bab ii kajian pustaka -...

20
11 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Disiplin Diri Hurlock (1978) menyatakan bahwa ”discipline is training in self control or education (teaching children what they should or should not do). It also means training that molds, strengthens, or perfects children to follow the rules. Disiplin diartikan sebagai melatih individu dalam hal kontrol diri atau melatih individu mengenai apa yang boleh dan tidak boleh mereka perbuat sesuai dengan peraturan yang berlaku dalam masyarakat. Disiplin diri merupakan suatu proses melatih diri yang secara sadar bertujuan mengarah ke tujuan yang telah ditetapkan. Disiplin diri merupakan perila- ku pada diri seseorang yang berusaha selalu menepati atau mentaati segala peraturan yang berlaku. Konsep disiplin diri merupakan perwujudan kerelaan sese- orang untuk bersikap tertib terhadap segala hal. Menurut Hurlock (1978), disiplin itu perlu bagi perkembangan seseorang, karena memenuhi beberapa kebutuhan, di antaranya adalah: (1) disiplin memberi seseorang rasa aman dengan memberitahukan apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan; (2) dengan membantu seseorang menghindari perasaan bersalah dan rasa malu aki- bat prilaku yang salah, perasaan yang pasti meng-

Upload: trandat

Post on 22-Mar-2019

229 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6074/2/T2_942008122_BAB II.pdf · etika berperilaku, (b) kehadiran, (c) tata cara berpakaian, (d)

11

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Disiplin Diri

Hurlock (1978) menyatakan bahwa ”discipline is

training in self control or education (teaching children

what they should or should not do). It also means

training that molds, strengthens, or perfects children to

follow the rules. Disiplin diartikan sebagai melatih

individu dalam hal kontrol diri atau melatih individu

mengenai apa yang boleh dan tidak boleh mereka

perbuat sesuai dengan peraturan yang berlaku dalam

masyarakat.

Disiplin diri merupakan suatu proses melatih

diri yang secara sadar bertujuan mengarah ke tujuan

yang telah ditetapkan. Disiplin diri merupakan perila-

ku pada diri seseorang yang berusaha selalu menepati

atau mentaati segala peraturan yang berlaku. Konsep

disiplin diri merupakan perwujudan kerelaan sese-

orang untuk bersikap tertib terhadap segala hal.

Menurut Hurlock (1978), disiplin itu perlu bagi

perkembangan seseorang, karena memenuhi beberapa

kebutuhan, di antaranya adalah:

(1) disiplin memberi seseorang rasa aman dengan memberitahukan apa yang boleh dan yang tidak

boleh dilakukan; (2) dengan membantu seseorang

menghindari perasaan bersalah dan rasa malu aki-

bat prilaku yang salah, perasaan yang pasti meng-

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6074/2/T2_942008122_BAB II.pdf · etika berperilaku, (b) kehadiran, (c) tata cara berpakaian, (d)

12

akibatkan rasa tidak bahagia dan penyesuaian

yang buruk; (3) disiplin memungkinkan seseorang hidup menurut standar yang disetujui kelompok

sosial dan dengan demikian memperoleh persetu-

juan sosial; (4) dengan disiplin, seseorang belajar bersikap menurut cara yang akan mendatangkan

pujian yang akan ditafsirkan seseorang sebagai

tanda kasih sayang dan penerimaan; (5) disiplin

yang sesuai dengan perkembangan berfungsi seba-gai motivasi pendorong ego yang mendorong seseo-

rang mencapai apa yang diharapkan darinya; (6) di-

siplin membantu seseorang mengembangkan hati nurani atau suara dari batin yang membimbing

dalam diri seseorang mengambil suatu keputusan

dan pengendalian perilaku.

2.1.1 Faktor yang Mempengaruhi Disiplin Diri

Untuk membuat seseorang menjadi disiplin

dilakukan intervensi disiplin. Terdapat empat faktor

penting yang dipertimbangkan dalam memberikan

pelatihan untuk mendisiplinkan individu sehingga

memiliki disipin diri (Hurlock, 1978). Keempat faktor

tersebut adalah peraturan sebagai pedoman perilaku,

konsistensi dalam pelaksanaan peraturan, hukuman

untuk pelanggaran peraturan dan penghargaan untuk

perilaku yang baik.

1. Peraturan

Peraturan adalah ketentuan-ketentuan yang

telah ditetapkan untuk menata perilaku seseorang

dalam suatu kelompok, organisasi, institusi atau

komunitas. Tujuannya adalah membekali individu

dengan pedoman perilaku yang disetujui dalam situasi

tertentu (Hurlock, 1999). Peraturan memiliki dua

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6074/2/T2_942008122_BAB II.pdf · etika berperilaku, (b) kehadiran, (c) tata cara berpakaian, (d)

13

fungsi penting yaitu fungsi pendidikan, sebab peratur-

an merupakan alat memperkenalkan perilaku yang

disetujui anggota kelompok kepada individu dan

fungsi preventif karena peraturan membantu mengon-

trol perilaku yang tidak diinginkan.

Peraturan dianggap efektif apabila setiap pelang-

garan atas peraturan mendapat konsekuensi yang

setimpal, apabila tidak maka peraturan tersebut akan

kehilangan maknanya. Peraturan yang efektif dapat

membantu seorang individu merasa terlindungi

sehingga individu tidak perlu melakukan hal-hal yang

tidak pantas. Isi setiap peraturan harus mencermin-

kan hubungan yang serasi di antara anggota keluarga,

memiliki dasar yang logis untuk membuat berbagai

kebijakan, dan menjadi model perilaku yang harus

terwujud di dalam keluarga (Hurlock, 1999).

Disiplin merupakan kesadaran untuk melaku-

kan sesuatu pekerjaan dengan tertib dan teratur

sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku

dengan penuh tanggung jawab tanpa paksaan. Artinya

seseorang melakukan sesuatu karena ada peraturan

yang berlaku bagi dirinya, bukan karena dipaksa

melakukan, sehingga dengan adanya peraturan, indi-

vidu akan terkondisikan lebih disiplin.

2. Konsistensi

Konsistensi berarti tingkat kewajiban atau stabi-

litas. Konsistensi tidak sama dengan ketetapan, yang

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6074/2/T2_942008122_BAB II.pdf · etika berperilaku, (b) kehadiran, (c) tata cara berpakaian, (d)

14

berarti tidak adanya perubahan. Sebaliknya, berarti

suatu kecenderungan menuju kesamaan.

Konsistensi harus menjadi ciri semua aspek

disiplin. Peraturan, hukuman dan penghargaan yang

konsisten membuat siswa tidak bingung terhadap apa

yang diharapkan dari mereka. Ada beberapa fungsi

konsistensi yaitu (Hurlock, 1999):

(a) mempunyai nilai mendidik; (b) mempunyai nilai

motivasi yang kuat; c) mempertinggi penghargaan terhadap peraturan. Anak yang terus diberi pendi-

dikan disiplin yang konsisten cenderung lebih

matang disiplin dirinya bila dibandingkan anak yang tidak diberi disiplin secara konsisten.

3. Hukuman

Hukuman berasal dari kata kerja latin, “punier”.

Hurlock (1999) menyatakan bahwa hukuman berarti

menjatuhkan hukuman kepada seseorang karena

suatu kesalahan, perlawanan atau pelanggaran seba-

gai ganjaran atau pembalasan. Berarti bahwa orang

itu mengetahui bahwa perbuatan itu salah namun

masih dilakukan.

Hurlock (2005) menyatakan “discipline as

whenever an individual violates the rule of organization,

punishment is used against the violation”. Hukuman

dilakukan untuk penegakan disiplin, agar seseorang

mematuhi peraturan.

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6074/2/T2_942008122_BAB II.pdf · etika berperilaku, (b) kehadiran, (c) tata cara berpakaian, (d)

15

4. Penghargaan

Penghargaan diberikan untuk suatu hasil yang

baik. Penghargaan tidak harus berbentuk materi tetapi

dapat juga berupa kata-kata pujian, senyuman atau

tepukan di punggung. Banyak orang yang merasa

bahwa penghargaan itu tidak perlu dilakukan karena

bisa melemahkan individu untuk melakukan apa yang

dilakukan. Penghargaan mempunyai nilai mendidik,

sebagai motivasi untuk mengulang perilaku yang

disetujui secara sosial, memperkuat perilaku yang

disetujui secara sosial, penghargaan untuk perilaku

yang baik dan dapat menambah disiplin diriindividu.

2.1.2 Pengukuran Disiplin Diri

Pengukuran variabel disiplin dengan skala yang

dikembangkan oleh Hurlock (1999) meliputi:

(a) etika berperilaku, (b) kehadiran, (c) tata cara

berpakaian, (d) penampilan, (e) kegiatan belajar mengajar di kelas, (f) pengrusakan sarana dan

prasarana sekolah, (g) bela Negara, (h) pelanggaran

khusus. Pengukuran disiplin diri menggunakan skala Likert.

2.2 Pola Asuh Orang Tua

Maccoby dan Martin (1983) telah menguraikan

empat pola asuh dengan mengacu pada pendapat

Baumrind (1971). Dalam penelitian yang dilakukan

Baumrind ditemukan bahwa ada dua unsur dasar

yang bisa membantu membentuk pola asuh (penga-

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6074/2/T2_942008122_BAB II.pdf · etika berperilaku, (b) kehadiran, (c) tata cara berpakaian, (d)

16

suhan orang tua) yang berhasil: responsiveness vs

unresponsiveness (responsif vs tidak responsif) and

demanding vs undemanding (menuntut vs tidak me-

nuntut). Baumrind mengidentifikasi tiga pola parenting

umum: authoritative, authoritarian dan permissive. Di

tahun 1983, Maccoby dan Martin memperluas tiga

pola asuk menjadi empat: authoritative, authoritarian,

indulgent dan neglectful.

Tabel 2.1

EmpatPola Parenting menurut Baumrind (1991)

Demokratis Otoriter Indulgent Neglectful

Warm Tinggi Rendah Tinggi Rendah

Kontrol Tinggi Tinggi Rendah Rendah

Sumber: http://www.equipkid.net

Baumrind (1991) percaya bahwa pola asuh

orang tua janganlah bersifat menghukum, melainkan,

mereka harus membuat aturan bagi anak mereka

dengan penuh kasih sayang. Semua pola pengasuhan

orang tua ini tidak dimaksudkan untuk mendeskrip-

sikan berbagai macam variasi yang ada dalam pola

pengasuhan orang tua, tidak juga tentang pola

pengasuhan yang menyimpang, seperti yang mungkin

bisa diamati di banyak keluarga yang terdapat banyak

tindakan kekerasan/pelecehan. Kebanyakan orang tua

tidak hanya masuk dalam satu kategori saja, namun

dapat juga masuk di antara kategori apa pun, mem-

perlihatkan karakteristik lebih dari satu pola.

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6074/2/T2_942008122_BAB II.pdf · etika berperilaku, (b) kehadiran, (c) tata cara berpakaian, (d)

17

2.2.1 Pola Asuh Authoritarian (Otoriter)

Pola asuh ini ditandai dengan adanya aturan-

aturan yang kaku dari orang tua. Kebebasan anak

sangat dibatasi dan orang tua memaksa anak untuk

berperilaku seperti yang diinginkan. Bila aturan-atur-

an ini dilanggar, orang tua akan menghukum anak

dengan hukuman yang biasanya bersifat fisik. Tapi

bila anak patuh maka orang tua tidak memberikan

hadiah karena sudah dianggap sewajarnya bila anak

menuruti kehendak orang tua.

Perilaku orang tua dalam berinteraksi dengan

anak bercirikan tegas, suka menghukum, anak dipak-

sa untuk patuh terhadap aturan-aturan yang diberi-

kan oleh orang tua tanpa merasa perlu menjelaskan

kepada anak apa guna dan alasan di balik aturan

tersebut, serta cenderung mengekang keinginan anak.

Pola asuh otoriter dapat berdampak buruk pada anak,

yaitu anak merasa tidak bahagia, ketakutan, tidak

terlatih untuk berinisiatif (kurang berinisiatif), selalu

tegang, cenderung ragu, tidak mampu menyelesaikan

masalah, kemampuan komunikasinya buruk, serta

mudah gugup, akibat seringnya mendapat hukuman

dari orang tua. Dengan pola asuh seperti ini, anak

diharuskan untuk berdisiplin karena semua keputus-

an dan peraturan ada di tangan orang tua (Baumrind,

1991).

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6074/2/T2_942008122_BAB II.pdf · etika berperilaku, (b) kehadiran, (c) tata cara berpakaian, (d)

18

2.2.2 Pola Asuh Authoritative (Otoritatif)

Pola asuh otoritatif ditandai dengan adanya

sikap terbuka antara orang tua dengan anaknya.

Mereka membuat aturan-aturan yang disetujui

bersama. Anak diberi kebebasan untuk mengemuka-

kan pendapat, perasaan dan keinginannya serta

belajar untuk dapat menanggapi pendapat orang lain.

Orang tua bersikap sebagai pemberi pendapat dan

pertimbangan terhadap kegiatan anak. Dengan pola

asuh ini, anak akan mampu mengembangkan kontrol

terhadap perilakunya sendiri dengan hal-hal yang

dapat diterima oleh masyarakat. Hal ini akan mendo-

rong anak untuk mampu berdiri sendiri, bertanggung

jawab dan yakin terhadap diri sendiri. Daya kreativi-

tasnya berkembang dengan baik karena orang tua

selalu merangsang anaknya untuk mampu berinisiatif.

2.2.3 Pola Asuh Permisif

Baumrind (1991) mendefinisikan pola asuh

permisif sebagai pola dimana orang tua sangat tidak

ikut campur dalam kehidupan anaknya. Orang tua

cenderung mendorong anak untuk bersikap otonom,

mendidik anak berdasarkan logika dan memberi

kebebasan pada anak untuk menentukan perilaku dan

kegiatannya. Orangtua tidak tahu keberadaan anak

mereka dan tidak cakap secara sosial, padahal anak

membutuhkan perhatian orang tua ketika mereka

melakukan sesuatu. Anak biasanya memiliki harga

diri yang rendah, belum dewasa dan diasingkan dalam

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6074/2/T2_942008122_BAB II.pdf · etika berperilaku, (b) kehadiran, (c) tata cara berpakaian, (d)

19

keluarga. Pada masa remaja mereka mengalami pe-

nyimpangan perilaku, misalnya suka tidak masuk

sekolah, menampakkan perilaku kenakalan remaja.

Dengan demikian anak menunjukkan pengendalian

diri yang buruk dan tidak bisa menangani kebebasan

dengan baik. Orang tua yang tidak menuntut ataupun

menanggapi menunjukkan suatu pola asuh yang

disebut neglectful atau uninvolved. Orang tua tidak

melakukan pengawasan yang cukup karena mereka

sibuk dengan masalahnya sendiri dan cenderung

meninggalkan tanggung jawab mereka sebagai orang

tua.

Pola asuh Permisif (Baumrind, 1991), orang tua

biasanya memberikan pengawasan yang sangat

longgar, orang tua memberikan kesempatan pada

anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan

yang cukup. Orang tua cenderung tidak memper-

ingatkan anaknya, dan sangat sedikit bimbingan yang

diberikan. Pola asuh orang tua tipe ini biasanya

bersifat hangat, sehingga seringkali disukai oleh anak.

Pola asuh permisif menekankan ekspresi diri

dan self regulation anak. Orangtua yang permisif

membuat beberapa aturan dan mengijinkan anak-

anaknya untuk memonitor kegiatan mereka sebanyak

mungkin. Ketika mereka membuat peraturan biasanya

mereka menjelaskan alasan dahulu, orang tua berkon-

sultasi dengan anak tentang keputusan yang diambil

dan jarang menghukum. Baumrind (1991) menambah-

kan tipologi ini karena adanya tingkat tuntutan orang

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6074/2/T2_942008122_BAB II.pdf · etika berperilaku, (b) kehadiran, (c) tata cara berpakaian, (d)

20

tua dan tanggapan yang ada. Pola asuh permisif terdiri

dari dua jenis yaitu:

1. Pola Asuh Permisif yang penuh Kelalaian

(Permisive-neglectfull parenting)

Orangtua tidak memonitor perilaku anaknya

ataupun mendukung ketertarikan mereka, karena

orang tua sibuk dengan masalahnya sendiri dan

cenderung mengabaikan tanggung jawab sebagai

orang tua.

2. Pengasuhan Permisif yang Pemurah (Permisive-

indulgent parenting)

Pada pola ini orang tua masih terlibat dengan

anaknya tetapi sedikit sekali menuntut atau mengen-

dalikan mereka. Biasanya orang tua yang demikian

akan memanjakan, dan mengizinkan anak untuk

melakukan apa saja yang mereka inginkan. Pola-pola

asuh ini menunjukkan bagaimana orang tua masih

terlibat dengan anaknya, tetapi memberi sedikit sekali

kontrol kepada mereka. Hal ini berkaitan dengan

ketidakmampuan sosial, terutama dalam kontrol diri.

Jadi pola asuh permisif indulgent, orang tua memiliki

tuntutan rendah dan tanggapan terlibat tinggi pada

anak. Orangtua ini toleran, hangat dan menerima.

Mereka menunjukkan sedikit otoritas, dan membiar-

kan terbentuknya self-regulation pada anak atau

remaja.

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6074/2/T2_942008122_BAB II.pdf · etika berperilaku, (b) kehadiran, (c) tata cara berpakaian, (d)

21

Pola asuh permisif memberi kebebasan, dan

anak diberikan kebebasan penuh untuk mengungkap-

kan keinginan dan kemauannya dalam memilih. Oleh

karena itu apabila tuntutan ini tidak dipenuhi maka

akan terjadi hambatan perkembangan dan timbul

penyimpangan dalam pertumbuhan dan perkembang-

an anak. Oleh karena itu anak harus diberikan

kebebasan penuh serta dihindari penekanan terhadap

keinginan dan kemauan anak, dan beri kebebasan

berkembang dengan apa adanya.

Pola asuh permisif orangtua, memberi kebebas-

an terhadap anak tanpa adanya norma-norma yang

harus diikuti oleh anak. Mungkin karena orang tua

sangat sayang (over protection) terhadap anak atau

orangtua kurang dalam pengetahuannya. Pola asuh

demikian ditandai dengan nurturance yang tinggi,

namun rendah dalam tuntutan kedewasaan, kontrol

dan komunikasi. Orang tua cenderung membebaskan

anak tanpa batas, tidak mengendalikan anak, lemah

dalam keteraturan hidup, dan tidak memberikan

hukuman apabila anak melakukan kesalahan, dan

tidak memiliki standar bagi perilaku anak, serta hanya

memberikan sedikit perhatian dalam membina keman-

dirian dan kepercayaan diri anak. Orang tua yang

memiliki pola asuh permisif cenderung membebaskan

anak untuk berbuat dan berperilaku secara bebas,

kontrol orang tua dapat dikatakan sangat kurang,

sehingga menyebabkan anak berperilaku seenaknya

(Baumrind,1991).

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6074/2/T2_942008122_BAB II.pdf · etika berperilaku, (b) kehadiran, (c) tata cara berpakaian, (d)

22

Orang tua yang permisif neglectfull cenderung

membebaskan anak untuk berbuat semaunya. Hal ini

dapat dilihat dari perilaku keseharian anak yang tanpa

kontrol. Memang, ada juga anak yang dengan pola ini

mampu menguasai diri dan dapat berperilaku sesuai

dengan norma, tetapi sebagian besar akibat pola asuh

yang demikian telah menyebabkan anak lepas kontrol,

bahkan cenderung berbuat negatif dalam lingkungan

(Baumrind, 1991).

Pola asuh permisif menunjukkan bahwa orang

tua memberikan kebebasan yang penuh pada anak

untuk berbuat sekehendaknya, berbuat serba boleh,

dengan tanpa banyak dituntut kewajiban dan

tanggung jawab. Orang tua selalu menerima, membe-

narkan atau malah mungkin tidak peduli terhadap

perilaku anak, sehingga dengan demikian orang tua

tidak pernah menghukum maupun memberi ganjaran

kepada anak, serta adanya kekuasaan dan kehendak

anak yang tampak dominan. Orang tua sangat rendah

dalam kontrol terhadap perilaku anak, bimbingan dan

arahan orang tua sangat kurang dalam mempersiap-

kan masa depan anak, dan hanya berperan untuk

menyediakan sarana sesuai dengan kebutuhan dan

tuntutan anak. Dalam suasana keluarga permisif

kemungkinan jarang sekali terjadi komunikasi antara

anak dengan orang tua.

Pola asuh yang permisif neglectfull dapat meng-

akibatkan anak out of control (tidak terkendali) yang

berarti anak bersikap tidak menaati aturan/norma

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6074/2/T2_942008122_BAB II.pdf · etika berperilaku, (b) kehadiran, (c) tata cara berpakaian, (d)

23

yang berlaku, sering melanggar norma-norma dan

ketentuan yang ada dalam keluarga dan lingkungan

masyarakat. Selain itu, sebagai akibat pola asuh orang

tua yang permisif ini menyebabkan kendala bagi anak

untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan, dan

tidak jarang anak mencari kelompok-kelompok yang

dianggapnya mampu menerima apa yang dikehendaki-

nya (Baumrind, 1991).

2.2.4 Mengukur Pola Asuh Permisif

Pengukuran pola asuh permisif neglectfull orang

tua didasarkan pada pendapat Baumrind (1991) yang

menyatakan bahwa pola asuh permisif dapat dilihat

dari 3 hal, yaitu menjauh dari anak secara fisik dan

psikis, tidak peduli terhadap kebutuhan, aktivitas,

kegiatan belajar maupun pertemanan anaknya, dan

hampir tidak pernah berbincang-bincang atau berko-

munikasi dengan anaknya

Alat ukur yang digunakan untuk mengukur pola

asuh orang tua di antaranya adalah menggunakan

lembar kuesionar persepsi siswa tentang pola asuh

(Yuliana, 2012). Cara lain yang dapat dugunakan

adalah Family Communication Patterns (FCP) yang

dikembangkan oleh Richie and Pitspatrick (1990) yang

dipadukan dengan Psychology Control Scale (PCS)

menjadi Revised Family Communication Pattern (RFCP).

Instrumen yang digunakan untuk mengukur pola

asuh orang tua berdasarkan pada cara berkomunikasi

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6074/2/T2_942008122_BAB II.pdf · etika berperilaku, (b) kehadiran, (c) tata cara berpakaian, (d)

24

anak dengan orang tua dalam penelitian (Kuhar, M.,

2010) tentang Parental Authority Styles in Adolescent-

Parent Relationship.

Menurut Reitman et.al (2002) dalam Raymond

(2013) Pola Asuh Orang Tua dapat diukur dengan

merujuk konseptualisasi Baumrind (1991) tentang

pola pengasuhan menggunakan Parental Authority

Questionare-Revised (PAQ-R) yang bertujuan untuk

mengukur sifat dari pola pengasuhan orang tua. PAQ-

R adalah salah satu instrumen yang dibuat untuk

mengukur pola asuh orang tua baik berdasarkan pada

etnis dan sosio ekonomi dilihat dari segi persepsi anak

terhadap sikap orang tua di Amerika-Afrika. Alat yang

digunakan dalam penelitian ini adalah angket Pola

Asuh Orang Tua berdasarkan Persepsi Anak.

Pengukuran Pola Asuh dalam penelitian ini

menggunakan pengukuran yang dikembangkan oleh

Baumrind, (1991), menggunakan 4 pola Asuh yang

dijabarkan dalam 15 item pertanyaan.

2.3 Konsep Diri

2.3.1 Pengertian Konsep Diri

Fitts (1971) mengemukakan bahwa konsep diri

merupakan aspek penting dalam diri seseorang,

karena konsep diri seseorang merupakan kerangka

acuan (frame of reference) dalam berinteraksi dengan

lingkungan. Konsep diri secara individu fenomenologis

menjelaskan bahwa ketika individu mempersepsikan

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6074/2/T2_942008122_BAB II.pdf · etika berperilaku, (b) kehadiran, (c) tata cara berpakaian, (d)

25

dirinya, bereaksi terhadap dirinya, memberikan arti

dan nilai serta membentuk abstraksi tentang dirinya,

berarti ia menunjukkan suatu kesadaran diri (self

awareness) dan kemampuan untuk keluar dari dirinya

sendiri untuk melihat dirinya.

Fitts (1971) menyatakan bahwa konsep diri ber-

pengaruh kuat terhadap perilaku seseorang, dengan

mengetahui konsep diri seseorang, maka akan lebih

mudah meramalkan dan memahami perilaku orang

tersebut. Konsep diri adalah semua ide pikiran keper-

cayaan dan pendirian yang diketahui individu tentang

dirinya dan mempengaruhi indvidu dalam berhu-

bungan dengan rang lain. Termasuk persepsi individu

akan sifat dan kemampuannya, interaksi dengan orang

lain dan lingkungannya, nilai nilai yang berkaitan

dengan pengalaman dan objek tujuan serta keinginan-

nya. Secara umum disepakati bahwa konsep diri

belum ada saat lahir.

2.3.2 Dimensi-dimensi dalam Konsep Diri

Fitts (1971) membagi konsep diri dalam dua

dimensi pokok yaitu:

a. Dimensi Internal

Dimensi internal biasa disebut kerangka acuan

internal (internal frame of reference) adalah penilaian

yang dilakukan oleh individu yakni penilaian terhadap

dirinya sendiri berdasarkan dunia dalam diri sese-

orang meliputi:

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6074/2/T2_942008122_BAB II.pdf · etika berperilaku, (b) kehadiran, (c) tata cara berpakaian, (d)

26

Dimensi tersebut adalah:

1) Diri identitas (identity self)

Bagian diri ini merupakan aspek yang paling

mendasar pada konsep diri dan mengacu pada

pertanyaan siapakah saya dalam pertanyaan tersebut tercakup label dan simbol yang diberi-

kan pada diri sendiri oleh invidu yang bersang-

kutan untuk menggambarkan dirinya dan membangun identitasnya, misalnya saya Ita.

Kemudian dengan bertambahnya usia dan

interaksi dengan lingkungannya, pengetahuan

inividu tentang dirinya juga bertambah sehing-ga ia dapat melengkapi keterangan tentang

dirinya dengan hal hal yang lebih kompleks,

seperti ”saya pintar terlalu gemuk” dan seba-gainya.

2) Diri perilaku (behavioural self)

Diri perilaku merupakan persepsi individu tentang perilakunya yang berisikan segala ke-

sadaran mengenai ”apa yang harus dilakukan

oleh diri”. Selain itu bagian ini berkaitan erat dengan diri identitas. Diri yang kuat menam-

pakkan adanya keserasian antara diri identitas

dengan diri perilakunya, sehingga ia dapat

mengenali dan menerima baik diri sebagai identitas maupun diri sebagai pelaku. Kaitan

dari keduanya dapat dilihat pada diri sebagai

penilaian

3) Diri pertimbangan (judging self)

Diri pertimbangan befungsi sebagai pengamat,

penentu standar dan evaluator. Kedudukannya adalah sebagai perantara antara diri identitas

dengan diri perilaku. Manusia cenderung

memberikan pertimbangan terhadap apa yang

dipersepsikannya. Oleh karena itu, label label yang dikenakan kepada dirinya bukanlah se-

manta-mata menggambarkan dirinya tetapi

juga sarat dengan nilai-nilai. Selanjutnya per-timbangan ini lebih berperan dalam menentu-

kan tindakan yang akan ditampilkan.

4) Diri fisik (physical self)

Diri fisik menyangkut persepsi seseorang ter-

hadap keadaan dirinya secara fisik. Dalam hal

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6074/2/T2_942008122_BAB II.pdf · etika berperilaku, (b) kehadiran, (c) tata cara berpakaian, (d)

27

ini terlihat persepsi seseorangmengenai kese-

hatan dirinya, penampilan dirinya (cantik, jelek, menarik, tidak menarik) dan keadaan

tubuhnya (tinggi, pendek, gemuk, kurus, pro-

porsional)

5) Diri etik-moral (moral-ethical self)

Bagian ini merupakan persepsi seseorang ter-

hadap dirinya dilihat dari standar pertimbang-

an nilai moral dan etika. Hal ini menyangkut persepsi seseorang mengenai hubungan

dengan Tuhan, kepuasan seseorang akan ke-

hidupan keagamaannya dan nilai nilai moral yang dipegangnya meliputi batasan baik dan

buruk.

6) Diri pribadi (personal self)

Diri pribadi merupakan perasaan dan pesepsi

seseorang tentang keadaan pribadinya. Hal ini

tidak dipengaruhi oleh kondisi fisik atau

hubungan dengan orang lain tetapi dipenga-ruhi oleh sejauh mana individu merasa puas

terhadap pribadinya atau sejauh mana dia

merasa dirinya sebagai pribadi yang tepat.

b. Dimensi Eksternal

Pada dimensi eksternal, individu menilai dirinya

melalui hubungan dan aktivitas sosialnya, nilai-nilai

yang dianutnya, serta hal-hal lain di luar dirinya.

Dimensi ini merupakan suatu hal yang luas, misalnya

dirinya yang berkaitan dengan sekolah, organisasi,

agama dan sebagainya. Namun, dimensi yang dikemu-

kakan oleh Fitts (1971) adalah dimensi eksternal yang

bersifat umum bagi semua orang dan dibedakan atas

dua bentuk yaitu:

1) Diri keluarga (family self)

Diri keluarga menunjukkan perasaan dan harga diri seseorang dalam kedudukannya se-

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6074/2/T2_942008122_BAB II.pdf · etika berperilaku, (b) kehadiran, (c) tata cara berpakaian, (d)

28

bagai anggota keluarga. Bagian ini menunjuk-

kan seberapa jauh seseorang merasa kuat ter-hadap dirinya sebagai anggota keluarga serta

terhadap peran maupun fungsi yang diajarkan

sebagai anggota dari suatu keluarga

2) Diri sosial (sosial self)

Bagian ini merupakan penilaian diri individu

terhadap interaksi dirinya dengan orang lain

maupun lingkungan sekitarnya

2.3.3 Pengukuran Konsep Diri

Menurut Crouse (1981), ada dua metode yang

umum dipakai untuk mengukur konsep diri individu.

Pertama, metode observasi. Konsep diri seseorang

dapat diduga dari perilaku yang diamati seseorang.

Seorang observer berpegang mencari alasan untuk

perilaku daripada hanya mendapatkan perilaku itu

sendiri, ’feel’ bagaimana sesuatu dilihat dari pandang-

an yang lain. Observer melakukan observasi menggu-

nakan metode respons tak terstruktur. Meskipun ini

perlu mendapatkan ’feel’ observer harus tetap objektif.

Untuk menghindari prasangka pribadi dapat dihilang-

kan dengan observasi sederhana. Kedua, metode self

report (laporan diri sendiri). Dengan menggunakan alat

ini memungkinkan individu yang bersangkutan untuk

melaporkan tentang dirinya sendiri di dalam merespon

pada item-item yang ada dalam tes. Konsep diri atau

suatu unsur yang spesifik dari konsep diri dapat

dibuatkan indeksnya, biasanya dalam bentuk skor.

Metode tertulis ini dapat digunakan secara individual.

Crouse (1981) memaparkan intrumen pengukuran

Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6074/2/T2_942008122_BAB II.pdf · etika berperilaku, (b) kehadiran, (c) tata cara berpakaian, (d)

29

konsep diri antara lain: The Tennessee Self Concept

Scale (TSCS).

Tennesse self Concept Scale sebuah intrumen

disusun oleh William H. Fitts pada tahun 1965 yang

dapat dipakai untuk mengukur konsep diri. Konsep

diri adalah gambaran diri individu itu sendiri.

Tennesse Self Concept Scale berisi 100 item yang

mengukur responden dengan delapan elemen konsep

diri. Ke delapan elemen yang diukur adalah: Physical,

Moral dan Etika, Pribadi, Keluarga, Sosial, Identitas,

Kepuasan, Perilaku. (http://www.eurojournal.com/)

2.4 Kajian yang Relevan

Hasil penelitian yang dilakukan Purnomo (2006)

menunjukkan hasil ada hubungan antara pandangan

pola asuh permisif orang tua dengan disiplin siswa

SMA Muhammadiyah Pekalongan. Dengan 98 sampel

siswa diketahui bahwa r hitung yang diperoleh sebesar

0,735 dengan signifikansi p =0,000< 0,05. Ada

hubungan yang signifikan antara pandangan pola

asuh permisif orangtua dengan disiplin siswa SMA

Muhammadiyah Pekalongan.

Penelitian yang dilakukan Prasetyo (2009) me-

ngenai hubungan pandangan pola asuh permisif orang

tua dengan disiplin diri siswa SMA Pancasila

Surabaya, menunjukkan tidak ada hubungan yang

signifikan dengan koefisien r sebesar -0,113 dengan

p 0,316 > 0,05.

Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6074/2/T2_942008122_BAB II.pdf · etika berperilaku, (b) kehadiran, (c) tata cara berpakaian, (d)

30

Penelitian Andrie (2013) mengungkapkan tidak

ada hubungan positif antara konsep diri dan disiplin

diri siswa kelas XI dan XII Jurusan Teknik Audio Video

SMK Muhammadiyah 3 Yogyakarta, dibuktikan

dengan nilai Rxy > R tabel (0,112 < 3,954) dengan

p 0,297 > 0,05

2.5 Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini

adalah:

1. Ada hubungan yang signifikan antara pola asuh

permisif orang tua dengan disiplin diri siswa kelas

XI SMA N Bergas;

2. Ada hubungan yang signifikan antara konsep diri

dengan disiplin diri kelas XI SMA N Bergas.