bab ii kajian pustaka, kerangka pemikiran dan...

34
11 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Konsep Desentralisasi Fiskal Desentralisasi adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah sehingga daerah memiliki kewenangan dalam mengatur pemerintahannya berdasarkan aspirasi masyarakat dan kebutuhan masyarakatnya. Pelaksanaan desentralisasi fiskal dengan pemberian peran yang lebih besar kepada pemerintah daerah diatur dalam Undang-Undang No 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan Undang-Undang No 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Kedua undang-undang tersebut kemudian direvisi menjadi Undang-Undang No 32 tahun 2004 dan Undang- Undang No 33 tahun 2004. Selanjutnya untuk mendukung konsep desentralisasi yang lebih kuat maka dikeluarkan Undang-Undang No 28 Tahun 2009 tentang pajak dan retribusi daerah. UU tersebut mengatur hal-hal mengenai kewenangan pemerintah daerah dalam melakukan pemungutan kepada masyarakat daerah guna mendapatkan sumber pendanaan bagi pembangunan daerah. Desentralisasi fiskal adalah salah satu kebijakan Pemerintah Pusat yang mempunyai prinsip dan tujuan untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (vertical fiscal imbalance) dan antar daerah (horizontal fiscal imbalance), meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah dan mengurangi kesenjangan pelayanan publik antardaerah; meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya nasional, tata kelola, transparan, dan akuntabel dalam pelaksanaan kegiatan pengalokasian transfer ke daerah yang tepat sasaran,

Upload: lamdat

Post on 07-Mar-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

11

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Konsep Desentralisasi Fiskal

Desentralisasi adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat

kepada pemerintah daerah sehingga daerah memiliki kewenangan dalam mengatur

pemerintahannya berdasarkan aspirasi masyarakat dan kebutuhan masyarakatnya.

Pelaksanaan desentralisasi fiskal dengan pemberian peran yang lebih besar kepada

pemerintah daerah diatur dalam Undang-Undang No 22 tahun 1999 tentang

pemerintahan daerah dan Undang-Undang No 25 tahun 1999 tentang perimbangan

keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Kedua undang-undang tersebut

kemudian direvisi menjadi Undang-Undang No 32 tahun 2004 dan Undang-

Undang No 33 tahun 2004. Selanjutnya untuk mendukung konsep desentralisasi

yang lebih kuat maka dikeluarkan Undang-Undang No 28 Tahun 2009 tentang

pajak dan retribusi daerah. UU tersebut mengatur hal-hal mengenai kewenangan

pemerintah daerah dalam melakukan pemungutan kepada masyarakat daerah guna

mendapatkan sumber pendanaan bagi pembangunan daerah.

Desentralisasi fiskal adalah salah satu kebijakan Pemerintah Pusat yang

mempunyai prinsip dan tujuan untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara

pemerintah pusat dan pemerintah daerah (vertical fiscal imbalance) dan antar

daerah (horizontal fiscal imbalance), meningkatkan kualitas pelayanan publik di

daerah dan mengurangi kesenjangan pelayanan publik antardaerah; meningkatkan

efisiensi pemanfaatan sumber daya nasional, tata kelola, transparan, dan akuntabel

dalam pelaksanaan kegiatan pengalokasian transfer ke daerah yang tepat sasaran,

12

tepat waktu, efisien, dan adil; mendukung kesinambungan fiskal dalam kebijakan

ekonomi makro. Disamping itu, untuk meningkatkan akuntabilitas pengelolaan

keuangan daerah, kepada daerah diberikan kewenangan memungut pajak daerah

dan retribusi daerah (local taxing power).

Dua hal utama yang menjadi bahasan sehubungan dengan adanya otonomi

daerah yakni kebutuhan fiskal (fiskal needs) dan kapasitas fiskal (fiskal capacity)

yang keduanya dapat dikaitkan dalam upaya mengoptimalkan Pendapatan Asli

Daerah (PAD) dan menjadi isu persaingan ekonomi antar daerah. Selisih dari

kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal disebut fiskal gap. Kapasitas Fiskal (fiscal

capacity) merupakan suatu komponen yang masuk dalam formula penghitungan

Dana Alokasi Umum (DAU), dimana pengalokasiannya didasarkan formula

dengan konsep Kesenjangan Fiskal (fiscal gap) yang merupakan selisih antara

Kebutuhan Fiskal (Fiscal Need) dengan Kapasitas Fiskal (Fiscal Capacity).

Berbagai penelitian mengenai desentralisasi fiskal dan pertumbuhan

ekonomi di berbagai negara menemukan hasil yang bervariasi dan tidak konsisten

satu dengan lainnya. Walaupun berbagai literatur sepakat bahwa implementasi

desentralisasi fiskal yang tepat akan mendorong peningkatan efisiensi ekonomi,

khususnya di sektor publik dan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Namun

berbagai kajian empirik penerapan desentralisasi fiskal di berbagai negara

menghasilkan output yang bervariasi. (S. Ering: 2016). Sedangkan menurut Oates

dan Martines menyebutkan bahwa desentralisasi fiskal dapat mendorong efisiensi

ekonomi dan secara dinamis akan mendorong pertumbuhan ekonomi suatu daerah.

mereka beragumen bahwa pengeluaran untuk infrastruktur dan sektor sosial akan

efektif mendorong pertumbuhan ekonomi suatu daerah, karena daerah mengetahui

karakteristik daerahnya masing-masing. Jadi menurut pandangan ini pemerintah

13

daerah dipercaya dapat mengalokasikan dana kepada setiap sektor ekonomi secara

efisien daripada yang dilakukan pemerintah pusat.

Pertumbuhan ekonomi dapat direfleksikan oleh produk domestik bruto

(PDB). Variabel ini sering digunakan untuk mengukur seberapa baik suatu negara

sudah dikelola dengan benar. Menurut Mankiw (1999), PDB dapat dipandang

dalam dua hal. Pertama, total pendapatan yang diterima oleh setiap orang dalam

perekonomian. Kedua adalah total pengeluaran atas barang dan jasa dalam

ekonomi. Dari dua pandangan tersebut, PDB dapat mencerminkan kinerja

pertumbuhan ekonomi suatu negara.

Menurut studi yang dilakukan oleh Zhang dan Zou (1998), menyatakan

bahwa pertumbuhan ekonomi disuatu negara dipengaruhi oleh beberapa faktor

seperti desentralisasi fiskal, tenaga kerja, perpajakan nasional, perpajakan

provinsi, investasi, keterbukaan ekonomi dan pengeluaran pemerintah di masing-

masing sektor dalam ekonomi. Faktor lain yang juga bisa mempengaruhi

pertumbuhan ekonomi adalah pertumbuhan penduduk, tingkat pengangguran dan

perkembangan teknologi (Mankiw, 1999).

2.1.2 Konsep dan Sumber Kapasitas Pajak

Kapasitas pajak adalah sumber potensial penerimaan pajak yang dapat

ditarik oleh Pemerintah yang berhubungan dengan kemampuan populasi untuk

membayar pajak serta kemampuan pemerintah untuk mengumpulkannya (Weiss,

1995). Sedangkan upaya pajak menggambarkan perhatian Pemerintah pada

kebijakan perpajakan yang diukur dengan menghitung perbandingan antara pajak

actual yang dapat dipungut dengan kapasitas pajak hasil estimasi (Prest, 1978).

Kapasitas pajak dipergunakan sebagai suatu instrumen untuk mengukur

kinerja perpajakan pada berbagai negara dan biasanya dinyatakan dengan upaya

14

pajak (tax effort). Dalam hal ini, kapasitas pajak dan upaya pajak diperlakukan

bersamaan sebagai variabel yang terkait satu sama lain. Ukuran tersebut dikenal

sebagai rasio penerimaan pajak aktual dengan Produk Domestik Bruto atau Produk

Domestik Netto. Penggunaan ukuran demikian sejalan dengan pendapat Musgrave

(1987) bahwa penggunaan rasio kapasitas pajak dan upaya pajak tersebut adalah

wajar untuk negara dengan struktur ekonomi yang sama. Hal tersebut memberikan

batasan bahwa penggunaan kapasitas pajak dan upaya pajak sebagai pengukur

trend atau komparasi kinerja perpajakan suatu negara hanya dapat dilakukan

sepanjang negara-negara yang diukur kinerja perpajakannya memiliki kesamaan

struktur ekonomi dan tingkat pendapatan.

Besar kecilnya kapasitas pajak sangat tergantung pada ketersediaan sumber-

sumber pajak (tax objects) dan tingkat hasil (buouyancy) dari objek pajak karena

pajak merupakan sumber utama PAD. Tingkat hasil pajak dari objek-objek pajak

ditentukan oleh responsibilitasnya tehadap kekuatan yang mempengaruhi

pengeluaran, misalnya inflasi, pertambahan penduduk, dan pertumbuhan ekonomi

yang pada gilirannya akan berkorelasi dengan tingkat pelayanan yang baik secara

kualitatif dan kuantitatif (Lisna 2014). Setiap daerah memiliki potensi pendapatan

yang berbeda-beda karena adanya perbedaan kondisi ekonomi, sumber daya alam,

luas wilayah, dan jumlah penduduk yang tercermin pada PAD.

Menurut Bahl (1971), kapasitas pajak yang berbeda pada berbagai negara

akan menjadikan upaya pajak yang berbeda pula. Pendekatan yang dipakai untuk

melihat perbedaan upaya pajak tersebut adalah penggunaan 2 (dua) teknik analisis

komparatif kapasitas pajak, yaitu:

15

1. Kapasitas pajak dinyatakan sebagai sebagai income.

Dalam pendekatan ini, upaya pajak merupakan suatu rasio penerimaan

pajak terhadap income. Total income diasumsikan sebagai indikator

yang relevan untuk memperlihatkan perbedaan kapasitas pajak antara

satu negara dengan negara lainnya.

2. Kapasitas pajak dinyatakan dengan faktor-faktor sebagai bentuk variasi

ukuran tax base dan kemampuan mengumpulkan pajak.

Dalam pendekatan ini, upaya pajak merupakan hasil regresi dari

beberapa variabel yang berpengaruh pada kapasitas pajak suatu negara,

seperti pendapatan per kapita dan sektor perdagangan internasional.

Oleh karena itu, kapasitas pajak dapat didefinisikan sebagai total jumlah

pajak yang dapat dikumpulkan pada setiap negara dengan menerapkan

seperangkat tarif pajak efektif terhadap basis pajak tertentu.

Walaupun secara penggunaan, kapasitas pajak dan upaya pajak

memiliki fungsi yang sama dalam melakukan pengukuran kinerja

penerimaan pajak, namun secara definisi kapasitas pajak dan upaya

pajak memiliki pengertian yang berbeda.

Oleh karena itu, kapasitas pajak hendaknya digunakan sebagai suatu

perkiraan rasio penerimaan pajak dengan Produk Domestik Bruto yang diestimasi

dengan menggunakan regresi atas faktor-faktor ekonomi yang spesifik suatu

negara, kependudukan atau demografi dan keadaan institusi. Sedangkan, variabel

upaya pajak merupakan suatu indeks dari rasio porsi penerimaan pajak yang dapat

dikumpulkan pada Produk Domestik Bruto dengan perkiraan kapasitas pajak (Le,

2008).

16

Estimasi Kapasitas Pajak

Pengukuran kapasitas pajak merupakan salah satu isu penting dan cukup

kompleks bagi para pembuat kebijakan publik. Kompleksitas pengukuran

berangkat dari penggunaan metode untuk melihat hubungan satu variabel

dependen, yaitu penerimaan pajak aktual, dengan variabel-variabel lainnya yang

terkait erat dengan basis pajak, dan kombinasinya dengan elemen-elemen lainnya.

Dalam hal ini, mengukur atau mengestimasi kapasitas pajak tidak semata-mata

didasarkan pada faktor-faktor yang berpengaruh secara langsung pada basis pajak.

Pada umumnya, pengukuran kapasitas pajak dilakukan dengan tujuan untuk

mengukur kemampuan pemerintah dalam mengumpulkan sumber-sumber

pendanaan guna membiayai kebutuhan publik. Seharusnya sumber-sumber dana

yang pasti dapat dikumpulkan oleh pemerintah. Dalam hal ini, sumber dana

tersebut adalah pajak. Walaupun kenyataanya, sumber-sumber dana tersebut dapat

juga berasal dari luar pajak.

Estimasi mengenai kapasitas pajak dalam rangka mengukur kinerja

penerimaan pajak banyak dilakukan melalui rangkaian penelitian. Sebagian besar

penelitian mengenai kapasitas pajak menyangkut pengukuran kapasitas pajak antar

negara. Beberapa penelitian yang khusus membahas pengukuran kapasitas pajak,

diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Bahl (1991) dengan melakukan

estimasi rasio pajak untuk mengetahui kapasitas pajak suatu negara. Rasio pajak

adalah hasil pajak (tax yield) sebagai fungsi terhadap Gross Domestic Product

(GDP). Untuk menjelaskan determinan rasio pajak yang akan diestimasi Bahl telah

mengembangkan pemikiran-pemikiran yang diadopsi dari penelitian Lotz dan

Morss (1967) dengan memasukan pendapatan perkapita dan persentase eksport

import terhadap GDP.

17

2.1.3 Upaya Pajak (Tax Effort)

Menurut Bird,et,al (2008), upaya pajak merupakan persentase pendapatan

pajak dari Produk Domestik Bruto. Brun,et,al (2010) menyatakan indikator dari

upaya pajak adalah rasio dari pendapatan publik terhadap PDB. Konsep upaya

pajak harus dipahami dalam arti luas karena mencakup penerimaan pajak dan

bukan pajak termasuk dividen dari perusahaan publik, perpajakan melalui dana

stabilisasi, sumber daya daerah setempat serta iuran jaminan sosial.

Besfamille dan Pablo (2004), Luky (2003), Rosen dan Ted (2010),

mengukur upaya pajak dengan menggunakan rasio antara penerimaan pajak aktual

terhadap nilai perkiraan yang berasal dari regresi kapasitas pajak. Saruc dan Isa

(2008), mendefinisikan upaya pajak sebagai rasio dari pendapatan lokal

dikumpulkan untuk mengukur kekayaan lokal, sehingga upaya pajak daerah sama

dengan pendapatan yang dikumpulkan/ perkiraan pendapatan. Rumus dapat diubah

sesuai dengan pengukuran kapasitas pendapatan daerah.

Lotz dan Morss dalam Musgrave (1969) menyatakan tiga ukuran upaya

pajak: pertama, rasio pajak terhadap GNP. Kedua, rasio pajak aktual terhadap

target pajak (estimasi). Ketiga, menggunakan persamaan yang menambahkan

faktor ekspor dan impor. Selanjutnya, Musgrave dan Peggy (1989) menyatakan

ukuran perbandingan dari upaya pajak dapat diturunkan dengan membandingkan

rasio aktual pendapatan untuk GNP dari suatu negara.

Upaya pajak (tax effort) sering kali diidentikan dengan tekanan fiskal

(fiscal stress) otonomi daerah ditunjukan untuk meningkatkan kemandirian

daerah, yang diindikasikan dengan meningkatnya pendapatan asli daerah

(PAD). Pemerintah cenderung menggali potensi penerimaan pajak untuk

meningkatkan penerimaan daerahnya. Upaya pajak (tax effort) adalah upaya

18

peningkatan pajak daerah yang diukur melalui perbandingan antara hasil

penerimaan (realisasi) sumber-sumber pendapatan asli daerah. Tax effort

menunjukan upaya pemerintah untuk mendapatkan pendapatan bagi

daerahnya dengan mempertimbangkan potensi yang dimiliki. Potensi dalam

pengertian ini adalah seberapa besar target yang ditetapkan pemerintah

daerah dapat dicapai dalam tahun anggaran daerah tersebut.

Upaya pajak merupakan aspek relevan bila dikaitkan dengan tujuan

otonomi daerah, yaitu peningkatan kemandirian daerah. Kemandirian

daerah seringkali diukur dengan menggunakan pendapatan asli daerah

(PAD), dimana pajak daerah dan retribusi daerah menjadi komponen PAD

yang memberikan kontribusi yang sangat besar.

Pelaksanakan otonomi daerah direspon secara agresif oleh

pemerintah daerah dengan menerbitkan peraturan-peraturan daerah terkait

dengan pajak maupun retribusi daerah. Upaya pajak juga dapat diperlihatkan

melauli posisi fiskal. Posisi fiskal ini dapat ditentukan melalui konsep

elastisitas fiskal. Jadi secara tidak langsung upaya pajak ini dapat

diperlihatkan melalui konsep elastisitas fiskal tersebut. Konsep ini akan

memperlihatkan pengaruh PDRB terhadap kenaikan pendapatan daerah.

Seberapa besar PDRB dapat mempengaruhi peningkatan pendapatan daerah

yang diperlihatkan oleh persentase.

Untuk mengetahui berapa besar tax capacity daerah, Bahl menyatakan

suatu model yang dapat mengungkapkan identifikasi determinan varians yaitu

pendekatan dari varians tax ratio atau dari tax effort melalui suatu model

persamaan fungsional berikut:

19

T/Y = f (X1, X2,…, Xn, µ)……………………………………(1)

Dimana:

T = Penerimaan pajak,

Y = Pendapatan nasional (PNB atau PDB),

T/Y = Tax ratio,

X1, X,…, Xn = Determinan penentu tax ratio, dan

µ = Faktor kesalahan.

Kalau persamaan (1) ditransformasikan ke dalam bentuk logaritmik, maka

persamaannya menjadi:

T^Y = a + b1 Ln X1 + b2 X2, … bn Ln Xn ………………….….(2)

Dimana:

T^Y = rasio pajak yang disetimasi atau tax capacity,

X1, X2, ... Xn = variabel penentu T/Y,

b1…bn = adalah koefisien regresi.

Akan tetapi untuk mengetahui tax capacity yang juga merupakan

pencerminan dasar pajak (tax base) di suatu negara atau daerah dapat digunakan

suatu model tax ratio:

TR/Y = α + β Yp ………………………………………………..(3)

Dimana:

TR = penerimaan pajak dan retribusi,

Y = Produk Domestik Regional Bruto (PDRB),

TR/Y = tax ratio,

Yp = pendapatan per kapita,

α, β = adalah parameter.

20

Menurut Bahl, rasio pajak (tax ratio) adalah hasil pajak (tax yield) sebagai

fungsi terhadap pendapatan regional (PDRB). Sedangkan upaya perpajakan (tax

effort) adalah rasio penerimaan pajak actual terhadap rasio pajak yang diestimasi

atau disebut juga dengan kapasitas pajak (tax capacity). Tax ratio diasumsikan

sebagai rasio pajak yang diestimasi atau tax capacity dan tax effort yang diberi

simbol (E), maka dapat ditulis persamaannya sebagai berikut:

T/Y = f (T^/Y, E) ………… ……………….(4)

Dimana:

T/Y = tax ratio,

T^Y = kapasitas pajak, dan

E = tax effort

Tax effort diartikan sebagai cakupan kapasitas pajak yang dimanfaatkan,

maka rasio upaya perpajakan (tax effort ratio) di suatu negara atau daerah dapat

dijelaskan melalui persamaan berikut :

TE = (T/Y) / (T^/Y) …………………………………..(5)

Dimana:

TE = rasio upaya perpajakan (tax effort ratio),

T/Y = rasio pajak aktual, dan

T^/Y = rasio pajak yang diestimasi atau tax capacity.

Kalau persamaan (5) digunakan dalam menentukan tax effort ratio di

daerah, maka persamaannya menjadi:

TEi = Ti / T^i ……………….………………………… (6)

Dimana:

TEi = tax effort ratio daerah i, dan

Ti = penerimaan pajak aktual (actual tax yield),

21

T^i = hasil pajak potensial (tax yield that is potential) daerah i.

Untuk menjelaskan faktor-faktor penentu tax ratio atau T/Y suatu negara,

Bahl telah mengembangkan pikiran-pikiran para ahli, seperti : Hinricks, Shin dan

Unctad, Williamson, Torn, Lotz dan Morss. Bahl yang menggunakan pemikiran

Lotz dan Morss telah mengembangkan suatu pendekatan rasio pajak (tax ratio)

dengan cara membentuk suatu persamaan linear yang dapat mengidentifikasi

faktor pendapatan perkapita dan persentase ekspor dan impor per GNP sebagai

variabel tidak terikat (independent variable). Dengan kata lain Lotz dan Morss

melalui suatu persamaan linear standar berhasil menjelaskan bahwa terdapat

hubungan yang positif antara rasio pajak dengan pendapatan perkapita dan variabel

ekspor dan impor. Persamaan tersebut dapat dikemukakan yakni:

T/Y = α + b1 Yp + b2 (Xy + My) ………………………………(7)

Dimana:

T/Y = rasio pajak (tax ratio),

Yp = pendapatan perkapita, dan

Xy + My = rasio ekspor dan impor terhadap GNP.

Variabel ekspor dan impor dapat dijadikan sebagai proksi dari sektor

perdagangan (trade) yang memperjelas bahwa suatu daerah sebenarnya

merupakan daerah yang terbuka. Terkait dengan hal tersebut, maka persamaannya

berubah menjadi:

TR/Y = α + b1 Yp + b2 Tradey ……………………………(8)

Dimana:

TR = penerimaan pajak dan retribusi,

Y = Produk Domestik Regional Bruto (PDRB),

TR/Y = tax ratio,

22

Yp = pendapatan perkapita terhadap PDRB (PDRB/kap), dan

Tradey = rasio sektor perdagangan terhadap PDRB.

2.1.4 Konsep Pajak

Menurut Mankiew et al (2009) teori dasar dari pajak yang optimal adalah

bahwa sistem perpajakan seharusnya dipilih untuk memaksimalkan fungsi

kesejahteraan sosial atas sekumpulan kendala yang ada. Literatur tentang pajak

optimal biasanya memperlakukan perencana sosial sebagai “utilitarian”: yaitu

fungsi kesejahteraan sosial yang didasarkan atas utilitas individu dalam

masyarakat. Dalam analisis umumnya, fungsi kesejahteraan sosial merupakan

fungsi non linear daripada utilitas individu. Pajak yang optimal pada umumnya

mengacu pada kebijakan perpajakan yang meminimalkan dead weight loss dari

sebuah sistem perpajakan.

Tiebout (1956) dalam Oates (2004) yang memberikan pandangan tentang

pembiayaan publik daerah, dimana dalam dunia Tiebout (Tiebout world) terdapat

sejumlah besar kelompok masyarakat yang menawarkan berbagai output yang

beragam atas pelayanan publik daerah, rumah tangga akan memilih komunitas

penduduk yang memberi kepuasan atas layanan daerah yang mereka sukai.

Pelayanan-pelayanan ini dibiayai melalui pajak daerah yang memainkan peran dari

harga yang mengarahkan pilihan individu sehingga di dalam pasar privat,

keseimbangan hasil (equilibrium outcomes) terjadi ketika keuntungan marjinal

(marginal benefits) sama dengan biaya marginal (marginal costs). Hal ini secara

jelas menjelaskan tentang sifat alami pajak daerah di dunia ini. Pada prinsipnya,

yang dibutuhkan pemerintah daerah adalah mengenakan pajak atas setiap

penduduknya setara dengan biaya marjinal dari pemasokan pada level tertentu atas

layanan publik yang tersedia dalam masyarakat.

23

2.1.4.1 Pengertian Pajak

Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang

pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan

tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan

negara bagi sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Pembayaran pajak merupakan

perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan peran serta Wajib Pajak untuk secara

langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan untuk

pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Sesuai falsafah undang-undang

perpajakan, membayar pajak bukan hanya merupakan kewajiban, tetapi

merupakan hak dari setiap warga Negara untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk

peran serta terhadap pembiayaan negara dan pembangunan nasional.

Tanggung jawab atas kewajiban pembayaran pajak, sebagai pencerminan

kewajiban kenegaran di bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat

sendiri untuk memenuhi kewajiban tersebut. Hal tersebut sesuai dengan sistem self

assessment yang dianut dalam Sistem Perpajakan Indonesia. Pemerintah dalam hal

ini Direktorat Jenderal Pajak, sesuai dengan fungsinya berkewajiban melakukan

pembinaan/penyuluhan, pelayanan, dan pengawasan. Dalam melaksanakan

fungsinya tersebut, Direktorat Jenderal Pajak berusaha sebaik mungkin

memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai visi dan misi Direktorat Jenderal

Pajak.

2.1.4.2 Jenis Pajak dan Objek Pajak

Penggolongan pajak berdasarkan lembaga pemungutannya di Indonesia

dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu pajak pusat dan pajak daerah. Pajak pusat

adalah pajak-pajak yang dikelola oleh pemerinath pusat yang dalam hal ini

sebagian besar dikelola oleh Direktor Jenderal Pajak – Kementrian Keuangan.

24

Sedangkan pajak daerah adalah pajak-pajak yang dikelola oleh pemerintah daerah

baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

Segala pengadministrasian yang berkaitan dengan pajak pusat akan

dilaksanakan di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Pelayanan Penyuluhan

dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) dan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal

Pajak serta di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak. Untuk pengadministrasian

yang berhubungan dengan pajak daerah akan dilaksanakan di Kantor Dinas

Pendapatan Daerah atau Kantor Pajak Daerah atau Kantor sejenisnya yang

dibawahi oleh Pemerintah Daerah setempat.

Pajak-pajak pusat yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak meliputi:

1. Pajak Penghasilan (PPh)

PPh adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan

atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu Tahun

Pajak. Yang dimaksud dengan penghasilan adalah setiap tambahan

kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak

baik yang berasal baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia

yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan

Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk

apapun. Dengan demikian maka penghasilan itu dapat berupa

keuntungan usaha, gaji, honorarium, hadiah, dan lain sebagainya.

2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak

atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean (dalam wilayah

Indonesia). Orang Pribadi, perusahaan, maupun pemerintah yang

mengkonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikenakan

25

PPN. Pada dasarnya, setiap barang dan jasa adalah Barang Kena

Pajak atau Jasa Kena Pajak, kecuali ditentukan lain oleh Undang-

undang PPN.

3. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)

Selain dikenakan PPN, atas pengkonsumsian Barang KenaPajak

tertentu yang tergolong mewah, juga dikenakan PPnBM. Yang

dimaksud dengan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah adalah:

a. Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok;

atau

b. Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; atau

c. Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat

berpenghasilan tinggi; atau

d. Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status; atau

e. Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral

masyarakat, serta mengganggu ketertiban masyarakat.

4. Bea Materai

Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas pemanfaatan

dokumen, seperti surat perjanjian, akta notaris, serta kwitansi

pembayaran, surat berharga, dan efek, yang memuat jumlah uang

atau nominal diatas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan.

5. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

PBB adalah pajak yang dikenakan atas kepemilikan atau

pemanfaatan tanah dan atau bangunan. PBB merupakan Pajak Pusat

namun demikian hampir seluruh realisasi penerimaan PBB

26

diserahkan kepada Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun

Kabupaten/Kota.

Mulai 1 Januari 2010, PBB Perdesaan dan perkotaan menjadi

Pajak Daerah sepanjang Peraturan Daerah tentang PBB yang

terkait dengan Perdesaan dan Perkotaan telah diterbitkan. Apabila

dalam jangka waktu dari 1 Januari 2010 s.d Paling lambat 31

Desember 2013 Peraturan Daerah belum diterbitkan, maka PBB

Perdesaan dan Perkotaan tersebut masih tetap dipungut oleh

Pemerintah Pusat. Mulai 1 januari 2014, PBB pedesaan dan

Perkotaan merupakan pajak daerah. Untuk PBB Perkebunan,

Perhutanan, Pertambangan masih tetap merupakan Pajak Pusat.

2.1.4.3 Hubungan Kapasitas Pajak dengan Pendapatan Per Kapita

Pemungutan pajak yang dilakukan oleh pemerintah bergantung

pada kondisi ekonomi yang ada. Hal ini sejalan dengan pemikiran

Keynes dan Musgrave, 1989 yang menyatakan bahwa fungsi fiskal di

suatu negara khususnya menyangkut sistem perpajakan mempunyai

hubungan dan pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi di negara

tersebut. Jika hal tersebut dihubungkan dengan daerah, maka kapasitas

pajak daerah sangat dipengaruhi oleh tingkat kemajuan daerah yang

tercermin pada pendapatan per kapita yang meningkat. Dengan kata lain,

terdapat hubungan yang kuat antara pajak daerah dengan pendapatan per

kapita sebagai pencerminan potensi perpajakan.

Sukirno (2006) mengemukakan bahwa pendapatan adalah jumlah

penghasilan yang diterima oleh penduduk atas prestasinya kerjanya

27

selama satu periode tertentu baik harian, mingguan, bulanan ataupun

tahunan. Pendapatan per kapita dapat diartikan sebagai penerimaan yang

diperoleh rumah tangga yang dapat mereka belanjakan untuk konsumsi

yaitu yang dikeluarkan untuk pembelian barang konsumtif dan jasa-jasa,

yang dibutuhkan rumah tangga bagi pemenuhan kebutuhan mereka.

Rendahnya pertumbuhan pendapatan per kapita disuatu negara berarti

juga mencerminkan rendahnya pertumbuhan GNP dan ini terjadi pada

negara-negara yang sedang berkembang.

Pengukuran output nasional atau daerah sangat diperlukan untuk

mengetahui perkembangan ekonomi suatu daerah. Untuk mengamati

perubahan kontribusi tiap-tiap sektor dalam perkembangan pendapatan

nasional maupun regional dari waktu ke waktu sebaiknya menggunakan

harga yang berlaku, karena seringkali perubahan harga tersebut tidak

sejalan. Namun jika ingin mengamati perubahan output tiap-tiap

tahunnya, maka sebaiknya menggunakan perhitungan berdasarkan harga

konstan. Pendapatan per kapita menunjukkan kemampuan seseorang

untuk membiayain pengeluarannya, termasuk membayar pajak. Menurut

Teera (2002) menyebutkan bahwa pendapatan per kapita merupakan

indeks dari surplus pendapatan yang tersedia untuk dikenakan pajak dan

menunjukkan hasil pembangunan ekonomi. jadi semakin tinggi

pendapatan per kapita suatu daerah secara langsung menggambakan

tingginya level pembangunan serta mengindikasi tingginya kapasitas dan

kemampuan masyarakat untuk membayar pajak.

28

2.1.4.4 Hubungan Kapasitas Pajak dengan Populasi

Dalam hubungannya dengan penerimaan pajak, pertambahan

penduduk dianggap sebagai pasar potensial yang menjadi sumber

permintaan akan berbagai barang dan jasa yang akan memicu aktifitas

perekonomian sehingga menciptakan skala ekonomis produksi yang

menguntungkan bagi pelaku-pelaku ekonomi yang pada gilirannya akan

merangsang tingkat output agregat yang lebih tinggi lagi (Arshad: 2009).

Banyaknya jumlah penduduk akan memacu kegiatan produksi,

konsumsi dari penduduk inilah yang akan menimbulkan permintaan

agregat (Seetharam: 2012). Pada gilirannya, peningkatan konsumsi

agregat memungkinkan usaha-usaha produktif berkembang, begitu pula

perekonomian secara keseluruhan dengan adanya penduduk yang padat,

maka kegiatan ekonomi akan berlangsung secara baik, jika kebijakan

terhadap penduduk sejalan dengan kebijakan di dalam suatu wilayah.

2.1.4.5 Hubungan Kapasitas Pajak dengan Luas Lahan Perkebunan

Menurut (Arshad: 2009) adanya pengaruh atau hubungan positif

antara jumlah luas lahan dengan penerimaan pajak, menandakan bahwa

semakin besar luas lahan yang dimiliki maka semakin tinggi pula

pendapatan yang diperoleh, dan pada akhirnya akan menambah

kemampuan masyarakat dalam megumpulkan pajak. Dengan demikian,

setiap penambahan luas lahan yang dimanfaatkan masyarakat selain akan

menambah jumlah wajib pajak baru ternyata juga akan menaikkan

pendapatan per kapita masyarakat sehingga akan meningkatkan

penerimaan pajak.

29

2.1.4.6 Hubungan Kapasitas Pajak dengan Sektor Industri

Menurut (S. Ering: 2016) share sektor industry dalam

perekonomian dapat menjadi determinan penting terhadap kapasitas

pajak. Apabila sektor industry tinggi dapat diartikan bahwa aktivitas di

daerah tersebut semakin terindustrialisasi, semakin menciptakan arus

modal yang tinggi, dan juga memicu aktivitas ekspor-impor dari sektor

industry yang semakin berkembang. Hal tersebut akan berpengaruh

terhadap meningkatnya basis pajak yang diperlukan dalam meningkatkan

penerimaan pajak.

2.1.4.7 Hubungan Kapasitas Pajak dengan Sektor Investasi

Menurut (Rini: 2012) kegiatan investasi memungkinkan suatu

masyarakat terus menerus meningkatkan kegiatan ekonomi dan

kesempatan kerja, meningkatkan pendapatan dan akhirnya akan

meningkatkan taraf kemakmuran masyarakat. Dengan kata lain, dapat

disebutkan bahwa meningkatnya kegiatan investasi diharapkan akan

meningkatkan permintaan agregat, pendapatan nasional serta kesempatan

kerja.

Ketika pendapatan nasional meningkat maka dengan

mengasumsikan pendapatan masyarakat yang jga meningkat, permintaan

barang dan jasa oleh masyarakat akan bertambah pula. Permintaan yang

semakin besar akan semakin menguntungkan pihak swasta dan kemudian

mendorong investasi baru. Hal tersebut akan mendorong pemasukan

yang lebih besar pada penerimaan pajak.

30

2.2 Kajian Empiris

Beberapa kajian empiris yang telah dilakukan tentang upaya pajak antara lain

sebagai berikut:

1. Tuan Minh Le, Blanca M, dan Nihal (2012)

Penelitian yang dilakukan Tuan Minh dkk (2012) membahas konsep dan

perkiraan empiris kapasitas kena pajak negara dan usaha pajak. Dimana kapasitas

kena pajak mengacu pada perkiraan rasio produk domestik bruto terhadap produk

yang dapat diperkirakan secara empiris, dengan mempertimbangkan fitur

makroekonomi, demografis, dan kelembagaan spesifik suatu negara yang semuanya

berubah sepanjang waktu. Penelitian ini menggunakan data panel dan OLS (Ordinary

Least Square) untuk menganalisis data. Model penelitiannya adalah sebagi berikut:

𝑇𝐴𝑋/𝐺𝐷𝑃𝑖𝑡 = 𝛼0 + 𝛼1. 𝐺𝐷𝑃𝑃𝐶𝑖𝑡 + 𝛼2. 𝐷𝐸𝑀𝑂𝐺𝑖𝑡 + 𝛼3. 𝑇𝑅𝐴𝐷𝐸𝑖𝑡 + 𝛼4. 𝐴𝐺𝑅𝑖𝑡 +

𝛼5. 𝐺𝑂𝑉𝐸𝑅𝑁𝐴𝑁𝐶𝐸 𝑄𝑈𝐴𝐿𝐼𝑇𝑌𝑖𝑡 + 𝑟𝑒𝑔𝑖𝑜𝑛𝑎𝑙 𝑑𝑢𝑚𝑚𝑖𝑒𝑠 + 𝑡𝑖𝑚𝑒

𝑑𝑢𝑚𝑚𝑖𝑒𝑠 + 𝜖,

𝑅𝐸𝑉/𝐺𝐷𝑃𝑖𝑡 = 𝛽0 + 𝛽1. 𝐺𝐷𝑃𝑃𝐶𝑖𝑡 + 𝛽2. 𝐷𝐸𝑀𝑂𝐺𝑖𝑡 + 𝛽3. 𝑇𝑅𝐴𝐷𝐸𝑖𝑡 + 𝛽4. 𝐴𝐺𝑅𝑖𝑡 +

𝛽5. 𝐺𝑂𝑉𝐸𝑅𝑁𝐴𝑁𝐶𝐸 𝑄𝑈𝐴𝐿𝐼𝑇𝑌𝑖𝑡 + 𝑟𝑒𝑔𝑖𝑜𝑛𝑎𝑙 𝑑𝑢𝑚𝑚𝑖𝑒𝑠 + 𝑡𝑖𝑚𝑒

𝑑𝑢𝑚𝑚𝑖𝑒𝑠 + 𝜀,

Keterangan:

TAX/GDP = total pendapatan pajak dalam persentase PDB

REV/GDP = total pendapatan fiskal dalam persentase PDB

GDPPC = PDB konstan per kapita

DEMOG = tingkat pertumbuhan penduduk antara 15-64 tahun atau tingkat

ketergantungan usia

TRADE = ekspor ditambah impor dalam persentasPDB

AGR = nilai tambah pertanian dalam persentase PDB

31

GOVQUA = indeks birokrasi atau indeks korupsi

Regtime = dummy rwilayah dan waktu

ε = error term

α0, β0 = koefisien intersep

β1, β2, .. β3 = koefisien slope

i = negara Amerika Latin

t = tahun observasi

ε = error term

Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa Di satu sisi, negara-negara dengan

tingkat pengumpulan pajak aktual dan upaya pajak yang rendah mungkin memiliki

lebih banyak ruang untuk meningkatkan pendapatan pajak agar dapat mencapai

kapasitas kena pajak mereka tanpa menyebabkan distorsi ekonomi atau biaya yang

besar. Di sisi lain, negara berpenghasilan rendah dengan tingkat pengumpulan pajak

yang rendah namun upaya pajak yang tinggi memiliki lebih sedikit kesempatan untuk

meningkatkan pendapatan pajak tanpa menimbulkan distorsi atau biaya kepatuhan

yang tinggi.

2. Rusdin Tahir (2004)

Penelitian yang dilakukan oleh Rusdin Tahir (2004) menjelaskan tentang analisis

rasio pajak dalam memprediksi kapasitas, upaya, dan kinerja perpajakan Indonesia

dengan menelusuri faktor-faktor yang mempengaruhinya. Penelitian ini

menggunakan data time series dan metode OLS (Ordinary Least Square) untuk

menganalisis data. Model penelitiannya adalah sebagai berikut:

TR/Y = c + d1Y/kap + d2Ay + d3Iy + d4Ty + d4SB/Y

Keterangan:

TR = penerimaan pajak dan distribusi

32

Y = Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Y/kap = pendapatan perkapita

Ay = share sektor pertanian terhadap PDRB

Iy = share sektor industry terhadap PDRB

Ty = share sektor perdagangan terhadap PDRB

S = penerimaan dari sumbangan pemerintah pusat

B = bantuan dari pemerintah pusat

SB/Y = rasio dari sumbangan dan bantuan terhadap PDRB

c,d = parameter

Hasil penelitiannya didapatkan bahwa pendapatan perkapita berpengaruh

signifikan terhadap tax effort, sektor perdagangan berpengaruh tidak signifikan

terhadap tax effort, sektor pertanian dan industry berpengaruh signifikan trehadap tax

effort, PDB berpengaruh tidak signifikan terhadap tax effort.

3. Ruth Nikijuluw (2012)

Penelitian Ruth Nikijuluw (2012) yang bertujuan untuk menganalisis dampak

transfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah terhadap upaya pemungutan

pajak. Teknik analisis yang digunakan yaitu metode Fixed Effect Model dan Random

Effect Model. Model dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Lnrtaxit = α + β1Lnrfit + β2Lnrnfit + β3Lnrmit + β4Lnrnhit + µ

LnTEit = α + β1LnDAUcapit + β2LnDAKcapit + β3LnDBHcapit + β4LnPOPit +

β5LnAREAit + β6LnURBANit + β7LnPOVit + dstatus + djawa + µ

Keterangan:

TE = upaya pajak

DAUcap = Dana Alokasi Umum per kapita

DAKcap = Dana Alokasi Khusus per kapita

33

DBHcap = Dana Bagi Hasil per kapita

POP = Jumlah penduduk

AREA = Luas Wilayah

URBAN = Populasi Perkotaan

POV = Proporsi Penduduk Miskin

i = kabupaten/kota

t = tahun

α = intercept

β1 – β7 = koefisien regresi

µ = eror term

Penelitian ini menemukan bahwa DAU dan DBH berpengaruh signifikan

terhadap upaya pajak, sementara DAK berpengaruh tidak signifikan. Status jawa/luar

jawa dan status administrasi berpengaruh signifikan terhadap upaya pajak. Proporsi

penduduk dan luas wilayah berpengaruh negative terhadap upaya pajak. Dan jumlah

penduduka berpengaruh signifikan terhadap upaya pajak.

4. Sherly Ering (2016)

Penelitian Sherly Ering (2016) merupakan penelitian yang bertujuan untuk

mengkaji faktor-faktor yang dapat menjelaskan potensi pajak di Sulawesi Utara yang

dapat memperkuat kapasitas fiskalnya. Variable yang digunakan dalam penelitian ini

yaitu PDRB per kapita, jumlah siswa SMA, jumlah pekerja, dan sektor pertanian.

Metode analisisnya yaitu menggunakan Random Effect Model (REM). Model

penelitiannya diketahui sebagai berikut:

lnLTit = β0 + β1lnCGDRPit + β2lnHSSNit + β3lnEMPLit + β4lnNAGRit + εit

Keterangan:

34

LT = nilai penerimaan pajak daerah ke-i tahun ke-t (juta rupiah) dalam bentuk

logaritma natural

CGDRP = nilai gross domestic regional product per kapita daerah

HSSN = high school students number (jumlah siswa SMA)

EMPL = employee (jumlah pekerja) daerah

AGRI = nilai sektor agriculture (pertanian) dalam PDRB daerah

β0 = koefisien intersep

β1, β2, .. β3 = koefisien slope

i = kabupaten dan kota ke-i di Sulawesi Utara

t = tahun observasi

ε = error term

Hasil penelitiannya yaitu pendapatan per kapita dan jumlah siswa berpengaruh

signifikan positif terhadap penerimaan pajak, sektor pertanian berpengaruh negative

signifikan.

5. Richard M. Bird, Jorge M, dan Benno T (2008)

Penelitian yang dilakukan oleh Richard dkk (2008) bertujuan untuk menjelaskan

apakah institusi yang lebih baik akan menghasilkan upaya pajak yang lebih tinggi.

Dimana hipotesisi pertamanya berfokus pada suara dan akuntabilitas sedangkan

hipotesis keduanya akan mengeksplorasi dampak korupsi. Metode analisis yang

digunakan yaitu OLS dan 2SLS. Variabel yang digunakan diantaranya tingkat

populasi, ekspor-impor, sektor non pertanian, tingkat korupsi, region sebagai variable

dummy, dan GDP per kapita. Adapun model penelitiannya sebagi berikut:

TEi = α + β1Yi + β2POPi + β3XMi + β4NAGRi + β5GOVQi+REGIONi + εi

35

Keterangan:

TE = tingkat usaha pajak negara yang diukur sebagai pendapatan pajak sebagai

bagian dari produk domestik bruto

Y = GDP per kapita

POP = tingkat pertumbuhan populasi

XM = rasio ekspor ditambah impor terhadap PDB

NAGR = pangsa non pertanian dari PDB

GOVQ = indikator untuk suara atau korupsi

REGION = variable dummy yang membedakan antara negara Amerika Latin

α0 = koefisien intersep

β1, β2, .. β3 = koefisien slope

i = negara Amerika Latin

t = tahun observasi

ε = error term

Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa beberapa provinsi makmur yang

memiliki kapasitas pajak tinggi menunjukkan upaya pajak yang relative rendah,

sementara disisi lain beberapa provinsi pedalaman yang miskin memiliki kapasitas

pajak rendah dan upaya pajak yang tinggi.

6. Fina Bella Bestari (2016)

Penelitian Fina Bella Bestari (2016) merupakan penelitian yang bertujuan untuk

mengetahui kinerja penerimaan pajak negara-negara berkembang dengan

mengestimasi tax capacity menggunakan variable yang dianggap positif

memengaruhi penerimaan pajak. Variable yang digunakan yaitu GDP per kapita,

keterbukaan perdagangan, populasi, dan nilai tambah sektor jasa. Analisis yang

digunakan yaitu analisis kualitatif untuk melihat perkembangan tax effort dan analisis

36

kuantitatif untuk melakukan regresi data panel dengan Fixed Effect Model (FEM) dan

GLS. Model penelitiannya diketahui sebagai berikut:

TAX/GDPit = β0 + β1GDPCAPit + β2PRODPOPit + β3TRADEit + β4SERVICESit + εit

Keterangan:

TAX/GDP = rasip pajak terhadap GDP

GDPCAP = GDP per kapita

PRODPOP = tingkat populasi

TRADE = keterbukaan perdagangan

SERVICE = nilai tambah sektor jasa

β0 = koefisien intersep

β1, β2, .. β3 = koefisien slope

i = negara berkembang

t = tahun observasi

ε = error term

Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa GDP per kapita, keterbukaan perdagangan

dan populasi berpengaruh positif signifikan terhadap tax capacity sementara nilai

tambah sektor jasa berpengaruh tidak signifikan terhadap tax capacity.

37

Tabel 2.1

Penelitian Terdahulu

No Penulis Judul Variabel Jenis Data Hasil

1. Rusdin

Tahir

(2004)

Analsisi Rasio

Pajak dalam

Memprediksi

Kapasitas,

Upaya, dan

Kinerja

Perpajakan

Indonesia

PDB

Pajak daerah

retribusi

daerah

pendapatan per

kapita

pendapatan

sektor

perdagangan

pendapatan

sektor

pertanian

pendapatan

sektor industry

pendapatan

dari PBB

Time series

Metode OLS

melalui SPSS

- Pendapatan perkapita

berpengaruh signifikan

thd TE

- Sektor perdagangan

berpengaruh tidak

signifikan thd TE

- Sektor pertanian

berpengaruh signifikan

thd TE

- Sektor industry

berpengaruh signfikan

thd TE

- PDB berpengaruh

tidak signifikan thd TE

2. Ruth

Nikijuluw

(2012)

Analisis

Pengaruh

Transfer

Pemerintah

Pusat terhadap

Upaya

Pemungutan

Pajak

Kabupaten/Kot

a di Indonesia

Daper

Jumlah

Penduduk

Luas Wilayah

Populasi Kota

Proporsi

penduduk

miskin

Status

Administrasi

Data panel

FEM dan

REM

- DAU dan DBH

berpengaruh signifikan

thd UPP.

- DAK berpengaruh

tidak signifikan thd

UPP.

- Status jawa/luar jawa

secara signifikan

berpengaruh thd UPP

38

Status

Jawa/Luar

Jawa

- Status administrasi

secara signifikan

berpengaruh thd UPP

- Proporsi penduduk

miskin berpengaruh

signifikan negative thd

UPP

- Populasi Kota

berpengaruh tidak

signifikan thd UPP

- Luas wilayah

berpengaruh negative

thd UPP

- Jumlah penduduk

berpengaruh signifikan

thd UPP

3. Sherly

Ering

(2016)

Analisis

Potensi Pajak

Daerah untuk

Peningkatan

Kapasitas

Fiskal

Kabupaten dan

Kota di

Sulawesi Utara

PDRB per

kapita

Jumlah siswa

SMA

Jumlah pekerja

Sektor

pertanian

Data panel

REM

- Pendapatan per kapita

berpengaruh positif thd

penerimaan pajak

- Sektor pertanian

berpengaruh negative

signifikan thd

penerimaan pajak

- Jumlah siswa

berpengaruh signifikan

positif thd penerimaan

pajak

-

4. Richard

M. Bird,

Tax Effort in

Developing

Tingkat

populasi

Cross-section

data

- hasilnya juga

menunjukkan bahwa

39

Jorge

Martinez,

Benno

Torgler

(2008)

Countries and

High Income

Countries: The

Impact of

Corruption,

Voice and

Accountability

Ekspor impor

Sektor non

pertanian

Tingkat

korupsi

Region sbg

variable

dummy

GDP per

kapita

OLS, 2SLS,

negara berpenghasilan

tinggi juga dapat

meningkatkan kinerja

pajak mereka melalui

perbaikan struktur tata

kelola perusahaan.

Secara khusus,

peningkatan suara dan

akuntabilitas akan

menghasilkan upaya

pajak yang lebih tinggi

5. Qian

Wang,

Chunli

Shen and

Heng-fu

Zou

(2009)

Local

Government

Tax Effort in

China: An

Analysis of

Provincial Tax

Performance

PDB per kapita

Sektor industry

Sektor

pertanian

Ekspor impor

populasi

3 model:

Pooled

regression,

fixed effect,

random effect

- Hasilnya menunjukkan

bahwa beberapa

provinsi makmur dan

pesisir, seperti

Shandong, Jiangsu, dan

Guangdong, yang

memiliki kapasitas

pajak tinggi,

menunjukkan upaya

pajak yang relatif

rendah. Provinsi-

provinsi ini dapat

mempertimbangkan

untuk menempatkan

penekanan lebih besar

pada reformasi

administratif sebagai

sarana untuk

meningkatkan

40

pendapatan pajak

daerah dan oleh karena

itu mengurangi

ketergantungan mereka

terhadap sumber

pendanaan lainnya.

- Di sisi lain, beberapa

provinsi pedalaman

yang miskin, seperti

Guizhou, Gansu, dan

Tibet, memiliki

kapasitas pajak rendah

dan upaya pajak yang

tinggi. Mereka

mungkin ingin mencari

sumber keuangan

alternatif karena ada

ruang terbatas bagi

mereka untuk

memanfaatkan basis

pajak mereka untuk

memenuhi kebutuhan

belanja.

6. Fina

Belia

Bestari

(2016)

Analisis Tax

capacity dan

tax effort

GDP per

kapita

Keterbukaan

perdagangan

Populasi

Nilai tambah

sektor jasa

Analisis

kualitatif utk

melihat

perkembanga

n tax effort

Analisis

kuantitatif utk

- GDP per kapita,

keterbukaan

perdagangan dan

populasi berpengaruh

positif signifikan thd

tax capacity

41

melakukan

regresi data

panel dengan

FEM & GLS

- Nilai tambah sektor

jasa berpengaruh tidak

signifikan thd tax

capacity

7. Tuan

Minh Le,

Blanca

Moreno,

Nihal

Tax Capacity

and Tax Effort

Extended

Cross-Country

Analysis from

1994-2009

GDP per

kapita

Karakteristik

demografi

(penduduk atau

age

dependency)

Keterbukaan

perdagangan

Sektor

pertanian

Kualitas

pemerinahan

(indeks korupsi

dan indeks

kualitas

birokrasi

data panel

OLS

- Di satu sisi, negara-

negara dengan tingkat

pengumpulan pajak

aktual dan upaya pajak

yang rendah mungkin

memiliki lebih banyak

ruang untuk

meningkatkan

pendapatan pajak agar

dapat mencapai

kapasitas kena pajak

mereka tanpa

menyebabkan distorsi

ekonomi atau biaya

yang besar.

- Di sisi lain, negara

berpenghasilan rendah

dengan tingkat

pengumpulan pajak

yang rendah namun

upaya pajak yang

tinggi memiliki lebih

sedikit kesempatan

untuk meningkatkan

pendapatan pajak tanpa

menimbulkan distorsi

42

atau biaya kepatuhan

yang tinggi.

2.3 Kerangka Pemikiran

Sesuai dengan konsep keuangan daerah, kapasitas fiskal dapat ditingkatkan melalui

penggalian sumber-sumber PAD, dimana yang berperan besar adalah pajak. Dengan

meningkatnya penerimaan daerah melalui pungutan pajak akan mempengaruhi kualitas

dan kuantitas pembangunan di daerah. Menurut pendapat aliran klasik, pada jangka

panjang peningkatan pajak akan berdampak positif terhadap perekonomian. Sedangkan

menurut pendapat aliran Keynesian, pada jangka pendek pengeluaran pemerintah akan

berdampak positif pada perekonomian. Potensi pajak didefinisikan sebagai rasio pajak

yang bisa dihasilkan apabila perekonomian menggunakan semua sumber dan

kemampuannya dalam mengumpulkan semua penerimaan pajak yang tersedia.

Pada tingkatan pemerintah daerah, potensi pajak bergantung pada berbagai macam

faktor. Daerah dengan potensi pajak yang besar namun belum dioptimalkan pungutannya

akan lebih mudah. Dan daerah yang memiliki potensi pajak yang kecil akan dituntut

untuk mencari sumber-sumber penerimaan daerah yang lain. Akan lebih masuk akal bagi

pemerintah daerah untuk mengutamakan bagaimana memanfaatkan potensi pajak yang

sudah ada sebelum dengan tergesa-gesa mengenakan pajak baru ataupun meningkatkan

tarif pajak. Sehingga secara teori, potensi pajak dipengaruhi oleh tingkat pembangunan

di masing-masing daerah. Argumentasinya adalah semakin tinggi tingkat pembangunan

ekonomi di suatu daerah akan diikuti dengan meningkatnya kecakapan, pergerakan uang,

dan penegakan hukum yang lebih baik sehingga akan membawa pada meningkatnya

kapasitas pajak daerah.

43

Untuk melihat kemampuan keuangan daerah khususnya penerimaan dari pajak,

digunakan beberapa pendekatan diantaranya tax ratio (rasio pajak), taxable capacity

(kapasitas pajak) serta tax effort (upaya pajak) (Piancastelli, 2001). Variabel independen

yang digunakan merupakan gabungan antara faktor-faktor permintaan yang

menunjukkan keinginan pemerintah untuk mengenakan pajak serta faktor-faktor

penawaran yang menunjukkan kemampuan sektor-sektor ekonomi di satu daerah untuk

membayar pajak. Variabel-vanabel ini dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa struktur

ekonomi suatu negara atau suatu daerah secara langsung akan mempengaruhi kapasitas

pajak negara atau daerah tersebut. Gambar 2.1 menjelaskan alur pemikiran penelitian

dimana pajak daerah sebagai salah satu sumber utama dari pendapatan yang bisa

dihasilkan oleh pemerintah yang bersumber dari daerah itu sendiri, berdasarkan potensi

yang ada dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan upaya pajak pemerintah

pusat. Pendapatan daerah yang tinggi akan memperkuat kapasitas fiskal daerah sehingga

daerah mampu membiayai kebutuhan dan permintaan masyarakat akan barang dan jasa

publik yang semakin tinggi seiring dengan perkembangan pembangunan yang ada.

Berdasarkan uraian di atas, maka kerangka pemikiran yang dapat disajikan adalah

sebagai berikut:

44

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran

2.4 Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah:

- Pendapatan perkapita, populasi, nilai sektor industri, luas lahan perkebunan, dan

tingkat investasi secara positif dan signifikan berpengaruh terhadap kapasitas pajak.

- Provinsi-provinsi di Indonesia memiliki kapasitas pajak dan upaya pajak yang berbeda-

beda sesuai dengan kondisi geografis dan karakterisktik wilayah. Secara umum provinsi

di Indonesia tersebar pada keempat kuadran berdasarkan kapasitas pajak (tax capacity)

yang dimiliki serta upaya pajak (tax effort) yang telah dilakukan.

Penerimaan Daerah

Pendapatan Asli

Daerah (PAD)

Optimalisasi Kinerja

Pajak

Hasil Kekayaan

yang di pisah

Pajak Daerah

Dana

Perimbangan

Lain-lain Pendapatan

yang Sah

Lain-lain PAD

yang sah

Retribusi Daerah

Rasio Pajak

Sektor Industri Pendapatan perkapita

Upaya Pajak Kapasitas Pajak

Luas Lahan

Perkebunan

Populasi Tingkat

Investasi