bab ii kajian pustaka - sinta.unud.ac.id fileyang kreatif baik dalam menyiapkan kegiatan atau...
TRANSCRIPT
19
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Strategi pembelajaran merupakan salah satu komponen dalam sistem
pembelajaran. Dalam proses pembelajaran yang menjadi persoalan pokok ialah
bagaimana memilih dan menentukan strategi pembelajaran. Strategi pembelajaran
yang digunakan harus menimbulkan aktivitas belajar yang baik, aktif, kreatif,
efektif dan efisien, sehingga tujuan atau kompetensi pembelajaran dapat dicapai
secara maksimal.
Sejak diberlakukannya Kurikulum 2013 dengan pembelajaran tematik
integratif menggunakan pendekatan ilmiah (Kemdikbud, 2013b), menuntut guru
yang kreatif baik dalam menyiapkan kegiatan atau pengalaman belajar bagi anak,
juga dalam memilih kompetensi dari berbagai mata pelajaran dan mengaturnya
agar pembelajaran menjadi lebih bermakna, menarik, menyenangkan, dan utuh
(Sukayati dan Wulandari, 2009). Hal ini dapat dilakukan guru melalui strategi
penggalian tema pembelajaran yang dekat dengan lingkungan anak, bermakna,
menarik, dan inspiratif (Depdiknas, 2006b), termasuk di antaranya
mengintegrasikan materi pendidikan kesehatan ke dalam tema pembelajaran.
Pendidikan kesehatan sangat dibutuhkan siswa, bermanfaat dan sangat dekat
dengan kehidupan sehari-hari siswa, sehingga bermakna dan menarik untuk
dipelajari.
19
2.1 Anak Usia Sekolah Dasar
2.1.1 Karakteristik anak usia sekolah dasar
Manusia dalam perkembangannya ada beberapa tahapan yang harus dilalui,
mulai dari masa kanak-kanak, remaja sampai dewasa. Salah satu tahapan yang
harus dilalui manusia dan berpengaruh terhadap manusia baik secara fisik
maupun secara psikologis adalah masa kanak-kanak, karena pada masa kanak-
kanak ini adalah pondasi dari kehidupannya kelak agar menjadi manusia yang
berkualitas. Menurut Wong dkk., (2009), anak pada usia 6-12 tahun disebut anak
usia sekolah, yang artinya sekolah menjadi pengalaman inti anak. Pada awal usia
6 tahun anak mulai masuk sekolah. Dengan demikian anak-anak ini masuk ke
dalam dunia baru, mereka mulai banyak berhubungan dengan orang-orang di luar
keluarganya, dan berkenalan pula dengan suasana dan lingkungan baru dalam
kehidupannya (Setiawan, 2010).
Anak-anak usia sekolah memiliki karakteristik yang berbeda dengan anak-
anak yang usianya lebih muda, ia senang bermain, senang bergerak, senang
bekerja dalam kelompok, senang merasakan atau melakukan sesuatu secara
langsung (Kurniawan, 2011; Desmita, 2011). Orang tua dan guru perlu
mengetahui karakteristik anak di usia SD. Hal ini penting agar orang tua dan guru
dapat membantu mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan anak didik
melalui pendidikan dan pembelajaran. Guru di sekolah harus dapat menerapkan
metode pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik siswanya. Adapun
karakeristik peserta didik usia SDadalah sebagai berikut.
1. Karakteristik pertama senang bermain. Karakteristik ini menuntut guru SD
untuk melaksanakan kegiatan pendidikan yang bermuatan permainan lebih-
lebih untuk kelas rendah. Guru SD seyogyanya merancang model
pembelajaran yang memungkinkan adanya unsur permainan didalamnya.
2. Karakteristik kedua senang bergerak. Orang dewasa dapat duduk berjam-jam,
sedangkan anak usia SD dapat duduk dengan tenang paling lama sekitar 30
menit. Oleh karena itu, guru hendaknya merancang model pembelajaran yang
memungkinkan anak berpindah atau bergerak. Menyuruh anak untuk duduk
rapi untuk jangka waktu yang lama, dirasakan anak sebagai siksaan.
3. Karakteristik ketiga senang bekerja dalam kelompok. Dari pergaulannya
dengan kelompok sebaya, anak belajar aspek-aspek yang penting dalam proses
sosialisasi. Guru harus merancang model pembelajaran yang memungkinkan
anak untuk bekerja atau belajar dalam kelompok.
4. Karakteristik keempat adalah senang merasakan atau melakukan/
memperagakan sesuatu secara langsung. Ditinjau dari teori perkembangan
kognitif, anak usia SD memasuki tahap operasional konkret. Dari apa yang
dipelajari di sekolah, ia belajar menghubungkan konsep-konsep baru dengan
konsep-konsep lama. Dengan demikian guru hendaknya merancang model
pembelajaran yang memungkinkan anak terlibat langsung dalam proses
pembelajaran.
(Sumantri dan Syaodih, 2007; Kurniawan, 2011; Desmita, 2011).
2.1.2 Tugas perkembangan anak usia sekolah dasar
Kaitan antara perkembangan dan belajar nampak dalam penggunaan
pengertian tugas perkembangan (developmental task). Penjelasan tentang tugas
perkembangan itu adalah sebagai berikut: suatu tugas yang dihadapi oleh individu
pada masa tertentu dalam hidupnya; kalau tugas itu dapat diselesaikan secara
memuaskan, akan memberikan rasa puas dan meletakkan dasar bagi penyelesaian
tugas-tugas lain di kemudian hari. Penyelesaian tugas-tugas itu, menuntut anak
belajar dan, karena itu, meningkatkan taraf perkembangannya; sekaligus, taraf
perkembangan yang lebih tinggi itu meletakkan dasar bagi penyelesaian tugas-
tugas perkembangan selanjutnya; sehingga memungkinkan belajar lebih lanjut
(Slavin, 2011).
Di samping memperhatikan karakteristik anak usia SD, implikasi pendidikan
dapat juga bertolak dari kebutuhan peserta didik. Pemaknaan kebutuhan anak usia
SD dapat diidentifikasi dari tugas-tugas perkembangannya. Oleh sebab itu, anak
harus diperlakukan sesuai dengan tahap-tahap perkembangannya. Mencermati
perkembangan anak dikaitkan dengan pembelajaran, tampaklah bahwa ada dua
hal yang perlu diperhatikan pada pendidikan anak, yakni: (1) materi pendidikan,
dan (2) metode pendidikan yang dipakai. Secara singkat dapat dikatakan bahwa
materi maupun metodologi pendidikan yang dipakai dalam rangka pendidikan
anak harus benar-benar memperhatikan tingkat perkembangan mereka.
Memperhatikan tingkat perkembangan berarti pula mempertimbangkan tugas
perkembangan mereka, karena setiap periode perkembangan juga mengemban
tugas perkembangan tertentu (Slavin, 2011). Menurut Havighurst sebagaimana
dikutip Hurlock (2002), tugas perkembangan anak usia SD adalah sebagai berikut.
1. Mempelajari keterampilan fisik yang diperlukan untuk permainan-permainan
yang umum. Hakikat dari tugas perkembangan ini adalah mempelajari
keterampilan-keterampilan yang bersifat fisik/jasmani untuk dapat melakukan
permainan.
2. Membangun sikap yang sehat mengenai diri sendiri sebagai makhluk yang
sedang tumbuh. Hakikat tugas perkembangan ini adalah belajar
mengembangkan sikap kebiasaan untuk hidup sehat.
3. Belajar menyesuaikan diri dengan teman-teman seusianya. Hakikat tugas
perkembangan ini adalah anak belajar memberi dan menerima dalam
kehidupan sosial antar teman sebaya, dan belajar membina persahabatan
dengan teman sebaya.
4. Mulai mengembangkan peran sosial pria atau wanita dengan tepat. Hakikat
tugas perkembangan ini adalah anak belajar dan bertindak sesuai dengan peran
jenis kelaminnya yaitu sebagai anak laki-laki atau anak perempuan.
5. Mengembangkan keterampilan-keterampilan dasar untuk membaca, menulis
dan berhitung. Hakikat tugas perkembangan ini adalah anak belajar
mengembangkan tiga keterampilan dasar yaitu membaca, menulis dan
berhitung yang diperlukan untuk hidup di masyarakat.
6. Mengembangkan pengertian-pengertian yang diperlukan untuk kehidupan
sehari-hari. Hakikat tugas perkembangan ini adalah anak harus mempelajari
berbagai konsep agar dapat berpikir efektif mengenai permasalahan sosial di
sekitar kehidupan sehari-hari.
7. Mengembangkan hati nurani, pengertian moral, serta tata dan tingkatan nilai.
Hakikat tugas perkembangan ini adalah mengembangkan moral yang bersifat
batiniah yaitu hati nurani, serta mengembangkan pemahaman dan sikap moral
terhadap peraturan dan tata nilai yang berlaku dalam kehidupan anak.
8. Mengembangkan sikap terhadap kelompok-kelompok sosial dan lembaga-
lembaga. Hakikat tugas perkembangan ini adalah mengembangkan sikap
sosial yang demokratis dan menghargai orang lain.
9. Mencapai kebebasan pribadi. Hakikat tugas perkembangan ini adalah anak
menjadi individu yang otonom atau bebas, dalam arti dapat membuat rencana
untuk masa sekarang dan masa yang akan datang, bebas dari pengaruh orang
tua atau orang lain.
2.1.3 Karakteristik anak usia sekolah dasar dan implikasinya terhadap
penyelenggaraan pendidikan di sekolah dasar
Pendidikan di SD merupakan jenjang pendidikan dasar yang berfungsi
sebagai peletakkan dasar-dasar keilmuan dan membantu mengoptimalkan
perkembangan anak melalui pembelajaran yang dibimbing oleh guru. Tujuan dari
proses pendidikan di SD adalah agar anak mampu memahami potensi diri,
peluang dan tuntutan lingkungan serta merencanakan masa depan melalui
pengambilan serangkaian keputusan yang paling mungkin bagi dirinya. Proses
pengembangan kemampuan yang paling mendasar setiap siswa, di mana setiap
siswa belajar secara aktif karena adanya dorongan dalam diri dan adanya suasana
yang memberikan kemudahan (kondusif) bagi perkembangan dirinya secara
optimal (Mirasa dkk., 2005 dalam Susanto, 2013).
Satu hal yang tidak boleh dilupakan oleh guru atau pendidik di SD adalah
guru hendaknya memahami karakteristik siswa yang akan diajarkan berada pada
masa pertumbuhan dan perkembangan yang pesat. Oleh karena itu, pada masa ini
seluruh potensi yang dimiliki anak perlu didorong sehingga akan berkembang
secara optimal. Pertumbuhan dan perkembangan siswa merupakan bagian
pengetahuan yang harus dimiliki oleh guru. Pentingnya mempelajari
perkembangan peserta didik atau siswa bagi guru adalah sebagai berikut.
1. Kita akan memperoleh ekspektasi yang nyata tentang anak dan remaja.
2. Pengetahuan tentang psikologi perkembangan anak membantu kita untuk
merespons sebagaimana mestinya pada perilaku tertentu pada seorang anak.
3. Pengetahuan tentang perkembangan anak akan membantu mengenali berbagai
penyimpangan dari perkembangan yang normal.
4. Dengan mempelajari perkembangan anak akan membantu memahami diri
sendiri.
(Sumantri, 2005 dalam Susanto, 2013).
Sesuai dengan karakteristik anak usia SD yang suka bermain, memiliki rasa
ingin tahu yang besar, mudah terpengaruh oleh lingkungan, dan gemar
membentuk kelompok sebaya. Oleh karena itu, pembelajaran di SD diusahakan
untuk terciptanya suasana yang kondusif dan menyenangkan. Untuk itu, guru
perlu memerhatikan beberapa prinsip pembelajaran yang diperlukan agar tercipta
suasana yang kondusif dan menyenangkan (Susanto, 2013). Beberapa prinsip
pembelajaran tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
1. Prinsip motivasi adalah upaya guru untuk menumbuhkan dorongan belajar,
baik dalam diri anak atau dari luar diri anak, sehingga anak belajar seoptimal
mungkin sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
2. Prinsip latar belakang adalah upaya guru dalam proses belajar mengajar
memerhatikan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang telah dimiliki anak
agar tidak terjadi pengulangan yang membosankan.
3. Prinsip pemusatan perhatian adalah usaha untuk memusatkan perhatian anak
dengan jalan mengajukan masalah yang hendak dipecahkan lebih terarah
untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai.
4. Prinsip keterpaduan, merupakan hal yang penting dalam pembelajaran. Oleh
karena itu, guru dalam menyampaikan materi hendaknya mengaitkan suatu
pokok bahasan dengan subpokok bahasan lain agar anak mendapat gambaran
keterpaduan dalam proses perolehan hasil belajar.
5. Prinsip pemecahan masalah adalah situasi belajar yang dihadapkan pada
masalah-masalah. Hal ini dimaksudkan agar anak peka dan juga mendorong
mereka untuk mencari, memilih, dan menentukan pemecahan masalah sesuai
dengan kemampuannya.
6. Prinsip menemukan adalah kegiatan menggali potensi yang dimiliki anak
untuk mencari, mengembangkan hasil perolehannya dalam bentuk fakta dan
informasi. Untuk itu, proses belajar mengajar yang mengembangkan potensi
anak tidak akan menyebabkan kebosanan.
7. Prinsip belajar sambil bekerja, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan
berdasarkan pengalaman untuk mengembangkan dan memperoleh pengalaman
baru. Pengalaman belajar yang diperoleh melalui bekerja tidak mudah
dilupakan oleh anak. Dengan demikian, proses belajar mengajar yang
memberi kesempatan kepada anak untuk bekerja, berbuat sesuatu akan
memupuk kepercayaan diri, gembira, dan puas karena kemampuannya
tersalurkan dengan melihat hasil kerjanya
8. Prinsip belajar sambil bermain, merupakan kegiatan yang dapat menimbulkan
suasana menyenangkan bagi siswa dalam belajar, karena dengan bermain
pengetahuan, keterampilan, sikap, dan daya fantasi anak berkembang. Suasana
demikian akan mendorong anak aktif dalam belajar.
9. Prinsip perbedaan individu, yakni upaya guru dalam proses belajar mengajar
yang memerhatikan perbedaan individu dari tingkat kecerdasan, sifat, dan
kebiasaan atau latar belakang keluarga. Hendaknya guru tidak memperlakukan
anak seolah-olah sama semua.
10. Prinsip hubungan sosial adalah sosialisasi anak yang sedang tumbuh yang
banyak dipengaruhi oleh lingkungan sosial. Kegiatan belajar hendaknya
dilakukan secara berkelompok untuk melatih anak menciptakan suasana dan
saling menghargai satu sama lainnya.
Kemampuan berpikir anak SD menurut teori Piaget berada pada tahap
berpikir operasional konkret. Anak mulai menunjukan perilaku belajar yang
memandang dunia secara objektif, bergeser dari satu aspek situasi ke aspek lain
secara reflektif, dan memandang unsur-unsur secara serentak, mulai membentuk
dan mempergunakan keterhubungan aturan-aturan, prinsip ilmiah sederhana, dan
mempergunakan hubungan sebab akibat. Dengan demikian, anak usia SD
memiliki kecenderungan dengan ciri-ciri konkret, integratif/holistik, dan hirarkis
(Sukayati dan Wulandari, 2009; Prastowo, 2013). Dengan kecenderungan belajar
demikian, maka peserta didik usia SD akan lebih mudah belajar melalui
pendekatan pembelajaran terpadu yang menekankan pada pengalaman dan
kebermaknaan bagi anak. Hal inilah yang menjadi salah satu spirit
diberlakukannya Kurikulum 2013, yaitu mengakomodasi karakteristik tumbuh-
kembang anak usia SD dan memfasilitasi kecenderungan cara belajar anak usia
sekolah.
2.1.4 Anak usia sekolah dasar sebagai population at risk
At risk dalam Kamus Inggris Indonesia berarti berisiko atau kemungkinan
mengalami kerugian (Echol dan Shadily, 2014). Sedangkan Isto mendefinisikan
risiko adalah bahaya yang dapat terjadi akibat sebuah proses yang sedang
berlangsung atau kejadian yang akan datang (Lubis, 2011). Population adalah
kumpulan orang yang memiliki kesamaan pribadi atau karakteristik yang terkait
dengan kesehatan (Maurer dan Smith, 2005). Dengan demikian population at risk
adalah kumpulan orang yang memiliki kesamaan karakteristik faktor risiko yang
berpotensi untuk mengalami penyakit dan kesakitan atau masalah kesehatan pada
periode tertentu (Clemen-Stone dkk., 2002). Menurut Stanhope dan Lancaster
(2004) karakteristik population at risk terdiri dari risiko biologis dan usia, sosial,
ekonomi, risiko gaya hidup, dan risiko kejadian hidup. Risiko biologis dan usia
berhubungan dengan faktor genetik serta faktor gaya hidup yang diterapkan oleh
individu. Risiko ekonomi terdiri dari kemampuan pemenuhan kebutuhan nutrisi,
tempat tinggal, berpakaian, pendidikan dan perawatan kesehatan. Risiko sosial
terdiri dari lingkungan sosial yang ada di sekitar individu seperti budaya, ras,
agama, tempat kerja, sekolah dan organisasi sosial. Risiko gaya hidup terkait
dengan nilai, kebiasaan dan persepsi dalam berperilaku sehat. Risiko kejadian
hidup berhubungan dengan transisi perubahan tahap tumbuh kembang menuju
tahap berikutnya, misalnya perubahan peran baru dalam keluarga atau perubahan
pola komunikasi.
Agregat anak usia sekolah sebagai kelompok usia berisiko (at risk) karena
kelompok ini berada pada tahap pertumbuhan dan perkembangan biologis,
psikologis, kognitif, dan psikososial. Penyebab kelompok anak usia sekolah
sebagai kelompok risiko berasal dari satu atau lebih faktor, sehingga kelompok
anak usia sekolah tersebut mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan.
Faktor-faktor yang dapat memengaruhi masalah kesehatan pada anak usia sekolah
adalah faktor risiko sosial ekonomi, faktor risiko perilaku, faktor risiko biologis,
dan faktor ketersediaan makanan (Saucier, 2009; Smith dan Maurer, 2009). Faktor
sosial ekonomi meliputi pendapatan, pendidikan, budaya dan agama, faktor
ketersediaan makanan termasuk kualitas, keamanan, dan jumlah terhadap
makanan, faktor risiko perilaku seperti gaya hidup, jenis aktivitas anak, pola
makan yang tidak sehat, sedangkan faktor biologis meliputi usia, jenis kelamin,
dan daya tahan tubuh.
Beberapa contoh kasus yang berhubungan dengan karakteritik anak usia
sekolah sebagai population at risk dijelaskan berikut ini. Anak usia sekolah
mempunyai risiko mengalami masalah gizi. Masalah gizi tersebut berupa gizi
kurang, buruk, maupun berlebih (Allender dan Spradley, 2005) karena keterkaitan
dengan fenomena pola makan anak. Hal ini didukung oleh beberapa pendapat
tentang adanya karakteristik pola makan anak seperti anak sekolah mempunyai
salah satu makanan favorit, kebiasaan jajan pada saat di sekolah maupun pulang
sekolah, buruk dalam pemilihan, adanya ketidakteraturan dalam pemilihan waktu
makan (Stanhope dan Lancaster, 2004; Muscary, 2001). Anak usia sekolah
semakin mandiri sehingga mereka lebih sering mengonsumsi makanan selingan di
luar rumah (Brown, 2005).
Anak sekolah sering mengabaikan sarapan. Ada kecenderungan perilaku
meniadakan sarapan di kalangan anak dan remaja (Rampersaud dkk., 2005;
Matthys dkk., 2006). Terdapat beberapa alasan yang menyebabkan siswa
melewatkan sarapan, di antaranya kesulitan bangun di pagi hari (Randler dan
Frech, 2009), tidak lapar, tidak ada yang menyiapkan makanan, tidak suka
makanan yang disiapkan, makanan tidak ada, dan sebagainya (Ozdogan, 2010).
Dari laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) dapat diketahui bahwa
perilaku sehat di kalangan anak usia sekolah masih rendah, antara lain (1) terjadi
peningkatan anak usia sekolah mulai merokok, (2) perilaku benar cuci tangan
masih rendah, dan (3) konsumsi sayur dan buah tergolong sangat rendah, (Depkes,
2008c; Kemenkes, 2010; Kemenkes, 2013). Perilaku tidak sehat ini berpotensi
memunculkan berbagai penyakit dan masalah kesehatan lainnya.
Perilaku tidak sehat lainnya yang banyak terjadi di kalangan anak usia
sekolah adalah kurang aktivitas fisik. Suatu data menunjukkan bahwa beberapa
tahun terakhir terlihat adanya perubahan gaya hidup yang menjurus pada
penurunan aktivitas fisik, seperti ke sekolah dengan naik kendaraan dan
kurangnya aktivitas bermain dengan teman serta lingkungan rumah yang tidak
memungkinkan anak-anak bermain di luar rumah, sehingga anak lebih senang
bermain komputer/games, nonton TV atau video dibanding melakukan aktivitas
fisik (Kiess dkk., 2004). Kurang aktivitas fisik menyebabkan kelebihan energi
akan disimpan dalam bentuk jaringan lemak (Guow dkk., 2010). Perilaku kurang
gerak (sedentary behavior) menimbulkan efek negatif terhadap kesehatan (Ochoa
dkk., 2007). Terdapat hubungan bermakna antara sedentary behavior dengan
obesitas (Duncan dkk., 2011; Mushtaq dkk., 2011; Yu dkk., 2012).
2.2 Strategi Pembelajaran
Pengertian strategi pembelajaran dapat dikaji dari dua kata pembentuknya,
yaitu strategi dan pembelajaran. Sehubungan dengan itu, sebelum diuraikan
pengertian strategi pembelajaran terlebih dahulu dikemukakan arti kata strategi
dan pembelajaran.
2.2.1 Makna strategi
Dalam bahasa Inggris, menurut Echol dan Shadily (2014) kata strategi berarti
ilmu siasat, siasat atau akal. Pada mulanya istilah strategi banyak digunakan
dalam dunia militer yang diartikan sebagai cara penggunaan seluruh kekuatan
militer untuk memenangkan suatu peperangan (Gulo, 2004; Majid, 2014).
Sekarang ini istilah strategi dipakai dalam berbagai bidang yang memiliki esensi
makna relatif sama. Secara umum, strategi mempunyai pengertian sebagai suatu
garis besar haluan dalam bertindak untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan.
Menurut Muhadjir (2000), strategi merupakan suatu penataan potensi dan sumber
daya agar dapat efisien dalam memperoleh hasil sesuai yang direncanakan.
Strategi merupakan pola umum rentetan kegiatan yang harus dilakukan untuk
mencapai tujuan tertentu (Sanjaya, 2010). Dikatakan pola umum, sebab suatu
strategi pada hakikatnya belum mengarah kepada hal-hal yang bersifat praktis,
masih berupa rencana atau gambaran menyeluruh. Menurut Pringgowidagda
(2002) menyatakan bahwa strategi diartikan suatu cara, teknik, taktik, atau siasat
yang dilakukan seseorang untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Joni
(1985) berpendapat bahwa strategi adalah ilmu atau kiat di dalam memanfaatkan
segala sumber yang dimiliki dan/atau yang dapat dikerahkan untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. Sedangkan menurut Surtikanti dan Santoso (2008)
strategi mempunyai pengertian suatu garis besar haluan untuk bertindak dalam
usaha mencapai sasaran yang telah ditentukan.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa strategi
merupakan suatu cara, teknik, taktik, siasat, kiat dan ilmu di dalam memanfaatkan
segala sumber yang berisi garis besar haluan yang dilakukan seseorang untuk
bertindak dalam rangka mecapai tujuan dan sasaran yang telah ditentukan.
2.2.2 Makna pembelajaran
Istilah pembelajaran berhubungan erat dengan pengertian belajar dan
mengajar. Belajar, mengajar dan pembelajaran terjadi bersama-sama. Belajar
dapat terjadi tanpa guru atau tanpa kegiatan mengajar dan pembelajaran formal
lain. Sedangkan mengajar meliputi segala hal yang guru lakukan di dalam kelas.
Pembelajaran pada hakikatnya sangat terkait dengan bagaimana membangun
interaksi yang baik antara dua komponen yaitu guru dan peserta didik. Interaksi
yang baik dapat digambarkan dengan suatu kondisi di mana guru dapat membuat
peserta didik belajar dengan mudah dan terdorong oleh kemauannya sendiri untuk
mempelajari apa yang ada dalam kurikulum sebagai kebutuhan mereka.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pengertian pembelajaran
adalah proses, cara menjadikan orang atau makhluk hidup belajar (Depdiknas,
2008a). Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional disebutkan pembelajaran adalah proses interaksi peserta
didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Banyak
definisi para ahli berkaitan dengan pembelajaran, di antaranya adalah Winkel
(2008) mengartikan pembelajaran sebagai seperangkat tindakan yang dirancang
untuk mendukung proses belajar peserta didik, dengan memperhitungkan
kejadian-kejadian eksternal yang berperan terhadap rangkaian kejadian-kejadian
internal yang berlangsung di dalam diri peserta didik. Dimyati dan Mudjiono
(2009) juga mengartikan pembelajaran sebagai kegiatan yang ditujukan untuk
membelajarkan siswa. Pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun
meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur
yang saling memengaruhi untuk mencapai tujuan belajar (Hamalik, 2011).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran merupakan suatu proses, cara, perbuatan dan usaha yang dilakukan
oleh seseorang secara sadar untuk mengelola informasi, kejadian, atau peristiwa
belajar dalam memfasilitasi pembelajar sehingga memperoleh tujuan yang
dipelajari. Selama proses pembelajaran, kedudukan guru sudah tidak lagi
dipandang sebagai penguasa tunggal, tetapi dianggap sebagai manager of learning
(pengelola belajar) yang perlu senantiasa membimbing dan membantu para siswa.
2.2.3 Makna strategi pembelajaran
Dewasa ini strategi tidak hanya digunakan dalam dunia militer. Istilah strategi
juga digunakan dalam konteks pembelajaran yang dikenal dengan istilah strategi
pembelajaran. Seorang guru dalam proses pembelajaran akan menerapkan suatu
strategi agar siswanya dapat mencapai kompetensi atau tujuan pembelajaran.
Tanpa suatu strategi yang cocok, tepat dan jitu, tidak mungkin tujuan dapat
tercapai. Secara spesifik guru harus memiliki kemampuan dalam mengembangkan
strategi pembelajaran, serta dapat memilih strategi yang tepat dalam kegiatan
pembelajaran. Miarso (2007) memberikan pengertian strategi adalah pendekatan
menyeluruh dalam suatu sistem pembelajaran yang berupa pedoman umum dan
kerangka kegiatan untuk mencapai tujuan pembelajaran yang dijabarkan dari
pandangan falsafah dan atau teori belajar tertentu. Menurut J.R. David, dalam
dunia pendidikan strategi dapat diartikan sebagai a plan, method, or series of
activities designed to achieves a particular educational goal (Sanjaya, 2010).
Agar memperoleh pemahaman yang mendalam tentang strategi pembelajaran,
berikut disajikan beberapa pengertian strategi pembelajaran menurut beberapa
ahli. Gerlach dan Ely (1990) berpendapat bahwa strategi pembelajaran merupakan
cara-cara yang dipilih untuk menyampaikan materi pembelajaran dalam suatu
lingkungan pembelajaran. Kemp (1995) menyatakan strategi pembelajaran adalah
suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan
pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien. Kindsvatter dkk. (1996)
mendefinisikan strategi pembelajaran adalah kombinasi berurutan dari metode-
metode yang dirancang untuk mencapai tujuan pembelajaran. Seel dan Richey,
(2004) mendefinisikan strategi pembelajaran adalah spesifikasi untuk menyeleksi
serta mengurutkan peristiwa belajar atau kegiatan pembelajaran dalam suatu mata
pelajaran. Di lain pihak, Dick dan Carey (2005) menyatakan bahwa strategi
pembelajaran adalah suatu set materi dan prosedur pembelajaran yang digunakan
secara bersama-sama untuk menimbulkan hasil belajar pada siswa. Sedangkan
menurut Gulo (2004), strategi pembelajaran merupakan rencana kegiatan untuk
mencapai tujuan.
Jadi menurut pengertian di atas hakikat strategi pembelajaran adalah suatu
kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan
pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien. Strategi pembelajaran dapat
juga diartikan sebagai perencanaan yang berisi tentang rangkaian kegiatan
termasuk di dalamnya penggunaan metode dan pemanfaatan berbagai sumber
daya dalam suatu pembelajaran. Dapat pula diartikan sebagai usaha guru dalam
menggunakan beberapa variabel pengajaran (tujuan, bahan, metode dan alat, serta
evaluasi) agar dapat memengaruhi siswa untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.
Ada dua hal yang perlu dicermati dari uraian di atas. Pertama, strategi
pembelajaran merupakan rencana kegiatan, termasuk penggunaan metode dan
pemanfaatan berbagai sumber daya dalam pembelajaran. Kedua, strategi disusun
untuk mencapai tujuan tertentu.
2.3 Pembelajaran Tematik sebagai Implementasi Kurikulum Terpadu
Kurikulum ialah suatu program pendidikan yang berisikan berbagai bahan
ajar dan pengalaman belajar yang diprogramkan, direncanakan dan dirancang
secara sistematik atas dasar norma-norma yang berlaku yang dijadikan pedoman
dalam proses pembelajaran bagi tenaga kependidikan dan peserta didik untuk
mencapai tujuan pendidikan (Dakir, 2004). Salah satu pengembangan kurikulum
yang akhir-akhir ini memperoleh perhatian secara sungguh-sungguh adalah
pengintegrasian kurikulum yang hasilnya disebut integrated curriculum
(kurikulum terpadu). Integrated atau terpadu bisa mengacu pada integrated
curricula (kurikulum terpadu) atau integrated approach (pendekatan terpadu) atau
integrated learning (pembelajaran terpadu). Pada pelaksanaannya istilah
kurikulum terpadu atau pembelajaran terpadu atau pendekatan terpadu dapat
dipertukarkan, seperti pendapat pakar pendidikan Sri Anitah Wiryawan
sebagaimana dikutip oleh Ainiyah (2011), “kurikulum terpadu adalah suatu
pendekatan untuk mengorganisasikan kurikulum dengan cara menghapus garis
batas mata pelajaran yang terpisah-pisah, sedangkan pembelajaran terpadu
merupakan metode pengorganisasian pembelajaran yang menggunakan beberapa
bidang mata pelajaran yang sesuai”. Dengan demikian istilah kurikulum terpadu
dengan pembelajaran terpadu dalam penggunaannya dapat saling dipertukarkan.
Definisi kurikulum terpadu dapat dibangun sesuai dengan sudut pandang
yang berbeda, meliputi kerangka konsep, tujuan, dan implementasinya.
Dipandang dari konsep yang paling sederhana, kurikulum terpadu diartikan
sebagai suatu “hubungan yang bermakna antara beberapa subjek” (Harsono dan
Yohannes, 2005). Menurut Drake dan Burns (2004), secara ringkas dapat
dikatakan bahwa integrated curriculum adalah bagaimana membuat sebuah
hubungan, baik hubungan antarmata pelajaran, hubungan dengan kehidupan,
hubungan antarketerampilan, pengetahuan, dan sebagainya. Sedangkan menurut
Frazee dan Rudnitski (1995) kurikulum terpadu (integrated curriculum) pada
dasarnya mengintegrasikan sejumlah mata pelajaran melalui keterkaitan di antara
tujuan, isi, keterampilan dan sikap. Kurikulum terpadu mendorong pemahaman
lebih terhadap konsep atau makna serta keterampilan yang telah dipelajari oleh
siswa. Dengan demikian transfer pemahaman dapat terjadi dari konteks satu ke
konteks lainnya. Lebih lanjut Drake dan Burns (2004) membedakan tiga
pendekatan kurikulum terpadu, yaitu multidisciplinary, interdiscplinary, dan
transdisciplinary.
1. Pendekatan multidisciplinary
Pendekatan multimatapelajaran terutama fokus pada mata pelajaran.
Penggunaan pendekatan ini dilakukan dengan mengorganisasi standar dari
mata pelajaran di sekitar sebuah tema. Multimata pelajaran terdiri atas
pendekatan intradisciplinary, penggabungan/fusion, service learning (belajar
melayani masyarakat), learning centers/parallel disciplines; unit berbasis tema
(thema-based units).
2. Pendekatan antarmata pelajaran (interdisciplinary).
Pendekatan antarmata pelajaran dilakukan dengan mengorganisasi kurikulum
di sekitar materi bersama antarmata pelajaran. Pembelajaran dilakukan dengan
mengidentifikasi potongan/irisan konsep dan keterampilan antarmata pelajaran.
Masing-masing mata pelajaran masih teridentifikasi, namun agak samar
dibanding pendekatan multimata pelajaran.
3. Pendekatan transdisciplinary
Pendekatan transdisciplinary dilakukan dengan membangun kurikulum di
sekitar pertanyaan dan perhatian siswa. Siswa mengembangkan kecakapan
hidup seperti yang diterapkan pada interdisciplinary dan keterampilan mata
pelajaran dalam konteks kehidupan nyata.
Salah satu implementasi kurikulum terpadu adalah model pembelajaran
terpadu. Pembelajaran ini pada hakikatnya merupakan suatu pendekatan
pembelajaran yang memungkinkan peserta didik baik secara individual maupun
kelompok aktif mencari, menggali, dan menemukan konsep serta prinsip secara
holistik dan otentik (Depdiknas, 2006b). Perubahan kurikulum dari kurikulum
tahun 2006 (KTSP) ke kurikulum tahun 2013 seperti yang saat ini diterapkan,
penerapan pembelajaran tematik semakin diperkuat. Pembelajaran tematik di SD
lebih dipertegas lagi menjadi tematik terpadu (integratif), yang diterapkan dari
mulai kelas I sampai dengan kelas VI. Dengan demikian yang menjadi sasaran
akhir dari model pembelajaran tematik integratif seperti yang ditegaskan pada
kurikulum 2013 pada dasarnya adalah pengembangan kurikulum atau model
pembelajaran secara terpadu (integration of curriculum/integration of learning).
Dengan adanya kebijakan pemerintah untuk menerapkan model pembelajaran
tematik terpadu di SD, semakin membuktikan bahwa dilihat dari aspek pedagogis
ternyata model pembelajaran yang paling tepat dilakukan di SD adalah model
keterpaduan.
2.3.1 Landasan pembelajaran tematik
Pembelajaran tematik memiliki posisi dan potensi yang sangat strategis dalam
keberhasilan proses pendidikan di SD. Berhubungan dengan hal tersebut, maka
dalam pembelajaran tematik dibutuhkan berbagai landasan yang kokoh dan kuat
serta harus diperhatikan oleh para guru pada waktu merencanakan, melaksanakan,
dan menilai proses dan hasilnya. Terdapat tiga landasan pembelajaran tematik
yaitu landasan filosofis, psikologis, dan yuridis (Muslich, 2007; Depdiknas, 2009;
Daryanto, 2014).
1. Landasan filosofis
Kemunculan pembelajaran tematik sangat dipengaruhi oleh tiga aliran filsafat
yang cukup dominan dalam dunia pendidikan, yaitu progresivisme,
konstruktivisme, dan humanisme.
1) Aliran progresivisme
Aliran progresivisme memandang proses pembelajaran perlu ditekankan
pada pembentukan kreativitas, pemberian sejumlah kegiatan, suasana yang
alamiah (natural), dan memerhatikan pengalaman siswa.
2) Aliran konstruktivisme
Aliran konstruktivisme melihat anak mengonstruksi pengetahuannya
melalui interaksi dengan objek, fenomena, pengalaman dan lingkungan.
3) Aliran humanisme
Siswa adalah anak manusia yang unik dengan segala kelebihan. Aliran
humanisme melihat siswa dari segi kekhasannya, potensinya, dan motivasi
yang dimilikinya. Aliran humanisme ini berupaya memandang siswa adalah
makhluk yang harus dihargai dan dikembangkan karena kelebihannya.
Harapan-harapan siswa dalam pembelajaran juga harus dipenuhi.
2. Landasan psikologis
Landasan psikologis dalam pembelajaran tematik terutama berkaitan
dengan psikologi perkembangan peserta didik dan psikologi belajar. Psikologi
perkembangan diperlukan terutama dalam menentukan isi/materi pembelajaran
tematik yang diberikan kepada siswa agar tingkat keluasan dan kedalamannya
sesuai dengan tahap perkembangan peserta didik. Psikologi belajar
memberikan kontribusi dalam hal bagaimana isi/materi pembelajaran tematik
tersebut disampaikan kepada siswa dan bagaimana pula siswa harus
mempelajarinya.
3. Landasan yuridis
Landasan yuridis dalam pembelajaran tematik berkaitan dengan berbagai
kebijakan atau peraturan yang mendukung pelaksanaan pembelajaran tematik
di SD/MI. Landasan yuridis tersebut adalah Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh
pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat
kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya (pasal 9). Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa
setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan
pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya (Bab V
Pasal 1-b).
2.3.2 Hakikat pembelajaran tematik
Pembelajaran tematik sebenarnya bukan hal yang baru. Di Indonesia
pembelajaran ini telah diperkenalkan sejak diberlakukan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) terutama di SD kelas rendah (kelas 1, 2 dan 3). Saat
ini dengan telah diberlakukannya Kurikulum 2013 pembelajaran tematik menjadi
strategi pembelajaran yang mendapat penekanan dalam melaksanakan proses
belajar mengajar. Pembelajaran tematik sesuai dengan adanya tuntutan perubahan
paradigma pembelajaran, terutama akibat semakin dominannya pengaruh
pandangan konstruktivisme. Menurut pandangan konstruktivisme pembelajaran
mengarah pada pembelajaran kontekstual dengan menekankan belajar pada
kehidupan nyata dengan mengalami dan menemukan sendiri merupakan realita
pembelajaran yang lebih bermakna. Pembelajaran kontekstual dengan
mengangkat tema-tema nyata dalam kehidupan sehari-hari yang dialami siswa
sebagai sumber belajar, diharapkan proses pembelajaran menjadi lebih utuh dan
mendekati kenyataan (Sutirjo dan Mamik, 2005). Filosofi konstruktivisme
menekankan pada pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered) yang
memberikan ruang seluas-luasnya bagi siswa untuk mengonstruksi pengetahuan
mereka secara mandiri sesuai dengan pengalaman, kemampuan, dan tingkat
perkembangan individual siswa, baik pengetahuan kognitif, afektif maupun
psikomotorik. Dalam rangka mengakomodasi perbedaan karakteristik individual
siswa itulah maka pembelajaran hendaknya dirancang dan dilaksanakan secara
kontekstual, antara lain dengan menggunakan sumber dan lingkungan belajar
yang dekat dengan kehidupan siswa sehari-hari. Materi hendaknya dikemas
sedemikian rupa sehingga dekat dengan kehidupan siswa. Dalam melaksanakan
proses belajar mengajar dalam pembelajaran, pokok bahasan atau materi tersebut
dikemas dalam tema yang dekat dengan kehidupan siswa, dan disebut dengan
pembelajaran tematik.
2.3.3 Pengertian pembelajaran tematik
Pembelajaran tematik dapat diartikan suatu kegiatan pembelajaran dengan
mengintegrasikan materi beberapa mata pelajaran dalam satu tema/topik
pembahasan. Oleh karena itu, menurut Sulhan (2010) model pembelajaran tematik
juga sering disebut dengan model pembelajaran terpadu. Sutirjo dan Mamik
(2005) menyatakan bahwa pembelajaran tematik merupakan satu usaha untuk
mengintegrasikan pengetahuan, keterampilan, nilai, atau sikap pembelajaran, serta
pemikiran yang kreatif dengan menggunakan tema. Dari pernyataan tersebut dapat
ditegaskan bahwa pembelajaran tematik dilakukan dengan maksud sebagai upaya
untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan, terutama untuk
mengimbangi padatnya materi kurikulum. Di samping itu pembelajaran tematik
akan memberi peluang pembelajaran terpadu yang lebih menekankan pada
partisipasi/keterlibatan siswa dalam belajar.
Pembelajaran tematik merupakan suatu strategi pembelajaran yang
melibatkan beberapa mata pelajaran untuk memberikan pengalaman yang
bermakna kepada siswa. Keterpaduan dalam pembelajaran ini dapat dilihat dari
aspek proses, atau waktu, aspek kurikulum, dan aspek pembelajaran. Dengan
pembelajaran tematik diyakini akan muncul pengalaman yang bermakna antara
pengalaman sehari-hari dengan pengalaman yang akan dipelajari oleh siswa.
Masih menurut Sutirjo dan Mamik (2005), pembelajaran tematik memiliki
beberapa keunggulan yakni (1) materi pembelajaran menjadi dekat dengan
kehidupan siswa dapat memahami sekaligus menerapkannya dengan mudah, (2)
siswa dapat mengaitkan hubungan antara materi pembelajaran yang lainnya
dengan mudah, (3) dengan bekerja sama kelompok siswa dapat mengembangkan
kemampuan belajarnya dalam aspek afektif dan psikomotorik selain aspek
kognitifnya, (4) pembelajaran tematik mengakomodasikan semua jenis kecerdasan
siswa dan (5) dengan pembelajaran tematik guru dapat menggunakan cara belajar
siswa aktif sebagai metode pembelajaran dengan mudah. Sedangkan Widodo
(2009) mengemukakan pembelajaran tematik mempunyai kekuatan, di antaranya:
(1) pengalaman dan kegiatan belajar yang relevan dengan tingkat perkembangan
dan kebutuhan anak, (2) menyenangkan karena bertolak dari minat dan kebutuhan
anak, (3) hasil belajar akan bertahan lebih lama karena lebih berkesan dan
bermakna, (4) mengembangkan keterampilan berpikir siswa sesuai dengan
permasalahan yang dihadapi, dan menumbuhkan keterampilan sosial dalam
bekerja sama, toleransi, komunikasi dan tanggap terhadap gagasan orang lain.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
tematik adalah model pembelajaran terpadu yang menggunakan tema untuk
mengkaitkan beberapa mata pelajaran sehingga dapat memberikan pengalaman
bermakna kepada siswa. Dengan demikian pembelajaran tematik disebut juga
pembelajaran tematik terpadu.
2.3.4 Karakteristik pembelajaran tematik
Pembelajaran tematik memiliki ciri-ciri atau karakteristik yakni: (1) berpusat
pada siswa, (2) memberikan pengalaman langsung kepada siswa, (3) pemisahan
mata pelajaran tidak begitu jelas, (4) menyajikan konsep dari berbagai mata
pelajaran dalam suatu proses pembelajaran, (5) bersifat fleksibel, (6) hasil
pembelajaran dapat berkembang sesuai dengan minat, dan kebutuhan siswa, dan
(7) menggunakan prinsip belajar sambil bermain dan menyenangkan (Sukayati,
2004; Depdiknas, 2006b; Trianto, 2011). Agar diperoleh gambaran yang lebih
jelas tentang karakteristik tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
1. Berpusat pada siswa
Pembelajaran berpusat pada peserta didik. Pembelajaran tematik dikatakan
sebagai pembelajaran yang berpusat pada anak, karena pada dasarnya
pembelajaran tematik merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang
memberikan keleluasaan pada peserta didik, baik secara individu maupun
kelompok. Peserta didik diharapkan dapat aktif mencari, menggali, dan
menemukan konsep serta prinsip-prinsip dari suatu pengetahuan yang harus
dikuasainya sesuai dengan perkembangannya.
2. Memberikan pengalaman langsung kepada siswa
Agar pembelajaran lebih bermakna maka siswa perlu belajar secara langsung
dan mengalami sendiri. Sehingga siswa akan memahami hasil belajarnya sesuai
dengan fakta dan peristiwa yang mereka alami, bukan sekadar informasi dari
gurunya. Atas dasar ini maka guru lebih banyak bertindak sebagai fasilitator
dan katalisator yang membimbing ke arah tujuan yang ingin dicapai.
Sedangkan siswa sebagai aktor pencari fakta dan informasi untuk
mengembangkan pengetahuannya.
3. Pemisahan mata pelajaran tidak begitu jelas
Mengingat tema dikaji dari berbagai mata pelajaran dan saling keterkaitan
maka batas mata pelajaran menjadi tidak begitu jelas. Sehingga memungkinkan
peserta didik untuk memahami suatu fenomena pembelajaran dari segala sisi
yang utuh.
4. Menyajikan konsep dari berbagai mata pelajaran dalam suatu proses
pembelajaran sehingga bermakna
Pembelajaran tematik mengkaji suatu fenomena dari berbagai macam aspek
yang membentuk semacam jalinan antarpengetahuan yang dimiliki peserta
didik, sehingga berdampak kebermaknaan dari materi yang dipelajari peserta
didik. Hasil nyata akan didapat dari segala konsep yang diperoleh dan
keterkaitannya dengan konsep-konsep lain yang dipelajari. Hal ini diharapkan
akan berdampak pada kemampuan anak untuk memecahkan masalah-masalah
yang nyata dalam kehidupannya.
5. Bersifat fleksibel
Pembelajaran tematik bersifat luwes (fleksibel) di mana guru dapat mengaitkan
bahan ajar dari satu mata pelajaran yang lainnya, bahkan mengaitkannya
dengan kehidupan siswa dan keadaan lingkungan di mana sekolah dan siswa
berada. Pelaksanaan pembelajaran tematik tidak terjadwal secara ketat
antarmata pelajaran.
6. Hasil pembelajaran dapat berkembang sesuai dengan minat, dan kebutuhan
siswa
Pada pembelajaran tematik siswa diberi kesempatan untuk mengoptimalkan
potensi yang dimiliki.
7. Menggunakan prinsip belajar sambil bermain dan menyenangkan
Pada pembelajaran tematik dikembangkan pendekatan Pembelajaran yang
Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAKEM) yang melibatkan peserta
didik secara aktif dalam proses pembelajaran dengan melihat bakat, minat, dan
kemampuan sehingga memungkinkan peserta didik termotivasi untuk belajar
terus menerus (USAID, 2006).
2.3.5 Tahap-tahap pembelajaran tematik
Pembelajaran tematik dilakukan dengan beberapa tahapan-tahapan seperti
penyusunan perencanaan, penerapan, dan evaluasi/refleksi. Menurut Trianto
(2011) tahap-tahap ini secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut.
1. Perencanaan
Mengingat perencanaan sangat menentukan keberhasilan suatu pembelajaran
tematik, maka perencanaan yang dibuat dalam rangka pelaksanaan
pembelajaran tematik harus sebaik mungkin. Oleh karena itu ada beberapa
langkah yang perlu dilakukan dalam merancang pembelajaran tematik ini,
yakni: (1) pelajari kompetensi dasar pada kelas dan semester yang sama dari
setiap mata pelajaran, (2) pilihlah tema yang dapat mempersatukan
kompetensi-kompetensi untuk setiap kelas dan semester, (3) buatlah ”matriks
hubungan kompetensi dasar dengan tema”, (4) buatlah pemetaan pembelajaran
tematik. Pemetaan ini dapat dibuat dalam bentuk matriks atau jaringan topik,
dan (5) susunlah silabus dan rencana pembelajaran berdasarkan matriks/
jaringan topik pembelajaran tematik
2. Penerapan pembelajaran tematik
Pada tahap ini intinya guru melaksanakan rencana pembelajaran yang telah
disusun sebelumnya. Pembelajaran tematik ini akan dapat diterapkan dan
dilaksanakan dengan baik perlu didukung laboratorium yang memadai.
Laboratorium yang memadai tentunya berisi berbagai sumber belajar yang
dibutuhkan bagi pembelajaran di SD. Dengan tersedianya laboratorium yang
memadai tersebut maka guru ketika menyelenggarakan pembelajaran tematik
akan dengan mudah memanfaatkan sumber belajar yang ada di laboratorium
tersebut, baik dengan cara membawa sumber belajar ke dalam kelas maupun
mengajak siswa ke ruang laboratorium yang terpisah dari ruang kelasnya.
3. Evaluasi pembelajaran tematik
Evaluasi pembelajaran tematik difokuskan pada evaluasi proses dan hasil.
Evaluasi proses diarahkan pada tingkat keterlibatan, minat dan semangat siswa
dalam proses pembelajaran, sedangkan evaluasi hasil lebih diarahkan pada
tingkat pemahaman dan penyikapan siswa terhadap substansi materi dan
manfaatnya bagi kehidupan siswa sehari-hari. Di samping itu evaluasi juga
dapat berupa kumpulan karya siswa selama kegiatan pembelajaran yang bisa
ditampilkan dalam suatu paparan/pameran karya siswa.
2.3.6 Model-model pembelajaran terpadu
Pembelajaran tematik di SD merupakan terapan dari pembelajaran terpadu
(Sukayati, 2004). Menurut Fogarty (1991), ada sepuluh model pembelajaran
terpadu yang ditinjau dari sifat materi, cara memadukan konsep, keterampilan,
dan unit tematiknya. Adapun kesepuluh model tersebut ialah: (1) connected model
(model hubungan/model terkait), (2) webbed model (model jaring laba-laba/model
terjala). (3) integrated model (model terpadu). (4) fragmented model (model
terpisah). (5) nested model (model gugusan). (6) sequenced model (model urutan),
(7) shared model (model gabung bagian), (8) threaded model (model rajutan), (9)
immersed model (model terbenam), dan (10) networked model (model jaringan).
Dari kesepuluh model yang dikembangkan Fogarty ini, hanya tiga model
yang dikembangkan atau dikenalkan di Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD)
yaitu connected model, webbed model, dan integrated model. Pembelajaran
tematik yang diharapkan berkembang di SD mengarah pada penggabungan dari
webbed model dan integrated model. Dalam pelaksanaan pembelajaran di SD
sesuai Kurikulum 2013 lebih dekat pada webbed model sebagaimana tercermin
dalam seri “Buku Tematik Terpadu Kurikulum 2013” yang diterbitkan Pusat
Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud yang dijadikan pegangan guru
dan siswa.
2.3.7 Pengembangan tema dalam pembelajaran tematik
1. Pengertian tema
Tema adalah topik yang menjadi payung untuk mengintegrasikan seluruh
konsep dan muatan pembelajaran melalui kegiatan pembelajaran dalam
mencapai kompetensi dan tingkat perkembangan yang diharapkan. Tema bukan
merupakan tujuan pembelajaran melainkan sarana untuk mengintegrasikan
keseluruhan sikap dalam pengetahuan dan keterampilan yang ingin dibangun.
Dalam pembelajaran tema bermanfaat untuk (1) menyatukan semua program
pengembangan meliputi nilai moral agama, sosial emosional, kognitif, bahasa,
seni, (2) menghubungkan pengetahuan sebelumnya yang sudah dimiliki dengan
pengetahuan yang baru, dan (3) memudahkan guru dalam pengembangan
kegiatan belajar sesuai dengan konsep dan sarana yang dimiliki lingkungan
(Kemdikbud, 2015).
Pada pelaksanaan pembelajaran tema dan kompetensi dasar dikembangkan
menjadi muatan pembelajaran. Muatan pembelajaran adalah cakupan materi
yang ada pada kompetensi dasar sebagai bahan yang akan dijadikan kegiatan-
kegiatan untuk mencapai kompentensi sikap spiritual, sikap sosial, pengetahuan
dan keterampilan.
2. Prinsip-prinsip memilih tema dalam pembelajaran tematik
Menurut Tim Pusat Kurikulum (Depdiknas, 2006b) menentukan tema dapat
dilakukan dengan dua cara. Cara pertama, guru mempelajari Standar
Kompetensi/SK (atau Kompetensi Inti (KI) dalam Kurikulum 2013) dan KD
yang terdapat dalam tiap-tiap mata pelajaran, dilanjutkan dengan menentukan
tema yang sesuai. Cara kedua, guru menetapkan terlebih dahulu tema-tema
pengikat keterpaduan, untuk menentukan tema tersebut, guru dapat bekerja
sama dengan siswa-siswi sehingga sesuai dengan minat dan kebutuhan mereka.
Cara pertama biasanya dilakukan untuk kelas-kelas awal SD (Hernawan,
2012).
Tema yang dipilih tidak terlalu luas dan tidak terlalu sempit, hendaknya
bermakna bagi siswa, dipilih sesuai dengan tingkat perkembangan siswa,
menggambarkan peristiwa-peristiwa yang autentik, ada keseimbangan antara
kurikulum dan harapan masyarakat, dan mempertimbangkan ketersediaan
sumber belajar. Menurut Tim Pusat Kurikulum (Depdiknas, 2006b) dalam
menetapkan tema perlu memerhatikan beberapa prinsip yakni: (1)
memerhatikan lingkungan yang terdekat dengan peserta didik, (2) dari yang
termudah menuju yang sulit, (3) dari yang sederhana menuju yang kompleks,
(4) dari yang konkret menuju ke yang abstrak, (5) tema yang dipilih harus
memungkinkan terjadinya proses berpikir pada diri peserta didik, dan (6) ruang
lingkup tema disesuaikan dengan usia dan perkembangan peserta didik,
termasuk minat, kebutuhan, dan kemampuannya. Sedangkan menurut
Kemdikbud (2015) dalam buku “Pedoman Pengembangan Tema Pembelajaran
Pendidikan Anak Usia Dini” dikemukakan beberapa prinsip dalam pemilihan
tema adalah: (1) kedekatan, artinya tema hendaknya dipilih mulai dari hal-hal
yang terdekat dengan kehidupan anak. Dekat dimaksud dapat dekat secara fisik
dan juga dekat secara emosi atau minat anak. Tema yang terdekat secara fisik
dengan anak misalnya diri sendiri, keluarga, lingkungan rumah, lingkungan
sekolah, binatang, tanaman, lingkungan alam dan tema lain. Sedangkan hal-hal
yang dekat secara emosional dengan anak diantaranya hobi, hal-hal yang
disukai anak, film dan lainnya; (2) kesederhanaan, artinya tema yang dipilih
yang sudah dikenal anak agar anak mudah memahami pokok bahasan dan dapat
menggali lebih banyak pengalamannya; (3) kemenarikan, artinya tema yang
dipilih harus menarik bagi anak dan mampu menarik minat belajar anak. Untuk
lebih memberikan kemenarikan minat belajar anak dan kebermaknaan suatu
tema, hendaknya guru dapat merumuskan tema dalam bentuk kalimat yang
inspiratif; (4) keinsidentalan, artinya pemilihan tema tidak selalu yang
direncanakan diawal tahun, dapat juga menyisipkan KLB yang dialami anak,
misalnya peristiwa banjir yang dialami anak dapat dijadikan tema insidental
menggantikan tema yang sudah direncanakan sebelumnya. Selain prinsip-
prinsip tersebut, dikemukakan juga beberapa cara yang dapat dilakukan oleh
guru dalam mengidentifikasi tema antara lain adalah: (1) mengamati
lingkungan sekitar, (2) melihat sosial budaya, (3) melihat minat dan kesukaan
anak, dan (4) curah gagasan bersama semua guru.
Semua objek dapat dijadikan tema. Artinya apapun dapat dijadikan tema,
mulai dari benda, peristiwa, hingga kenegara. Sebuah tema dapat
dikembangkan menjadi subtema, sub-subtema, pokok bahasan, dan seterusnya.
Guru dapat mengembangkan sebuah tema menjadi sangat luas sesuai dengan
kebutuhan. Tema dan subtema maupun sub-subtema dan seterusnya tersebut
merupakan hasil identifikasi yang dapat dipilih keseluruhan maupun sebagian,
tergantung ketersediaan sarana dan prasarana yang mendukung pembelajaran
yang konstektual. Artinya, tidak semua subtema atau sub-subtema diajarkan,
pilihlah yang paling penting dan diperkirakan sangat diminati anak dengan
memerhatikan keragaman kegiatan yang dapat disiapkan guru.
Saat penentuan tema, guru dapat memasukkan semua pengetahuan sikap
dan keterampilan kedalam tema tersebut sesuai dengan KD yang sudah
ditetapkan. Pengembangan tema merupakan bagian penting yang harus
dikuasai guru dalam proses pembelajaran. Pengembangan tema yang baik dapat
menambah kosa kata, mengembangkan pengetahuan, meningkatkan
pemahaman, dan meningkatkan keterampilan anak tentang tema tersebut.
3. Pemetaan Kompetensi Dasar (KD), indikator dengan tema dalam pembelajaran
tematik
Pembelajaran tematik merupakan pembelajaran terpadu yang pada
dasarnya dimaksudkan sebagai kegiatan mengajar dengan memadukan materi
beberapa mata pelajaran dalam satu tema. Untuk itu satu langkah penting
dalam pembelajaran tematik adalah pemetaan KD ke dalam tema. Pemetaan
tema dilakukan untuk memperoleh gambaran secara menyeluruh dan utuh
semua KI, KD dan indikator dari berbagai mata pelajaran yang dipadukan
dalam tema yang dipilih.
4. Tahap-tahap pada kegiatan pemetaan adalah sebagai berikut.
1) Menjabar KI dan KD ke dalam indikator.
Adapun hal hal yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan indikator
adalah indikator yang dikembangkan sesuai dengan karakteristik peserta
didik, dikembangkan sesuai dengan karakteristik mata pelajaran, dan
dirumuskan dalam kata kerja operasional.
2) Mengidentifikasi dan menganalisis KI, KD, dan indikator.
Lakukan identifikasi dan analisis untuk setiap KI, KD, dan indikator yang
cocok untuk suatu tema sehingga semua KI, KD, dan indikator terbagi
habis. Guru tidak perlu memaksakan diri untuk melaksanakan pembelajaran
tematik bila KD yang ada pada beberapa mata pelajaran tidak mungkin
digabungkan, karena bila dipaksakan akan sulit mencapai tujuan
kompetensi yang diharapkan. KD dari setiap mata pelajaran yang tidak bisa
dikaitkan dalam satu tema pembelajaran tematik maka harus dibuatkan
silabus tersendiri sesuai dengan mata pelajarannya dan juga diajarkan
secara mandiri.
5. Menyusun jaringan tema
Menyusun jaring tema berarti memadukan beberapa KD dari mata pelajaran-
mata pelajaran yang sesuai dengan tema yang dipilih. Dengan adanya jaring
tema ini akan terlihat kaitan antara tema yang dipilih dengan KD dari beberapa
mata pelajaran yang disatukan (Sukayati dan Wulandari, 2009).
Pembuatan jaringan tema merupakan implementasi dari penerapan
pembelajaran terpadu model webbed. Pembelajaran terpadu model webbed adalah
pembelajaran yang menggunakan tema tertentu. Jaringan tema adalah pola
hubungan antara tema tertentu dengan sub-subpokok bahasan yang diambil dari
berbagai mata pelajaran terkait. Dengan terbentuknya jaringan tema diharapkan
siswa memahami satu tema tertentu dengan bidang ilmu pengetahuan (Trianto,
2009).
2.4 Pembelajaran Konvensional
Dalam Kamus Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2008a) konvensional artinya
berdasarkan kelaziman atau tradisional. Jadi, pembelajaran konvensional adalah
pembelajaran yang lazim atau biasa dilakukan oleh guru. Model pembelajaran
konvensional merupakan suatu istilah dalam pembelajaran yang lazim diterapkan
dalam pembelajaran sehari-hari. Pembelajaran konvensional atau pembelajaran
secara biasa adalah suatu kegiatan belajar mengajar yang selama ini kebanyakan
dilakukan oleh pembelajar. Menurut Sutikno (2006) pembelajaran konvensional
merupakan model pembelajaran yang biasa dilakukan pendidik dalam proses
pembelajaran di kelas.
Sejak berlakunya KTSP dan sekarang Kurikulum 2013 guru-guru dituntut
untuk mengimplementasikan pembelajaran tematik. Dengan demikian maka
dalam konteks penelitian ini yang dimaksud pembelajaran konvensional atau
pembelajaran sehari-hari yang dilaksanakan guru adalah pembelajaran tematik
atau pembelajaran tematik-terpadu. Pembelajaran tematik pada dasarnya
mengikuti langkah-langkah (sintaks) pembelajaran terpadu. Secara umum sintaks
tersebut mengikuti tahap-tahap yang dilalui dalam setiap model pembelajaran
yang meliputi tiga tahap, yaitu tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi
(Depdiknas, 2006b; Trianto 2011).
Sesuai Permendikbud Nomor 103 Tahun 2014 tentang Pembelajaran pada
Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah, pembelajaran tematik pada
Kurikulum 2013 menggunakan pendekatan ilmiah atau pendekatan berbasis
proses keilmuan. Pendekatan ilmiah dapat menggunakan beberapa model
pembelajaran yang relevan misalnya discovery learning, project-based learning,
problem-based learning, dan inquiry learning. Model pembelajaran tersebut
memiliki ciri dan langkah-langkah (sintaks) pembelajaran sesuai pendekatan
ilmiah meliputi lima pengalaman belajar yang biasa dikenal sebagai 5M, yaitu
mengamati (observing), menanya (questioning), mengumpulkan informasi/
mencoba (experimenting), menalar/mengasosiasi (associating), dan
mengomunikasikan (communicating). Dalam praktik pembelajarannya guru lebih
sering menerapkan sintaks pembelajaran tematik dalam setting pembelajaran
langsung dan pembelajaran kooperatif (Trianto, 2011).
Perencanaan pembelajaran diwujudkan dengan kegiatan penyusunan Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Tahap pelaksanaan pembelajaran terdiri dari
pendahuluan, kegiatan inti dan penutup. Dalam kegiatan pendahuluan, guru
melakukan apersepsi dan memberikan motivasi. Sedangkan kegiatan inti
merupakan proses pembelajaran untuk mencapai kompetensi, yang dilakukan
secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik
untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa,
kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik
serta psikologis peserta didik. Kegiatan inti menggunakan pendekatan ilmiah yang
disesuaikan dengan karakteristik mata pelajaran dan peserta didik. Guru
memfasilitasi peserta didik untuk melakukan proses mengamati, menanya,
mengumpulkan informasi/mencoba, menalar/mengasosiasi, dan
mengomunikasikan.
Tahap akhir dari kegiatan pembelajaran adalah kegiatan penutup. Secara garis
besar kegiatan penutup terdiri dari membuat simpulan/rangkuman dan melakukan
evaluasi atau penilaian. Guru bersama peserta didik membuat rangkuman/
simpulan pelajaran; melakukan refleksi terhadap kegiatan yang sudah
dilaksanakan; dan memberikan umpan balik terhadap proses dan hasil
pembelajaran. Selain itu, guru melakukan penilaian, dan berdasarkan hasil
penilaian guru merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran
remedial, program pengayaan, layanan konseling dan/atau memberikan tugas baik
tugas individual maupun kelompok sesuai dengan hasil belajar peserta didik; dan
menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan berikutnya.
Berdasarkan uraian di atas selanjutnya dapat disajikan secara ringkas
langkah-langkah (sintaks) pembelajaran dengan strategi konvensional (SK) seperti
pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1.
Langkah-langkah Pembelajaran (Sintaks) dengan Strategi Konvensional (SK)
Tahap (Langkah-
langkah Pokok)
Tingkah Laku Guru
(1) (2)
Persiapan Menetapkan mata pelajaran yang akan dipadukan*)
Mempelajari KD dan indikator mata pelajaran yang
dipadukan*)
Memilih dan menetapkan tema pemersatu dan subtema*)
Membuat bagan hubungan KD dan tema pemersatu
(jaringan tema) *)
Menyusun silabus pembelajaran tematik terpadu*)
Menyusun RPP **)
(1) (2)
Pelaksanaan 1. Kegiatan pendahuluan/awal
Guru memberikan apersepsi dan motivasi.
Guru menyampaikan kompetensi yang akan dicapai.
2. Kegiatan inti
Sebelum melaksanakan kegiatan inti guru
menyelenggarakan pretest
Kegiatan inti bertujuan untuk mencapai kompetensi
Guru bersama siswa melaksanakan kegiatan
pembelajaran dengan pendekatan ilmiah.
Melaksanakan pembelajaran dengan kegiatan dan
langkah-langkah sebagaimana tertuang dalam Buku
Guru Kurikulum 2013.
Guru membangi siswa dalam kelompok-kelompok
kecil beranggotakan 3-4 siswa.
Pembelajaran menggunakan bahan ajar Buku
Tematik Terpadu Kurikulum 2013*)
.
3. Kegiatan penutup
Kegiatan guru bersama siswa membuat rangkuman,
simpulan dan melakukan refleksi
Kegiatan guru seperti melakukan penilaian,
merencanakan kegiatan tindak lanjut (remidi,
pengayaan, layanan konseling, dan memberikan
tugas).
Penilaian/Evaluasi Guru melaksanakan penilaian autentik (authentic
assessment).
Penilaian meliputi aspek pengetahuan, sikap, dan
keterampilan.
(Diadaptasi dari Trianto, 2012).
Keterangan: *)
Sudah disiapkan Pemerintah/Kemendiknas. **)
Dibuat oleh guru bersama peneliti.
2.5 Strategi Tematik Integratif Kesehatan (STIK)
2.5.1 Konsep strategi tematik integratif kesehatan (STIK)
Strategi tematik integratif kesehatan (STIK) merupakan strategi pembelajaran
tematik dengan mengintegrasikan muatan kesehatan dalam sebuah pembelajaran
dengan menggunakan bantuan BATIK sebagai media atau bahan pembelajaran.
Pengintegrasian ini menggunakan filosofi konstruktivisme, yang didefinisikan
sebagai konstruksi (bentukan) orang yang sedang belajar. Prinsip yang paling
penting dari konsep pengintegrasian menurut paham konstruktivistik, peran guru
dalam pembelajaran di kelas adalah sebagai mediator dan fasilitator agar proses
belajar siswa berjalan dengan baik (Suparno, 1997). Dalam STIK siswa diberikan
kesempatan untuk mengonstruksi atau membangun pengetahuannya sendiri, siswa
akan lebih mudah memahami materi dan materi yang dipelajari akan lebih lama
diingat oleh siswa karena pengetahuan yang didapat itu berasal dari pengalaman
siswa itu sendiri.
Selain itu, STIK menekankan pentingnya lingkungan alamiah itu diciptakan
dalam proses belajar agar kelas lebih hidup dan lebih bermakna karena peserta
didik mengalami sendiri apa yang dipelajarinya. Dengan pengintegrasian ini
memungkinkan peserta didik untuk menguatkan, memperluas, dan menerapkan
pengetahuan dan keterampilan akademik mereka dalam berbagai macam tatanan
kehidupan baik di sekolah maupun di luar sekolah.
Strategi tematik integratif kesehatan (STIK) merupakan suatu strategi
pembelajaran yang didesain berpusat pada pembelajar (student centered) dengan
guru berperan sebagai moderator dan fasilitator (mediator). Sebagai moderator,
guru menciptakan suatu kondisi di mana siswa bisa berargumentasi dan bekerja
sama dalam pembelajaran, misalnya melalui diskusi kelompok. Sebagai fasilitator,
guru menyediakan sumber belajar yang digunakan untuk mendorong siswa untuk
belajar dengan melibatkan indera dan intelektual, memberikan bantuan kepada
siswa agar dapat belajar dan mengonstruksi pengetahuan secara optimal dalam
belajar sesuai dengan teori belajar konstruktivisme, serta memberikan umpan balik
atas apa yang telah dipelajari (Santyasa, 2004).
Untuk memenuhi pembelajaran agar lebih interaktif, inspiratif,
menyenangkan, menantang, memotivasi dalam konsep STIK sumber belajar yang
disediakan berupa BATIK. Dalam konsep strategi pembelajaran ini, BATIK
berfungsi sebagai bahan ajar dan sekaligus media penyuluhan PHBS. Dalam hal
ini BATIK berfungsi sebagai media pendidikan kesehatan, sebagai sumber
belajar, bahan ajar, media untuk mengubah perilaku, dan memperkenalkan dunia
konkret. BATIK yang dibuat sebagai media pembelajaran yang dilengkapi dengan
gambar ilustrasi, menjadikan BATIK memiliki kelebihan seperti layaknya media
gambar.
Sejalan dengan kekuatan pembelajaran tematik yang dikemukakan Widodo
(2009), maka STIK juga memiliki kekuatan, yakni: (1) pengalaman kesehatan
dalam kegiatan belajar sangat relevan dengan tingkat perkembangan dan
kebutuhan siswa, (2) pembelajaran kesehatan menjadi lebih menyenangkan karena
bertolak dari minat dan kebutuhan siswa, (3) hasil belajar akan bertahan lebih
lama karena berkesan dan bermakna, (4) mengembangkan keterampilan berpikir
siswa dengan permasalahan kesehatan yang dihadapi, (5) menumbuhkan
keterampilan sosial dalam bekerja sama, toleransi dan komunikasi, dan tanggap
terhadap gagasan orang lain.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa STIK merupakan
strategi pembelajaran dengan mengombinasikan aktivitas intelektual dengan
BATIK, sehingga pembelajaran menjadi mampu memunculkan suasana
pembelajaran yang lebih menarik, menantang, memotivasi, dan efektif dengan
menonjolkan keunggulan di bidang kesehatan.
2.5.2 Langkah-langkah strategi tematik integratif kesehatan (STIK)
Pembelajaran STIK menggunakan langkah-langkah pembelajaran tematik
secara umum yang terdiri dari pendahuluan, kegiatan inti, dan penutup (Trianto,
2011). Sintaks pembelajaran STIK sama dengan sintaks pada pembelajaran
konvensional, yaitu pembelajaran tematik dengan pendekatan saintifik
sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Perbedaannya, kalau pada pembelajaran
tematik konvensional bahan ajar atau materi pembelajaran menggunakan buku
paket atau buku yang diterbitkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
sedangkan dalam pembelajaran STIK menggunakan BATIK.
Kegiatan pendahuluan/awal/pembukaan dilakukan terutama untuk
menciptakan suasana awal pembelajaran untuk mendorong siswa memfokuskan
dirinya agar mampu mengikuti proses pembelajaran dengan baik. Sifat dari
kegiatan pembukaan adalah memberikan apersepsi dan memotivasi agar siswa
siap memulai pembelajaran. Pada tahap ini dapat dilakukan penggalian terhadap
pengalaman anak tentang tema yang akan disajikan. Beberapa contoh kegiatan
yang dapat dilakukan adalah bercerita, kegiatan fisik/jasmani, dan bernyanyi.
Dalam kegiatan inti difokuskan pada kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk
pengembangan kemampuan baca, tulis dan hitung. Penyajian bahan pembelajaran
dilakukan dengan menggunakan berbagai metode yang bervariasi dan dapat
dilakukan secara klasikal, kelompok kecil, ataupun perorangan. Pada tahap ini
BATIK digunakan sebagai panduan pembelajaran yang bermuatan kesehatan.
Pada kegiatan penutup pembelajaran secara umum adalah membuat simpulan,
melakukan refleksi, menyelenggakan evaluasi dan melakukan tindak lanjut berupa
remidial atau pengayaan. Beberapa contoh kegiatan akhir/penutup yang dapat
dilakukan adalah menyimpulkan/mengungkapkan hasil pembelajaran yang telah
dilakukan, mendongeng, membacakan cerita dari buku, dan memberikan pesan-
pesan moral. Sebagaimana dimuat dalam “Modul Mandiri Pendidikan Kesehatan
di SD/MI” (Kemenkes, 2011), muatan kesehatan yang dapat diintegrasikan adalah
kebersihan kulit, kebersihan rambut, kebersihan gigi, kebersihan tangan, kaki, dan
kuku, kebiasaan berolah raga, kebiasaan tidur yang cukup, gizi dan menu yang
seimbang, lingkungan yang sehat, dan lainnya.
Berdasarkan uraian di atas selanjutnya dapat disajikan secara ringkas
langkah-langkah (sintaks) pembelajaran dengan STIK seperti pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2
Langkah-langkah Pembelajaran (Sintaks) dengan Strategi Tematik Integratif
Kesehatan (STIK)
Tahap (Langkah-
langkah Pokok)
Tingkah Laku Guru
(1) (2)
Persiapan Menetapkan mata pelajaran yang akan dipadukan*)
Mempelajari KD dan indikator mata pelajaran yang
dipadukan*)
Memilih dan menetapkan tema pemersatu dan subtema**)
Membuat bagan hubungan KD dan tema pemersatu
(jaringan tema)**)
Menyusun silabus pembelajaran tematik terpadu*)
Menyusun RPP **)
Pelaksanaan 1. Kegiatan pendahuluan/awal
Guru memberikan apersepsi dan motivasi.
Guru menyampaikan kompetensi yang akan dicapai.
2. Kegiatan inti
Sebelum melaksanakan kegiatan inti guru
menyelenggarakan pretest
Kegiatan inti bertujuan untuk mencapai kompetensi
Guru bersama siswa melaksanakan kegiatan
pembelajaran dengan pendekatan ilmiah.
Melaksanakan pembelajaran dengan kegiatan dan
langkah-langkah sebagaimana tertuang dalam Buku
Guru Kurikulum 2013.
Guru membagi siswa dalam kelompok-kelompok kecil
(1) (2)
beranggotakan 3-4 siswa.
Pembelajaran menggunakan buku ajar tematik
integratif kesehatan (BATIK)**)
.
3. Kegiatan penutup
Kegiatan guru bersama siswa membuat rangkuman,
simpulan dan melakukan refleksi
Kegiatan guru seperti melakukan penilaian,
merencanakan kegiatan tindak lanjut (remidi,
pengayaan, layanan konseling, dan memberikan
tugas).
Penilaian/Evaluasi Guru melaksanakan penilaian autentik (authentic
assessment).
Penilaian meliputi aspek pengetahuan, sikap, dan
keterampilan.
(Diadaptasi dari Trianto, 2012).
Keterangan: *)
Sudah disiapkan Pemerintah/Kemendiknas. **)
Dibuat oleh guru bersama peneliti.
2.5.3 Teori-teori belajar yang mendukung pembelajaran dengan strategi
tematik integratif kesehatan (STIK)
Teori belajar merupakan suatu penjelasan mengenai bagaimana proses
perubahan tingkah laku itu dilakukan oleh siswa. Penerapan pembelajaran STIK
didukung oleh teori-teori belajar yang mendasari pembelajaran tematik.
1. Teori belajar menurut Piaget
Piaget dalam Dahar (1989) menyatakan bahwa, setiap anak memiliki cara
tersendiri dalam menginterpretasikan dan beradaptasi dengan lingkungannya
(teori perkembangan kognitif). Dalam pandangan Piaget, setiap anak memiliki
struktur kognitif yang disebut schemata yaitu sistem konsep yang ada dalam
pikiran sebagai hasil pemahaman terhadap objek yang ada dalam
lingkungannya. Pemahaman tentang objek tersebut berlangsung melalui proses
asimilasi dan akomodasi. Asimilasi terjadi ketika individu menggabungkan
informasi baru ke dalam pengetahuan mereka yang sudah ada. Sedangkan
akomodasi adalah terjadi ketika individu menyesuaikan diri dengan informasi
baru. Kedua proses tersebut jika berlangsung terus menerus akan membuat
pengetahuan lama dan pengetahuan baru menjadi seimbang. Dengan cara
seperti itu secara bertahap anak dapat membangun pengetahuan melalui
interaksi dengan lingkungannya. Berdasarkan hal tersebut, maka perilaku
belajar anak sangat dipengaruhi oleh aspek-aspek dari dalam dirinya dan
lingkungannya. Kedua hal tersebut tidak mungkin dipisahkan karena memang
proses belajar terjadi dalam konteks interaksi diri anak dengan lingkungannya.
Piaget mengatakan bahwa proses belajar seseorang akan mengikuti pola
dan tahap-tahap perkembangan tertentu yang bersifat hierarkis sesuai dengan
umurnya. Piaget membagi manusia menjadi empat tahap perkembangan
kognitif, yaitu: jenjang sensorimotorik (0-2 tahun), jenjang preoperasional (2-6
tahun), jenjang operasional konkret (6-12 tahun), dan jenjang formal (12-18
tahun). Seorang yang telah berumur 18 tahun diharapkan telah mencapai
jenjang kognitif formal sehingga mampu berpikir abstrak/mengadakan
penalaran (Slavin, 2011; Santrock, 2007).
Menurut Trianto (2009) implikasi teori Piaget dalam pembelajaran seperti:
(1) memfokuskan pada proses berpikir anak, tidak sekadar pada produknya, (2)
pengenalan dan pengakuan atas peranan anak-anak yang penting sekali dalam
inisiatif dari diri dan keterlibatan aktif dalam kegiatan pembelajaran, (3)
penerimaan perbedaan individu dalam kemajuan perkembangan, bahwa seluruh
anak berkembang melalui urutan perkembangan yang sama namun mereka
memperolehnya pada kecepatan yang berbeda. Lebih lanjut, implikasi teori
kognitif Piaget ini terhadap pembelajaran tematik adalah penyediaan materi,
fasilitas belajar dan metode pembelajaran yang sesuai dengan usia siswa.
Khusus untuk anak usia SD materi yang terkait dengan tuntutan pencapaian KI
dan KD hendaknya memiliki tingkat kedalaman dan keluasan yang sesuai
untuk siswa pada jenjang operasional konkret, karena anak usia SD berada
pada tahapan operasi konkret.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa setiap anak memiliki
perkembangan kognitif yang berbeda. Seorang guru harus mampu
mengidentifikasi perkembangan kognitif siswanya, sehingga dapat memberikan
tugas yang sesuai dengan perkembangan kognitifnya. Seorang guru juga harus
mampu menciptakan keadaan pembelajaryang mampu untuk belajar sendiri.
Guru bertindak sebagai fasilitator yang mengarahkan peserta didik pada tahap
berpikir kognitifnya.
2. Teori pembelajaran konstruktivisme
Inti dari teori kontruktivisme adalah pemikiran bahwa siswa secara
individu mencari dan memindahkan informasi yang kompleks. Teori
konstruktivisme berpendapat bahwa siswa secara teratur mencocokkan
informasi-informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisi aturan-aturan
tersebut jika tidak sesuai lagi. Pandangan konstruktivis tentang pembelajaran
mengatakan bahwa para siswa diberi kesempatan agar menggunakan
strateginya sendiri dalam belajar secara sadar, dan guru membimbing siswa ke
tingkat pengetahuan yang lebih tinggi (Slavin, 1994). Teori konstruktivisme
melihat pengalaman langsung siswa (direct experiences) sebagai kunci dalam
pembelajaran. Menurut teori ini, pengetahuan adalah hasil konstruksi atau
bentukan manusia. Manusia mengonstruksi pengetahuannya melalui interaksi
dengan objek, fenomena, pengalaman, dan lingkungannya. Secara garis besar,
prinsip-prinsip konstruktivis adalah (1) pengetahuan dibangun oleh siswa
sendiri, baik secara individu maupun sosial, (2) pengetahuan tidak dapat
dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali hanya dengan keaktifan siswa sendiri
untuk menalar, (3) siswa aktif mengonstruksi terus-menerus, sehingga selalu
terjadi perubahan konsep menuju ke konsep yang lebih rinci, lengkap, serta
sesuai dengan konsep ilmiah, (4) guru sekadar membantu menyediakan sarana
dan situasi agar proses konstruksi siswa berjalan mulus (Suparno, 1997).
Dengan kata lain ide pokok teori ini adalah siswa secara aktif membangun
pengetahuan mereka sendiri.
3. Teori Vygotsky
Teori Vygotsky menekankan pada hakikat sosiokultural dari
pembelajaran. Pembelajaran terjadi apabila anak bekerja atau belajar menangani
tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas itu masih berada dalam
jangkauan kemampuannya. Teori Vygotsky menyatakan bahwa setiap siswa
mempunyai daerah yang membatasi tahap perkembangannya. Daerah yang
berada sedikit di atas perkembangan siswa tersebut disebut Zone of Proximal
Development (ZPD). Vygotsky yakin bahwa fungsi mental yang lebih tinggi
pada umumnya muncul dalam percakapan atau kerja samaantarindividu
sebelum fungsi mental yang lebih tinggi itu terserap ke dalam individu tersebut.
Ide penting lain yang diturunkan dari teori Vygotsky adalah scaffolding. Dalam
suatu kegiatan pembelajaran, siswa diberikan bantuan pada tahap awal
pembelajaran. Setelah siswa mampu untuk mengembangkan kemampuannya,
bantuan tersebut dikurangi secara bertahap sehingga memungkinkan siswa
tumbuh mandiri. Inilah yang dimaksudkan dengan scaffolding (Slavin, 2011).
Ada dua implikasi utama teori Vygotsky dalam pendidikan. Pertama,
dikehendakinya setting kelas berbentuk pembelajaran kooperatif
antarkelompok siswa dengan kemampuan yang berbeda, sehingga siswa dapat
berinteraksi dalam mengerjakan tugas-tugas yang sulit dan saling
memunculkan strategi-strategi pemecahan masalah yang efektif di dalam
daerah pengembangan terdekat/proksimal masing-masing. Kedua, pendekatan
Vygotsky dalam pembelajaran menekankan perancahan (scaffolding). Dengan
scaffolding, semakin lama siswa semakin dapat mengambil tanggung jawab
untuk pembelajarannya sendiri.
Dari uraian di atas bisa ditarik kesimpulan pentingnya ide-ide Vygotsky
dalam pendidikan jelas. Pembelajaran terjadi melalui interaksi sosial dengan
guru dan teman sejawat. Melalui tantangan dan bantuan dari guru atau teman
sejawat yang lebih mampu, siswa bergerak ke dalam zona perkembangan
terdekat mereka di mana pembelajaran baru terjadi (Ibrahim dan Nur, 2004).
Hal ini sesuai dengan dengan karakteristik pembelajaran tematik, di mana
siswa baik secara individu ataupun kelompok menggali informasi tentang
pengetahuan yang berhubungan dengan sebuah masalah, dengan mencari
penyelesaian dari berbagai sudut pandang yang berbeda.
4. Teori penemuan Bruner
Menurut Bruner pembelaran yang baik adalah belajar melalui penemuan
(discovery) yang memungkinkan siswa memperoleh informasi dan
keterampilan baru berdasarkan informasi dan keterampilan yang telah
diperoleh sebelumnya. Carin dan Sund (1985) menyatakan bahwa discovery
adalah suatu proses mental di mana anak atau individu mengasimilasi konsep
dan prinsip-prinsip. Dengan kata lain discovery terjadi apabila siswa terlibat
secara aktif dalam menggunakan proses mentalnya agar mereka memperoleh
pengalaman, sehingga meajmungkinkan mereka untuk menentukan beberapa
konsep atau prinsip tersebut. Proses-proses mental itu, misalnya: merumuskan
masalah, merumuskan hipotesis, merancang eksperimen, melaksanakan
eksperimen, menyimpulkan dan menganalisis data, serta menarik kesimpulan.
Teori Bruner berdasarkan empat prinsip utama, yakni: (1) agar terjadi
pembelajaran diperlukan adanya motivasi siswa, dan peran guru dalam hal ini
adalah membangkitkan motivasi belajar siswa, (2) diperlukan konseptualisasi
pengaturan struktur bahan pelajaran agar mudah dipelajari siswa, (3)
diperlukan pengurutan pengalaman belajar mulai dari yang konkret ke abstrak,
dan (4) diperlukan adanya pujian dan hukuman.
Discovery learning memiliki beberapa keuntungan (Dahar, 1989), yakni:
(1) pengetahuan itu bertahan lama atau lama dapat diingat, atau lebih mudah
diingat, bila dibandingkan dengan pengetahuan yang dipelajari dengan cara-
cara lain, (2) belajar penemuan dapat meningkatkan penalaran siswa dan
kemampuan untuk berfikir, karena mereka harus menganalisis dan
memanipulasi informasi untuk memecahkan permasalahan, dan (3) belajar
penemuan dapat membangkitkan keingintahuan siswa, memotivasi siswa untuk
bekerja terus sampai mereka menemukan jawabannya.
Implikasi teori Bruner ini dalam pembelajaran di kelas adalah penggunaan
metode pembelajaran yang dapat membangkitkan dorongan internal yang
berasal dari dorongan eksternal, penyiapan bahan/materi ajar yang sesuai
namun tetap memerhatikan ketercapaian standar isi, kegiatan belajar yang
sesuai dengan psikologi perkembangan siswa, dan kegiatan yang merangsang
kompetisi sehat antar siswa dengan memberikan penilaian yang objektif.
Dari penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa teori Bruner
mengisyaratkan pada keaktifan siswa untuk menemukan sendiri pengetahuan
yang ingin diperolehnya. Belajarakan lebih bermakna bagi siswa jika mereka
memusatkan perhatian untuk memahami struktur materi yang dipelajari dan
memandang masalah dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Hal ini sesuai
dengan prinsip aktif dan karakteristik bermakna dalam pembelajaran tematik.
5. Teori belajar bermakna Ausubel
Inti teori Ausubel ialah belajar bermakna (Dahar, 1989). Menurut Ausubel,
belajar bermakna merupakan suatu proses belajar di mana informasi baru
dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dimiliki seseorang yang
sedang belajar (Suparno, 1997). Belajar bermakna terjadi bila siswa mencoba
menghubungkan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka.
Ausubel menyatakan bahwa seharusnya materi yang dipelajari diasimilasikan
dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sebelumnya
(Soekamto, 1992). Asimilasi terjadi bila seseorang menerima informasi atau
pengalaman baru maka informasi tersebut akan dimodifikasi sehingga cocok
dengan struktur kognitif yang telah dipunyainya. Dengan demikian, diperlukan
dua persyaratan tercapai kebermaknaan dalam belajar, yaitu materi yang secara
potensial bermakna (dipilih dan diatur bersama guru – siswa sesuai dengan
tingkat perkembangan dan pengalaman siswa) dan situasi belajar yang
bermakna. Implikasi teori Ausubel dalam pembelajaran tematik adalah
penggunaan pendekatan kontekstual dengan memanfaatkan lingkungan sendiri
sebagai lingkungan belajar dan pemilihan materi yang akrab dengan kehidupan
sehari-hari agar motivasi belajar meningkat. Teori belajar Ausabel memberikan
sumbangan pemikiran bahwa adanya retensi (ingatan yang tertinggal sebagai
hasil belajar) yang lebih besar pada pembelajaran tematik daripada
pembelajaran secara terpisah. Hasil-hasil penelitian mengenai retensi sebagai
berikut: (1) materi yang bermakna akan lebih mudah diingat daripada materi
yang tidak ada artinya bagi siswa, (2) benda yang jelas dan konkret akan lebih
mudah diingat dibanding yang bersifat abstrak, dan (3) retensi akan lebih baik
untuk materi yang kontekstual.
2.6 Buku Ajar Tematik Integratif Kesehatan (BATIK) sebagai Bahan Ajar
2.6.1 Bahan ajar
1. Pengertian bahan ajar
Kata “bahan ajar” menurut KBBI (Depdiknas, 2008a) berarti segala sesuatu
yang dapat dipakai atau dijadikan pedoman atau pegangan untuk mengajar.
Pedoman atau pegangan untuk mengajar ini adalah acuan kompetensi belajar
untuk melaksanakan proses pembelajaran siswa sehingga tujuan pembelajaran
akan tercapai sesuai kurikulum dan silabus yang berlaku. Bahan ajar merupakan
bagian penting dalam pelaksanaan pendidikan di sekolah. Melalui bahan ajar guru
akan lebih mudah dalam melaksanakan pembelajaran dan siswa akan lebih
terbantu dan mudah dalam belajar. Ada beberapa pengertian bahan ajar seperti
yang disebutkan dalam National Center for Vocational Education Research
Ltd/National Centerfor Competency Based Training dalam Majid (2007) adalah
sebagai berikut.
1) Bahan ajar adalah segala bentuk bahan yang digunakan oleh guru/instruktur
dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar di kelas. Bahan yang
dimaksud biasanya berupa bahan tertulis atau bahan tidak tertulis.
2) Bahan ajar merupakan informasi, alat dan/atau teks yang diperlukan oleh guru
untuk perencanaan dan penelaahan implementasi pembelajaran.
3) Bahan ajar adalah seperangkat materi yang disusun secara sistematis baik
tertulis maupun tidak sehingga tercipta lingkungan/suasana yang
memungkinkan siswa untuk belajar.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dipahami bahwa bahan ajar merupakan
seperangkat materi yang disusun secara sistematis baik tertulis maupun tidak
sehingga tercipta lingkungan/suasana yang memungkinkan siswa untuk belajar.
Sedangkan Dikmenjur dalam website-nya mengemukakan pengertian bahwa,
bahan ajar merupakan seperangkat materi/substansi pembelajaran (teaching
material) yang disusun secara sistematis, menampilkan sosok utuh dari
kompetensi yang akan dikuasai siswa dalam kegiatan pembelajaran. Dengan
bahan ajar memungkinkan siswa dapat mempelajari suatu kompetensi atau KD
secara runtut dan sistematis sehingga secara akumulatif mampu menguasai semua
kompetensi secara utuh dan terpadu (Depdiknas 2008b). Kemudian, menurut
Wright yang dikutip Trianto (2005) menambahkan bahwa bahan ajar dapat
membantu ketercapaian tujuan silabus, dan membantu peran guru dan siswa dalam
proses belajar-mengajar.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa bahan ajar
adalah seperangkat materi pelajaran yang disusun secara sistimatis dan utuh
sehingga tercipta pembelajaran yang mudah, menyenangkan dan menarik yang
memungkinkan siswa untuk belajar dan tercapainya tujuan kurikulum.
2. Peran bahan ajar dalam pembelajaran
Dalam konteks pembelajaran, bahan pembelajaran merupakan komponen
yang harus ada dalam proses pembelajaran, karena bahan pembelajaran
merupakan suatu komponen yang akan/harus dikaji, dicermati, dipelajari dan
dijadikan materi yang akan dikuasai oleh siswa dan sekaligus dapat memberikan
pedoman untuk mempelajarinya. Secara konseptual, bahan pembelajaran
mempunyai multiperan, sesuai jenis bahan pembelajarannya. Bahan pembelajaran
dalam bentuk alat peraga, peran utamanya adalah meragakan sesuatu pengertian
yang abstrak agar menjadi konkret. Dalam pembelajaran, alat peraga berfungsi
untuk menghilangkan verbalisme, memudahkan pemahaman terhadap materi
pelajaran yang sulit dan abstrak.
Bahan pembelajaran dalam bentuk media pembelajaran berfungsi sebagai
perantara dalam komunikasi pembelajaran, karena pembelajaran pada hakikatnya
adalah proses komunikasi antara siswa dengan sumber pesan pembelajaran. Pesan
pembelajaran yang didesain dalam bentuk media pembelajaran akan membuat
komunikasi pembelajaran menjadi lebih efektif dan efisien. Efisiensi dan
efektivitas pembelajaran diwujudkan dalam bentuk pemahaman siswa terhadap
materi pembelajaran yang dipelajari, dan respon siswa yang didasarkan atas
pemahaman materi pelajaran yang dipelajari. Media pembelajaran juga termasuk
dalam kategori bahan ajar, apabila media pembelajaran diperankan sebagai desain
materi pembelajaran yang digunakan dalam proses pembelajaran.
Bahan pembelajaran dapat juga dalam bentuk berbagai sumber belajar,
artinya bahan pembelajaran yang digunakan bahan acuan atau sebagai sumber
materi dari mana siswa mendapatkan bahan yang dipelajari. Dalam aktivitas
pembelajaran seringkali guru memerlukan sumber belajar atau bahan materi yang
akan diajarkan atau untuk dipelajari siswa, sehingga guru harus menunjukkan
kepada siswa darimana sumber materi harus diperoleh. Dalam konteks bahan
pembelajaran sebagai sumber belajar, maka bahan pembelajaran lebih berperan
pasif, karena bahan pembelajaran lebih sebagai sesuatu yang dicari dan digunakan
sebagai sumber dari materi yang akan dikaji atau dipelajari.
Atas dasar peran bahan pembelajaran baik sebagai alat peraga, sebagai media
pembelajaran maupun sebagai sumber belajar, maka pada garis besarnya bahan
pembelajaran mempunyai peran yang sangat penting dalam kegiatan
pembelajaran. Oleh karena itu guru penting untuk dapat memilih bahan ajar
bahkan guru diharapkan mampu mengembangkan bahan ajar sesuai kebutuhan
pembelajaran.
3. Jenis bahan ajar
Berdasarkan teknologi yang digunakan, bahan ajar dapat dikelompokkan
menjadi empat kategori, yaitu bahan cetak (printed) seperti antara lain handout,
buku, modul, lembar kerja siswa, brosur, leaflet, wall chart, foto/gambar,
model/maket. Bahan ajar dengar (audio) seperti kaset, radio, piringan hitam, dan
compact disk audio. Bahan ajar pandang dengar (audio visual) seperti video
compact disk, film. Bahan ajar multimedia interaktif (interactive teaching
material) seperti Computer Assisted Instruction (CAI), compact disk (CD)
multimedia pembelajaran interaktif, dan bahan ajar berbasis web (web based
learning materials) (Depdiknas, 2008c).
Bahan ajar yang banyak dipergunakan di Indonesia dalam bentuk cetak atau
printed material. Menurut Heinich dkk. (1996) yang termasuk dalam bahan ajar
cetak ialah buku, buku ajar, teks, buku fiksi ataupun non fiksi, petunjuk belajar,
manual dan lembar kerja siswa.
4. Kriteria dan prosedur pengembangan bahan ajar
Kriteria pokok pemilihan bahan ajar atau materi pembelajaran adalah KI dan
KD. Hal ini berarti bahwa materi pembelajaran yang dipilih untuk diajarkan oleh
guru di satu pihak dan harus dipelajari siswa di lain pihak hendaknya berisikan
materi atau bahan ajar yang benar-benar menunjang tercapainya KI dan KD.
Setelah diketahui kriteria pemilihan bahan ajar langkah berikutnya adalah
pemilihan atau pengembangan bahan ajar.
Sejalan dengan berbagai jenis aspek KI dan KD, materi pembelajaran dapat
dibedakan menjadi jenis materi aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Materi
pembelajaran aspek kognitif secara terperinci dapat dibagi menjadi empat jenis,
yaitu fakta, konsep, prinsip dan prosedur (Reigeluth, 1997).
1) Materi jenis fakta adalah materi berupa nama-nama objek, nama tempat, nama
orang, lambang, peristiwa sejarah, nama bagian atau komponen suatu benda,
dan lain sebagainya.
2) Materi konsep berupa pengertian, definisi, hakekat, inti isi.
3) Materi jenis prinsip berupa dalil, rumus, postulat adagium, paradigma,
teorema.
4) Materi jenis prosedur berupa langkah-langkah mengerjakan sesuatu secara
urut, misalnya langkah-langkah menelpon, cara-cara pembuatan telur asin atau
cara-cara pembuatan bel listrik.
5) Materi pembelajaran aspek afektif meliputi pemberian respons, penerimaan
(apresisasi), internalisasi, dan penilaian;
6) Materi pembelajaran aspek motorik terdiri dari gerakan awal, semi rutin, dan
rutin.
Pengembangan bahan ajar hendaklah memerhatikan prinsip-prinsip
pengembangan bahan ajar (Depdiknas, 2006a).
1) Prinsip relevansi atau keterkaitan materi sesuai dengan tuntutan KI/KD;
2) Prinsip konsistensi atau keajegan, dimaksudkan jika KD yang harus dicapai
siswa ada empat macam, maka bahan ajarnya pun harus empat macam;
3) Prinsip adekuasi atau kecukupan adalah kecukupan materi dalam bahan ajar
untuk mencapai kompetensi seperti yang diajarkan oleh guru.
Selain itu, pengembangan bahan ajar hendaklah memerhatikan prinsip-prinsip
pembelajaran (Depdiknas, 2008c). Di antara prinsip pembelajaran tersebut adalah
sebagai berikut.
1) Mulai dari yang mudah untuk memahami yang sulit, dari yang konkret untuk
memahami yang abstrak.
2) Pengulangan akan memperkuat pemahaman.
3) Umpan balik positif akan memberikan penguatan terhadap pemahaman siswa.
4) Motivasi belajar yang tinggi merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan
belajar.
5) Mencapai tujuan ibarat naik tangga, setahap demi setahap, akhirnya akan
mencapai ketinggian tertentu.
6) Mengetahui hasil yang telah dicapai akan mendorong siswa untuk terus
mencapai tujuan.
Pengembangan suatu bahan ajar harus didasarkan pada analisis kebutuhan
siswa. Pengembangan bahan ajar mengikuti prosedur pengembangan bahan ajar
(Depdikbud, 2010) seperti berikut.
1) Melakukan analisis kebutuhan bahan ajar yang meliputi: analisis KI/KD;
analisis sumber belajar; pemilihan dan penentuan bahan ajar;
2) Melakukan penyusunan peta bahan ajar;
3) Melakukan penyusunan/pengembangan bahan ajar;
4) Melakukan review dan revisi terhadap bahan ajar yang telah dikembangkan;
5) Memfinalkan bahan ajar yang telah direvisi.
Sebuah bahan ajar paling tidak mencakup antara lain: (1) petunjuk belajar
(petunjuk siswa/guru); (2) kompetensi yang akan dicapai; (3) content atau isi
materi pembelajaran; (4) informasi pendukung; (5) latihan-latihan; (6) petunjuk
kerja, dapat berupa Lembar Kerja (LK); (7) evaluasi; (8) respons atau balikan
terhadap hasil evaluasi.
2.6.2 Buku ajar tematik integratif kesehatan (BATIK) meningkatkan
motivasi belajar siswa
Buku ajar tematik integratif kesehatan (BATIK) adalah bahan ajar berbentuk
buku yang berisi materi pendidikan kesehatan yang diintegrasikan ke dalam tema
pembelajaran. Materi atau pesan-pesan kesehatan yang dipilih untuk
diintegrasikan ke dalam pembelajaran dipilih yang pokok dan mendasar. Pesan
kesehatan selain berisi tentang apa dan bagaimana, juga tentang mengapa dan
untuk apa suatu kegiatan dilakukan, sehingga diharapkan dapat memberikan
motivasi dan dorongan kepada peserta didik. Menurut Tim Pembina UKS Pusat
Pendidikan Kesehatan di SD/MI materi atau pesan-pesan kesehatan mencakup
bersih diri, kesegaran tubuh, makanan sehat, kesehatan lingkungan, penyakit
menular dan imunisasi, dan sekolah bebas masalah (Kemenkes, 2011).
Pengintegrasian metari pendidikan kesehatan ke dalam tema pembelajaran
menggunakan metode insersi (sisipan) (Tayar, 1997; Sugirin, 2013). Ada dua
pola penyisipan, yaitu secara eksplisit melalui subjudul “Ayo Lakukan Hidup
Bersih dan Sehat”, dan secara implisit diintegrasikan ke dalam teks/bacaan dan
penggunaan lagu-lagu anak bermuatan kesehatan.
Buku Tematik Integratif Kesehatan (BATIK) yang merupakan produk
penelitian pengembangan memiliki keunggulan dapat meningkatkan motivasi
belajar siswa. Beberapa alasan yang membuat BATIK unggul dan dapat
memotivasi belajar siswa karena bahan ajar ini dikembangkan dengan
memperhatikan hal-hal berikut.
1. Sesuai kebutuhan siswa.
Materi pelajaran yang sesuai dengan kebutuhan siswa meningkatkan minat
belajar siswa. Minat timbul apabila murid tertarik akan sesuatu karena sesuai
dengan kebutuhannya atau merasakan bahwa sesuatu yang akan dipelajari
bermakna bagi dirinya (Effendi dan Praja, 2004). Materi ajar diusahakan untuk
memenuhi kebutuhan peserta didik agar siswa memiliki kepuasan dan
penghargaan serta mengarahkan pengalaman belajarnya ke arah tercapainya
prestasi belajar (Mulyasa, 2008). Pembelajaran yang bermotivasi pada
hakikatnya adalah pengajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan, dorongan
motif dan minat pada peserta didik (Hamalik, 2011).
2. Penggunaan lagu-lagu anak bermuatan kesehatan.
Lagu anak-anak adalah lagu yang diperuntukkan untuk anak-anak yang sesuai
dengan kondisi tingkat perkembangannya. Lagu anak-anak bersifat riang dan
mencerminkan etika luhur. Lagu anak merupakan lagu yang biasa dinyanyikan
anak-anak (Endraswara, 2009), syair lagu anak-anak berisi hal-hal sederhana
yang biasanya dilakukan oleh anak-anak (Murtono dan Murwani, 2007). Dalam
BATIK lagu-lagu yang dipilih adalah lagu bermuatan kesehatan. Matodang
(2005) menyebutkan nyanyian yang baik dan sesuai untuk anak-anak antara
lain: (1) membantu pertumbuhan dan perkembangan diri anak (aspek fisik,
intelegensi, emosi, dan social), (2) nyanyian bertolak dari kemampuan yang
telah dimiliki anak , (3) isi lagu sesuai dunia anak, (4) bahasa yang digunakan
sederhana, (5) luas wilayah nada sepadan dengan kesanggupan alat suara dan
pengucapan anak, dan (6) tema lagu mengacu pada kurikulum. Pada
pengembangan BATIK digunakan adalah lagu-lagu anak yang bermuatan
kesehatan yang sudah cukup terkenal di kalangan anak. Djohan (2009)
menjelaskan aktivitas bernyanyi, mendengarkan musik atau lagu dapat
mengembangkan keterampilan kognisi, seperti memori dan konsentrasi.
Menurut Masitoh sebagaimana dikutip Alimuddin (2015), bernyanyi juga
bersifat menenangkan dan membantu perkembangan daya ingat anak.
3. Penggunaan gambar ilustrasi
Ilustrasi gambar merupakan perangkat pengajaran yang dapat menarik minat
belajar siswa secara efektif (Sudjana, 2001). Siswa lebih memahami suatu
konsep jika pembelajaran disajikan tidak hanya dengan kata-kata tetapi
dilengkapi dengan gambar (Mayer, 2009). Dalam pembelajaran gambar adalah
media yang paling umum dipakai. Hal ini dikarenakan siswa lebih menyukai
gambar daripada tulisan. Gambar merupakan alat visual yang efektif karena
dapat divisualisasikan sesuatu yang akan dijelaskan dengan lebih konkrit dan
realistis. Informasi yang disampaikan dapat dimengerti dengan mudah karena
hasil yang diragakan lebih mendekati kenyataan melalui foto atau gambar
yang diperlihatkan kepada anak-anak, dan hasil yang diterima oleh anak-anak
akan sama (Asnawir dan Usman, 2002).
4. Desain layout buku yang menarik
Salah satu hal yang mampu meningkatkan motivasi peserta didik dalam
belajar adalah desain buku yang menarik. Desain memiliki arti merancang
atau merencanakan. Merancang/mendesain pada dasarnya adalah hasil
penyusunan pengalaman visual dan emosional dengan memperhatikan
elemen-elemen dan prinsip-prinsip desain yang dituangkan dalam satu
kesatuan komposisi yang mantap (Widya, 2016). Terdapat beberapa
komponen dalam desain teks pembelajaran yaitu: tipografi, layout, dan
tingkat kesulitan teks (Sadiman dkk., 2008).
Layout adalah usaha untuk membentuk dan menata unsur-unsur grafis (teks
dan gambar) menjadi media komunikasi yang efektif. Ada tiga kriteria dasar
untuk sebuah layout yang dikatakan baik, yaitu: It Works (mencapai
tujuannya), It Organizes (ditata dengan baik) dan It Attracts (menarik bagi
pengguna) (Widya, 2016). Tujuan utama layout adalah menampilkan elemen
gambar dan teks agar menjadi komunikatif dalam sebuah cara yang dapat
memudahkan pembaca menerima informasi yang disajikan.
Keunggulan BATIK sebagaimana diuraikan di atas membuat siswa tertarik
yang dapat membangkitkan minat dan motivasi belajar siswa. Minat yaitu suatu
rasa lebih suka, perasaan tertarik atau ketertarikan pada suatu hal atau aktivitas
tanpa ada yang menyuruh (Slameto 2015). Minat sebagai kekuatan pembelajaran
yang menjadi daya penggerak seseorang dalam melakukan aktivitas dengan
penuh kekuatan dan cenderung menetap, dimana aktivitas tersebut merupakan
proses pengalaman belajar yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan
mendatangkan perasaan senang, suka, dan gembira (Kasim, 2012). Minat belajar
merupakan perasaan tertarik dalam belajar dan dapat menumbuhkan kepuasan
tersendiri dalam belajar, sehingga memungkinkan seseorang megulang-ulang
kegiatan belajar yang dilakukan.
Minat belajar dan motivasi belajar memiliki keterkaitan di dalam kegiatan
belajar. Minat merupakan suatu motivasi instrinsik. Menurut Djamarah (2013),
minat belajar yang besar cenderung menghasilkan prestasi yang tinggi,
sebaliknya minat belajar yang kurang akan menghasilkan prestasi belajar yang
rendah. Motivasi dalam belajar dapat menentukan baik tidaknya dalam mencapai
tujuan. Semakin besar motivasi maka semakin besar kesuksesan dalam belajar,
sehingga berdampak pada meningkatnya prestasi belajar siswa. Oleh karena itu,
dapat kita ketahui bahwa faktor minat dan motivasi menjadi salah satu faktor
yang menentukan prestasi belajar yang dicapai oleh siswa.
2.7 Promosi Kesehatan dan Perubahan Perilaku Kesehatan
2.7.1 Promosi kesehatan
Agar mendapat pemahaman yang benar terkait penggunaan istilah “Promosi
Kesehatan” dan “Pendidikan Kesehatan” perlu dijelaskan kedua istilah tersebut.
Konsep promosi kesehatan merupakan pengembangan dari konsep pendidikan
kesehatan, penyuluhan kesehatan, Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE).
Pendidikan kesehatan lebih berorientasi pada pemberian informasi, sedangkan
promosi kesehatan lebih menekankan pada aspek pemberdayaan (Ewles dan
Simnett, 1994 dalam Maulana, 2009). Pendidikan kesehatan ternyata hanya
berfokus kepada perubahan perilaku, dan kurang memerhatikan upaya perubahan
lingkungan (fisik, biologik dan sosial). Disadari bahwa pendidikan kesehatan saja
tidak cukup berdaya untuk mengubah perilaku masyarakat, maka pendidikan
kesehatan harus disertai pula dengan upaya-upaya memfasilitasi perubahan
perilaku. Kesadaran akan hal ini menimbulkan munculnya paradigma baru
kesehatan masyarakat, yang mengubah pendidikan kesehatan menjadi promosi
kesehatan.
Pendidikan kesehatan atau promosi kesehatan adalah suatu bentuk intervensi
atau upaya yang ditujukan kepada perilaku agar perilaku tersebut kondusif untuk
kesehatan. WHO merumuskan definisi promosi kesehatan: “Health promotion is
the process of enabling people to increase control over, and improve, their health.
To reach a state of complete physical, mental, and sosial, well-being, an
individual or group must be able to identify and realize aspirations, to satisfy
needs, and to change or cope with the environment” (WHO, 1986). Dari kutipan
tersebut bahwa promosi kesehatan adalah proses untuk meningkatkan kemampuan
masyarakat dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya. Selain itu untuk
mencapai derajat kesehatan yang sempurna, baik fisik, mental, dan sosial, maka
masyarakat harus mampu mengenal serta mewujudkan aspirasinya, kebutuhannya,
dan mampu mengubah atau mengatasi lingkungannya (lingkungan fisik, sosial
budaya dan sebagainya).
Promosi kesehatan mengupayakan agar perilaku individu, kelompok, atau
masyarakat mempunyai pengaruh positif terhadap pemeliharaan dan peningkatan
kesehatan. Ada tiga unsur utama dalam pendidikan kesehatan atau promosi
kesehatan (Notoatmodjo, 2007), yaitu (1) input yang meliputi sasaran pendidikan
dan pendidik, (2) process yang meliputi upaya yang direncanakan untuk
mempengaruhi orang lain, dan (3) output yang berupa perilaku. Hasil (output)
yang diharapkan dari suatu promosi kesehatan adalah perilaku kesehatan.
Perilaku merupakan determinan kesehatan yang menjadi sasaran dari promosi
untuk mengubah perilaku (behavior change). Perubahan perilaku kesehatan
sebagai tujuan dari promosi, sekurang-kurangnya mempunyai tiga dimensi, yakni:
1) mengubah perilaku negatif (tidak sehat) menjadi perilaku positif (sesuai
dengan nilai-nilai kesehatan),
2) mengembangkan perilaku positif (pembentukan atau pengembangan perilaku
sehat),
3) memelihara perilaku yang sudah positif atau perilaku yang sudah sesuai
dengan norma/nilai kesehatan (perilaku sehat).
(Notoatmodjo dan Wuryaningsih, 2000).
2.7.2 Perubahan perilaku kesehatan
1. Pengertian perilaku
Perilaku sangat berkaitan erat dengan kesehatan. Hal tersebut dikarenakan
tujuan dari pendidikan kesehatan adalah mengubah perilaku yang tidak atau
belum sehat menjadi perilaku yang sehat (Fitriani, 2011). Menurut Bloom dalam
Notoatmodjo (2007), perilaku merupakan faktor terbesar kedua setelah
lingkungan yang memengaruhi kesehatan individu, kelompok, atau masyarakat.
Oleh sebab itu, dalam rangka membina dan meningkatkan kesehatan masyarakat,
intervensi atau upaya yang ditujukan kepada faktor perilaku ini sangat strategis.
Intervensi terhadap faktor perilaku secara garis besar dapat dilakukan melalui dua
upaya berikut (Notoatmodjo, 2007).
1) Tekanan (enforcement) merupakan upaya agar masyarakat mengubah perilaku
atau mengapdosi perilaku kesehatan dengan cara-cara tekanan, paksaan atau
koersi, seperti membentuk peraturan atau perundang-undangan mengenai
kesehatan, sanksi, tekanan-tekanan (fisik dan nonfisik) dan lain sebagainya.
2) Pendidikan (education) merupakan upaya agar masyarakat berperilaku atau
mengadopsi perilaku kesehatan dengan cara persuasi, bujukan, imbauan,
ajakan, memberi informasi, memberikan kesadaran, dan sebagainya, melalui
kegiatan yang disebut pendidikan atau promosi kesehatan.
Perilaku dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu (1) predisposing factor
yang mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan
kepercayaan masyarakat terhadap nilai-nilai yang berkaitan dengan kesehatan,
sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi
dan sebagainya; (2) enabling factor yang meliputi ketersediaan sarana dan
fasilitas kesehatan bagi masyarakat, misalnya air bersih, tempat pembuangan
sampah, makanan yang bergizi dan sebagainya; (3) reinforcing factor yang
mencakup faktor sikap tokoh masyarakat, sikap dan perilaku petugas terutama
petugas kesehatan, dan peraturan-peraturan daerah atau pusat yang mengatur
masalah kesehatan (Green dalam Notoatmodjo, 2007).
Perilaku manusia adalah semua tindakan atau aktivitas manusia, baik yang
dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Menurut
Skinner (dalam Notoatmodjo, 2012), perilaku merupakan respons atau reaksi
seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Dilihat dari bentuk respons
stimulus ini maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua, yaitu perilaku tertutup
(covert behavior) dan perilaku terbuka (overt behavior). Perilaku tertutup adalah
respons seseorang terhadap stimulus yang masih terbatas pada perhatian, persepsi,
pengetahuan/kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima
stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain.
Sedangkan perilaku terbuka adalah respons seseorang terhadap stimulus dalam
bentuk tindakan nyata atau terbuka, sudah jelas dalam bentuk tindakan atau
praktik (practice) yang dengan mudah diamati atau dilihat oleh orang lain.
2. Domain perilaku
Perilaku adalah bentuk respons atau reaksi terhadap stimulus atau rangsangan
dari luar organisme (orang), namun dalam memberikan respons sangat tergantung
pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan. Faktor-
faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda disebut
determinan perilaku. Determinan perilaku ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
determinan atau faktor internal dan determinan atau faktor eksternal. Determinan
atau faktor internal adalah karakteristik orang yang bersangkutan, yang bersifat
given atau bawaan, misalnya tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin
dan sebagainya. Sedangkan determinan atau faktor eksternal, adalah faktor
lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan
sebagainya. Faktor lingkungan ini sering merupakan faktor yang dominan yang
mewarnai perilaku seseorang (Notoatmodjo, 2012).
Bloom (dalam Notoatmodjo, 2012), membagi perilaku manusia kedalam tiga
domain atau ranah sesuai dengan tujuan pendidikan yakni kognitif (cognitive),
afektif (affective), dan psikomotor (psychomotor). Dalam perkembangannya, teori
ini dimodifikasi untuk pengukuran hasil pendidikan kesehatan yakni pengetahuan,
sikap, dan praktik atau tindakan.
1) Pengetahuan (knowledge)
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi
melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran,
penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh
melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau ranah kognitif merupakan domain
yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior).
Pengetahuan mempunyai enam tingkatan sebagai berikut.
(1) Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat
kembali (recall) terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang
dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Pengukuran pengetahuan
bersifat “memory recall” (apa yang diingat oleh responden tentang pesan-
pesan atau informasi kesehatan, bukan apa pendapat responden). Kata
kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang terjadi antara
lain dapat menyebutkan, menguraikan, mengidenfikasi, menyatakan dan
sebagainya.
(2) Memahami (comprehention)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterprestasikan materi
tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi
dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan
sebagainya terhadap objek yang dipelajari.
(3) Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang
telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi di sini
dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus,
metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
(4) Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu
objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur
organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis
dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan,
membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.
(5) Sintesis (syntesis)
Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian ke dalam suatu bentuk keseluruhan yang
baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun
formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya dapat
menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkas, dapat menyesuaikan,
dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.
(6) Evaluasi (evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian ini
didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan
kriteria-kriteria yang telah ada.
2) Sikap (attitude)
Sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup
terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap itu tidak dapat langsung
dilihat tetapi hanya dapat ditafsirkan dari perilaku yang tertutup. Sikap itu
merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak. Sikap belum merupakan
suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan
suatu perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan
reaksi terbuka atau tingkah laku yang terbuka. Sikap seseorang dipengaruhi
oleh komponen-komponen dalam memberikan reaksi atau respons terhadap
objek sikap. Menurut Notoatmodjo (2012) komponen sikap terdiri dari:
(1) kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek. Artinya,
bagaimana keyakinan dan pendapat atau pemikiran seseorang terhadap
objek,
(2) kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek. Artinya,
bagaimana penilaian orang tersebut terhadap objek,
(3) kecenderungan untuk bertindak (tend to behave). Artinya sikap adalah
komponen yang mendahului tindakan atau perilaku terbuka.
Sedangkan menurut Walgito (2002) komponen sikap terdiri dari:
(1) komponen kognitif (komponen perseptual)
Komponen yang berkaitan dengan pengetahuan, pandangan, keyakinan,
yaitu hal-hal yang berhubungan dengan bagaimana orang mempersepsi
terhadap objek sikap.
(2) komponen afektif (komponen emosional)
Komponen yang berhubungan dengan rasa senang atau tidak senang
terhadap objek sikap. Rasa senang merupakan yang positif, sedangkan rasa
tidak senang merupakan hal yang negatif. Komponen ini menunjukkan
arah positif dan negatif.
(3) komponen konatif (komponen perilaku atau action component)
Komponen yang berhubungan dengan kecenderungan bertindak terhadap
objek sikap. Komponen ini menunjukkan intensitas sikap, yaitu
menunjukkan besar kecilnya kecenderungan bertindak atau berperilaku
seseorang terhadap objek sikap.
Berdasarkan tingkatannya, sikap terdiri dari berbagai tingkatan seperti
berikut.
(1) Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan
stimulus yang diberikan (objek).
(2) Merespons (responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan
tugas yang diberikan adalah suatu indikasi sikap.
(3) Menghargai (valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu
masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.
(4) Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan
segala risiko adalah sikap yang paling tinggi.
(Notoatmodjo, 2012)
Sikap dapat bersifat positif dan dapat pula bersifat negatif (Purwanto,
2010). Sikap positif kecenderungan tindakan adalah mendekati, menyenangi,
mengharapkan objek tertentu. Sedangkan sikap negatif terdapat
kecenderungan untuk menjauhi, menghindari, membenci, tidak menyukai
objek tertentu. Menurut (Azwar, 2012), sikap seseorang terhadap suatu objek
adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan
tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek tersebut.
3) Praktik atau tindakan
Praktik atau tindakan mempunyai tiga tingkatan seperti berikut.
(1) Praktik terpimpin (guide response)
Apabila subjek atau seseorang telah melakukan sesuatu tetapi masih
tergantung pada tuntunan atau menggunakan panduan. Praktik terpimpin
merupakan indikator praktik tingkat pertama.
(2) Praktik secara mekanisme (mechanism)
Apabila subjek atau seseorang telah melakukan atau mempraktikkan
sesuatu hal secara otomatis maka disebut praktik atau tindakan mekanis.
(3) Adopsi (adoption)
Adopsi adalah suatu tindakan atau praktik yang sudah berkembang.
Artinya, apa yang dilakukan tidak sekadar rutinitas atau mekanisme saja,
tetapi sudah dilakukan modifikasi, atau tindakan atau perilaku yang
berkualitas.
(Notoatmodjo, 2010).
Setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek kesehatan, kemudian
mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, proses
selanjutnya diharapkan ia akan melaksanakan atau mempraktikkan apa yang
diketahui atau disikapinya (dinilai baik). Inilah yang disebut praktik (practice)
kesehatan, atau dapat juga dikatakan perilaku kesehatan (overt behavior)
(Notoatnodjo, 2007).
Selanjutnya Becker (dalam Notoatmodjo, 2012) membuat klasifikasi tentang
perilaku kesehatan sebagai berikut.
(1) Perilaku hidup sehat (healthy life style) adalah perilaku-perilaku yang
berkaitan dengan upaya atau kegiatan seseorang untuk mempertahankan
dan meningkatkan kesehatannya atau pola/gaya hidup sehat (healthy life
style). Perilaku ini mencakup antara lain: (1) makanan dengan menu
seimbang (appropriate diet), (2) olah raga teratur, (3) tidak merokok, (4)
tidak minum minuman keras dan narkoba, (5) istirahat yang cukup, (6)
mengendalikan stres, dan (7) perilaku atau gaya hidup yang positif bagi
kesehatan.
(2) Perilaku sakit (illness behavior) adalah respons seseorang terhadap sakit
dan penyakit, serta persepsinya terhadap sakit.
(3) Perilaku peran sakit (the sick role behavior), adalah peran yang dipunyai
orang sakit mencakup hak-hak orang sakit (right) dan kewajiban sebagai
orang sakit (obligation).
Secara teori perubahan perilaku seseorang menerima atau mengadopsi
perilaku baru dalam kehidupannya melalui tiga tahap.
1) Perubahan pengetahuan
Sebelum seseorang mengadopsi perilaku (berperilaku baru), ia harus tahu
terlebih dahulu apa arti atau manfaat perilaku tersebut bagi dirinya atau
keluarganya. Indikator-indikator apa yang dapat digunakan untuk mengetahui
tingkat pengetahuan atau kesadaran terhadap kesehatan, dapat dikelompokkan
menjadi: (1) pengetahuan tentang sakit dan penyakit, (2) pengetahuan tentang
cara pemeliharaan kesehatan dan cara hidup sehat, dan (3) pengetahuan
tentang kesehatan lingkungan.
2) Perubahan sikap
Sikap adalah penilaian (bisa berupa pendapat) seseorang terhadap
stimulus dan objek dalam hal ini adalah masalah kesehatan, termasuk
penyakit). Setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek, proses
selanjutnya akan menilai atau bersikap terhadap stimulus atau objek kesehatan
tersebut. Oleh karena itu indikator untuk sikap kesehatan juga sejalan dengan
pengetahuan kesehatan, yakni: (1) sikap terhadap sakit dan penyakit, (2) sikap
cara pemeliharaan dan cara hidup sehat, dan (3) sikap terhadap kesehatan
lingkungan.
3) Perubahan praktik atau tindakan (practice)
Setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek kesehatan, kemudian
mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, proses
selanjutnya diharapkan ia akan melaksanakan atau mempraktikkan apa yang
diketahui atau disikapinya (dinilai baik). Inilah yang disebut praktik (practice)
kesehatan, atau dapat juga dikatakan perilaku kesehatan (overt behavior). Oleh
sebab itu indikator praktik kesehatan ini juga mencakup hal-hal: (1) tindakan
(praktik) sehubungan dengan penyakit, (2) tindakan (praktik) pemeliharaan
dan peningkatan kesehatan, dan (3) tindakan (praktik) kesehatan lingkungan.
Apabila adopsi perilaku didasari oleh pengetahuan, kesadaran dari sikap
yang positif, maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng. Sebaliknya apabila
perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan
berlangsung lama (Effendy dan Makhfudli, (2009). Menurut Rogers dalam
Notoatmodjo (2007) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku
baru (berperilaku baru), di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan
sebagai berikut.
(1) Awareness (kesadaran), yakni orang (subjek) tersebut menyadari dalam arti
mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu
(2) Interest (tertarik), yakni subjek mulai tertarik kepada stimulus. Di sini sikap
positif subjek sudah mulai timbul.
(3) Evaluation, menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi
dirinya. Hal ini berarti sikap subjek sudah lebih baik lagi.
(4) Trial, orang atau subjek mulai mencoba perilaku baru.
(5) Adaption, subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran
dan sikapnya terhadap stimulus.
Berkaitan dengan tahap-tahap dalam perubahan perilaku ini, Sullivan dalam
bukunya Field Guide Designing Health Communication Strategy menjelaskan
perubahan perilaku dari sisi masyarakat, terdapat enam tahap yakni (Hastuti,
2010):
(1) belum tahu: tidak sadar akan adanya masalah atau risiko pribadi bagi mereka,
(2) tahu: sadar akan adanya masalah dan mengetahui perilaku yang diinginkan,
(3) setuju: setuju dengan perilaku yang diinginkan,
(4) berminat: bermaksud secara pribadi melakukan tindakan yang diinginkan,
(5) praktik: melakukan perilaku yang diinginkan,
(6) mengadvokasi: mempraktikan perilaku yang diinginkan sekaligus
memberitahukannya kepada orang lain.
Dengan uraian di atas maka, secara teori perubahan perilaku atau
mengadopsi perilaku baru itu mengikuti tahap-tahap melalui proses perubahan
pengetahuan (knowledge) – sikap (attitude) – praktik (practice) disingkat PSP
atau KAP. Namun demikian di dalam praktik sehari-hari dapat terjadi
sebaliknya. Artinya, seseorang telah berperilaku positif meskipun pengetahuan
dan sikapnya masih negatif.
2.7.3 Pengukuran dan indikator perilaku kesehatan
Seperti telah diketahui bahwa perilaku mencakup domain pengetahuan
(knowledge), sikap (attitude), dan tindakan atau praktik (practice). Oleh sebab
itu, mengukur perilaku dan perubahannya, khususnya perilaku kesehatan juga
mengacu pada tiga domain tersebut. Secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut.
1) Pengetahuan kesehatan (health knowledge)
Pengetahuan tentang kesehatan adalah mencakup apa yang diketahui oleh
seseorang terhadap cara-cara memelihara kesehatan seperti: (1) pengetahuan
tentang penyakit menular dan tidak menular, (2) pengetahuan tentang faktor-
faktor yang terkait dan/atau memengaruhi kesehatan, (3) pengetahuan tentang
fasilitas pelayanan kesehatan yang profesional maupun yang tradisional, dan (4)
pengetahuan untuk menghindari kecelakaan.
Oleh sebab itu, untuk mengukur pengetahuan kesehatan adalah dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara langsung (wawancara) atau melalui
pertanyaan-pertanyaan tertulis atau angket atau Focus Group Discussion (FGD).
Indikator pengetahuan kesehatan adalah tingginya pengetahuan responden
tentang kesehatan, dan pengetahuan tentang variabel-variabel atau komponen-
komponen kesehatan.
2) Sikap terhadap kesehatan (health attitude)
Sikap terhadap kesehatan adalah pendapat atau penilaian orang terhadap hal-
hal yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan, yang mencakup sekurang-
kurangnya empat variabel yakni: (1) sikap terhadap penyakit menular dan tidak
menular, (2) sikap terhadap faktor-faktor yang terkait dan/atau memengaruhi
kesehatan, (3) sikap tentang fasilitas pelayanan kesehatan yang profesional
maupun tradisional, dan (4) sikap untuk menghindari kecelakaan.
Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung.
Pengukuran sikap secara langsung dapat dilakukan dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan tentang stimulus atau objek yang bersangkutan.
Pertanyaan secara langsung dapat dilakukan dengan cara memberikan pendapat
dengan menggunakan skala Likert (Notoatmodjo, 2010). Secara tidak langsung
dapat dilakukan dengan pernyataan-pernyataan hipotesis kemudian ditanyakan
pendapat responsden melalui kuisioner (Notoatmojo, 2003).
3) Praktik kesehatan (healt practice)
Praktik kesehatan atau tindakan untuk hidup sehat adalah semua kegiatan
atau aktivitas orang dalam rangka memelihara kesehatan. Tindakan atau praktik
kesehatan juga meliputi empat faktor: (1) tindakan atau praktik sehubungan
dengan penyakit menular dan tidak menular, (2) tindakan atau praktik terhadap
faktor-faktor yang terkait dan/atau memengaruhi kesehatan, seperti gizi makanan,
sarana air bersih, pembuangan sampah, dan lain sebagainya, (3) tindakan atau
praktik sehubungan dengan penggunaan (utilisasi) fasilitas pelayanan kesehatan,
dan (4) tindakan atau praktik untuk menghindari kecelakaan.
Pengukuran atau cara mengamati perilaku dapat dilakukan melalui dua cara,
secara langsung maupun secara tidak langsung. Pengukuran tindakan atau
perilaku yang paling baik adalah secara langsung, yakni dengan pengamatan
(observasi) atau mengamati perilaku sasaran dengan menggunakan lembar tilik
(check list), yaitu mengamati tindakan subjek dalam rangka memelihara
kesehatannya. Sedangkan secara tidak langsung menggunakan metode mengingat
kembali (recall), mengingat kembali terhadap apa yang dilakukan responden.
Metode ini dilakukan melalui pertanyaan-pertanyaan terhadap subjek tentang apa
yang telah dilakukan berhubungan dengan kesehatan.
2.7.4 Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)
Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) merupakan langkah yang harus
dilakukan untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal bagi setiap orang.
PHBS merupakan salah satu kegiatan promosi kesehatan. Program PHBS
merupakan upaya untuk memberikan pengalaman belajar atau menciptakan suatu
kondisi bagi perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat, dengan membuka
jalur komunikasi, memberikan informasi, dan melakukan edukasi, untuk
meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku, melalui pendekatan pimpinan
(advokasi), bina suasana (sosial support) dan pemberdayaan masyarakat
(empowerment). Dengan demikian masyarakat dapat mengenali dan mengatasi
masalahnya sendiri, dapat menerapkan cara-cara hidup sehat dengan menjaga,
memelihara dan meningkatkan kesehatannya (Notoadmodjo, 2007).
Menurut Depkes (2002) menetapkan indikator program PHBS pada setiap
tatanan, meliputi tatanan rumah tangga, tatanan tempat kerja, tatanan tempat
umum, tatanan sekolah, tatanan sarana kesehatan. Secara khusus indikator untuk
tatanan sekolah adalah sebagai berikut.
(1) Perilaku, yaitu: kebersihan pribadi, tidak merokok, olah raga teratur, dan
tidak menggunakan NAPZA
(2) Lingkungan, yaitu: ada jamban/WC/toilet, ada air bersih, ada tempat sampah,
ada Saluran Pengaliran Air Limbah (SPAL), ventilasi, kepadatan, ada warung
sehat, ada UKS, ada taman sekolah, dan indikator tatanan sarana kesehatan.
Lebih rinci dapat diuraikan sasaran PHBS pada tatanan sekolah, khususnya
anak-anak sekolah adalah sebagai berikut.
1) Kebersihan kulit
Memelihara kebersihan kulit, harus memerhatikan kebiasaan, yaitu: (1) mandi
dua kali sehari, (2) mandi pakai sabun, (3) menjaga kebersihan pakaian, dan
(4) menjaga kebersihan lingkungan.
2) Kebersihan rambut
Untuk selalu memelihara rambut dan kulit kepala dan kesan cantik serta tidak
berbau apek, perlu diperhatikan hal-hal yaitu: (1) memerhatikan kebersihan
rambut dengan mencuci rambut sekurang-kurangnya dua kali seminggu, (2)
mencuci rambut dengan sampo/bahan pencuci rambut lain, dan (3) sebaiknya
menggunakan alat-alat pemeliharaan rambut sendiri (Irianto, 2007).
3) Kebersihan gigi
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menjaga kebersihan gigi yaitu: (1)
menggosok gigi secara benar dan teratur dianjurkan setiap habis makan, (2)
memakai sikat gigi sendiri, (3) menghindari makanan yang merusak gigi, (4)
membiasakan makan buah-buahan yang menyehatkan gigi, dan (5)
memeriksakan gigi secara rutin (Irianto, 2007).
4) Kebersihan tangan, kaki dan kuku
Kebersihan tangan berhubungan dengan penggunaan sabun dan cuci tangan
dengan menggunakan sabun. Pencucian tangan dengan sabun yang benar dan
disaat yang tepat memainkan peranan penting dalam mengurangi
kemungkinan adanya bakteri penyebab diare melekat pada tangan, tapi praktik
cuci tangan harus dilakukan dengan benar dan pada saat yang tepat. Waktu
yang tepat untuk mencuci tangan dengan sabun adalah ketika sebelum makan,
sebelum memberi makan anak, sebelum menyiapkan makanan, setelah buang
air besar den setelah membantu anak buang air besar (USAID, 2006 dalam
BAPPENAS, 2008).
5) Kebiasaan berolah raga.
Olahraga yang teratur mencakup kualitas gerakan dan kuantitas dalam arti
frekuensi yang digunakan untuk berolahraga. Dengan demikian akan
menentukan status kesehatan seseorang, khususnya anak-anak pada masa
pertumbuhan (Notoatmodjo, 2012).
Dorongan berolah raga secara teratur dapat memelihara jantung, peredaran
darah dan frekuensi nadi. Macam-macam olah raga dapat kita lakukan antara
lain bersepeda, lari, berenang dan senam (Irianto, 2007)
6) Kebiasaan tidur yang cukup
Tidur yang cukup diperlukan oleh tubuh kita untuk memulihkan tenaga.
Dengan tidur yang cukup, kemampuan dan keterampilan akan meningkat,
sebab susunan saraf serta tubuh terpelihara agar tetap segar dan sehat.
Tidur yang sehat merupakan kebutuhan penting yang dibutuhkan setiap hari.
Tidur yang sehat apabila lingkungan tempat tidur udaranya bersih, suasana
tenang dan cahaya lampu remang-remang (tidak silau) serta kondisi tubuh
yang nyaman. Misalnya, tungkai diletakkan agak tinggi agar memperlancar
peredaran darah pada anggota gerak bawah (Irianto, 2007). Tidur yang sehat
harus memenuhi syarat kepadatan hunian ruang tidur yaitu luas ruang tidur
minimal 8 m2 dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang tidur.
7) Gizi dan menu seimbang
Keadaan gizi setiap individu merupakan faktor yang amat penting karena zat
gizi merupakan zat kehidupan yang esensial bagi pertumbuhan dan
perkembangan manusia sepanjang hayatnya. Gizi seimbang adalah satu faktor
percepatan pada pertumbuhan sumber daya manusia yang sehat, cerdas, aktif
dan produktif. Sebaliknya, kekurangan gizi pada anak-anak akan
mengakibatkan lemahnya kemampuan belajar, cepat lelah dan sakit-sakitan.
Hal penting yang perlu diperhatikan pada gizi seimbang ini adalah makanan
yang beraneka ragam yang mengandung karbohidrat, lemak protein, vitamin,
mineral dan serat sesuai dengan proporsi. Makan sayur-sayuran dan buah-
buahan serta pola makan yang teratur yaitu tiga kali sehari pada pagi, siang
dan malam hari.
2.8 Hasil Belajar Siswa
2.8.1 Pengertian hasil belajar siswa
Belajar merupakan hal terpenting yang harus dilakukan manusia untuk
menghadapi perubahan lingkungan yang senantiasa berubah setiap waktu.
Pernyataan tersebut didukung oleh penjelasan Slameto (2010) bahwa belajar ialah
suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan
tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri
dalam interaksi dengan lingkungannya. Sejalan dengan pendapat tersebut Hamalik
(2003) menyatakan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku
individu melalui interaksi dengan lingkungan. Dengan demikian belajar adalah
suatu proses psikis yang berlangsung dalam interaksi antara subjek dengan
lingkungannya dan menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan,
pemahaman, keterampilan, sikap dan kebiasaan yang bersifat relatif konstan/tetap,
baik melalui pengalaman, latihan maupun praktik yang selanjutnya dinamakan
hasil belajar.
Hasil belajar adalah hasil yang telah dicapai seseorang dalam usaha belajar
yang dilakukan dalam periode tertentu. Hasil belajar dapat dipakai sebagai ukuran
untuk mengetahui sejauh mana siswa dapat menguasai materi pelajaran yang telah
dipelajari. Menurut Hamalik (2003) hasil belajar merupakan terjadinya perubahan
tingkah laku pada diri seseorang. Pendapat ini didukung oleh Dimyati dan
Mudjiono (2009) yang menyebutkan bahwa hasil belajar adalah hasil dari suatu
interaksi tindak belajar dan mengajar. Berdasarkan pendapat tersebut dapat
diuraikan bahwa hasil belajar adalah kemampuan, sikap dan keterampilan yang
diperoleh siswa setelah ia menerima perlakuan yang diberikan oleh guru sehingga
dapat mengonstruksikan pengetahuan itu dalam kehidupan sehari-hari. Hasil
belajar membentuk pribadi individu yang selalu ingin mencapai hasil yang lebih
baik sehingga akan mengubah cara berpikir serta menghasilkan perilaku yang
lebih baik.
Nasution (2001) mengatakan bahwa hasil belajar adalah penguasaan
seseorang terhadap pengetahuan atau keterampilan tertentu dalam suatu mata
pelajaran yang lazim diperoleh dari nilai tes atau angka yang diberikan guru. Bila
angka yang diberikan guru rendah maka hasil belajar seorang siswa dianggap
rendah, sebaliknya jika angka yang diberikan guru tinggi maka hasil belajar
seorang siswa dikatakan tinggi sekaligus dianggap sebagai siswa yang sukses
dalam belajar. Gagne (1985) mengatakan bahwa hasil belajar merupakan hasil
perubahan yang meliputi kemampuan, keterampilan intelektual, strategi kognitif,
informasi verbal, keterampilan motorik, sikap, dan nilai. Dengan demikian hasil
belajar dapat diartikan sebagai kemampuan aktual yang dapat diukur dan
berwujud penguasaan ilmu pengetahuan, sikap, keterampilan, dan nilai-nilai yang
dicapai oleh siswa sebagai hasil dari proses belajar.
Benjamin S. Bloom dalam Anderson dkk. (2001) mengklasifikasikan hasil
belajar atau lebih dikenal dengan taksonomi Bloom menjadi tiga yaitu:
kemampuan kognitif, psikomotor, dan kemampuan afektif. Kemampuan kognitif
adalah kemampuan berpikir secara hierarkis terdiri atas pengetahuan, pemahaman,
aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Kemampuan psikomotor berkaitan dengan
kemampuan gerak yang sering disebut dengan keterampilan dan banyak terdapat
dalam pelajaran praktik. Kemampuan afektif siswa meliputi perilaku sosial, sikap,
minat, disiplin, dan sejenisnya.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa hasil
belajar dapat diartikan sebagai hasil yang dicapai peserta didik setelah peserta
didik mengikuti suatu proses belajar di sekolah dalam jangka waktu tertentu.
Khusus untuk ranah kognitif, Taksonomi Bloom yang sudah direvisi oleh
Anderson pada tahun 2001 dalam bukunya yang berjudul “A Taxonomy for
Learning, Teaching, and Assessing: A Revision of Bloom’s Taxonomy of
Educational Objectives” terdapat perubahan kata kunci, masing-masing kategori
masih diurutkan secara hierarkis dari urutan terendah ke yang lebih tinggi.
Menurut Taksonomi Bloom yang sudah direvisi Anderson dkk. (2001), pada
ranah kognitif dimensi sintesis dan evaluasi ditukar urutannya kemudian dimensi
sintesis dinamai dengan mencipta, sehingga urutannya menjadi evaluasi dan
mencipta.
Taksonomi Bloom yang sudah direvisi oleh Anderson membagi kategori
dalam proses-proses kognitif yang sering dijumpai terdiri atas mengingat,
memahami, dan mengaplikasikan, menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta.
Selain kategori-kategori dalam proses kognitif tersebut, Taksonomi Bloom yang
direvisi oleh Anderson juga membagi pengembangan psikologi kognitif kedalam
empat dimensi pengetahuan yang meliputi: pengetahuan faktual, konseptual,
prosedural, dan metakognitif. Masing-masing dimensi tersebut dijabarkan sebagai
berikut.
1) Pengetahuan faktual
Pengetahuan faktual adalah pengetahuan tentang elemen-elemen yang terpisah
dan mempunyai ciri-ciri tersendiri “potongan-potongan informasi”.
Pengetahuan faktual meliputi pengetahuan tentang terminologi dan tentang
detail-detail dan elemen-elemen yang spesifik.
2) Pengetahuan konseptual
Pengetahuan konseptual adalah pengetahuan tentang ”bentuk-bentuk
pengatahuan yang lebih kompleks dan terorganisasi”. Jenis pengetahuan ini
mencakup pengetahuan tentang klasifikasi dan kategori, prinsip dan
generalisasi, juga tentang teori, model, dan struktur.
3) Pengetahuan prosedural
Pengetahuan prosedural adalah “pengetahuan tentang bagaimana melakukan
sesuatu”. Ini melingkupi pengetahuan perihal keterampilan dan algoritma,
teknik dan metode, juga perihal kriteria-kriteria yang digunakan untuk
menentukan dan atau menjustifikasi (kapan harus melakukan sesuatu) dalam
ranah-ranah dan disiplin-disiplin ilmu tertentu.
4) Pengetahuan metakognitif
Pengetahuan metakognitif adalah pengetahuan mengenai kognisi secara umum,
kesadaran dan pengetahuan mengenai kognisi diri sendiri. Pengetahuan jenis
ini melingkupi pengetahuan strategis, pengetahuan tentang proses-proses
kognitif, termasuk pengetahuan kontekstual dan kondisional serta pengetahuan
diri. Aspek-aspek tertentu dari pengetahuan metakognitif tidak sama dengan
pengetahuan yang disepakati dan didefinisikan oleh para pakar.
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan hasil belajar mencakup tiga ranah,
di mana masing-masing ranah tersebut memiliki bagian-bagian tersendiri. Hasil
belajar merupakan hasil yang dicapai siswa setelah mengikuti proses
pembelajaran dalam jangka waktu tertentu. Hasil belajar ini ditunjukkan oleh skor
yang diperoleh siswa setelah mengerjakan tes hasil belajar.
Kurikulum 2013 sebagaimana termaktub dalam (Permendikbud Nomor 103
Tahun 2014) menggunakan modus pembelajaran langsung (direct instructional)
dan tidak langsung (indirect instructional). Pembelajaran langsung adalah
pembelajaran yang mengembangkan pengetahuan, kemampuan berpikir dan
keterampilan melalui interaksi langsung dengan sumber belajar. Pembelajaran
langsung menghasilkan pengetahuan dan keterampilan, yang disebut dengan
dampak pembelajaran (instructional effect). Sedangkan pembelajaran tidak
langsung adalah pembelajaran yang terjadi selama proses pembelajaran langsung
yang dikondisikan menghasilkan dampak pengiring (nurturant effect).
Pembelajaran tidak langsung berkenaan dengan pengembangan sikap spiritual dan
sikap sosial. Sejalan dengan hal itu, ditegaskan dalam Permendikbud Nomor 104
Tahun 2014 penilaian hasil belajar peserta didik juga mencakup kompetensi sikap
spiritual dan sikap sosial, kompetensi pengetahuan, dan kompetensi keterampilan.
Ketiga kompetensi hasil belajar tersebut lebih lanjut dapat dijelaskan sebagai
berikut. Pertama, sasaran penilaian hasil belajar pada ranah sikap spiritual (KI 1)
dan sikap sosial (KI 2) adalah menerima nilai, menanggapi nilai, menghargai
nilai, menghayati nilai, dan mengamalkan nilai. Sikap spiritual seperti: ketaatan
beribadah, perilaku syukur, berdoa, toleransi dalam beribadah; dan sikap sosial,
seperti: jujur, disiplin, tanggung jawab, santun, peduli, dan percaya diri. Kedua,
sasaran penilaian hasil belajar pada ranah pengetahuan (KI 3) adalah mengingat,
memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta. Ketiga,
sasaran penilaian hasil belajar pada ranah keterampilan (KI 4) mencakup dua
aspek, yaitu aspek keterampilan abstrak berupa mengamati, menanya,
mengumpulkan informasi/mencoba, menalar/mengasosiasi, mengomunikasikan,
dan aspek keterampilan konkret adalah persepsi (perception), kesiapan (set),
meniru (guided response), membiasakan gerakan (mechanism), mahir (complex or
overt response), menjadi gerakan alami (adaptation), menjadi tindakan orisinal
(origination).
2.8.2 Faktor-faktor yang memengaruhi hasil belajar
Menurut Syah (2008) dan Rusman (2012b), faktor yang memengaruhi hasil
belajar digolongkan menjadi dua, yaitu faktor internal dan eksternal.
1) Faktor internal
(1) Faktor fisiologis. Secara umum kondisi fisiologis, seperti kesehatan yang
prima, tidak dalam keadaan lelah dan capek, tidak dalam keadaan cacat
jasmani dan sebagainya. Hal tersebut dapat mempengaruhi peserta didik
dalam menerima materi pelajaran.
(2) Faktor psikologis. Setiap indivudu dalam hal ini peserta didik pada
dasarnya memiliki kondisi psikologis yang berbeda-beda, tentunya hal ini
turut mempengaruhi hasil belajarnya. Beberapa faktor psikologis meliputi
intelegensi (IQ), perhatian, minat, bakat, motif, motivasi, kognitif dan daya
nalar peserta didik.
2) Faktor eksternal
(1) Faktor lingkungan. Faktor lingkungan dapat memengurhi hasil belajar.
Faktor lingkungan ini meliputi lingkungan fisik dan lingkungan sosial.
Lingkungan alam misalnya suhu, kelembaban dan lain-lain. Belajar pada
tengah hari di ruangan yang kurang akan sirkulasi udara akan sangat
berpengaruh dan akan sangat berbeda pada pembelajaran pada pagi hari
yang kondisinya masih segar dan dengan ruangan yang cukup untuk
bernafas lega.
(2) Faktor Instrumental. Faktor-faktor instrumental adalah faktor yang
keberadaan dan penggunaannya dirancang sesuai dengan hasil belajar yang
diharapkan. Faktor-faktor ini diharapkan dapat berfungsi sebagai sarana
untuk tercapainya tujuan-tujuan belajar yang direncanakan. Faktor-faktor
instrumental ini berupa kurikulum, sarana dan guru
Faktor-faktor yang telah dikemukakan tersebut akan memengaruhi proses belajar
yang dilakukan siswa yang akan berpengaruh pada hasil belajar yang diperoleh
siswa.
2.8.3 Pengaruh minat dan motivasi terhadap hasil Belajar
Proses belajar mengajar adalah kegiatan utama dalam dunia pendidikan.
Untuk mencapai keberhasilan dalam sebuah proses belajar dilihat dari hasil
belajar yang optimal. Hasil belajar optimal ini dipengaruhi oleh faktor minat.
Siswa yang memiliki minat belajar yang tinggi akan senantiasa memberikan
perhatian penuh dalam usahanya mencapai tujuan pembelajaran. Selain minat
siswa dalam belajar, motivasi dalam belajar juga berpengaruh terhadap hasil
belajar.
Istilah minat dan motivasi sering digunakan secara bergantian, meskipun
sesusungguhnya kedua terminologi ini tidak sama (Schiefele, 2009). Minat
mengacu pada preferensi dan kecenderungan untuk terlibat dalam kegiatan atau
domain tertentu (Hidi & Renninger, 2006). Motivasi, di sisi lain, adalah proses
yang lebih luas yang mengacu pada keinginan untuk membawa keadaan akhir
tertentu dalam situasi tertentu, termasuk memuali dan mempertahankan perilaku
yang terkait dengan tujuan (Schunk, dkk., 2008).
1) Minat belajar
Menurut Ahmadi & Supriyono (2004), minat adalah sikap jiwa orang seorang
termasuk ketiga fungsi jiwanya (kognisi, konasi, dan emosi), yang tertuju pada
sesuatu dan dalam hubungan itu unsur perasaan yang kuat. Pendapat Slameto
(2010) tentang minat adalah kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan
mengenang beberapa kegiatan. Menurut Djaali (2012), minat adalah rasa lebih
suka dan rasa ketertarikan pada suatu hal atau aktivitas, tanpa ada yang menyuruh.
Sedangkan menurut Crow & crow (dalam Djaali, 2012) mengatakan bahwa minat
berhubungan dengan gaya gerak yang mendorong seseorang untuk menghadapi
atau berurusan dengan orang, benda, kegiatan, pengalaman yang dirangsang oleh
kegiatan itu sendiri. Dari beberapa pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan
bahwa pengertian minat adalah rasa ketertarikan, perhatian, keinginan lebih yang
dimiliki seseorang terhadap suatu hal, tanpa ada dorongan.
Menurut Slameto (2010), siswa yang berminat dalam belajar adalah
sebagai berikut.
(1) Memiliki kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan
mengenang sesuatu yang dipelajari secara terus-menerus.
(2) Ada rasa suka dan senang terhadap sesuatu yang diminatinya.
(3) Memperoleh sesuatu kebanggaan dan kepuasan pada suatu yang diminati.
(4) Lebih menyukai hal yang lebih menjadi minatnya daripada hal yang
lainnya
(5) Dimanifestasikan melalui partisipasi pada aktivitas dan kegiatan.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri minat belajar
adalah memiliki kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan
mengenang sesuatu secara terus menerus, memperoleh kebanggaan dan kepuasan
terhadap hal yang diminati, berpartisipasi pada pembelajaran, dan minat belajar
dipengaruhi oleh budaya. Ketika siswa ada minat dalam belajar maka siswa akan
senantiasa aktif berpartisipasi dalam pembelajaran dan akan memberikan
prestasi yang baik dalam pencapaian prestasi belajar.
Menurut Djamarah (2013), indikator minat belajar yaitu rasa suka/senang,
pernyataan lebih menyukai, adanya rasa ketertarikan adanya kesadaran untuk
belajar tanpa di suruh, berpartisipasi dalam aktivitas belajar, memberikan
perhatian. Sedangkan menurut Slameto (2010) terdapat beberapa indikator minat
belajar yaitu: perasaan senang, ketertarikan, penerimaan, dan keterlibatan siswa.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Sauer (2012) ditemukan fakta bahwa
minat siswa merupakan faktor dalam motivasi dan kesuksesan. Sehubungan
dengan itu Sauer meminta para guru untuk mempertimbangkan minat siswa
ketika merencanakan pembelajaran. Minat siswa memainkan peran kunci dalam
keberhasilan siswa. Minat diperlukan untuk melanjutkan motivasi belajar.
Seperti temuan Shernoff, dkk. (2003), bahwa tantangan dan kepuasan dalam
penyelesaian tugas akan memotivasi siswa dan melibatkan minat mereka.
2) Motivasi belajar
Kata motivasi berasal dari bahasa Latin yaitu movere, yang berarti bergerak
(move). Motivasi menjelaskan apa yang membuat orang melakukan sesuatu,
membuat mereka tetap melakukannya,dan membantu mereka dalam
menyelesaikan tugas-tugas. Hal ini berarti bahwa konsep motivasi digunakan
untuk menjelaskan keinginan berperilaku, arah perilaku (pilihan), intensitas
perilaku (usaha, berkelanjutan), dan penyelesaian atau prestasi yang
sesungguhnya (Pintrich, 2003).
Menurut Santrock, motivasi adalah proses yang memberi semangat, arah, dan
kegigihan perilaku. Artinya, perilaku yang memiliki motivasi adalah perilaku yang
penuh energi, terarah, dan bertahan lama (Santrock, 2007). Dalam kegiatan
belajar, maka motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak di
dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin
kelangsungan dari kegiatan belajar dan memberikan arah pada kegiatan belajar,
sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subjek belajar itu dapat tercapai
(Sardiman, 2012).
Sejalan dengan pernyataan Santrock di atas, Brophy (2004) menyatakan
bahwa motivasi belajar lebih mengutamakan respon kognitif, yaitu kecenderungan
siswa untuk mencapai aktivitas akademis yang bermakna dan bermanfaat mencoba
untuk mendapatkan keuntungan dari aktivitas tersebut. Siswa yang memiliki
motivasi belajar akan memperhatikan pelajaran yang disampaikan, membaca
materi sehingga bisa memahaminya, dan menggunakan strategi-strategi belajar
tertentu yang mendukung. Selain itu, siswa juga memiliki keterlibatan yang
intens dalam aktivitas belajar tersebut, rasa ingin tahu yang tinggi, mencari
bahan-bahan yang berkaitan untuk memahami suatu topik, dan menyelesaikan
tugas yang diberikan. Siswa yang memiliki motivasi belajar akan bergantung pada
apakah aktivitas tersebut memiliki isi yang menarik atau proses yang
menyenangkan. Intinya, motivasi belajar melibatkan tujuan-tujuan belajar dan
strategi yang berkaitan dalam mencapai tujuan belajar tersebut (Brophy, 2004).
Menurut Sardiman (2012), dalam motivasi terkandung tiga unsur penting,
yaitu :
(1) Motivasi itu mengawali terjadinya perubahan energi pada diri setiap
individu manusia, perkembangan motivasi akan membawa beberapa
perubahan energi di dalam system neurophysiological yang ada pada
organisme manusia.
(2) Motivasi ditandai dengan munculnya rasa (feeling) atau afeksi seseorang.
Motivasi dalam hal ini relevan dengan persoalan-persoalan kejiwaan,
afeksi dan emosi yang dapat menentukan tingkah laku manusia.
(3) Motivasi akan dirangsang karena adanya tujuan. Motivasi dalam hal ini
sebenarnya merupakan respons dari suatu aksi yakni tujuan.
Psikolog pendidikan telah lama mengakui pentingnya motivasi untuk
mendukung pembelajaran siswa (Lai, 2011). Motivasi adalah resep mendasar
untuk keberhasilan akademik. Gasco dkk. (2014) mencatat bahwa motivasi
memainkan peran penting dalam pembelajaran karena sangat menjelaskan kinerja
akademis. Alavi dan Leidner (2001) menemukan hubungan yang kuat antara
motivasi dan hasil belajar. Motivasi telah dilaporkan dalam pendidikan dasar,
menengah dan perguruan tinggi memengaruhi kinerja akademik melalui upaya
belajar sebagai mediator (Vansteenkiste dkk., 2005). Sedemikian penting faktor
motivasi dalam pendidikan tercermin dalam ungkapan (quatation) “There are
three things to remember about education. The first one is motivation. The second
one is motivation. The third one is motivation” (Terrell H. Bell).
2.8.4 Penilaian hasil belajar
Penilaian hasil belajar oleh pendidik pada pendidikan dasar dan menengah
diatur dalam Permendikbud Nomor 104 Tahun 2014. Penilaian dalam proses
pendidikan merupakan komponen yang tidak dapat dipisahkan dari komponen
lainnya khususnya pembelajaran. Penilaian merupakan proses pengumpulan dan
pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik.
Penilaian hasil belajar oleh pendidik dilakukan untuk memantau proses, kemajuan
belajar, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.
Penegasan tersebut termaktub dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013
tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan. Penilaian hasil belajar oleh pendidik memiliki
peranantara lain untuk membantu peserta didik mengetahui capaian pembelajaran
(learning outcomes). Berdasarkan penilaian hasil belajar oleh pendidik, pendidik
dan peserta didik dapat memperoleh informasi tentang kelemahan dan kekuatan
pembelajaran dan belajar. Secara teknis agar guru memiliki acuan praktis dalam
merencanakan dan melaksanakan penilaian hasil belajar peserta didik yang
komperehensif dan objektif dituangkan dalam panduan penilaian untuk SD
(Kemdikbud, 2015).
Prinsip-prinsip penilaian dalam pembelajaran tematik sama dengan prinsip
yang harus dijadikan landasan pembelajaran terpadu. Menurut Barton dan Smith
(2000), penilaian dalam pembelajaran terpadu menggunakan asesmen autentik.
Sejalan dengan hal tersebut Kurikulum 2013 yang menggunakan pembelajaran
tematik terpadu mensyaratkan penggunaan penilaian autentik (authentic
assesment). Hal ini diyakini bahwa penilaian autentik lebih mampu memberikan
informasi kemampuan peserta didik secara holistik dan valid. Dalam sistem
pendidikan nasional rumusan hasil belajar banyak menggunakan klasifikasi hasil
belajar dari Benyamin Bloom yang secara garis besar membaginya menjadi tiga
ranah, yakni ranah afektif, ranah kognitif, dan ranah psikomotorik (Arikunto,
2008; Sudjana, 2009). Ini relevan dengan kurikulum berbasis kompetensi (KBK).
Dengan demikian penilaian hasil belajar oleh pendidik adalah proses
pengumpulan informasi/bukti tentang capaian pembelajaran peserta didik dalam
kompetensi sikap spiritual dan sikap sosial, kompetensi pengetahuan, dan
kompetensi keterampilan yang dilakukan secara terencana dan sistematis, selama
dan setelah proses pembelajaran.
Penilaian sikap merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pendidik untuk
memperoleh informasi mengenai perilaku peserta didik di dalam dan di luar
pembelajaran. Sasaran penilaian hasil belajar pada ranah sikap spiritual dan sikap
sosial adalah menerima nilai, menanggapi nilai, menghargai nilai, menghayati
nilai, dan mengamalkan nilai (Krathwohl dalam Permendikbud 104/2014). Teknik
penilaian yang dapat digunakan untuk menilai sikap peserta didik, antara lain
melalui observasi, penilaian diri, penilaian antarteman, dan penilaian
jurnal/catatan guru (Kemdikbud, 2013c). Instrumen yang digunakan antara lain
daftar cek atau skala penilaian (rating scale) yang disertai rubrik.
Penilaian pengetahuan merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengukur
penguasaan pengetahuan peserta didik. Sasaran penilaian hasil belajar pada
pengetahuan adalah mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis,
mengevaluasi, dan mencipta. Penilaian hasil belajar pada dimensi pengetahuan
meliputi pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif (Anderson
dkk., 2001). Teknik penilaian kompetensi pengetahuan terdiri dari tes tertulis, tes
lisan, dan penugasan (Kemdikbud, 2013c).
Penilaian keterampilan merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengukur
kemampuan peserta didik dalam menerapkan pengetahuan dalam melakukan
tugas. Sasaran penilaian hasil belajar pada keterampilan berupa kemampuan
belajar mengamati, menanya, mengumpulkan informasi/mencoba,
menalar/mengasosiasi, dan mengomunikasikan (Dyers dalam Permendikbud
104/2014). Teknik penilaian kompetensi keterampilan dapat dilakukan dengan
menggunakan unjuk kerja/kinerja/praktik, proyek, produk, dan portofolio
(Kemdikbud, 2013c).
Dilihat dari fungsinya penilaian dibedakan menjadi lima jenis yaitu penilaian
formatif, penilaian sumatif, penilaian diagnostik, penilaian selektif, dan penilaian
penempatan (Depdiknas, 2008d; Sudijono, 2006).
(1) Penilaian formatif adalah penilaian yang dilaksanakan guru pada saat
berlangsungnya proses pembelajaran untuk melihat tingkat keberhasilan
proses belajar-mengajar itu sendiri. Dengan demikian, penilaian formatif
berorientasi kepada proses belajar-mengajar untuk memperbaiki program
pengajaran dan strategi pelaksanaannya. Penilaian formatif bertujuan untuk
mengetahui, sudah sejauh mana peserta didik ”telah terbentuk” setelah mereka
mengikuti proses pembelajaran dalam jangka waktu tertentu. Tes formatif
diujikan setelah peserta didik menyelesaikan materi-materi tertentu (Purwanto,
2009). Misalnya setelah menyelesaikan satu tema pembelajaran pada
pembelajaran tematik. Penilaian formatif membantu peserta didik untuk lebih
sukses pada penilaian sumatif (Bakula, 2010).
(2) Penilaian sumatif adalah penilaian yang dilaksanakan pada akhir unit program,
yakni akhir caturwulan, akhir semester, dan akhir tahun. Adapun tujuan utama
dari penilaian sumatif adalah untuk menentukan nilai yang melambangkan
keberhasilan peserta didik setelah mereka menempuh program pengajaran
dalam jangka waktu tertentu. Jadi, tujuan penilaian sumatif adalah untuk
melihat hasil yang dicapai oleh para siswa, yakni seberapa jauh kompetensi
siswa dan kompetensi mata pelajaran dikuasai oleh para siswa. Penilaian ini
berorientasi kepada produk, bukan kepada proses.
(3) Penilaian diagnostik adalah penilaian yang bertujuan untuk melihat
kelemahan-kelemahan siswa serta faktor penyebabnya. Penilaian ini
dilaksanakan untuk keperluan bimbingan belajar, pengajaran remedial
(remedial teaching), menemukan kasus-kasus, dan lain-lain. Soal-soalnya
disusun sedemikian rupa agar dapat ditemukan jenis kesulitan belajar yang
dihadapi oleh para siswa.
(4) Penilaian selektif adalah penilaian yang bertujuan untuk keperluan seleksi,
misalnya tes atau ujian saringan masuk ke sekolah tertentu.
(5) Penilaian penempatan adalah penilaian yang ditujukan untuk mengetahui
keterampilan prasyarat yang diperlukan bagi suatu program belajar dan
penguasaan belajar seperti yang diprogramkan sebelum memulai kegiatan
belajar untuk program itu. Dengan perkataan lain, penilaian ini berorientasi
kepada kesiapan siswa untuk menghadapi program baru dan kecocokan
program belajar dengan kemampuan siswa
112