bab ii kajian pustaka noveleprints.umm.ac.id/38823/3/bab ii.pdf · pada esksistensi budaya jawa...
TRANSCRIPT
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Novel
Wujud refleksi dari kehidupan masyarakat dapat berbentuk sastra meskipun
dalam penyajiannya tidak bisa jauh dari unsur imajinatif. Selain refleksi
kehidupan masyarakat, melalui sastra seseorang akan mendapatkan nilai-nilai
moral yang dapat dijadikan tuntunan dan pengalaman. Sejalan dengan pendapat
Bronowski (dalam Emzir, 2015: 9) yang menyebutkan bahwa sastra dijadikan
sebagai media untuk membuka wawasan dan pengetahuan masyarakat dan
menyadarkan masyarakat yang selama ini masih merasa ada di dalam kenyataan
yang sesungguhnya padahal sebenarnya hanya berada pada entitas yang mirip
dengan kenyataan.
Realitas dalam karya sastra adalah wujud dari pengalaman dan pengamatan
dari kehidupan yang sebenarnya yang dibawa oleh pengarang berdasarkan apa
yang ingin diungkapkan dan apa yang sedang terjadi dalam lingkungan
masyarakat. Searah dengan hal tersebut Priyatni (2010: 12) mengemukakan
bahwa sastra adalah ungkapan realitas kehidupan masyarakat yang mendapat
sentuhan imajinasi atau fiksi kebenaran fiksi yang ditampilkan dalam karya sastra
oleh pengarang sesuai dengan keyakinan pengarang. Selain itu latar belakang dan
lingkungan hidup pengarang juga mempengaruhi terbentuknya karya sastra.
Pada pembahasan masalah karya sastra, secara disadari maupun tidak juga
membahas masalah kajian teks. Perbedaan antara teks sastra dan teks yang bukan
sastra memang tidak terlihat secara jelas. Hal itu didasari dengan adanya asumsi
bahwa media teks adalah bahasa. Persamaan teks sastra dengan bukan teks sastra
13
terletak dalam unsur bahasa, yaitu kata, kalimat, dan makna. Hal itu sejalan
dengan pendapat Fananie (2002: 2) bahwa bahasa dalam teks sastra tidaklah
sebagai sarana komunikasi, karena potensi bahasa dapat digunakan tanpa batasan.
Hanya saja, terdapat tiga aspek utama dalam teks sastra yaitu, decore, delectare
dan movere.
Decore berkaitan dengan fungsi teks sastra haruslah memberikan sesuatu
terhadap pembaca. Pemberian itu dapat berupa kesan baik, manfaat, pengalaman,
informasi maupun nilai moral yang dapat diambil oleh pembaca sehingga dapat
menambah wawasannya. Delectare, berkaitan dengan teks sastra yang di
dalamnya terkandung unsur estetik. Movere menuntun untuk pembaca mampu
menggerakkan kreativitas yang dimiliki setelah membaca teks sastra.
Novel adalah sebuah karya sastra tulis di mana terdapat unsur intrinsik dan
ekstrinsik yang mendominasi. Unsur intrinsik yang meliputi, tema, alur, tokoh,
amanat, setting dan sudut pandang. Unsur ekstrinsik atau unsur pembangun
sebuah karya sastra yang di dalamnya terdapat keterkaitan cerita dengan ilmu
psikologi, sosiologi, dan antropologi. Dalam penelitian ini lebih mengarah kepada
adanya unsur pembangun sebuah karya sastra, khususnya pada novel Simple
Miracles Doa dan Arwah Karya Ayu Utami yang didominasi oleh unsur
kebudayaan Jawa.
Menurut Nurgiantoro (1995: 19) novel dibagi menjadi dua jenis yaitu, novel
serius dan novel populer. Novel serius yaitu novel yang ketika membacanya
memerlukan daya konsentrasi yang tinggi dan harus memahaminya dengan baik
untuk mengetahui maksud serta pesan yang disampaikan. Novel serius
memberikan pengalaman berharga dan hiburan pada pembaca. Novel populer
14
adalah novel lebih banyak memberikan hiburan dan memiliki masa banyak
penggemar serta memiliki masa untuk tidak digemari lagi. Novel populer
memberikan cerita dan permasalahan yang sedang booming, terlebih mengenai
cinta dan dunia remaja. Novel populer lebih mengikuti zaman daripada novel
serius, karena novel populer hanya menekankan pada mencari kesukaan pembaca
melalui zaman.
2.2 Struktur Novel
Karya sastra memiliki struktur sendiri yang diartikan sebagai susunan,
penegasan, dan gambaran yang membentuk satu kesatuan yang indah.
Selanjutnya, menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 1995: 36) sebuah karya
sastra, fiksi atau puisi mempunyai unsur pembangun yang koherensif sehingga
merupakan sebuah totalitas. Struktur karya sastra juga mengacu pada hubungan
antar unsur instrinsik yang bersifat timbal balik, saling menentukan dan
mempengaruhi, sehingga membentuk satu kesatuan yang utuh jika bersama-sama.
Lain halnya jika unsur tersebut hanya berdiri sendiri maka bagian-bagian tersebut
tidak penting, namun jika berhubungan dengan unsur-unsur yang lain, maka akan
lebih mempunyai makna dan membentuk suatu wacana (Nurgiyantoro, 1995: 36).
Berdasarkan pernyataan tersebut, agar lebih mudah dalam mengkaji novel
Simple Miracles doa dan arwah karya Ayu Utami maka, penelitian dilakukan
dengan menganalisis pada tokoh dan penokohan yang dapat mengungkap sebuah
mitos Jawa, namun dihubungkan dengan unsur instrinsik lain pembangun novel
yaitu tema, alur, latar (setting), dan amanat.
15
a. Tema
Tema merupakan ide pokok yang terdapat dalam cerita yang dijadikan
sebagai landasan bagi pengarang untuk mengembangkan cerita. Cerita tidak akan
memiliki arah yang jelas tanpa adanya tema. Tema bersifat subjektif dan
mengandung realita. Hal itu sejalan dengan Stanton (2012: 7) yang berpendapat
bahwa terdapat kekuatan dalam tema yang dapat menegaskan kejadian dalam
sebuah cerita. Tema yang memiliki kebebasan penafsiran dan adanya unsur
subjektif dalam penilaian dan penentuan tema dalam karya sastra yang dilakukan
pembaca membuat Nurgiyantoro (1995: 82-83) membagi tema menjadi dua, yaitu
tema mayor dan tema minor. Tema mayor adalah makna pokok cerita yang
menjadi dasar atau gagasan dasar umum karya itu. Sedangkan tema minor adalah
makna-makna tambahan.
b. Alur
Cerita tidak dapat dipisahkan dari unsur yang disebut plot atau alur. Kenny
(dalam Nurgiyantoro, 1995: 113) mengemukakan plot sebagai peristiwa-peristiwa
yang ditampilkan dalam cerita yang tidak sederhana, karena peristiwa itu telah
disusun berdasarkan kaitan sebab akibat oleh pengarang. Menambahkan
pengertian di atas, Stanton (2012:26) mengemukakan alur merupakan rangkaian
peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita. Peristiwa tersebut terhubung secara
kasual, dan peristiwa tersebut merupakan peristiwa yang dapat menyebabkan atau
menjadi dampak dari peristiwa yang lain. Hal tersebut tidak dapat diabaikan
karena akan berpengaruh pada keseluruhan cerita.
16
c. Latar/ Setting
Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 1995: 216), latar atau setting disebut
juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu,
dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.
Pendapat lainnya menurut Stanton (2012:35) latar merupakan lingkungan yang
melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan
peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung di dalam sebuah karya sastra. Dalam
novel terdapat hubungan antara latar dengan unsur cerita yang lain, baik secara
langsung maupun tak langsung, khususnya dengan alur dan tokoh. Perbedaan
latar, baik yang menyangkut hubungan tempat, waktu, maupun sosial menuntut
adanya perbedaan pengaluran dan penokohan (Nurgiyantoro, 1995: 223- 225).
d. Sudut Pandang
Sudut pandang menceritakan tentang apa yang dikisahkan. Pada sudut
pandang pengarang menggunakannya sebagai sarana untuk menyajikan cerita
dalam suatu karya sastra, khususnya karya fiksi. Menurut Stanton (2012: 52)
sudut pandang terbagi menjadi empat tipe utama, yaitu orang pertama-utama,
orang pertama sampingan, orang ketiga terbatas, dan orang ketiga tidak terbatas.
Sudut pandang pertama utama memungkinkan pembaca merasakan tokoh aku
dalam karya sastra dan pembaca dapat menjalani seolah-olah itu nyata dan terjadi
pada dirinya. Sudut pandang orang pertama sampingan memudahkan narator
untuk mendeskripsikan secara lengkap tokoh utama sekaligus mengomentarinya.
Sudut pandang orang ketiga terbatas yang ditawarkan oleh pengarang adalah
sudut pandang yang memungkinkan pembaca untuk mengetahui jalan pikiran
pengarang. Akan tetapi pada sudut pandang ini lebih sering menghalangi pembaca
17
untuk memahami dan tidak sejalan antara apa yang dipikirkan karakter tokoh
dengan apa yang dipikirkan oleh pembaca. Pada sudut pandang orang ketiga tidak
terbatas, memberikan keluasan dan kebebasan pengarang untuk pembaca
menafsirkan apa yang dipikirkan melalui karya sastranya.
f. Tokoh dan Penokohan
Istilah “tokoh” menunjuk pada pelaku cerita. Abrams (dalam
Nurgiyantoro,1995: 165) menjelaskan bahwa tokoh (character) merupakan orang-
orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca
ditafsirkan mempunyai kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang
diekspresikan dalam dialog atau melalui tindakan. Dari segi peranan atau tingkat
pentingnya tokoh, maka oleh Nurgiyantoro (1995: 176) tokoh dibedakan menjadi
tokoh utama cerita dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang memiliki
kedudukan penting dalam sebuah cerita, mendominasi cerita, dan memliki peran
penting dalam cerita. Tokoh tambahan adalah tokoh sampingan yang mendukung
tokoh utama dan muncu sesekali dalam cerita.
Berdasarkan fungsi penampilan tokoh, maka dikenal tokoh protagonis, yaitu
tokoh yang dikagumi, dikenal sebagai hero– tokoh yang sesuai dengan harapan-
harapan pembaca, segala hal yang dirasakan tokoh tersebut seperti yang dirasakan
pembaca. Berlawanan dengan tokoh protagonis, tokoh antagonis adalah tokoh
yang menciptakan konflik dan ketegangan, khususnya terhadap tokoh protagonis
(Nurgiyantoro, 1995: 178-179)
g. Amanat
Amanat atau moral cerita merupakan pesan pengarang yang disampaikan,
tentang kehidupan, nilai-nilai kebenaran, dan hal tersebut ingin disampaikan
18
kepada pembaca melalui cerita, pengertian tersebut diungkapkan oleh Kenny
(dalam Nurgiyantoro, 2010:321). Melalui amanat tersebut maka dengan melihat
sikap para tokoh, maksud dari kejadian dan peristiwa, serta melalui sikap, cerita
dan tingkah lakunya dapat mengambil hikmah atau pesan dari cerita yang
diamanatkan.
2.3 Teori Antropologi Sastra
Antropologi sastra merupakan ilmu mengenai karya sastra yang berkaitan
dengan manusia dan budayanya. Antropologi sastra mengarah pada pembahasan
lebih terkhusus mengenai kultural atau bisa disebut antropologi kultural. Ciri dari
antropologi kultural dalam sastra adalah dengan masukkan karya-karya yang
dihasilkan oleh manusia, seperti: bahasa, religi, mitos, sejarah, hukum, norma,
adat istiadat, karya seni dan khususnya sastra.
Peneliti antropologi sastra mengenal adanya ‘sastra lisan’. Menurut
Rokhman, dkk (2003: 80) mengemukakan bahwa sastra lisan dapat diperlakukan
sebagai sebuah “pintu masuk” untuk memahami budaya itu sendiri. Sebagaimana
halnya sastra lisan, sastra tulis juga diperlakukan sebagai objek material, baik
sebagai “pintu masuk” untuk memahami kebudayaan yang sedang dipelajari.
Namun sebagai sumber informasi tentang kebudayaan masyarakat penciptanya,
para ahli antropologi melakukan dengan hati-hati, hal ini disebabkan karena
sebuah karya sastra pada dasarnya adalah hasil dari imajinasi penulisnya,
sehingga informasi tentang kebudayaan yang ada di dalamnya tidak harus
dipercaya sepenuhnya sbagai informasi yang akurat.
19
Dalam penelitian antropologi ada peradigma yang dapat digunakan untuk
memahami karya sastra, salah satunya adalah paradigma fungsionalisme. Menurut
Rokhman, dkk (2003: 88) berpendapat bahwa melalui kacamata fungsional,
peneliti kebudayaan akan berupaya antara lain untuk: (1) memperlihatkan bahwa
unsur-unsur kebudyaan yang masih hidup dalam lingkungan masyarakat pada
dasarnya memenuhi fungsi tertentu, (2) memperlihatkan keterkaitan antara unsur
tertentu dalam masyarakat dengan unsur yang akan diteliti, (3) adanya suatu
perubahan yang terjadi pada satu unsur kebudayaan tertentu akan mengakibatkan
perubahan-perubahan pada pelbagi macam unsur lain.
Berdasarkan penjelasan di atas, keterkaitan antara antropologi sastra dengan
kehidupan manusia begitu jelas. Pengamatan dari kultur hingga karya yang
dihasilkan menjadi kajian yang terpenting. Meskipun pada antropologi sastra lebih
banyak membahas tentang kemampuan imajinasi dan kreativitas, namun bagi
peneliti itulah yang perlu dikaji. Hal itu sejalan dengan Ratna (2011: 190) yang
mengemukakan bahwa sebagai bagian dari kebudayaan, sastra pada dasarnya
mengolah, tetapi yang diolah adalah tulisan, cara-cara mengolah itu pun dilakukan
dengan menggunakan kemampuan imajinasi dan kreativitas. Selain itu, dalam
antropologi sastra, masa lampau dianggap sebagai energi, kualitas yng
membangkitkan bagi setiap individu untuk bangkit kembali, bahkan dari
kehidupan yang menyakitkan.
2.4 Budaya Jawa
Kata “Kebudayaan” berasal dari bahasa Sansekerta, buddhayah, yaitu
bentuk jamak dari buddhi yang berarti ‘budi’ atau ‘akal’. Dengan demikian
20
kebudayaan dapat dikaitkan dan bersangkutan dengan akal (Sapardi, 2008: 119)
Kebudayaan dalam Jawa memiliki nilai kegunaan (utility) yang bermakna bahwa
kebudayaan mengandung unsur guna dan migunani. Kebudayaan Jawa mendapat
gelar adiluhung, sehingga sangat berpengaruh di seluruh nusantara. Tanah Jawa
yang terkenal dengan negeri gemah ripah loh jinawi, didukung oleh tanah yang
subur. Budaya Jawa juga terkenal dengan pengaruh tradisi, mistis, mitos dan
cerita takhayul yang diwariskan nenek moyang. Dengan demikian masyarakat
Jawa percaya dan meyakini bahwa mitos memiliki fungsi dan makna dalam
keberlangsungan hidup.
Kebudayaan Jawa memiliki unsur-unsur yang mengarah pada kategori
yanag khas yang dipengaruhi oleh unsur pemikiran Hindu-Budha Sebagai suatu
sistem pemikiran yang mengarah pada kebudayaan Jawa berkaitan dengan
komologi, mitologi, yang pada dasarnya memiiki konsep dan hakikat mistik.
(Mulder, 1996: 16). Kebudayaan Jawa dikenal dengan kejawaan atau kejawen.
Kejawaan atau kejawen bukan hal yang hanya mengarah pada religi melainkan
menunjuk kepada suatu bagaimana tindakan manusia dan gaya hidupnya. Secara
kosmologi, kehidupan di dunia adalah bagian dari kesatuan eksistensi yang
meliputi segalanya. Kesatuan eskistensi pada pusatnya mengarah pada, “Yang
Maha Tunggal” yang mana semua esksitensi berasal dari yang memberikan hidup.
Dalam pandangan kejawaan praktek keagamaan formal harus dianggap sebagai
suatu persiapan untuk beretmu denagan ketuhanan dalam diri, untuk mneyadarkan
diri bahwa pandangan keagaaman/religi kejawaan tidak menekankan ilmu
akhirat, melainkan lebih mengerah pada suatu kultus kehidupan dalam dimensi
yang lebih dalam: pertumbuhan kehidupan. Religi kejawaan juga memberikan
21
konsep bahwa cara yang benar dalam menghadapi kehidupan adalah dengan
sungguh-sungguh dan menaruh perhatian kepada yang menciptakan.
Pada esksistensi budaya Jawa atau kejawen, selain mengarah pada religi
atau ketuhanan, juga berkaitan dengan dunia lair yang menggejala dalam inti
batin, pengakuan mengenai alam rasional yang penuh rahasia. Semua itu
tergabung dalam tingkat rasa, di mana secara mistik rasa dapat dilukiskan dengan
perasaan. Dalam pemikiran Jawa rasa sering kali dioertentangkan dengan rasio,
nalar atau akal, akan tetapi akal tidak selalu memahami maksud dari rasa batin
seseorang. Dalam pandangan kejawaan rasa bersifat gaib dan subjektif. Oleh
karena itu, ajaran Jawa penuh dengan simbolis dan ilmu rahasia (ngelmu)
(Mulder, 1996: 24).
Kesatuan eksistensi pada dasarnya mengarah pada rahasia, namun juga
merupakan tatanan yang teratur di mana kehidupan di dunia dipandang semata-
mata sebagai ekspone suatu bayangan dari kebenaran yang Maha Tinggi. Dengan
demikian manusia mempuyai kewajiban moral untuk menghormati tata
kehidupan. Menerima (nrima) yang berarti tahu diri, memahami di mana dirinya
berasa, percaya pada nasibnya sendiri dan bersyukur kepada Tuhan atas nikmat
dan segala takdir yang telah diberikan serta ditetapkan.
Budaya Jawa atau kejawaan yang merupakan jati diri Jawa hadir dalam
dunia mistik, di mana terdapat tradisi yang kompleks yang ada di dalamnya.
Ajaran-ajaran kejawaan menyebar luas diseluruh wilayah, yang biasanya
disebarkan melalui tulisan. Jawa yang memiliki jumlah penduduk terbesar dan
memiliki wilayah dengan pedoman mitos yang berbeda-beda pada setiap daerah.
22
Setiap daerah atau wilayah memiliki cerita mitos yang memiliki ciri khas
tersendiri yang dijadikan kepercayaan serta ditaati.
Orang Tengger di Jawa Timur memiliki falsasfah mistik tersendiri.
Masyarakat Tengger percaya bahwa nama Tengger berasal dari tokoh mistis Rara
Anteng dan Joko Seger. Kedua tokoh ini dipuja dengan melakukan slametan.
Orang Jawa di Banyuwangi juga memiliki legenda tentang terjadinya kota
tersebut. Masyarakat Ponorogo juga memiliki semboyan mistis, yaitu “Jangan
mengaji di pondok, mengajilah di Ponorogo”. Ponorogo adalah kota yang terkenal
mistisnya di Jawa Timur (Endraswara, 2003: 7)
Menurut Hardjowirogo (1984: 7) menambahkan bahwa masyarakat Jawa
memiliki budaya satu satu, berperasaan dan berpikir sesuai dengan nenek moyang
di masa lampau yang pusatnya di Jawa Tengah, khususnya kota Solo dan
Yogyakarta. Dalam pengahayatan hidup orang Jawa, baik yang tinggal di Jawa
maupun diluar Jawa bahkan di luar negeri sekalipun, orientasi orang Jawa akan
berkiblat pada kota Solo dan Yogyakarta. Oleh sebab itu, Jawa yang memiliki
penduduk terbesar di Indonesia memiliki kendali dalam hal kebudayaan disadari
ataupun tidak, mau atau tidak mempunyai pengaruh besar terhdap kebudayaan
Indonesia.
Menurut Sugiarti dan Sri Handayani (1999: 26) sistem budaya merupakan
ide atau gagasan yang hidup bersama masyarakat dan tidak bisa dipisahkan antara
satu sama lain. Sistem budaya yang merupakan bagian dari kebudayaan dapat
diartikan sebagai adat istiadat yang mencangkup norma-norma yang ada di
masyarakat. Norma-norma yang itulah yang dapat menghidupkan etika, sopan
santun dan dapat membentuk moral suatu masyarakat.
23
Kusumohamidjojo (2010: 150) juga mempaparkan bahwa nilai akan
menjadi nilai hanya karena makna sebagai akibat dari keputusan yang dibuat oleh
manusia. Nilai budaya yang terlihat derdasarkan pendapat kedua para ahli tersebut
memiliki kesimpulan bahwa dalam nilai budaya dapat mengotrol sikap
masyarakat, menentukan dan sebagai pedoman ukuran baik dan buruknya
perbuatan dan sdapat menjadi hakim dalam kehidupan sosial untuk menghukum
masyarakat jika melanggar etika dan nilai yang dianggap sebagai norma.
Menurut Koentjaraningrat (1990: 190) sistem nilai budaya mengarah pada
suatu konsep abstrak yang hidup di alam pikiran sebagian besar dari warga suatu
masyarakat, mengenai apa yang dianggap remeh dan tidak berharga dalam hidup.
Seorang ahli antropologi terkenal, C. Kluckhohn (dalam Koentjaraningrat: 1990:
190) berpendapat bahwa, nilai budaya masyarakat dipengaruhi oleh lima masalah
dasar yang menajdi pedoman hidup manusia, pertama, berkaitan dengan masalah
hakikat hidup manusia dengan manusia. Masalah yang berkaitan hakikat dari
hidup manusia. Pada tataran keterkaitan hidup manusia dengan manusia, yang
menjadi pertimbangan adalah manusia harus saling menghargai dan menjaga
hubungan baik dengan sesamanya. Kedua, berkaitan dengan kedudukan manusia
dalam ruang dan waktu. Pada hubungan manusia dalam ruang dan waktu
membahas tentang cara manusia memanfaatkan waktu hidupnya dan
menempatkan dirinya sesuai dengan dirinya berada. Ketiga, berkaitan dengan
karya manusia. Pada hubungan masalah dengan karya manusia, membahas
tentang bentuk karya manusia baik sebagai kesenangan maupun sebagai mata
pencaharian. Keempat, manusia dengan alam sekitarnya. Pada hubungan manusia
dengan alam sekitarnya, membahas tentang penjagaan dan penghargaan manusia
24
terhadap alam yang merupakan ciptaan Tuhan, jika manusia dapat menjaganya
dengan baik maka alam akan berbalik baik, akan tetapi ketika manusia melakukan
kerusakan pada alam, maka alampun akan melakukan suatu ynag dapat merugikan
manusia, salah satu contohnya adalah adanya banjir. Kelima, masalah berkaitan
hakikat dari manusia dengan sesamanya. Pada masalah yang kelima ini manusia
dihadapkan pada sesamanya, agar bisa saling menolong dan menegur ketika
melakukan kesalahan sesuai dengan norma dan aturan yang ada.
Dengan adanya nilai budaya juga memberikan kontrol terhadap norma, serta
sebagai penentu baik atau buruknya seseorang. Nilai budaya yang saling berkaitan
erat dengan etika, akan mendorong manusia kuat dan dapat mengatasi masalah
yang terjadi dalam lingkungan masyarakat. Berdasarkan paparan di atas dapat
disimpulkan bahwa budaya masyarakat Jawa tidak dapat dipisahkan dengan
tradisi, adat, dan folklor. Adanya budaya juga menyebabkan kepercayaan
masyarakat atau kepercayaan rakyat yang mensugesti pikiran, sehingga
masyarakat menganggap bahwa apa yang dipercaya benar terjadi.
2.5 Pengertian Mitos
Mitos mengandung nilai-nilai kebudayaan yang sifatnya turun-temurun dan
dipercaya memiliki makna dan fungsi. Sebelum membahas jauh tentang
pengertian mitos, perlu diketahui terlebih dahulu asal-usul penemu pertama yang
membahas tentang mitos. Mitos berasal dari bahasa Yunani mythos yang berarti
kata yang diucapkan. Pada awalnya, mitos selalu dilawankan dengan kata logos.
Menurut Noth (dalam Ratna, 2011: 110) secara etimologis mitos berasal dari kata,
ucapan, cerita tentang dewa-dewa. Tetapi alam perkembanagn berikut mitos
25
diartikan sebagai wacana fiksional dan logos diartikan sebagai wacana rasional.
Mitos juga diartikan sebagai cerita mengenai dewa-dewa, pahlawan-pahlawan dari
zaman lampau.
Pada kehidupan masyarakat modern pun mitos selalu ada. Barthes (dalam
Widada, 2009:62) menyatakan bahwa orang modern selalu dikelilingi oleh mitos-
mitos, orang modern juga produsen sekaligus konsumen mitos. Suatu mitos dari
masa lampau akan tetap berlaku pada masanya. Sekali ditinggalkan pada masa itu,
mitos tidak akan berfungsi lagi. Hal itu sejalan dengan pemikiran Barthes (2006:
178) yang mengemukakan bahwa mitos merupakan sebuah nilai, tidak ada
jaminan tentang kebenarannya, tidak ada yang bisa mencegah terjadi maupun
berubahnya mitos; cukuplah dikatakan bahwa penanda mitos memiliki dua sisi
karena mitos selalu menggunakan ‘sesuatu yang ada di tempat lain’ sesuai
kehendaknya
Berdasarkan pendapat Barthes tersebut, mitos bisa dikatakan lahir dari
historis atau sejarah masa lampau yang siapapun tidak dapat mengubah dan
membuat mitos dengan sendirinya, bahkan menjadikannya suatu ketetapan.
Antropolog budaya dan sastra. Menurut Ratna (2011: 67) mengemukakan bahwa
mitos dalam pengertian tradisional sejajar dengan legenda dan fabel. Masyarakat
primitif memiliki anggapan bahwa mitos adalah suatu sejarah menyingkap adanya
aktivitas supranatural yang memiliki nilai kebenaran dan bermakna hingga saat
ini.
Mitos adalah suatu sistem komunikasi yang mengandung pesan, kenangan
meskipun degan aturan masa lalu. Dengan demikian mitos bukanlah suatu benda,
konsep atau gagasan melainkan sebauh lambang dalam bentuk wacana (discourse)
26
(Barthes dalam Widada, 2008: 63). Lambang mitos memang tidak selalu tertulis,
tetapi dapat berupa film, benda atau peralatan-peralatan tertentu, gambar dan lain
sebagainya yang dapat menjadi bukti. Selain Barthes, Levi-Strauss (dalam
Eagleton, 2010: 161) mitos adalah resolusi imajiner dari kontradiksi sosial yang
sesungguhnya. Levi-Strauss memiliki banyak definisi tentang mitos.
Levi Strauss melakukan analisis mitos dengan definisi yang sederhana, yaitu
mitos merupakan sesuatu yang mengisahkan sebuah cerita. Mitos-mitos tersebut
menghubungkan urutan kejadian yang kepentingannya terletak pada kejadian itu
sendiri dan dalam detail yang menyertainya (Rafiek, 2013: 87). Levi-Strauss juga
berpendapat kisah-kisah mitos terlihat bersifat tidak masuk akal, absurb dan tidak
bermakna, akan tetapi mitos selalu muncu berulang kali di seluruh penjru dunia.
Menurut Budiman (dalam Rafiek, 2010: 88), Levi-Strauss terus
mengembangkan pengertian mitos, ada beberapa pengertian yang menyatakan jika
mitos adalah bahasa yang substansinya bukan terletak pada gaya, irama, atau
sintaksisnya melainkan pada cerita yang diungkapkan. Fungsi mitos terletak pada
makna-makna yang terdapat dalam cerita maupun kejadiannya bukan pada
kebahasaanya. Berbeda dengan Levi-Strauss yang hanya mengamati mitos dari
sudut pandang pengertian. Daniel (2011: 168) mengungkapkan dan
menggolongkan mitos menjadi 5 jenis/bentuk, yaitu mitos kosmogonis, mitos
eskatologis, mitos pahlawan budaya, mitos eksplanatoris, dan mitos neptunus.
Mitos kosmogonis berkaitan dan menjelaskan tentang bagaimana dunia ada.
Pada beberapa kisah kosmogonik, dunia diciptakan dari ketiadaan. Mitos
eskatologis menjelaskan tentang akhir dunia. Mitos eskatologis biasanya
meramalkan tentang kerusakan dunia yang disebabkan oleh manusia sendiri.
27
Mitos pahlawan budaya menjelaskan manusia yang menemukan artefak budaya
atau proses teknologi yang secara radikal mengubah jalannya sejarah. Mitos
eksplanatoris menjelaskan tentang proses atau peristiwa alami. Misalnya mitos
yang terjadi pada orang Yunani Kuno yang percaya bahwa petir adalah senjata
ynag digunakan oleh Dewa Zeus. Mitos neptunus adalah kisah yang diciptakan
untuk menjelaskan keterkaitan fenomena alam, yang memberikan suatu koherensi
metafisika pada dunia.
Mitos merupakan salah satu akar budaya Nusantara. Dengan kata lain, mitos
telah menjadi ideologi bagi orang yang hidup di wilayah kepulauan Indonesia.
Sebagai hasil penggalian budaya, mitos Nusantara dalam karya sastra, khususnya
novel. Secara garis besar mitos adalah sebuah sastra lisan yang memiliki makna
dan pesan dalam lingkungan masyarakat. Mitos dianggap memiliki peran penting
dalam sebuah masyarakat karena dianggap memiliki nilai budaya yang sangat
berharga untuk kehidupan masyarakat. Menurut Abdullah (dalam Endraswara,
2013: 257) mitos memiliki dua kepentingan yaitu kepentingan studi agama dan
kepentingan studi antropologi. Kepentingan studi antropologi berkaitan dengan
manusia dan kebudayaannya, sedangkan untuk kepentingan agama mengarah pada
spiritual yang identik dengan tradisi sepaket dengan makna serta nilai-nilai sakral
yang diarahkan pada Ilahi.
Pada sistem kebudayaan terdapat nilai-nilai kebudayaan yang berharga
untuk kehidupan masyarakat. Nilai budaya baik secara langsung maupun tidak,
dapat mempengaruhi dan mewarnai tindakan-tindakan masyarakat dan
menentukan karakteristik suatu lingkungan. Nilai budaya berkaitan tingkah laku
28
masyarakat yang menyangkut baik buruk kehidupan manusia. Bisa dikatakan
bahwa nilai budaya adalah pedoman dalam masyarakat.
Dengan demikian, realitas mitos Jawa diwujudkan melalui upacara ritual
dan berkaitan dengan kepercayaan. Masyarakat Jawa percaya bahwa mitos tidak
hanya cerita atau peristiwa yang tidak bermakana atau hanya memiliki nilai
negatif, akan tetapi mitos memiliki makna dan nilai positif yang sudah ada sejak
nenek moyang. Masyarakat Jawa percaya bahwa mitos bukan hanya tafsiran
belaka, melainkan harus mereka terapkan dan ulang kembali apa yang telah Tuhan
dan alam supranatural kerjakan.
2.6 Bentuk-bentuk Mitos
Mitos yang diperkuat dengan adanya masa lampau yang menyimpan banyak
kejadian menimbulkan adanya rasa penasaran dan menumbuhkan rasa ingin tahu
apa saja bentuk-bentuk yang ada dalam mitos. Menurut Nensilianti (2016: 504)
mengambil kutipan dari beberapa buku dan penelitian karya: Tromp (1966),
Dhavamony (1973), Mawene (2005), dan Rafiek (2008) yang sesuai dengan novel
Simple Miracle doa dan arwa karya Ayu Utami pengklasifikasian mitos lebih
dikategorikan sesuai dengan data dalam novel ke dalam lima golongan, yaitu 1)
mitos teogonik, 2) mitos supranatural, 3) mitos kelahiran, 4) mitos kematian, dan
5) mitos hari keramat.
1) Mitos Teogonik
Mitos teogonik atau mitos kepercayaan adalah penyembahan yang
menggambarkan kepercayaan atau keyakinan tokoh terhadap Tuhan yang
Mahatinggi dan Mahaagung yang menguasai seluruh alam. Menurut Sutiyono
29
(2013: 109-110) contoh kegiatan religius dalam masyarakat Jawa, khususnya
orang Jawa kejawen adalah puasa atau siam. Orang Jawa Kejawen mempunyai
kebiasaan berpuasa pada hari-hari tertentu misalnya senin-Kamis atau pada hari
lahir, semuanya itu merupakan asal mula dari tirakat. Dengan tirakat orang akan
menjadi lebih kuat rohaninya dan kelak akan mendapat manfaat.
Orang Jawa Kejawen menganggap bertapa adalah suatu hal yang cukup
penting. Dalam kesusastraan kuno orang Jawa, orang yang berabad-abad bertapa
dianggap sebagai orang keramat karena dengan bertapa orang dapat menjalankan
kehidupan yang ketat ini dengan disiplin tinggi serta mampu menahan hawa nafsu
sehingga tujuan-tujuan yang penting dapat tercapai. Kegiatan orang Jawa
Kejawen yang lainnya adalah meditasi atau semedi. Menurut Koentjaningrat,
meditasi atau semedi biasanya dilakukan bersama-sama dengan tapabrata
(bertapa) dan dilakukan pada tempat-tempat yang dianggap keramat misalnya di
gunung, makam keramat, ruang yang dikeramatkan dan sebagainya. Pada
umumnya orang melakukan meditasi adalah untuk mendekatkan atau menyatukan
diri dengan Tuhan.
Menurut Suseno (dalam Amin, 2000: 65-66) menegaskan bahwa apa yang
dimaksud dengan pandangan dunia Jawa ialah pandangan secara keseluruhan
semua keyakinan deskriptif tentang realita kehidupan yang dialami oleh manusia,
sangat bermakna, dan diperoleh dari berbagai pengalaman. Selain itu juga
pandangan dunia Jawa adalah realitasnya yang tidak dibagi-bagi dalam berbagai
bidang yang terpisah-pisah dan tanpa ada hubungan satu sama lain, melainkan
dipandang sebagai satu kesatuan. Sebab pada hakikatnya orang jawa tidak pernah
membeda-bedakan antara sikap religius dan bukan religius, menganggap interaksi
30
sosial sekaligus merupakan sikap terhadap alam, dan sebaliknya sikap terhadap
alam mempunyai relevansi sosial
Keyakinan deskriptif orang jawa sangat terasa bila dikaitkan dengan
keyakinan pencapaian ketenangan batin, pandangan dunia yang semakin
harmonis, cocok, dan sreg. Jadi bila kita membicarakan masalah pandangan dunia
Jawa, tidak akan menjumpai orang yang hanya membicarakan agama dan mitos
saja, tetapi juga terkait secara kental membicarakan fenomena kehidupan yang
lain, termasuk sarana menghadapi masalah-masalah kehidupan (menanam padi,
panen, keluarga, budaya, seni, mistik, dan doa selamatan).
2) Mitos Supranaturalistik
Mitos supranaturalistik adalah mitos yang berisi kesaktian tokoh dan
keluarga yang kuat, kebal, bisa terbang, mempunyai indra keenam. Kemampuan
ini biasanya didapatkan dengan melakukan tirakat. Tirakat bisa diartikan sebagai
upaya untuk menahan nafsu, mengasingkan diri ke tempat sunyi, upaya batiniah
dengan cara-cara tertentu untuk mendekatkan diri kepada Tuhan agar
keinginannya terkabul (Bayuadhy, 2015:13). Beberapa cara saat rirakat: puasa,
menyepi, menahan diri untuk makan, minum, melakukan tindakan buruk, dan
mengasingkan diri ke tempat sepi untuk bertapa atau bersemedi ((Bayuadhy,
2015:73)
Etika Jawa bertolak dari pengandaian-pengandaian pandangan dunia yang
berbeda. Bagi orang Jawa tidak ada bidang eksistensi manusiawi yang ditentukan
semata-mata oleh hukum obyektif yang dapat diperhitungkan, melainkan orang
Jawa akan menemukan diri dalam suatu dunia yang selalu dipengaruhi oleh
kekuatan halus (angker), di luar perhitungan manusia. Dari contoh di atas
31
mestinya tidak masuk akal untuk bertindak menurut norma moral yang mutlak,
artinya menurut norma yang menuntut suatu kehendak tertentu. Norma-norma
tersebut dapat masuk akal bila ada kemungkinan betul-betul mencapai hasil-hasil
yang dikehendaki dalam dunia. Misalnya prinsip-prinsip moral bahwa manusia
hendaknya selalu bertindak adil, setia, dan suka membantu (Amin, 2000:77).
Akan tetapi dalam novel Simple Miracle: Doa dan Arwa karya Ayu Utami
kemampuan supranaturalistik hadir dengan sendirinya tanpa melalui semedi
ataupun tirakat. Kemampuan itu melekat pada keponakan tokoh Aku yang sudah
mampu melihat roh halus sejak masih kecil. Menurut Haq (2011: 4). Ciri
masyarakat jawa adalah bahwa mereka merupakan masyarakat yang begitu
percaya terhadap sesuatu “kekuatan” di luar alam yang mengaratsi mereka.
Mereka percaya pada suatu hal di balik penampakan fisik yang mereka lihat.
Itulah sebabnya mengapa masyarakat jawa percaya adanya roh, dan hal-hal
spiritual
3) Mitos Kelahiran
Mitos kelahiran adalah mitos yang berisi tentang kehidupan yang diawali
dengan kelahiran. Kelahiran yang membawa saudara gaib meniriginya untuk
menemani hingga anak bisa melihat dan memahami orang sekitarnya. Orang Jawa
memiliki kepercayaan bahwa manusia lahir membawa saudara gaibnya. Hal itu
sejalan dengan pemikiran Endraswara (2014: 54) yang menganggap bahwa pada
kosmis manusia Jawa mempercayai adanya kiblat terkait dengan perjalanan hidup
manusia yang hidupnya selalu ditemani juga oleh kadang papat lima pancer
Kadang papat, yaitu kawah, getih, puser, dan adhi ari-ari. Sedangkan pancer
(ego, atau manusia itu sendiri).
32
Letak kadang papat sejalan dengan arah kiblat manusia Jawa. Kawah
berwarna putih,berada di sebelah timur ini yang mengawali kelahiran, dia
pembuka jalan. Getih, berwarna merah di sebelah selatan, puser berwarna hitam
di sebelah barat, dan adhi ari-ari berwarna kuning berada di arah utara.
Sedangkan yang berada di tengah adalah pancer. Adanya mitos kelahiran
memberikan pemahaman baru bahwa manusia seharusnya saling menghormati.
Ada makhluk dan ada perjuangan besar yang datang bersama kelahiran. Oleh
karena itu, sudah seharusnya memunculkan kepedulian dan menghargai kepada
semua makhluk meskipun tidak terlihat.
4) Mitos Kematian
Mitos kematian adalah mitos yang berisi tentang kematian manusia dan
adanya proses yang harus diperingati. Sejalan dengan pemikiran Purwadi dan
Dwiyanto (2006: 454) yang mengatakan bahwa dalam ilmu kejawen perisitwa
hidup yang sudah dikenal sejak lama adalah “Sangkan Paraning Dumadi’, yaitu
suatu pandangan hidup mayarakat Jawa asli mengenai asal perkembangan dan
tujuan hidunp pada umumnya Pada konsep mitos kelahiran Orang Jawa percaya
bahwa manusia lahir membawa saudara halus yang perlu dihormati, maka pada
mitos kematian kepercayaan orang Jawa beranggapan bahwa arwah orang yang
mati juga perlu dihormati dan didoakan.
Menurut Sukatman (2009: 74-75) Peristiwa kematian disebut “Nggulung”.
Dalam peristiwa “nggulung” (kematian) terjadi proses pengguguran jasad yang
memiliki tujuh tahapan. Proses perjalanan arwah kembali ke Tuhan dalam tujuh
tahapan tersebut dalam adat Jawa diterjemahkan dalam acara selametan
mendoakan arwah orang yang meninggal, yaitu (1) selamatan satu hari, (2)
33
selamatan 3 hari, (3) selametan tujuh hari, (4) selamatan 40 hari, (5) selamatan
seratus hari, (6) selamatan satu tahun (pendhak), dan (7) selamatan seribu hari.
Makna selamatan tersebut adalah mendoakan arwah dalam proses “nggulung”
sebanyak tujuh tahapan. Mulai saat jasad kasar dan halus manusia digugurkan
lewat kematian sampai roh bertemu Tuhan dalam singgahsana alam ghaib. Pada
tahapan ke tujuh ditandai dengan selamatan seribu hari yang merupakan
selamatan penghabisan. Pada tahap itulah yang dimaksud bahwa kehidupan
manusia di dunia hanya sementara dan semu, karena sebenarnya dunia hanyalah
gambara ilmu Tuhan.
5) Mitos Hari Keramat
Mitos hari keramat adalah jenis mitos yang menggambarkan tentang
kepercayaan oran Jawa tentang peringatan hari akan kehadiran makhluk halus
atau roh yang dipercaya membawa pesan tersendiri. Pada mitos hari keramat
biasanya dilakukan slametan yang dilakukan hari tertentu sebagai upacaya untuk
memberikan sesaji kepada roh halus.
Kepercayaan pada hari tertentu ini begitu kuat karena orang Jawa percaya
bahwa manusia terkepung dengan kekuatan gaib di sekelilingnya. Hal itu sejalan
dengan pedapat Peursen (dalam Siswanto, 2013: 48) mengemukakan tiga tahapan
sikap manusia terhadap alam: mistis, ontologis, dan fungsional. Tahap mistis ialah
sikap manusia yang merasa dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan ghaib
sekelilingnya, yaitu kekuasaan dewa, alam raya, atau kesuburan. Tahap ontologis
adalah sikap manusia yang tidak lagi hidup dalam kepungan kekuasaan mistis,
melainkan secara bebas ingin meneliti secara ikhwal, untuk menyusun ajaran atau
34
teori. Tahap fungsional adalah sikap dan alam pikiran yang makin tampak dalam
manusia modern. Tahap ini lebih mementingkan relasi, bukan distansi.
Orang Jawa lebih banyak pada tahap mistis yang merasa bahwa dirinya
terkepung oleh makhluk dan segala hal yang gaib, oleh karena itu pentingnya
diadakan peringatan atau upacara pada hari tertentu agar tidak ada yang
mengganggu kenyamanan hidupnya, meski beberapa orang Jawa saat ini sudah
mampu berpikiran modern.
Kelima bentuk mitos tersebut sekaligus sebagai pembatas ruang lingkup
penelitian ini. Menurut Mulder (1998: 22) kesatuan eksistensi kejawen berprinsip
pada Tuhan, rasa, tatanan, dan slametan. Dalam pemikiran Jawa, rasa sering kali
dipertentangkan dengan rasio atau akal. Akan tetapi dalam pandangan kejawen
pengetahuan yang sebenarnya berifat gaib. Oleh karena itu, ajaran-ajaran Jawa
penuh dengan simbolik dan ilmu rahasia yang penuh dengan angan dan renungan.
Melalui ajaran Jawa juga dapat menumbuhkan kebijaksanaan. Adanya tatanan
dalam kehidupan orang Jawa juga mengatur bahwa setiap orang memiliki
kewajiban moral untuk menghormati tata kehidupan.
Hal itu sejalan dengan pemikiran Suseno (2003: 86) yang menganggap
bahwa bagi orang Jawa alam empiris berhubungan dengan alam mempiris (alam
gaib), mereka saling meresapi. Manusia hidup berdampingan dengan makhluk
lain yang gaib, oleh karena itu untuk menunjukkan rasa saling menghormati dan
penjagaan diri dengan melakukan ritual di hari tertentu. Selain itu orang Jawa juga
mengaggap bahwa makhluk gaib bisa mempengaruhi atau membahayakan
keamanan hidup manusia, oleh karena itu diadakan ritual guna menghindari
ancaman tersebut.
35
2.7 Fungsi Mitos Jawa
Peursen (dalam Ratri, 2010: 22-23) menjelaskan bahwa mitos adalah sebuah
cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang.
Cerita itu dapat dituturkan tetapi juga dapat diungkapkan lewat tari-tarian atau
pementasan wayang misalnya. Melaui mitos manusia dapat turut serta mengambil
bagian dari kejadian-kejadian sekitarnya, dapat menanggapi daya-daya kekuatan
alam. Fungsi mitos menurut Van Peursen (dalam Ratri, 2010: 23) yaitu sebagai
berikut.
1) Mitos menyadarkan manusia bahwa ada kekuatan-kekuatan ajaib. Mitos itu
tidak memberikan bahan informasi mengenai kekuatan-kekuatan itu, tetapi
membantu manusia agar dapat mengahayati daya-daya itu sebagai suatu
kekuatan yang mempengaruhi dan menguasai alam dan kehidupan sukunya.
2) Mitos memberi jaminan bagi masa kini. Pada musim semi misalnya pada
ladang-ladang mulai digarap, diceritakan dongeng. Namun juga dapat
diperagakan dalam tarian, bagaimana jaman dulu para dewa mulai menggarap
sawahnya dan memperoleh hasil yang melimpah. Cerita itu seolah-olah
mementaskan kembali peristiwa yang dulu pernah terjadi. Dengan demikian,
dijamin keberhasilan usaha serupa dewasa ini.
3) Mitos memberikan pengertian tentang dunia. Artinya fungsi ini mirip dengan
fungsi ilmu pengetahuan dan filsafat dalam alam pikiran modern, misalnya
cerita-cerita terjadinya langit dan bumi. (Peursen 1988:37).
Dari penjabaran di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa mitos merupakan
sebuah tradisi yang menjadi pedoman dan diyakini dalam masyarakat. Mengingat
ketiga fungsi mitos tersebut juga sangat berpengaruh dalam masyarakat, tentu
36
keberadaan mitos merupakan sesuatu yang penting yang dapat menjadi pelajaran
dalam masyarakat.
Kepercayaan yang sudah mendarah daging pada masyarakat menimbulkan
kepuasan tersendiri jika tetap tumbuh dan dilestarikan serta tanggung jawab
terhadap apa yang menjadi kepercayaan itu. Kepercayaan masyarakat yang sering
kali dianggap sebagai takhayul, akan tetapi tanpa dipungkiri sering pula dijumpai
dan “betul-betul terjadi”. Kepercayaan seperti itu menjadi nyata karena orang
terlalu mempercayainya atau adanya faktor kebentulan yang dihubungkan dengan
kepercayaan.
Sukatman (2009: 38) mengemukakan bahwa kepercayaan masyarakat bukan
tumbuh begitu saja, namun juga memiliki tujuh jenis struktur yang menjadikannya
memiliki fungsi dan makna, yaitu (1) petanda + akibat negatif, (2) petanda +
pantangan + akibat, (3) penanda+ akibat negatif + penetral, (4) penanda + akibat
tidak tentu, (5) penanda + akibat positif, (6) petanda + fungsi positif, (7) penanda
simbolik + deskripsi makna simbolik. Akan tetapi, dalam novel Simple Miracles :
doa dan arwah makna mitos hanya pada petanda yang menghasilkan akibat
positif.
1) Pertanda + Akibat Positif
Ungkapan kepercayaan dengan struktur pertanda + akibat positif. Jika
biasanya kepercayaan itu hanya memiliki dampak negatif, maka pada strukur ini
memiliki akibat positif dan menyenangkan. Adapun contohnya seperti di bawah
ini.
(1) Yen jaka oleh randha bisa nyuwuk wong lara untu. (kalau perjaka
mendapatkan istri janda, bisa mengobati orang sakit gigi)
37
(2) Yen budhal dagang menyang pasar wengi-wengi diwedeni memedi,
dagangane bakal laris. (Kalau pedagang berangkat berjualan ke pasar pada
malam hari ketemu hantu, dagangannya akan laris)
2) Pertanda + Fungsi Positif
Ungkapan kepercayaan ini berbeda dengan jenis sebelumnya. Fungsi positif
ini berfungsi untuk menjelaskan fungsi petanda yang ada pada ungkapan tersebut,
dan biasanya fungsi tersebut mengarah pada fungsi positif. Adapun contohnya
sebagai berikut.
(1) Sapa isa nemu galihe kankung kena kanggo jimat. (Barang siapa bisa
menemukan terasnya kayu kangkung, bisa dijadikan jimat)
(2) Yen nganggo sandhangan kewalik, petandha arep oleh rejeki. (Jika memakai
pakaian kebalik, itu petanda yang akan mendapat rejeki)
Sejalan dengan pendapat Peursen, Joseph Campbell (dalam Mufiani, 2010:
31) membagi mitos menjadi empat fungsi yaitu:
1) Fungsi Mistik
Fungsi mistik yaitu menyadari betapa menakjubkannya alam semesta dan
manusia. Mitos membuka dimensi misteri. Pada masyarakat Jawa fungsi mistis
lebih mengarah pada alam dan firasat. Hal itu sejalan dengan pendapat Sukatman
(2009: 54) yang menganggap bahwa firasat atau isyarat alam sering dikaitkan
dengan tanda-tanda misalnya kedutan, bunyi burung hantu waktu malam atau
mimpi kejatuhan bintang
Sukatman memberi contoh ungkapan dalam bahasa Jawa tentang adanya
kepercayaan rakyat atau masyarakat yang sesuai dengan isyarat alam atau firasat.
38
(1) Yen wayah bengi krungu suarane manuk, kolik/tuwu, penanda ana maling
nyedak omah. (kalau malam hari mendengar suara burung hantu, petanda ada
pencuri mendekat)
(2) Yen ketiban cecak, petandha arep oleh rejeki (jika kejatuhan cicak, itu
tandanya akan mendapat rejeki)
2) Fungsi Kosmologi
Fungsi kosmologi yaitu menunjukkan seperti apa alam semesta. Menurut
Sukatman (2009: 51) kepercayaan Jawa tentang mitos kosmologi atau kosmis ini
terkait dengan gejala alam seperti, gempa bumi, bintang berekor, komet, pelangi,
gerhana bulan, dan petir bukan sekedar gejala yang sesuai dengan penjelasan ilmu
pengetahuan tetapi memiliki penjelasan tersendiri yang umumnya bersifat mitos.
Misalnya, adanya gempa bumi bukanlah gejala alam karena gunung meletus,
melainkan ada naga raksasa yang mendukung bumi dan naga itu sedang
menggerakkan ekornya, gerakkan itu dengan maksud apakah masih ada manusia
di bumi atau tidak ada. Sukatman juga memberikan contoh ungkapan dalam
bahasa Jawa yang menguatkan pendapatnya seperti di bawah ini.
(1) Yen ana lindhu iku mergane naga gedhe sing ana njero bumi ngobahake
buntute kanggo ndeleng apa isih ana manungsa sing ana bumi sing urip.
(Jika ada gempa bumi itu karena naga besar yang ada di dalam bumi
menggerakkan ekornya untuk melihat masih ada atau tidak manusia di bumi)
(2) Yen anan gerhana rembulan, kothekana lesung, supaya reseksa sing nguntal
mbulan njoget banjur lali ora sido ngutal rembulan. (Jika ada gerhana bulan,
bunyikan lesung agar raksasa yang akan menelan bulan lupa dan tidak jadi
menelan bulan)
39
(3) Yen ono kluwung iku ana midadari sing arep mudhun teko langit. (jika ada
pelangi itu berarti ada bidadari yang akan turun dari langit)
(4) Yen ana lintang kemukus, iku pratandha yen arep ana gara-gara. (jika ada
bintang berekor, itu pertanda akan ada tragedi sosial yang besar) (2009: 53)
3) Fungsi Sosiologis
Fungsi sosiologis, yaitu mendukung dan mensahkan tatanan sosial
tertentu. Pada fungsi sosiologis masyarakat pada umumnya memiliki kepercayaan
terhadap mitos dan membawa makna tersediri. Hal itu sejalan dengan pemikiran
Sukatman (2009: 54) bahwa fungsi dari kepercayaan rakyat Jawa adalah untuk (1)
menahan kantuk ketika sedang begadang atau hajatan (“cegah lek” atau menahan
rasa kantuk), (2) melestarikan ajaran dan paham yang diwariskan oleh nenek
moyang untuk dipegang teguh, (3) menggiring pemikiran dan perasaan generasi
muda agar sejalan dengan generasi tua, (4) bahan lelucon, (5) menebar isu dan
mengacau ketenangan masyarakat.
4) Fungsi Pendidikan atau Pedagogis
Fungsi pendidikan, yaitu mengajarkan manusia tentang bagaimana cara
manusia agar tetap hidup dalam kondisi dan keadaan seperti apapun. Menurut
Endraswara (2013: 216) berpendapat bahwa agar manusia tetap hidup dan
mengharagi kehidupan hendaknya memiliki rasa hormat kepada sesama, baik
dalam bertuur dan bertindak, dan tanggung jawab. Biasanya pada fungsi
pendidikan mitos dihadirkan melalui peribahasa.
Hal itu sejalan dengan pendapat Sukatman (2009: 83) yang menjelaskan
bahwa peribahasa dalam budaya Jawa memiliki nilai dan fungsi yang dekat
dengan kehidupan manusia, karena melalui peribahasa manusia akan mempelajari
40
tentang kerealistisan hidup, kesederhanan hidup, kejujuran, kesembadaan hidup,
teguh pendirian dan memiliki kewaspadaan hidup yang tinggi.