bab ii kajian pustaka - sinta.unud.ac.id ii 001.pdf · kajian pustaka 2.1 myofascial pain otot...
TRANSCRIPT
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Myofascial Pain Otot Rhomboid
2.1.1 Definisi Myofascial Pain
Myofascial pain adalah suatu kondisi kronis yang mempengaruhi fascia
(jaringan ikat yang menutup otot) (Ratini, 2013), dimana nyeri myofascial
memiliki ciri khas tersendiri yaitu adanya trigger points pada taut band otot
skeletal dan tenderness (Kisner dan Colby, 2007).
Sindrome nyeri myofascial adalah kumpulan gejala dan tanda dari satu
atau beberapa trigger points dan dicirikan oleh nyeri otot kronis dengan
peningkatan sensitivitas terhadap tekanan (Werenski, 2011).
Trigger points adalah benjolan atau nodul yang hipersensitif pada sebuah
taut band. Ada dua kategori, yaitu aktif dan pasif trigger points. Aktif trigger
points berhubungan dengan keluhan nyeri spontan yang mungkin terjadi saat
istirahat atau selama bergerak dan menyebabkan nyeri rujukan sama seperti yang
dirasakan oleh pasien bila dipalpasi pada trigger pointsnya. Nyeri rujukan yang
dirasakan tidak pada asal trigger points, tetapi jauh dan dirasakan menyebar dan
menjalar dengan arah penyebaran biasanya ke distal (Werenski, 2011). Pasif
trigger points tidak menyebabkan nyeri spontan tetapi dapat menyebabkan
keterbatasan gerak dan kelemahan otot, namun ketika titik tersebut mendapat
tekanan, maka pasien akan merasa nyeri yang berasal dari tempat tekanan tadi.
Pasif trigger points dapat menjadi aktif jika mendapat stimulasi seperti postur
salah, penggunaan otot berlebihan atau ketidakseimbangan kerja otot.
Gambar 2.1 Trigger points complex (Werenski, 2011)
Trigger points dapat berupa primer atau sekunder. Trigger points primer
berkembang secara mandiri dan bukan hasil dari aktivitas trigger points yang lain.
Trigger points sekunder bisa terjadi pada otot antagonis dan otot agonis sebagai
akibat stress dan tegang otot (Fernandez et al., 2005).
Taut band adalah satu bendel bagian muscle belly yang mengeras, kaku,
dan ketika diraba akan terasa berbeda dengan bagian otot yang lain. Taut band
merupakan kontraktur yang terlokalisir dalam muscle belly tanpa aktivasi dari
motor end plate dan kekakuan yang terjadi tidak menyeluruh pada sebuah otot.
Adanya taut band dalam otot ini akan berakibat pada penurunan tingkat
ekstensibilitas dan fleksibilitas otot, dalam hal ini otot rhomboid. Akibat dari
adanya perlengketan dalam struktur otot yang terjadi pada fascia dan myofilament
dalam sarcomer taut band maka ada peningkatan konsentrasi secara abnormal
dari asetilkolin dalam end plate taut band. Perlengketan ini berdampak pada
penurunan sirkulasi darah sehingga kebutuhan akan nutrisi dan oksigen pada area
taut band berkurang. Dampaknya terjadi hiperkontraksi sel otot yang akan
mempengaruhi peningkatan metabolisme bersifat lokal serta teraktivasinya saraf
simpatik yang berakibat vasokonstriksi pada pembuluh darah kapiler (Gerwin et
al, 2004).
Myofascial pain sering terjadi di masyarakat, dan hampir pada setiap kasus
terdapat trigger points. Di Amerika Serikat, 14,4% dari populasi umum menderita
myofascial pain kronis. Sekitar 21-93% pasien dengan nyeri regional
mengeluhkan adanya myofascial pain (Jennifer, 2013).
My ofascial pain otot rhomboid a dala h nyer i pa da kondis i kronis pada otot
rhomboid ma yor ata u minor, dimana pa da otot terse but te rdapa t trigger points
akiba t ada nya tightness, tende rness, stif fness , serta taut band pa da jar inga n
my ofascial se hingga me nye ba bka n ga nggua n gera k da n fungs i.
Ga mbar 2. 2 T rigger Point otot Rhomboid (Jennifer, 2013)
2.1.2 Anatomi Otot Rhomboid
Otot-otot rhomboid adalah dua otot membentuk seperti berlian korset
bahu. Keduanya membentang dari kolom tulang belakang ke perbatasan medial
skapula. Otot ini berada di bawah trapezius. Di daerah ini, mereka teraba dan
sering terlihat. Otot-otot rhomboid dibagi menjadi:
1. Otot Rhomboid Major : origo terletak di prosesus spinosus vertebra
thoracal ke dua sampai ke lima. Insersio terletak di border medial di
bagian bawah scapula.
2. Otot Rhomboid Minor: origo terletak di prosesus spinosus vertebra
cervical ke tujuh dan thoracal pertama. Insersio terletak di border medial di
bagian atas scapula.
Biasanya ada ruang kecil antara kedua otot rhomboid. Namun dalam
beberapa kasus orang dapat menemukan satu otot tunggal dicampur sebagai
gantinya. Persarafan ini diberikan oleh saraf dorsal scapular (C4-C5), cabang dari
pleksus brakhialis.
Gambar 2.3 Otot rhomboid mayor dan minor (Netter, 2011)
Kedua otot rhomboid melakukan gerakan yang sama seperti serat-serat
otot mereka berjalan secara paralel menuju arah yang sama. Kontraksinya
menyebabkan gerakan craniomedial skapula (adduksi dan elevasi). Pada saat yang
sama, sudut inferior skapula dipindahkan ke kolom vertebral (rotasi). Fungsi lain
dari otot-otot rhomboid adalah stabilisasi scapula selama istirahat dan gerakan
lengan.
Serupa dengan semua otot-otot bahu, otot-otot rhomboid rentan terhadap
rasa sakit dan gangguan fungsional karena sikap tubuh yang buruk. Penyebab
umum adalah posisi head forward di tempat kerja (misalnya di komputer).
Gejalanya meliputi nyeri kronis di perbatasan medial skapula, kelemahan dan
gangguan koordinasi di bahu hingga kemiringan medial tulang scapula.
2.1.3 Jaringan Myofascial
Fascia adalah selembar jaringan ikat yang menjadi sampul atau bungkus
dari otot dan fasikula, terdiri dari kolagen, elastin, dan substansi dasar. Substansi
dasar adalah sebuah gel seperti gel yang jika dikombinasikan elastin dan kolagen
akan membentuk jaringan tubular. Fascia menjalin, mendukung, dan melindungi
setiap sel di tubuh (Werenski, 2011).
Substansi dasar yang disebut juga mukopolisakarida ini mempunyai fungsi
sebagai pelumas yang memungkinkan serabut untuk mudah bergeser satu sama
lain dan sebagai perekat yang menahan serabut dari jaringan supaya tetap dalam
satu ikatan. Jaringan ikat kolagen terdiri atas sebagian besar kolagen yang
memungkinkan adanya daya rentang (tensile strength) sedangkan jaringan ikat
elastin terdiri atas sebagian besar elastin yang memungkinkan adanya elastisitas.
Berdasarkan tempat dimana fascia ditemukan dalam otot, maka fascia
dibedakan menjadi :
1. Epymisium : merupakan jaringan fascia terluar yang mengikat seluruh
fasikel
2. Perymisium : merupakan jaringan fascia yang membungkus sekelompok
serabut otot ke dalam individual fasikuli
3. Endomysium : merupakan jaringan fascia terdalam yang membungkus
individual otot.
Gambar 2.4 Struktur myofascial (Werenski, 2011)
2.1.4 Fisiologi Otot Rangka
Otot rangka terdiri dari serabut-serabut otot dengan diameter 8 – 10 µm,
dimana setiap serabut otot akan terbagi lagi menjadi serabut yang lebih kecil.
Fungsi utama otot rangka adalah melakukan kontraksi yang menjadi dasar
terjadinya gerakan tubuh. Aktivitas dari kurang lebih 600 otot rangka yang
terdapat di bagian tubuh dikoordinasi oleh sistem saraf sehingga membentuk
gerakan yang harmonis dan posisi tubuh yang tepat.
Setiap serabut otot dikelilingi oleh sarkolema yang merupakan membran
sel serabut otot. Pada ujung serabut, sarkolema akan bergabung dengan serabut
tendon yang akan membentuk tendon otot yang melekat pada tulang. Setiap
serabut otot terdiri dari beberapa myofibril dan setiap myofibril mengandung
miofilamen (aktin dan myosin). Mekanisme kontraksi otot rangka bergantung
pada interaksi kedua protein kontraktil ini.
Gambar 2.5 Komponen otot rangka (Sherwood, 1996)
Myofibril berada dalam sarkolema yang komposisinya sama dengan
komposisi cairan intrasel. Sarkoplasma banyak mengandung ion K, Mg, Fosfat,
dan enzim-enzim. Juga terdapat mitokondria dalam jumlah besar diantara
myofibril. Pada mitokondria inilah dibentuk ATP sebagai sumber energi untuk
kontraksi otot. Sarkoplasma akan melakukan perluasan ke arah dalam sebagai T
tubulus. Melalui T tubulus inilah gelombang depolarisasi selama proses eksitasi
dapat mencapai myofibril yang terletak di bagian dalam.
Diantara myofibril terdapat reticulum sarcoplasma (RS) yang memegang
peranan penting dalam proses eksitasi-kontraksi coupling. Otot yang melakukan
kontraksi dengan cepat mempunyai RS lebih banyak. Pada ujung RS terjadi
pelebaran yang disebut terminal cisternae yang posisinya sangat berdekatan
dengan T tubulus dan disebut junctional sarcoplasmic reticulum. Struktur ini
sangat besar peranannya dalam proses eksitasi – kontraksi coupling, dan
kemungkinan sebagai calcium channel. Fungsi RS adalah melepaskan ion Ca
selama proses kontraksi dan pengambilan serta penyimpanan kembali ion Ca
selama proses relaksasi.
2.1.5 Patofisiologi Myofascial Pain Otot Rhomboid
Otot rhomboid merupakan otot postural atau otot tonik yang bekerja
melakukan gerakan retraksi bahu. Kerja otot ini akan bertambah berat dengan
adanya postur yang jelek, mikro dan makro trauma. Akibatnya yang terjadi adalah
fase kompresi dan ketegangan lebih lama dari pada rileksasi, terjadinya suatu
keadaan yang menyebabkan kelelahan otot yang cepat (Ferry, 2009).
Trauma pada jaringan baik akut maupun kronik akan menimbulkan
kejadian yang berurutan yaitu hiperalgesia dan spasme otot skelet, vasokontriksi
kapiler. Akibatnya pada jaringan myofascial terjadi penumpukan zat-zat nutrisi
dan oksigen ke jaringan serta tidak dapat dipertahankannya jarak antar serabut
jaringan ikat sehingga akan menimbulkan iskemik pada jaringan miofasial. Pada
keadaan iskemia inilah jaringan myofasial akan menegang, sehingga akan
merangsang substansi P (neurotransmitter nyeri) hingga menjadi suatu peradangan
kronis yang menghasilkan zat algogen berupa prostaglandin, bradikinin dan
serotonin yang dapat menimbulkan sensori nyeri. Proses radang dapat juga
menimbulkan respon neuromuskular berupa ketegangan otot (Ferry, 2009).
Dalam waktu yang bersamaan pula akan terjadi proses perbaikan jaringan
miofasial yang mengalami kerusakan dengan cara menstimulasi fibroblas dalam
jaringan miofasial untuk menghasilkan banyak kolagen. Kolagen yang terbentuk
mempunyai susunan yang tidak beraturan atau cross unik sehingga terbentuk
jaringan fibrous yang kurang elastis. Oleh karena rasa nyeri umumnya pasien
enggan menggerakan bagian tersebut, sehingga berada pada posisi immobilisasi
akibatnya otot akan menjadi kontraktur (Ferry, 2009).
2.1.6 Etiologi Myofascial Pain
Faktor-faktor yang mempunyai kontribusi terhadap terjadinya myofascial
pain otot rhomboid adalah (Robert dan Alan, 2001) :
1. Postur yang buruk yang menyebabkan stress dan strain pada otot
rhomboid, misalnya : forward head posture yaitu postur di mana posisi
kepala terus menerus ke depan.
2. Ergonomi kerja yang buruk yang berlangsung berulang-ulang dan dalam
waktu yang lama akan menimbulkan stress mekanik yang berkepanjangan,
misalnya seseorang di depan komputer dengan layar yang terlalu tinggi
atau agak jauh dari kursi duduk.
3. Trauma pada jaringan myofascial otot rhomboid, misalnya atlet sepak bola
yang mendadak menyundul bola dengan posisi kepala miring, sehingga
menimbulkan strain pada otot rhomboid.
4. Degenerasi, perubahan yang jelas pada sistem otot pada usia lanjut, di
mana terjadi pengurangan massa otot.
2.1.7 Tanda dan Gejala Myofascial Pain
Nyeri pada myofascial pain merupakan implikasi ditandai adanya taut
band yang berisi trigger point di dalam otot rhomboid. Implikasi klinis trigger
point meliputi dua hal, yaitu aspek motorik dan sensorik (Simons dan Mense,
2003).
Aspek motorik meliputi gangguan fungsi motorik, kelemahan otot karena
inhibisi motorik, kekakuan otot, dan keterbatasan LGS (Lingkup Gerak Sendi)
karena kontraktur otot. Sedangkan aspek sensorik meliputi tenderness lokal, nyeri
rujukan ke bagian lain, serta sensitisasi saraf perifer dan pusat (Simons dan
Mense, 2003).
Adanya taut band ini membuat otot rhomboid mengalami penurunan
performance akibat daya tahan dan kekuatan otot yang menurun.
2.2 Pemeriksaan Fisioterapi
1. Anamnesis
Metode pengumpulan data dengan wawancara baik langsung pada pasien
maupun pada keluarga. Anamnesis mencakup identitas pasien, keluhan utama,
riwayat penyakit, pekerjaan, serta tindakan medik yang pernah dilakukan.
2. Pemeriksaan umum
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat keadaan umum pasien seperti
tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu dan lain sebagainya.
3. Pemeriksaan khusus
Pemeriksaan ini terdiri dari :
A Inspeksi
Pemeriksaan secara visual tentang kondisi serta kemampuan gerak dan
fungsinya seperti kondisi pasien saat datang, raut nyeri pada wajah,
posture, tanda radang, dan pola gerakan shoulder, scapula, dan cervical.
B Palpasi adalah pemeriksaan terhadap anggota gerak dengan menggunakan
tangan untuk mengetahui gejala peradangan, spasme otot, letak nyeri dan
membedakan antara kedua anggota gerak yang kanan dan yang kiri atau
yang sakit dengan yang sehat.
Palpasi otot rhomboid : Pasien dalam posisi tengkurap dengan posisi
elbow fleksi dan internal rotation shoulder pada sisi rhomboid yang akan
dipalpasi. Pertama, palpasi muscle belly yang oblique kemudian turunlah
ke bawah menyilang sekitar 2 inchi di antara processus spinosus dan sisi
medial scapula. Kemudian palpasi musculus rhomboid pada sisi yang
lainnya sebagai perbandingan (Soekarno, 2009).
Gambar 2.6 Palpasi otot rhomboid (Washington University of Medicine, 2010)
C. Pemeriksaan gerak dan fungsi
Pemeriksaan gerak fungsi dilakukan secara gerak aktif dari anggota gerak,
dalam hal ini cervical dan shoulder yang sakit untuk mengetahui informasi
ROM dan ada tidaknya nyeri. Dilakukan pula gerak pasif yang dilakukan
oleh terapis untuk mengetahui informasi tentang ROM, end feel dari sendi,
dan ada tidaknya nyeri. Sedangkan pemeriksaan secara resisted dilakukan
untuk mengetahui adanya penurunan kekuatan otot dan ada tidaknya
masalah pada jaringan lunak dengan ada tidaknya nyeri saat diberikan
tahanan.
D. Pengukuran Nyeri
Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak
menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial.
Nyeri adalah alasan utama seseorang untuk mencari bantuan perawatan
kesehatan. Nyeri terjadi bersama banyak proses penyakit atau bersamaan
dengan beberapa pemeriksaan diagnostik atau pengobatan (Smeltzer,
2011).
Metode yang digunakan dalam pemeriksaan pengukuran nyeri
yaitu berupa Visual Analog Scale dengan modifikasi. Pada visual analog
scale (VAS) dengan modifikasi angka, pasien bisa bebas
mengekspresikan nyeri, jenis yang digunakan berupa garis lurus dengan
modifikasi berupa pemberian angka dari 0 (nol) sampai 10. Garis dimulai
dari arah kiri dengan angka 0 (nol) yaitu nilai tidak nyeri sampai ke arah
kanan dengan angka 10 yaitu nilai nyeri tak tertahankan, sedangkan di
tengah-tengah dapat dikatakan nyeri sedang dengan angka 5. Pasien
diminta untuk memberitahu posisi nyeri yang dirasakan di titik angka
berapa di sepanjang garis (Potter dan Perry, 2005).
Gambar 2.7Visual Analog Scale (Smeltzer, 2011)
2.2.1 Deskripsi Problematika Fisioterapi
Problematika yang sering terjadi pada kondisi myofascial pain otot
rhomboid sebenarnya sangat komplek sehingga dapat menimbulkan berbagai
gangguan yang meliputi impairment, fungsional limitation dan disability.
1. Impairment
Problematika yang muncul pada kondisi myofascial pain otot rhomboid
adalah adanya nyeri tekan dan nyeri gerak pada otot rhomboid, adanya
keterbatasan gerak, ngilu atau linu terasa saat leher dan bahu aktif bergerak,
sering menjalar ke atas dan menyebabkan sakit kepala.
2. Fungsional limitation
Pada fungsional limitation adanya gangguan Activity of Daily Living seperti
menoleh dan mengangkat bahu.
3. Disability
Disability merupakan ketidakmampuan dalam melakukan kegiatan yang
berhubungan dengan lingkungan pasien yaitu penderita mengalami kesulitan
dalam melakukan aktivitas karena adanya gangguan keterbatasan gerak pada
leher dan bahu dan adanya spasme. Gangguan tersebut antara lain :
keterbatasan gerak dan nyeri pada saat menoleh dan mengangkat bahu.
2.3 Hold Relax Stretching
2.3.1 Definisi Hold Relax Stretching
Hold relax adalah salah satu teknik khusus exercises dari Proprioceptive
Neuro Muscular Facilitation (PNF) yang menggunakan kontraksi isometrik
secara optimal dari kelompok otot antagonis yang memendek sampai terjadi
penambahan ROM dan penurunan nyeri (Yulianto, 2000). Sedangkan menurut
Kisner dan Colby (2007) menyatakan bahwa hold relax adalah kemampuan
penderita melakukan kontraksi isometrik pada otot dan jaringan ikat memendek
selanjutnya diikuti dengan penguluran otot secara pasif hingga terjadi
penambahan ROM dan nyeri toleransi penderita.
2.3.2 Indikasi Hold Relax Stretching
Indikasi permberian teknik hold relax stretching sebagai berikut :
1. ROM terbatas karena pemendekan jaringan lunak akibat dari adhesi,
kontraktur, dan bekas luka.
2. Pencegahan keterbatasan ROM untuk menghindari kecacatan.
3. Pemendekan dan kelemahan otot.
2.3.3 Kontra Indikasi Hold Relax Stretching
Kontra indikasi permberian teknik hold relax stretching sebagai berikut :
1. Adanya kekakuan sendi karena blok dari tulang
2. Adanya fraktur baru dan jaringan tulang belum sempurna
3. Adanya inflamasi akut atau proses infeksi seperti panas dan bengkan
atau penyembuhan jaringan lunak.
4. Adanya nyeri akut dan tajam saat sendi digerakkan atau elongasi otot
5. Adanya hematoma atau trauma jaringan lain
6. Hipermobilitas
2.3.4 Efek Hold Relax Stretching pada Penurunan Nyeri Myofascial Pain
Fleksibilitas pada otot yang spasme tidak sama terhadap otot yang normal,
otot yang spasme tidak bisa memanjang dengan sempurna karena pemendekan.
Nyeri yang terjadi pada spasme otot dapat berkurang dengan menggunakan teknik
hold relax stretching. Hold relax stretching melatih kembali fleksibilitas otot agar
dapat memanjang dengan sempurna dan mengembalikan kekuatan otot sehingga
mengurangi terjadinya cedera berulang. Serat otot yang mengalami spasme
memiliki struktur yang tidak teratur, yang jika dalam waktu lama dapat otot dapat
berubah menjadi taut band atau kontraktur pada otot dan terbentuk nodule yang
menyebabkan iskemik pada pembuluh darah di bawahnya, hal ini membuat
metabolisme di sekitar otot tersebut tidak lancar sehingga menimbulkan nyeri.
Serabut otot yang membentuk nodule dapat berkurang dengan adanya penguluran
dari badan otot tersebut. Otot dapat kembali bergerak dan memanjang dengan
mudah sehingga metabolisme di sekitar otot tersebut dapat dengan lancar
menyebarkan enkefalin, endorphin, serotonin, dan noradrenalin yang dapat
menurunkan rasa nyeri.
2.4 Transverse Friction Massage
2.4.1 Definisi Transverse Friction Massage
Transverse friction massage adalah salah satu modalitas fisioterapi dalam
melakukan pengobatan dengan menggunakan teknik cross-fiber friction di mana
satu atau lebih jari tangan diletakkan di atas kulit pada lesi yang tepat dengan
tekanan yang kuat dan konsisten dalam satu arah dengan arah gerakan menyilang
dan tegak lurus terhadap arah serabut otot (Brosseau et al., 2004).
Transverse friction cukup efektif digunakan untuk menghilangkan
jaringan ikat dan cross link (serabut acak) pada myofascial pain (Brosseau et al.,
2004).
2.4.2 Indikasi Transverse Friction Massage
Indikasi permberian teknik transverse friction massage yaitu
1. Kondisi sehabis trauma atau sehabis operasi sub akut dan kronik pada
sistem musculoskeletal
2. Kondisi ketegangan, perlengketan dan pemendekan jaringan otot dan
jaringan lunak yang lain
3. Kondisi keluhan nyeri
4. Kondisi kurang lancarnya peredaran darah
2.4.3 Kontra Indikasi Transverse Friction Massage
Kontra indikasi permberian transverse friction massage sebagai berikut :
1. Osifikasi atau pengerasan pada jaringan lunak
2. Penyakit kulit
3. Sepsis pada area setempat
4. Rheumatoid pada tendon maupun rheumatoid arthritis
5. Penekanan pada saraf
2.4.4 Efek Transverse Friction Massage pada Penurunan Nyeri Myofascial
Pain
Menurut Cyriax dan Russel (1980), salah satu tujuan transverse friction
massage yaitu untuk memproduksi traumatic hyperemia dengan meningkatkan
suplai darah di area otot yang spasme. Seperti kita ketahui pada otot dalam
keadaan spasme atau lesi peredaran darah yang melewati otot tersebut tidak lancar
dan terjadilah nyeri, pemberian transverse friction massage secara berulang-ulang
dapat mengurangi nodule yang ada pada struktur serat otot yang spasme.
Berkurangnya nodule dengan melemasnya struktur serat otot dapat mempengaruhi
efektivitas gerakan dari serat otot seperti memanjang dan otot akan mudah
digerakan kembali sehingga peredaran darah dan metabolisme di sekitar otot
tersebut dapat berjalan lebih lancar. Hal ini membuat enkefalin, endorphin,
serotonin, dan noradrenalin dapat tersebar dan sampai dengan baik di sekitar otot
yang bermasalah dan membuat nyeri pada otot berkurang.
2.5 Ultra Sound ( US )
2.5.1 Definisi Ultra Sound ( US )
Ultra Sound (US) merupakan suatu modalitas terapi yang terdiri dari
gelombang suara frekuensi tinggi dengan bentuk getaran kaustik yang disebarkan
dalam gelombang longitudinal yang tidak dapat terdengar oleh manusia yang
memiliki frekuensi gelombang suara lebih dari 20.000 Hz (Ebrahim, 2011).
Terapi US menggunakan transduser yang bergerak dinamis secara sirkular dan
paralel yang dapat merambat melalui media padat, cair, dan gas karena gelombang
suara merupakan rambatan energi sehingga merambat sebagian interaksi dengan
molekul dan sifat enersia media yang dilaluinya.
Gambar 2.8 Ultra sound
2.5.2 Indikasi Ultra Sound
Indikasi dalam terapi modalitas Ultra sound yaitu sebagai berikut :
1. Nyeri pada kondisi spasme otot, tulang dan sendi
2. Gangguan neurologis
3. Kontraktur sendi
4. Tendinitis, Adhesi, Sinovitis, myofacial syndrome.
5. Oedema
6. Gangguan sirkulasi darah
7. Keluhan atau kelainan penyakit pada kulit atau jaringan parut.
2.5.3 Kontra Indikasi Ultra Sound
Kontra Indikasi dalam terapi modalitas ultra sound yaitu sebagai berikut :
1. Absolut pada mata, uterus, kehamilan, testis, jantung, area tumor ganas,
unsufisiensi vaskuler.
2. Relatif pada gangguan sensibilitas, adanya protease, diabetes mellitus,
post lamenoktomi, varises, sepsis, inflamasi akut, tuberkilosa tulang.
2.5.4 Efek Ultra Sound terhadap Penurunan Nyeri
Mekanisme gelombang ultra sound terhadap penurunan nyeri yaitu
melalui beberapa efek yang dihasilkan gelombang tersebut. Efek-efek tersebut
yang dapat menurunkan nyeri yaitu :
a. Efek Termal
Efek termal yang dihasilkan gelombang ultra sound dapat membantu proses
vasodilatasi pada otot yang mengalami vasokontriksi pada otot yang spasme
sehingga metabolism aliran darah dapat tersampaikan secara lancar dan
mengurangi nyeri (Ebrahim, 2011).
b. Efek Micro Massage
Efek micro massage dapat menimbulkan micro tissue damage dan
menimbulkan reaksi inflamasi primer, dan selanjutkan terjadi inflamasi
sekunder karena terstimulasinya saraf polimedal sehingga dapat mempercepat
terjadinya penyembuhan dan regenerasi jaringan yang mengalami kerusakan
seperti spasme otot (Hardjono dan Ervina, 2012)
c. Efek Piezoelektrik
Ultra sound juga menimbulkan efek piezoelektrik yaitu suatu efek yang
dihasilkan saat bahan-bahan seperti kwarts kristal yang terdapat pada
transduser mendapat tekanan, sehingga menyebabkan terjadinya aliran
muatan listrik yang menyebabkan perbedaan potensial dihasilkan.