bab ii kajian pustaka -...
TRANSCRIPT
11
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Disiplin Diri
Hurlock (1978) menyatakan bahwa ”discipline is
training in self control or education (teaching children
what they should or should not do). It also means
training that molds, strengthens, or perfects children to
follow the rules. Disiplin diartikan sebagai melatih
individu dalam hal kontrol diri atau melatih individu
mengenai apa yang boleh dan tidak boleh mereka
perbuat sesuai dengan peraturan yang berlaku dalam
masyarakat.
Disiplin diri merupakan suatu proses melatih
diri yang secara sadar bertujuan mengarah ke tujuan
yang telah ditetapkan. Disiplin diri merupakan perila-
ku pada diri seseorang yang berusaha selalu menepati
atau mentaati segala peraturan yang berlaku. Konsep
disiplin diri merupakan perwujudan kerelaan sese-
orang untuk bersikap tertib terhadap segala hal.
Menurut Hurlock (1978), disiplin itu perlu bagi
perkembangan seseorang, karena memenuhi beberapa
kebutuhan, di antaranya adalah:
(1) disiplin memberi seseorang rasa aman dengan memberitahukan apa yang boleh dan yang tidak
boleh dilakukan; (2) dengan membantu seseorang
menghindari perasaan bersalah dan rasa malu aki-
bat prilaku yang salah, perasaan yang pasti meng-
12
akibatkan rasa tidak bahagia dan penyesuaian
yang buruk; (3) disiplin memungkinkan seseorang hidup menurut standar yang disetujui kelompok
sosial dan dengan demikian memperoleh persetu-
juan sosial; (4) dengan disiplin, seseorang belajar bersikap menurut cara yang akan mendatangkan
pujian yang akan ditafsirkan seseorang sebagai
tanda kasih sayang dan penerimaan; (5) disiplin
yang sesuai dengan perkembangan berfungsi seba-gai motivasi pendorong ego yang mendorong seseo-
rang mencapai apa yang diharapkan darinya; (6) di-
siplin membantu seseorang mengembangkan hati nurani atau suara dari batin yang membimbing
dalam diri seseorang mengambil suatu keputusan
dan pengendalian perilaku.
2.1.1 Faktor yang Mempengaruhi Disiplin Diri
Untuk membuat seseorang menjadi disiplin
dilakukan intervensi disiplin. Terdapat empat faktor
penting yang dipertimbangkan dalam memberikan
pelatihan untuk mendisiplinkan individu sehingga
memiliki disipin diri (Hurlock, 1978). Keempat faktor
tersebut adalah peraturan sebagai pedoman perilaku,
konsistensi dalam pelaksanaan peraturan, hukuman
untuk pelanggaran peraturan dan penghargaan untuk
perilaku yang baik.
1. Peraturan
Peraturan adalah ketentuan-ketentuan yang
telah ditetapkan untuk menata perilaku seseorang
dalam suatu kelompok, organisasi, institusi atau
komunitas. Tujuannya adalah membekali individu
dengan pedoman perilaku yang disetujui dalam situasi
tertentu (Hurlock, 1999). Peraturan memiliki dua
13
fungsi penting yaitu fungsi pendidikan, sebab peratur-
an merupakan alat memperkenalkan perilaku yang
disetujui anggota kelompok kepada individu dan
fungsi preventif karena peraturan membantu mengon-
trol perilaku yang tidak diinginkan.
Peraturan dianggap efektif apabila setiap pelang-
garan atas peraturan mendapat konsekuensi yang
setimpal, apabila tidak maka peraturan tersebut akan
kehilangan maknanya. Peraturan yang efektif dapat
membantu seorang individu merasa terlindungi
sehingga individu tidak perlu melakukan hal-hal yang
tidak pantas. Isi setiap peraturan harus mencermin-
kan hubungan yang serasi di antara anggota keluarga,
memiliki dasar yang logis untuk membuat berbagai
kebijakan, dan menjadi model perilaku yang harus
terwujud di dalam keluarga (Hurlock, 1999).
Disiplin merupakan kesadaran untuk melaku-
kan sesuatu pekerjaan dengan tertib dan teratur
sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku
dengan penuh tanggung jawab tanpa paksaan. Artinya
seseorang melakukan sesuatu karena ada peraturan
yang berlaku bagi dirinya, bukan karena dipaksa
melakukan, sehingga dengan adanya peraturan, indi-
vidu akan terkondisikan lebih disiplin.
2. Konsistensi
Konsistensi berarti tingkat kewajiban atau stabi-
litas. Konsistensi tidak sama dengan ketetapan, yang
14
berarti tidak adanya perubahan. Sebaliknya, berarti
suatu kecenderungan menuju kesamaan.
Konsistensi harus menjadi ciri semua aspek
disiplin. Peraturan, hukuman dan penghargaan yang
konsisten membuat siswa tidak bingung terhadap apa
yang diharapkan dari mereka. Ada beberapa fungsi
konsistensi yaitu (Hurlock, 1999):
(a) mempunyai nilai mendidik; (b) mempunyai nilai
motivasi yang kuat; c) mempertinggi penghargaan terhadap peraturan. Anak yang terus diberi pendi-
dikan disiplin yang konsisten cenderung lebih
matang disiplin dirinya bila dibandingkan anak yang tidak diberi disiplin secara konsisten.
3. Hukuman
Hukuman berasal dari kata kerja latin, “punier”.
Hurlock (1999) menyatakan bahwa hukuman berarti
menjatuhkan hukuman kepada seseorang karena
suatu kesalahan, perlawanan atau pelanggaran seba-
gai ganjaran atau pembalasan. Berarti bahwa orang
itu mengetahui bahwa perbuatan itu salah namun
masih dilakukan.
Hurlock (2005) menyatakan “discipline as
whenever an individual violates the rule of organization,
punishment is used against the violation”. Hukuman
dilakukan untuk penegakan disiplin, agar seseorang
mematuhi peraturan.
15
4. Penghargaan
Penghargaan diberikan untuk suatu hasil yang
baik. Penghargaan tidak harus berbentuk materi tetapi
dapat juga berupa kata-kata pujian, senyuman atau
tepukan di punggung. Banyak orang yang merasa
bahwa penghargaan itu tidak perlu dilakukan karena
bisa melemahkan individu untuk melakukan apa yang
dilakukan. Penghargaan mempunyai nilai mendidik,
sebagai motivasi untuk mengulang perilaku yang
disetujui secara sosial, memperkuat perilaku yang
disetujui secara sosial, penghargaan untuk perilaku
yang baik dan dapat menambah disiplin diriindividu.
2.1.2 Pengukuran Disiplin Diri
Pengukuran variabel disiplin dengan skala yang
dikembangkan oleh Hurlock (1999) meliputi:
(a) etika berperilaku, (b) kehadiran, (c) tata cara
berpakaian, (d) penampilan, (e) kegiatan belajar mengajar di kelas, (f) pengrusakan sarana dan
prasarana sekolah, (g) bela Negara, (h) pelanggaran
khusus. Pengukuran disiplin diri menggunakan skala Likert.
2.2 Pola Asuh Orang Tua
Maccoby dan Martin (1983) telah menguraikan
empat pola asuh dengan mengacu pada pendapat
Baumrind (1971). Dalam penelitian yang dilakukan
Baumrind ditemukan bahwa ada dua unsur dasar
yang bisa membantu membentuk pola asuh (penga-
16
suhan orang tua) yang berhasil: responsiveness vs
unresponsiveness (responsif vs tidak responsif) and
demanding vs undemanding (menuntut vs tidak me-
nuntut). Baumrind mengidentifikasi tiga pola parenting
umum: authoritative, authoritarian dan permissive. Di
tahun 1983, Maccoby dan Martin memperluas tiga
pola asuk menjadi empat: authoritative, authoritarian,
indulgent dan neglectful.
Tabel 2.1
EmpatPola Parenting menurut Baumrind (1991)
Demokratis Otoriter Indulgent Neglectful
Warm Tinggi Rendah Tinggi Rendah
Kontrol Tinggi Tinggi Rendah Rendah
Sumber: http://www.equipkid.net
Baumrind (1991) percaya bahwa pola asuh
orang tua janganlah bersifat menghukum, melainkan,
mereka harus membuat aturan bagi anak mereka
dengan penuh kasih sayang. Semua pola pengasuhan
orang tua ini tidak dimaksudkan untuk mendeskrip-
sikan berbagai macam variasi yang ada dalam pola
pengasuhan orang tua, tidak juga tentang pola
pengasuhan yang menyimpang, seperti yang mungkin
bisa diamati di banyak keluarga yang terdapat banyak
tindakan kekerasan/pelecehan. Kebanyakan orang tua
tidak hanya masuk dalam satu kategori saja, namun
dapat juga masuk di antara kategori apa pun, mem-
perlihatkan karakteristik lebih dari satu pola.
17
2.2.1 Pola Asuh Authoritarian (Otoriter)
Pola asuh ini ditandai dengan adanya aturan-
aturan yang kaku dari orang tua. Kebebasan anak
sangat dibatasi dan orang tua memaksa anak untuk
berperilaku seperti yang diinginkan. Bila aturan-atur-
an ini dilanggar, orang tua akan menghukum anak
dengan hukuman yang biasanya bersifat fisik. Tapi
bila anak patuh maka orang tua tidak memberikan
hadiah karena sudah dianggap sewajarnya bila anak
menuruti kehendak orang tua.
Perilaku orang tua dalam berinteraksi dengan
anak bercirikan tegas, suka menghukum, anak dipak-
sa untuk patuh terhadap aturan-aturan yang diberi-
kan oleh orang tua tanpa merasa perlu menjelaskan
kepada anak apa guna dan alasan di balik aturan
tersebut, serta cenderung mengekang keinginan anak.
Pola asuh otoriter dapat berdampak buruk pada anak,
yaitu anak merasa tidak bahagia, ketakutan, tidak
terlatih untuk berinisiatif (kurang berinisiatif), selalu
tegang, cenderung ragu, tidak mampu menyelesaikan
masalah, kemampuan komunikasinya buruk, serta
mudah gugup, akibat seringnya mendapat hukuman
dari orang tua. Dengan pola asuh seperti ini, anak
diharuskan untuk berdisiplin karena semua keputus-
an dan peraturan ada di tangan orang tua (Baumrind,
1991).
18
2.2.2 Pola Asuh Authoritative (Otoritatif)
Pola asuh otoritatif ditandai dengan adanya
sikap terbuka antara orang tua dengan anaknya.
Mereka membuat aturan-aturan yang disetujui
bersama. Anak diberi kebebasan untuk mengemuka-
kan pendapat, perasaan dan keinginannya serta
belajar untuk dapat menanggapi pendapat orang lain.
Orang tua bersikap sebagai pemberi pendapat dan
pertimbangan terhadap kegiatan anak. Dengan pola
asuh ini, anak akan mampu mengembangkan kontrol
terhadap perilakunya sendiri dengan hal-hal yang
dapat diterima oleh masyarakat. Hal ini akan mendo-
rong anak untuk mampu berdiri sendiri, bertanggung
jawab dan yakin terhadap diri sendiri. Daya kreativi-
tasnya berkembang dengan baik karena orang tua
selalu merangsang anaknya untuk mampu berinisiatif.
2.2.3 Pola Asuh Permisif
Baumrind (1991) mendefinisikan pola asuh
permisif sebagai pola dimana orang tua sangat tidak
ikut campur dalam kehidupan anaknya. Orang tua
cenderung mendorong anak untuk bersikap otonom,
mendidik anak berdasarkan logika dan memberi
kebebasan pada anak untuk menentukan perilaku dan
kegiatannya. Orangtua tidak tahu keberadaan anak
mereka dan tidak cakap secara sosial, padahal anak
membutuhkan perhatian orang tua ketika mereka
melakukan sesuatu. Anak biasanya memiliki harga
diri yang rendah, belum dewasa dan diasingkan dalam
19
keluarga. Pada masa remaja mereka mengalami pe-
nyimpangan perilaku, misalnya suka tidak masuk
sekolah, menampakkan perilaku kenakalan remaja.
Dengan demikian anak menunjukkan pengendalian
diri yang buruk dan tidak bisa menangani kebebasan
dengan baik. Orang tua yang tidak menuntut ataupun
menanggapi menunjukkan suatu pola asuh yang
disebut neglectful atau uninvolved. Orang tua tidak
melakukan pengawasan yang cukup karena mereka
sibuk dengan masalahnya sendiri dan cenderung
meninggalkan tanggung jawab mereka sebagai orang
tua.
Pola asuh Permisif (Baumrind, 1991), orang tua
biasanya memberikan pengawasan yang sangat
longgar, orang tua memberikan kesempatan pada
anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan
yang cukup. Orang tua cenderung tidak memper-
ingatkan anaknya, dan sangat sedikit bimbingan yang
diberikan. Pola asuh orang tua tipe ini biasanya
bersifat hangat, sehingga seringkali disukai oleh anak.
Pola asuh permisif menekankan ekspresi diri
dan self regulation anak. Orangtua yang permisif
membuat beberapa aturan dan mengijinkan anak-
anaknya untuk memonitor kegiatan mereka sebanyak
mungkin. Ketika mereka membuat peraturan biasanya
mereka menjelaskan alasan dahulu, orang tua berkon-
sultasi dengan anak tentang keputusan yang diambil
dan jarang menghukum. Baumrind (1991) menambah-
kan tipologi ini karena adanya tingkat tuntutan orang
20
tua dan tanggapan yang ada. Pola asuh permisif terdiri
dari dua jenis yaitu:
1. Pola Asuh Permisif yang penuh Kelalaian
(Permisive-neglectfull parenting)
Orangtua tidak memonitor perilaku anaknya
ataupun mendukung ketertarikan mereka, karena
orang tua sibuk dengan masalahnya sendiri dan
cenderung mengabaikan tanggung jawab sebagai
orang tua.
2. Pengasuhan Permisif yang Pemurah (Permisive-
indulgent parenting)
Pada pola ini orang tua masih terlibat dengan
anaknya tetapi sedikit sekali menuntut atau mengen-
dalikan mereka. Biasanya orang tua yang demikian
akan memanjakan, dan mengizinkan anak untuk
melakukan apa saja yang mereka inginkan. Pola-pola
asuh ini menunjukkan bagaimana orang tua masih
terlibat dengan anaknya, tetapi memberi sedikit sekali
kontrol kepada mereka. Hal ini berkaitan dengan
ketidakmampuan sosial, terutama dalam kontrol diri.
Jadi pola asuh permisif indulgent, orang tua memiliki
tuntutan rendah dan tanggapan terlibat tinggi pada
anak. Orangtua ini toleran, hangat dan menerima.
Mereka menunjukkan sedikit otoritas, dan membiar-
kan terbentuknya self-regulation pada anak atau
remaja.
21
Pola asuh permisif memberi kebebasan, dan
anak diberikan kebebasan penuh untuk mengungkap-
kan keinginan dan kemauannya dalam memilih. Oleh
karena itu apabila tuntutan ini tidak dipenuhi maka
akan terjadi hambatan perkembangan dan timbul
penyimpangan dalam pertumbuhan dan perkembang-
an anak. Oleh karena itu anak harus diberikan
kebebasan penuh serta dihindari penekanan terhadap
keinginan dan kemauan anak, dan beri kebebasan
berkembang dengan apa adanya.
Pola asuh permisif orangtua, memberi kebebas-
an terhadap anak tanpa adanya norma-norma yang
harus diikuti oleh anak. Mungkin karena orang tua
sangat sayang (over protection) terhadap anak atau
orangtua kurang dalam pengetahuannya. Pola asuh
demikian ditandai dengan nurturance yang tinggi,
namun rendah dalam tuntutan kedewasaan, kontrol
dan komunikasi. Orang tua cenderung membebaskan
anak tanpa batas, tidak mengendalikan anak, lemah
dalam keteraturan hidup, dan tidak memberikan
hukuman apabila anak melakukan kesalahan, dan
tidak memiliki standar bagi perilaku anak, serta hanya
memberikan sedikit perhatian dalam membina keman-
dirian dan kepercayaan diri anak. Orang tua yang
memiliki pola asuh permisif cenderung membebaskan
anak untuk berbuat dan berperilaku secara bebas,
kontrol orang tua dapat dikatakan sangat kurang,
sehingga menyebabkan anak berperilaku seenaknya
(Baumrind,1991).
22
Orang tua yang permisif neglectfull cenderung
membebaskan anak untuk berbuat semaunya. Hal ini
dapat dilihat dari perilaku keseharian anak yang tanpa
kontrol. Memang, ada juga anak yang dengan pola ini
mampu menguasai diri dan dapat berperilaku sesuai
dengan norma, tetapi sebagian besar akibat pola asuh
yang demikian telah menyebabkan anak lepas kontrol,
bahkan cenderung berbuat negatif dalam lingkungan
(Baumrind, 1991).
Pola asuh permisif menunjukkan bahwa orang
tua memberikan kebebasan yang penuh pada anak
untuk berbuat sekehendaknya, berbuat serba boleh,
dengan tanpa banyak dituntut kewajiban dan
tanggung jawab. Orang tua selalu menerima, membe-
narkan atau malah mungkin tidak peduli terhadap
perilaku anak, sehingga dengan demikian orang tua
tidak pernah menghukum maupun memberi ganjaran
kepada anak, serta adanya kekuasaan dan kehendak
anak yang tampak dominan. Orang tua sangat rendah
dalam kontrol terhadap perilaku anak, bimbingan dan
arahan orang tua sangat kurang dalam mempersiap-
kan masa depan anak, dan hanya berperan untuk
menyediakan sarana sesuai dengan kebutuhan dan
tuntutan anak. Dalam suasana keluarga permisif
kemungkinan jarang sekali terjadi komunikasi antara
anak dengan orang tua.
Pola asuh yang permisif neglectfull dapat meng-
akibatkan anak out of control (tidak terkendali) yang
berarti anak bersikap tidak menaati aturan/norma
23
yang berlaku, sering melanggar norma-norma dan
ketentuan yang ada dalam keluarga dan lingkungan
masyarakat. Selain itu, sebagai akibat pola asuh orang
tua yang permisif ini menyebabkan kendala bagi anak
untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan, dan
tidak jarang anak mencari kelompok-kelompok yang
dianggapnya mampu menerima apa yang dikehendaki-
nya (Baumrind, 1991).
2.2.4 Mengukur Pola Asuh Permisif
Pengukuran pola asuh permisif neglectfull orang
tua didasarkan pada pendapat Baumrind (1991) yang
menyatakan bahwa pola asuh permisif dapat dilihat
dari 3 hal, yaitu menjauh dari anak secara fisik dan
psikis, tidak peduli terhadap kebutuhan, aktivitas,
kegiatan belajar maupun pertemanan anaknya, dan
hampir tidak pernah berbincang-bincang atau berko-
munikasi dengan anaknya
Alat ukur yang digunakan untuk mengukur pola
asuh orang tua di antaranya adalah menggunakan
lembar kuesionar persepsi siswa tentang pola asuh
(Yuliana, 2012). Cara lain yang dapat dugunakan
adalah Family Communication Patterns (FCP) yang
dikembangkan oleh Richie and Pitspatrick (1990) yang
dipadukan dengan Psychology Control Scale (PCS)
menjadi Revised Family Communication Pattern (RFCP).
Instrumen yang digunakan untuk mengukur pola
asuh orang tua berdasarkan pada cara berkomunikasi
24
anak dengan orang tua dalam penelitian (Kuhar, M.,
2010) tentang Parental Authority Styles in Adolescent-
Parent Relationship.
Menurut Reitman et.al (2002) dalam Raymond
(2013) Pola Asuh Orang Tua dapat diukur dengan
merujuk konseptualisasi Baumrind (1991) tentang
pola pengasuhan menggunakan Parental Authority
Questionare-Revised (PAQ-R) yang bertujuan untuk
mengukur sifat dari pola pengasuhan orang tua. PAQ-
R adalah salah satu instrumen yang dibuat untuk
mengukur pola asuh orang tua baik berdasarkan pada
etnis dan sosio ekonomi dilihat dari segi persepsi anak
terhadap sikap orang tua di Amerika-Afrika. Alat yang
digunakan dalam penelitian ini adalah angket Pola
Asuh Orang Tua berdasarkan Persepsi Anak.
Pengukuran Pola Asuh dalam penelitian ini
menggunakan pengukuran yang dikembangkan oleh
Baumrind, (1991), menggunakan 4 pola Asuh yang
dijabarkan dalam 15 item pertanyaan.
2.3 Konsep Diri
2.3.1 Pengertian Konsep Diri
Fitts (1971) mengemukakan bahwa konsep diri
merupakan aspek penting dalam diri seseorang,
karena konsep diri seseorang merupakan kerangka
acuan (frame of reference) dalam berinteraksi dengan
lingkungan. Konsep diri secara individu fenomenologis
menjelaskan bahwa ketika individu mempersepsikan
25
dirinya, bereaksi terhadap dirinya, memberikan arti
dan nilai serta membentuk abstraksi tentang dirinya,
berarti ia menunjukkan suatu kesadaran diri (self
awareness) dan kemampuan untuk keluar dari dirinya
sendiri untuk melihat dirinya.
Fitts (1971) menyatakan bahwa konsep diri ber-
pengaruh kuat terhadap perilaku seseorang, dengan
mengetahui konsep diri seseorang, maka akan lebih
mudah meramalkan dan memahami perilaku orang
tersebut. Konsep diri adalah semua ide pikiran keper-
cayaan dan pendirian yang diketahui individu tentang
dirinya dan mempengaruhi indvidu dalam berhu-
bungan dengan rang lain. Termasuk persepsi individu
akan sifat dan kemampuannya, interaksi dengan orang
lain dan lingkungannya, nilai nilai yang berkaitan
dengan pengalaman dan objek tujuan serta keinginan-
nya. Secara umum disepakati bahwa konsep diri
belum ada saat lahir.
2.3.2 Dimensi-dimensi dalam Konsep Diri
Fitts (1971) membagi konsep diri dalam dua
dimensi pokok yaitu:
a. Dimensi Internal
Dimensi internal biasa disebut kerangka acuan
internal (internal frame of reference) adalah penilaian
yang dilakukan oleh individu yakni penilaian terhadap
dirinya sendiri berdasarkan dunia dalam diri sese-
orang meliputi:
26
Dimensi tersebut adalah:
1) Diri identitas (identity self)
Bagian diri ini merupakan aspek yang paling
mendasar pada konsep diri dan mengacu pada
pertanyaan siapakah saya dalam pertanyaan tersebut tercakup label dan simbol yang diberi-
kan pada diri sendiri oleh invidu yang bersang-
kutan untuk menggambarkan dirinya dan membangun identitasnya, misalnya saya Ita.
Kemudian dengan bertambahnya usia dan
interaksi dengan lingkungannya, pengetahuan
inividu tentang dirinya juga bertambah sehing-ga ia dapat melengkapi keterangan tentang
dirinya dengan hal hal yang lebih kompleks,
seperti ”saya pintar terlalu gemuk” dan seba-gainya.
2) Diri perilaku (behavioural self)
Diri perilaku merupakan persepsi individu tentang perilakunya yang berisikan segala ke-
sadaran mengenai ”apa yang harus dilakukan
oleh diri”. Selain itu bagian ini berkaitan erat dengan diri identitas. Diri yang kuat menam-
pakkan adanya keserasian antara diri identitas
dengan diri perilakunya, sehingga ia dapat
mengenali dan menerima baik diri sebagai identitas maupun diri sebagai pelaku. Kaitan
dari keduanya dapat dilihat pada diri sebagai
penilaian
3) Diri pertimbangan (judging self)
Diri pertimbangan befungsi sebagai pengamat,
penentu standar dan evaluator. Kedudukannya adalah sebagai perantara antara diri identitas
dengan diri perilaku. Manusia cenderung
memberikan pertimbangan terhadap apa yang
dipersepsikannya. Oleh karena itu, label label yang dikenakan kepada dirinya bukanlah se-
manta-mata menggambarkan dirinya tetapi
juga sarat dengan nilai-nilai. Selanjutnya per-timbangan ini lebih berperan dalam menentu-
kan tindakan yang akan ditampilkan.
4) Diri fisik (physical self)
Diri fisik menyangkut persepsi seseorang ter-
hadap keadaan dirinya secara fisik. Dalam hal
27
ini terlihat persepsi seseorangmengenai kese-
hatan dirinya, penampilan dirinya (cantik, jelek, menarik, tidak menarik) dan keadaan
tubuhnya (tinggi, pendek, gemuk, kurus, pro-
porsional)
5) Diri etik-moral (moral-ethical self)
Bagian ini merupakan persepsi seseorang ter-
hadap dirinya dilihat dari standar pertimbang-
an nilai moral dan etika. Hal ini menyangkut persepsi seseorang mengenai hubungan
dengan Tuhan, kepuasan seseorang akan ke-
hidupan keagamaannya dan nilai nilai moral yang dipegangnya meliputi batasan baik dan
buruk.
6) Diri pribadi (personal self)
Diri pribadi merupakan perasaan dan pesepsi
seseorang tentang keadaan pribadinya. Hal ini
tidak dipengaruhi oleh kondisi fisik atau
hubungan dengan orang lain tetapi dipenga-ruhi oleh sejauh mana individu merasa puas
terhadap pribadinya atau sejauh mana dia
merasa dirinya sebagai pribadi yang tepat.
b. Dimensi Eksternal
Pada dimensi eksternal, individu menilai dirinya
melalui hubungan dan aktivitas sosialnya, nilai-nilai
yang dianutnya, serta hal-hal lain di luar dirinya.
Dimensi ini merupakan suatu hal yang luas, misalnya
dirinya yang berkaitan dengan sekolah, organisasi,
agama dan sebagainya. Namun, dimensi yang dikemu-
kakan oleh Fitts (1971) adalah dimensi eksternal yang
bersifat umum bagi semua orang dan dibedakan atas
dua bentuk yaitu:
1) Diri keluarga (family self)
Diri keluarga menunjukkan perasaan dan harga diri seseorang dalam kedudukannya se-
28
bagai anggota keluarga. Bagian ini menunjuk-
kan seberapa jauh seseorang merasa kuat ter-hadap dirinya sebagai anggota keluarga serta
terhadap peran maupun fungsi yang diajarkan
sebagai anggota dari suatu keluarga
2) Diri sosial (sosial self)
Bagian ini merupakan penilaian diri individu
terhadap interaksi dirinya dengan orang lain
maupun lingkungan sekitarnya
2.3.3 Pengukuran Konsep Diri
Menurut Crouse (1981), ada dua metode yang
umum dipakai untuk mengukur konsep diri individu.
Pertama, metode observasi. Konsep diri seseorang
dapat diduga dari perilaku yang diamati seseorang.
Seorang observer berpegang mencari alasan untuk
perilaku daripada hanya mendapatkan perilaku itu
sendiri, ’feel’ bagaimana sesuatu dilihat dari pandang-
an yang lain. Observer melakukan observasi menggu-
nakan metode respons tak terstruktur. Meskipun ini
perlu mendapatkan ’feel’ observer harus tetap objektif.
Untuk menghindari prasangka pribadi dapat dihilang-
kan dengan observasi sederhana. Kedua, metode self
report (laporan diri sendiri). Dengan menggunakan alat
ini memungkinkan individu yang bersangkutan untuk
melaporkan tentang dirinya sendiri di dalam merespon
pada item-item yang ada dalam tes. Konsep diri atau
suatu unsur yang spesifik dari konsep diri dapat
dibuatkan indeksnya, biasanya dalam bentuk skor.
Metode tertulis ini dapat digunakan secara individual.
Crouse (1981) memaparkan intrumen pengukuran
29
konsep diri antara lain: The Tennessee Self Concept
Scale (TSCS).
Tennesse self Concept Scale sebuah intrumen
disusun oleh William H. Fitts pada tahun 1965 yang
dapat dipakai untuk mengukur konsep diri. Konsep
diri adalah gambaran diri individu itu sendiri.
Tennesse Self Concept Scale berisi 100 item yang
mengukur responden dengan delapan elemen konsep
diri. Ke delapan elemen yang diukur adalah: Physical,
Moral dan Etika, Pribadi, Keluarga, Sosial, Identitas,
Kepuasan, Perilaku. (http://www.eurojournal.com/)
2.4 Kajian yang Relevan
Hasil penelitian yang dilakukan Purnomo (2006)
menunjukkan hasil ada hubungan antara pandangan
pola asuh permisif orang tua dengan disiplin siswa
SMA Muhammadiyah Pekalongan. Dengan 98 sampel
siswa diketahui bahwa r hitung yang diperoleh sebesar
0,735 dengan signifikansi p =0,000< 0,05. Ada
hubungan yang signifikan antara pandangan pola
asuh permisif orangtua dengan disiplin siswa SMA
Muhammadiyah Pekalongan.
Penelitian yang dilakukan Prasetyo (2009) me-
ngenai hubungan pandangan pola asuh permisif orang
tua dengan disiplin diri siswa SMA Pancasila
Surabaya, menunjukkan tidak ada hubungan yang
signifikan dengan koefisien r sebesar -0,113 dengan
p 0,316 > 0,05.
30
Penelitian Andrie (2013) mengungkapkan tidak
ada hubungan positif antara konsep diri dan disiplin
diri siswa kelas XI dan XII Jurusan Teknik Audio Video
SMK Muhammadiyah 3 Yogyakarta, dibuktikan
dengan nilai Rxy > R tabel (0,112 < 3,954) dengan
p 0,297 > 0,05
2.5 Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini
adalah:
1. Ada hubungan yang signifikan antara pola asuh
permisif orang tua dengan disiplin diri siswa kelas
XI SMA N Bergas;
2. Ada hubungan yang signifikan antara konsep diri
dengan disiplin diri kelas XI SMA N Bergas.