, sebagai akibat dari berbagai aksi

massal. Secara psikologis minoritas Tionghoa mendapatkan

tekanan atau pembatasan berupa perusakan, pembakaran,

penjarahan dan pemerkosaan.

Berbagai bentuk kekerasan ini tentu saja berakibat pada

pudarnya keharmonisan interaksi sosial antar etnis. Tragedi, yang

diderita minoritas Tionghoa itu, digambarkan Kwik Kian Gie dan

Nurcholis Madjid (1998:14), sebagai berikut:

“... setelah peristiwa 13 dan 14 Mei 1998 di Jakarta dan

Solo, mulai merembes cerita tentang kekejian dan

kekejaman dalam bentuk pemerkosaan terhadap putri-putri

nonpribumi belasan tahun di depan mata sanak

keluarganya. Ada yang tidak sanggup menahan malu dan

penderitaan batin, sehingga bunuh diri. Ada yang disekap

dalam mobil dan dibakar bersama mobilnya, ... kerusuhan

apa pun yang membuat massa mengamuk dan membuat

kerusakan gedung-gedung di sepanjang jalan yang

dilaluinya, masyarakat nonpri keturunan Tionghoa yang

selalu menjadi korban...”

Teror mental secara brutal semacam ini mempengaruhi

karakteristik dan pola kehidupan minoritas Tionghoa cenderung

defensif dan semakin eksklusif. Hubungan dengan mayoritas

semakin renggang. Bahkan hubungan yang dibangun hanya

semata-mata demi kepentingan bisnis atau hubungan komersial.

Diantara keduanya, menjaga jarak dan sulit untuk mengadakan

pembauran. Keadaan semacam ini semakin parah karena disertai

Page 26: BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Wacana dengan Kekuasaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2340/3/T1_362008017_BAB II.pdf · itu. Walaupun demikian, sering citra itu muncul dalam tulisan

35

prasangka-prasangka sosial yang bersifat negatif. Akibatnya,

dalam sepanjang hidupnya minoritas Tionghoa berada dalam

suasana kecemasan dan kebimbangan. Kendati demikian,

perlakuan tidak adil tersebut, berhasil menumbuhkan kesadaran

kesetiakawanan di antara mereka termasuk dalam bidang

kewirausahaan. Hal ini dapat dimaknai bahwa perasaan

senasib dapat mempengaruhi dalam bidang kehidupan yang lebih

luas, termasuk dalam kewirausahaan, untuk memajukan tingkat

perekonomian yang lebih baik. (Saparaus,Kasmun, 2003.)

2.3. Media Massa dan Konstruksi Realitas

Proses konstruksi realitas, prinsipnya setiap upaya "menceritakan"

(konseptualisasi) sebuah peristiwa, keadaan, atau benda adalah usaha

mengkonstruksikan realitas. Laporan tentang kegiatan orang yang

berkumpul di sebuah lapangan terbuka guna mendengarkan pidato politik

pada musim pemilu, misalnya, adalah hasil konstruksi realitas mengenai

peristiwa yang lazim disebut kampanye pemilu itu. Begitulah setiap hasil

laporan adalah hasil konstruksi realitas atas kejadian yang dilaporkan.

Pekerjaan media massa adalah menceritakan peristiwa-peristiwa,

maka kesibukan utama media massa adalah mengkonstruksikan berbagai

realitas yang akan disiarkan. media menyusun realitas dari berbagai

peristiwa yang terjadi hingga menjadi cerita atau wacana yang bermakna.

Pembuatan berita di media pada dasarnya adalah penyusunan realitas-

realitas hingga membentuk sebuah cerita atau wacana yang bermakna.

Dengan demikian seluruh isi media tiada lain adalah realitas yang telah

dikonstruksikan (constructed reality) dalam bentuk wacana yang bermakna.

Proses konstruksi realitas, bahasa adalah unsur utama. Ia merupakan

instrumen pokok untuk menceritakan realitas. Bahasa adalah alat

konseptualisasi dan alat narasi. begitu pentingnya bahasa, maka tak ada

berita, cerita ataupun ilmu pengetahuan tanpa bahasa. Selanjutnya

Page 27: BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Wacana dengan Kekuasaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2340/3/T1_362008017_BAB II.pdf · itu. Walaupun demikian, sering citra itu muncul dalam tulisan

36

penggunaan bahasa (simbol) tertentu menentukan format narasi (dan makna)

tertentu. Sedangkan jika dicermati secara teliti seluruh isi media entah

media cetak ataupun media elektronik menggunakan bahasa, baik bahasa

verbal (kata-kata tertulis atau lisan) maupun bahasa non verbal (gambar,

foto, gerak-gerik, grafik, angka, dan tabel).

Pada media massa, keberadaan bahasa ini tidak lagi sebagai alat

semata untuk menggambarkan sebuah realitas, melainkan bisa menentukan

gambaran (makna citra) mengenai suatu realitas-realitas media yang akan

muncul di benak khalayak. Oleh karena persoalan makna itulah, maka

penggunaan bahasa berpengaruh terhadap konstruksi realitas, terlebih atas

hasilnya (baca, makna atau citra). Sebabnya ialah, karena bahasa

mengandung makna. Padahal, manakala kita bercerita kepada orang lain,

sesungguhnya esensi yang kita ingin sampaikan adalah makna. Padahal,

setiap kata, angka, dan simbol lain dalam bahasa yang kita pakai untuk

menyampaikan pesan pada orang lain tentulah mengandung makna. Begitu

juga, rakitan antara satu kata (angka) dengan kata (angka) lain menghasilkan

satu makna. Penampilan secara keseluruhan sebuah wacana bahkan bisa

menimbulkan makna tertentu.

Penggunaan bahasa tertentu dengan demikian berimplikasi pada

bentuk konstruksi realitas dan makna yang dikandungnya. Pilihan kata dan

cara penyajian suatu realitas ikut menentukan struktur konstruksi realitas

dan makna yang muncul darinya. Dari perspektif ini, bahkan bahasa bukan

hanya mampu mencerminkan realitas, tetapi sekaligus dapat menciptakan

realitas.

Menurut Giles dan Wiemann (1987), bahasa (teks) mampu

menentukan konteks, bukan sebaliknya teks menyesuaikan diri dengan

konteks. Dengan begitu, lewat bahasa yang dipakainya (melalui pilihan kata

dan cara penyajian) seseorang bisa mempengaruhi orang lain (menunjukkan

Page 28: BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Wacana dengan Kekuasaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2340/3/T1_362008017_BAB II.pdf · itu. Walaupun demikian, sering citra itu muncul dalam tulisan

37

kekuasaannya). Melalui teks yang dibuatnya, ia dapat memanipulasi

konteks.10

Sekali lagi, elemen dasar seluruh isi media massa, entah itu hasil

liputan seperti berita, laporan pandangan mata, atau hasi analisi berupa

artikel opini, adalah bahasa tertulis baik berbentuk kata, angka, gambar,

ataupun grafis. Media radio menggunakan ucapan dan suara. Media TV

menggabungkan bahasa tulisan, ujaran, gambar, dan bunyi-bunyian

(audiovisual). Dengan bahasa para pekerja media mengkonstruksikan setiap

realitas yang diliputnya.

Dengan demikian bahasa adalah nyawa kehidupan media massa.

Hanya melalui bahasa para pekerja media bisa menghadirkan hasil

reportasenya kepada khalayak. Setiap hari, para pekerja media

memanfaatkan bahsa dalam menyajikan berbagai realitas (peristiwa,

keadaan, benda) kepada publik. Dengan bahasa secara massif mereka

menentukan gambaran beragam realitas ke dalam benak masyarakat.

(Hamad, 2004:98-102)

2.4. Bahasa, pertarungan simbolik dan kekuasaan

Bahasa adalah praktik sosial. Pendekatan Bourdieu ini merupakan

pengembangan dari pendekatan yang dilakukan oleh J.L. Austin tentang

tindakan bahasa dalam Teori Tindak Tutur. Austin memberikan penekanan

pada kenyataan bahwa ujaran-ujaran tertentu tidak dipakai untuk tujuan

menceritakan atau memaparkan sesuatu, tetapi juga merupakan tindakan dan

partisipasi pada sebuah ritual. Ujaran-ujaran yang juga merupakan tindakan

ini disebut sebagai ujaran performatif (Austin, 1975)11 . Contoh-ccontoh

ujaran performatif yang diberikan Austin, misalnya ujaran “Saya bersedia”

atau “Saya berjanji” pada sebuah upacara pernikahan, atau ujaran “hari ini 10 Howad Giles dan John M. Wiemann (1987), "Language social comparison and power." Dalam Hamad, Ibnu( 2004) 11 Austin (1975) dalam Suma Riella Rusdiarti (2003) “bahasa, Pertarungan Simbolik dan Kekuasaan” Edisi khusus Pierre Bourdieu

Page 29: BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Wacana dengan Kekuasaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2340/3/T1_362008017_BAB II.pdf · itu. Walaupun demikian, sering citra itu muncul dalam tulisan

38

saya luncurkan secara resmi kapal Queen Elizabeth” yang diucapkan sambil

melemparkan satu botol champagne ke badan kapal pada acara peluncuran

kapal baru.

Dalam pandangan Bourdieu, sebenarnya Teori Tindak Tutur yang

ditawarkan Austin mampu menunjukkan bahwa efektifitas sebuah ujaran

performatif tidak bisa dipisahkan dari adanya sebuah institusi yang

menetukan kondisi-kondisi (seperti ruang, waktu, pelaku) yang harus ada

agar sebuah ujaran dapat benar-benar efektif. Istilah institusi yang dipakai

Bourdieu bukan berarti sebuah lembaga atau organisasi tertentu (misalnya

keluarga, perusahaan, negara), tetapi berlaku bagi keseluruhan relasi sosial

yang relatif bertahan, yang memberikan berbagai bentuk kekuasaan, status,

dan sumber daya hidup kepada individu-individu. Institusi inilah yang

memberikan otoritas kepada penutur untuk melakukan tindakan

sebagaimana ujaran yang ia ucapkan dalam ujaran performatif. Ujaran itu

hanya bisa diucapkan oleh individu-individu atau pelaku sosial yang

memiliki otoritas dalam melakukan tindakan-tindakan tersebut.

Seorang pelaku sosial yang memiliki otoritas, ketika ia berbicara di

dalam situasi dan kondisi yang sesuai dengan wewenangnya, maka ia

memanifetasikan otoritasnya. Melalui ujarannya ia menggunakan satu

bentuk kekuasaan atau otoritas yang merupakan bagian dari sebuah institusi

sosial, dan otoritas itu tidak bisa ditemukan hanya dengan membongkar

kalimat-kalimat secara linguistik. Mencoba memahami secara linguistik saja

kekuatan dari pernyataan-pernyataan linguistik berarti melupakan otoritas

yang terjadi di “luar”. Padahal otoritas-otoritas itulah yang direpresentasikan

oleh bahasa, yang dimanifestasikan dan yang disimbolkan oleh bahasa.

Otoritas-otoritas itu melekat di dalam diri penutur bahasa. Otoritas inilah

yang menurut Bourdieu merupakan kapital simbolik dan kekuasaan

simbolik yang dimiliki oleh pelaku sosial. Dengan demikian bahasa erat

kaitannya dengan kekuasaan simbolik.

Page 30: BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Wacana dengan Kekuasaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2340/3/T1_362008017_BAB II.pdf · itu. Walaupun demikian, sering citra itu muncul dalam tulisan

39

2.4.1 Bahasa sebagai Praktik Sosial

Bahasa adalah salah satu atribut manusia yang paling penting.

Bourdieu melihat bahwa bahasa tidak hanya merupakan alat

komunikasi dan kapital budaya, tetapi juga merupakan praktik sosial.

Bahasa didapatkan oleh individu pelaku sosial dari masyarakat dan

lingkungan tempat dia tinggal dan hidup. Bahasa menjadi instrumen

penting yang harus dimiliki oleh pelaku sosial untuk dapat

bersosialisasi dengan pelahu sosial lainnya. Melalui sosialisasi inilah

makna kata-kata terbentuk dan terserap kedalam kesaadaran individu.

Kemampuan atau kapasitas bahasa pelaku sosial ditentukan oleh

habitus linguistiknya. Habitus linguistik menggambarkan

kecenderungan praktik-praktik linguistik yang tertanam di dalam diri

pelaku, baik yang berhubungan dengan kecenderungan perilaku fisik,

maupun persepsi dan logika bahasanya. Melalui habitus linguistik

inilah pelaku sosial mendapatkan dan terus memperkaya kapita

budaya linguistiknya. Oleh karena itu, Bourdieu mengatakan pula

istilah kapital informasional untuk bahasa sebagai kapital budaya

linguistik.

Ekspresi linguistik selalu diproduksi di dalam sebuah konteks dan

“pasar linguistik”. Pasar linguistik adalah sebuah arena tempat

wacana-wacana termanifestasi dan terwujud. Agar transaksi wacana

berhasil, maka perlu dipahami aturan main di setiap pasar, karena

masing-masing pasar memiliki arena pertarungan yang berbeda,

dengan aturan yang berbeda. Disinalah dapat diidentifikasi mengenai

arena permainan. Setiap bahasa merupakan sebuah permainan,

dalamnya memiliki aturan-aturan permainan sendiri. Aturan dari

permainan satu tidak bisa dipakai untuk aturan bagi permainan yang

lain. Dengan demikian, didalam bahasa tidak ada peraturan yang

universal yang mencakup semua bahasa. Setiap bahasa harus

Page 31: BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Wacana dengan Kekuasaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2340/3/T1_362008017_BAB II.pdf · itu. Walaupun demikian, sering citra itu muncul dalam tulisan

40

dipahami dengan gramatikanya masing-masing, dipahami persamaan-

persamaannya.

Pasar linguistik habitus linguistik

Praktik bahasa

Gambar 2.3 bahasa sebagai praktik sosial

Dalam arena pasar linguistik yang menjadi komoditas utama

dalam sirkulasi “perdagangan” bukan lagi bahasa , tetapi diskursus

atau wacana sebagai praktik sosial, sesuai dengan bagan di atas,

praktik bahasa tidak bisa berdiri sendiri. Setiap kata yang dipilih oleh

pelaku sosial ditentukan oleh kepasitas linguistik yang dimilikinya,

yang ditentukan oleh habitus linguistiknya. Lebih dari itu habitus

linguistik menentukan pula logika berpikir. Pelaku sosial yang sejak

kecil tumbuh di dalam lingkungannya yang akrab dengan buku,

majalah dan sumber-sumber bacaan berkualitas akan memiliki kosa

kata yang kaya, cara berpikir yang lebih teratur .

2.4.2 Pertarungan simbolik dan kekuasaan simbolik

Hubungan komunikasi antara pengirim dan penerima pesan

menurut Bourdieu dibangun berdasarkan penyusunan kode atau

simbol bahasa oleh pengirim dan pembongkaran kode dan simbol

bahasa oleh penerima. Informasi yang dikirim oleh penutur melalui

proses pembongkaran dan pemahaman simbol.

Hubungan komunikasi sebagai pertukaran bahasa atau hubungan

simbolik yang seperti ini, oleh Sausure direduksi menjadi sekadar

hubungan komunikasi murni. Informasi di dalam pesan lebih penting

daripada peristiwa komunikasi itu sendiri, sedangkan pertukaran

bahasa dalam hubungan komunikasi. Menurut Bourdieu, tidak hanya

Page 32: BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Wacana dengan Kekuasaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2340/3/T1_362008017_BAB II.pdf · itu. Walaupun demikian, sering citra itu muncul dalam tulisan

41

sampai disitu. Pasar linguistik juga menentukan berhasil tidaknya satu

wacana dari pengiriman dipahami oleh penerima.

Selanjutnya, Bourdieu menyatakan bahwa wacana yang

dikirimkan, bukanlah sekadar wacana yang diharapkan dapat

dipahami oleh penerima. Sebuah wacana juga merupakan kumpulan

tanda atau simbol yang bertujuan untuk dinilai dan diapresiasi, atau

bertujuan untuk dipercaya dan dipatuhi. Dipercaya dan dipatuhi

menunjukkan otoritas yang ingin dicapai oleh pelaku sosial. Otoritas

ini adalah bentuk kekuasaan yang tertinggi, yaitu kekuasaan simbolik.

Bahasa sebagai kapital kultural (linguistik) dengan demikian erat

kaitannya dengan pertarungan dan kekuasaan simbolik. (Rusdiarti,

Suma Riella dalam majalah BASIS 2003:32-38)