bab ii kajian tentang pkl, partisipasi dan kebijakan publik · 2017. 12. 4. · 31 bab ii kajian...
TRANSCRIPT
31
Bab II
Kajian tentang PKL, Partisipasi dan
Kebijakan Publik
Pada bagian ini dipaparkan bagaimana konsep-konsep teoretik
mengenai PKL sebagai salah satu penggerak ekonomi di sektor
informal. Selain itu dipaparkan pula kajian tentang partisipasi serta
kebijakan publik yang dijadikan sandaran untuk meneropong
eksistensi PKL Kota Salatiga dengan berbagai dinamikanya. Selain itu
konsep-konsep dimaksud digunakan untuk menyelami aktivitas yang
telah dilakoni dalam kurun waktu kurang lebih lima belas tahun
semenjak tahun 2002 sampai saat ini, sehingga dapat dikemukakan
secara paripurna upaya serta langkah-langkah strategi
memperjuangkan hak-hak masyarakat (PKL) melalui sebuah regulasi.
PKL dalam Sektor Informal
Istilah informal pertama kali dimunculkan oleh Hart (Manning
dan Effendi, 1985:75), seorang antropolog asal Inggris, dalam
tulisannya yang diterbitkan tahun 1973, setelah melakukan penelitian
kegiatan penduduk di kota Accra dan Nima, Ghana. Istilah tersebut
digunakan untuk menjelaskan sejumlah aktivitas tenaga kerja yang
berada di luar pasar tenaga kerja formal yang terorganisir. Kelompok
informal menggunakan teknologi produksi yang sederhana dan padat
karya, tingkat pendidikan dan keterampilan terbatas serta dilakukan
oleh anggota keluarga. Dari penelitiannya Keit Hart menemukan
sejumlah PKL yang memiliki latar belakang pendidikan rendah dengan
modal terbatas, dari sini dapat kita pahami bahwa pada sektor informal
terdapat peluang yang dengan mudah dapat dijangkau oleh berbagai
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
32
lapisan masyarakat di wilayah perkotaan untuk mengembangkan
usahanya.
Penggunaan istilah informal baru berkembang pada era
sekarang tetapi dalam prakteknya telah berlangsung ratusan tahun
silam. Menurut Loekman Soetrisno (Agung Ridlo, 2001: 23), ia
mengemukakan bahwa sektor tersebut bukanlah suatu fenomena yang
baru, sektor informal muncul di tengah kita sejak manusia berada di
dunia ini. Sejak manusia ada di dunia mereka telah menunjang
kehidupannya dengan menciptakan kerja sendiri atau sektor informal
(self employed).
Menurut Hidayat dan Sumitro (Agung Ridlo, 2001:13) sektor
informal (self employed) diartikan sebagai unit-unit usaha berskala
kecil yang menghasilkan serta mendistribusikan barang dan jasa
dengan tujuan pokok menciptakan kesempatan kerja dan pendapatan
bagi dirinya sendiri. Dengan demikian maka dapat dipahami bahwa
sektor informal merupakan sebuah aktivitas yang dilakukan secara
mandiri oleh oknum tertentu dalam upaya membangun ekonomi
melalui unit-unit usaha berskala kecil.
Berdasarkan penjelasan di atas maka aktivitas sektor informal
yang dikategorikan sebagai unit usaha kecil bisa bersifat mendukung
aktivitas formal juga, dan apabila diberdayakan serta dikembangkan
dengan baik akan bersinergi dengan sektor formal perkotaan untuk
saling melengkapi kebutuhan warga kota. Sektor informal yang
dominan di daerah perkotaan adalah pedagang pinggir jalan dan
merupakan kegiatan ekonomi skala kecil yang menghasilkan atau
mendistribusikan barang dan jasa yang selanjutnya dapat disebut
sebagai Pedagang Kaki Lima (PKL).
Untuk menjelaskan lebih mendalam tentang PKL, Mc. Gee dan
Yeung (1977:25), memberikan pengertian PKL sama dengan
”hawkers”, yang didefinisikan sebagai sekelompok orang yang
menawarkan barang dan jasa untuk dijual pada ruang publik, terutama
di pinggir jalan dan trotoar. Dalam perkembangan selanjutnya
pengertian PKL ini menjadi semakin luas, dapat dilihat dari ruang
Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik
33
aktivitas usahanya. Pada umumnya mereka menggunakan ruang publik
yang ada seperti jalur-jalur pejalan kaki, areal parkir, ruang-ruang
terbuka, taman-taman, terminal, dan bahkan di perempatan jalan serta
berkeliling dari rumah ke rumah melalui jalan-jalan kampung di
perkotaan.
PKL di Indonesia saat ini dapat dikatakan mendominasi
kegiatan ekonomi masyarakat terutama di perkotaan. Perkembangan
suatu kota selalu diikuti perkembangan jumlah PKL yang memenuhi
ruang publik kota. Sebagai salah satu kegiatan ekonomi di sektor
informal yang cukup fenomenal, kehadirannya paling banyak disentuh
oleh kebijakan pemerintah kota, PKL memiliki ciri-ciri atau
karakteristik yang tidak jauh berbeda dengan karakteristik sektor
informal secara umum.
Untuk memahami ciri dan karakteristik PKL, Kamala
Chandrakirana dan Isono Sadoko (1994:37), melakukan penelitian dan
hasil penelitiannya, mereka menyimpulkan secara umum ciri- ciri PKL
antara lain:
1) Sebagai pedagang eceran yang menjual langsung ke konsumen;
2) Mendapatkan pasokan barang dagangan dari berbagai sumber
seperti produsen, pemasok, toko pengecer maupun PKL
sendiri;
3) Pada umumnya berperan sebagai pengusaha yang mandiri
4) Berjualan dengan berbagai sarana: kios, tenda dan secara gelar
di pinggir-pinggir jalan, atau di depan toko yang dianggap
strategis;
5) Semakin besar modal usaha pedagang, semakin permanen
sarana usahanya;
6) Pada umumnya mempekerjakan anggota keluarganya sendiri
untuk membantu;
7) Kebanyakan pedagang menjalankan usahanya tanpa izin;
8) Rendahnya biaya operasional usaha PKL;
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
34
9) Cara pembayaran bahan mentah/barang dagangan secara
kontan;
10) Bebas menentukan waktu usahanya atau tidak mengenal
pembatasan waktu usaha.
Dimaksud dengan PKL adalah seseorang atau kelompok yang
memberdayakan satuan perwilayahan (zoning) yang ditetapkan oleh
pemerintah sebagai kegiatan ekonomi (usaha) dengan sarana dan
prasarana yang tidak permanen/dapat dipindahkan untuk dapat
meningkatkan kesejahteraannya.
PKL memiliki sifat-sifat sebagai berikut :
Tempat usaha bersifat tidak permanen
Status kelembagaan usaha, tidak berbadan hukum.
Penempatan usaha pada suatu wilayah tertentu untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat berdasarkan
Keputusan Pemerintah sebagai regulator wilayah publik.
PKL mempunyai karateristik sebagai berikut :
Penempatannya sesuai peruntukan perwilayahan sebagaimana
ditetapkan dalam perencanaan pembangunan wilayah.
Hak penguasaan satuan wilayah yang dapat diusahakan PKL
sesuai dengan keputusan pemerintah dan atau atas kesepakatan
organisasi profesi/paguyuban PKL.
Jenis usaha yang tidak bertentangan dengan kepentingan
publik.
Pengelompokkan PKL berdasarkan kesamaan jenis usaha,
optimalisasi fungsi ekonomi.
Sarana dan prasarana PKL relatif dapat dipindahkan.
Pada umumnya usaha PKL menggunakan ruas trotoar, ruang
parkir, bahu jalan dan fasilitas publik lainnya. Keberadaannya
mengurangi bahkan mengabiskan sarana dan prasarana publik.
Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik
35
Dari pengertian di atas, PKL dapat didefinisikan sebagai
pedagang yang berjualan di lokasi yang strategis dan di tempat
keramaian umum seperti trotoar di depan pertokoan/kawasan
perdagangan, pasar, sekolah, serta pinggir jalan, dan aktivitas yang
dilakukan cenderung berpindah-pindah dengan kemampuan modal
yang terbatas, dimana kegiatan perdagangannya dapat dilakukan secara
berkelompok atau secara individual.
Karakteristik Aktivitas PKL
Pada umumnya untuk mengenal karateristik PKL secara baik
ketika melakukan aktivitas mereka, maka harus dilihat dari jenis
dagangan yang dijajakannya, Mc. Gee dan Yeung (1977: 81),
menyatakan bahwa jenis dagangan PKL sangat dipengaruhi oleh
aktivitas yang ada di sekitar kawasan di mana pedagang tersebut
beraktivitas. Misalnya di suatu kawasan perdagangan, maka jenis
dagangan yang ditawarkan akan beranekaragam, bisa berupa
makanan/minuman, barang kelontong, pakaian, dan lain-lain.
Demikian juga di kawasan pasar tradisional jenis dagangan PKL
didominasi oleh dagangan basah.
Selanjutnya Mc. Gee dan Yeung (1977: 81) mengutarakan jenis
dagangan yang ditawarkan oleh PKL dapat dikelompokkan menjadi 4
(empat) kelompok utama, yaitu: Pertama, makanan yang tidak dan
belum diproses, termasuk di dalamnya makanan mentah, seperti
daging, buah-buahan, dan sayuran. Kedua, makanan yang siap saji,
seperti nasi dan lauk pauknya juga minuman. Ketiga, barang bukan
makanan, mulai dari tekstil hingga obat-obatan. Keempat, jasa yang
terdiri dari beragam aktivitas, misalnya tukang potong rambut, dan lain
sebagainya.
Selain jenis barang dagangan sebagai salah satu kateristik PKL,
dapat dilihat pula karakteristiknya dari bentuk sarana perdagangan
PKL. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mc. Gee dan
Yeung (1977: 82-83), di kota-kota Asia Tenggara diketahui bahwa pada
umumnya bentuk sarana perdagangan PKL sangat sederhana dan
biasanya mudah untuk dipindahkan atau dibawa dari satu tempat ke
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
36
tempat lain dan dipengaruhi oleh jenis dagangan yang dijual. Adapun
bentuk sarana perdagangan yang digunakan oleh PKL menurut
Waworoentoe (Widjajanti, 2000: 39-40) sebagai berikut:
a. Gerobak/kereta dorong, bentuk sarana ini terdiri dari 2 (dua)
macam, yaitu gerobak/kereta dorong tanpa atap dan
gerobak/kereta dorong yang beratap untuk melindungi barang
dagangan dari pengaruh cuaca. Bentuk ini dapat dikategorikan
dalam bentuk aktivitas PKL yang permanen (static) atau semi
permanen (semi static), dan umumnya dijumpai pada PKL yang
berjualan makanan, minuman, dan rokok.
b. Pikulan/keranjang, bentuk sarana perdagangan ini digunakan
oleh PKL keliling (mobile hawkers) atau semi permanen (semi static), yang sering dijumpai pada PKL yang berjualan jenis
barang dan minuman. Bentuk ini dimaksudkan agar barang
dagangan mudah dibawa atau dipindah tempat.
c. Warung semi permanen, terdiri dari beberapa gerobak/kereta
dorong yang diatur sedemikian rupa secara berderet dan
dilengkapi dengan kursi dan meja. Bagian atap dan
sekelilingnya biasanya ditutup dengan pelindung yang terbuat
dari kain plastik, terpal atau lainnya yang tidak tembus air.
Berdasarkan sarana usaha tersebut, PKL ini dapat dikategorikan
pedagang permanen (static) yang umumnya untuk jenis
makanan dan minuman.
d. Kios, bentuk sarana PKL ini menggunakan papan-papan yang
diatur sedemikian rupa sehingga menyerupai sebuah bilik semi
permanen, yang mana pedagang bersangkutan juga tinggal di
tempat tersebut. PKL ini dapat dikategorikan sebagai pedagang
menetap (static).
e. Gelaran/alas, PKL menggunakan alas berupa tikar, kain atau
lainnya untuk menjajakan dagangannya. Berdasarkan sarana
tersebut, pedagang ini dapat dikategorikan dalam aktivitas semi
permanen (semi static). Umumnya dapat dijumpai pada PKL
yang berjualan barang kelontong dan makanan.
Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik
37
Pola Penyebaran PKL
Berjualan di tempat-tempat umum tentunya memerlukan
keuletan dari para pelaku usaha untuk menawarkan dagangan ataupun
menggelarnya di lapak-lapak terbuka. Dengan demikian, jika
penjualnya banyak maka harus tersebar secara menyeluruh di sebuah
lokasi, karena itu penyebaran aktivitas PKL menurut Mc. Gee dan
Yeung (1977: 36- 37), dapat dikelompokkan dalam 2 (dua) pola, yaitu:
pola penyebaran mengelompok (Focus Aglomeration) dan pola
penyebaran memanjang (Street Concentration).
Pola pertama dengan cara penyebaran mengelompok,
pedagang informal pada tipe ini umumnya terdapat pada ujung jalan,
ruang-ruang terbuka, sekeliling pasar, ruang-ruang parkir, taman-
taman dan lain sebagainya (Gambar 2.1). Pola penyebaran seperti ini
biasanya banyak dipengaruhi oleh adanya pertimbangan aglomerasi,
yaitu suatu pemusatan atau pengelompokkan pedagang sejenis atau
pedagang yang mempunyai sifat komoditas yang sama. Pada umumnya
mereka dalam menjajakan barangnya saling menunjang satu dengan
lain, sehingga pada pola ini PKL tidak terlihat melakukan monopoli
jenis barang yang dijualnya karena masing-masing orang memiliki
barang yang sama dan mereka bekerja sama untuk menghabiskan
dagangannya.
Sumber: Mc. Gee dan Yeung, 1973:37
Gambar 2. 1 Pola Penyebaran Mengelompok
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
38
Pola kedua yaitu penyebaran memanjang, pada umumnya pola
penyebaran memanjang atau linier concentration terjadi di sepanjang
atau di pinggir jalan utama (mainstreet) atau pada jalan yang
menghubungkan jalan utama (Gambar 2.2). Dengan kata lain, pola
perdagangan ini ditentukan oleh pola jaringan jalan itu sendiri. Pola
kegiatan linier lebih banyak dipengaruhi oleh pertimbangan
aksesibilitas tinggi pada lokasi bersangkutan. Dilihat dari segi pedagang
informal itu sendiri, hal ini sangat menguntungkan, sebab dengan
menempati lokasi yang beraksesibilitas tinggi akan mempunyai
kesempatan besar pula untuk meraih konsumen.
Sumber: Mc. Gee dan Yeung, 1973:37
Gambar 2. 2 Pola Penyebaran Memanjang
Pola Pelayanan Aktivitas PKL
Pola pelayanan menurut Mc. Gee dan Yeung (1977:37), adalah
cara berlokasi aktivitas PKL dalam memanfaatkan ruang kegiatan
sebagai tempat usaha. Berdasarkan pengertian di atas maka pola
pelayanan aktivitas PKL dapat ditinjau dari aspek golongan pengguna
jasa, skala pelayanan, waktu pelayanan, dan sifat pelayanan.
Melihat lokasi dari PKL yang cenderung tidak tertata namun
dekat dengan konsumen maka golongan pengguna jasa yang dilayani
oleh aktivitas jasa PKL pada umumnya terdiri dari golongan
pendapatan menengah dan rendah. Hal ini disebabkan karena harga
yang ditawarkan oleh pedagang sektor informal relatif lebih rendah
Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik
39
dari toko atau supermarket, namun demikian tidak tertutup
kemungkinan bahwa masyarakat berpendapatan menengah ke atas
mendatangi lokasi aktivitas perdagangan sektor informal, tetapi ini
terjadi sekali waktu atau bersifat insidental. Rachbini dan Hamid
(1994: 92), menyatakan bahwa dari sekitar dua juta buruh atau pegawai
sektor formal (swasta maupun negeri) di Jakarta kurang lebih satu
setengah juta membeli makanan dari sektor informal. Hanya dengan
cara ini mereka dapat bertahan dalam kondisi gaji di sektor formal
yang rata-rata rendah. Kondisi ini juga menunjukkan adanya hubungan
antara sektor formal dan informal saling melengkapi.
Untuk mengetahui skala pelayanan suatu aktivitas jasa
pedagang sektor informal dapat diketahui dari pengguna jasa. Besar
kecilnya skala pelayanan tergantung dari jauh dekatnya pengguna jasa
tersebut. Semakin dekat asal pengguna, maka skala pelayanan semakin
kecil, sebaliknya semakin jauh asal pengguna jasa tersebut, maka skala
pelayanan semakin besar (Manning dan Effendi, 1996: 366-372).
Mc. Gee dan Yeung (1977: 76), menyatakan bahwa pola
aktivitas PKL menyesuaikan terhadap irama dari ciri kehidupan
masyarakat sehari-hari. Seperti telah diuraikan di atas bahwa ada
hubungan antara sektor formal dan informal maka waktu kegiatan PKL
didasarkan pula atau sesuai dengan perilaku kegiatan formal, namun
demikian pada saat tertentu kaitan aktivitas keduanya lemah atau tidak
ada hubungan langsung antara keduanya. Jika dilihat dari sudut
pandang pelayanan PKL maka secara umum mereka dapat
dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu:
Pertama, pedagang menetap (static). Pedagang menetap adalah
suatu bentuk layanan yang mempunyai cara atau sifat menetap pada
suatu lokasi tertentu. Dalam hal ini setiap pembeli atau konsumen
harus datang sendiri ke tempat pedagang di mana ia berada.
Kedua, pedagang semi menetap (semi static). Pedagang semi
menetap merupakan suatu bentuk layanan pedagang yang mempunyai
sifat menetap sementara, yaitu hanya pada saat-saat tertentu saja.
Dalam hal ini dia akan menetap bila ada kemungkinan datangnya
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
40
pembeli yang cukup besar. Biasanya pada saat bubaran bioskop, para
pegawai masuk/keluar kantor atau saat ramainya pengunjung di pusat
kota. Apabila tidak ada kemungkinan pembeli yang cukup besar, maka
pedagang tersebut akan berkeliling.
Ketiga, pedagang keliling (mobile). Pedagang keliling yaitu
suatu bentuk layanan pedagang dalam melayani konsumennya,
mempunyai sifat yang selalu berusaha mendatangi atau mengejar
konsumen. Biasanya pedagang yang mempunyai sifat ini adalah
pedagang yang mempunyai volume dagangan kecil.
Ruang Publik sebagai Ruang Interaksi Aktivitas
Ruang umum atau ruang publik adalah tempat yang timbul
karena kebutuhan akan suatu tempat bagi pertemuan bersama, dengan
adanya pertemuan bersama dan relasi antar orang banyak maka akan
timbul bermacam-macam kegiatan. Carr (1992: 54), menjelaskan ruang
publik sebagai tempat berkumpulnya warga kota untuk melakukan
aktivitas-aktivitasnya yang dapat mempererat ikatan sebagai suatu
komunitas. Sedangkan Hakim (1993: 74), memberikan pengertian
ruang umum sebagai suatu wadah yang dapat menampung
aktivitas/kegiatan tertentu dari masyarakatnya, baik secara individu
maupun kelompok.
Dari pengertian di atas ruang publik kota merupakan suatu
ruang baik di dalam atau di luar bangunan yang menjadi tempat
aktivitas kegiatan bersama atau individu dalam berinteraksi sosial dan
komunikasi pada suatu lingkungan atau kawasan, namun demikian
ruang publik kota biasanya bersifat terbuka dan dapat dijangkau oleh
publik baik perorangan maupun kelompok. Dalam penelitian ini ruang
publik yang dimaksud adalah trotoar dan bahu jalan yang fungsinya
menurut Danisworo (1991:34), sebagai jalur pedestrian yang
dipergunakan oleh pejalan kaki dalam melakukan perjalanan berupa
suatu lintasan. Hampir semua kota di Indonesia kondisi trotoar dan
bahu jalan sangat memprihatinkan karena dijadikan sebagai lokasi
aktivitas oleh PKL, terutama di kawasan perdagangan.
Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik
41
Permasalahan pada Ruang Publik
Berdasarkan pemanfaatan ruang, aktivitas PKL dapat dikatakan
hampir menempati semua ruang yang tersedia baik itu ruang umum
atau ruang privat yang ada. Ruang umum merupakan jenis ruang yang
dimiliki pemerintah dan diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat
luas. Contoh dari ruang umum adalah taman kota, trotoar, ruang
terbuka, lapangan, dan sebagainya serta fasilitas-fasilitas atau sarana-
sarana yang terdapat di ruang umum tersebut, seperti halte dan
jembatan penyeberangan. Sedangkan ruang privat atau pribadi adalah
jenis ruang yang dimiliki oleh individu atau kelompok tertentu;
misalnya lahan pribadi yang dimiliki oleh pemilik pertokoan,
perkantoran, dan sebagainya. Penggunaan ruang-ruang tersebut pada
akhirnya menimbulkan conflict of interest, karena lahan tersebut
seharusnya dipergunakan oleh berbagai pihak dengan berbagai
kepentingan, tidak saja bagi PKL. Pada kawasan perdagangan, aktivitas
PKL dengan menempati trotoar dan bahu jalan yang berhadapan
dengan pertokoan berpotensi menimbulkan persaingan dan konflik
terbuka, karena kawasan menjadi kumuh dan semrawut.
Sebagai elemen penting dalam kota, keberadaan ruang publik
seringkali tidak berfungsi dengan baik. Berikut ini adalah beberapa
faktor penyebab permasalahan di ruang publik:
a. Terbatasnya ruang publik dalam menampung semua aktivitas
warga serta belum adanya penataan ruang tersebut seringkali
menimbulkan pertentangan dalam penggunaannya;
b. Motivasi pengembangan ruang terbuka umumnya tidak
merefleksikan kebutuhan penggunanya dengan baik.
Perubahan gaya hidup masyarakat memengaruhi
pengembangan ruang terbuka. Apabila hal ini diabaikan akan
mengakibatkan kegagalan dalam desain dan manajemen ruang
terbuka tersebut. (Carr, 1992: 80);
c. Ketidakjelasan fungsi dan arahan kegiatan di dalamnya
mengakibatkan ruang publik dimanfaatkan untuk kegiatan
yang tidak sesuai. Sempitnya ruang publik dalam hal ini trotoar
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
42
dan banyaknya aktivitas PKL di atasnya menimbulkan
permasalahan ruang publik menjadi rumit dan kompleks.
Kajian tentang Partisipasi
Perjalanan panjang Indonesia dalam upaya mewujudkan
kesejahteraan bangsa dengan berbagai program yang telah
dilaksanakan semenjak masa orde lama sampai dengan era reformasi
sangatlah beragam. Berbagai istilah dipakai dalam program
pembangunan, salah satunya adalah istilah partisipasi. Partisipasi
dalam pembangunan selalu menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dengan masyarakat baik di wilayah perkotaan maupun desa. Istilah ini
selalu berhubunggan dengan program pemerintah yang menyentuh
masyarakat terkait dengan program-program pengembangan dan
pemberdayaan masyarakat.
Berbagai program pembangunan yang dicanangkan pemerintah
Indonesia selama ini selalu saja memposisikan masyarakat sebagai
bagian dari proses pembangunan itu sendiri. Menurut Pujoalwanto
(2012:1), pembangunan yang baik adalah pembangunan yang di
dalamnya melibatkan masyarakat melalui partisipasi dalam setiap
tahapan. Masyarakat harus dilibatkan dalam proses pembangunan
karena tanpa masyarakat maka tidaklah mungkin negara terbentuk,
dengan demikian partispasi masyarakat dalam proses pembangunan
tidak dapat dikesampingkan. Seirama dengan pikiran tersebut,
Putranto (1992:51- 52), menjelaskan bahwa peningkatan peran serta
masyarakat dalam pembangunan hendaknya masyarakat tidak
dipandang sebagai obyek semata, tetapi harus dilibatkan sebagai pelaku
aktif dalam pembangunan mulai sejak perencanaan, pelaksanaan dan
evaluasi pembangunan. Selanjutnya hal penting yang perlu mendapat
perhatian adalah hendaknya masyarakat dapat menikmati hasil
pembangunan secara proporsional sesuai dengan perannya masing-
masing. Guna dapat memperjuangkan kepentingan masyarakat sesuai
kondisi obyektif yang ada, maka partisipasi masyarakat dalam berbagai
tahapan pembangunan merupakan suatu kebutuhan.
Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik
43
Pengertian Partisipasi
Partisipasi adalah sebuah proses pembangunan yang di
dalamnya melibatkan seseorang ataupun kelompok masyarakat dalam
suatu komunitas, karena itu partisipasi merupakan sebuah konsep yang
berkaitan dengan peran serta manusia secara pribadi maupun kolektif.
Secara etimologi, partisipasi berasal dari bahasa Inggris “participation”
yang berarti mengambil bagian/keikutsertaan.
Dalam kamus lengkap Bahasa Indonesia dijelaskan “partisipasi”
berarti: hal turut berperan serta dalam suatu kegiatan, keikutsertaan,
peran serta. Secara umum pengertian dari partisipasi masyarakat dalam
pembangunan adalah keperansertaan semua anggota atau wakil-wakil
masyarakat untuk ikut membuat keputusan dalam proses perencanaan
dan pengelolaan pembangunan termasuk di dalamnya memutuskan
tentang program ataupun rencana kegiatan yang akan dilaksanakan,
manfaat yang akan diperoleh, serta bagaimana melaksanakan dan
mengevaluasi hasil pelaksanaannya.
Menurut pandangan beberapa ahli, partisipasi dijelaskan
dengan pengertian yang beragam, Mikkelsen (2001: 64), menjelaskan
bahwa partisipasi secara umum dibagi dalam enam pengertian yakni:
Pertama, partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat kepada
proyek tanpa ikut serta dalam pengambilan keputusan; kedua,
partisipasi adalah usaha untuk membuat masyarakat semakin peka
dalam meningkatkan kemauan dan kemampuan menanggapi proyek
pembangunan; ketiga, partisipasi adalah proses aktif, yang mengandung
arti seorang ataupun kelompok tertentu mengambil inisiatif dan
menggunakan kebebasannya untuk menggunakan hal itu; keempat, partisipasi adalah pemantapan dialog antara masyarakat setempat
dengan para staf dalam melakukan persiapan pelaksanaan dan
monitoring proyek, agar memperoleh informasi mengenai konteks dan
dampak-dampak sosial; kelima, partisipasi adalah keterlibatan sukarela
oleh masyarakat dalam perubahan yang ditentukan sendiri; keenam,
partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri,
kehidupan dan lingkungan mereka.
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
44
Partisipasi masyarakat menurut Isbandi (2008: 27), adalah
keikutsertaan masyarakat dalam proses pengidentifikasian masalah dan
potensi yang ada di masyarakat, pemilihan dan pengambilan keputusan
tentang alternatif solusi untuk menangani masalah, pelaksanaan upaya
mengatasi masalah, dan keterlibatan masyarakat dalam proses
mengevaluasi perubahan yang terjadi.
Sedangkan Juliantara (2002: 87), lebih melihat pada substansi
dari partisipasi yaitu apabila bekerjanya suatu sistem pemerintahan
dimana tidak ada kebijakan yang diambil tanpa adanya persetujuan dari
rakyat, sedangkan arah dasar yang akan dikembangkan adalah proses
pemberdayaan, lebih lanjut dikatakan tujuan pengembangan partisipasi
adalah: Pertama, bahwa partisipasi akan memungkinkan rakyat secara
mandiri (otonom) mengorganisasi diri, dengan demikian akan
memudahkan masyarakat menghadapi situasi yang sulit karena
memiliki kemampuan untuk mandiri, serta mampu menolak berbagai
kecenderungan yang merugikan. Kedua, suatu partisipasi tidak hanya
menjadi cermin konkrit peluang ekspresi aspirasi dan jalan
memperjuangkannya, tetapi yang lebih penting lagi, partisipasi
menjadi semacam garansi bagi tidak diabaikannya kepentingan
masyarakat. Ketiga, persoalan-persoalan dalam dinamika pembangunan
akan dapat diatasi dengan adanya partisipasi masyarakat.
Ach.Wazir (1999: 29), mengartikan partisipasi merupakan
keterlibatan seseorang secara sadar ke dalam interaksi sosial dalam
situasi tertentu. Dari pandangan ini sangat jelas, yang dilihat adalah
keterlibatan individu pada sebuah komunitas dalam konteks yang
berbeda-beda, karena itu bagi dia seseorang dapat berpartisipasi aktif
jika dirinya merasa cocok dengan lingkungan sosial ataupun dalam
komunitas di mana ia berada, sehingga melalui berbagai proses
interaksi dengan orang lain maka secara sadar, iapun merasa memiliki
lingkungan ataupun komunitas sebagai bagian dari dirinya.
Sesuai pemikiran para ahli di atas maka partisipasi masyarakat
sangatlah penting dalam proses pembangunan ataupun proses
pembuatan sebuah kebijakan publik yang tujuannya untuk kebaikan
masyarakat secara umum. Pentingnya partisipasi masyarakat dalam
Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik
45
setiap tahapan pembangunan karena: pertama, partisipasi masyarakat
merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi,
kebutuhan, dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya
program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal; kedua,
masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program
pembangunan jika mereka dilibatkan dalam proses persiapan dan
perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk-beluk
proyek tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap proyek
tersebut; ketiga, merupakan hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan
dalam pembangunan masyarakat (Conyers, 1991: 154-155).
Dari berbagai interpretasi tersebut di atas maka dapat
disimpulkan bahwa substansi dari partisipasi dalam proses
pembangunan adalah di setiap negara ataupun daerah dan wilayah,
masyarakat selalu menjadi pusat pembangunan itu sendiri. Karena itu
butuh keterlibatan mereka dalam setiap proses mulai dari perencanaan,
perumusan, implementasi, evaluasi, dan monitoring. Keterlibatan
masyarakat sangat penting sebab dalam tataran praktis mereka yang
terkena dampak langsung dari kebijakan pembangunan baik dalam
skala lokal maupun nasional.
Tangga Partisipasi
Untuk mengetahui kualitas relasi antar pemangku kepentingan,
khususnya antara masyarakat dan negara dalam pengelolaan
pembangunan, relevan diketahui derajat partisipasi yang terjadi.
Derajat partisipasi menjadi salah satu hal yang menarik dalam
partisipasi terkait dengan kualitas partisipasi yang dihasilkan. Derajat
partisipasi sering juga disebut dengan tangga partisipasi. Arnstein
(1969), membuat tangga partisipasi menjadi: 1). Manipulasi; 2). Terapi;
3). Penginformasian; 4). Konsultasi; 5). Peredaman; 6). Kemitraan; 7
Delegasi Kekuasaan; 8). Kendali Masyarakat. (Gambar 2.1).
Manipulasi, masyarakat hanya dipakai sebagai pihak yang
memberikan persetujuan dalam berbagai badan penasehat. Terapi,
meskipun masyarakat terlibat dalam kegiatan, pada kenyataannya
kegiatan tersebut lebih banyak untuk mendapatkan masukan dari
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
46
masyarakat demi kepentingan pemerintah. Penginformasian,
memberikan informasi kepada masyarakat tentang hak-hak mereka,
tanggung jawab dan berbagai pilihan, dapat menjadi langkah pertama
yang sangat penting dalam pelaksanaan partisipasi masyarakat.
Konsultasi, mengundang opini masyarakat, setelah memberikan
informasi mereka, dapat merupakan langkah penting dalam menuju
partisipasi penuh dari masyarakat. Peredaman, masyarakat mulai
mempunyai beberapa pengaruh meskipun beberapa hal masih tetap
ditentukan oleh pihak yang mempunyai kekuasaan. Kemitraan,
walaupun usulan dari masyarakat diperhatikan sesuai dengan
kebutuhannya, namun masyarakat seringkali tidak didengar karena
kedudukannya relatif rendah. Delegasi kekuasaan, masyarakat diberi
limpahan kewenangan untuk memberikan keputusan dominan pada
rencana tertentu. Kendali masyarakat, masyarakat memiliki kekuatan
untuk mengatur program yang berkaitan dengan kepentingan mereka.
Sumber : Arnstein (1969)
Gambar 2. 3 Tangga Partisipasi
8. Kendali Masyarakat
7. Delegasi Kekuasaan
6. Kemitraan
5. Peredaman
4. Konsultasi
3. Penginformasian
2. Terapi
1. Manipulasi Bukan Partisipasi
Partisipasi Semu
Kekuasaan Warga
De
De
Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik
47
Setiap urutan tangga partisipasi merefleksikan derajat
partisipasi. Tangga tertinggi adalah derajat pengendalian masyarakat, di
mana sebagian besar pengambilan keputusan berada di tangan
masyarakat. Derajat paling rendah adalah manipulasi dan terapi, yang
menggambarkan bahwa kebijakan publik yang dibuat hampir tidak
melibatkan masyarakat, karena semua kebijakan dirumuskan dan
dilaksanakan pemerintah. Dari delapan tangga tersebut kemudian
dikategorikan lagi menjadi tiga, yaitu ; 1). Kekuasaan warga; 2).
Partisipasi semu 3). Bukan partisipasi.
Berdasarkan pandangan Arnstein (1969), menunjukkan bahwa
jika ditempatkan pada sebuah garis, maka tangga partisipasi berada
pada dua titik yaitu dimulai dari tataran rendah ke tataran yang paling
tinggi. Tahapan yang paling rendah adalah ketika masyarakat hanya
sebagai pengikut, sedangkan pada tahapan yang paling tinggi adalah
ketika masyarakat mempunyai kewenangan untuk mengontrol suatu
kegiatan. Inilah derajat partisipasi yang menjadi impian masyarakat
dalam era demokrasi sekarang ini.
Model Partisipasi
Partisipasi masyarakat selalu saja merujuk pada hasil yang ingin
dicapai karena itu dengan adanya partisipasi maka sangat diharapkan
meningkatnya kemampuan setiap orang ataupun kelompok masyarakat
yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam sebuah
program pembangunan. Karena itu melalui keterlibatan mereka dalam
pengambilan keputusan dan kegiatan-kegiatan selanjutnya adalah
sebuah proses yang harus dilalui demi meningkatkan kemampuan
dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
Bintoro (1983), menjelaskan model partisipasi pembangunan
dalam tiga model yaitu: Pertama, keterlibatan dalam penentuan arah,
kinerja dan kebijakan pembangunan yang dilakukan pemerintah;
kedua, keterlibatan dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan, yang
termasuk di dalamnya adalah memikul beban dan tanggung jawab
pembangunan, yang dapat dilakukan dengan sumbangan memobilisasi
pembiayaan pembangunan, melakukan kegiatan produktif, mengawasi
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
48
jalannya pembangunan dan lain-lain; ketiga, keterlibatan dalam
menerima hasil dan manfaat pembangunan secara adil.
Berdasarkan pandangan Bintoro, dapat dipahami model
partisipasi masyarakat dalam tahapan-tahapan pembangunan
masyarakat, selalu didasarkan pada pertimbangan kebutuhan dan
konteks lingkungan masyarakat. Hal ini penting dalam tahapan proses
selanjutnya, dimana masyarakat akan melaksanakan program yang
direncanakan. Jika mereka merasa ikut memiliki dan merasakan
manfaat program tersebut, maka tujuan sebagai harapan bersama dalam
upaya mencapai keberhasilan pembangunan pasti akan terlaksana
dengan baik.
Sahel (Mikkelsen 2001:69-70), mengelompokkan model
partisipasi masyarakat dalam empat model yakni: Pertama, partisipasi
pasif, melalui pelatihan dan informasi. Komunikasi satu arah seperti
antara guru dan murid yang diterapkan antara staf proyek dan
masyarakat; kedua, partisipasi aktif melalui “pelatihan dan kunjungan”.
Dialog dan komunikasi dua arah memberikan kesempatan kepada
masyarakat untuk berinteraksi dengan petugas penyuluh dan pelatih
dari luar; ketiga, partisipasi dengan keterikatan, melalui “kontrak atau
tugas yang dibayar”. Masyarakat setempat, baik sebagai pribadi ataupun
kelompok kecil, diberikan pilihan untuk terikat pada sesuatu dengan
tanggung jawab atas setiap kegiatan pada masyarakat atau proyek.
Model ini memungkinkan untuk beralih dari model klasik kepada
model yang diberi subsidi, dimana panitia setempat bertanggung jawab
atas pengorganisasian dan pelaksanaan tugas. Manfaatnya: dapat dibuat
modifikasi seiring tujuan yang diinginkan; keempat, partisipasi atas
permintaan setempat. Kegiatan yang didorong oleh permintaan
masyarakat sendiri dalam sebuah komunitas, karena itu kegiatannya
harus terfokus untuk menjawab berbagai kebutuhan masyarakat
setempat, bukan kebutuhan yang dirancang dan disuarakan oleh pihak
luar demi kepentingan pihak luar.
Effendi (Gunawan 2015: 59), menyebutkan partisipasi
masyarakat dalam dua model yaitu: a) Partisipasi Vertikal, adalah
partisipasi yang terjadi dalam suatu kondisi tertentu dimana
Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik
49
masyarakat mengambil bagian dalam suatu program pembangunan dari
pihak lain (swasta atau pemerintah), namun dalam hubungan dimana
posisi masyarakat adalah bawahan atau klien. b) Partisipasi horizontal,
yaitu partisipasi terjalin oleh karena masyarakat mengambil bagian
dalam prakarsa pembangunan dan setiap anggota atau kelompok
masyarakat berada dalam posisi sejajar hak dan wewenangnya.
Selanjutnya Slamet (2003: 8), menjelaskan sesuai pikiran
Valderama ada tiga tradisi konsep partisipasi terutama bila dikaitkan
dengan pembangunan masyarakat yang demokratis yaitu: Partisipasi
politik (political participation), partisipasi sosial (social participation),
dan partisipasi warga (citizen participation/citizenship).
Berdasarkan ketiga hal tersebut di atas terkait konsep
partisipasi maka semuanya itu dijelaskan sebagai berikut:
1) Partisipasi politik (political participation) lebih berorientasi
pada “mempengaruhi” dan “mendudukkan wakil-wakil rakyat”
dalam lembaga pemerintah ketimbang partisipasi aktif dalam
proses-proses kepemerintahan itu sendiri. Huntington dan
Nelson (1994: 68) menjelaskan bahwa tujuan partisipasi politik
adalah untuk mempengaruhi pengambilan keputusan
pemerintah. Karena itu kegiatan ditujukan, dan mempunyai
dampak terhadap pusat-pusat dimana keputusan itu diambil. Di
dalam masyarakat tradisional, kebanyakan keputusan yang
menyangkut kehidupan penduduk desa tentunya diambil oleh
kepala dan majelis desa, yang merupakan sasaran setiap
partisipasi masyarakat desa. Tetapi seiring berkembangnya
waktu dan semakin modernnya masyarakat, maka semakin
banyak keputusan pemerintah menyangkut kehidupan
masyarakat desa diambil tidak di desa, melainkan pada tingkat
nasional.
2) Partisipasi sosial (social participation) partisipasi ditempatkan
sebagai beneficiary atau pihak di luar proses pembangunan
dalam konsultasi atau pengambilan keputusan disemua tahapan
siklus proyek pembangunan dari evaluasi kebutuhan sampai
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
50
penilaian, pemantauan, evaluasi dan implementasi. Partisipasi
sosial sebenarnya dilakukan untuk memperkuat proses
pembelajaran dan mobilisasi sosial. Dengan kata lain, tujuan
utama dari proses sosial sebenarnya bukanlah pada kebijakan
publik itu sendiri tetapi keterlibatan komunitas dalam dunia
kebijakan publik lebih diarahkan sebagai wahana pembelajaran
dan mobilisasi sosial.
3) Partisipasi warga (citizen participation/citizenship)
menekankan pada partisipasi langsung warga dalam
pengambilan keputusan pada lembaga dan proses
pemerintahan. Partisipasi warga telah mengubah konsep
partisipasi “dari sekedar kepedulian terhadap penerima derma
atau kaum tersisih menuju suatu kepedulian dengan berbagai
bentuk keikutsertaan warga dalam pembuatan kebijakan dan
pengambil keputusan diberbagai gelanggang kunci yang
mempengaruhi kehidupan mereka. Maka berbeda dengan
partisipasi sosial, partisipasi warga memang berorientasi pada
agenda penentuan kebijakan publik.
Partisipasi dapat dijelaskan sebagai proses penempatan
masyarakat sebagai subyek dalam pembangunan. Penempatan
masyarakat sebagai subjek pembangunan mutlak diperlukan sehingga
masyarakat akan dapat berperan serta secara aktif mulai dari
perencanaan, pelaksanaan hingga monitoring dan evaluasi
pembangunan. Terlebih apabila akan dilakukan pendekatan
pembangunan dengan semangat lokalitas. Masyarakat lokal menjadi
bagian yang paling memahami keadaan daerahnya, sehingga mampu
memberikan masukan yang sangat berharga. Masyarakat lokal dengan
pengetahuan serta pengalamannya menjadi modal yang sangat besar
dalam melaksanakan pembangunan. Masyarakat lokal yang paling tahu
apa permasalahan yang dihadapi serta potensi yang dimiliki oleh
daerahnya. Bahkan mereka pula yang memiliki pengetahuan lokal
untuk mengatasi setiap permasalahan yang dihadapi.
Partisipasi bukan hanya sekedar salah satu tujuan dari
pembangunan sosial tetapi merupakan bagian yang integral dalam
Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik
51
proses pembangunan sosial. Partisipasi masyarakat berarti eksistensi
manusia seutuhnya, tuntutan akan partisipasi masyarakat semakin
berjalan seiring kesadaran akan hak dan kewajiban warga negara.
Penyusunan perencanaan partisipasif yaitu dalam perumusan program-
program pembangunan yang benar-benar dibutuhkan masyarakat
setempat, dilakukan melalui diskusi kelompok-kelompok masyarakat
secara terfokus atau terarah.
Perencanaan program pembangunan disusun sendiri oleh
masyarakat, selanjutnya dalam implementasinyapun masyarakat harus
dilibatkan secara langsung. Keterlibatan masyarakat sebagai tenaga
kerja lokal, demikian pula kontraktor lokal yang memenuhi syarat,
selanjutnya untuk menjamin hasil pekerjaan terlaksana dengan baik
maka peran serta masyarakat dalam pengawasan selayaknya dilibatkan
secara nyata, sehingga benar-benar partisipasi masyarakat dibangun
sejak penyusunan program, implementasi program sampai kepada
pengawasan, dengan demikian pelaksanaan (implementasi) program
pembangunan akan terlaksana pula secara efektif dan efesien.
Berdasarkan penjelasan di atas jika dihubungkan dengan
konteks masyarakat secara umum maka harus jujur diakui bahwa
sampai saat ini dalam perencanaan pembangunan peran masyarakat
sangat penting, namun kemampuan masyarakat pada umumnya masih
relatif terbatas. Untuk wilayah-wilayah yang masyarakatnya telah
maju dari segi sumber daya manusianya, proses pembangunan melalui
partisipasi masyarakat akan jauh berbeda dengan daerah yang terbatas
sumber daya manusianya. Karena itu dibutuhkan pendampingan
ataupun perlu adanya diskusi intensif antara pihak berkepentingan
(stakeholder), baik dari unsur pemerintah, akademisi, lembaga swadaya
masyarakat, dan pihak terkait lainnya untuk saling melengkapi
informasi dan menyamakan persepsi tentang kebijakan pembangunan.
Berbicara tentang partisipasi masyarakat dalam pembangunan
yang berhubungan dengan pembuatan kebijakan publik maka harus
dipahami bahwa kebijakan publik pada dasarnya dibuat oleh
pemerintah untuk mengatur kepentingan masyarakat. Karena itu
dalam perumusan dan penetapannya harus selalu mengikutsertakan
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
52
masyarakat. Partisipasi masyarakat merupakan salah satu unsur yang
harus diperhatikan oleh pemerintah. Partisipasi masyarakat dapat
menunjukkan tingkat dukungan masyarakat terhadap kebijakan
publik. Dengan adanya partisipasi masyarakat yang tinggi maka
kebijakan publik yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah selalu
berpihak kepada kepentingan masyarakat, sesuai dengan dasar negara
yakni Pancasila dan UUD 1945 serta tidak menyimpang dari peraturan
perundang-undangan.
Bentuk partisipasi masyarakat yang positif terhadap
pemerintah daerah dapat diwujudkan melalui berbagai bentuk
kegiatan, antara lain; a) Menyampaikan aspirasi dengan cara santun
kepada pemerintah daerah. b) Mematuhi dan melaksanakan peraturan
daerah. c) Melaksanakan kegiatan keamanan dan ketertiban
lingkungan. d) Membayar pajak bumi dan bangunan. e) Menjaga
kelestarian lingkungan hidup.
Partisipasi masyarakat terhadap pelaksanaan kebijakan publik
merupakan proses dan wujud partisipasi politik masyarakat dalam
kehidupan kenegaraan. Tingkat kesadaran hukum dan kesadaran
masyarakat dalam berpartisipasi akan memengaruhi kebijakan publik.
Semakin tinggi kesadaran hukum dan kesadaran masyarakat
melaksanakan kebijakan publik semakin besar sifat membangun dan
tanggung jawab. Sebaliknya apabila kesadaran hukum dan kesadaran
masyarakat masih rendah dapat melahirkan kebijakan publik yang
bersifat merusak dan kurang bertanggung jawab. Setiap kebijakan
publik yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah diupayakan
mendapatkan dukungan masyarakat. Partisipasi masyarakat terhadap
kebijakan publik dapat dilakukan melalui empat macam cara, yaitu:
pada tahap proses pembuatan kebijakan, pelaksanaan kebijakan,
pemanfaatan hasil, dan tahap evaluasi.
Partisipasi pada Tahap Proses Pembuatan Kebijakan Publik
Dalam proses ini, masyarakat berpartisipasi aktif maupun pasif
dalam pembuatan kebijakan publik. Dengan berpartisipasinya
masyarakat dalam perumusan kebijakan publik dapat menunjukkan
Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik
53
adanya kekhasan daerah. Semakin besar keinginan masyarakat untuk
menentukan nasib sendiri, semakin besar partisipasi masyarakat dalam
pembangunan. Contoh partisipasi masyarakat dalam tahap ini adalah
masyarakat memberikan masukan atau pertimbangan baik secara lisan
atau tertulis kepada pemerintah daerah untuk menjadikan bahan
pertimbangan dalam menentukan kebijakan publik daerah sebelum
ditetapkan.
Partisipasi dalam pelaksanaan
Partisipasi ini, merupakan partisipasi yang nyata dalam
kehidupan sehari-hari. Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan
kebijakan publik atau pembangunan, dapat dilakukan dalam kehidupan
sehari-hari dengan menyumbangkan tenaga, harta, pikiran dan lain-
lain. Contoh partisipasi masyarakat pada tahap ini adalah masyarakat
menjaga kebersihan lingkungan dengan tidak membuang sampah di
sembarang tempat, bila kebijakan daerah menetapkan adanya wilayah
bebas sampah. Masyarakat dapat terlibat langsung sebagai pelaksana
kebijakan daerah dan selalu mewujudkannya.
Partisipasi dalam memanfaatkan hasil
Telah kita ketahui bersama bahwa setiap kebijakan yang
ditetapkan oleh pemerintah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Maka dari itu, masyarakat berhak untuk berpartisipasi
dalam menikmati hasil pembangunan. Masyarakat di daerah harus
dapat menikmati hasil pembangunan secara adil dalam arti
mendapatkan pembagian sesuai dengan pengorbanan yang diberikan
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Rendahnya
partisipasi untuk menikmati hasil dari sebuah kebijakan publik dapat
menimbulkan sikap tidak puas bagi masyarakat. Dengan belum
meratanya pembangunan dan hasilnya di setiap daerah mendorong
kepada kelompok-kelompok tertentu ingin memisahkan diri dari
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Partisipasi dalam evaluasi
Setiap kebijakan publik di daerah dinyatakan berhasil, jika
dapat memberikan manfaat kehidupan bagi masyarakat. Oleh karena
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
54
itu, masyarakat diberi kesempatan untuk menilai hasil yang telah
dicapai. Partisipasi masyarakat dalam memberikan penilaian terhadap
kebijakan publik merupakan sikap dukungan yang positif terhadap
pemerintah. Partisipasi masyarakat dalam evaluasi dapat dilakukan
dengan memantau hasil kebijakan publik dan pelaksanaannya.
Masyarakat harus bersikap kritis apakah kebijakan publik sudah
mengakomodasi seluruh kepentingan masyarakat atau belum. Dalam
memberikan evalusai terhadap kebijakan publik harus bersifat
konstruktif dan bukan bersifat destruktif. Apabila kita menyampaikan
aspirasi yang berkaitan dengan kebijakan publik melalui demonstrasi
kita lakukan dengan santun, tidak dengan cara-cara kekerasan, atau
merusak fasilitas-fasilitas umum.
Pada kenyataannya partisipasi masyarakat terhadap kebijakan
publik sebagian besar masih pada tahap pelaksanaan dan pemanfaatan
belum pada proses pembuatan ataupun evaluasi. Partisipasi masyarakat
akan bermanfaat untuk membentuk perilaku atau budaya demokrasi,
memberi pelajaran membentuk masyarakat yang memiliki kesadaran
hukum, membentuk manusia yang bermoral dan berakhlak mulia,
membentuk masyarakat yang memiliki jiwa sukarela, tidak
menggantungkan diri kepada orang lain serta mengembangkan diri
untuk memperbaiki keadaan.
Tidak aktifnya masyarakat dalam kebijakan publik dikarenakan
adanya dua faktor utama, faktor internal dan faktor eksternal, yaitu:
1. Faktor internal penyebab tidak aktifnya masyarakat dalam
perumusan kebijakan publik;
a) Masyarakat masih terbiasa pada pola lama, yaitu peraturan-
peraturan tanpa partisipasi warga. Warga tinggal menerima
dan melaksanakan saja;
b) Masyarakat tidak tahu adanya kesempatan untuk
berpartisipasi;
c) Masyarakat tidak tahu prosedur partisipasi;
d) Rendahnya sanksi hukum di kalangan masyarakat;
Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik
55
e) Rendahnya sanksi hukum kepada pelanggar kebijakan
publik.
2. Faktor eksternal penyebab tidak aktifnya masyarakat dalam
perumusan kebijakan publik;
a) Tidak dibukanya kesempatan kepada masyarakat untuk
berpartisipasi;
b) Masih adanya anggapan sentralistik yang tidak sesuai
dengan otonomi daerah;
c) Adanya anggapan bahwa partisipasi masyarakat akan
memperlambat pembuatan kebijakan publik;
d) Kebijakan publik yang dibuat kadang-kadang belum
menyentuh kepentingan masyarakat secara langsung;
e) Kesempatan berpartisipasi belum banyak diketahui
masyarakat;
f) Hukum belum ditegakkan secara adil;
g) Tidak memihak kepentingan rakyat.
Tahapan Partisipasi
Menurut Adi (2008), perkembangan pemikiran tentang
partisipasi masyarakat dalam upaya pengembangan suatu komunitas,
belumlah cukup hanya melihat partisipasi masyarakat hanya pada
tahapan perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan. Dalam
pemikirannya ia melihat bahwa partisipasi masyarakat hendaknya
meliputi kegiatan-kegiatan yang tidak diarahkan (non direktif),
sehingga partisipasi masyarakat meliputi proses-proses: a) Tahap
Assesment (pemetaan masalah dan kebutuhan), b) Tahap perencanaan
alternatif program atau kegiatan, c) Tahap pelaksanaan (implementasi)
program atau kegiatan, d) Tahap evaluasi. Dengan demikian, maka
dapat dilihat bahwa partisipasi yang dilakukan masyarakat bersama
pihak terkait lainnya diberbagai tahapan pembangunan akan
menghasilkan konsensus dalam kebijakan pembangunan, dan sekaligus
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
56
melatih masyarakat menjadi lebih pandai khususnya untuk
penanganan masalah-masalah yang muncul di masyarakat.
Mikkelsen (2001:65), menyebutkan bahwa secara garis besar
ada 2 pendekatan dalam hal partisipasi, yaitu: (1) partisipasi datang dari
masyarakat sendiri, merupakan tujuan dalam proses demokrasi. Namun
demikian sedikit saja masyarakat yang mau melakukan pendekatan
partisipasi secara sukarela dalam kegiatan pembangunan; (2) partisipasi
dengan motivasi positif yang bersifat memaksa. Dengan pendekatan ini
masyarakat dipaksa untuk melakukan partisipasi dalam pembangunan
dengan motivasi agar dapat melaksanakan dan menikmati hasil
pembangunan secara lebih baik. Selanjutnya disebutkan bahwa
partisipasi dapat dilaksanakan dengan tingkat paksaan dan sukarela
yang berbeda-beda, serta tingkat keaktifan masyarakat yang berbeda-
beda pula. Namun demikian, guna mencapai keberhasilan
pembangunan, partisipasi aktif dan sukarela merupakan hal ideal yang
harus diupayakan.
Wicaksono dan Sigiarto (Wijaya, 2001), berpendapat bahwa
perencanaan partisipatif adalah usaha yang dilakukan masyarakat
untuk memecahkan masalah yang dihadapi agar mencapai kondisi
yang diharapkan berdasarkan kebutuhan dan kemampuan secara
mandiri. Keduanya mengemukakan tahapan perencanaan partisipatif
sebagai berikut:
1) Terfokus pada kepentingan masyarakat. a. Perencanaan
program berdasarkan pada masalah dan kebutuhan yang
dihadapi masyarakat. b. Perencanaan disiapkan dengan
memperhatikan aspirasi masyarakat yang memenuhi sikap
saling percaya dan terbuka;
2) Partisipatoris (keterlibatan) setiap masyarakat melalui forum
pertemuan, memperoleh peluang yang sama dalam sumbangan
pemikiran tanpa dihambat oleh kemampuan berbicara, waktu
dan tempat;
Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik
57
3) Dinamis. a. Perencanaan mencerminkan kepentingan dan
kebutuhan semua pihak. b. Proses perencanaan berlangsung
secara berkelanjutan dan proaktif;
4) Sinergitas. a. Harus menjamin keterlibatan semua pihak. b.
Selalu menekankan kerja sama antar wilayah administrasi dan
geografi. c. Setiap rencana yang akan dibangun sedapat
mungkin menjadi kelengkapan yang sudah ada, sedang atau
akan dibangun. d. Memperhatikan interaksi di antara;
5) Legalitas. a. Perencanaan pembangunan dilaksanakan dengan
mengacu pada semua peraturan yang berlaku. b. Menjunjung
etika dan tata nilai masyarakat. c. Tidak memberikan peluang
bagi penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan;
6) Fisibilitas perencanaan harus bersifat spesifik, terukur, dapat
dijalankan dan mempertimbangkan waktu.
Berdasarkan penjelasan mengenai tahapan partisipasi di atas,
maka dapat dipahami bahwa partisipasi yang baik adalah partisipasi
yang selalu melibatkan masyarakat dalam semua tahapan sehingga
proses pembangunan dapat diikuti dan dipahami oleh semua pihak
sehingga tidak terjadi benturan kepentingan ataupun adanya saling
curiga di antara pihak-pihak terkait dalam proses pembangunan.
Aktor Partisipasi
Partisipasi dalam pembangunan ataupun perumusan kebijakan
dapat berhasil dengan baik apabila ada yang menggerakkannya, karena
itu sangat dibutuhkan peran individu ataupun kelompok individu
dalam mensukseskan program pembangunan yang direncanakan.
Berdasarkan penjelasan tersebut maka yang dimaksudkan dengan
penggerak adalah orang ataupun kelompok yang memiliki pengaruh
dan dipercaya oleh masyarakat sehingga layak dijadikan pemimpin
untuk menggerakkan setiap kegiatan.
Dengan demikian maka seorang penggerak (aktor) adalah
orang yang memiliki kemampuan memengaruhi, sumber daya manusia
yang baik, integritas, dapat diterima di mana saja serta memiliki
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
58
potensi sebagai penggerak masyarakat sehingga ia mampu
memengaruhi masyarakat untuk berpartisipasi secara baik di mana ia
berada. Havelock (Gunawan 2015:65), menjelaskan beberapa
karakteristik nilai-nilai dan sikap mental (attitude) yang harus dimiliki
seorang aktor partisipasi yaitu: Memiliki perhatian (concern) utama
mengenai manfaat pembangunan bagi masyarakat setempat untuk
memiliki kepercayaan bahwa perubahan sosial yang terjadi harus
menghasilkan suatu pembangunan yang memberikan hasil terbaik bagi
masyarakat (mayoritas) setempat; Itulah sebabnya seorang penggerak
dituntut untuk berprinsip bahwa masyarakat akan diubah menuju
kesejahteraan melalui pembangunan yang didasarkan pada kebutuhan.
Selain itu seorang aktor harus memiliki sikap rendah hati, toleran dan
menghargai orang lain ataupun lembaga-lembaga pemerintah. Jika
memiliki sikap mental demikian maka masyarakatpun akan merespon
dengan mengambil peran dalam setiap kegiatan yang dilaksanakan.
Berdasakan penjelasan tersebut, dapat dipahami peran dan
fungsi seorang aktor partisipasi yaitu sebagai pembawa perubahan
(agent of social change) dalam suatu masyarakat, karena itu ia memiliki
peran sebagai penghubung di antara dua ataupun lebih dari sistem
komunikasi dalam masyarakat. Dengan demikian maka seorang aktor
partisipasi memiliki peran sebagai seorang katalisator yang mampu
menyediakan tempat terjadinya sinergi dari semua pihak penggerak
masyarakat yang terlibat dalam pembangunan.
Peran berikutnya adalah seorang pribadi yang memiliki
kapasitas sebagai pemberi solusi dalam pemecahan problem sosial
masyarakat yang terjadi pada tahap perencanaan, implementasi
kegiatan ataupun setelah pelaksanaan. Pada situasi seperti itulah
seorang aktor dibutuhkan untuk mengarahkan, penengah dan pencetus
solusi sehingga problemnya tidak berlangsung lama dan tidak
memakan waktu serta biaya besar, sebab proses pembangunan selalu
melibatkan masyarakat dengan bermacam karakteristik individu dan
kemampuan intelektual yang berbeda.
Peran yang terakhir adalah seorang pribadi yang memiliki
kapasitas pemrakarsa dari suatu proses perubahan masyarakat, yaitu
Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik
59
dengan jalan membantu setiap langkah proses pelaksanaan program-
program pemberdayaan, penyebaran informasi yang inovatif, serta
memberi petunjuk mengenai bagaimana mengenali dan merumuskan
kebutuhan, mendiagnosa permasalahan dan menentukan tujuan,
mendapatkan sumber-sumber yang relevan, atau menciptakan
pemecahan masalah, dan menyesuaikan rencana sesuai tahapan
pemecahan masalah (Gunawan 2015: 68).
Kebijakan Publik
Kebijakan publik merupakan sebuah tindakan yang diambil
oleh para elit pemerintah dalam hubungan dengan menghadirkan
kebaikan bagi banyak orang atau masyarakat. Rian Nugroho (2012: vii),
menjelaskan “public policy is a key success for developing countries, but has been so much neglected. As political development become more fascinating and the policy process tranforms into a dry and technical law making process, and the leaders and institutional decision making is trapped into interest bargaining among elit”. Dari
pemikiran tersebut sangat jelas bahwa sebuah kebijakan adalah kunci
sukses dari pembangunan negara, tetapi dalam proses penetapan tidak
terlepas dari peran elit sehingga terkadang sebuah kebijakan akan
terbengkalai ketika prosesnya didasarkan pada kepentingan elit-elit
politik secara pribadi maupun kelompok tertentu, sehingga hasilnya
tidak sesuai harapan masyarakat secara umum.
Tugas pemerintah adalah membangun kebijakan publik dan
memberikan pelayanan publik yang baik serta benar, supaya
pemerintahan dapat berjalan dengan baik pula dan didukung oleh
rakyat. Dengan demikian maka pemerintah harus memahami dengan
benar tugasnya untuk mensejahterahkan rakyat sebagai sasaran dari
setiap kebijakan yang dibuatnya. Ketika melihat kedua tugas pokok
pemerintah maka yang paling pertama dan utama adalah membangun
kebijakan publik, sebab itu pemerintah melalui elit-elitnya harus
memahami apa itu kebijakan publik sehingga dalam mengemban
tugasnya ia mampu melakukan tugas pelayanannya secara baik dalam
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
60
memberikan pelayan yang berkualitas bagi rakyatnya sebagai tugas
pokok dan fungsi pemerintah.
Konsep Kebijakan Publik
Istilah kebijakan (policy) seringkali penggunaannya ditukarkan
dengan istilah-istilah lain seperti tujuan (goals), program, keputusan,
undang-undang ketentuan-ketentuan, usulan-usulan dan rancangan
besar. Bagi para pembuat kebijakan (policy makers) istilah-istilah
tersebut tidaklah akan menimbulkan masalah apapun karena mereka
menggunakan referensi yang sama. Namun bagi orang-orang yang
berada di luar struktur pengambilan kebijakan istilah-istilah tersebut
mungkin akan membingungkan. Syafiie (2006:104), mengemukakan
bahwa kebijakan (policy) hendaknya dibedakan dengan kebijaksanaan
(wisdom) karena kebijaksanaan merupakan pengejawantahan aturan
yang sudah ditetapkan sesuai situasi dan kondisi setempat oleh person
pejabat yang berwenang. Untuk itu Syafiie mendefinisikan kebijakan
publik adalah semacam jawaban terhadap suatu masalah karena akan
merupakan upaya memecahkan, mengurangi, dan mencegah suatu
keburukan serta sebaliknya menjadi penganjur, inovasi, dan pemuka
terjadinya kebaikan dengan cara terbaik dan tindakan terarah.
Keban (2008), memberikan pengertian dari sisi kebijakan
publik, yang dikutipnya dari pendapat Graycar, dimana menurutnya
bahwa: Public Policy dapat dilihat dari konsep filosofis, sebagai suatu
produk, sebagai suatu proses, dan sebagai suatu kerangka kerja. Sebagai
suatu konsep filosofis, kebijakan merupakan serangkaian prinsip, atau
kondisi yang diinginkan, sebagai suatu produk, kebijakan dipandang
sebagai serangkaian kesimpulan atau rekomendasi, dan sebagai suatu
proses, kebijakan dipandang sebagai suatu cara dimana melalui cara
tersebut suatu organisasi dapat mengetahui apa yang diharapkan
darinya, yaitu program dan mekanisme dalam mencapai produknya,
dan sebagai suatu kerangka kerja, kebijakan merupakan suatu proses
tawar menawar dan negosiasi untuk merumuskan isu-isu dan metode
implementasinya.
Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik
61
Dalam kamus besar bahasa Indonesia kebijakan dijelaskan
sebagai rangkaian konsep dan azas yang menjadi garis dasar rencana
dalam pelaksanaan pekerjaan, kepemimpinan, serta cara bertindak
(tentang perintah, organisasi dan sebagainya). Mustopadidjaja
(1992:30), menjelaskan, bahwa istilah kebijakan lazim digunakan
dalam kaitannya atau kegiatan pemerintah, serta perilaku negara pada
umumnya dan kebijakan tersebut dituangkan dalam berbagai bentuk
peraturan. Hal ini senada dengan David Easton (Thoha 2010:107),
merumuskan sebagai berikut: ”the authoritative allocation of value the whole society but it turns out that only government can aouthoritatively act on the whole society, and everything the government choosed to do or not to do results in the allocationof values” dalam artian bahwa kebijakan pemerintah sebagai alokasi
otoritatif bagi seluruh masyarakat sehingga semua yang dipilih
pemerintah untuk dikerjakan atau tidak dikerjakan adalah hasil alokasi
nilai-nilai tersebut. Sementara itu, Koontz dan O„Donnel (1972:113),
mendefinisikan kebijakan sebagai pernyataan umum dari pengertian
yang memandu pikiran dalam pembuatan keputusan.
Sedangkan menurut Anderson (1997: 113), kebijakan adalah
suatu tindakan yang mempunyai tujuan yang dilakukan seseorang
pelaku atau sejumlah pelaku untuk memecahkan suatu masalah.
Anderson mengklasifikasi kebijakan (policy) menjadi dua: substantif
dan prosedural. Kebijakan substantif yaitu apa yang harus dikerjakan
oleh pemerintah sedangkan kebijakan prosedural yaitu siapa dan
bagaimana kebijakan tersebut diselenggarakan. Ini berarti, kebijakan
publik adalah kebijakan-kebijakan yang dikembangkan oleh badan-
badan dan pejabat-pejabat pemerintah.
Lebih lanjut dikatakan bahwa terdapat lima hal yang
berhubungan dengan kebijakan publik. Pertama, kegiatan yang
berorientasi pada tujuan haruslah menjadi perhatian utama perilaku
acak atau peristiwa yang tiba-tiba terjadi. Kedua, kebijakan merupakan
pola model tindakan pejabat pemerintah mengenai keputusan-
keputusan diskresinya secara terpisah. Ketiga, kebijakan harus
mencakup apa yang nyata pemerintah perbuat, atau apa yang mereka
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
62
katakan akan dikerjakan. Keempat, bentuk kebijakan publik dalam
bentuknya yang positif didasarkan pada ketentuan hukum dan
kewenangan. Tujuan kebijakan publik adalah dapat dicapainya
kesejahteraan masyarakat melalui produk kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah.
Setiap produk kebijakan haruslah memperhatikan substansi
dari keadaan sasaran, melahirkan sebuah rekomendasi dengan
memperhatikan berbagai program yang dijabarkan dan
diimplementasikan sebagaimana tujuan dari kebijakan tersebut. Untuk
melahirkan sebuah produk kebijakan, dapat pula memahami konsepsi
kebijakan menurut Abdul Wahab yang dipertegas oleh Budiman Rusli
(2000:51-52), dimana lebih jauh menjelaskan sebagai berikut:
1) Kebijakan harus dibedakan dari keputusan. Paling tidak ada
tiga perbedaan mendasar antara kebijakan dengan keputusan
yakni :
a) Ruang lingkup kebijakan jauh lebih besar dari pada
keputusan
b) Pemahaman terhadap kebijakan yang lebih besar
memerlukan penelaahan yang mendalam terhadap
keputusan.
c) Kebijakan biasanya mencakup upaya penelusuran
interaksi yang berlangsung di antara begitu banyak
individu, kelompok dan organisasi.
2) Kebijakan sebenarnya tidak serta merta dapat dibedakan dari
administrasi. Perbedaan antara kebijakan dengan administrasi
mencerminkan pandangan klasik. Pandangan klasik tersebut
kini banyak dikritik, karena model pembuatan kebijakan dari
atas misalnya, semakin lama semakin tidak lazim dalam praktik
pemerintahan sehari-hari. Pada kenyataannya, model
pembuatan kebijakan yang memadukan antara top-down
dengan bottom-up menjadi pilihan yang banyak mendapat
perhatian dan pertimbangan yang realistis.
Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik
63
3) Kebijakan sebenarnya tidak serta merta dapat dibedakan dari
administrasi. Langkah pertama dalam menganalisis
perkembangan kebijakan negara ialah perumusan apa yang
sebenarnya diharapkan oleh para pembuat kebijakan. Pada
kenyataannya cukup sulit mencocokkan antara perilaku yang
senyatanya dengan harapan para pembuat keputusan.
4) Kebijakan mencakup ketiadaan tindakan ataupun adanya
tindakan. Perilaku kebijakan mencakup pula kegagalan
melakukan tindakan yang tidak disengaja, serta keputusan
untuk tidak berbuat yang disengaja (deliberate decisions not to act). Ketiadaan keputusan tersebut meliputi juga keadaan
dimana seseorang atau sekelompok orang yang secara sadar
atau tidak sadar, sengaja atau tidak sengaja menciptakan atau
memperkokoh kendala agar konflik kebijakan tidak pernah
tersingkap di mata publik.
5) Kebijakan biasanya mempunyai hasil akhir yang akan dicapai,
yang mungkin sudah dapat diantisipasikan sebelumnya atau
mungkin belum dapat diantisipasikan. Untuk memperoleh
pemahaman yang mendalam mengenai pengertian kebijakan
perlu pula kiranya meneliti dengan cermat baik hasil yang
diharapkan ataupun hasil yang senyatanya dicapai. Hal ini
dikarenakan, upaya analisis kebijakan yang sama sekali
mengabaikan hasil yang tidak diharapkan (unintended results) jelas tidak akan dapat menggambarkan praktik kebijakan yang
sebenarnya.
6) Kebijakan kebanyakan didefinisikan dengan memasukkan
perlunya setiap kebijakan melalui tujuan atau sasaran tertentu
baik secara eksplisit atau implisit. Umumnya, dalam suatu
kebijakan sudah termaktub tujuan atau sasaran tertentu yang
telah ditetapkan jauh hari sebelumnya, walaupun tujuan dari
suatu kebijakan itu dalam praktiknya mungkin saja berubah
atau dilupakan paling tidak sebagian.
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
64
7) Kebijakan muncul dari suatu proses yang berlangsung
sepanjang waktu. Kebijakan itu sifatnya dinamis, bukan statis.
Artinya setelah kebijakan tertentu dirumuskan, diadopsi, lalu
diimplementasikan, akan memunculkan umpan balik dan
seterusnya.
8) Kebijakan meliputi baik hubungan yang bersifat antar
organisasi ataupun yang bersifat intra organisasi. Pernyataan
ini memperjelas perbedaan antara keputusan dan kebijakan,
dalam arti bahwa keputusan mungkin hanya ditetapkan oleh
dan dan melibatkan suatu organisasi, tetapi kebijakan biasanya
melibatkan berbagai macam aktor dan organisasi yang setiap
saat harus bekerja sama dalam suatu hubungan yang kompleks.
9) Kebijakan negara menyangkut peran kunci dari lembaga
pemerintah, walaupun tidak secara ekslusif. Terhadap
kekaburan antara sektor publik dengan sektor swasta, di sini
perlu ditegaskan bahwa sepanjang kebijakan itu pada saat
perumusannya diproses, atau setidaknya disahkan atau
diratifikasikan oleh lembaga-lembaga pemerintah, maka
kebijakan tersebut disebut kebijakan negara.
10) Kebijakan dirumuskan atau didefinisikan secara subyektif. Hal
ini berarti pengertian yang termaktub dalam istilah kebijakan
seperti proses kebijakan, aktor kebijakan, tujuan kebijakan
serta hasil akhir suatu kebijakan dipahami secara berbeda oleh
orang yang menilainya, sehingga mungkin saja bagi sementara
pihak ada perbedaan penafsiran mengenai misalnya tujuan
yang ingin dicapai dalam suatu kebijakan dan dampak yang
ditimbulkan oleh kebijakan tersebut.
W. I. Jenkins seorang pakar kebijakan publik Inggris (Wahab
2015:15), merumuskan kebijakan publik sebagai berikut:
“A set of interrelated decisions taken by a political actor or group of actors concering the selection of goals and the means of achieving them within a specified situation where these decisions should, in principle, be within the power of these actors to achieve” (serangkaian
Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik
65
keputusan yang saling berkaitan yang diambil oleh seorang aktor
politik atau sekelompok aktor, berkenan tujuan yang telah dipilih
beserta cara-cara untuk mencapainya dalam suatu situasi. Keputusan-
keputusan itu pada prinsipnya masih berada dalam batas-batas
kewenangan kekuasaan dari para aktor tersebut).
Pakar dari Perancis, Lemieux (Wahab 2015), merumuskan
kebijakan publik adalah:
“The product of activities aimed at the resoluition of public problems in the environment by political actors whose relationship are structured. The entire process evolves over time”
(produk aktivitas-aktivitas yang dimaksudkan untuk memecahkan masalah-masalah publik yang terjadi di lingkungan tertentu yang dilakukan oleh aktor-aktor politik yang hubungannya terstruktur. Keseluruhan proses aktivitas itu berlangsung sepanjang waktu).
Berdasarkan penjelasan-penjelasan tentang definisi ataupun
rumusan kebijakan publik sebagaimana dipaparkan di atas, tidak dapat
dipungkiri bahwa dalam setiap pembuatan kebijakan publik (public policy making) selalu saja melibatkan pemerintah. Semua kebijakan
yang disebut kebijakan publik selalu saja dalam proses pembuatannya
sejak digagas, dikembangkan, dirumuskan atau dibuat oleh instansi-
instansi pasti akan melibatkan baik secara langsung maupun tidak
pejabat-pejabat pemerintah, karena itu peran elit atau aktor
pemerintah selalu saja mewarnai setiap tahapan sebuah kebijakan
publik.
Jenis-Jenis Kebijakan Publik
Kebijakan publik adalah sebuah keputusan yang dibuat oleh
lembaga publik dengan tujuan untuk mendistribusikan sumber daya
nasional demi kebaikan dan kesejahteraan publik. Salah satu contoh
konkrit yang dapat kita lihat dipraktekkan oleh pemerintah adalah
distribusi pajak sebagai pendapatan yang sah dan diterima pemerintah,
dari pendapatan tersebut kemudian didistribusikan kepada masyarakat
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
66
dalam wujud program pembangunan maupun program pendidikan dan
kesehatan.
Selain pendistribusian sumber daya nasional tujuan dari
kebijakan publik juga untuk meregulasi, meliberasi dan menderegulasi.
Kebijakan regulatif seperti meregulasi, memerintah, menciptakan
kontrol, menstandarisasi, melegalisasi, dan menyelaraskan. Sebagian
besar dari kebijakan publik tujuannya seperti itu. Sedangkan kebijakan
deregulasi adalah kebijakan yang melepaskan, melonggarkan,
menghentikan, atau membebaskan kebijakan regulatif apapun.
Tujuan lain dari kebijakan publik adalah stabilisasi ketika
pemerintahan yang mengalami dinamika politik berpotensi kekacauan,
maka kebijakan untuk menstabilitasi keadaan sangat dibutuhkan.
Kebijakan ini pernah diterapkan oleh presiden Republik Indonesia
yang kedua dimana pada saat memulai kepemimpinannya, kondisi
Negara Indonesia sangat kacau karena pada saman Orde Lama setiap
kabinet usianya rata-rata berganti hanya dalam waktu tiga bulan.
Ketika Soeharto mengambil alih pucuk pimpinan sejak tahun 1966,
semua kebijakan yang dilakukan selama masa kepresidenannya selalu
didasarkan pada tujuan menjaga kestabilan nasional. Apa yang
dilakukan Soeharto ternyata sangat efektif karena selama ia berkuasa,
tidak pernah lagi terjadi pergantian kabinet dalam waktu relatif singkat
tetapi semua kabinet di Indonesia berjalan selama lima tahun sesuai
masa bakti satu periode.
Tujuan terakhir dari kebijakan publik yang diterapkan di
sebuah negara adalah untuk memperkuat negara serta memperkuat
pasar. Kebijakan memperkuat pasar secara global diterima sebagai
liberalisasi, tentu saja pasar adalah kunci bagi gaya penggerak untuk
pertumbuhan ekonomi di seluruh dunia (Nugroho 2014: 60).
Dari penjelasan tersebut di atas maka sebagai rangkuman dapat
ditarik kesimpulan bahwa tujuan dari kebijakan publik adalah: a)
Untuk mendistribusikan pajak, b) Untuk meregulasi dan meliberasi
serta menderegulasi sebuah keputusan, c) Untuk menstabilkan
keadaan, dan d) Untuk memperkuat negara dan memperkuat pasar.
Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik
67
Dengan mengembangkan tujuan menjadi ide di belakang
tujuan, dapat dibuat sebuah alur pikir tentang ide di belakang tujuan
itu. Apabila agendanya adalah tentang alokasi sumber daya, tujuannya
akan menjadi “untuk mendistribusikan”. Jika agendanya tentang gaya,
maka tujuannya akan menjadi “untuk menstabilkan”, dan jika
agendanya adalah tentang fokus, tujuannya akan menjadi “untuk
memperkuat negara atau mempekuat pasar”. Dari tujuan-tujuan
tersebut tergantung pula pada siapa tujuan utama kebijakan dimaksud
diarahkan, apakah kepada negara ataukah masyarakat.
Berdasarkan tujuannya, maka kebijakan publik secara umum
dikelompokkan dalam empat jenis kebijakan publik yaitu: Pertama,
kebijakan formal, kedua, kebiasaan umum lembaga publik yang telah
diterima bersama(konvensi), ketiga, pernyataan pejabat publik dalam
forum publik, dan keempat adalah perilaku pejabat publik.
Kebijakan formal adalah keputusan-keputusan yang
dikodifikasikan secara tertulis dan disahkan atau diformalkan agar
dapat berlaku. Kebijakan publik yang diformalkan dalam bentuk legal-
legal tidak senantiasa identik dengan hukum. Untuk kebijakan formal
di Indonesia dikelompokkan dalam tiga bagian yakni: 1. Perundang-
undangan, 2. Hukum, 3. Regulasi.
Perundang-undangan adalah kebijakan publik dalam hubungan
dengan usaha-usaha pembangunan negara baik berkenaan dengan
negara (nation) ataupun masyarakat/rakyat (society). James E.
Anderson (Wijayanti, 2013: 3-4), mengelompokkan jenis-jenis
kebijakan publik sebagai berikut:
a) Substantive policy and Procedural Policies.
Substantive Policy adalah suatu kebijakan dilihat dari substansi
masalah yang dihadapi oleh pemerintah. Misalnya: kebijakan
pendidikan, kebijakan ekonomi, dan lain-lain. Sedangkan procedural policy adalah suatu kebijakan dilihat dari pihak-pihak yang terlibat
dalam perumusannya (Policy Stakeholder). Sebagai contoh: dalam
pembuatan suatu kebijakan publik, meskipun ada instansi/organisasi
pemerintah yang secara fungsional berwenang membuatnya,
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
68
misalnya undang-undang tentang pendidikan, yang berwenang
membuat adalah departemen pendidikan nasional, tetapi dalam
pelaksanaan pembuatannya, banyak instansi/organisasi lain yang
terlibat, baik instansi/organisasi pemerintah maupun organisasi
bukan pemerintah, yaitu antara lain DPR, Departemen Kehakiman,
Departemen Tenaga Kerja, Persatuan Guru Indonesia (PGRI), dan
Presiden yang mengesahkan undang-undang tersebut.
Instansi/organisasi-organisasi yang terlibat tersebut disebut policy stakeholder.
b) Distributive, Redistributive, and Regulatory Policies
Distributive policy merupakan suatu kebijakan yang mengatur
tentang pemberian pelayanan/keuntungan kepada individu-individu,
kelompok-kelompok, atau perusahaan perusahaan. Contoh: kebijakan
tentang tax holiday. Redistributive policy adalah suatu kebijakan yang
mengatur tentang pemindahan alokasi kekayaan, pemilikan, atau hak-
hak. Contoh: kebijakan tentang pembebasan tanah untuk kepentingan
umum. Sedangkan regulatory policy adalah suatu kebijakan yang
mengatur tentang pembatasan/pelarangan terhadap perbuatan ataupun
tindakan. Contoh: kebijakan tentang larangan memiliki dan
menggunakan senjata api.
c) Material Policy merupakan suatu kebijakan yang mengatur tentang
pengalokasian/penyediaan sumber-sumber material yang nyata bagi
penerimanya. Contoh: kebijakan pembuatan rumah sederhana.
d) Public Goods and Private Goods Policies.
Public goods policy adalah suatu kebijakan yang mengatur
tentang penyediaan barang-barang/pelayanan-pelayanan oleh
pemerintah, untuk kepentingan orang banyak. Contoh: kebijakan
tentang perlindungan keamanan, penyediaan jalan umum. Private goods policy adalah suatu kebijakan yang mengatur tentang
penyediaan barang-barang/pelayanan oleh pihak swasta, untuk
kepentingan individu-individu (perorangan) di pasar bebas, dengan
imbalan biaya tertentu. Contoh: kebijakan pengadaan barang-
Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik
69
barang/pelayanan untuk keperluan perorangan, misalnya tempat
hiburan, hotel, dan lain-lain.
Dalam praktek pembuatan kebijakan publik yang selama ini
dilakukan oleh pemerintah ternyata memiliki tingkatan dalam setiap
kebijakan publik mulai dari pusat sampai ke daerah-daerah. Mengenai
tingkat-tingkat kebijakan publik di Indonesia, Lembaga Administrasi
Negara (1997), mengemukakan sebagai berikut:
a) Lingkup Nasional terbagi dalam beberapa kebijakan
Pertama, kebijakan nasional adalah kebijakan negara yang
bersifat fundamental dan strategis dalam pencapaian tujuan
nasional/negara sebagaimana tertera dalam Pembukaan UUD 1945.
Penetapan tersebut yang berwenang menetapkan kebijakan nasional
adalah MPR, Presiden, dan DPR. Kebijakan nasional yang dituangkan
dalam peraturan perundang-undangan dapat berbentuk: UUD,
Ketetapan MPR, Undang-undang (UU), Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang (PERPU).
Kedua, kebijakan umum adalah kebijakan presiden sebagai
pelaksanaan UUD, TAP MPR, UU untuk mencapai tujuan
nasional. Pejabat yang berwenang menetapkan kebijakan umum
adalah Presiden. Kebijakan umum yang tertulis dapat berbentuk
Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Presiden (KEPPRES),
Instruksi Presiden (INPRES).
Ketiga, kebijaksanaan pelaksanaan adalah merupakan
penjabaran dari kebijakan umum sebagai strategi pelaksanaan tugas di
bidang tertentu. Pejabat yang berwenang menetapkan kebijakan
pelaksanaan adalah menteri/pejabat setingkat menteri dan pimpinan
lembaga pemerintah non departemen (LPND). Kebijakan pelaksanaan
yang tertulis dapat berbentuk peraturan, keputusan, dan instruksi
pejabat tersebut di atas.
b) Lingkup wilayah daerah
Pertama, kebijakan umum pada lingkup daerah adalah
kebijakan pemerintah daerah sebagai pelaksanaan azas desentralisasi
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
70
dalam rangka mengatur urusan rumah tangga daerah. Pejabat yang
berwenang menetapkan kebijakan umum di daerah provinsi adalah
Gubernur dan DPRD Provinsi. Pada Daerah Kabupaten/Kota
ditetapkan oleh Bupati/Walikota dan DPRD Kabupaten/Kota.
Kebijakan umum pada tingkat Daerah dapat berbentuk Peraturan
Daerah (PERDA) Provinsi dan PERDA Kabupaten/Kota.
Kedua, kebijakan pelaksanaan pada lingkup wilayah/daerah ada
tiga macam, yaitu: Kebijakan pelaksanaan dalam rangka desentralisasi
merupakan realisasi pelaksanaan perda. Kebijakan pelaksanaan dalam
rangka dekonsentrasi merupakan pelaksanaan kebijakan nasional di
daerah. Kebijakan pelaksanaan dalam rangka tugas pembantuan
merupakan pelaksanaan tugas pemerintah pusat di daerah yang
diselenggarakan oleh pemerintah daerah. Pejabat yang berwenang
menetapkan kebijakan pelaksanaan adalah:
1) Dalam rangka desentralisasi adalah Gubernur/Bupati/Walikota;
2) Dalam rangka dekonsentrasi adalah Gubernur/Bupati/Walikota;
3) Dalam rangka tugas pembantuan adalah Gubernur/
Bupati/Walikota.
4) Dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dan tugas pembantuan
berupa keputusan-keputusan Gubernur/Bupati/Walikota.
5) Dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi berbentuk Keputusan
Gubernur/Bupati/Walikota.
Tahap-tahap Kebijakan Publik
Tahap-tahap atau proses pembuatan kebijakan dapat
divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung yang
diatur menurut urutan waktu: penyusunan agenda, formulasi
kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian
kebijakan. Berikut gambar dari tahapan dalam proses pembuatan
kebijakan publik:
Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik
71
Sumber Dunn (2003:25)
Gambar 2. 4 Tahap-tahap dalam Proses Pembuatan Kebijakan Publik
1. Perumusan Masalah
Perumusan masalah dapat memasok pengetahuan yang relevan
dengan kebijakan yang mempersoalkan asumsi-asumsi yang mendasari
definisi masalah dan memasuki proses pembuatan kebijakan melalui
penyusunan agenda (agenda setting). Perumusan masalah dapat
membantu menemukan asumsi-asumsi yang tersembunyi,
mendiagnosis penyebab-penyebabnya, memetakan tujuan-tujuan yang
memungkinkan, memadukan pandangan-pandangan yang
bertentangan, dan merancang peluang-peluang kebijakan yang baru.
2. Peramalan
Peramalan dapat menyediakan pengetahuan yang relevan dengan
kebijakan tentang masalah yang akan terjadi di masa mendatang
sebagai akibat dari diambilnya alternatif, termasuk tidak melakukan
sesuatu. Ini dilakukan dalam tahap formulasi kebijakan. Peramalan
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
72
dapat menguji masa depan yang plausible, potensial dan secara
normatif bernilai, mengestimasi akibat dari kebijakan yang ada atau
yang diusulkan, mengendali kendala-kendala yang mungkin akan
terjadi dalam pencapaian tujuan, dan mengestimasi kelayakan politik
(dukungan dan oposisi) dari berbagai pilihan.
3. Rekomendasi
Rekomendasi membuahkan pengetahuan yang relevan dengan
kebijakan tentang manfaat atau biaya dari berbagai alternatif yang
akibatnya di masa mendatang telah diestimasikan melalui peramalan.
Ini membantu pengambil kebijakan pada tahap adopsi kebijakan. Rekomendasi membantu mengestimasi tingkat risiko dan
ketidakpastian, mengenali eksternalitas dan akibat ganda, menentukan
kriteria dalam membuat pilihan, dan menentukan pertanggungjawaban
administratif bagi implementasi kebijakan.
4. Pemantauan
Pemantauan (monitoring) menyediakan pengetahuan yang
relevan dengan kebijakan tentang akibat dari kebijakan yang diambil
sebelumnya. Ini membantu pengambil kebijakan dalam tahap
implementasi kebijakan. Banyak badan secara teratur memantau hasil
dan dampak kebijakan dengan menggunakan berbagai indikator
kebijakan di bidang kesehatan, pendidikan, perumahan, kesejahteraan,
kriminalitas, ilmu dan teknologi. Pemantauan membantu menilai
tingkat kepatuhan, menemukan akibat-akibat yang tidak diinginkan
dari kebijakan dan program, mengidentifikasi hambatan dan rintangan
implementasi, dan menemukan letak pihak-pihak yang bertanggung
jawab pada setiap tahapan kebijakan.
5. Evaluasi
Evaluasi membuahkan pengetahuan yang relevan dengan
kebijakan tentang ketidaksesuaian antara kinerja kebijakan yang
diharapkan dengan benar-benar dihasilkan. Jadi ini membantu
pengambilan kebijakan pada tahap penilaian kebijakan terhadap proses
pembuatan kebijakan. Evaluasi tidak hanya menghasilkan kesimpulan
mengenai seberapa jauh masalah telah terselesaikan; tetapi juga
Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik
73
menyumbang pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-ninlai yang
mendasari kebijakan, membantu dalam penyesuaian dan perumusan
kembali masalah (Dunn, 2003: 25-29).
Implementasi Kebijakan Publik
Studi kebijakan publik terdiri dari dua bagian besar yaitu
analisis kebijakan publik dan proses kebijakan publik. Salah satu bagian
dari proses kebijakan publik adalah implementasi kebijakan publik.
Bagian analisis kebijakan publik biasanya mengkaji hubungan antara
suatu kebijakan dengan masalah, isi dari kebijakan, mengkaji apa yang
dilakukan dan tidak dilakukan oleh pembuat kebijakan, serta
konsekuensi yang akan tercipta (output) dari suatu kebijakan. Analisis
kebijakan pada dasarnya merupakan bentuk perekayasaan dan
perbaikan terhadap suatu kebijakan (Parson, 2008: 19-31).
Pada bagian proses kebijakan publik, kebijakan publik
dipandang sebagai sebuah proses. Artinya, kebijakan publik akan
dilihat berdasarkan tingkatan praktisnya, yaitu bagaimana kebijakan
dibuat, diimplementasikan dan pada akhirnya kebijakan harus
melakukan perubahan-perubahan tertentu. Banyak pakar yang
menawarkan bentuk dari proses kebijakan ini, tetapi dari sebagian
banyak tawaran itu Jones menyimpulkan bahwa pada dasarnya semua
bentuk proses itu dapat dikelompokkan menjadi empat tahap, yaitu: a,
tahap bagaimana masalah-masalah yang ada bisa masuk ke ruang
publik. b, tahap bagaimana pemerintah melakukan tindakan-tindakan
konkret menyikapi masalah tersebut. c, tahap dimana tindakan-
tindakan pemerintah itu masuk ke masalah di lapangan. d, tahap
dimana kebijakan kembali ke pemerintah agar ditinjau kembali dan
diadakan perubahan-perubahan yang dianggap mungkin (Putra,
2003:26-32).
Penggunaan istilah implementasi pertama kali digunakan oleh
Harold Lasswell (1956), lewat bukunya The Decision Process: Seven Categories of Functional Analysis. Sebagai ilmuwan yang pertama kali
mengembangkan studi tentang kebijakan publik, Lasswell menggagas
suatu pendekatan yang ia sebut sebagai pendekatan proses (policy
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
74
process approach). Menurutnya, agar ilmuwan memperoleh
pemahaman yang baik tentang apa sesungguhnya kebijakan publik,
maka kebijakan publik harus diurai menjadi beberapa bagian sebagai
tahapan-tahapan, yaitu: agenda-setting, formulasi, legitimasi,
implementasi, evaluasi, reformulasi dan terminasi. Dari siklus tersebut
terlihat secara jelas bahwa implementasi hanyalah bagian atau salah
satu tahap dari proses besar bagaimana suatu kebijakan publik
dirumuskan (Purwanto, 2012:17).
Istilah implementasi oleh Laswell digunakan hanya untuk
menunjukkan bahwa implementasi merupakan salah satu tahapan
dalam proses besar kebijakan publik, Laswell belum memberi
penekanan secara khusus tentang arti pentingnya implementasi. Tetapi
dalam perkembangannya istilah implementasi kemudian menjadi suatu
konsep yang mulai dikenal dalam disipilin ilmu politik, ilmu
administrasi publik dan lebih khusus lagi dalam ilmu kebijakan publik
yang dikembangkan. Dalam perkembangan studi implementasi
kebijakan publik selanjutnya Jeffrey Pressman dan Aaron Wildavsky
(1973), merupakan dua ilmuwan pertama yang secara eksplisit
menggunakan konsep implementasi untuk menjelaskan fenomena
kegagalan suatu kebijakan dalam mencapai sasarannya. Hal inilah yang
menjadikan kedua ahli ini layak diberikan kredit besar sebagai pionir
dalam pengembangan studi implementasi kebijakan publik. Menurut
mereka, implementasi dimaknai dengan beberapa kata kunci sebagai
berikut: untuk menjalankan kebijakan (to carry out), untuk memenuhi
janji-janji sebagaimana dinyatakan dalam dokumen kebijakan (to fulfill), untuk menghasilkan output sebagaimana dinyatakan dalam
tujuan kebijakan (to produce), untuk menyelesaikan misi yang harus
diwujudkan dalam tujuan kebijakan (to complete) (Purwanto, 2012:17-
20).
Setelah dirintis oleh dua sarjana ini, konsep implementasi
kemudian mulai dikenal luas dan mulai didalami oleh para ilmuwan
kebijakan publik. Mazmanian dan Sabatier (Nugroho, 2006:119),
mengemukakan bahwa implementasi adalah upaya melaksanakan
Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik
75
keputusan kebijakan. Mereka berdua menyampaikan pemikirannya
dengan mengemukakan:
“implementation is the carrying out of basic policy decision, usually incorporated in a statute but which can also take the form of important executives oders or court decision. Ideally that decision identifies the problem(s) to be addressed, stipulates the objective(s) to be pursued, and, in a variety of ways, “structures” the implementation process.”
Berdasarkan pengertian tersebut implementasi dapat diartikan
sebagai pelaksanaan keputusan dasar yang biasanya dituangkan dalam
bentuk undang-undang, keputusan pemerintah/eksekutif ataupun
keputusan badan peradilan. Biasanya keputusan tersebut meng-
identifikasi masalah yang dihadapi, tuntutan dalam berbagai bentuk
yang ingin dicapai serta struktur dari proses implementasi.
Menurut Robert Nakamura dan Frank Smallwood (1980), hal-
hal yang berhubungan dengan implementasi kebijakan adalah
keberhasilan dalam mengevaluasi masalah dan kemudian
menerjemahkan ke dalam keputusan-keputusan yang bersifat khusus.
Sementara itu, Van Meter dan Van Horn membatasi implementasi
kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-
idividu atau kelompok-kelompok baik pemerintah maupun swasta
yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan
dalam keputusan kebijakan sebelumnya. Tindakan-tindakan ini
mencakup usaha-usaha untuk mengubah keputusan-keputusan
menjadi tindakan-tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu
maupun dalam rangka melanjutkan usaha-usaha untuk mencapai
perubahan-perubahan besar dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan-
keputusan kebijakan (Winarno, 2004: 102).
Agus Purwanto (2012), mengemukakan bahwa implementasi
intinya adalah kegiatan untuk mendistribusikan keluaran kebijakan (to deliver policy output) yang dilakukan oleh para implementer kepada
kelompok sasaran (target group) sebagai upaya untuk mewujudkan
tujuan kebijakan. Tujuan kebijakan diharapkan akan muncul manakala
policy output dapat diterima dan dimanfaatkan dengan baik oleh
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
76
kelompok sasaran sehingga dalam waktu jangka panjang hasil
kebijakan akan mampu diwujudkan (Purwanto, 2012: 21). Karena itu,
sebuah program kebijakan harus diimplementasikan agar mempunyai
dampak atau tujuan yang diinginkan.
Implementasi merupakan tahap yang krusial dalam proses
kebijakan publik. Implementasi merupakan tahapan atau serangkaian
kegiatan setelah suatu kebijakan dirumuskan. Tanpa suatu
implementasi maka suatu kebijakan yang telah dirumuskan akan sia-sia
belaka. Implementasi kebijakan merupakan hal yang paling berat,
karena di sini masalah-masalah yang kadang tidak dijumpai dalam
konsep, muncul di lapangan (Nugroho, 2006: 119). Dengan demikian
maka tahapan ini sangat penting untuk dikaji secara mendasar karena
terkadang antara perencanaan dan implementasi di lapangan jauh
berbeda, sehingga tingkat keberhasilan sebuah kebijakan publik dapat
dicapai sesuai tujuannya.
Teori Fungsionalisme Struktural
Talcott Parsons merupakan tokoh yang mendominasi teori
sosial sejak perang dunia kedua sampai pertengahan 1960-an. Menurut
Talcott Parsons teori fungsionalisme struktural adalah sesuatu yang
urgen dan sangat bermanfaat dalam suatu kajian tentang analisa
masalah sosial. Hal ini disebabkan karena studi struktur dan fungsi
masyarakat merupakan sebuah masalah sosiologis yang telah
menembus karya-karya para pelopor ilmu sosiologi dan para ahli teori
kontemporer. Secara garis besar fakta sosial yang menjadi pusat
perhatian sosiologi terdiri atas dua tipe yaitu struktur sosial dan
pranata sosial. Menurut teori fungsionalisme struktural, struktur sosial
dan pranata sosial tersebut berada dalam suatu sistem sosial yang
berdiri atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan
dan menyatu dalam keseimbangan.
Sebelum membahas teori fungsionalisme struktural Talcott
Parsons, ada baiknya bila kita membahas dahulu tentang asumsi-asumsi
dasar dari teori struktural fungsional yang menjadi dasar dari
Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik
77
pemikiran Talcott Parsons tersebut. Teori struktural fungsional berasal
dari pemikiran Emile Durkheim, dimana masyarakat dilihat sebagai
suatu sistem yang didalamnya terdapat sub-sub sistem yang masing-
masingnya mempunyai fungsi untuk mencapai keseimbangan dalam
masyarakat. Teori ini berada pada level makro yang memusatkan
perhatiannya pada struktur sosial dan institusi sosial berskala luas,
antar hubungannya, dan pengaruhnya terhadap masyarakat.
Sumbangsih Durkheim bagi struktur teoretis Parsons adalah pada
penyatuan sistem sosial, dimana masyarakat menjadi sebuah kesatuan
yang suci melalui keseimbangan dari masing-masing bagiannya.
Elemen-elemen dalam masyarakat menjadi saling tergantung dan
bersifat mengatur, untuk kebutuhan sistem.
Teori fungsionalisme struktural yang dibangun Talcott Parsons
dan dipengaruhi oleh para sosiolog Eropa menyebabkan teorinya itu
bersifat empiris, positivistis dan ideal. Pandangannya tentang tindakan
manusia itu bersifat voluntaristik, artinya karena tindakan itu
didasarkan pada dorongan kemauan, dengan mengindahkan nilai, ide
dan norma yang disepakati. Tindakan individu manusia memiliki
kebebasan untuk memilih sarana (alat) dan tujuan yang akan dicapai
itu dipengaruhi oleh lingkungan atau kondisi-kondisi, dan apa yang
dipilih tersebut dikendalikan oleh nilai dan norma. Prinsip-prinsip
pemikiran menurut Talcott Parsons, “tindakan individu manusia itu
diarahkan pada tujuan. Di samping itu, tindakan itu terjadi pada suatu
kondisi yang unsurnya sudah pasti, sedang unsur-unsur lainnya
digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan” (Ritzer, 2012: 178).
Secara normatif tindakan tersebut diatur berkenaan dengan
penentuan alat dan tujuan atau dengan kata lain dapat dinyatakan
bahwa tindakan itu dipandang sebagai kenyataan sosial yang terkecil
dan mendasar, yang unsur-unsurnya berupa alat, tujuan, situasi, dan
norma. Dengan demikian, dalam tindakan tersebut dapat digambarkan
yaitu individu sebagai pelaku dengan alat yang ada akan mencapai
tujuan dengan berbagai macam cara, yang juga individu itu
dipengaruhi oleh kondisi yang dapat membantu dalam memilih tujuan
yang akan dicapai, dengan bimbingan nilai dan ide serta norma. Selain
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
78
hal-hal tersebut di atas, tindakan individu manusia itu juga ditentukan
oleh orientasi subjektifnya, yaitu berupa orientasi motivasional dan
orientasi nilai. Perlu diketahui pula bahwa tindakan individu tersebut
dalam realisasinya terdapat berbagai macam karena adanya unsur-
unsur sebagaimana dikemukakan di atas.
Teori fungsionalisme struktural adalah sesuatu yang urgen dan
sangat bermanfaat dalam suatu kajian tentang analisa masalah sosial.
Hal ini disebabkan karena studi struktur dan fungsi masyarakat
merupakan sebuah masalah sosiologis yang telah menembus karya-
karya para pelopor ilmu sosiologi dan para ahli teori kontemporer.
Secara garis besar fakta sosial yang menjadi pusat perhatian sosiologi
terdiri atas dua tipe yaitu struktur sosial dan pranata sosial. Menurut
teori fungsionalisme struktural, struktur sosial dan pranata sosial
tersebut berada dalam suatu sistem sosial yang berdiri atas bagian-
bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan menyatu dalam
keseimbangan.
Pada prinsipnya teori fungsionalisme struktural menekankan
kepada keteraturan dan mengabaikan konflik dan perubahan-
perubahan dalam masyarakat. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap
struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap yang lain tanpa ada
pertentangan, sebaliknya kalau tidak fungsional maka struktur itu tidak
akan ada atau hilang dengan sendirinya. Sistem memiliki properti
keteraturan dan bagian-bagian yang tergantung. Sistem cenderung
bergerak ke arah mempertahankan keteraturan diri atau
keseimbangan. Sifat dasar bagian suatu sistemsberpengaruh terhadap
bentuk bagian-bagian lain. SistemSmemelihara batas-batas dengan
lingkungan. Alokasi dan integrasi merupakan dua proses fundamental
yang diperlukan untuk memelihara keseimbangan sistem. Sistem
cenderung menjaga keseimbangan meliputi: pemeliharaan batas dan
pemeliharaan hubungan antara bagian dengan keseluruhan sistem,
mengendalikan lingkungan yang berbeda dan mengendalikan
kecenderungan untuk merubah sistem dari dalam.
Asumsi dasar dari teori fungsionalisme struktural, yaitu bahwa
masyarakat terintegrasi atas dasar kesepakatan dari para anggotanya
Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik
79
akan nilai-nilai kemasyarakatan tertentu yang mempunyai kemampuan
mengatasi perbedaan-perbedaan sehingga masyarakat tersebut
dipandang sebagai suatu sistem yang secara fungsional terintegrasi
dalam suatu keseimbangan. Dengan demikian masyarakat merupakan
kumpulan sistem-sistem sosial yang satu sama lain berhubungan dan
saling ketergantungan.
Alokasi dan integrasi merupakan dua proses fundamental yang
diperlukan untuk memelihara keseimbangan sistem. Sistem cenderung
menjaga keseimbangan meliputi: pemeliharaan batas dan pemeliharaan
hubungan antara bagian dengan keseluruhan sistem, mengendalikan
lingkungan yang berbeda dan mengendalikan kecenderungan untuk
merubah sistem dari dalam. Teori fungsionalisme struktural
merupakan integritas sistem yang bisa melibatkan sesuatu dari
ketergantungan total bagian-bagiannya terhadap satu sama lain kepada
ketidaktergantungan yang komparatif (Baut, 1992: 76).
Fungsionalisme struktural sering menggunakan konsep sistem
ketika membahas struktur atau lembaga sosial. Sistem ialah organisasi
dari keseluruhan bagian-bagian yang saling tergantung, yang
mengartikan bahwa fungionalisme struktural terdiri dari bagian yang
sesuai, rapih, teratur, dan saling bergantung. Seperti layaknya sebuah
sistem, maka struktur yang terdapat di masyarakat akan memiliki
kemungkinan untuk selalu dapat berubah. Karena sistem cenderung ke
arah keseimbangan maka perubahan tersebut selalu merupakan proses
yang terjadi secara perlahan hingga mencapai posisi yang seimbang dan
hal itu akan terus berjalan seiring dengan perkembangan kehidupan
manusia. Penganut teori fungsionalisme Struktural selalu menganggap
bahwa segala pranata sosial yang ada di masyarakat mempunyai fungsi
positif dan negatif.
Gans (1972) menilai bahwa kemiskinan mempunyai empat
kriteria fungsi yaitu fungsi sosial, kultural dan ekonomi. Implikasi dari
pendapat Gans tentang kemiskinan bahwa jika orang ingin
menyingkirkan kemiskinan, maka orang harus mampu mencari
alternatif untuk orang miskin berupa aneka macam fungsi baru. Dalam
hal ini kemiskinan akan lenyap melalui dua cara yaitu: pertama bila
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
80
kemiskinan itu sudah sedemikian tidak berfungsi lagi bagi
kemakmuran, kedua bila orang miskin berusaha sekuat tenaga untuk
mengubah sistem yang dominan dalam stratifikasi sosial. Dalam
perubahan tersebut orang miskin perlu cara yang benar-benar
menanggulangi kemiskinan (Ritzer & Dougles, 2005: 89).
Teori merupakan suatu usaha untuk menjelaskan pengalaman
sehari-hari kita mengenai dunia, pengalaman kita yang terdekat dalam
kaitannya dengan sesuatu yang tidak begitu dekat yang terjadi pada
orang lain, pengalaman masa lalu, serta emosi-emosi yang bisa kita
nalarkan. Dalam proses penjelasan, penerangan serta pemahaman
pengalaman, ide-ide serta masalah-masalah yang ada secara lebih
sistematis disebut teori sosial.
Teori Fungsionalisme Struktural milik Talcott Parsons
merupakan penilaian tentang masalah, kejadian, fakta serta
pengalaman-pengalaman yang menekankan pada keteraturan,
keseimbangan sebuah sistem yang ada di masyarakat atau lembaga.
Talcott Parsons menolak adanya konflik di dalam masyarakat. Karena
Talcott Parsons berpikir bahwa masalah-masalah sosial yang ada di
masyarakat merupakan masalah-masalah yang mempunyai fungsi
positif maupun fungsi negatif. Sehingga sistem-sistem yang ada di
masyarakat maupun lembaga-lembaga masyarakat mempunyai peran
serta fungsinya masing-masing.
Talcott Parsons dalam menguraikan teori ini menjadi sub-
sistem yang berkaitan menjelaskan bahwa di antara hubungan
fungsional-struktural cenderung memiliki empat tekanan yang berbeda
dan terorganisir secara simbolis: pencarian pemuasan psikis,
kepentingan dalam menguraikan pengertian-pengertian simbolis,
kebutuhan untuk beradaptasi dengan lingkungan organis-fisis, dan
usaha untuk berhubungan dengan anggota-anggota makhluk manusia
lainnya.
Sebaliknya masing-masing sub-sistem itu, harus memiliki
empat prasyarat fungsional yang harus mereka adakan sehingga bias
diklasifikasikan sebagai suatu sistem. Parsons menekankan saling
Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik
81
ketergantungan masing-masing sistem itu ketika dia menyatakan
:“secara konkrit, setiap sistem empiris mencakup keseluruhan, dengan
demikian tidak ada individu kongkrit yang tidak merupakan sebuah
organisme, kepribadian, anggota dan sistem sosial, dan peserta dalam
sistem cultural.”
Walaupun Fungsionalisme Struktural memiliki banyak pemuka
yang tidak selalu harus merupakan ahli-ahli pemikir teori, akan tetapi
paham ini benar-benar berpendapat bahwa sosiologi adalah merupakan
suatu studi tentang struktur-struktur sosial sebagai unit-unit yang
terbentuk atas bagian-bagian yang saling tergantung.
Fungsionalisme struktural sering menggunakan konsep sistem
ketika membahas struktur atau lembaga sosial. Sistem ialah organisasi
dari keseluruhan bagian-bagian yang saling tergantung yang
mengartikan bahwa fungionalisme struktural terdiri dari bagian yang
sesuai, rapih, teratur, dan saling bergantung (Ritzer, 1992: 98). Seperti
layaknya sebuah sistem, maka struktur yang terdapat di masyarakat
akan memiliki kemungkinan untuk selalu dapat berubah. Karena
sistem cenderung ke arah keseimbangan maka perubahan tersebut
selalu merupakan proses yang terjadi secara perlahan hingga mencapai
posisi yang seimbang dan hal itu akan terus berjalan seiring dengan
perkembangan kehidupan manusia.
Teori Fungsionalisme Struktural meyakini bahwa perubahan
sosial yang terjadi dalam masyarakat merupakan upaya masyarakat
guna mencapai keseimbangan atau kestabilan baru. Dalam berbagai
kondisi, masyarakat berupaya beradaptasi dan menyusun kembali
dirinya hingga menemukan keseimbangan baru yang lebih mantap.
Merton dalam George Ritzer (2007: 139) mendefinisikan fungsi sebagai
berikut:
Fungsi sebagai konsekuensi-konsekuensi yang dapat diamati yang menimbulkan adaptasi atau penyesuaian dari sistem tertentu. Robert K. Merton juga menyatakan bahwa konsekuensi-konsekuensi objektif dari individu dalam perilaku dapat bersifat fungsional dan dapat pula bersifat disfungsional. Konsekuensi tersebut dapat mengarah kepada integrasi dan keseimbangan yang bersifat fungsional namun
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
82
dapat juga bersifat disfungsional yang akan memperlemah integrasi.
Konsekuensi-konsekuensi objektif yang bersifat disfungsional
akan menyebabkan timbulnya ketegangan atau pertentangan dalam
sistem sosial. Ketegangan tersebut muncul akibat adanya saling
berhadapan antara konsekuensi yang bersifat disfungsional. Dengan
adanya ketegangan tersebut maka akan mengundang munculnya
stuktur dari yang bersifat alternatif sebagai subsistem untuk
menetralisasi ketegangan. Ketegangan-ketegangan yang
mengakibatkan adanya struktur-struktur baru akan berarti bahwa
konsekuensi objektif yang bersifat disfungsional itu akan
mengakibatkan adanya perubahan-perubahan sosial. Disamping itu
disfungsi juga akan menyebabkan timbulnya masalah sosial. Kenyataan
tersebut juga mengandung arti timbulnya struktur-struktur baru yang
pada hakikatnya menunjukkan adanya perubahan sosial yang
mengarah pada tatanan dalam masyarakat.