bab ii kajian teori 2.1. wacana dengan...
TRANSCRIPT
10
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1. Wacana dengan Kekuasaan
Sejarah politik Orde Baru merupakan sejarah yang juga mampu
membuktikan bagaimana politik kekuasaan selalu harus ditopang dengan
politik pengetahuan beserta aparatus pendidikan yang menanamkan nilai-
nilai ideologi negara secara hegemonik.
Fondasi kekuasaan yang dibangun pertama-tama adalah melakukan
pembangunan tiang-tiang legitimasi baik secara politik maupun secara
moral. Salah satunya tentu saja membangun pengetahuan masyarakat bahwa
memang rezim ini dibangun dengan kaki fondasi yang sah dan legitimit.
Pengetahuan-pengetahuan seperti sejarah, ekonomi, politik, kebudayaan dan
nilai-nilai sosial lainnya tentu saja dibangun atas kepentingan kekuasaan
saat itu. Bagi kekuatan yang kalah, tentu saja akan bernasib buruk karena
rezim orde baru sangat lihai untuk menangkis kekuatan-kekuatan lawan
dengan segala peraturan dan kebijakan yang tidak memberi peluang lahirnya
perubahan.
Wacana ideologi sangat efektif jika dibawa dan ditransmisikan oleh
seperangkat pengetahuan yang membentuk perangkat disiplin kesadaran
masyarakat. Pengetahuan ini dibentuk dan dikonstruksi oleh negara
terutama oleh lembaga pendidikan. Di dalam seperangkat pengetahuan ini
mengandung manifestasi kekuasaan. Bentuk kekuasaan ini tidak harus
terbentuk dalam kerja mekanis ataupun linier, melainkan diproduksi dan
direproduksi secara interaksional dalam wacana masyarakat. Ketika wacana
atau pengetahuan tersebut diyakini, dan mengatur pola-pola hidup interaksi
masyarakat, maka disana kekuasaan bekerja. Cara kerja kekuasaan ini
membentuk “disiplin” masyarakat. Model kekuasaan disiplin ini tidak harus
melalui kekuasaan represif fisik melainkan bentuk kontrol pengawasan yang
11
dibentuk oleh pengetahuan atau wacana. Kontrol kesadaran ini meletakkan
masyarakat selalu ada dibawah kontrol yang dibentuk oleh kekuasaan.
Perangkat pengetahuan ini dapat dipakai untuk menentukan seluruh
tingkah laku dan mengurangi wilayah “illegalitas” yaitu pelanggaran
hukum. Hukuman menjadi efektif karena memberi gagasan kepada setiap
orang bahwa dengan melakukan “kejahatan” orang akan menerima kerugian
yang lebih besar daripada kalau orang menaati hukum. Hukuman yang
berupa sistem tanda-tanda ini mengenai bukan lagi tubuh, melainkan
menjadi tanda representasi yang mengenai pikiran. Tanda-tanda itu bisa
dibentuk oleh pendidikan, penjara, agama, institusi-institusi negara atau
wacana yang sengaja dikembangkan dalam masyarakat.
Berakhirnya orde baru juga membuka kesempatan bagi pers dan
media massa untuk lebih bebas dalam berpendapat, berkreasi serta bersikap
kritis. Kebebasan di Indonesia dalam era reformasi ditandai dengan
lahirnya UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers. Dengan adanya UU Pers
tersebut, setiap orang boleh menerbitkan media massa tanpa harus
meminta ijin kepada pemerintah seperti sebelumnya. Pers dalam era
reformasi tidak perlu takut kehilangan ijin penerbitan jika mengkritik
pejabat, baik sipil maupun militer.
Dengan UU Pers diharapkan media massa di Indonesia dapat menjadi
salah satu di antara empat pilar demokrasi selain eksekutif, legislatif dan
yudikatif. Hal ini mengisyaratkan pentingnya keikutsertaan pers dalam
melakukan kontrol atas tiga pilar kekuasaan tersebut. Media dihajatkan
(lahir) sebagai penyangga demokrasi. Media menjadi penyangga penting
demokrasi, sebab media menyajikan informasi hiruk-pikuk bernegara,
namun di lain pihak, media modern turut serta menyumbangkan sejumlah
solusi atas berbagai problemantika bangsa melalui wacana yang
dibangun.(St. Tri Guntur Narwaya,2006: 67)
12
2.2. Perjalanan Etnis Tionghoa di Indonesia
“...banyak orang Indonesia kini masih menganggap orang Tionghoa secara
politis, kultural dan sosial sebagai asing sebagaimana orang asing lain
yang sesungguhnya, sekalipun mereka itu mungkin mempunyai kartu
kewarganegaraan Indonesia di dalam kantong mereka”.1
Orang Tionghoa selalu merupakan minoritas kecil di Indonesia.
Dalam tahun 1961, mereka diperkirakan berjumlah sekitar 2,45 juta orang,
mungkin saja mereka itu tidak pernah dianggap mewakili lebih dari 2,5
persen dari seluruh jumlah penduduk pada waktu itu.
Dalam tahun-tahun pertumbuhan nasionalisme Indonesia pada
bagian awal abad ini, kata bangsa (ras) digunakan untuk menunjukkan
pengertian nasion. Kebanyakan kaum nasionalis Indonesia berpikir bahwa
bangsa Indonesia itu meliputi anggota-anggota dari berbagai suku bangsa
atau suku pribumi (asli). Dengan begitu, sama luasnya dengan suatu bagian
dari penduduk Hindia yang menurut pemerintah Belanda digolongkan
sebagai pribumi (inlander). Etnis Tionghoa, yang dengan sedikit
perkecualian digolongkan sebagai “Timur Asing” (Vreemde Oosterlingen),
dipandang oleh orang Indonesia sebagai suatu bangsa tersendiri, bangsa
Tionghoa. (Wibisono,Christianto,2004:42-43)
2.2.1 Stereotip Orang Tionghoa
Orang Indonesia pribumi tidak saja menganggap orang
Tionghoa itu sebagai bangsa lain, tetapi banyak dari mereka juga
percaya bahwa sebagai kelompok, orang Tionghoa itu memiliki
berbagai sifat negatif, sebagai berikut :
Orang Tionghoa itu suka berkelompok-kelompok, mereka
menjauhkan diri dari pergaulan sosial dan lebih suka tinggal di
kawasan tersendiri. Mereka selalu berpegang teguh kepada 1 Suryadinata ,Leo (2002) dalam Wibisono,Christianto (2004)
13
kebudayaan negara leluhur mereka. Kesetiaan mereka kepada
Indonesia, dalam keadaan paling baik meragukan, dalam keadaan
paling buruk, bersikap bermusuhan terhadap Indonesia. Orang
Tionghoa yang tampaknya memihak kepada Indonesia tidak
bersungguh-sungguh hati, mereka hanya berpura-pura melakukan itu
demi alasan-alasan oportunistis, ketimbang perasaan yang sebenarnya
untuk memihak kepada negara dan rakyat mereka. Oportunisme
semacam ini adalah ciri-ciri khas dari orang yang hanya
mementingkan uang, perdagangan dan bisnis. Mereka itu, tidak seperti
orang Indonesia yang memiliki rasa pengabdian kepada cita-cita.
Setelah diberi kedudukan yang menguntungkan oleh Belanda, orang
Tionghoa mendominasi ekonomi Indonesia, melakukan penindasan
terhadap massa Indonesia dan menghalangi-halangi kebangkitan
golongan pengusaha nasional atau pribumi. Masih tidak puas dengan
kedudukan mereka yang dominan itu, mereka pun terlibat dalam
subversi ekonomi, karena mereka ahli dalam bidang penyogokan dan
penyelundupan.
Mengumpulkan citra semacam ini dari sumber-sumber tertulis
adalah satu hal, sebaliknya sampai di mana gabungan stereotip yang
mewakili orang Tionghoa itu dalam pemikiran orang Indonesia dapat
dibentuk merupakan hal lain. Tidak pernah diusahakan di sini untuk
mengunakan cara-cara penelitian untuk mengetahui pandangan yang
dianut orang Indonesia, atau sebagian dari mereka yang menjadi
gambaran yang sebenarnya mengenai orang Tionghoa sebagai suatu
kelompok. Tidak diragukan bahwa banyak yang berpendapat, paling
tidak sebagian dari orang Tionghoa dikecualikan dari gambaran umum
itu. Walaupun demikian, sering citra itu muncul dalam tulisan dan
ucapan orang Indonesia tentang orang Tionghoa, termasuk
pernyataan-pernyataan pemerintah tentang “masalah Tionghoa”, dan
terutama dalam percakapan diantara orang Tionghoa sendiri mengenai
cara terbaik untuk menetralkan mereka, memberi kesan bahwa mereka
14
itu bukannya tidak penting. Karena itu, rupanya diperlukan sekali
untuk meneliti bagaimana citra ini sampai terbentuk dan sampai
dimana mereka itu mempunyai setitik kebenaran, sebelum mencoba
membatasi bagian-bagian tertentu dari masyarakat Indonesia yang
dalam hal ini paling berurat akar. (Mellaz, August,2002:43-44)
2.2.2 Sifat Eksklusif dan Superioritas
Proses ini (yakni asimilasi) akan terjadi dengan sendirinya
di kalangan penduduk Tionghoa di Indonesia kalau tidak ada faktor-
faktor penghalang itu, yang orang Tionghoa sendiri secara sadar atau
tidak sadar telah membantu menciptakannya.
Selama zaman penjajahan, orang Tionghoa dengan jelas
sekali lebih unggul dibandingkan dengan rakyat jelata Indonesia, baik
dalam status hukum maupun dalam kekuatan ekonomi, dan hampir
dalam semua hubungan antar etnis kedudukan orang Tionghoa
ternyata lebih tinggi dari orang Indonesia. Dalam hubungan inilah
maka kesadaran tentang keunggulan orang Tionghoa dalam situasi
yang menguntungkannya itu adalah bukti satu-satunya yang
seringkali menyakitkan hati. (Coppel,Charles A.1994:57)
Sekalipun kebudayaan orang Tionghoa yang berakar sering
dipengaruhi sekali oleh kebudayaan berbagai kelompok etnis
Indonesia (khususnya, seperti terlihat dalam kasus Tionghoa
peranakan) ini tidaklah berarti bahwa mereka itu telah terasimilasikan
ke dalam masyarakat pribumi itu. Memang tidak diragukan bahwa
ada sebagian yang mengalami hal demikian selama beberapa abad ini.
Keadaan yang memungkinkan perkembangan itu telah dijelaskan oleh
The Siauw Giap.2 Misalnya, ia menjumpai kasus-kasus tentang
berubahnya keyakinan orang Tionghoa peranakan di Makasar
2 The Siauw Giap, 1980. “The Chinese in Indonesia” dalam Coppel, Charles A. (1994)
15
(Ujungpandang) dan menjadi orang Islam lalu lenyap melalui
penyatuan ke dalam penduduk setempat; kasus-kasus lainnya di
daerah pedesaan Jawa yang “telah meleburkan diri sepenuhnya
dengan kaum pribumi”, kasus-kasus lainnya lagi yang telah berhasil
memperoleh tanda jasa dalam pengabdiannya kepada para penguasa
setempat pada masa-masa sebelum para penguasa itu berada di bawah
pengaruh atau kekuasaan Belanda. Meskipun ada sejumlah besar
orang Tionghoa yang berakulturasi secara mendalam tetapi tetap
merupakan masyarakat Tionghoa yang menyendiri, asimilasi ke dalam
masyarakat pribumi merupakan suatu perkecualian ketimbang
kelaziman. Skinner melihat bahwa di Jawa “terdapat ribuan orang
Tionghoa yang menyusut kembali leluhur mereka di Indonesia sampai
sebanyak dua belas generasi”. Suatu keadaan yang sangat berbeda
dengan keadaan di Thailand dimana kebanyakan orang Tionghoa telah
bergabung dengan penduduk Thailand sampai empat generasi.3
Ada suatu hal yang menunjukkan kegigihan masyarakat
Tionghoa yang tersendiri itu selama beberapa generasi di Indonesia,
tetapi ada hal lain yang dikesankan oleh Muaja, bahwa kegagalan
mereka untuk berasimilasi justru disebabkan karena adanya “faktor-
faktor penghalang itu yang orang Tionghoa itu sendiri secara sadar
dan tidak sadar ikut membantu menciptakannya”.4 Memang benar
bahwa dalam abad ke-20 telah berkembang proses-proses tertentu di
dalam masyarakat Tionghoa yang menghalangi asimilasi itu, tetapi
sebenarnya perintang utama pada masa-masa awal adalah kekuasaan
kolonial Belanda dan politik yang mereka pilih. Karena kekuasan
Belanda semakin meluas, prestise mereka meningkat dan karena itulah
prestise elite pribumi merosot, maka akibatnya orang Tionghoa yang
mobil ke atas itu mungkin semakin tidak tertarik kepada pihak
3 Skinner,G. William,1960. “Change and Persistence in Chinese Cultural Overseas: A Comparison of Thailand and Java.” Dalam Coppel, Charles A. (1994) 4 Muaja,A.J.,1958. “The Chinese problem in Indonesia.” Dalam Coppel, Charles A. (1994)
16
masyarakat pribumi. Di daerah-daerah seperti di Jawa di mana
akulturasi di kalangan orang Tionghoa adalah terhebat sehingga
karena itu dapat dianggap bahwa asimilasi mungkin sekali terjadi
antara kelas dan kelompok etnis dengan orang Tionghoa membentuk
suatu kelas menengah dagang antara sebagian besar kelas penguasa
Belanda dan lapisan bawah kaum pribumi. Masyarakat majemuk ini,
seperti dikatakan Furnivall, pada waktunya diperkukuh oleh hukum
sehingga seluruh penduduk ini terbagi ke dalam tiga golongan yang
berbeda-beda, yakni golongan Eropa, golongan Timur Asia, dan
Golongan pribumi. Tiga golongan ini memiliki hak-hak hukum dan
hak-hak istimewa yang juga berbeda-beda, dan pada umumnya, orang
Tionghoa sebagai golongan Timur Asing mempunyai kedudukan yang
lebih menguntungkan dibandingkan dengan penduduk pribumi.5 Maka
dari itu, asimilasi dengan penduduk pribumi akan menurunkan status
sosial mereka dan menyebabkan mereka kehilangan beberapa hak
istimewa dalam hukum. Bahkan sekaligus ada keinginan untuk
berasimilasi, politik pemerintah Belanda (terutama pada abad ke-19)
semakin mempersulitnya. Sistem perkampungan (wijkenstelsel), yang
mengharuskan orang Tionghoa bermukim di ghetto kota tertentu telah
diperhebat, dan kini pun mereka diharuskan memperoleh surat jalan
apabila mereka hendak melakukan perjalanan keluar. Paling tidak,
dalam satu hal, orang Tionghoa yang telah berasimilasi secara
menyeluruh dengan penduduk Sunda di suatu desa di Keresidenan
Cirebon sehingga “satu-satunya hal yang mengingatkan bahwa
mareka itu keturunan Tionghoa adalah kuncirnya saja”, telah dipaksa
pindah ke suatu perkampungan Tionghoa dan membuat mereka itu
mengenali dirinya kembali sebagai orang Tionghoa. Contoh ini
memberi gambaran umum bagaimana pemerintah kolonial Belanda
dengan giat menghalang-halangi penyeberangan perbatasan etnis itu.
5 Furnival, J.S., 1944. “Netherlands India; A Study of Plural Economy.” dalam Coppel, Charles A. (1994)
17
Orang Tionghoa diharapkan berpakaian sebagaimana biasa (termasuk
mengenakan kuncir) dan merupakan pelanggaran kriminal “apabila
tampil di depan umum dengan tersamar pakaian lain daripada pakaian
nasional itu, terkecuali dalam arak-arakan bertopeng atau kesenangan
belaka”. Lain dari pada di Thailand, di Indonesia tidak ada prosedur
yang dilembagakan yang memungkinkan seorang penduduk Tionghoa
dapat melepaskan diri dari golongan Tionghoa dan menjadi warga
penduduk pribumi. Ini tidak berarti bahwa hal semacam itu tidak
pernah terjadi, karena jelas ada kasus-kasus serupa itu yang terjadi
tanpa diketahui pihak penguasa, dan rupanya terdapat satu kasus yang
disetujui pula oleh pemerintah kolonial mengenai asimilasi peranakn
Tionghoa di Madura ke dalam status pribumi. Namun, pada umumnya
politik Belanda barangkali memainkan peranan penting sekali dalam
memastikan bahwa suatu masyarakat peranakan yang mantap
terbentuk dari keturunan imigran Tionghoa dan bahwa keturunan
imigran ini tidak terserap oleh penduduk pribumi. (Coppel, Charles A,
1994:57-64)
2.2.3 Kebijakan dan peraturan Pemerintah terhadap Minoritas
Tionghoa selepas Kemerdekaan Indonesia.
a. Pembatasan dan Penekanan Secara Budaya
Dilihat dari sudut pandang kebudayaan bangsa Indonesia
dapat diklasifikasikan sebagai bangsa yang mempunyai
pluralisme budaya. Menurut Horton dan Hunt (1984)6, pluralisme
budaya adalah suatu bentuk penyesuaian diri di mana suku
bangsa-suku adat-istiadat mereka yang berbeda, sementara itu
turut bekerjasama secara damai dalam kehidupan politik,
ekonomi, dan sosial-kultural berdasarkan hak-hak yang secara
nisbih sama. Hal ini berarti masing-masing suku bangsa tanpa 6 Horton,P.B. Dan Hunt, C.L. (1984) dalam Kasmun Saparaus (2003)
18
dipandang sebagai kelompok mayoritas ataupun minoritas
mempunyai kedudukan sederajad dalam hal mengembangkan
dimensi-dimensi kebudayaannya. Diantara suku bangsa-suku
bangsa yang ada dalam batas-batas tidak mengganggu atau tidak
merugikan suku bangsa lain dapat mengembangkan agama atau
kepercayaannya, bahasa, adat istiadat dan pendidikannya.
Akan tetapi, perlu disadari bahwa masing-masing suku
bangsa yang ada tidak mempunyai kesamaan status ekonomi dan
politik, serta konsep kebudayaan. Realitas semacam ini sering
menjadi kendala utama dalam bidang pengembangan interaksi
sosial antara suku bangsa, terutama yang dirasakan oleh suku
bangsa atau minoritas Tionghoa. Kendati belum ada bukti secara
empirik mengenai perbedaan persepsi terhadap masalah ekonomi,
politik dan sosial-budaya tersebut, telah melahirkan kebijakan-
kebijakan yang bersifat diskriminatif, untuk membatasi atau
menekan perkembangan kebudayaan suku bangsa Tionghoa.
Munculnya, political will bangsa Indonesia, sebagaimana
dinyatakan melalui resolusi No. II/Res/MPR/1966, yang
menyatakan bahwa dengan kenyataan adanya dalam masyarakat
warga negara keturunan asing yang mengarah kepada
exclusivisme, sehingga perlu dibuat pembinaan kesatuan bangsa.
Eksklusivitas sebagaimana yang dituduhkan sebenarnya, masih
berupa steriotipe yang belum teruji. Berangkat dari kecurigaan
yang belum terbukti secara empirik tersebut, elite birokrasi
melakukan usaha-usaha untuk membatasi perkembangan dimensi
kultural suku bangsa Tionghoa.
Pembatasan terhadap perkembangan kebudayaan minoritas
Tionghoa ini tampak jelas dengan dikeluarkannya Instruksi
Presiden No. 14 Tahun 1967, yang berkaitan dengan penetapan
kebijakan pokok tentang agama, kepercayaan, adat istiadat suku
19
bangsa Tionghoa. Dalam konsideran dari instruksi Presiden
tersebut disebut :
“... bahwa agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina
(Tionghoa) di Indonesia yang berpusat pada negeri
leluhurnya, yang dalam manifestasinya dapat
menimbulkan pengaruh psychologis, mental, dan moral
yang kurang wajar terhadap warga negara Indonesia
sehingga merupakan hambatan terhadap proses asimilasi,.
Perlu diatur serta ditempatkan fungsinya pada proporsi
yang wajar....”
Bertolak dari kutipan tersebut, secara eksplisit
menunjukkan ada kekawatiran pemerintah dalam rangka
melindungi kelompok mayoritas terhadap meluasnya kebudayaan
Tionghoa. Keperpihakan, untuk melindungi kelompok mayoritas
ini diambil agar kemapanan (establisment) kekuasaan yang
dimiliki dapat dilanggengkan, karena didukung mayoritas. Elite
membutuhkan dukungan mayoritas, sehingga cenderung untuk
mengabaikan minoritas. Konsekuensinya, pemerintah terpaksa
melakukan usaha-usaha untuk melarang berkembangnya
kebudayaan Tionghoa, sebagai salah satu cara untuk mendapatkan
simpati mayoritas.
Bentuk tekanan kebudayaan tersebut dapat mencakup
pembatasan perkembangan agama dan kepercayaan, tekanan adat-
istiadat, tekanan bahasa, serta kesempatan untuk memperoleh
pendidikan.(Saparaus, Kasmun, 2003:48)
b. Pembatasan dan Tekanan Kehidupan Agama-Kepercayaan
20
Secara umum, minoritas Tionghoa di Indonesia menganut
agama atau kepercayaan yang berbeda-beda. Sebagian ada yang
memeluk agama dan atau kepercayaan Khonghucu, Budha,
Hindu, Islam, kristen dan Katolik. Dari keenam agama dan
kepercayaan tersebut, ajaran Kong Hu Chu merupakan ajaran
tertua dan kuat melekat dalam kehidupan minoritas Tionghoa di
Indonesia, terutama menyangkut soal-soal kekeluargaan misalnya
berbakti kepada leluhur dan orang tua. Beberapa tata cara dan
kebiasaan seperti pemberian korban, penghormatan dan
sembahyangan masih bertahan dan dirayakan di kalangan
minoritas Tionghoa.
Ketika itu pemerintah menerapkan kebijakan pluralisme
agama yang menimbulkan kecenderungan bagi minoritas
Tionghoa untuk mempertahankan identitas mereka dibalik
identitas agama (Suryadinata, 1999: 182). Namun demikian pada
awal Orde Baru, secara kualitas dan kuantitas dari waktu ke
waktu perkembangannya penganut Khonghucu cenderung
mengalami kemunduran. Salah satu faktor yang ditengarai
sebagai penyebabnya adalah munculnya peraturan pada
pemerintah Orde Baru, yang membatasi perkembangan ritus-ritus
keagamaan yang bersumber dari negeri leluhur.
Salah satu bentuk peraturan pemerintah yang membatasi
kegiatan keagamaan minoritas Tionghoa yaitu, Instruksi Presiden,
No. 14 Tahun 1967 yang menyatakan:
“... Pertama: Tanpa mengurangi jaminan keleluasaan
memeluk agama dan menunaikan ibadatnya, tata-cara
ibadat Cina yang memiliki aspek affinitas kultural yang
berpusat pada negeri leluhurnya, pelaksanaannya harus
dilakukan secara intern dalam hubungan keluarga atau
perorangan. Kedua: Perayaan-perayaan pesta agama dan
21
adat istiadat Cina dilakukan secara tidak mencolok di
depan umum, melainkan dilakukan dalam lingkungan
keluarga. Ketiga, penentuan kategori agama dan
kepercayaan, dan adat-istiadat Cina diatur oleh Menteri
Agama setelah mendengar pertimbangan Jaksa Agung
(PAKEM)....”
Bertolak dari isi Instruksi Presiden tersebut, secara formal
ada larangan untuk mengembangkan agama atau kepercayaan
yang secara natural telah dimiliki sebagai warisan leluhurnya.
Misalnya, penempatan agama Khonghucu, diluar agama resmi
yang ada di Indonesia, dan hanya sekedar sebuah kepercayaan.
Hal ini berarti Pemerintah mengadakan usaha-usaha untuk
menghambat berkembangnya agama dan atau kepercayaan,
minoritas Tionghoa berasal dari tanah leluhur mereka. Pemerintah
secara terencana dan sistematis juga ingin membatasi bahkan
meniadakan segala macam bentuk agama, kepercayaan dan adat
istiadat yang berasal dari Cina. Larangan itu dilakukan semata-
mata karena alasan dapat menimbulkan pengaruh yang tidak
wajar atau negatif sehingga dikhawatirkan dapat menghambat
proses asimilasi secara wajar. Di samping itu, munculnya
Instruksi Presiden 1967, menunjukkan bahwa ada kekhawatiran
dari pihak elite birokrasi, agar agama leluhur minoritas Tionghoa
ini tidak secara vulgar diajarkan di Indonesia, dengan alasan dapat
mengundang kerawanan sosial dan konflik. Hal ini,
mengindikasikan bahwa elite pemerintahan berpihak pada pihak
mayoritas, katimbang berpihak pada perkembangan kebudayaan
dan agama minoritas Tionghoa.
Di samping itu pemerintah menyarankan agar praktek-
praktek keagamaan hanya dilakukan di lingkungan keluarga.
22
Akibat praktis dari instruksi itu, pertunjukan-pertunjukan
barongsay, arakan-arakan toapekong, perayaan Imlek hanya
dirayakan dalam lingkungan intern atau keluarga (Greif,
1991:xix) dan tempat ibadah. Dianggap tidak terlalu istimewa
adanya perayaan tersebut bagi bangsa Indonesia, dalam
penanggalan nasional sering tidak diklasifikasikan sebagai hari
besar.
Kebijakan Pemerintah atas keberadaan kehidupan agama
minoritas Tionghoa dapat diartikan bahwa pada satu sisi dapat
mengurangi kesenjangan sosial budaya antara minoritas Tionghoa
dengan mayoritas, dan pada pihak lain terdapat usaha-usaha untuk
menekan dan membatasi kekeluasaan atau kebebasan beragama
yang bersumber dari tanah leluhur bagi minoritas Tionghoa.
Bahkan, kebijakkan untuk membatasi kebebasan beragama secara
formal terus dilakukan. Melalui UU No.5/1969, pemerintah
menyatakan dua agama minoritas, agama Budha dan Konghucu,
sebagai agama yang diakui secara resmi. Hal ini berarti bahwa
pemerintah tidak sekedar mengakui kedua agama itu sebagai
agama yang secara resmi diakui oleh pemerintah Indonesia, tetapi
didalamnya juga mempunyai makna untuk memberikan
kebebasan melaksanakan ritual-ritual yang menjadi kewajiban
agamanya.
Pengakuan agama-agama minoritas tidak sejalan dengan
kebijaksanaan umum pemerintah Orde Baru (Soeharto) terhadap
Tionghoa warga negara Indonesia, yaitu kebijakan asimilasi
(Suryadinata, 1984:203). Dengan adanya pengakuan itu berarti
pemerintah ingin untuk melebur minoritas Tionghoa ke dalam
masyarakat mayoritas, dengan harapan konflik etnis tidak akan
pernah terjadi. Hal ini justru menjadi ancaman bagi
23
perkembangan agama Khonghucu atau Budha, yang dianut
minoritas Tionghoa.
Pendekatan yang asimilatif tersebut, justru melahirkan
tekanan-tekanan secara langsung maupun tidak langsung terhadap
praktek keagamaan. Tampaknya pemerintah masih setengah hati
menerima keberadaan agama Tionghua. Oleh karena itu, ketika
Matakin atau Majelis Tertinggi Agama Khonghucu Indonesia
meminta Departemen Agama mengakui Khonghucuisme sebagai
agama, tetapi sidang kabinet pada tanggal, 27 Januari 1979 secara
tegas menyatakan bahwa Khonghucuisme bukanlah agama
(Suryadinata, 1978: 33; 1999: 182).
Disadari atau tidak, agama Khonghucu telah menjadi
identitas Tionghoa di Indonesia dan sulit untuk dimusnahkan.
Oleh karena itu dapat diasumsikan bahwa tekanan dan
pembatasan yang dilakukan bukan semakin melemahkan
identitas, tetapi sebaliknya dapat semakin mempererat jalinan
etnis, untuk secara kompak mempertahankan identitas tersebut,
sekalipun secara sembunyi-sembunyi. Suryadinata, (1999: 184)
menyimpulkan bahwa “identitas etnis sering digunakan untuk
meningkatkan solidaritas etnis dan kepentingan ekonomi sebuah
kelompok etnis”. Akibat, penekanan dan pembatasan tersebut
melahirkan perasaan senasib, sehingga terjadi kebiasaan untuk
tolong-menolong inter-anggota minoritas Tionghoa, terutama
dalam bidang kewirausahaan.
c. Pembatasan dan Tekanan Adat Istiadat
24
Ternyata bukan agama saja yang dinilai “membahayakan”,
establisment penguasa dan kelompok mayoritas. Adat istiadat
minoritas Tionghoa yang berkembang secara turun menurun juga
dianggap dapat mengganggu integritas dan dianggap sebagai
sumber konflik. Oleh sebab itu muncul pembatasan terhadap
perkembangan adat-istiadat Tionghoa.
Regulasi yang secara tegas membatasi perkembangan adat
istiadat minoritas Tionghoa, tertuang dalam Instruksi Presiden,
No. 14 Tahun 1967, yang menyatakan bahwa :
“tata cara ibadat Cina yang memiliki aspek affinita kultural
yang berpusat pada negeri leluhurnya, pelaksanaannya harus
dilakukan secara intern dalam hubungan keluarga atau
perorangan. Di samping itu, adat istiadat Cina harus
dilakukan secara tidak mencolok di depan umum, melainkan
dilakukan dalam lingkungan keluarga”.
Secara formal Peraturan Presiden yang dikeluarkan pada
bulan Desember 1967, untuk melakukan pembatasan hidup dan
berkembangnya adat istiadat Tionghoa dirasakan oleh minoritas
sebagai suatu perlakuan yang kurang menghargai keberadaan
suku bangsa lain. Misalnya perayaan Tahun Baru Imlek, adat
perkawinan, adat pemakanan jenazah dan lain sebagainya, hanya
boleh dilakukan di lingkungan keluarga saja.
Berpijak pada kebijakan di atas, tampak bahwa Pemerintah
menggunakan model asimilasi yang mengharuskan minoritas
Tionghoa meninggalkan identitas Cina mereka dan mengubahnya
menjadi pribumi Indonesia. Stereotipe yang muncul adalah
kecinaan dianggap membahayakan pembentukan kebudayaan
nasional. Sebaliknya, minoritas Tionghoa yang tidak mematuhi
adat istiadat Tionghoa, dianggap lebih “asimilatif-nasionalis”
25
daripada etnis Tionghoa lainnya. Namun demikian bukan berarti
seluruh adat istiadat Tionghoa telah terserap ke dalam
kebudayaan nasional. Sampai saat ini sebagian besar minoritas
Tionghoa masih tetap kental karakteristik ke-Tionghoa-annya.
Kebijakan Pemerintah, untuk melakukan pembatasan,
ternyata tidak dapat mematikan adat istiadat Tionghoa, tetapi
sebaliknya semakin mengukuhkan identitas Tionghoa. Identitas
ini dapat menjadi perekat yang kuat, sehingga secara emosional
diantara mereka mennjadi komunitas yang kohesif. Kohesifitas
tersebut dapat menunjang aktivitas jaringan kerjasama di bidang
kewirausahaan. (Saparaus, Kasmun, 2003:56)
d. Pembatasan dan Tekanan Perkembangan Bahasa Tionghoa
Kebijakan paling menonjol yang dipraktekkan selama
rezim Order Baru terhadap suku bangsa Tiongha bersifat
asimilatif. Akibatnya, terjadi kecenderungan untuk melakukan
segala pembatasan yang dianggap kurang mendukung
terwujudnya proses asimilasi. Konsep yang dijadikan payung
asimilasi adalah terciptanya persatuan dan kesatuan masyarakat
dalam sebuah negara dan bangsa yang bersifat multietnik. Oleh
karena itu, kebijakan asimilatif bertujuan untuk menyerap suku
bangsa Tionghoa ke dalam kelompok mayoritas atau pribumi
(Suryadinata, 1999: 84).
Usaha penyerapan atau peleburan berbagai aspek kehidupan,
termasuk unsur bahasa Tionghoa merupakan salah satu bentuk
asimilasi yang harus diperjuangkan.
Lenyapnya bahasa Tionghoa merupakan indikator terkikisnya
identitas Tionghoa, yang sekaligus sebagai salah satu simbol
keberhasilan kebijakan asimilasi total di bidang kebudayaan. Oleh
karena itu, pengakuan terhadap perkembangan bahasa Tionghoa,
26
dianggap tidak sesuai dengan semangat nasionalisme Indonesia,
serta merupakan bentuk pengingkaran terhadap prinsip: “Satu
Nusa, Satu bangsa dan Satu Bahasa”. Dengan kata lain,
menghidupkan keberadaan bahasa Tionghoa dianggap
bertentangan dengan prinsip persatuan dan kesatuan bangsa.
Tentu saja stereotipe, semacam ini menunjukkan penilaian yang
berlebihan dan dipolitisir. Sebab, pada kenyataannya, tidak ada
larangan yang ditujukan kepada bahasa daerah dari etnis tertentu.
Sebaliknya bahasa daerah dianggap salah satu asset kebudayaan
nasional, sehingga perlu dikembangkan.
Masing-masing suku bangsa memiliki bahasa daerah.
Pembatasan terhadap penggunaan bahasa secara bebas atas suku
bangsa tertentu menunjukkan adanya perlakuan kurang
demokratis dan tidak adil. Ironisnya, elite penguasa justru
membuat kebijakan untuk membatasi penggunaan bahasa
Tionghoa. Sejak tahun 1960, pemerintah melarang penggunaan
bahasa Cina7 Esensi kebijakan pemerintah tersebut untuk melebur
bahasa Tionghoa dan menghidupkan bahasa Indonesia di
kalangan mereka. Penggunaan bahasa Tionghoa selain dianggap
menentang kebijakan pemerintah juga dimaknai sebagai dosa
besar. Mengutip pernyataan Siswono Yudohusado, yang
dieleminir sebagai salah satu dosa besar adalah:
“... Diantara mereka masih ada yang menggunakan bahasa ibu
(Cina) dalam percakapan sehari-hari. Demikian pula, masih ada
diantara mereka yang memegang erat adat-istiadat dan tradisi
nenek moyang mereka. Dalam konteks itu, sangat disayangkan
bahwa sebagian dari mereka kurang atau tidak mengenal adat-
istiadat Indonesia. Yang lebih memprihatinkan adalah bahwa di
7 Pemerintah menginstruksikan kepada orang Tionghoa untuk menggunakan Bahasa Indonesia terhadap nama-nama toko, melarang semua surat kabar berbahasa Cina dan melarang untuk mengimpor semua bentuk penerbitan dalam bahasa Cina. (Taher, 1997:133)
27
antara mereka ada yang tidak mau berusaha untuk meningkatkan
kemampuan mereka dalam berbicara dengan menggunakan
bahasa Indonesia dengan baik...” (Taher, 1997:133)
Penilaian semacam itu dapat dimaklumi mengingat
pemerintah telah melakukan pelarangan terhadap penggunaan
bahasa Tionghoa digunakan secara terbuka. Di bidang jurnalistik
misalnya, pemerintah melakukan pembatasan penerbitan dengan
menggunakan bahasa asing, terutama bahasa Tionghoa.8
Lahirnya, kebijaksanaan semacam ini menunjukkan bahwa
penggunaan bahasa Tionghoa secara terbuka dibatasi dan ditekan.
Di samping itu, tampak bahwa ada tuntutan atau keharusan bagi
minoritas Tionghoa untuk menanggalkan adat-istiadat dan bahasa
yang berasal dari negeri Cina. Hal ini mengindikasikan adanya
bentuk-bentuk larangan untuk mengembangkan kebudayaan dari
kelompok masyarakat Tionghoa. Bahkan dalam perkembangnya
minoritas harus banyak mengadakan akulturasi dan asimilasi
dengan kebudayaan setempat.
Adanya pembatasan dan tekanan tersebut minoritas
Tionghoa mencari bentuk kebudayaan yang dirasakan cocok dan
aman. Artinya, mereka lebih banyak bersikap “mengalah” dan
menyembunyikan kebudayaan dan bahasa yang telah mereka
miliki. Bahasa Tionghoa, hanya ditujukan diantara mereka saja.
Pemanfaatan bahasa yang terbatas di lingkungan minoritas
Tionghoa tersebut, justru dapat mempererat solidaritas mereka
yang mempunyai dampak sangat luas dalam bidang-bidang
kehidupan lain, termasuk di bidang kewirausahaan.
e. Pembatasan dan Penekanan Dibidang Pendidikan
8 Penerbitan pers dalam bahasa asing bukan huruf latin (misalnya TIonghoa) hanya dimungkinkan atu penerbitan oleh Pemerintah (Ketetapan MPRS No. XXXII/1966, Pasal 4)
28
Sejak jaman kolonial Belanda minoritas Tionghoa di
Indonesia, telah mempunyai kesadaran yang tinggi mengenai
pendidikan bagi generasi muda. Tercatat sejak tahun 1901, telah
didirikan sekolah Tionghoa yang dikelola oleh Tiong Hoa Hwee
Koan (THHK), di Jakarta. Tidak lama kemudian penguasa
Belanda mendirikan HCS atau Sekolah Tionghoa dengan bahasa
pengantar Belanda. Sekolah-sekolah Tionghoa diberikan
kebebasan secara luas9. Dalam perkembangannya seolah-sekolah
untuk peranakan Tionghoa berkembang pesat. Tercatat hingga
tahun 1934 telah terdapat 450 sekolah berbahasa Cina di Hindia
Belanda dan 117 sekolah rakyat berbahasa Belanda untuk orang
Tionghoa (Suryadinata, 1984:158).
Sekolah-sekolah bagi minoritas Tionghoa itu terus
berkembang hingga Indonesia merdeka. Perkembangan itu
terhenti ketika hubungan Republik Rakyat Cina dengan Indonesia
mengalami ketegangan. Mulai tahun 1957, pemerintah Indonesia
mulai mengadakan pengawasan secara ketat. Kondisi politik
Indonsia pada waktu sedang memanas, dengan adanya
pemberontakan anti integrasi di Sumatera dan Sulawesi. Dalam
kondisi semacam ini pemerintah membuat pernyataan, bahwa
sekolah-sekolah Tionghoa harus diawasi secara ketat demi
keamanan dan kepentingan nasional (Suryadinata, 1984:159).
Guru-guru yang menggunakan bahasa pengantar Tionghoa
diwajibkan meminta ijin kepada pemerintah, mereka harus
menempuh tes, termasuk tes kelancaran Indonesia, serta melarang
Warga Negara Indonesia untuk masuk ke sekolah Tionghoa. Di
samping itu mengharuskan sekolah-sekolah Tionghoa untuk
mengajarkan bahasa Indonesia. Semua buku pegangan harus
mendapat persetujuan pemerintah. Kurikulum sekolah diadakan
9 Sekolah-sekolah itu benar-benar diberi kebebasan menentukan kurikulum dan buku pegangannya, dan bahkan boleh mengundang guru dari Cina (Suryadinata, 1984:154).
29
perubahan dengan lebih banyak memasukkan mata pelajaran
mengenai Indonesia, yaitu; Bahasa Indonesia, Sejarah, dan Ilmu
Bumi Indonesia menjadi mata pelajaran wajib.
Di samping itu pemerintah juga mengeluarkan larangan
supaya tidak lagi didirikan sekolah-sekolah baru bagi minoritas
Tionghoa. Bahkan semua sekolah berbahasa Tionghoa ditutup.
Merujuk pada Keputusan Menteri Pendidikan mengenai kebijakan
pembatasan dan penutupan bagi sekolah berbahasa Tionghoa,
pada tanggal 6 Juli 1966, menetapkan bahwa:
“... mereka yang menjadi murid di bekas sekolah-sekolah
asing tidak akan ditampung di sekolah-sekolah nasional
swasta. Mereka berhak untuk diterima di sekolah-sekolah
negara jika mereka bisa memenuhi syarat-syarat masuk yang
berupa seperti murid-murid lain dan mereka akan dibagi-
bagi agar mereka tidak merupakan pengelompokan di salah
satu sekolah ...” (Coppel, 1994:136).
Dalam praktek ternyata tidak secara serta merta suku
Tionghoa untuk memasuki sekolah-sekolah negeri. Kebijakan
pemerintah ini berubah setelah orde baru. Pada tahun 1968,
pemerintah Indonesia mengeluarkan peraturan yang terkenal
dengan Peraturan Presiden No. B12/Pres./1/1968 yang
memberikan ijin untuk mendirikan sekolah yang disponsori oleh
golongan swasta dalam masyarakat Tionghoa. Sekolah itu, yang
dinamakan Sekolah Nasional Proyek Chusus atau SNPC yang
didirikan pada tahun 1969. Sekolah-sekolah itu dinyatakan
terbuka untuk asing dan warga negara Indonesia, tetapi siswa
asing tidak boleh melebihi 40% dari jumlah seluruh siswa yang
terdaftar. (Suryadinata, 1984:163). Jadi proporsi jumlah siswa
diprioritas kepada Warga Negara Indonesia. Kendati menurut
peraturan jumlah warga Negara Indonesia harus melebihi jumlah
30
minoritas Tionghoa, tetapi pada kenyataannya sebagian besar
siswanya adalah minoritas Tionghoa.
Hingga tahun 1971 terdapat delapan sekolah SNPC, akan
tetapi makin lama jumlah makin besar karena hanya di sekolah-
sekolah itulah Tionghoa dapat masuk dengan mudah.
(Suryadinata, 1984:120). Perkembangan cepat dari sekolah-
sekolah ini mengkawatirkan pemerintah, sehingga perlu
diwaspadai. Kecurigaan pemerintah terhadap keberadaan SNPC
semakin tinggi. Faktor penting yang melatar-belakangi sikap
pemerintah adalah adanya anggapan bahwa pertumbuhan SNPC
dapat memunculkan sikap eksklusif, yang tidak sesuai dengan
harapan pemerintah, yaitu berbentuk sebuah lembaga pendidikan
yang dapat mempersubur proses asimilasi antara siswa warga
negara Indonesia dengan siswa asing – Tionghoa. Tidak lama
kemudian pada tahun 1974 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
mengumumkan penghapusan SNPC. Sekolah-sekolah itu diubah
menjadi sekolah-sekolah biasa atau menjadi Sekolah Nasional
Swasta.
Dewasa ini, siswa-siswa sekolah Tionghoa banyak yang
masuk pada sekolah swasta. Di samping itu pemerintah juga
memberikan peluang bagi minoritas Tionghoa untuk meneruskan
sekolah pada sekolah-sekolah negeri. Akan tetapi pemerintah
membatasi jumlah kira-kira hanya 10% jumlah dari seluruh siswa
golongan mayoritas. Bahkan jumlah murid Tionghoa maksimum
yang diijinkan belakangan dikatakan lima persen (Coppel, 1994:
136). Di samping itu, mereka harus memiliki surat ijin belajar dari
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan menyertakan surat
kewarganegaraan.
Pengawasan ketat dan penghapusan sekolah-sekoloah
khusus suku Tionghoa dapat dimengerti sebagai tindakan agar
31
tidak terjadi eklusivisme suku Tionghoa. Namun peraturan tidak
tertulis yang terus berkembang hingga sekarang yang membatasi
suku Tionghoa untuk dapat masuk ke sekolah negeri apalagi pada
Universitas Negeri merupakan politik isolasi suku Tionghoa di
bidang pendidikan.
Untuk itu produk peraturan-peraturan pemerintah di bidang
pendidikan menunjukkan bentuk pembatasan pendidikan dalam
penyelenggaraan pendidikan dan kesempatan sekolah bagi
minoritas Tionghoa ini. Secara sistematis, pemerintah berusaha
untuk mengendalikan jumlah masyarakat Tionghoa yang sekolah
di sekolah-sekolah negeri. Perlakuan diskriminatif dan
mendiskreditkan suku bangsa Tionghoa, merupakan manifestasi
untuk mengisolasi suku bangsa Tionghoa.
Usaha pemerintah untuk mengisolasi suku Tionghoa di
bidang pendidikan tidak membuat suku tersebut terjepit, tetapi
sebaliknya. Sikap diskriminatif tersebut dapat disiasati oleh
minoritas Tionghoa, dengan cara masuk di sekolah swasta.
Bahkan pada kenyataannya, sekolah swasta tersebut banyak yang
disponsori oleh pengusaha Tionghoa sehingga berkembang pesat.
Oleh karena itu sekolah-sekolah semacam itu mempunyai kualitas
yang memadai. Di samping itu, banyak siswa Tionghoa yang
masuk pada sekolah-sekolah dan atau universitas di luar negeri.
f. Pembatasan dan Tekanan Berupa Gerakan Rasisme
Ras adalah suatu kelompok manusia yang agak berbeda
dengan kelompok-kelompok lainnya dalam segi ciri-ciri fisik-
bawaan; di samping itu banyak juga ditentukan oleh pengertian
yang digunakan oleh masyarakat. Dalam perkembangan
berikutnya ada gejala saling mengagungkan rasnya sehingga
memunculkan anti dengan ras yang lain. Akibatnya, sering
32
muncul tindakan-tindakan bersifat destruktif yang dilakukan oleh
kelompok ras dominan terhadap kelompok ras minoritas.
Perlakuan semacam itu juga dapat ditemukan pada masyarakat
Tionghoa di Indonesia. Gelombang anti ras Tionghoa terjadi
secara laten, dan muncul konflik sepihak. Artinya, hampir tidak
pernah terjadi perlawanan balik yang dilakukan oleh minoritas
Tionghoa.
Segi hubungan antar kelompok suku bangsa, rasisme
tersebut diwujudkan dalam sikap diskriminasi. Jadi rasisme secara
lebih longgar merupakan cara memperlakukan orang berdasarkan
pada klasifikasi kelompok, bukannya berdasarkan ciri-ciri
individu. Hal ini berarti pula bahwa kelompok mayoritas
bertindak secara sewenang-wenang terhadap hak, harga diri
kelompok minoritas. Akibatnya, yang tampak adalah perlakuan-
perlakuan yang diskriminatif dan kurang adil.
Bagi minoritas Tionghoa Indonesia, perlakuan semacam ini
dapat dilihat dari berbagai bidang kehidupan sosial. Diskriminasi
tidak hanya dilakukan oleh individu-individu, tetapi secara
kolektif tidak diberikan kesempatan yang sama sebagai warga
negara Indonesia. Dalam kegiatan sehari-hari, lembaga-lembaga
masyarakat secara sistematis mendiskriminasikan anggota
kelompok-kelompok tertentu, dalam kegiatan bisnis, sekolah atau
pendidikan, rumah sakit, partai politik, instansi pemerintahan.
g. Tekanan Sosial Berupa Genocide
33
Bentuk tekanan sosial psikologis yang lain adalah berupa ancaman terjadinya konflik secara terbuka, yang terjadi sebagai akibat masalah ras atau suku bangsa, yang bersumbu pada pembantaian Tionghoa. Tragedi pembantian Tionghoa pernah terjadi, pada tahun 1740, ketika Jawa dalam kekuasaan Pemerintahan Belanda, yang dikenal dengan peristiwa “Geger Cina”. Catatan sejarah Indonesia menunjukkan bahwa pembantaian orang-orang Tionghoa di Indonesia telah berlangsung lama. Penyebabnya adalah untuk menunjukkan luapan kemarahan kepada penguasa dan orang Tionghoa, dengan menciderai dan membunuhnya secara fisik (Kwik Kian Gie dan Nurcholish Madjid, 1999: 58). Usaha untuk memusnahkan minoritas Tionghoa, sudah pernah muncul pada masa Kolonialisme Belanda. Banyak orang Tionghoa yang dibunuh secara massal.
Konflik semacam ini ditandai dengan adanya pengrusakan atau penghancuran secara fisik dari suatu kelompok tertentu terhadap kelompok lain yang menjadi target. Dalam hal ini terdapat usaha-usaha suatu kelompok mayoritas untuk memusnahkan kelompok minoritas. Dengan cara semacam ini mereka dapat menghilangkan atau memusnahkan yang lain, terutama suku Tionghoa. Ancaman, pembantaian Tionghoa tersebut, pada satu sisi proses asmilasi menjadi sulit dan pada sisi lain sebagian besar minoritas Tionghoa semakin lekat karakteristik ke Tionghoa-annya. Berbagai kejadian yang menjepit keberadaannya telah melahirkan penilaian negatif terhadap kelompok mayoritas. Orang Tionghoa telah mengalami krisis kepercayaan terhadap kebijakan asimilisi. Kendati demikian, atas peristiwa-peristiwa tragis yang ditujukan kepadanya telah membangkitan kembali solidaritas kebersamaan diantara mereka.
h. Pembatasan dan Tekanan Berupa Kerusuhan dan Kekerasan
34
Pembatasan dan tekanan sosial psikologis berupa kerusuhan
dan kekerasan ini lebih berkaitan dengan sikap masyarakat
mayoritas dan kebijakan pemerintah yang dapat menyebabkan
gangguan mentalitas minoritas Tionghoa, misalnya ketakutan
secara mendalam atau traumatis, sebagai akibat dari berbagai aksi
massal. Secara psikologis minoritas Tionghoa mendapatkan
tekanan atau pembatasan berupa perusakan, pembakaran,
penjarahan dan pemerkosaan.
Berbagai bentuk kekerasan ini tentu saja berakibat pada
pudarnya keharmonisan interaksi sosial antar etnis. Tragedi, yang
diderita minoritas Tionghoa itu, digambarkan Kwik Kian Gie dan
Nurcholis Madjid (1998:14), sebagai berikut:
“... setelah peristiwa 13 dan 14 Mei 1998 di Jakarta dan
Solo, mulai merembes cerita tentang kekejian dan
kekejaman dalam bentuk pemerkosaan terhadap putri-putri
nonpribumi belasan tahun di depan mata sanak
keluarganya. Ada yang tidak sanggup menahan malu dan
penderitaan batin, sehingga bunuh diri. Ada yang disekap
dalam mobil dan dibakar bersama mobilnya, ... kerusuhan
apa pun yang membuat massa mengamuk dan membuat
kerusakan gedung-gedung di sepanjang jalan yang
dilaluinya, masyarakat nonpri keturunan Tionghoa yang
selalu menjadi korban...”
Teror mental secara brutal semacam ini mempengaruhi
karakteristik dan pola kehidupan minoritas Tionghoa cenderung
defensif dan semakin eksklusif. Hubungan dengan mayoritas
semakin renggang. Bahkan hubungan yang dibangun hanya
semata-mata demi kepentingan bisnis atau hubungan komersial.
Diantara keduanya, menjaga jarak dan sulit untuk mengadakan
pembauran. Keadaan semacam ini semakin parah karena disertai
35
prasangka-prasangka sosial yang bersifat negatif. Akibatnya,
dalam sepanjang hidupnya minoritas Tionghoa berada dalam
suasana kecemasan dan kebimbangan. Kendati demikian,
perlakuan tidak adil tersebut, berhasil menumbuhkan kesadaran
kesetiakawanan di antara mereka termasuk dalam bidang
kewirausahaan. Hal ini dapat dimaknai bahwa perasaan
senasib dapat mempengaruhi dalam bidang kehidupan yang lebih
luas, termasuk dalam kewirausahaan, untuk memajukan tingkat
perekonomian yang lebih baik. (Saparaus,Kasmun, 2003.)
2.3. Media Massa dan Konstruksi Realitas
Proses konstruksi realitas, prinsipnya setiap upaya "menceritakan"
(konseptualisasi) sebuah peristiwa, keadaan, atau benda adalah usaha
mengkonstruksikan realitas. Laporan tentang kegiatan orang yang
berkumpul di sebuah lapangan terbuka guna mendengarkan pidato politik
pada musim pemilu, misalnya, adalah hasil konstruksi realitas mengenai
peristiwa yang lazim disebut kampanye pemilu itu. Begitulah setiap hasil
laporan adalah hasil konstruksi realitas atas kejadian yang dilaporkan.
Pekerjaan media massa adalah menceritakan peristiwa-peristiwa,
maka kesibukan utama media massa adalah mengkonstruksikan berbagai
realitas yang akan disiarkan. media menyusun realitas dari berbagai
peristiwa yang terjadi hingga menjadi cerita atau wacana yang bermakna.
Pembuatan berita di media pada dasarnya adalah penyusunan realitas-
realitas hingga membentuk sebuah cerita atau wacana yang bermakna.
Dengan demikian seluruh isi media tiada lain adalah realitas yang telah
dikonstruksikan (constructed reality) dalam bentuk wacana yang bermakna.
Proses konstruksi realitas, bahasa adalah unsur utama. Ia merupakan
instrumen pokok untuk menceritakan realitas. Bahasa adalah alat
konseptualisasi dan alat narasi. begitu pentingnya bahasa, maka tak ada
berita, cerita ataupun ilmu pengetahuan tanpa bahasa. Selanjutnya
36
penggunaan bahasa (simbol) tertentu menentukan format narasi (dan makna)
tertentu. Sedangkan jika dicermati secara teliti seluruh isi media entah
media cetak ataupun media elektronik menggunakan bahasa, baik bahasa
verbal (kata-kata tertulis atau lisan) maupun bahasa non verbal (gambar,
foto, gerak-gerik, grafik, angka, dan tabel).
Pada media massa, keberadaan bahasa ini tidak lagi sebagai alat
semata untuk menggambarkan sebuah realitas, melainkan bisa menentukan
gambaran (makna citra) mengenai suatu realitas-realitas media yang akan
muncul di benak khalayak. Oleh karena persoalan makna itulah, maka
penggunaan bahasa berpengaruh terhadap konstruksi realitas, terlebih atas
hasilnya (baca, makna atau citra). Sebabnya ialah, karena bahasa
mengandung makna. Padahal, manakala kita bercerita kepada orang lain,
sesungguhnya esensi yang kita ingin sampaikan adalah makna. Padahal,
setiap kata, angka, dan simbol lain dalam bahasa yang kita pakai untuk
menyampaikan pesan pada orang lain tentulah mengandung makna. Begitu
juga, rakitan antara satu kata (angka) dengan kata (angka) lain menghasilkan
satu makna. Penampilan secara keseluruhan sebuah wacana bahkan bisa
menimbulkan makna tertentu.
Penggunaan bahasa tertentu dengan demikian berimplikasi pada
bentuk konstruksi realitas dan makna yang dikandungnya. Pilihan kata dan
cara penyajian suatu realitas ikut menentukan struktur konstruksi realitas
dan makna yang muncul darinya. Dari perspektif ini, bahkan bahasa bukan
hanya mampu mencerminkan realitas, tetapi sekaligus dapat menciptakan
realitas.
Menurut Giles dan Wiemann (1987), bahasa (teks) mampu
menentukan konteks, bukan sebaliknya teks menyesuaikan diri dengan
konteks. Dengan begitu, lewat bahasa yang dipakainya (melalui pilihan kata
dan cara penyajian) seseorang bisa mempengaruhi orang lain (menunjukkan
37
kekuasaannya). Melalui teks yang dibuatnya, ia dapat memanipulasi
konteks.10
Sekali lagi, elemen dasar seluruh isi media massa, entah itu hasil
liputan seperti berita, laporan pandangan mata, atau hasi analisi berupa
artikel opini, adalah bahasa tertulis baik berbentuk kata, angka, gambar,
ataupun grafis. Media radio menggunakan ucapan dan suara. Media TV
menggabungkan bahasa tulisan, ujaran, gambar, dan bunyi-bunyian
(audiovisual). Dengan bahasa para pekerja media mengkonstruksikan setiap
realitas yang diliputnya.
Dengan demikian bahasa adalah nyawa kehidupan media massa.
Hanya melalui bahasa para pekerja media bisa menghadirkan hasil
reportasenya kepada khalayak. Setiap hari, para pekerja media
memanfaatkan bahsa dalam menyajikan berbagai realitas (peristiwa,
keadaan, benda) kepada publik. Dengan bahasa secara massif mereka
menentukan gambaran beragam realitas ke dalam benak masyarakat.
(Hamad, 2004:98-102)
2.4. Bahasa, pertarungan simbolik dan kekuasaan
Bahasa adalah praktik sosial. Pendekatan Bourdieu ini merupakan
pengembangan dari pendekatan yang dilakukan oleh J.L. Austin tentang
tindakan bahasa dalam Teori Tindak Tutur. Austin memberikan penekanan
pada kenyataan bahwa ujaran-ujaran tertentu tidak dipakai untuk tujuan
menceritakan atau memaparkan sesuatu, tetapi juga merupakan tindakan dan
partisipasi pada sebuah ritual. Ujaran-ujaran yang juga merupakan tindakan
ini disebut sebagai ujaran performatif (Austin, 1975)11 . Contoh-ccontoh
ujaran performatif yang diberikan Austin, misalnya ujaran “Saya bersedia”
atau “Saya berjanji” pada sebuah upacara pernikahan, atau ujaran “hari ini 10 Howad Giles dan John M. Wiemann (1987), "Language social comparison and power." Dalam Hamad, Ibnu( 2004) 11 Austin (1975) dalam Suma Riella Rusdiarti (2003) “bahasa, Pertarungan Simbolik dan Kekuasaan” Edisi khusus Pierre Bourdieu
38
saya luncurkan secara resmi kapal Queen Elizabeth” yang diucapkan sambil
melemparkan satu botol champagne ke badan kapal pada acara peluncuran
kapal baru.
Dalam pandangan Bourdieu, sebenarnya Teori Tindak Tutur yang
ditawarkan Austin mampu menunjukkan bahwa efektifitas sebuah ujaran
performatif tidak bisa dipisahkan dari adanya sebuah institusi yang
menetukan kondisi-kondisi (seperti ruang, waktu, pelaku) yang harus ada
agar sebuah ujaran dapat benar-benar efektif. Istilah institusi yang dipakai
Bourdieu bukan berarti sebuah lembaga atau organisasi tertentu (misalnya
keluarga, perusahaan, negara), tetapi berlaku bagi keseluruhan relasi sosial
yang relatif bertahan, yang memberikan berbagai bentuk kekuasaan, status,
dan sumber daya hidup kepada individu-individu. Institusi inilah yang
memberikan otoritas kepada penutur untuk melakukan tindakan
sebagaimana ujaran yang ia ucapkan dalam ujaran performatif. Ujaran itu
hanya bisa diucapkan oleh individu-individu atau pelaku sosial yang
memiliki otoritas dalam melakukan tindakan-tindakan tersebut.
Seorang pelaku sosial yang memiliki otoritas, ketika ia berbicara di
dalam situasi dan kondisi yang sesuai dengan wewenangnya, maka ia
memanifetasikan otoritasnya. Melalui ujarannya ia menggunakan satu
bentuk kekuasaan atau otoritas yang merupakan bagian dari sebuah institusi
sosial, dan otoritas itu tidak bisa ditemukan hanya dengan membongkar
kalimat-kalimat secara linguistik. Mencoba memahami secara linguistik saja
kekuatan dari pernyataan-pernyataan linguistik berarti melupakan otoritas
yang terjadi di “luar”. Padahal otoritas-otoritas itulah yang direpresentasikan
oleh bahasa, yang dimanifestasikan dan yang disimbolkan oleh bahasa.
Otoritas-otoritas itu melekat di dalam diri penutur bahasa. Otoritas inilah
yang menurut Bourdieu merupakan kapital simbolik dan kekuasaan
simbolik yang dimiliki oleh pelaku sosial. Dengan demikian bahasa erat
kaitannya dengan kekuasaan simbolik.
39
2.4.1 Bahasa sebagai Praktik Sosial
Bahasa adalah salah satu atribut manusia yang paling penting.
Bourdieu melihat bahwa bahasa tidak hanya merupakan alat
komunikasi dan kapital budaya, tetapi juga merupakan praktik sosial.
Bahasa didapatkan oleh individu pelaku sosial dari masyarakat dan
lingkungan tempat dia tinggal dan hidup. Bahasa menjadi instrumen
penting yang harus dimiliki oleh pelaku sosial untuk dapat
bersosialisasi dengan pelahu sosial lainnya. Melalui sosialisasi inilah
makna kata-kata terbentuk dan terserap kedalam kesaadaran individu.
Kemampuan atau kapasitas bahasa pelaku sosial ditentukan oleh
habitus linguistiknya. Habitus linguistik menggambarkan
kecenderungan praktik-praktik linguistik yang tertanam di dalam diri
pelaku, baik yang berhubungan dengan kecenderungan perilaku fisik,
maupun persepsi dan logika bahasanya. Melalui habitus linguistik
inilah pelaku sosial mendapatkan dan terus memperkaya kapita
budaya linguistiknya. Oleh karena itu, Bourdieu mengatakan pula
istilah kapital informasional untuk bahasa sebagai kapital budaya
linguistik.
Ekspresi linguistik selalu diproduksi di dalam sebuah konteks dan
“pasar linguistik”. Pasar linguistik adalah sebuah arena tempat
wacana-wacana termanifestasi dan terwujud. Agar transaksi wacana
berhasil, maka perlu dipahami aturan main di setiap pasar, karena
masing-masing pasar memiliki arena pertarungan yang berbeda,
dengan aturan yang berbeda. Disinalah dapat diidentifikasi mengenai
arena permainan. Setiap bahasa merupakan sebuah permainan,
dalamnya memiliki aturan-aturan permainan sendiri. Aturan dari
permainan satu tidak bisa dipakai untuk aturan bagi permainan yang
lain. Dengan demikian, didalam bahasa tidak ada peraturan yang
universal yang mencakup semua bahasa. Setiap bahasa harus
40
dipahami dengan gramatikanya masing-masing, dipahami persamaan-
persamaannya.
Pasar linguistik habitus linguistik
Praktik bahasa
Gambar 2.3 bahasa sebagai praktik sosial
Dalam arena pasar linguistik yang menjadi komoditas utama
dalam sirkulasi “perdagangan” bukan lagi bahasa , tetapi diskursus
atau wacana sebagai praktik sosial, sesuai dengan bagan di atas,
praktik bahasa tidak bisa berdiri sendiri. Setiap kata yang dipilih oleh
pelaku sosial ditentukan oleh kepasitas linguistik yang dimilikinya,
yang ditentukan oleh habitus linguistiknya. Lebih dari itu habitus
linguistik menentukan pula logika berpikir. Pelaku sosial yang sejak
kecil tumbuh di dalam lingkungannya yang akrab dengan buku,
majalah dan sumber-sumber bacaan berkualitas akan memiliki kosa
kata yang kaya, cara berpikir yang lebih teratur .
2.4.2 Pertarungan simbolik dan kekuasaan simbolik
Hubungan komunikasi antara pengirim dan penerima pesan
menurut Bourdieu dibangun berdasarkan penyusunan kode atau
simbol bahasa oleh pengirim dan pembongkaran kode dan simbol
bahasa oleh penerima. Informasi yang dikirim oleh penutur melalui
proses pembongkaran dan pemahaman simbol.
Hubungan komunikasi sebagai pertukaran bahasa atau hubungan
simbolik yang seperti ini, oleh Sausure direduksi menjadi sekadar
hubungan komunikasi murni. Informasi di dalam pesan lebih penting
daripada peristiwa komunikasi itu sendiri, sedangkan pertukaran
bahasa dalam hubungan komunikasi. Menurut Bourdieu, tidak hanya
41
sampai disitu. Pasar linguistik juga menentukan berhasil tidaknya satu
wacana dari pengiriman dipahami oleh penerima.
Selanjutnya, Bourdieu menyatakan bahwa wacana yang
dikirimkan, bukanlah sekadar wacana yang diharapkan dapat
dipahami oleh penerima. Sebuah wacana juga merupakan kumpulan
tanda atau simbol yang bertujuan untuk dinilai dan diapresiasi, atau
bertujuan untuk dipercaya dan dipatuhi. Dipercaya dan dipatuhi
menunjukkan otoritas yang ingin dicapai oleh pelaku sosial. Otoritas
ini adalah bentuk kekuasaan yang tertinggi, yaitu kekuasaan simbolik.
Bahasa sebagai kapital kultural (linguistik) dengan demikian erat
kaitannya dengan pertarungan dan kekuasaan simbolik. (Rusdiarti,
Suma Riella dalam majalah BASIS 2003:32-38)